Anda di halaman 1dari 48

PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)

DI KABUPATEN BANDUNG

PENDEKATAN DAN
METODOLOGI
Bagian ini akan menjelaskan tentang tanggapan terhadap KAK yang telah dibuat oleh
pemberi kerja, pendekatan dan metodologi yang digunakan dalam penyusunan pekerjaan ini,
rencana kerja, jadwal pelaksanaan pekerjaan, komposisi tim dan uraian tugasnya serta
jadwal penugasan tenaga ahli dan tenaga pendukung yang terlibat dalam Pekerjaan
Pendampingan Fasilitasi dan Stimulasi RTLH (Paket 1) di Kabupaten Bandung.

2.1 TANGGAPAN TERHADAP KAK

2.1.1 Latar Belakang

Permasalahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman sampai dengan saat ini
masih menjadi tantangan bagi pemerintah Kabupaten Bandung. Berbagai faktor
mempengaruhi terhadap penyelesaian masalah perumahan dan kawasan permukiman
ini, salah satunya adalah pertumbuhan penduduk yang terus bertambah yang berdampak
kebutuhan akan rumah meningkat. Apalagi di era otonomi daerah saat ini, masalah
perumahan dan permukiman sudah menjadi tanggung jawab pemerintah Kabupaten/Kota.
Artinya Pemerintah Kabupaten Bandung yang harus mulai memikirkan peningkatan peran
masyarakatnya dalam pemenuhan kebutuhan rumah yang layak. Seiring dengan
dibatasinya peran pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan bidang perumahan dan
kawasan permukiman, dimana pemerintah ke depan hanya sebagai pemampu (enabler)
bukan sebagai penyedia (provider) termasuk sebagai fasilitator saja, sudah saatnya
mendorong peran masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan dalam bidang
perumahan dan kawasan permukiman.

Berdasarkan evaluasi pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yang ada,


beberapa tahun ini ada beberapa permasalahan yang dihadapi yaitu :

1. Masih belum mantap serta belum terlembaganya sistem penyelenggaraan perumahan


dan kawasan permukiman yang responsif dengan perkembangan kebutuhan yang ada.

2. Tidak seimbangnya antara tingginya kebutuhan akan perumahan yang layak dan
terjangkau dengan kemampuan sebagian besar masyarakat di Kabupaten Bandung.

Hal 2-1
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

Dengan adanya keterbatasan peran pemerintah terutama dari segi pembiayaan masalah
bidang perumahan dan kawasan permukiman ini sudah menjadi tanggung jawab seluruh
lapisan masyarakat dan swasta. Dalam rangka mengatasi masalah diatas beberapa pola
pembangunan perumahan telah dikembangkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat
sendiri.

Salah satu pola pembangunan yang umum dijumpai di masyarakat Kabupaten Bandung
adalah pola pembangunan rumah secara swadaya, artinya masyarakat membangun
rumah secara mandiri/swadaya tanpa adanya bantuan dari pemerintah. Berdasarkan hasil
identifikasi kondisi rumah di Kabupaten Bandung, hasil pembangunan rumah secara
swadaya, terutama yang dibangun oleh kelompok masyarakat kurang mampu dan
masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) cenderung tidak memenuhi kriteria rumah
layak huni dan seiring dengan waktu, terjadi penurunan kualitas rumah menjadi rumah
tidak layak huni (RTLH).

Untuk merespon keberadaan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), melalui kegiatan dari
Dinas Perumahan, Permukiman dan Pertanahan (Disperkimtan) Kabupaten Bandung
Tahun Anggaran 2019 ini, akan dilakukan program Pembangunan dan Perbaikan Rumah
Layak Huni di wilayah Kabupaten Bandung.

Tanggapan :

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK),
dasar dari Pekerjaan Pendampingan Fasilitasi dan Stimulasi RTLH (Paket 1) di
Kabupaten Bandung mengacu kepada adanya permasalahan di bidang perumahan dan
kawasan permukiman di Kabupaten Bandung, salah satunya adalah keberadaan Rumah
Tidak Layak Huni (RTLH) yang diharapkan masalah ini dapat diselesaikan dengan
adanya pekerjaan ini.

