Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH KIMIA PANGAN

TOKSIKAN DALAM BAHAN PANGAN

Di susun oleh :

Noval Fernanda 2017340039

Jurusan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pangan dan Kesehatan

Universitas Sahid

2019
1. PENDAHULUAN

Pangan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar karena


berpengaruh terhadap eksistensi dan ketahanan hidup manusia. Bahan makanan
sering juga disebut bahan pangan, dan dalam perdagangan disebut komoditi
pangan, ialah apa yang kita produksi atau perdagangkan, misalnya daging, sayur,
buah dan ikan.
Menurut Undang-Undang No.7 tahun 1996, keamanan pangan didefinisikan
sebagai suatu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari
kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Sebelum makanan disajikan
pada umumnya mengalami proses pengolahan baik pada suatu industri maupun
pengolahan pada rumah tangga. Proses pengolahan tersebut sangat menentukan
kualitas makanan yang selanjutnya sampai pada penyajian.
Racun adalah zat atau senyawa yang dapat masuk kedalam tubuh dengan berbagai
cara yang menghambat respons pada sistem biologis sehingga dapat
menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan bisa menyebabkan
kematian. Umumnya berbagai bahan kimia yang mempunyai sifat berbahaya atau
bersifat racun telah diketahui. Namun,tidak demikian halnya dengan beberapa
jenis hewan dan tumbuhan , termasuk beberapa jenis tanaman pangan yang
ternyata dapat mengandung racun alami, walaupun dengan kadar yang sangat
rendah (Sediaoetama, 2004).

2. TUJUAN
1) Mengetahui toksikan alami dalam bahan pangan
2) Mengetahui mekanisme toksik yang dapat meracuni tubuh serta
pencegahannya
3) Mengetahui toksik yang diakibatkan oleh proses pengolahan
pangan
4) Pembentukan toksik oleh proses pengolahan pangan
5) Mengetahui dampak toksik dalam tubuh

3. MANFAAT
Diharapkan dengan adanya makalah ini, mahasiswa dapat mengetahui
berbagai jenis toksikan alami pada bahan pangan, mekanisme toksikan
dan mengetahui cara pencegahan pembentukan toksik
1. Toksikan dalam bahan pangan

A. Toksikan Alami

Sejumlah jenis bahan makanan sudah mengandung bahan beracun secaraalamiah


sejak asalnya. Racun ini berupa ikatan organik yang disintesa (hasilmetabolisme)
bahan makanan, baik makanan nabati maupun bahan makananhewani, seperti
jenis ikan tertentu, kerang-kerangan dan sebagainya.

1) Kacang Merah

Kacang merah mengandung racun alami yang sering disebut


fitohemaglutinin. Konsumsi kacang merah dalam keadaan mentah atau
yang dimasak kurang sempurna dapat mengakibatkan keracunan yang
ditandai dengan mual, muntah, dan nyeri perut yang diikuti diare. Kacang
merah yang setengah matang lebih beracun dibanding kacang merah
mentah. Dengan demikian, kita harus berhati-hati dalam pengolahannya.
Pastikan benar-benar matang baru kemudian dapat dikonsumsi. Akan lebih
baik jika kacang merah mentah direndam dalam air bersih selama minimal
5 jam, air rendamannya dibuang, lalu direbus dalam air bersih sampai
mendidih selama 10 menit, lalu didiamkan selama 45-60 menit sampai
teksturnya lembut. Cara ini akan lebih mengurangi risiko terjadinya
keracunan.

2) Singkong

Singkong mengandung racun linamarin dan lotaustralin, yang termasuk


golongan glikosida sianogenik. Singkong tipe pahit mengandung kadar
racun yang lebih tinggi daripada tipe manis. Jika singkong mentah atau
yang dimasak kurang sempurna dikonsumsi maka racun tersebut akan
berubah menjadi senyawa kimia yang dinamakan hidrogen sianida, yang
dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Meskipun sejumlah kecil sianida
masih dapat ditoleransi oleh tubuh, jumlah sianida yang masuk ke tubuh
tidak boleh melebihi 1 mg per kilogram berat badan per-hari. Gejala
keracunan sianida pada singkong diantaranya adalah penyempitan
kerongkongan, mual, muntah, sakit kepala, bahkan pada kasus berat dapat
menimbulkan kematian. Untuk mencegah keracunan, sebelum dikonsumsi
sebaiknya singkong dicuci untuk menghilangkan tanah yang menempel.
Kulitnya dikupas, dipotong-potong, direndam dalam air bersih yang hangat
selama beberapa hari, dicuci, lalu dimasak sempurna, baik itu dibakar atau
direbus.

