Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH BAHASA INDONESIA

ANALISIS NOVEL SASTRA

SMAN 4 DEPOK

Hafiz Alfarisy
XII IPA 2

Jl.Jeruk Raya No.1 PSP, Tapos-Depok Jawa Barat


Kode Pos 16454

Tahun Ajaran 2018/2019


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat,

rahmat, dan karunia-Nya yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan

makalah yang berjudul “ Analisis Novel Sastra ” .

Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan minatnya

dalam membaca siswa kelas IPA dan IPS.

Makalah ini masih memiliki banyak kesalahan dan kekurangan di dalamnya. Oleh karena,

penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk makalah ini. Akhir

kata, penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya.

Depok, November 2018

Tim Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I – PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II – PEMBAHASAN

A. Sinopsis Novel
B. Analisis Unsur Intrinsik
1. Tema
2. Latar
1) Tempat
2) Waktu
3) Suasana
3. Alur
4. Penokohan dan Perwatakan
5. Sudut Pandang
6. Gaya Bahasa
1) Majas
2) Kata Kias
3) Istilah-istilah
4) Ungkapan
5) Peribahasa
7. Amanat
C. Analisis Unsur Ekstrinsik

BAB III – PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Novel merupakan salah satu karya sastra. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
novel adalah tulisan berupa karangan prosa yang panjang dan menceritakan sebuah kisah.
Novel merupakan teks hasil pemikiran yang lahir dari daya cipta, imajinatif, kreatif dan
eksploratif pengarang terhadap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia yang di
dalamnya terdapat unsur intrinsik dan ekstrinsik. Dalam pembagiannya novel terdiri dari
novel klasik dan novel modern. Novel klasik mempunyai fungsi sosial, yaitu
memanusiakan para pembacanya. Sedangkan, novel modern kebanyakan berfungsi
personal yaitu membuat para pembaca ingin cepat selesai membacanya karena bersifat
menghibur. Namun di balik itu, setelah membaca dan mengerti novel klasik kita akan lebih
menikmati dan terasa lebih manusiawi daripada membaca novel modern yang sifatnya
hanya menghibur.

Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya


tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Pendekatan tersebut
meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom dan terlepas dari latar belakang sosial,
sejarah, biografi pengarang dan segala hal yang ada di luar karya sastra (Satoto, 1993: 32).
Pendekatan struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur
karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna
menyeluruh (Teeuw, 1984: 135). Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan
struktural adalah suatu pendekatan dalam ilmu sastra yang cara kerjanya menganalisis
unsur-unsur struktur yang membangun karya sastra dari dalam, serta mencari relevansi atau
keterkaiatan unsur-unsur tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna.
Mengenai struktur, Wellek dan Warren (1992: 56) memberi batasan bahwa struktur
pengertiannya dimasukkan kedalam isi dan bentuk, sejauh keduanya dimaksudkan untuk
mencapai tujuan estetik. Jadi struktur karya sastra (fiksi) itu terdiri dari bentuk dan isi.
Bentuk adalah cara pengarang menulis, sedangkan isi adalah gagasan yang diekspresiakan
pengarang dalam tulisannya (Zeltom, 1984: 99). Menurut Jan Van Luxemburg (1986: 38)
struktur yang dimaksudkan, mengandung pengertian relasi timbal balik antara bagian-
bagiannya dan antara keseluruhannya. Struktur karya sastra (fiksi) terdiri atas unsur unsur
alur, penokohan, tema, latar dan amanat sebagai unsur yang paling menunjang dan paling
dominan dalam membangun karya sastra (fiksi) (Sumardjo, 1991:54).
Novel Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana ini diterbitkan pertama pada
tahun 1936 oleh penerbit Balai Pustaka. Dalam makalah ini akan membahas tentang unsur-
unsur yang menjadi struktur pembangun di dalam novel Layar Terkembang, mulai dari
tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang penulis, gaya bahasa, amanat,
beserta unsur yang memengaruhi dari luar (lazim disebut dengan istilah “Ekstrinsik” yang
mencakup latar belakang terciptanya karya sastra dan psikologi pengarang maupun
pembaca) yang terkandung di dalamnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, saya mengidentifikasi masalah novel “ Layar
Terkembang ” karya Sutan Takdir Alisjahbana :

