Anda di halaman 1dari 29

Dec

16

Guillain Barre Syndrome


GUILLAIN-BARRE SYNDROME (GBS)

I. PENDAHULUAN

Guillain Barre syndrome (GBS) adalah Kumpulan Gejala yang jarang terjadi dimana

kerusakan terjadi akibat sistem kekebalan yang menyerang sel-sel saraf dalam tubuh, yang bisa

menyebabkan kelumpuhan dan kelemahan otot. GBS dapat menyebabkan gejala yang

berlangsung selama beberapa minggu. Kebanyakan orang sembuh dari GBS, tetapi beberapa

orang mengalami kerusakan saraf permanen. Dalam beberapa kasus yang langka, orang

meninggal karena GBS, biasanya akibat dari kesulitan bernapas. Di Amerika Serikat, misalnya,

3.000 sampai 6.000 orang diperkirakan menderita GBS setiap tahunnya, baik mereka yang

menerima vaksinasi atau tidak. (1)

Guillain-Barre sindrom saat ini penyebab akut yang paling sering di seluruh dunia dan

merupakan flaccid paralysis salah satu keadaan darurat yang serius di bidang neurologi.

Kesalahpahaman yang umum adalah bahwa Guillain-Barre sindrom memiliki prognosis yang

baik tetapi 20% dari pasien mengalami kecacatan yang tetap dan meninggal sekitar 5%. Miller

Fisher syndrome, yang ditandai dengan ophthalmoplegia, ataksia, dan areflexia, dilaporkan

pada tahun 1956 sebagai varian kemungkinan Guillain-Barre sindrom, karena cairan

cerebrospinal dari pasien yang terkena menunjukkan albuminocytologic dissociation.

Selanjutnya, frank Guillain-Barre telah mengembangkan pada beberapa pasien dengan Miller

Fisher syndrome. Berbagai penelitian dari imunopatogenesis dari Guillain-Barre sindrom


menunjukkan bahwa penyakit ini sebenarnya mencakup sekelompok gangguan perifer saraf,

masing-masing dibedakan oleh distribusi kelemahan pada tungkai atau tengkorak dan innervasi

saraf otot. Ada bukti substansial untuk mendukung penyebab sindrom autoimun ini, dan profil

autoantibody telah membantu dalam mengkonfirmasikan hubungan klinis dan elektrofisiologi

dari Guillain-Barre sindrom yang khas.(2)

II. NEUROANATOMI

Sistem saraf disusun oleh 2 jenis sel utama yaitu Neuron dan Sel penyokong (supporting

cells). Neuron merupakan struktur fungsional dari sistem saraf yang mempunyai kemampuan

untuk merespon rangsangan fisik ataupun kimia, menghantarkan impuls listrik dan

mengeluarkan berbagai regulator kimia. Dengan kemampuan tersebut, neuron mampu

merasakan stimulus sensorik, belajar, mengingat dan mengontrol kerja otot dan kelenjar.

Sebagian besar neuron tidak dapat membelah diri dengan cara mitosis, meskipun banyak juga

yang dapat beregenerasi pada ujung selnya atau membuat cabang baru pada kondisi tertentu.
(3,4)

Neuron terdiri atas 3 komponen utama, yaitu badan sel, dendrit dan akson. Badan sel

neuron adalah bagian yang paling besar dimana terdapat inti sel dan juga merupakan “nutrition

center” dari neuron tempat diproduksinya makromolekul untuk aktifitas neuron itu sendiri.

Bagian berikutnya adalah dendrit, merupakan perpanjangan dari sitoplasma yang membentuk

seperti ranting pohon. Dendrit berfungsi untuk menangkap impuls listrik dan mengalirkannya

menuju badan sel. Yang terakhir adalah akson, merupakan bagian paling panjang dari sel saraf

yang berfungsi mengantarkan impuls jauh dari badan sel. Panjang akson bervariasi, mulai dari

ukuran milimeter hingga ukuran meter (dari SSP menuju kaki). (3,4)
Gambar 1. Struktur Mikroskopis sel saraf (neuron)

Sel penyokong pada sistem saraf berbeda dengan organ lain, sel tersebut merupakan

derivat dari lapisan jaringan embrional (ektoderm) yang sama dengan neuron. Pada sistem saraf

pusat, terdapat 4 jenis sel penyokong, yaitu oligodendrosit, microglia, astrosit dan sel ependim,

sedangkan pada sistem saraf perifer terdiri dari sel schwann dan sel satelit.

Gambar 2. Sel Penyokong pada Sistem Saraf Pusat

Semua akson di Sistem saraf perifer dikelilingi oleh tumpukan lapisan sel schwann yang

disebut neurilemma, sedangkan di susunan saraf pusat tidak ditemukan sel schwann. Beberapa

akson di PNS dan CNF dikelilingi oleh selubung myelin yang membuat akson dapat

menghantarkan impuls lebih cepat dibandingkan akson yang tidak memiliki selubung myelin.
(4)
Gambar 3. Sel Schwann dan Selubung Myelin pada neuron

III. PATOMEKANISME

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi

terjadinya demielinisasi akut pada GBS masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli

membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi

pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi (5).

Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas

saraf tepi pada sindroma ini adalah:

1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated immunity)

terhadap agen infeksious pada saraf tepi.