2.1.2 Maksud, Tujuan dan Sasaran

a. Maksud

Secara umum maksud dari pekerjaan ini adalah memberikan fasilitasi dan stimulan
kepada masyarakat kurang mampu dan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk
dapat memenuhi kebutuhan akan tempat hunian (rumah) yang layak dalam lingkungan
yang tertata, aman, nyaman dan serasi.

b. Tujuan

Hal 2-2
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

Tujuan dari fasilitasi dalam pelaksanaan program pembangunan dan perbaikan rumah
tidak layak huni ini adalah meningkatnya pembangunan perumahan pada masyarakat
kurang mampu secara swadaya melalui bantuan stimulan untuk pembangunan/perbaikan
perumahan.

c. Sasaran

Sasaran dari pelaksanaan pekerjaan ini adalah : Tersalurkannya bantuan stimulan untuk
perbaikan/pembangunan rumah yang menjadi rangsangan bagi masyarakat untuk
melaksanakan perbaikan/pembangunan rumah yang layak huni dan dilakukan secara
swadaya oleh masyarakat tersebut.

Tanggapan :

Dilihat dari uraian maksud, tujuan dan sasaran dari Pekerjaan Pendampingan Fasilitasi
dan Stimulasi RTLH (Paket 1) di Kabupaten Bandung sudah cukup tergambarkan dengan
jelas.

2.1.3 Keluaran

Keluaran yang diharapkan dari kegiatan fasilitasi dan stimulasi rumah tidak layak huni di
Kabupaten Bandung ini antara lain meliputi :

 Perolehan jumlah unit rumah yang terpugar/diperbaiki di Kabupaten Bandung, sebagai


bagian dari pencapaian target program Dinas Perumahan, Permukiman dan
Pertanahan (Disperkimtan) Kabupaten Bandung,

 Jumlah KK yang mendapatkan bantuan Perbaikan Perumahan Tidak Layak Huni,

 Data dan informasi mengenai persoalan perumahan dan permukiman serta


rekomendasi penanganannya di masing-masing lokasi kegiatan.

Tanggapan :

Cukup Jelas.

Hal 2-3
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

2.1.4 Lingkup Kegiatan

Dalam melaksanakan kegiatan fasilitasi dan stimulasi rumah tidak layak huni di
Kabupaten Bandung ini, lingkup kegiatan yang akan dilakukan terdiri dari dua bagian
besar yaitu :

Bentuk kegiatan jasa yang akan dilakukan secara garis besar adalah sebagai
berikut :

1. Melakukan Desiminasi/sosialisasi program kepada para pelaku terkait dari tingkat


kabupaten sampai masyarakat.

2. Membantu penyiapan kelembagaan/kelompok penerima program di setiap lokasi


penerima manfaat.

3. Membantu penyelenggaraan koordinasi pengendalian pelaksanaan program antara


pihak pemerintah Kabupaten Bandung, Desa/Kelurahan dan masyarakat, serta pihak
lain yang terkait menangani Iingkup perumahan dan permukiman.

4. Membantu masyarakat dalam menyiapkan usulan perbaikan/pembangunan rumah


yang memuat rencana perbaikan, rencana anggaran biaya (RAB) dan jadwal
pelaksanaan kegiatan.

5. Membantu masyarakat dalam merealisasikan pembangunan/perbaikan rumahnya


sejak tahap pengajuan usulan untuk mendapatkan bantuan stimulan dan tahap
pembangunannya.

6. Membantu dinas dalam evaluasi dan identifikasi permasalahan perumahan dan


permukiman di masing-masing lokasi, dan memberikan rekomendasi penanganannya.

Sedangkan bentuk bantuan yang akan diberikan sebagai stimulan adalah :


Penyaluran bantuan dengan kriteria sebagai berikut :

 Dilaksanakan dalam bentuk penyaluran dana stimulan atau bahan bangunan,

 Tata cara pengadaan penyediaan dana / bahan bangunan dengan mengikuti aturan
pengadaan yang berlaku.

Tanggapan :

Lingkup kegiatan yang sudah diuraikan dalam KAK sudah cukup jelas.

Hal 2-4
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

2.1.5 Lingkup Wilayah

Dalam melaksanakan pekerjaan perencanaan fasilitasi dan stimulasi rumah tidak layak
huni di Kabupaten Bandung paket 1 ini, adalah 10 (Sepuluh) kecamatan, 355 (Tiga Ratus
Lima Puluh Lima) Unit Rumah di Kabupaten Bandung.