1. Apa unsur intrinsik yang terkandung dalam novel Layar Terkembang?


2. Apa unsur ekstrinsik yang terkandung dalam novel Layar Terkembang?

C. Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini yaitu :

1. Untuk menganalisis unsur intrinsik yang ada di novel tersebut


2. Menganalisis unsur ekstrinsik yang ada di novel tersebut
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sinopsis Novel

Tuti dan Maria adalah kakak beradik, anak dari Raden Wiriatmadja mantan Wedana daerah
Banten. Sementara itu, ibu mereka telah meninggal, meskipun mereka adik-kakak, mereka
memiliki watak yang sangat berbeda. Tuti si sulung adalah seorang gadis yang pendiam, tegap,
kukuh pendiriannya, jarang sekali memuji, dan aktif dalam organisasi-organisasi wanita.
Sementara Maria adalah gadis yang periang, lincah, dan mudah kagum.

Diceritakan pada hari Minggu Tuti dan Maria pergi ke akuarium di pasar ikan. Di tempat
itu mereka bertemu dengan seorang pemuda yang tinggi badannya dan berkulit bersih,
berpakaian putih berdasi kupu-kupu, dan memakai kopiah beledu hitam. Mereka bertemu
ketika hendak mengambil sepeda dan meninggalkan pasar, pada saat itu pula mereka
berbincang-bincang dan berkenalan. Nama pemuda itu adalah Yusuf, dia adalah seorang
mahasiswa sekolah tinggi kedokteran. Sementara Maria adalah murid H.B.S Corpentier Alting
Stichting dan Tuti adalah seorang guru di sekolah H.I.S Arjuna di Petojo. Mereka berbincang
sampai di depan rumah Tuti dan Maria.

Yusuf adalah putra dari Demang Munaf di Matapura, Sumatra Selatan. Semenjak
pertemuan itu Yusuf selalu terbayang-bayang kedua gadis yang ia temui di akuarium., terutama
Maria. Yusuf telah jatuh cinta kepada Maria sejak pertama kali bertemu, bahkan dia berharap
untuk bisa bertemu lagi dengannya. Tidak disangka oleh Yusuf, keesokan harinya dia bertemu
lagi di depan hotel Des Indes. Semenjak pertemuan keduanya itu, Yusuf mulai sering
menjemput Maria untuk berangkat sekolah serta dia juga sudah mulai berani berkunjung ke
rumah Maria. Sementara itu Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak
bukan lagi hubungan persahabatan biasa.
Tuti sendiri terus disibukan oleh kegiatan-kegiatan nya dalam kongres Putri Sedar yang
diadakan di Jakarta, dia sempat berpidato yang isinya membicarakan tentang emansipasi
wanita. Tuti dikenal sebagai seorang pendekar yang pandai memilih kata, dapat membuat
setiap orang yang mendengarnya tertarik dan terhanyut. Sesudah ujian pertama dan kedua
berturut-turut selesai, Yusuf pun pulang ke rumah orang tuanya di Martapura, Sumatra Selatan.
Selama berlibur Yusuf dan Maria saling mengirim surat, dalam surat tersebut Maria
mengatakan kalau dia dan Tuti telah pindah ke Bandung. Kegiatan surat menyurat tersebut
membuat Yusuf semakin merindukan Maria. Sehingga pada akhirnya Yusuf memutuskan
untuk segera kembali ke Jakarta dan ke Bandung untuk mengunjungi Maria. Kedatangan
Yusuf disambut hangat oleh Maria dan Tuti. Setelah itu Yusuf mengajak Maria berjalan-jalan
ke air terjun Dago, tetapi Tuti tidak dapat meninggalkan kesibukannya.

Di tempat itu, Yusuf menyatakan perasaan cintanya kepada Maria. Setelah kejadian itu,
kelakuan Maria berubah. Percakapannya selalu tentang Yusuf saja, ingatannya sering tidak
menentu, dan sering melamun. Sehingga Rukamah sering mengganggunya. Sementara hari-
hari Maria penuh kehangatan bersama Yusuf, Tuti sendiri lebih banyak membaca buku.
Sebenarnya pikiran Tuti terganggu oleh keinginannya untuk merasakan kemesraan cinta.
Melihat kemesraan Maria dan Yusuf, Tuti pun ingin mengalaminya. Tetapi Tuti juga memiliki
ke khawatiran terhadap hubungan Maria dan Yusuf. Kemudian Tuti menasehati Maria agar
jangan sampai diperbudak oleh cinta. Nasihat tulus Tuti justru memicu pertengkaran diantara
mereka dan memberikan pukulan keras terhadap Tuti.