2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi

3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah

saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.

Proses demyelinisasi saraf tepi pada GBS dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan

imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah
infeksi virus. Konsep imunologi yang penting untuk menjelaskan terjadinya reaksi inflamasi

pada GBS adalah konsep “molecular mimicry”, dimana terjadi reaksi silang antara antibodi

yang seharusnya menuju organisme yang menginfeksi tubuh penderita, tetapi menginfeksi sel

neuron dan myelin yang memiliki epitop pada gangliosida yang sama dengan organisme

penginfeksi tersebut. Antibodi tersebut melewati sawar darah otak dan memediasi reaksi

imunologi pada saraf tepi. Respon inflamasi tersebut menghasilkan sitokin yang memfasilitasi

infiltrasi sel imun dan juga meningkatkan permeabilitas kapiler sel endotel. Sehingga terjadi

difusi kompleks protein seperti immunoglobulin melewati sawar darah otak. Pada GBS, akan

ditemukan peningkatan jumlah protein di cairan cerebrospinal tetapi jumlah sel darah putih

yang sedikit (5,6,7).

Patomekanisme yang cukup jelas dapat diketahui pada subtipe GBS yang paling sering

terjadi, yaitu Acute Inflamatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP). Proses demyelinisasi

pada AIDP berhubungan dengan infiltrasi makrofag dan CD4+ helper Sel T ke jaringan saraf

perifer (biasanya terjadi pada motor neuron). Diperkirakan bahwa anti-myelin IgG antibodi,

mungkin menargetkan antigen gangliosida, memediasi proses penghancuran pada myelin

melalui “classical complement cascade” dan formasi serangan membran myelin yang

kompleks. Proses tersebut juga mengaktifkan makrofag mengekspresikan reseptor Fc untuk

antigen-bound IgG dan reseptor komplemen untuk permukaan ikatan C3b yang memfasilitasi

terjadinya stripping pada myelin. Selain itu, aktivitas makrofag juga menyekresikan sitokin

pro-inflamasi dari CD4+ helper sel T (7).


Gambar 4. Reaksi immunologi pada GBS subtipe AIDP

Kerusakan myelin oleh sel imun dan serangan kompleks membran memberikan

manifestasi klinik pada AIDS. Pasien akan merasakan kelemahan otot yang simetris, paralisis

atau hiporefleksia dengan atau tanpa gejala sensorik dan otonom. Kelemahan otot tersebut

dapat menyebabkan kegagalan pernapasan yang bisa berakibat fatal. Demyelinisasi akson

paling banyak terjadi pada saraf perifer dan radiks spinalis, tetapi terdapat juga pada Nn.

Craniales (7).
Gambar 5. Proses Immunologi yang menyebabkan kerusakan akson dan sel schwann

IV. VARIAN GBS

Beberapa varian dari Guilland-Barre Syndrome dapat diklasifikasikan yaitu :

1. Acute Inflamatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)

AIDP merupakan varian yang paling sering ditemukan pada GBS (85-90%) yang secra

patologi terjadi demyelinisasi, infiltrasi limfosit dan macrophage-mediated clearance dari

myelin pada N. Spinalis dan saraf perifer lainnya. AIDP merupakan kelainan autoimun yang

disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus sebelumnya dan dapat sembuh dengan sendirinya

(self-limited)(6,8).

2. Miller Fisher Syndrome (MFS)

MFS dipicu oleh infeksi strain C. Jejuni yang memberikan karakteristik terbentuknya

antibodi GQ1b dan antibodu GT1a pada tubuh penderita. Anbodi tersebut menyerang nervus

oculomotorius (N.III) juga cabang dorsal sel ganglion dan neuron cerebellar sehingga

memberikan gambaran klinik berupa ophtalmoplegia, ataxia dan areflexia. Kelemahan otot

yang terjadi pada MFS disebabkan blokade pelepasan asetilkolin pada ujung terminal akson (8).
3. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)

AMAN merupakan kelainan yang banyak ditemukan pada anak-anak di Cina,

mempunyai karakteristik onset akut/subakut berupa kelemahan anggota gerak yang simetris,

areflexia difus, kelemahan otot facial dan oropharyngeal serta insufisiensi napas (8).

4. Acute Motor and Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)

Karakteristik dari varian ini adalah tetraparesis akut disertai areflexia, kehilangan

kemampuan sensori pada distal ekstremitas dan insufisiensi napas. Pada AMSAN ditemukan

peningkatan CSF dan potensial motorik serta sensorik yang menghilang(8).

5. Pharyngeal-Cervical-Brachial Variant

Varian ini merupakan GBS yang hanya terjadi pada otot-otot regio cervical, brachial

atau oropharyngeal. Varian ini menyebabkan kekakuan pada daerah faring dan leher yang

semakin lama akan meluas ke daerah ekstremitas dalam beberapa minggu. Ptosis dan

ophtalmoparesis bisa saja terjadi sehingga menjadi penyulit untuk membedakannya dengan

myasthenia gravis. Pada pemeriksaan CSF ditemukan peningkatan protein dan antibodi

GT1a(8).

