Anda di halaman 1dari 15

Tugas Mandiri Mikrobiologi I

Blastomikosis Paru Yang Disebabkan Oleh Jamur


Blastomyces dermatidis

Oleh:
Yasmin Safira Virgiani

021711133085

MIKROBIOLOGI1-DEPARTEMEN BIOLOGI ORAL

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI-UNAIR


Semester Genap – 2017/2018

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puji dan syukur atas kehadiran-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat dah hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ilmiah ini.
Makalah ilmiah ini penulis susun dengan semaksimal mungkin dengan
berbagai bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih
kepada segala pihak yang telah mendukung proses pembuatan makalah ilmiah ini
sehingga dapat terselesaikan.
Terlepas dari semua itu, penulis memohon maaf apabila ada kekurangan
dalam segi susunan kalimat maupun tata bahasa baik disengaja maupun tidak
disengaja. Oleh karena itu kami sangat menerima kritik dan saran dari pembaca untuk
memperbaiki makalah ini.
Penulis berharap makalah ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun
pembaca. Semoga dengan penulisan makalah ilmiah ini penulis dan pembaca dapat
lebih mengenal dan mengetahui tentang blastomikosis paru secara lebih mendalam.

Surabaya, 20 Mei 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL…………………………..…………………………………….i
KATA PENGANTAR…………………………..…………………………………….ii
DAFTAR ISI…………………………………..……………………………………..iii
DAFTAR GAMBAR…………………………..……………………………………..iv
BAB 1. PENDAHULUAN…………………………..………………………………..1
1.1 Latar Belakang……………….……………………………….……….1
1.2 Rumusan Masalah…………..……………………………...….………2
1.3 Tujuan Penulisan…………...……………………………..…………..2
1.4 Manfaat Penulisan………..……………………………..……………2
BAB 2. TINJAUN PUSTAKA…………………………………..…………………...3
2.1 Blastomycoses dermatidis………….………………………..………...3
2.2 Patogenesis Blastomikosis……………………………….……………4
2.3 Manifestasi Klinis……..………………………………………………4
2.4 Pengobatan Blastomikosis……………………………..….………….6
BAB 3. PEMBAHASAN…………………………………………………………….8
BAB 4. PENUTUP…………………………………………………………………10
4.1 Kesimpulan……………………………………………..………..….10
4.2 Saran…………………………………………………………………10
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...11

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 (A) yeast cell, (B) Blastomyces dermatidis pada suhu kamar…….….….4
Gambar 2.3 lesi kulit dalam bentuk verukosa pada penderita blastomikosis…………6
Gambar 2.3 lesi kulit dalam bentuk verukosa pada penderita blastomikosis…………9

iv
BAB 1
PEMBUKAAN

1.1 Latar Belakang


Jamur yang dapat menyebabkan infeksi disebut dengan mikosis. Angka
kejadian mikosis paling tinggi disebabkan oleh mikroorganisme normal yang ada
pada tubuh manusia. Berdasarkan lokasi infeksi mikosis diklasifikasikan menjadi
beberapa jenis: mikosis superficial, mikosis cutaneus, mikosis subkutan, mikosis
sistemik (menyerang organ dalam) (Jawetz et al, 2013, h. 671). Mikosis endemik
adalah infeksi jamur sistemik yang disebabkan oleh patogen yang endemik di daerah
beriklim sedang. Infeksi ini diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu mikosis primer
dan mikosis opurtunistik. Jamur yang termasuk mikosis primer antara lain
Histoplasma sp, Coccidioides sp, Paracoccidioides sp, Blactomyces dermatidis, dll
(Morant et al, 2018). Infeksi mikosis primer biasanya tidak menunjukan gejala yang
signifikan dan dapat sembuh tanpa pengobatan. Namun beberapa pasien dapat
mengalami penyakit paru yang mungkin dapat menyebar ke organ lain (Jawetz et al,
2013, h. 672).
Blastomyces dermatidis merupakan jamur yang hidup hanya pada area
tertentu saja (Kauffman dan Miceli, 2015). Blastomyces dermatidis dapat
menyebabkan penyakit blastomikosis. Blastomikosis secara umum sering terjadi pada
paru-paru dan dikenal sebagai blastomikosis paru. Jamur ini adalah organisme
dimorfik yang ada di alam dalam bentuk filament (miselium) di tanah dan berfungsi
untuk mengurai bahan organik (Mondada et al, 2014). Angka kematian akibat
blastomikosis lebih sering terjadi di usia dewasa dibandingkan dengan usia muda, dan
lebih sering terjadi pada pria dibanding pada wanita (Khuu et al, 2014).
Untuk mengatasi mikosis endemik, inang mempunyai pertahanan awal berupa
makrofag alveolar, yang biasanya mampu menonaktifkan konidia dan menginduksi
respon imun yang kuat. Sebagian besar infeksi mikosis endemik biasanya terjadi pada