Dari kejadian itu, Tuti sama sekali tidak berbicara dengan Maria dan dia merasa sendiri
dan sepi dalam kehidupannya. Akan tetapi, tak lama kemudian, Tuti pun meminta maaf kepada
adiknya, Maria. Ketika Maria mendadak terkena penyakit malaria dan TBC, Tuti pun kembali
memperhatikan Maria, Tuti menjaganya dengan sabar. Pada saat itu juga adik Supomo datang
atas perintah Supomo untuk meminta jawaban pernyataan cintanya kepada Tuti. Sebenarnya
Tuti sudah ingin memiliki seorang kekasih, tetapi Supomo dipandangnya bukan pria idaman
yang diinginkan Tuti. Maka dengan segera Tuti menulis surat penolakan.
Sementara itu, keadaan Maria semakin hari makin bertambah parah. Kemudian ayahnya,
Tuti, dan Yusuf memutuskan untuk merawatnya di rumah sakit. Dokter yang merawatnya
menyarankan agar Maria dibawa ke rumah sakit umum pusat penderita penyakit TBC wanita
di Pacet, Sindanglaya Jawa Barat. Perawatan Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya.
Namun keadaannya tidak juga mengalami perubahan, yang terjadi adalah kondisi Maria
semakin lemah.

Pada suatu kesempatan, Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan Saleh di Sindanglaya,
disitulah Tuti mulai terbuka dalam memandang kehidupan di pedesaan. Kehidupan suami istri
yang melewati hari-harinya dengan bercocok tanam, ternyata juga mampu membimbing
masyarakat sekitarnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-
benar telah menggugah alam pikiran Tuti. Ia menyadari bahwa kehidupan mulia, mengabdi
kepada masyarakat tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam kegiatan-kegiatan
organisasi, sebagaimana yang selama ini ia lakukan. Tetapi juga di desa atau di masyarakat
mana pun, pengabdian itu dapat dilakukan.

Semakin hari hubungan Yusuf dan tuti semakin akrab, sementara itu kondisi kesehatan
Maria justru semakin mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya pun sudah tidak dapat
berbuat lebih banyak lagi. Pada saat kritis Maria mengatakan sesuatu sebelum ia meninggal,
yaitu ingin melihat Tuti dan Yusuf hidup bersama. Akhirnya Yusuf dan Tuti bertunangan.
B. Analisis Unsur Intrinsik

1. Tema : Perjuangan seorang perempuan

“ Panjang lebar Tuti menerangkan pengaruh seorang ibu dalam didikan anak yang di
kemudian hari akan menjadi orang besar. Bahwa perempuanlah yang pertama kali
memimpin anak dan menetapkan sifat-sifat yang mulia yang seumur hidup tidak berubah
lagi dalam jiwa anak. ....”

“ Sesungguhnyalah hanya kalau perempuan dikembalikan derajatnya sebagai manusia,


barulah keadaan bangsa kita dapat berubah. Jadi, perubahan kedudukan perempuan dalam
masyarakat itu bukanlah semata-mata kepentingan perempuan. ...”

“ Tetapi lebih-lebih dari segalanya haruslah kaum perempuan sendiri insaf akan dirinya
dan berjuang untuk mendapat penghargaan dan kedudukan yang lebih layak. Ia tiada boleh
menyerahkan nasibnya kepada golongan yang lain, ...”

2. Latar
1) Tempat
a. Gedung Akuarium

“ Pintu yang berat itu berderit terbuka dan dua orang gadis masuk ke dalam
gedung akuarium. ...” (Hal 2)

b. Kediaman Wiriaatmaja

“ Maka berbeloklah mereka bertiga ke kanan melalui pabrik gas, setal kuda,
dan sesudah itu berbelok pula ke kiri ke Cidangweg. Dijalan itulah di ujung
Gang Hauber terletak rumah kedua gadis itu. Yusuf membaca nama yang
tertulis pada sepotong marmer tergantung pada dinding rumah itu:
R. Wiriaatmaja. ...” (Hal 13)

c. Kota Martapura, provinsi Kalimantan Selatan

“ Yusuf ialah putra Demang Munaf di Martapura di Sumatra Selatan. ...”