V. DIAGNOSA

Gejala pertama dari sindrom Guillain-Barre adalah mati rasa, paresthesia, kelemahan,

nyeri pada tungkai, atau beberapa kombinasi dari gejala-gejala. Fitur utama bersifat progresif

bilateral dan relatif simetris kelemahan tungkai, dan kelemahan berlangsung selama 12 jam

untuk 28 hari. Pasien biasanya memiliki hiporefleksia umum atau areflexia.(2)

GBS adalah jenis yang paling umum yang berkembang pesat, namun pada beberapa

gangguan bisa menjadi salah diagnosis ke GBS, terutama pada awal dalam perjalanannya.

Diagnosis GBS didasarkan pada gambaran klinis yang khas, pemeriksaan elektrodiagnostik
dan pemeriksaan cairan cerebrospinal (CSF) dapat membantu dalam diagnosis. Temuan

elektrodiagnostik sugestif GBS termasuk absennya H refleks, amplitudo rendah atau tidak ada

sensorik saraf potensial aksi, gelombang F yang abnormal, dan lainnya lebih jarang kelainan.

Temuan ini mungkin memungkinkan intervensi awal dengan perlakuan khusus, tetapi

diagnosis pasti biasanya tidak mungkin sampai hari kelima setelah onset gejala.10

Karakteristik CSF temuan terdiri dari protein tinggi.

Kriteria diagnostic untuk Guillain-Barre Syndrome:

 Hal yang dibutuhkan untuk diagnosis

o Kelemahan progresif pada kedua lengan dan kaki

o Arefleksia

 Hal yang menguatkan diagnosis

o Progresi dari gejala dalam beberapa hari, sampai 4 minggu

o Gejala yang relative simetris

o Tanda atau gejala gangguan ringan sensoris

o Terlibatnya nervus cranialis, terutama kelemahan bilateral dari otot wajah

o Pemulihan mulai pada minggu kedua sampai empat setelah progresifitas

o Disfungsi otonom

o Tidak adanya demam saat onset

o Konsentrasi yang tinggi dari protein dalam cairan cerebrospinal ( <10 sel / mm3 )

o Hasil elektrodiagnosis

 Hal yang mengeksklusi diagnosis

o Diagnosis botulism, myasthenia, poliomyelitis, atau toxic neuropathy

o Metabolisme abnormal porphyrin

o Diphteria

o Sindrom sensoris, tanpa kelemahan (9)


Pemeriksaan Cairan Serebrospinal (CSS)

CSS ditemukan di GBS adalah peningkatan protein CSS lebih besar dari 400 mg/L

dalam waktu seminggu dari timbulnya gejala (pada> 80% pasien). Gambar klasik di GBS

adalah albumino-sitologi disosiasi (yaitu peningkatan protein CSS dengan jumlah sel normal),

Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3. polineuropati merupakan penyakit yang juga ditandai dengan

gambaran CSS mirip dengan GBS kecuali bahwa kadar protein jauh lebih tinggi di GBS (1009

+ 790 mg / L) dibandingkan dengan 450 + 340 mg / L pada polyneuropathy. (2,10)

Pemeriksaan elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:

Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar

kurang 60% dari normal. (10)

Tabel Perbandingan Hasil Cairan Serebrospinal. (10)

Penyakit Jumlah Sel Protein Glukosa

Menigitis Terjadi Peningkatan, Peningkatan, Penurunan CSS /

karena Bakteria terutama 1000 - 5000 mg / Plasma dengan

polimorfonuklear L rasio <0,4

(PMN) CSS glukosa

normal dalam 9%

dari kasus

Meningitis Terutama limfositik Peningkatan, Biasanya normal,

Karena Virus pleocytosis, biasanya 500- meskipun

meskipun PMN 1000mg / L penurunan glukosa

sering hadir dalam CSF telah

24 jam pertama. dilaporkan.


VI. TERAPI

Penanganan GBS terdiri dari 2 komponen : penanganan suportif dan terapi spesifik.

Penanganan suportif menjadi hal yang utama dari terapi. Jika pasien melewati masa akut dari

penyakit dengan cepat, kebanyakan akan mengalami pemulihan fungsi. Namun, neuropati

dapat dengan cepat berkembang sehingga intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik sangat

penting dalam 24 jam setelah onset.

Karena alasan ini, semua pasien dengan GBS harus dirujuk ke rumah sakit untuk

diobservasi pernapasannya, disfungsi saraf cranial, dan instabilitas otonom. Disfungsi sistem

saraf otonom dapat termanifestasikan pada fluktuasi tekanan darah, disaritmia jantung, pseudo-

obstruksi gastrointestinal, dan retensi urin. Profilaksis untuk deep vein thrombosis juga

dibutuhkan karena pasien biasanya immobile dalam beberapa minggu.(9)

Terapi spesifik GBS meliputi:

 Kortikosteroid

o Kortikosteroid dalam penanganan GBS sudah diperdebatkan selama puluhan tahun. Namun, dua

penelitian, satu dengan dosis konvensional prednisolone dan yang lain dengan dosis tinggi

methylprednisolone, telah gagal menunjukkan efek manfaatnya. Meskipun kortikosteroid tidak

lagi direkomendasikan sebagai penanganan rutin untuk GBS akut, kami telah mengamati

beberapa kasus dimana pemberian intravena dosis tinggi dari kortikosteroid tampaknya dapat

menghentikan perkembangan penyakit.(11)

o Pemberian kortikosteroid tidak efektif dalam menangani GBS. Pada sitematik review Cochrane

dari enam percobaan dengan 587 pasien, rata-rata menunjukkan tidak adanya perbedaan

signifikan antara pasien yang ditangani dengan kortikosteroid dan non-kortikosteroid. Pada
empat percobaan dari kortikosteroid oral dengan 120 pasien, ada sedikit kemajuan klinis

setelah 4 minggu pemberian kortikosteroid dibanding tanpa pemberian kortikosteroid, yang

menunjukkan bahwa kortikosteroid oral dapat memberikan pemulihan secara lambat.