Tanggapan :

Cukup Jelas. Namun konsultan akan terus berkoordinasi dengan dinas terkait dengan
nominal yang tertera di Kerangka Acuan Kerja (KAK) ini.

2.1.6 Kebutuhan Tenaga Ahli

Agar pekerjaan ini berjalan dengan efektif dan efisien, dibutuhkan tenaga ahli yang
mempunyai kompetensi yang sesuai untuk menunjang kegiatan fasilitasi dan stimulasi
pembangunan perumahan masyarakat dalam perbaikan rumah tidak layak huni ini,
dimana tenaga ahli yang dibutuhkan sekurang-kurangnya terdiri dari :
a. Team Leader merangkap Ahli perumahan dan permukiman sebanyak 1 orang

 Seorang Sarjana (S-1) Arsitektur (101) atau Planologi (502) atau Sipil (201) memiliki
SKA Madya, berpengalaman minimal 2 (dua) tahun dalam bidang Pengembangan
Perumahan dan Permukiman atau Pendampingan Masyarakat.

 Bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan pekerjaan, menyusun rencana kerja


dan memberikan pengarahan kepada seluruh anggota tim pelaksana guna
menjamin tercapainya tujuan pekerjaan secara optimal, selain itu team leader juga
merangkap sebagai tenaga ahli perumahan dan permukiman yang bertanggung
jawab terhadap kajian mengenai perumahan dan permukimannya.

 Melampirkan SKA Madya, SPT Tahunan, Referensi Kerja, KTP, NPWP, Curiculum
Vitae.

b. Ahli Sosiologi dan Pemberdayaan Masyarakat sebanyak 1 orang

 Seorang sarjana (S-1) Sosiologi, Anthropologi, Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya
(sejenis), berpengalaman minimal 4 (empat) tahun dalam bidang pengembangan
dan pendampingan masyarakat, pengembangan SDM dan Pekerjaan pekerjaan
yang membutuhkan keahlian di bidang peningkatan peran serta masyarakat.

Hal 2-5
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

 Bertanggungjawab dalam pelaksanaan kegiatan pendampingan dan pemberdayaan


masyarakat serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan
perumahan dan kawasan permukiman.

 Melampirkan SPT Tahunan, Referensi Kerja, KTP, NPWP, Curiculum Vitae.

c. Ahli Sarana dan Prasarana Perumahan dan Permukiman sebanyak 1 orang

 Seorang sarjana (S-l) Teknik Arsitektur (101) / Teknik Sipil (201), memiliki SKA
Muda, berpengalaman minimal 1 (satu) tahun dalam bidang perencanaan bidang
perumahan dan kawasan permukiman, serta sarana dan prasarana dasar
perumahan permukiman

 Bertanggungjawab dalam pelaksanaan kegiatan pendampingan dan saran- saran


teknis pelaksanaan perbaikan rumah serta pembangunan prasarana perumahan
dan kawasan permukiman.

 Melampirkan SKA Muda, SPT Tahunan, Referensi Kerja, KTP, NPWP, Curiculum
Vitae.

d. Tenaga Pendukung
1. Surveyor/ Fasilitator sebanyak 5 orang

 Bertanggung jawab kepada Team Leader dan tenaga ahli dalam pelaksanaan
kegiatan fasilitasi dan stimulasi serta sebagai mitra kerja masyarakat di lapangan
dalam setiap tahapan proses pendampingan fasilitasi dan stimulasi.

 Melampirkan Referensi Kerja, KTP, NPWP, Curiculum Vitae.

2. Tenaga Operator Komputer sebanyak 2 orang

 Berpendidikan min SMA/SMK yang bertanggung jawab kepada Team Leader dan
juga kepada Tenaga Ahli dalam kegiatan pengelola Data Komputerisasi.

 Melampirkan Referensi Kerja, KTP, NPWP, Curiculum Vitae.

3. Tenaga Administrasi sebanyak 1 orang

 Berpendidikan min SMA/SMK yang bertanggung jawab kepada Team Leader dan
juga kepada Tenaga Ahli dalam kegiatan pengelola manajemen dan administrasi
pekerjaan.

 Melampirkan Referensi Kerja, KTP, NPWP, Curiculum Vitae.

