Anda di halaman 1dari 16

CORYNEBACTERIUM

DIPHTHERIAE

CORYNEBACTERIUM DIPHTHERIAE

Termasuk dalam
Famili

: Corynebacteriaceae

Genus

: Corynebacterium

Spesies lain

: C. pseudodiphtheriticum

C. xerosis
Corynebacterium diphtheriae
Adalah bakteri penyebab penyakit difteri yang
sering terjadi pada anak.

Sejarah :
Tahun
1883 Klebs menemukan
bakteri ini pada pseudomembran
Tahun 1884 Loffler membuat biakan
murni dari bakteri ini
Tahun
1888 Roux dan Yersin
melaporkan
C.diphtheriae
menghasilkan eksotoksin yang poten
menyebabkan penyakit difteri.

MORFOLOGI :
-

Bentuk batang langsing, sangat pleomorfik

Ukuran 1,2-6,4 mikron X 0,3-1,1 mikron

Bentuk yang khas : club shape

Susunan seperti rantai berjejer (palisade),

Bisa membentuk huruf V, L, Y atau tak beraturan seperti huruf cina

Tampak bintik-bintik granuler yang disebut voluntine granules/Babes-Ernst


bodies,

Granula ini bersifat metakromatik.

Granula ini mengandung polifosfat dan merupakan cadangan makanan.

Granula ini tampak jelas pada pewarnaan Loffler Methylen Blue, Neisser,
Ljubinski atau Albert

Termasuk Gram positif

Motil (-), spora (-), kapsul (-)

PEMBIAKAN
-

Bersifat aerob, suhu optimal pertumbuhan 34-37 C pada pH 7,2-7,8

Media yang biasa dipakai untuk isolasi :


1. Untuk isolasi primer
- Lofflers coagulated serum medium
- Pais coagulated egg medium
Koloni : tampak kecil-kecil berwarna putih abu-abu mengkilat
2. Medium selektif diferensial
- Blood Tellurite Agar (BTA)
- Chocolate Tellurite Agar (CTA)
Koloni dibedakan 3 tipe :
a. Gravis
b. Mitis
c. Intermedius

GRAVIS
-

Morfologinya yaitu batang pendek, gemuk, sedikit granula metakromatik

Koloni pada medium BTA yaitu besar, datar, tepi tidak rata, abu-abu, garis-garis radial

Koloni pada medium cair yaitu granuler, bentuk pellicle

Pada BAP yaitu non hemolitik

MITIS
-

Morfologinya yaitu batang panjang, banyak granula metakromatik

Koloni pada medium BTA yaitu kecil, hitam mengkilat, tepinya abu-abu

Koloni pada medium cair yaitu difus

Pada BAP yaitu hemolitik

INTERMEDIUS
-

Morfologinya yaitu batang pendek, club shaped, granula metakromatik antara G dan M

Koloni pada medium BTA yaitu kecil, datar, pusat menonjol, garis-garis radial, warna kehitaman

Koloni pada medium cair yaitu granuler halus

Pada BAP yaitu non hemolitik

DAYA TAHAN
-

Tahan penyinaran, pengeringan, dan pendinginan

Dalam air mendidih, bakteri mati dalam 1 menit

Dalam suhu 58 C, bakteri mati dalam 10 menit

Tidak tahan terhadap antiseptika biasa

Peka terhadap penicillin dan eritromisin

Resisten terhadap sulfonamid

STRUKTUR ANTIGEN
-

Mempunyai antigen somatik berupa polisakarida yang tahan panas dan


protein yang tidak tahan panas.

METABOLIT BAKTERIAL
Endotoksin
-

Toksisitas rendah

Dapat menyebabkan neuritis perifer dan paralisis pada tikus putih

Eksotoksin
-

Disebut juga toksin difteri

Eksotoksin difteri dihasilkan oleh bakteri C.diphtheriae yang lisogenik (yaitu bila
terinfeksi oleh bakteriofaga)

Faktor yang mempengaruhi produksi toksin in vitro adalah kadar Fe, tekanan osmotik,
konsentrasi asam amino, pH, adanya sumber C dan N yang memadai.

Merupakan polipeptide, yang terdiri atas 2 fragmen yaitu A dan B.

Fragmen B berfungsi sebagai alat transportasi fragmen A ke dalam sel.

Fragmen A mempunyai aktivitas toksin, menghambat translokasi polypeptidyl tRNA di


dalam ribosom sel dengan cara menginaktivasi faktor perpanjangan EF-2.

Dapat dijadikan toksoid dengan pemberian 0,3% formalin.

TES VIRULENSI BAKTERI


Cara in vitro
-

Metode dari Elek & Ouchterlony (tes difusi gel)

Tes biakan jaringan

Cara in vivo
-

Tes intrakutan

Tes subkutan

EPIDEMIOLOGI
-

Penyakit difteri dikenalkan pertama kali oleh Bretonneau pada 1826

Insidens tertinggi pada usia 2-5 tahun

Cara penularan pada kontak langsung dengan penderita atau karier.