1
individu yang mempunyai imunokompeten yang baik, tetapi apabila hal ini terjadi
pada individu yang mempunyai gangguan imunitas seluler, seperti pasien penderita
HIV/AIDS, maka infeksinya akan menjadi infeksi yang sangat serius (Jawetz et al,
2013, h. 686).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu blastomikosis paru?
2. Bagaimana proses terjadinya blastomikosis paru?
3. Bagaimana cara mengatasi blastomikosis paru?
1.3 Tujuan Penulisan
Untuk lebih memahami penyakit blastomikosis pulmonalis yang disebabkan
oleh Blastomyces dermatidis, cara mengatasinya, dan apa saja yang dapat terinfeksi
oleh jamur Blastomyces dermatidis.
1.4 Manfaat Penulisan
Mengetahui penyakit blastomikosis paru secara lebih mendalam sehingga
lebih waspada dan lebih tanggap dalam mengobati apabila sudah terkena
blastomikosis paru.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Blastomyces dermatidis


Blastomyces dermatidis adalah jamur yang dimorfik yang tumbuh sebagai
mold di lingkungan dan yeast pada jaringan (Smith dan Kauffman, 2010). Pada suhu
37ºC atau suhu tubuh manusia, jamur ini akan berubah menjadi yeast yang besar dan
baru saja tumbuh (Jawetz et al, 2013, h. 692). Blastomyces dermatidis adalah jamur
yang dapat menyebabkan penyakit blastomikosis. Blastomikosis infeksi utamanya
terjadi pada paru-paru, tetapi sering juga terjadi pada kulit, struktur osteoarticular,
saluran genitourinary, dan organ lainnya (Zhu et al, 2017). Blastomikosis sangat
jarang terjadi dan biasanya terjadi pada orang-orang yang memiliki banyak aktivitas
di luar ruangan (American Thoracic Society, 2013).
Mekanisme utama terjadinya blastomikosis adalah terhirupnya conidia pada
fase mold di lingkungan (Kauffman dan Miceli, 2015). Dengan adanya conidia pada
daerah yang yang terkontaminasi Blastomyces dermatidis maka udara yang ada di
daerah tersebut akan ikut terganggu. Blastomyces dermatidis akan terhirup dan masuk
kedalam paru-paru, kemudian akan mengalami fase transisi menjadi fase yeast
infasiv. Infeksi akan berkembang di paru-paru, dan karena adanya keterbatasan
tempat maka infeksi tersebut dapat menyebar dan mengakibatkan infeksi
ekstrapulmoner yang mempengaruhi sistem organ lain (Khuu et al, 2014). Respon
dari inang berupa sistem kekebalan sel T dan neutrofil. Sampai saat ini belum ada
laporan yang menyatakan Blastomyces dermatidis dapat ditularkan melalui
tranplantasi organ (Kauffman dan Miceli, 2015). Namun apabila Blastomyces
dermatidis menginfeksi sistem saraf pusat hal tersebut dapat menyebabkan meningitis
dan dengan dilakukannya tranplantasi organ lebih memicu terjadinya meningitis
(American Thoracic Society, 2013)