Pemrosesan meliputi fermentasi, pengupasan, pengeringan dan dimasak


untuk menghilangkan racun. Memakannya dalam keadaan mentah atau
tanpa pemrosesan, lanjut Peter, berati makan sianida yang mana bisa
berpengaruh pada hormon tiroid dan merusak sel saraf otak yang
berhubungan dengan gerakan. Racun dalam umbi juga bisa mengakibatkan
kelumpuhan

3) Kentang

Racun alami yang dikandung oleh kentang termasuk dalam golongan


glikoalkaloid, dengan dua macam racun utamanya solanin danchaconine.
Kentang yang berwarna hijau bertunas, dan secara fisik telah rusak atau
membusuk dapat mengandung kadar glikoalkaloid yang tinggi. Racun
tersebut terdapat pada daerah yang berwarna hijau, kulit, atau daerah di
bawah kulit sehingga jangan sekali-kali kita memilih kentang dengan
tampilan fisik demikian. Kadar glikoalkaloid yang tinggi dapat
menimbulkan rasa pahit, dan gejala keracunan berupa rasa seperti
terbakar di mulut, sakit perut, mual, dan muntah. Sebaiknya, kentang
disimpan di tempat yang sejuk, gelap, dan kering serta dihindarkan dari
paparan sinar matahari atau sinar lampu. Untuk mencegah terjadinya
keracunan, sebaiknya kentang dikupas kulitnya dan dimasak sebelum
dikonsumsi.

4) Jengkol
Jengkol mengandung asam jengkol (jengkolic acid) yang dapat
mengakibatkan penyakit yang menyerang saluran perkencingan.
Keracunan jengkol ditandai dengan sedikitnya air kencing yang dihasilkan,
serta rasa pegal dan melilit di daerah pinggang. Keracunan ini biasanya
timbul apabila seseorang mengonsumsi jengkol mentah karena umunya
kadar asam jengkol akan menurun apabila jengkol telah dimasak. Untuk
itu, masaklah jengkol sampai benar-benar matang kalau memang ingin
mengonsumsi jengkol dengan aman.

5) Biji Buah-Buahan

Beberapa biji buah-buahan mengandung racun glikosida sianogenik


seperti apel, aprikot, pir, plum, ceri, dan peach. Namun kita tidak perlu
khawatir dengan buahnya sebab walaupun bijinya mengandung racun,
daging buahnya tidak beracun. Secara normal, glikosida sianogenik itu
tidak membayakan. Namun, ketika biji segar buah-buahan tersebut
terkunyah maka zat tersebut berubah menjadi hidrogen sianida, yang
bersifat racun. Gejala keracunannya mirip dengan gejala keracunan
singkong dan pucuk bambu. Untuk menghindari keracunan, terutama pada
anak-anak, sebaiknya orangtua memotong buah tersebut terlebih dahulu
untuk menghilangkan bijinya sebelum memberikan pada anak-anak.

cara mengurangi risiko keracunan makanan akibat mengkonsumsi buah-buahan


atau sayuran :

a) Seleksi makanan
1) Membeli sayuran dan buah-buahan yang masih dalam keadaan
baik.
2) Tidak membeli kentang yang berwarna hijau atau yang telah
bertunas.
3) Tidak mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran mentah atau yang
dimasak tidak sempurna, bila buah-buahan dan sayuran tersebut
biasa dikonsumsi setelah dimasak sempurna.
b) Persiapan dan konsumsi
1) Memasak kacang merah, singkong, dan pucuk bambu secara
sempurna pada suhu didih setelah sebelumnya direndam dalam
air bersih dan dicuci dengan air bersih.Ketika mengkonsumsi
buah-buahan segar, hindari mengkonsumsi biji buah-buahan
sepertiapel, apr
2) ikot, pir, dll, meskipun daging buah-buahan tersebut aman untuk
dikonsumsi.
3) Menyimpan kentang di tempat yang gelap, sejuk, dan kering.
Hindari mengkonsumsi kentang yang menunjukkan tanda-tanda
hijau, bertunas, dan membusuk.

1. Mengapa kentang harus disimpan di tempat yang gelap dan kering


?