Methylprednisolone intravena sendiri tidak menghasilkan manfaat atau kerusakan yang

signifikan. Kombinasi methylprednisolone intravena (500mg per hari dalam 5 hari) dengan

IVIG, dapat mempercepat pemulihan tapi tampak tidak memberikan efek signifikan untuk hasil

jangka panjang. (6)

 Plasmapharesis

o Metode ini digunakan untuk menghilangkan antibody dari darah. Prosesnya meliputi

pengambilan darah dari tubuh, biasanya dari tangan, darah dipompa ke mesin yang

memisahkan antibody, kemudian mengembalikannya lagi ke tubuh pasien.(12)

o Rejimen yang kami gunakan menghilangkan 200 sampai 250 ml/kg plasma dalam 4 sampai 6

penanganan pada selang beberapa hari atau dalam jangka waktu yang lebih pendek jika tidak

ada koagulopati. Cairan pengganti yang digunakan yaitu larutan saline dikombinasikan dengan

5% albumin. Akses vena yang besar biasanya membutuhkan insersi dari subclavia atau kateter

internal jugular, dan ini dapat menjadi sumber utama komplikasi (pneumothorax, infeksi,

hemoragik). Pada kebanyakan pasien, penatalaksanaan ini dapat dilakukan melalui vena

antekubiti. Saat prosedur, hipotensi, hipoprotrombinemia dengan perdarahan (biasanya

epitaksis) dan aritmia jantung dapat terjadi. Beberapa grup memilih untuk menggunakan kadar

fibrinogen, yang saat menurun saat dilakukannya plasmapharesis, sebagai meteran untuk risiko

dari potensi hemoragik sebelum memulai pemeriksaan dan penggantian berikutnya. Hepatitis

dan AIDS tidak berisiko jika plasma diganti dengan albumin dan saline dibanding dengan

pooled plasma. (11)


 Immunoglobulin Intravena (IVIG)

o Metode ini digunakan untuk memblok antibody dengan menggunakan dosis tinggi dari

immunoglobulin (IVIG). Pada kasus ini, immunoglobulin dimasukkan ke dalam darah dalam

jumlah besar, yang mengakibatkan terhambatnya antibody yang menyebabkan inflamasi.(12)

o The Dutch Study Group telah menemukan bahwa intravenous administration of immune

globulin (0,4g/kg per hari untuk 5 hari berturut-turut) sama efektifnya dengan penggantian

plasma dan lebih mudah serta mungkin lebih aman karena tidak dibutuhkannya akses intravena

yang besar. Hasil dari penelitian yang dilakukan dengan membandingkan dua model

penatalaksanaan dan dievaluasi secara berkala. Pada percobaan akhir ada tren dimana hasil

lebih baik ada pada pasien yang menerima pertukaran plasma, dan hasilnya lebih bagus lagi

pada grup yang memberikan pergantian plasma diikuti dengan 5 hari pemberian immuno

globulin. Kebanyakan pasien mentoleransi penatalaksanaan IVIG dengan baik. Gagal ginjal,

proteinuria, dan meningitis asepsis, yang berbentuk sakit kepala hebat, dan komplikasi langka.

Satu-satunya reaksi serius yang ditemukan pada beberapa pasien yang secara kongenital

kekurangan IgA dan yang mendapatkan pooled gamma globulin mengakibatkan anafilaksis

dan inflamasi lokal vena thrombosis.(11)

VII. PROGNOSIS

 3-5% pasien tidak bertahan hidup, walaupun ditangani di rumah sakit dengan peralatan

tercanggih.
 Pada stadium awal, kematian banyak disebabkan oleh gagal jantung, yang mungkin

berhubungan dengan dysautonomia, adult respiratory syndrome, atau beberapa kegagalan

mesin yang tidak disengaja.

 Pada stadium akhir, emboli paru dan komplikasi lainnya (biasanya karena bakteri) karena

imobilisasi yang lama dan gagal napas menjadi penyebab utama kematian.

 Mayoritas pasien sembuh total atau mendekati total (dengan defisit motorik ringan pada kaki

atau tangan).

 Masa penyembuhan bervariasi. Kadang terjadi dalam beberapa minggu atau bulan, namun,

jika terdapat degenerasi akson, regenerasinya mungkin membutuhkan waktu 6 sampai 18 bulan

atau bahkan lebih.

 Tidak adanya perubahan atau sedikit perubahan dapat diperkirakan apabila terdapat disabilitas

yang berlangsung selama 2 sampai 3 tahun.

 5-10% pasien mendapatkan rekurensi dari polineuropati akut.(11)

Posted 16th December 2012 by Qalbia M.Nur


0

Add a comment

Hospital Management

 Classic
 Flipcard
 Magazine
 Mosaic
 Sidebar
 Snapshot
 Timeslide

1.