3
A B
Gambar 2.1 (A) yeast cell, (B) Blastomyces dermatidis pada suhu kamar (Jawetz et al, 2013, h. 692)
2.2 Patogenesis Blastomikosis
Infeksi pada manusia akan terjadi pada paru-paru (Jawetz et al, 2013, h. 692).
Blastomyces dermatidis akan menginfeksi saat sedang berada dalam fase konidia atau
dalam keadaan materi yang sudah membusuk kemudian terhirup dan masuk ke dalam
paru-paru (Castillo et al, 2015). Saat masuk kedalam tubuh maka akan terjadi
peningkatan suhu, karena suhu tubuh relatif lebih tinggi dari suhu lingkungan maka
akan terjadi konversi dari fase spora ke fase yeast (Yildiz et al, 2016). Beberapa
faktor host lokal akan terpicu dengan terhirupnya Blastomyces dermatidis ke dalam
paru-paru. Makrofag akan teraktivasi untuk membunuh memfagosit mikroorganisme
tersebut sehinga dapat menghambat perubahan ke fase yeast. Neutrofil dan makrofag
akan memfagosit organisme pada fase yeast. Limfosit T akan mengendalikan infeksi
yang disebabkan oleh Blastomyces dermatidis sehingga akan peka dengan antigen
Blastomyces dermatidis dan akan mendorong makrofag untuk melakukan fagosit
melakukan fagosit pada fase yeast (Smith dan Kauffman, 2010). Imunitas humoral
hanya memiliki sedikit pengaruh untuk mengatasi infeksi (Castillo et al, 2015).
2.3 Manifestasi Klinis
Masa inkubasi untuk blastomikosis adalah 3-15 minggu. Sekitar 30%-50%
infeksi blastomikosis tidak menunjukan gelaja apapun (Khuu et al, 2014).
Blastomikosis akan menunjukan gejala berupa batuk, demam, produksi dahak, dada
nyeri, penurunan berat badan, sesak nafas, nyeri sendi dan nyeri pada beberapa
bagian tubuh (Zhu et al, 2017). Gejala yang muncul memiliki kemiripan dengan

4
penyakit lain seperti bakteri pneumonia, influenza, tuberkulosis, infeksi jamur
lainnya, dan beberapa keganasan (Khuu et al, 2014).
2.3.1 Blastomikosis Paru
Berdasarkan data yang ada lebih dari 79% penderita blastomikosis mengalami
infeksi pada paru-parunya (McBride et al, 2017). Pasien dengan blastomikosis paru
akut akan mengalami batuk dengan atau tanpa dahak, demam, menggigil, malaise,
nyeri pleuritik. Pasien dengan blastomikosis paru kronik akan mengalami demam,
penurunan berat badan, dan akan berkeringat di malam hari (Castillo et al, 2015).
Gejala dan hasil radiografi blastomikosis kronik biasanya tidak spesifik, dan
gejalanya mirip dengan yang lain seperti neoplasma paru dan tuberkulosis (McBride
et al, 2017).
Pasien dengan blastomikosis akut akan mengalami infeksi yang relatif dapat
terjadi secara waktu yang cepat sehingga sering terjadi gagal napas (McBride et al,
2016). Blastomikosis akut sering terjadi pada anak-anak (Gauthier dan Klein, 2018).
2.3.2 Blastomikosis Ekstrapulmoner
Blastomyces dermatidis dapat menginfeksi organ lain di dalam tubuh selain
paru-paru. Berdasarkan data yang ada 25%-40% gejala blastomikosis adalah
ekstrapulmoner dan manifestasinya sering terjadi saat manifestasi pada paru-paru
dalam keadaan bersih (Castillo et al, 2015). Gejala blastomikosis ekstrapulmoner
dapat terjadi pada kulit, osteoarticular, sistem saraf pusat (CNS), dan genitourinary
(McBride et al, 2017).
Lesi pada kulit terjadi sampai 60% pada blastomikosis ekstrapulmoner. Lesi
pada kulit dapat muncul didaerah manapun tetapi pada umumnya terjadi di daerah
yang terbuka atau sering terpapar oleh lingkungan luar. Lesi biasanya dalam bentuk
verukosa (Castillo et al, 2015). Tulang adalah gajela blastomikosis kedua yang sering
terjadi dengan tingkat kejadian 5%-25%. Blastomikosis osteoarticular akan
mengalami nyeri pada tulang yang dapat terjadi karena jaringan lunak yang abses,
saluran sinus yang mongering, atau ulkus kulit. Infeksi pada tulang dapat menyebar
ke sendi dan jaringan lunak terdekat sehingga dapat menyebabkan terjadinya arthritis

5
dan abses. Kerusakan tulang progresif dapat menyebabkan fraktur patologis (Mcbride
et al, 2017). Gejala pada sistem saraf pusat (CNS) dapat terjadi sekitar 5%-10%.
Manifestasinya mencakup meningitis akut, meningitis kronis terisolasi, dan abses
intrakranial (Castillo et al, 2015).