(Hal 16)
d. Kediaman Orangtuanya Yusuf

“ Ketika Yusuf tiba di rumah ayah bundanya di Martapura kembali, didapatinya


sebuah surat pula dari Maria.” (Hal 61)

e. Air Terjun Dago

“ Tiap-tiap hari air terjun dago itu ramai dikunjungi orang dari bandung,
kebanyakan anak-anak muda murid sekolah rendah dan menengah yang hendak
melihat tamasya air terjun yang permai itu ...” (Hal 72-73)

f. Kediaman Partadiharja

“ “Jadi, pada permulaan bulan Juli ini engkau bekerja sekali,” kata istri Raden
Partadiharja kepada Maria sambil ia duduk dirangkum kursi besar yang lembut
berper.” (Hal 99)

g. Gedung Pemufakatan

“ Dinding Gedung Permufakatan berat berhias daun kelapa dan daun beringin,
di sela-sela kertas merah putih.” (Hal 109)

h. Pasar Ikan

“ Yusuf dan Maria turun dari auto di Pasar Ikan dan berjalan menuju laut.”
(Hal 132)

i. Rumah Sakit di Pacet

“ Maria sudah dua hari tinggal di Rumah Sakit Umum Pusat.” (Hal 150)

“ Sunyi sepi hari berganti hari. Sudah sebulan lebih Maria di rumah sakit di
Pacet.” (Hal 154)

j. Pemakaman di Pacet

“ Hari masih pagi-pagi dan di pekuburuan dekat Pacet, tiada jauh dari rumah
sakit, sunyi senyap.” (Hal 194)
2) Waktu

a. Pagi hari

“ Keesokan harinya pagi-pagi sebelum setengah tujuh ia telah siap makan dan
berpakaian akan pergi kesekolah.” (Hal 16)

“ Sebenarnya, Maria pagi-pagi itu amat cantik rupanya.” (Hal 18)

“ Tiap-tiap pagi pukul sembilan baru ia (Yusuf) bangun. (Hal 50)

“ Pukul tujuh pagi-pagi keesokan harinya, Yusuf meninggalkan Hotel


Pasundan, naik sado menuju ke Groote Lengkogweg. ..” (Hal 63)

“ Yusuf pun minta permisi sebab hari sudah hampir pukul satu tengah malam
(dini hari).” (Hal 121)

“ Alangkah girang tampaknya seluruh dunia pada pagi Minggu itu.” (Hal 132)

“ Pada suatu pagi amat permainya matahari pagi bersinar di lereng Gunung
Gede.” (Hal 155)

“ Maria memandangkan matanya ke kebung bunga di hadapan jendela.


Permai benar rupanya naik kembang dahlia pagi-pagi ini, ...” (Hal 156)

“ Sejak dari pagi-pagi tiada berhenti-henti hujan turun, bersama-sama dengan


angin kuat yang menyentak-nyentak.” (Hal 165)

“ Demikianlah tiap-tiap hari Tuti dan Yusuf berulang ke Pacet dari Sindanglaya,
pagi-pagi antara pukul sembilan dengan pukul dan petang hari antara pukul
lima dengan pukul enam.” (Hal 173)

“ Hari masih pagi-pagi dan di pekuburuan dekat Pacet, tiada jauh dari rumah
sakit, sunyi senyap.” (Hal 194)
b. Tengah hari ( Siang hari )

“ Tengah hari mereka turun ke darat di tempat yang rendah berpasir-pasir


menyerupai pantai. ...” (Hal 60)

c. Petang hari ( Senja atau Sore hari )

“ Tiap-tiap petang apabila sudah menyelesaikan rumah dan sudah pula mandi
dan berdandan, biasanya benar ia duduk di tempat itu menati hari senja. ...”
(Hal 25)

“ Setiap petang Senin dan petang Kamis datang kemari haji guru agamanya.
...” (Hal 35)

“ Pada suatu petang ketika ia (Yusuf) sedang membalik-balik koran ayahnya


di serambi depan. ...” (Hal 51)

“ Sore sampailah ia dekat Danau Ranau. ...” (Hal 53)