PATOGENESIS
Bakteri difteri infeksi lokal di mukosa farings, berkembangbiak dan hasilkan eksotoksin
nekrosis sel-sel mukosa reaksi peradangan membentuk pseudomembran berwarna putih
keabu-abuan, terdiri atas fibrin, lekosit, jaringan nekrotik dan bakteri difteri dapat meluas
ke mukosa nasofarings, larings dan trakea obstruksi jalan napas.

Eksotoksin difteri akan menyebar secara limfogen dan hematogen ke kelenjar regional jantung,
ginjal, dan saraf, dengan efek :
1. Jantung : degenerasi lemak dan peradangan miokard
2. Ginjal dan hati : terjadi nekrosis
3. Saraf : degenerasi atau destruksi mielin dan pembengkakan akson

Biasanya menetap di mukosa dan jarang masuk ke jaringan yang lebih dalam, juga tidak
pernah masuk ke dalam aliran darah

BENTUK KLINIS
-

Masa inkubasi adalah 2-7 hari

Gejala umum adalah panas tidak terlalu tinggi, tampak lemah, gejala
lain :

1. Difteri farings
- kesulitan menelan, nyeri tenggorok, suara berubah,
- salah menelan (karena paresis palatum molle),
- gangguan pernafasan, stridor inspiratoir,
- pembesaran kelenjar regional
2. Difteri larings-trakeal
- gangguan pernafasan, dpt terjadi obstruksi pernafasan
- sesak napas, sianosis, stridor inspiratoir
- retraksi suprasternal dan epigastrik
- pembesaran kelenjar mandibula dan leher, edema jaringan sekitar
(Bullneck)
3. Difteri hidung
- sekret purulosanguineous dan gangguan napas melalui hidung
4. Difteri kutaneus
- di telinga, konjungtiva, umbilikus atau vagina

KOMPLIKASI
Alat pernafasan
-

Obstruksi saluran pernafasan

Atelektasis

Bronkopneumonia

Sistem kardiovaskuler
-

Kolaps vaskuler perifer

Kegagalan faal jantung

miokarditis

Traktus urogenital
-

Degenerasi epitel ginjal

Saraf
-

Paralisis neuritis perifer

Kematian, biasanya disebabkan oleh :


-

Kolaps vaskuler perifer

Obstruksi saluran nafas

Kegagalan faal jantung

DIAGNOSIS LABORATORIUM
-

Spesimen diambil dari swab faring/hidung

Pewarnaan Neisser dan Gram

Biakan

Tes virulensi

TES SCHICK
Tujuan untuk mengetahui seseorang peka atau tidak terhadap toksin difteri
-

Menyuntikan toksin difteri intradermal 0,1-0,5 cc 1/50 MLD (minimal lethal


dose) pada lengan bawah bagian volair

Sebagai kontrol, lengan yang satunya disuntikkan toksin intradermal yang


telah dipanaskan 60 C selama 15 menit (pemanasan untuk menghancurkan
efek toksik)

Hasil (+) bila adanya eritema dan indurasi pada bekas suntikan setelah 24-36
jam

Hasil (-) bila dalam darah terdapat 1/500-1/200 unit antitoksin

Hasil (-) bila pada kedua lengan terjadi eritema yang sama besar dan hilang
dalam waktu bersamaan (alergi pelarut/medium yang dipakai)

Hasil (+) palsu, bila lengan yang dites terjadi reaksi (+) kuat, lengan kontrol
(-), namun sebenarnya dalam darah terdapat antitoksin cukup banyak (alergi
toksin yang berupa protein)

TES MOLONEY
Tujuan untuk mengetahui alergi toksoid atau tidak
-

Pada lengan bawah bagian volair disuntikkan intrakutan 0,1 cc yang telah
diencerkan 100x

Hasil (+) bila terjadi eritema dan indurasi (alergi toksoid)

perlu cara didesensitisasi : pemberian toksoid bertahap


PENGOBATAN
-

ADS
dosis dewasa untuk kasus ringan 5.000-10.000 unit

Antibiotika
Penisilin atau eritromisin. Tujuan :
- membunuh bakteri difteri
- mencegah infeksi sekunder
- memperpendek periode penyakit
- mengurangi convalescent carrier

Kortikosteroid

Analgetika dan antipiretik

Trakeostomi, bila terjadi obstruksi saluran nafas

PENCEGAHAN
1.

Isolasi penderita

2.

Imunisasi aktif DPT

3.

Memberantas karier

4.

Pada kontak difteri dilakukan pemeriksaan laboratorium, bila


- (-) : beri imunisasi
- (+) : pengobatan ADS dan antibiotika

Anda mungkin juga menyukai