Oleh:
Yasmin Safira Virgiani
021711133085
i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puji dan syukur atas kehadiran-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat dah hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ilmiah ini.
Makalah ilmiah ini penulis susun dengan semaksimal mungkin dengan
berbagai bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih
kepada segala pihak yang telah mendukung proses pembuatan makalah ilmiah ini
sehingga dapat terselesaikan.
Terlepas dari semua itu, penulis memohon maaf apabila ada kekurangan
dalam segi susunan kalimat maupun tata bahasa baik disengaja maupun tidak
disengaja. Oleh karena itu kami sangat menerima kritik dan saran dari pembaca untuk
memperbaiki makalah ini.
Penulis berharap makalah ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun
pembaca. Semoga dengan penulisan makalah ilmiah ini penulis dan pembaca dapat
lebih mengenal dan mengetahui tentang blastomikosis paru secara lebih mendalam.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL…………………………..…………………………………….i
KATA PENGANTAR…………………………..…………………………………….ii
DAFTAR ISI…………………………………..……………………………………..iii
DAFTAR GAMBAR…………………………..……………………………………..iv
BAB 1. PENDAHULUAN…………………………..………………………………..1
1.1 Latar Belakang……………….……………………………….……….1
1.2 Rumusan Masalah…………..……………………………...….………2
1.3 Tujuan Penulisan…………...……………………………..…………..2
1.4 Manfaat Penulisan………..……………………………..……………2
BAB 2. TINJAUN PUSTAKA…………………………………..…………………...3
2.1 Blastomycoses dermatidis………….………………………..………...3
2.2 Patogenesis Blastomikosis……………………………….……………4
2.3 Manifestasi Klinis……..………………………………………………4
2.4 Pengobatan Blastomikosis……………………………..….………….6
BAB 3. PEMBAHASAN…………………………………………………………….8
BAB 4. PENUTUP…………………………………………………………………10
4.1 Kesimpulan……………………………………………..………..….10
4.2 Saran…………………………………………………………………10
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...11
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 (A) yeast cell, (B) Blastomyces dermatidis pada suhu kamar…….….….4
Gambar 2.3 lesi kulit dalam bentuk verukosa pada penderita blastomikosis…………6
Gambar 2.3 lesi kulit dalam bentuk verukosa pada penderita blastomikosis…………9
iv
BAB 1
PEMBUKAAN
1
individu yang mempunyai imunokompeten yang baik, tetapi apabila hal ini terjadi
pada individu yang mempunyai gangguan imunitas seluler, seperti pasien penderita
HIV/AIDS, maka infeksinya akan menjadi infeksi yang sangat serius (Jawetz et al,
2013, h. 686).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu blastomikosis paru?
2. Bagaimana proses terjadinya blastomikosis paru?
3. Bagaimana cara mengatasi blastomikosis paru?
1.3 Tujuan Penulisan
Untuk lebih memahami penyakit blastomikosis pulmonalis yang disebabkan
oleh Blastomyces dermatidis, cara mengatasinya, dan apa saja yang dapat terinfeksi
oleh jamur Blastomyces dermatidis.
1.4 Manfaat Penulisan
Mengetahui penyakit blastomikosis paru secara lebih mendalam sehingga
lebih waspada dan lebih tanggap dalam mengobati apabila sudah terkena
blastomikosis paru.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
A B
Gambar 2.1 (A) yeast cell, (B) Blastomyces dermatidis pada suhu kamar (Jawetz et al, 2013, h. 692)
2.2 Patogenesis Blastomikosis
Infeksi pada manusia akan terjadi pada paru-paru (Jawetz et al, 2013, h. 692).