“Petang pukul setengah enam setelah mandi dan minum teh, barulah orang
bertiga beranak itu pulang ke rumah mereka di Gang Haube.” (Hal 108)

“ Sejak pukul lima petang tadi ia membaca, sebab ia seorang diri tinggal
dirumah;. ..”(Hal 122)

“ Pada petang Sabtu, Tuti duduk di sudut wagon kelas tiga kereta api pukul
dua dari Bandung menuju ke Cianjur.” (Hal 160)

“ Demikianlah tiap-tiap hari Tuti dan Yusuf berulang ke Pacet dari Sindanglaya,
pagi-pagi antara pukul sembilan dengan pukul dan petang hari antara pukul
lima dengan pukul enam.” (Hal 173)

“ Pada suatu petang, ketika Tuti dan Yusuf pulang dari Pacet, sedang hati
mereka penuh sesak memikirkan hal Maria yang hari itu panas badannya dan
batuk-batuk, ...” (Hal 174)
“ Pada senja hari, apabila mereka meninggalkan rumah sakit dalam cahaya
yang kabur dan melihat ke arah gunung yang hitam padu, ...” (Hal 177)

“ Matahari telah hampir terbenam di balik gunung tanah Pasundan.”


(Hal 188)

“ Yusuf mengeluarkan arlojinya dan dari mulutnya keluar seperti bunyi riak air
yang tiada berarti dan bermakna, “Lima belas menit lagi pukul enam.” ”
(Hal 189)

“ Di luar, matahari telah turun ke balik gunung.” (Hal 190)

d. Malam

“ Waktu makan malam, Yusuf mengatakan kepada orangtuanya bahwa ia


lima hari lagi akan berangkat ke Jakarta, karena ada keperluan berhubung
dengan sekolahnya. ...” (Hal 62)

“ Malam itu juga ia (Yusuf) menyebrang Selat Sunda dengan kapal K.P.M.
...” (Hal 62)

“ Pada suatu malam, sesudah makan, gadis bertiga itu berkumpul di kamar
tempat tidur mereka. ...” (Hal 82)

“ Sejak dari sudah makan pukul delapan tadi Tuti mengetik dalam kamarnya.
...” (Hal 88)

“ “Kami baru masuk benar,” jawab Tuti. “Ramai benar orang datang malam
ini.” ” (Hal 110)

“ Pukul delapan betul tampil seorang anak muda keluar dari belakang layar.
...” (Hal 111)

“ Tetapi Maria yang dalam kegirangannya akan hasil pekerjaannya malam itu,
...” (Hal 118)
“ Pada malam Minggu, Tuti duduk di ruang dalam menghadapi meja
membaca buku di bawah lampu.” (Hal 122)

“ Kira-kira pukul setengah delapan pulanglah Raden Wiriaatmaja. .... .Kira-


kira setengah sembilan kedengaran di halaman bunyi sepeda.” (Hal 125)

“ Malam itu enam hari bulan.” (Hal 129)

“ Dari jauh kelihatan kabur-kabur kepadanya bayang-bayang dua orang menuju


ke tempatnya. Tentulah Maria dengan Yusuf yang mesra rapat berjalan dalam
kekaburan sinar bulan yang tipis diselubungi awan.” (Hal 131)

3) Suasana

a. Tertarik kepada Seseorang

“ Sejak kembali dari mengantarkan Tuti dan Maria, pikirannya senantiasa


berbalik-balik saja kepada mereka berdua. Perkenalan yang sebentar itu
meninggalkan jejak yang dalam di kalbunya. Yang seseorang agak pendiam dan
tertutup rupanya, tetapi segala ucapannya teliti. Yang seorang lagi suka
berbicara, lekas tertawa gelisah, penggerak. Alangkah besar beda pekerti
mereka berdua beradik itu. Tetapi tidak, yang terutama sekali menarik hatinya
ialah Maria. Mukanya lebih berseri-seri, matanya menyinarkan kegirangan
hidup, dan bibirnya senantiasa tersenyum menyingkapkan giginya yang putih.
(Hal 16)

b. Ramai

“ Di dalam gedung akuarium itu mulailah ramai suara manusia; ...” (Hal 5)

“ Maka segala kendaraan yang terhenti tiada bergerak-gerak menanti itu


sibuk kembali.” (Hal 21)

c. Tegang

“ Tetapi Partadiharja, yang masih kesal hatinya, segera menjawab, ...”