Dec
16

Guillain Barre Syndrome

GUILLAIN-BARRE SYNDROME (GBS)

I. PENDAHULUAN

Guillain Barre syndrome (GBS) adalah Kumpulan Gejala yang jarang terjadi

dimana kerusakan terjadi akibat sistem kekebalan yang menyerang sel-sel saraf dalam

tubuh, yang bisa menyebabkan kelumpuhan dan kelemahan otot. GBS dapat

menyebabkan gejala yang berlangsung selama beberapa minggu. Kebanyakan orang

sembuh dari GBS, tetapi beberapa orang mengalami kerusakan saraf permanen. Dalam

beberapa kasus yang langka, orang meninggal karena GBS, biasanya akibat dari

kesulitan bernapas. Di Amerika Serikat, misalnya, 3.000 sampai 6.000 orang

diperkirakan menderita GBS setiap tahunnya, baik mereka yang menerima vaksinasi

atau tidak. (1)

Guillain-Barre sindrom saat ini penyebab akut yang paling sering di seluruh

dunia dan merupakan flaccid paralysis salah satu keadaan darurat yang serius di bidang

neurologi. Kesalahpahaman yang umum adalah bahwa Guillain-Barre sindrom

memiliki prognosis yang baik tetapi 20% dari pasien mengalami kecacatan yang tetap

dan meninggal sekitar 5%. Miller Fisher syndrome, yang ditandai dengan

ophthalmoplegia, ataksia, dan areflexia, dilaporkan pada tahun 1956 sebagai varian

kemungkinan Guillain-Barre sindrom, karena cairan cerebrospinal dari pasien yang


terkena menunjukkan albuminocytologic dissociation. Selanjutnya, frank Guillain-

Barre telah mengembangkan pada beberapa pasien dengan Miller Fisher syndrome.

Berbagai penelitian dari imunopatogenesis dari Guillain-Barre sindrom menunjukkan

bahwa penyakit ini sebenarnya mencakup sekelompok gangguan perifer saraf, masing-

masing dibedakan oleh distribusi kelemahan pada tungkai atau tengkorak dan innervasi

saraf otot. Ada bukti substansial untuk mendukung penyebab sindrom autoimun ini,

dan profil autoantibody telah membantu dalam mengkonfirmasikan hubungan klinis

dan elektrofisiologi dari Guillain-Barre sindrom yang khas.(2)

II. NEUROANATOMI

Sistem saraf disusun oleh 2 jenis sel utama yaitu Neuron dan Sel penyokong

(supporting cells). Neuron merupakan struktur fungsional dari sistem saraf yang

mempunyai kemampuan untuk merespon rangsangan fisik ataupun kimia,

menghantarkan impuls listrik dan mengeluarkan berbagai regulator kimia. Dengan

kemampuan tersebut, neuron mampu merasakan stimulus sensorik, belajar, mengingat

dan mengontrol kerja otot dan kelenjar. Sebagian besar neuron tidak dapat membelah

diri dengan cara mitosis, meskipun banyak juga yang dapat beregenerasi pada ujung

selnya atau membuat cabang baru pada kondisi tertentu. (3,4)

Neuron terdiri atas 3 komponen utama, yaitu badan sel, dendrit dan akson.

Badan sel neuron adalah bagian yang paling besar dimana terdapat inti sel dan juga

merupakan “nutrition center” dari neuron tempat diproduksinya makromolekul untuk

aktifitas neuron itu sendiri. Bagian berikutnya adalah dendrit, merupakan perpanjangan

dari sitoplasma yang membentuk seperti ranting pohon. Dendrit berfungsi untuk

menangkap impuls listrik dan mengalirkannya menuju badan sel. Yang terakhir adalah
akson, merupakan bagian paling panjang dari sel saraf yang berfungsi mengantarkan

impuls jauh dari badan sel. Panjang akson bervariasi, mulai dari ukuran milimeter

hingga ukuran meter (dari SSP menuju kaki). (3,4)

Gambar 1. Struktur Mikroskopis sel saraf (neuron)

Sel penyokong pada sistem saraf berbeda dengan organ lain, sel tersebut

merupakan derivat dari lapisan jaringan embrional (ektoderm) yang sama dengan

neuron. Pada sistem saraf pusat, terdapat 4 jenis sel penyokong, yaitu oligodendrosit,

microglia, astrosit dan sel ependim, sedangkan pada sistem saraf perifer terdiri dari sel

schwann dan sel satelit.

Gambar 2. Sel Penyokong pada Sistem Saraf Pusat

Semua akson di Sistem saraf perifer dikelilingi oleh tumpukan lapisan sel

schwann yang disebut neurilemma, sedangkan di susunan saraf pusat tidak ditemukan

sel schwann. Beberapa akson di PNS dan CNF dikelilingi oleh selubung myelin yang
membuat akson dapat menghantarkan impuls lebih cepat dibandingkan akson yang

tidak memiliki selubung myelin. (4)

Gambar 3. Sel Schwann dan Selubung Myelin pada neuron

III. PATOMEKANISME

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang

mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada GBS masih belum diketahui dengan

pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi

pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi (5).

Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang

menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:

1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated

immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.

2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi


3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada

pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.