Blastomyces dermatidis akan menginfeksi saat sedang berada dalam fase konidia atau
dalam keadaan materi yang sudah membusuk kemudian terhirup dan masuk ke dalam
paru-paru (Castillo et al, 2015). Saat masuk kedalam tubuh maka akan terjadi
peningkatan suhu, karena suhu tubuh relatif lebih tinggi dari suhu lingkungan maka
akan terjadi konversi dari fase spora ke fase yeast (Yildiz et al, 2016). Beberapa
faktor host lokal akan terpicu dengan terhirupnya Blastomyces dermatidis ke dalam
paru-paru. Makrofag akan teraktivasi untuk membunuh memfagosit mikroorganisme
tersebut sehinga dapat menghambat perubahan ke fase yeast. Neutrofil dan makrofag
akan memfagosit organisme pada fase yeast. Limfosit T akan mengendalikan infeksi
yang disebabkan oleh Blastomyces dermatidis sehingga akan peka dengan antigen
Blastomyces dermatidis dan akan mendorong makrofag untuk melakukan fagosit
melakukan fagosit pada fase yeast (Smith dan Kauffman, 2010). Imunitas humoral
hanya memiliki sedikit pengaruh untuk mengatasi infeksi (Castillo et al, 2015).
2.3 Manifestasi Klinis
Masa inkubasi untuk blastomikosis adalah 3-15 minggu. Sekitar 30%-50%
infeksi blastomikosis tidak menunjukan gelaja apapun (Khuu et al, 2014).
Blastomikosis akan menunjukan gejala berupa batuk, demam, produksi dahak, dada
nyeri, penurunan berat badan, sesak nafas, nyeri sendi dan nyeri pada beberapa
bagian tubuh (Zhu et al, 2017). Gejala yang muncul memiliki kemiripan dengan
4
penyakit lain seperti bakteri pneumonia, influenza, tuberkulosis, infeksi jamur
lainnya, dan beberapa keganasan (Khuu et al, 2014).
2.3.1 Blastomikosis Paru
Berdasarkan data yang ada lebih dari 79% penderita blastomikosis mengalami
infeksi pada paru-parunya (McBride et al, 2017). Pasien dengan blastomikosis paru
akut akan mengalami batuk dengan atau tanpa dahak, demam, menggigil, malaise,
nyeri pleuritik. Pasien dengan blastomikosis paru kronik akan mengalami demam,
penurunan berat badan, dan akan berkeringat di malam hari (Castillo et al, 2015).
Gejala dan hasil radiografi blastomikosis kronik biasanya tidak spesifik, dan
gejalanya mirip dengan yang lain seperti neoplasma paru dan tuberkulosis (McBride
et al, 2017).
Pasien dengan blastomikosis akut akan mengalami infeksi yang relatif dapat
terjadi secara waktu yang cepat sehingga sering terjadi gagal napas (McBride et al,
2016). Blastomikosis akut sering terjadi pada anak-anak (Gauthier dan Klein, 2018).
2.3.2 Blastomikosis Ekstrapulmoner
Blastomyces dermatidis dapat menginfeksi organ lain di dalam tubuh selain
paru-paru. Berdasarkan data yang ada 25%-40% gejala blastomikosis adalah
ekstrapulmoner dan manifestasinya sering terjadi saat manifestasi pada paru-paru
dalam keadaan bersih (Castillo et al, 2015). Gejala blastomikosis ekstrapulmoner
dapat terjadi pada kulit, osteoarticular, sistem saraf pusat (CNS), dan genitourinary
(McBride et al, 2017).
Lesi pada kulit terjadi sampai 60% pada blastomikosis ekstrapulmoner. Lesi
pada kulit dapat muncul didaerah manapun tetapi pada umumnya terjadi di daerah
yang terbuka atau sering terpapar oleh lingkungan luar. Lesi biasanya dalam bentuk
verukosa (Castillo et al, 2015). Tulang adalah gajela blastomikosis kedua yang sering
terjadi dengan tingkat kejadian 5%-25%. Blastomikosis osteoarticular akan
mengalami nyeri pada tulang yang dapat terjadi karena jaringan lunak yang abses,
saluran sinus yang mongering, atau ulkus kulit. Infeksi pada tulang dapat menyebar
ke sendi dan jaringan lunak terdekat sehingga dapat menyebabkan terjadinya arthritis
5
dan abses. Kerusakan tulang progresif dapat menyebabkan fraktur patologis (Mcbride
et al, 2017). Gejala pada sistem saraf pusat (CNS) dapat terjadi sekitar 5%-10%.