Jika kentang terpapar sinar, baik itu sinar matahari maupun sinar
lampu dalam waktu lama, maka jumlah solanin yang dibentuk
pada kulit kentang akan meningkat sehingga risiko keracunannya
pun dapat meningkat pula.

2. Bagaimanakah langkah-langkah untuk mengurangi risiko


keracunan akibat mengkonsumsi pucuk bambu ?

Glikosida sianogenik yang terkandung pada bambu segar dapat


terdekomposisi dengan cepat pada proses perebusan hingga suhu
didih. Telah diketahui bahwa perebusan pucuk bambu pada suhu
98oC selama 20 menit dapat menghilangkan hampir 70% sianida
yang terkandung, sedangkan perebusan pada suhu yang lebih
tinggi serta jangka waktu yang lebih lama dapat menghilangkan
sianida lebih dari 96%. Kadar sianida yang tinggi dapat
dihilangkan dengan proses pemasakan selama 2 jam.

B. Toksik yang dihasilkan pada proses pengolahan pangan

Tahap proses pengolahan pangan merupakan tahap yang paling potensial untuk
bercampunrnya pangan dengan bahan bahan kimia berbahaya karena pada proses
ini sering ditambahkan bahan tambahan pangan (BTP).
Bahan tambahan pangan secara umum adalah bahan yang biasanya tidak
digunsksn sebagai makanan dan biasanya bukan merupaan komponen khas
makanan,mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja
ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pengolahan.

Jenis bahan tambahan pangan ada dua jenis yaitu GRAS (General Rocognized as
Safe), zat ini aman dan tidak berefek toksisk misalnya gula (glukosa). Sedangkan
jenis lainnya yaitu ADI (Acceptable Daily Intake) jenis ini selalu ditetapkan batas
penggunaan hariannya (daily Intake) demi menjaga melindungi kesehatan
konsumen.

1. Akrilamida

Akrilamida ditemukan pada beberapa makanan tertentu misalnya keripik


kentang, kentang goreng, sereal dan roti, yang dalam proses dan
pembuatannya menggunakan suhu tinggi. Dimana dengan meningkatnya
pemanasan dan bertambahnya waktu, dapat meningkatkan kadar
akrilamida. Kajian awal Mottram et al. (2002) dan Stadler et al. (2002)
menduga kuat bahwa pembentukan akrilamida dalam kentang yang
dipanaskan sebagai hasil dari reaksi asam amino seperti aspargine (dan
beberapa glutamine) dan gula reduksi (glukosa dan fruktosa).

Mekanisme utama pembentukan akrilamida dalam makanan melalui


reaksi Maillard, yaitu reaksi antara gula reduksi hasil degradasi pati
(karbohidrat) (seperti glukosa dan fruktosa) dengan asam amino bebas
(seperti alanin, asparagin, glutamin, dan metionin) yang terdapat secara
alami dalam bahan pangan dengan pemanasan menggunakan suhu tinggi.
Biasanya peristiwa ini terjadi pada saat penggorengan, pemanggangan
atau pembakaran. Ketiga proses inilah yang bertanggung jawab terhadap
tinggi-rendahnya akrilamid dalam pangan. Semakin gelap warna produk
akibat pemasakan, makin banyak kandungan akrilamida di dalamnya.

Akrilamida (CH2=CHCONH2, CAS Registry Number 79-0601) merupakan


Berbentuk kristal padat berwarna putih, tidak berbau, Highly soluble in
water, etanol, eter dan kloroform, moderatly soluble in solvent organik,
density 1.123 g/cm3 30o C. memiliki berat molekul 71, meleleh pada suhu
84,5 oC, dan mendidih pada suhu 125 oC, larut dalam air, aseton, dan
etalolini, mudah bereaksi melalui reaksi amida atau ikatan rangkapnya,
pada proses pembakaran menghasilkan zat-zat yang berbahaya bagi
kesehatan, seperti amonia, karbonmonoksida, dan nitrogen oksida.
Akrilamida umumnya digunakan di industri sebagai bahan penjernih air
minum, bahan baku perekat, plastik, tinta cetak, zat warna sintetik, zat
penstabil emulsi, kertas, dan kosmetik. Selain itu, akrilamida sering
digunakan sebagai kopolimer pada pembuatan lensa kontak.