Proses demyelinisasi saraf tepi pada GBS dipengaruhi oleh respon imunitas

seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang

paling sering adalah infeksi virus. Konsep imunologi yang penting untuk menjelaskan

terjadinya reaksi inflamasi pada GBS adalah konsep “molecular mimicry”, dimana

terjadi reaksi silang antara antibodi yang seharusnya menuju organisme yang

menginfeksi tubuh penderita, tetapi menginfeksi sel neuron dan myelin yang memiliki

epitop pada gangliosida yang sama dengan organisme penginfeksi tersebut. Antibodi

tersebut melewati sawar darah otak dan memediasi reaksi imunologi pada saraf tepi.

Respon inflamasi tersebut menghasilkan sitokin yang memfasilitasi infiltrasi sel imun

dan juga meningkatkan permeabilitas kapiler sel endotel. Sehingga terjadi difusi

kompleks protein seperti immunoglobulin melewati sawar darah otak. Pada GBS, akan

ditemukan peningkatan jumlah protein di cairan cerebrospinal tetapi jumlah sel darah

putih yang sedikit (5,6,7).

Patomekanisme yang cukup jelas dapat diketahui pada subtipe GBS yang paling

sering terjadi, yaitu Acute Inflamatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP). Proses

demyelinisasi pada AIDP berhubungan dengan infiltrasi makrofag dan CD4+ helper

Sel T ke jaringan saraf perifer (biasanya terjadi pada motor neuron). Diperkirakan

bahwa anti-myelin IgG antibodi, mungkin menargetkan antigen gangliosida,

memediasi proses penghancuran pada myelin melalui “classical complement cascade”

dan formasi serangan membran myelin yang kompleks. Proses tersebut juga

mengaktifkan makrofag mengekspresikan reseptor Fc untuk antigen-bound IgG dan


reseptor komplemen untuk permukaan ikatan C3b yang memfasilitasi terjadinya

stripping pada myelin. Selain itu, aktivitas makrofag juga menyekresikan sitokin pro-

inflamasi dari CD4+ helper sel T (7).

Gambar 4. Reaksi immunologi pada GBS subtipe AIDP

Kerusakan myelin oleh sel imun dan serangan kompleks membran memberikan

manifestasi klinik pada AIDS. Pasien akan merasakan kelemahan otot yang simetris,

paralisis atau hiporefleksia dengan atau tanpa gejala sensorik dan otonom. Kelemahan

otot tersebut dapat menyebabkan kegagalan pernapasan yang bisa berakibat fatal.

Demyelinisasi akson paling banyak terjadi pada saraf perifer dan radiks spinalis, tetapi

terdapat juga pada Nn. Craniales (7).


Gambar 5. Proses Immunologi yang menyebabkan kerusakan akson dan sel schwann

IV. VARIAN GBS

Beberapa varian dari Guilland-Barre Syndrome dapat diklasifikasikan yaitu :

1. Acute Inflamatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)

AIDP merupakan varian yang paling sering ditemukan pada GBS (85-90%)

yang secra patologi terjadi demyelinisasi, infiltrasi limfosit dan macrophage-mediated

clearance dari myelin pada N. Spinalis dan saraf perifer lainnya. AIDP merupakan

kelainan autoimun yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus sebelumnya dan

dapat sembuh dengan sendirinya (self-limited)(6,8).

2. Miller Fisher Syndrome (MFS)

MFS dipicu oleh infeksi strain C. Jejuni yang memberikan karakteristik

terbentuknya antibodi GQ1b dan antibodu GT1a pada tubuh penderita. Anbodi tersebut

menyerang nervus oculomotorius (N.III) juga cabang dorsal sel ganglion dan neuron

cerebellar sehingga memberikan gambaran klinik berupa ophtalmoplegia, ataxia dan


areflexia. Kelemahan otot yang terjadi pada MFS disebabkan blokade pelepasan

asetilkolin pada ujung terminal akson (8).

3. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)

AMAN merupakan kelainan yang banyak ditemukan pada anak-anak di Cina,

mempunyai karakteristik onset akut/subakut berupa kelemahan anggota gerak yang

simetris, areflexia difus, kelemahan otot facial dan oropharyngeal serta insufisiensi

napas (8).

4. Acute Motor and Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)

Karakteristik dari varian ini adalah tetraparesis akut disertai areflexia,

kehilangan kemampuan sensori pada distal ekstremitas dan insufisiensi napas. Pada

AMSAN ditemukan peningkatan CSF dan potensial motorik serta sensorik yang

menghilang(8).

5. Pharyngeal-Cervical-Brachial Variant

Varian ini merupakan GBS yang hanya terjadi pada otot-otot regio cervical,

brachial atau oropharyngeal. Varian ini menyebabkan kekakuan pada daerah faring dan

leher yang semakin lama akan meluas ke daerah ekstremitas dalam beberapa minggu.

Ptosis dan ophtalmoparesis bisa saja terjadi sehingga menjadi penyulit untuk

membedakannya dengan myasthenia gravis. Pada pemeriksaan CSF ditemukan

peningkatan protein dan antibodi GT1a(8).