Manifestasinya mencakup meningitis akut, meningitis kronis terisolasi, dan abses
intrakranial (Castillo et al, 2015).
Gambar 2.3 lesi kulit dalam bentuk verukosa pada penderita blastomikosis (Castillo et al,
2015).
2.4 Pengobatan Blastomikosis
Berdasarkan ketetapan yang dipublikasikan oleh Infectious Diseases Society
of America (IDSA) bahwa semua pasien yang menderita blastomikosis, atau bahkan
hanya lesi kulit tunggal, harus diberikan obat antijamur untuk mencegah infeksi dapat
berkembang atau kambuh kembali (Smith dan Kauffman, 2010). Blastomikosis yang
parah dapat diterapi dengan pemberian amfoterisin B, dan untuk lesi yang terbatas
pemberian intrakonazol selama 6 bulan dinilai efektif (Jawetz et al, 2013, h. 693).
Formulasi lipid pada amfoterisin B telah menggantikan amfoterisin B
deoxycholate di bidang kedokteran karena formulasi lipid lebih tidak nephrotoxic
(Smith dan Kauffman, 2010). Untuk infeksi opurtunistik, liposomal amfoterisin B
lebih disarankan karena data pasien AIDS dengan infeksi opurtunistik menunjukan
bahwa tidak hanya lebih tidak beracun, tetapi juga lebih manjur Intrakonazol juga
diberikan pada pasien yang mengalami infeksi opurtunistik (biasanya terjadi pada
penderita HIV) (Kauffman dan Miceli, 2015). Intrakonazol merupakan pilihan terapi
azol pada penderita yang mengalami infeksi opurtunistik. Intrakonazol merupakan
agen yang digunakan sebagai terapi step-down setelah pemberian amfoterisin B dan
6
terapi awal penerima transplantasi organ dengan infeksi pulmonal akut terlokalisasi
ringan (Smith dan Kauffman, 2010).
7
BAB 3
PEMBAHASAN
8
Blastomyces dermatidis berada dalem fase mold sebagai koloni berwarna putih yang
kemudian perlahan berubah menjadi warna coklat terang. Koloni tersebut terdiri dari
hifa bersepta yang memproduksi konidia. Di lingkungan konidia dalam bentuk
aerosol, yang kemudian aerosol akan terhirup dan masuk ke dalam tubuh manusia
yang menyebabkan terjadinya infeksi blastomikosis pada paru-paru. Saat masuk ke
dalam tubuh konidia sangat rentan terhadap fagositosis makrofag dan neutrofil.
Konidia yang tidak terkena sistem imun bawaan akan berubah menjadi fase yeast.
Setelah berubah ke fase yeast, Blastomyces dermatidis dapat menyebar secara
hematogen ke banyak organ lain (Castillo et al, 2015).
9
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Blastomyces dermatidis merupakan jamur yang dapat menyebabkan terjadinya
penyakit blastomikosis. Manifestasi umum dari blastomikosis adalah penyakit paru
yang dikenal dengan blastomikosis paru. Selain mengenai paru Blastomyces
dermatidis juga dapat menyebebkan infeksi pada organ lainnya. Blastomikosis dapat
terjadi karena terhirupnya Blastomyces dermatidis dan masuk ke dalam tubuh.
Pengobatan pertama untuk mengatasi blastomikosis paru adalah dengan pemberian
intrakonazol, apabila dalam tingkat yang berat dapat diberikan amfoterisin B.
4.2 Saran
Dengan mempelajari penyakit blastomikosis paru yang disebabkan oleh jamur
Blastomyces dermatidis secara lebih mendalam penulis berharap agar pembaca lebih
waspada agar tidak terkena penyakit tersebut. Penulis berharap agar pengobatan
untuk mengatasi blastomikosis paru lebih dikembangkan lagi.
10
DAFTAR PUSTAKA
11