Gambar 2.3 lesi kulit dalam bentuk verukosa pada penderita blastomikosis (Castillo et al,
2015).
2.4 Pengobatan Blastomikosis
Berdasarkan ketetapan yang dipublikasikan oleh Infectious Diseases Society
of America (IDSA) bahwa semua pasien yang menderita blastomikosis, atau bahkan
hanya lesi kulit tunggal, harus diberikan obat antijamur untuk mencegah infeksi dapat
berkembang atau kambuh kembali (Smith dan Kauffman, 2010). Blastomikosis yang
parah dapat diterapi dengan pemberian amfoterisin B, dan untuk lesi yang terbatas
pemberian intrakonazol selama 6 bulan dinilai efektif (Jawetz et al, 2013, h. 693).
Formulasi lipid pada amfoterisin B telah menggantikan amfoterisin B
deoxycholate di bidang kedokteran karena formulasi lipid lebih tidak nephrotoxic
(Smith dan Kauffman, 2010). Untuk infeksi opurtunistik, liposomal amfoterisin B
lebih disarankan karena data pasien AIDS dengan infeksi opurtunistik menunjukan
bahwa tidak hanya lebih tidak beracun, tetapi juga lebih manjur Intrakonazol juga
diberikan pada pasien yang mengalami infeksi opurtunistik (biasanya terjadi pada
penderita HIV) (Kauffman dan Miceli, 2015). Intrakonazol merupakan pilihan terapi
azol pada penderita yang mengalami infeksi opurtunistik. Intrakonazol merupakan
agen yang digunakan sebagai terapi step-down setelah pemberian amfoterisin B dan

6
terapi awal penerima transplantasi organ dengan infeksi pulmonal akut terlokalisasi
ringan (Smith dan Kauffman, 2010).

7
BAB 3
PEMBAHASAN

Blastomyces dermatidis dapat menyebabkan terganggunya sistem imun


seseorang (Limper, 2014). Blastomyces dermatidis merupakan jamur yang dapat
menyebabkan terjadinya blastomikosis. Blastomikosis merupakan infeksi jamur
sistemik dan kulit yang terjadi pada manusia, anjing, dan hewan lainnya
(Baumgardner et al, 2015). Meskipun infeksi yang disebabkan oleh jamur
Blastomyces dermatidis sebagian besar terjadi pada orang dengan gangguan
kekebalan tubuh, namun tidak menutup kemungkinan orang dengan kekebalan tubuh
normal dapat terinfeksi oleh jamur ini (Zhu et al, 2017). Penyakit paru merupakan
manifestasi paling umum dari infeksi Blastomyces dermatidis yang dikenal dengan
blastomikosis paru (Baumgardner et al, 2015).
Saat dilakukan x-ray kebanyakan blastomikosis paru menunjukan hal yang
sama dengan penyakit bakteri pneumonia , tumor, tuberkulosis, ARDS (acute
respiratory distress syndrome). Oleh karena itu pemeriksaan lebih lanjut harus
dilakukan seperti pemeriksaan histologis dahak, bronchalveolar lavage fluid (BALF),
atau jaringan biopsi paru agar blastomikosis pulmonal dapat terdiagnosis secara cepat
dan tepat (Zhu et al, 2017). Blastomikosis lebih sering terjadi pada laki-laki
dibanding pada wanita karena laki-laki lebih memiliki banyak aktivitas yang terpapar
dengan lingkungan luar (Castillo et al, 2015). Individu yang kontak erat dengan tanah
yang lembab atau yang dekat dengan air, atau tinggal di daerah hutan yang padat
biasanya juga memiliki risiko yang tinggi untuk menghirup Blastomyces dermatidis
(Zhu et al, 2017). Pada individu yang simtomatik, penyakit biasanya dimulai setelah
30-45 hari setelah terpapar, dan biasanya bermanifestasi sebagai infeksi paru ringan
(Smith dan Kauffman, 2010).
Yeast dengan diameter 8-15µm dan struktur granulomatosa multinuklear
merupakan temuan khas dari blastomikosis paru (Zhu et al, 2017). Di lingkungan