V. DIAGNOSA

Gejala pertama dari sindrom Guillain-Barre adalah mati rasa, paresthesia,

kelemahan, nyeri pada tungkai, atau beberapa kombinasi dari gejala-gejala. Fitur utama

bersifat progresif bilateral dan relatif simetris kelemahan tungkai, dan kelemahan
berlangsung selama 12 jam untuk 28 hari. Pasien biasanya memiliki hiporefleksia

umum atau areflexia.(2)

GBS adalah jenis yang paling umum yang berkembang pesat, namun pada

beberapa gangguan bisa menjadi salah diagnosis ke GBS, terutama pada awal dalam

perjalanannya. Diagnosis GBS didasarkan pada gambaran klinis yang khas,

pemeriksaan elektrodiagnostik dan pemeriksaan cairan cerebrospinal (CSF) dapat

membantu dalam diagnosis. Temuan elektrodiagnostik sugestif GBS termasuk

absennya H refleks, amplitudo rendah atau tidak ada sensorik saraf potensial aksi,

gelombang F yang abnormal, dan lainnya lebih jarang kelainan. Temuan ini mungkin

memungkinkan intervensi awal dengan perlakuan khusus, tetapi diagnosis pasti

biasanya tidak mungkin sampai hari kelima setelah onset gejala.10 Karakteristik CSF

temuan terdiri dari protein tinggi.

Kriteria diagnostic untuk Guillain-Barre Syndrome:

 Hal yang dibutuhkan untuk diagnosis

o Kelemahan progresif pada kedua lengan dan kaki

o Arefleksia

 Hal yang menguatkan diagnosis

o Progresi dari gejala dalam beberapa hari, sampai 4 minggu

o Gejala yang relative simetris

o Tanda atau gejala gangguan ringan sensoris

o Terlibatnya nervus cranialis, terutama kelemahan bilateral dari otot wajah

o Pemulihan mulai pada minggu kedua sampai empat setelah progresifitas

o Disfungsi otonom
o Tidak adanya demam saat onset

o Konsentrasi yang tinggi dari protein dalam cairan cerebrospinal ( <10 sel

/ mm3 )

o Hasil elektrodiagnosis

 Hal yang mengeksklusi diagnosis

o Diagnosis botulism, myasthenia, poliomyelitis, atau toxic neuropathy

o Metabolisme abnormal porphyrin

o Diphteria

o Sindrom sensoris, tanpa kelemahan (9)

Pemeriksaan Cairan Serebrospinal (CSS)

CSS ditemukan di GBS adalah peningkatan protein CSS lebih besar dari 400

mg/L dalam waktu seminggu dari timbulnya gejala (pada> 80% pasien). Gambar klasik

di GBS adalah albumino-sitologi disosiasi (yaitu peningkatan protein CSS dengan

jumlah sel normal), Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3. polineuropati merupakan penyakit

yang juga ditandai dengan gambaran CSS mirip dengan GBS kecuali bahwa kadar

protein jauh lebih tinggi di GBS (1009 + 790 mg / L) dibandingkan dengan 450 + 340

mg / L pada polyneuropathy. (2,10)

Pemeriksaan elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:

Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan

hantar kurang 60% dari normal. (10)


Tabel Perbandingan Hasil Cairan Serebrospinal. (10)

Penyakit Jumlah Sel Protein Glukosa

Menigitis Terjadi Peningkatan, Peningkatan, Penurunan CSS /

karena Bakteria terutama 1000 - 5000 mg / Plasma dengan

polimorfonuklear L rasio <0,4

(PMN) CSS glukosa

normal dalam 9%

dari kasus

Meningitis Terutama limfositik Peningkatan, Biasanya normal,

Karena Virus pleocytosis, biasanya 500- meskipun

meskipun PMN 1000mg / L penurunan glukosa

sering hadir dalam CSF telah

24 jam pertama. dilaporkan.

VI. TERAPI

Penanganan GBS terdiri dari 2 komponen : penanganan suportif dan terapi

spesifik. Penanganan suportif menjadi hal yang utama dari terapi. Jika pasien melewati

masa akut dari penyakit dengan cepat, kebanyakan akan mengalami pemulihan fungsi.

Namun, neuropati dapat dengan cepat berkembang sehingga intubasi endotrakeal dan

ventilasi mekanik sangat penting dalam 24 jam setelah onset.

Karena alasan ini, semua pasien dengan GBS harus dirujuk ke rumah sakit untuk

diobservasi pernapasannya, disfungsi saraf cranial, dan instabilitas otonom. Disfungsi


sistem saraf otonom dapat termanifestasikan pada fluktuasi tekanan darah, disaritmia

jantung, pseudo-obstruksi gastrointestinal, dan retensi urin. Profilaksis untuk deep vein

thrombosis juga dibutuhkan karena pasien biasanya immobile dalam beberapa

minggu.(9)

Terapi spesifik GBS meliputi:

 Kortikosteroid

o Kortikosteroid dalam penanganan GBS sudah diperdebatkan selama

puluhan tahun. Namun, dua penelitian, satu dengan dosis konvensional

prednisolone dan yang lain dengan dosis tinggi methylprednisolone,

telah gagal menunjukkan efek manfaatnya. Meskipun kortikosteroid

tidak lagi direkomendasikan sebagai penanganan rutin untuk GBS akut,

kami telah mengamati beberapa kasus dimana pemberian intravena

dosis tinggi dari kortikosteroid tampaknya dapat menghentikan

perkembangan penyakit.(11)

o Pemberian kortikosteroid tidak efektif dalam menangani GBS. Pada

sitematik review Cochrane dari enam percobaan dengan 587 pasien,

rata-rata menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan antara pasien

yang ditangani dengan kortikosteroid dan non-kortikosteroid. Pada

empat percobaan dari kortikosteroid oral dengan 120 pasien, ada sedikit

kemajuan klinis setelah 4 minggu pemberian kortikosteroid dibanding

tanpa pemberian kortikosteroid, yang menunjukkan bahwa

kortikosteroid oral dapat memberikan pemulihan secara lambat.