Bahaya Acrylamide:

a) bersifat neurotoxic berarti toksiknya menyerang jaringan syaraf peripheral


pada manusia dan menyebabkan iritasi pada kulit dan mata.

b) Acrylamide merupakan zat penyebab kanker (carcinogenic) yang merusak


DNA dengan sebuah mutasi spektrum , dimana acrylamide dihasilkan jika
bahan pangan diproses pada temperature > 120 oC) Acrylamide mampu
memutasikan DNA dalam sel embrio tikus. Sel embrio yang terekspos
akrilamide mengalami peningkatan jumlah akibat termutasi (Simonne A. H
and Archer D. L. 2006).
Hasil review Claus et al (2008) juga melaporkan bahwa studi onkogenik
pada tikus Fischer yang menerima 2 mg akrilamida/kg BB secara nyata
meningkatkan tumor pada kelenjar thyroid, testes, sistem saraf pusat,
uterus, dan jaringan lain (Johnson et al. 1986). Walaupun demikian, dari
semua kajian penggunaan dosis akrilamida yang tinggi dengan hewan
percobaan, tidak mudah untuk diekstrapolasi menjadi acrylamide intake
melalui pangan pada manusia.
2. Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH)

Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) adalah polutan atmosfer kuat yang


terdiri dari cincin aromatik menyatu dan tidak mengandung heteroatom
atau membawa substituen. HCA terbentuk ketika asam amino, gula, dan
creatine (zat yang ditemukan dalam otot) bereaksi pada suhu tinggi, yang
dikenal sebagai proses pirolisis. PAHs terbentuk ketika lemak dan cairan
dari daging panggang langsung di atas api terbuka menetes ke dalam api,
menyebabkan api mengandung PAH yang kemudian melekat pada
permukaan daging. PAH juga dapat terbentuk selama proses persiapan
makanan lain, seperti proses pengasapan daging.

Pembentukan HCA dan PAH bervariasi menurut jenis daging, metode


memasak, dan tingkat “kematangan” (rare, medium atau well done).
Apapun jenis daging ketika memanggang penggorengan pada suhu tinggi,
atau yang dimasak untuk waktu yang lama cenderung terbentuk lebih
banyak HCA. Metode memasak yang mengekspos daging untuk dengan
pengasapan atau menjadi hangus berkontribusi pada pembentukan PAH.

HCA dan PAH menjadi mampu merusak DNA setelah mereka


dimetabolisme oleh enzim tertentu di dalam saluran cerna, yaitu β-
glucuronidase yaitu enzim yang dihasilkan oleh bakteri dalam saluran
cerna, serupa dengan enzim β-galactosidase dari Escherichia coli, proses
yang disebut “bioaktivasi.” Penelitian telah menemukan bahwa aktivitas
enzim ini, yang dapat berbeda antara orang-orang tergantung dari profil
mikrobiota saluran cerna, sangat relevan dengan risiko kanker yang terkait
dengan paparan senyawa ini .
peneliti menemukan bahwa konsumsi tinggi produk makanan berprotein
dan lemak tinggi, baik di goreng, atau panggang terbukti terjadinya
peningkatan risiko kanker kolorektal, kanker pankreas, dan kanker prostat.
Berbagai jenis ikan bakar, banyak mengandung senyawa mutagen yang
kuat, yaitu MeIQ dan IQ.

cara mengurangi HCA dan formasi PAH dalam daging yang dimasak :
Menghindari pemanggangan dengan api langsung atau permukaan logam
panas dan menghindari waktu memasak yang lama pada suhu tinggi.
Menggunakan oven microwave untuk memasak daging sebelum terkena
suhu tinggi dapat juga secara substansial mengurangi pembentukan HCA
dengan mengurangi waktu daging dalam kontak dengan panas tinggi untuk
selama pemasakan. Membalik secara berkala ketika memanggang sate,
hamburger maupun steak. Membuang bagian hangus daging dan
mengurangi dalam menggunakan saus gravy juga dapat mengurangi HCA
dan paparan PAH. Hindari penggunaan minyak goreng secara berulang kali
yang melibatkan oksidasi dan polimerisasi yang menghasilkan asam lemak
trans dan terbentuknya radikal bebas. (Ingrid S. Surono)