8
Blastomyces dermatidis berada dalem fase mold sebagai koloni berwarna putih yang
kemudian perlahan berubah menjadi warna coklat terang. Koloni tersebut terdiri dari
hifa bersepta yang memproduksi konidia. Di lingkungan konidia dalam bentuk
aerosol, yang kemudian aerosol akan terhirup dan masuk ke dalam tubuh manusia
yang menyebabkan terjadinya infeksi blastomikosis pada paru-paru. Saat masuk ke
dalam tubuh konidia sangat rentan terhadap fagositosis makrofag dan neutrofil.
Konidia yang tidak terkena sistem imun bawaan akan berubah menjadi fase yeast.
Setelah berubah ke fase yeast, Blastomyces dermatidis dapat menyebar secara
hematogen ke banyak organ lain (Castillo et al, 2015).

Gambar 3.1 Patogenesis blastomikosis paru(Costilla et al, 2016)


Pengobatan pertama yang dapat dilakukan untuk mengobati blastomikosis
adalah dengan memberikan intrakonazol pada penyakit paru-paru ringan hingga
sedang, tetapi amfoterisin B diperlukan pada individu yang mengalami blastomikosis
sedang sampai berat (Zhu et al, 2017).

9
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Blastomyces dermatidis merupakan jamur yang dapat menyebabkan terjadinya
penyakit blastomikosis. Manifestasi umum dari blastomikosis adalah penyakit paru
yang dikenal dengan blastomikosis paru. Selain mengenai paru Blastomyces
dermatidis juga dapat menyebebkan infeksi pada organ lainnya. Blastomikosis dapat
terjadi karena terhirupnya Blastomyces dermatidis dan masuk ke dalam tubuh.
Pengobatan pertama untuk mengatasi blastomikosis paru adalah dengan pemberian
intrakonazol, apabila dalam tingkat yang berat dapat diberikan amfoterisin B.
4.2 Saran
Dengan mempelajari penyakit blastomikosis paru yang disebabkan oleh jamur
Blastomyces dermatidis secara lebih mendalam penulis berharap agar pembaca lebih
waspada agar tidak terkena penyakit tersebut. Penulis berharap agar pengobatan
untuk mengatasi blastomikosis paru lebih dikembangkan lagi.

10
DAFTAR PUSTAKA

American Thoracic Society. 2013. Blastomycosis. Available from:


https://www.thoracic.org/patients/patient-
resources/resources/blastomycosis.pdf. Accesced May 8, 2018.
Baumgardner, D.J, Bernhard, K.A, Egan, G. 2015. Pulmonary Blastomycosis in Vilas
County, Wisconsin: Weather, Exposures and Symptoms
Castillo, C.G, Kauffman, C.A, Miceli, M.H. 2015. Blastomycosis.
Kauffman, C.A, Miceli, M.H. 2015. Histoplasmosis and Blastomycosis in Solid
Organ Transplant Recipients.
Khuu, D, Shafir, S, Bristow, B, Sorvillo, F. 2014. Blastomycosis Mortality Rates,
United States, 1990–2010. Vol (20) no. 11.
Limper, A.H. 2014. Clinical Approach and Management for Selected Fungal
Infections in Pulmonary and Critical Care Patients.
Mondada, K, Fullmer, J, Hungerford, E, Novack, K, Vickers, K, Scalarone, G. 2014.
Blastomyces dermatitidis: Antibody Detection in Sera from Dogs with
Blastomycosis with Yeast Lysate Antigens Produced from Human and Dog
Isolates.
Morant, D.M, Montalva, A.S, Salvador, F, Aviles, A.S, Molina, I. 2018. Imported
endemic mycoses in Spain: Evolution of hospitalized cases, clinical
characteristics and correlation with migratory movements, 1997-2014.
Smith, J.A, Kauffman, C.A. 2010. Blastomycosis. Vol (7), h. 173-80.
Yildiz, Dokuzeylul, Ulgen. 2016. Blastomycosis: a Systematical Review.
Zhu, D, Chen, H, Yu, L. 2017. Probable pulmonary Blastomyomycocis in an
immunocompetent person.

11

Anda mungkin juga menyukai