(Hal 33)
“ Dalam gelap di delman itu mata Tuti mendelik melihat adiknya selaku
hendak diterkamnya, tetapi ditahannya hatinya lalu berkata dengan
pendek, ...” (Hal 118)

d. Hikmat ( Kebijakan )

“ Maka dipersilakannya pembicara tampil ke muka. Baru habis ucapan


ketua itu, memecahlah di tengah-tengah kesunyian itu tepuk orang amat riuhnya
sehingga gedung yang besar itu selaku bergegar.” (Hal 40)

e. Ketenangan

“ Beberapa lama Yusuf tafakur berdiri di tengah-tengah ketenangan dan


kesentosaan alam.” (Hal 56)

f. Gembira berlinang air ( Senang )

“ Seraya melekapkan tangan gadis itu dengan tangan kirinya kepada dadanya,
mesra seperti tiada hendak dilepaskannya lagi, perlahan-lahan Yusuf
mengangkat muka Maria melihat kepadanya dengan tangan kanannya,“Maria,
lihat saya sebentar.”

Pada mata Maria nampak kepadanya berlinang air mata dan mesra meminta
menggemetarlah suaranya untuk pertama kali seumur hidupnya,“Maria,
Maria, tahukah engkau saya cinta kepadamu?” ” (Hal 79)

g. Bimbang

“... .Pikirannya sering melayang-layang, tidak tentu arahnya. Sering ia merasa


dirinya gelisah, tetapi apa sebabnya tidak dapat diselidikinya. Kadang-
kadang memberat rasa hatinya dan selaku menghilanglah tempat ia
berpegang dan berjejak. Lemah terasa olehnya dirinya dan hilanglah
kepercayaannya akan kesanggupan dan kecapakannya.” (Hal 89)
h. Kalut ( Kacau Pikiran )

“ Tiba-tiba Tuti terkejut mendengar Maria batuk dan Yusuf seperti orang
kecemasan memanggil Juhro minta ambilkan tempolong.” (Hal 144)

i. Haru

“ Sekejap berkerut mukanya, tampak ia mengeraskan memaksa hatinya dan


teruslah ia berkata, agak jelas dari tadi,“Alangkah berbahagia saya rasanya
di akhirat nanti, kalau saya tahu bahwa kakandaku berdua hidup rukun
dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari
ini....” (Hal 192)

“ Beberapa lamanya Tuti dan Yusuf berdiri tiada bergerak-gerak, laksana


terpaku pada tanah yang pemurah itu, yang senantiasa tulus dan ikhlas
menerima manusia yang letih dan lesu dalam pangkuannya yang sejuk.”
(Hal 197)

3. Alur

Dalam penggunaan alur dalam novel Layar Terkembang, ialah menggunakan alur
maju,

1) Perkenalan/Orientasi

2) Pengungkapan Peristiwa

3) Menuju Konflik

4) Klimaks/Puncak Konflik

5) Anti Klimaks/Konflik Turun

6) Resolusi/Penyelesaian
1) Perkenalan/Orientasi

Kisah bermulai dua seorang gadis yang bernama, Tuti dan Maria. Kedua gadis tersebut
merupakan kakak beradik, anak dari Raden Wiriatmadja mantan Wedana daerah Banten.
Sementara itu ibu mereka telah meninggal. Meskipun mereka adik-kakak, mereka memiliki
watak yang sangat berbeda. Tuti adalah kakak dari Maria, ia seorang gadis yang pendiam,
tegap, kukuh pendiriannya, jarang sekali memuji, dan aktif dalam organisasi-organisasi
wanita. Sementara Maria adalah adiknya Tuti, ia gadis yang periang, lincah, dan mudah
kagum.

“Gadis berdua itu adik dan kakak, hal itu terang kelihatan pada air mukanya. Meskipun
muka yang tua, yang tegap perawakannya, agak bulat sedikit dan muka yang muda agak
kepanjang-panjangan oleh karena ramping dan kecil badannya, garis mulut, hidung, dan
teristimewa mata keduanya nyata membayangkan persamaan yang hanya terdapat pada
orang berdua bersaudara.