3. Toksin lisinoalanin

berasal dari bahan pangan berprotein yang diolah secara tidak benar.
Bahan pangan berprotein tersebut misalnya terdapat pada daging, susu,
telur, dan lainnya. Lisinoalanin merupakan hasil reaksi asam amino yang
ditemukan pada bahan pangan berprotein yang diberi perlakuan alkali,
pemanasan dengan suhu tinggi dalam waktu yang lama. Pembentukan
lisinoalanin akan menurunkan daya cerna protein karena terbentuknya
ikatan silang antar protein. Lisinoalanin terdiri dari residu lisin yang grup
epsilon aminonya terikat pada grup metil residu alanin. Jika kedua residu
tersebut terdapat dalam rantai protein, maka akan membentuk ikatan
menyilang intra-molekuler atau antar-molekul protein. Lisinoalanin ini
bukan suatu dipeptida karena tidak mempunyai grup peptida, serta jika
dihirolisis dengan asam tidak menghasilkan dua asam amino. Terdapat 4
stereoisomer yang mungkin terjadi, yaitu LL, LD, DL, dan DD. Dari keempat
stereoisomer tersebut, ditemukan bahwa isomer LD adalah isomer yang
paling aktif yeng mengakibatkan terjadinya sitomegali. Terdapat dua
mekanisme pembentukan lisinoalanin yaitu melalui reaksi beta-eliminasi
dan reaksi substitusi

Berikut ini merupakan mekanisme pembentukan lisinoalanin

1. Mekanisme Pembentukan Lisinoalanin Melalui Reaksi Beta-Eliminasi

Pada kondisi alkali atau di bawah kondisi alkali, lisin akan bergabung
dengan residu dehiroalanin yang dibentuk melalui reaksi beta-
eliminasi dari sistein, fosforilserin, atau glikosilserin. Selama
pembentukannya, atom H dapat diberikan kembali kepada kedua sisi
cis atom C dehiroalanin, sehingga bagian alanin dari Lisinoalanin yang
terbentuk dapat berupa isomer L-V atau D-V. oleh karena itu, secara
teoritis LL-LAL dan DL-LAL dapat terbentuk dalam suatu protein
dengan jumlah yang sama. Isomer DL- dan DD- juga dapat terbentuk
dalam alkali kuat jika lisin mengalami reseminasi.

2. Mekanisme Pembentukan Lisinoalanin Melalui Reaksi Substitusi

Pada proses pembentukan lisinoalanin melalui reaksi substitusi, lisin


akan bergabung secara langsung dengan fosforilserin tanpa melalui
dehidroalanin. Hal tersebut akan menghasilkan isomer LL- yang
kurang aktif serta dimungkinkan merupakan jalur pembentukan LAL
dalam susu.

mencegah kerusakan lisin. Pada susu formula, diminimalisirkan pada


proses sterilisasi untuk selalu menghindarkan terbentuknya LAL.
Lisinoalanin dapat terbentuk karena perlakuan alkali atau pH basa.
Oleh karena itu, untuk mencegah terbentuknya lisinoalanin bahan
pangan tidak diberi perlakuan alkali melainkan ditempatkan pada pH
kurang dari pH netral. Usaha lain untuk mengurangi terbentuknya LAL
yaitu dengan penurunan pH serta suhu pada proses pengolahan atau
menggunakan pH dan suhu yang sesuai, menutupi grup epsilon-amino
lisin dengan bahan pengasilasi (acylating agents) atau gula, serta
dengan adanya oksidasi sistein yang berubah menjadi asam sistein
sulfonat.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.pom.go.id/mobile/index.php/view/berita/157/RACUN -ALAMI-
PADA-TANAMAN-PANGAN.html

Yuliarti, N. (2007). Awas Bahaya di Balik Lezatnya Makanan. Yogyakarta:


Andi Offset.

https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170411140436-262-
206652/delapan- jenis-buah-dan-sayur-yang-mengandung-racun/
Amrein, T., Bachmann, S., Noti, A., Bi edermann, M., Barbosa, M.,
Biedermann, B., Grob, K., Keiser, A., Realini, P., Escher, F., & Amado, R.
(2003). Potential of acrylamide formation, sugars, and free asparagine in
potatoes: A comparison of varietys and farming systems. Journal of
Agricultural and Food Chemistry 51: 5556 -5560.

Amrein, T. M., Schonbachler, B., Rohner, F., Lukac, H., Schneider, H., Keiser,
A., Escher, F., & Amado, R. (2004). Potential for acrylamide formation in
potatoes: data from the 2003 harvest. European Food Research and
Technology 219:572-578.

https://www.academia.edu/5795312/PAPER_KEAMANAN_PANGAN_DA
N_TOKSIKOLOGI_TOKSIN_LISINOALANIN

Anda mungkin juga menyukai