Methylprednisolone intravena sendiri tidak menghasilkan manfaat atau


kerusakan yang signifikan. Kombinasi methylprednisolone intravena

(500mg per hari dalam 5 hari) dengan IVIG, dapat mempercepat

pemulihan tapi tampak tidak memberikan efek signifikan untuk hasil

jangka panjang. (6)

 Plasmapharesis

o Metode ini digunakan untuk menghilangkan antibody dari darah.

Prosesnya meliputi pengambilan darah dari tubuh, biasanya dari tangan,

darah dipompa ke mesin yang memisahkan antibody, kemudian

mengembalikannya lagi ke tubuh pasien.(12)

o Rejimen yang kami gunakan menghilangkan 200 sampai 250 ml/kg

plasma dalam 4 sampai 6 penanganan pada selang beberapa hari atau

dalam jangka waktu yang lebih pendek jika tidak ada koagulopati.

Cairan pengganti yang digunakan yaitu larutan saline dikombinasikan

dengan 5% albumin. Akses vena yang besar biasanya membutuhkan

insersi dari subclavia atau kateter internal jugular, dan ini dapat menjadi

sumber utama komplikasi (pneumothorax, infeksi, hemoragik). Pada

kebanyakan pasien, penatalaksanaan ini dapat dilakukan melalui vena

antekubiti. Saat prosedur, hipotensi, hipoprotrombinemia dengan

perdarahan (biasanya epitaksis) dan aritmia jantung dapat terjadi.

Beberapa grup memilih untuk menggunakan kadar fibrinogen, yang saat

menurun saat dilakukannya plasmapharesis, sebagai meteran untuk

risiko dari potensi hemoragik sebelum memulai pemeriksaan dan

penggantian berikutnya. Hepatitis dan AIDS tidak berisiko jika plasma

diganti dengan albumin dan saline dibanding dengan pooled plasma. (11)
 Immunoglobulin Intravena (IVIG)

o Metode ini digunakan untuk memblok antibody dengan menggunakan

dosis tinggi dari immunoglobulin (IVIG). Pada kasus ini,

immunoglobulin dimasukkan ke dalam darah dalam jumlah besar, yang

mengakibatkan terhambatnya antibody yang menyebabkan inflamasi.(12)

o The Dutch Study Group telah menemukan bahwa intravenous

administration of immune globulin (0,4g/kg per hari untuk 5 hari

berturut-turut) sama efektifnya dengan penggantian plasma dan lebih

mudah serta mungkin lebih aman karena tidak dibutuhkannya akses

intravena yang besar. Hasil dari penelitian yang dilakukan dengan

membandingkan dua model penatalaksanaan dan dievaluasi secara

berkala. Pada percobaan akhir ada tren dimana hasil lebih baik ada pada

pasien yang menerima pertukaran plasma, dan hasilnya lebih bagus lagi

pada grup yang memberikan pergantian plasma diikuti dengan 5 hari

pemberian immuno globulin. Kebanyakan pasien mentoleransi

penatalaksanaan IVIG dengan baik. Gagal ginjal, proteinuria, dan

meningitis asepsis, yang berbentuk sakit kepala hebat, dan komplikasi

langka. Satu-satunya reaksi serius yang ditemukan pada beberapa pasien

yang secara kongenital kekurangan IgA dan yang mendapatkan pooled

gamma globulin mengakibatkan anafilaksis dan inflamasi lokal vena

thrombosis.(11)
VII. PROGNOSIS

 3-5% pasien tidak bertahan hidup, walaupun ditangani di rumah sakit dengan peralatan

tercanggih.

 Pada stadium awal, kematian banyak disebabkan oleh gagal jantung, yang mungkin

berhubungan dengan dysautonomia, adult respiratory syndrome, atau beberapa

kegagalan mesin yang tidak disengaja.

 Pada stadium akhir, emboli paru dan komplikasi lainnya (biasanya karena bakteri)

karena imobilisasi yang lama dan gagal napas menjadi penyebab utama kematian.

 Mayoritas pasien sembuh total atau mendekati total (dengan defisit motorik ringan

pada kaki atau tangan).

 Masa penyembuhan bervariasi. Kadang terjadi dalam beberapa minggu atau

bulan, namun, jika terdapat degenerasi akson, regenerasinya mungkin membutuhkan

waktu 6 sampai 18 bulan atau bahkan lebih.

 Tidak adanya perubahan atau sedikit perubahan dapat diperkirakan apabila terdapat

disabilitas yang berlangsung selama 2 sampai 3 tahun.

 5-10% pasien mendapatkan rekurensi dari polineuropati akut.(11)

Posted 16th December 2012 by Qalbia M.Nur

Anda mungkin juga menyukai