Tuti yang tertua di antara dua saudara itu, telah dua puluh lima tahun usianya, sedang
adiknya Maria baru dua puluh tahun usianya. Mereka adalah anak dari Raden Wiriaatmaja,
bekas wedana di daerah Banten, yang pada ketika itu hidup dengan pensiunnya di Jakarta
bersama kedua anaknya itu. Maria masih murid H.B.S. Carpentier Alting Stichting kelas
penghabisan dan Tuti menjadi guru pada sekolah H.I.S. Arjuna di Petojo.” (Hal 2-3)

“Perbedaan suara kedua gadis itu ketika itu terang menunjukkan perbedaan pekerti
antara keduanya. Tuti bukan seorang yang mudah kagum, yang mudah heran melihat
sesuatu. Keinsafannya akan harga dirinya amat besar. Ia tahu bahwa ia pandai dan cakap
serta banyak yang akan dapat dikerjakannya dan dicapainya. Segala sesuatu diukurnya
dengan kecakapannya sendiri, sebab itu ia jarang memuji.

Sebaliknya, Maria seorang yang mudah kagum, yang mudah memuji dan memuja.
Sebelum selesai benar ia berpikir, ucapannya telah keluar menyatakan perasaannya yang
bergelora, baik waktu kegirangan maupun waktu kedukaan. Air mata dan gelak berselisih
di mukanya sebagai siang dan malam. Sebentar ia iba semesra-mesranya dan sebentar
berderau gelaknya yang segar oleh kegirangan hatinya yang remaja.” (Hal 3-4)
2) Pengungkapan Peristiwa

Saat di gedung akuarium, dua gadis (Maria dan Tuti) ini bertemu seorang pemuda yang
bernama Yusuf. Pemuda yang tinggi badannya dan berkulit bersih, berpakaian putih
berdasi kupu-kupu, dan memakai kopiah beledu hitam. Mereka bertemu ketika hendak
mengambil sepeda dan meninggalkan pasar, pada saat itu pula mereka berbincang-bincang
dan berkenalan. Yusuf adalah seorang mahasiswa sekolah tinggi kedokteran. Sementara
Maria adalah murid H.B.S Corpentier Alting Stichting dan Tuti adalah seorang guru di
sekolah H.I.S Arjuna di Petojo. Mereka berbincang sampai di depan rumah Tuti dan Maria.

Yusuf adalah putra dari Demang Munaf di Matapura, Sumatra Selatan. Semenjak
pertemuan itu, ia selalu terbayang-bayang dengan kedua gadis yang ia temui di akuarium,
terutama Maria. Yusuf telah jatuh cinta kepada Maria sejak pertama kali bertemu, bahkan
dia berharap untuk bisa bertemu lagi dengannya. Tidak disangka oleh Yusuf, keesokan
harinya dia bertemu lagi di depan hotel Des Indes. Semenjak pertemuan keduanya itu,
Yusuf mulai sering menjemput Maria untuk berangkat sekolah serta dia juga sudah mulai
berani berkunjung ke rumah Maria. Sementara itu Tuti dan ayahnya melihat hubungan
kedua remaja itu tampak bukan lagi hubungan persahabatan biasa.

“Yusuf ialah putra Demang Munaf di Martapura di Sumatra Selatan. Telah hampir lima
tahun iabelajar pada Sekolah Tabib Tinggi. Pada bulan Mei nanti ia akan menempuh ujian
doktoral yang pertama dan kedua. Tempat tinggalnya sejak dari Sekolah Mulo, A.M.S.,
sampai ke Sekolah Tinggi ini ialah di rumah seorang kerabat Jawa yang diam di Sawah
Besar.

Sejak kembali dari mengantarkan Tuti dan Maria, pikirannya senantiasa berbalik-balik
saja kepada mereka berdua. Perkenalan yang sebentar itu meninggalkan jejak yang dalam
di kalbunya. Yang seseorang agak pendiam dan tertutup rupanya, tetapi segala ucapannya
teliti. Yang seorang lagi suka berbicara, lekas tertawa gelisah, penggerak. Alangkah besar
beda pekerti mereka berdua beradik itu. Tetapi tidak, yang terutama sekali menarik hatinya
ialah Maria. Mukanya lebih berseri-seri, matanya menyinarkan kegirangan hidup, dan
bibirnya senantiasa tersenyum menyingkapkan giginya yang putih.” (Hal 16)
3) Menuju Konflik

