Anda di halaman 1dari 5

SIANIDA DALAM SINGKONG DAN CARA MENGHINDARINYA

Oleh:

Maulidya Cahyani
1814181015

JURUSAN ILMU TANAH


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
Singkong adalah tumbuhan semak keluarga Euphorbiaceae, ditanam terutama

untuk memperoleh umbinya yang mengandung pati. Singkong merupakan salah

satu makanan pokok yang paling penting di daerah tropis, yang mana singkong ini

merupakan urutan keempat sumber energi yang paling penting. Sedangkan di

dunia, singkong menempati urutan ke enam sumber kalori paling penting di dalam

diet manusia.

Singkong (Manihot utilisima) atau dikenal juga sebagai ketela pohon

merupakan tanaman yang tumbuh di seluruh wilayah Indonesia, dari Sabang

sampai Merauke. Tanaman singkong dapat dimanfaatkan secara keseluruhan

mulai dari batang, daun dan umbinya. Singkong segar mempunyai komposisi

kimiawi terdiri dari kadar air sekitar 60%, pati 35%, serat kasar 2,5%, kadar

protein 1%, kadar lemak 0,5% dan kadar abu 1%, sehingga merupakan sumber

karbohidrat dan serat makanan, namun hanya mengandung sedikit protein.

Setiap 100 gram singkong mengandung 38 gram karbohidrat. Inilah

mengapa singkong menjadi sumber energi yang baik untuk Anda yang harus

menjalani aktivitas fisik yang berat. Singkong juga mengandung serat pangan

dalam jumlah yang cukup tinggi, sehingga dapat mencegah sembelit. Serat juga

membantu Anda menurunkan berat badan karena bisa membuat Anda kenyang

lebih lama. Singkong mengandung sumber mineral yang cukup banyak seperti

kalsium, fosfor, mangan, zat besi, dan kalium. Mineral ini diperlukan untuk

perkembangan, pertumbuhan, dan menjalankan fungsi jaringan tubuh.

Di Indonesia singkong dijadikan sebagai bahan makanan pokok ketiga

setelah padi dan jagung. Selain bahan makanan pokok, macam-macam produk
olahan singkong dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, antara lain adalah tape

singkong, eyek-eyek singkong, opak, kerupuk singkong, gethuk serta tepung

tapioka (Sunarto, 2002).

Selain mengandung karbohidrat, singkong juga mengandung racun yang

disebut sianida. Asam sianida adalah racun yang dapat menghambat kerja enzim

pernapasan sehingga terjadi gangguan pernapasan yang dapat menyebabkan sakit

dan kematian. Bila dicerna, hidrogen sianida sangat cepat terserap oleh alat

pencernaan dan masuk ke dalam aliran darah. Dalam sel-sel singkong terdapat

enzim yang dapat memecah glikosida sianogenik menghasilkan HCN (Hidrogen

sianida) bebas dan bersifat sangat beracun (Sunarto, 2002).

Di bawah kondisi netral, aseton sianohidrin didekomposisi menjadi aseton

dan hidrogen sianida. Hidrogen sianida (HCN) atau asam sianida ini merupakan

racun pada singkong, masyarakat mengenal sebagai racun asam biru karena

adanya bercak warna biru pada singkong dan akan menjadi toksin (racun) bila

dikonsumsi pada kadar HCN lebih dari 50 ppm. Kadar sianida pada singkong

bervariasi antara 15-400 mg/kg singkong yang segar. Singkong dikelompokkan

menjadi dua golongan yaitu singkong jenis manis dan pahit. Singkong jenis manis

memiliki kadar sianida yang rendah ( ≤ 50 mg/kg singkong) sedangkan jenis pahit

memiliki kadar sianida yang tinggi (> 50 mg/kg singkong). Semakin tinggi kadar

HCN yang rasanya semakin pahit, kadar pati semakin meningkat dan sebaliknya.

Namun demikian, pada industri dilakukan proses pengolahan dengan baik

sehingga kadar HCN-nya berkurang.


Kasus keracunan yang terjadi dimasyarakat sering kali karena

mengkonsumsi jenis singkong dengan kadar HCN yang tinggi dan proses

pengolahan yang tidak benar sehingga kadar HCN pada singkong masih melebihi

kadar aman yang dapat dikonsumsi manusia. Gejala keracunan yang muncul

antara lain respirasi cepat, penurunan tekanan darah, denyut nadi cepat, pusing,

sakit kepala, sakit perut, muntah, diare, kebingungan mental, berkedut dan kejang-

kejang. Jika hidrogen sianida melebihi batas toleransi kemampuan individu untuk

detoksifikasi / mentolerir, kematian dapat terjadi akibat keracunan sianida. Dosis

oral HCN yang mematikan bagi manusia yang dilaporkan 0.5-3.5mg/kg berat

badan. Sebenarnya tubuh manusia memiliki kemampuan melindungi diri terhadap

HCN ini dengan cara detoksikasi HCN tersebut menjadi ion tiosianat yang relatif

kurang toksik. Detoksikasi ini berlangsung dengan perantaraan enzim rodanase

(transulfurase) yang terdapat di dalam jaringan, terutama hati.

Untuk menghindari keracunan sianida pada singkong diperlukan

pengolahan seperti dicuci, direndam, direbus, dikukus, digoreng, atau dibakar.

Perebusan adalah proses pemasakan dengan menggunakan media air, sedangkan

penggorengan adalah proses pemasakan menggunakan media minyak. Pengolahan

singkong dengan cara pemanasan menggunakan perebusan dapat menguapkan

sianida sehingga akan mempercepat penurunan kadar sianida, dengan

mempercepat dehidrasi dan pemecahan struktur sel, sehingga terjadi degradasi

glukosida linamarin (C10H17O6N) dalam singkong oleh enzim linamarase yang

menghasilkan glukosa dan aceton sianohidrin, kemudian melepaskan hidrogen

sianida (Twetongyere dan Katonhole dalam yuningsih 2009).


Menurut Peneliti Proses perebusan menjamin seluruh permukaan umbi

terjadi kontak langsung dengan air rebusan, juga terjadi penguapan dan kerusakan

oleh air panas, pemanasan dalam air mendidih dapat mengakibatkan enzim

linamarase dan glukosidase tidak aktif sehingga pembentukan asam sianida

terputus sehingga rerata kadar HCN yang terukur lebih rendah (Paggara, 2010).

Pemanasan dan air merupakan cara pengolahan yang dapat menurunkan sifat

sianogenik karena HCN dapat menguap dengan pemanasan dan HCN juga luruh

dengan adanya air.

Pada proses penggorengan digunakan minyak sebagai media penghantar

panas, sebelumnya singkong yang sudah dipotong-potong dicuci untuk

melarutkan sisa-sisa HCN dan KCN serta dibilas. Singkong yang digoreng

memerlukan minyak yang panas sebagai medianya. Di dalam minyak sianida

tidak larut, namun karena adanya pemanasan yang tinggi, sianida akan menguap

dan akan menurunkan sebagian kadar sianida didalam singkong tersebut.

Anda mungkin juga menyukai