Maria dan Tuti bertengkar disebabkan kritikan Tuti yang pedas terhadap adiknya,
Maria. Tuti mengkritik bahwa cinta Maria terhadap Yusuf sangat berlebihan dan
membutakan jiwa nya. Tetapi, Maria yang hatinya saat sedang naik darah dan ia membalas
kritikan Tuti tersebut dengan mengatakan bahwa dalam masalah cinta Tuti sangat
perhitungan dan tidak pernah mau rugi sedikit pun tentang adiknya itu dikarenakan terjadi
diluar pemikirannya serta Tuti selalu memikirkan kongres ketimbang perasaan adiknya.

“ Tetapi segera disambungnya pula seolah-olah belum puas hatinya menjawab


kakaknya yang mencela cintanya kepada kekasihnya itu, “Cinta engkau barangkali cinta
perdagangan, baik dan buruk ditimbang sampai semiligram, tidak hendak rugi barang
sedikit. Patutlah pertunaganmu dengan Hambali dahulu putus.”

Muka Tuti merah sampai ke telinganya mendengar kata adiknya yang pedas itu.
Belum lagi ia duduk, berbaliklah ia mendekat ke tempat tidur seraya ujarnya dengan suara
yang gemetar oleh amarah yang tiada terkata-kata, “Tutup mulutmu yang lancang itu, nanti
saya remas.” (Hal 87)

4) Klimaks/Puncak Konflik

Suatu ketika adiknya, Maria terkena penyakit malaria dan TBC yang penyakit
tersebut membuat kondisi jiwa nya melemah. Namun, sebagai seorang kakak, Tuti dan
kekasihnya Yusuf, memberikan motivasi dan dorongan untuk lekas sembuh agar bisa
melakukan aktivitas seperti biasanya, akan tetapi Maria tersebut dikarenakan kondisi
jiwanya semakin lama semakin parah, dia pun seperti merasa putus asa terhadap apa yang
dialaminya sekarang. Hingga akhirnya Maria pun wafat.

“ Maria sudah dua hari tinggal di Rumah Sakit Umum Pusat. Penyakit malarianya
terang ditambah oleh penyakit batuk darah yang tiba-tiba memecah keluar. Dalam dua hari
itu dokter yang merawatnya mendapat keyakinan bahwa yang sebaik-baiknya bagi Maria
adalah pergi ke Pacet, ke rumah sakit TBC bagi perempuan, yang terletak di tengah-tengah
pegunungan yang sejuk hawanya.” (Hal 150)
5) Anti Klimaks/Konflik Turun

Pada saat Maria sebelum wafat, ia menitipkan pesan terakhir kepada kakaknya, Tuti
dan kekasihnya Yusuf bahwa sebelum ia wafat kakaknya, Tuti berharap menikah dengan
Yusuf.

“ Alangkah berbahagia saya rasanya di akhirat nanti, kalau saya tahu bahwa
kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam
beberapa hari ini....”

Tuti dan Yusuf pun terkejut mendengar perkataan yang penghabisan itu. Pada mata
mereka nyata keliahatan bahwa mereka hendak membantah, tetapi sebelum mereka dapat
mengucapkan perkataannya, Maria telah menyambungnya pula, “Inilah permintaan saya
yang penghabisan dan saya, saya tidaklah rela selama-lamanya, kalau kakandaku masing-
masing mencari peruntungan pada orang lain......” (Hal 192)

6) Resolusi/Penyelesaian

Pada akhirnya kakaknya, Tuti dan Yusuf menturuti perkataan sang adiknya dengan menikah. Dan
Tuti pun merasa lega dikarenakan tidak merasa kesepian lagi

“ Lima hari lagi akan berlangsung perkawinan mereka di Jakarta. Sebelum perkawinan mereka
berlangsung, mereka pergi terlebih dahulu ke pemakaman orang yang sama-sama dicintainnya.”
(Hal 196)

4. Penokohan dan Perwatakan

1) Maria ( Pemeran Utama)

Mudah kagum, mudah memuji dan memuja, mudah tersentuh perasaannya,


ucapannya sesuai dengan perasaannya, ceria dan riang

Anda mungkin juga menyukai