Hal 2-6
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

Tanggapan :

Berdasarkan uraian dari Kerangka Acuan Kerja (KAK) diatas kebutuhan tenaga ahli
sebanyak 3 (tiga) orang dan tenaga pendukung sebanyak 8 (delapan) orang sudah cukup
mengakomodir kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan ruang lingkup yang telah
ditetapkan oleh pihak pemberi kerja.

2.1.7 Pendanaan dan Jadwal Penugasan

1. Pendanaan Proyek

Pelaksanaan Pekerjaan Pendampingan Fasilitasi dan Stimulasi RTLH di Kabupaten


Bandung Tahun 2019 ini, akan dibiayai oleh Dinas Perumahan, Permukiman dan
Pertanahan (Disperkimtan) Tahun Anggaran 2019, yang disalurkan melalui DPA APBD
Kabupaten Bandung Tahun 2019.

2. Jadwal Penugasan Konsultan

Penugasan konsultan dalam Pekerjaan Perencanaan Fasilitasi Dan Stimulasi Rumah


Tidak Layak Huni di Kabupaten Bandung Tahun 2019 ini dilakukan selama 4 (empat)
bulan kalender, terhitung sejak SPK ditandatangani oleh Pejabat Pembuat Komitmen.

2.1.8 Pelaporan

Jenis pelaporan dan jadwal penyerahan laporan dalam rangkaian kegiatan ini adalah
sebagai berikut :
1. Laporan Pendahuluan yang memuat antara lain :.

 Tanggapan terhadap KAK dan struktur organisasi tata kerja dan personil yang
bertanggung jawab.

 Pemahaman terhadap pekerjaan, meliputi pemahaman permasalahan secara


umum, penguasaan Iokasi pekerjaan, pemahaman terhadap program perumahan
dan permukiman.

 Metodologi pelaksanaan pekerjaan, antara lain meliputi : strategi dan metodologi


yang akan digunakan dalam pelaksanaan pekerjaan, rencana kerja dan jadwal
pelaksanaan pendampingan.

Hal 2-7
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

 Laporan Pendahuluan ini harus diserahkan kepada pemberi tugas dalam waktu 1
(satu) bulan setelah penerbitan SPMK. Disajikan dalam format A-4 sebanyak 5
(lima) eksemplar.

2. Laporan Antara yang memuat antara lain :

 Hasil pelaksanaan sosialisasi dan desiminasi yang diIakukan.

 Hasil pelaksanaan pendampingan yang sudah dilaksanakan sampai tahap ini.

 Laporan Antara ini harus diserahkan kepada pemberi tugas dalam Waktu 2 (dua)
bulan setelah penerbitan SPMK. Disajikan dalam format A-4 sebanyak 5 (lima)
eksemplar.

3. Laporan Akhir yang memuat antara lain :

 Seluruh hasil kegiatan pendampingan yang dilaksanakan selama proses kegiatan

 Laporan Akhir ini harus diserahkan kepada pemberi tugas dalam Waktu 4 (empat)
bulan setelah penerbitan SPMK. Disajikan dalam format A-4 sebanyak 5 (lima)
eksemplar.

4. 4 (empat) Harddisk External 1 Tera

Tanggapan :

Cukup Jelas. Konsultan akan memenuhi produk yang harus dihasilkan dari kegiatan ini.

2.2 APRESIASI DAN INOVASI

2.2.1 Kebijakan Publik sebagai Salah Satu Kajian Administrasi Publik

Kebijakan publik (public policy) merupakan salah satu bidang yang dipelajari atau dikaji
dalam ilmu administrasi negara/administrasi publik. Dalam beberapa literatur, terdapat
definisi administrasi negara yang menunjukan bahwa kebijakan publik menjadi bagian
yang penting dan tidak terpisahkan kajian administrasi negara/publik. Definisi administrasi
negara tersebut, diantaranya:

1. Menurut Leonald D. White (1955), public administration consist of all those operations
having for their purpose the fulfillment or enforcement of public administration.

Hal 2-8
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

(Administrasi negara terdiri dari semua kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan atau
untuk melaksanakan public policy).

2. Menurut John M. Pfiffner (1967), public administration may be defined as the


coordination of individual and group efforts to carry out public policy.

(Administrasi negara dapat dirumuskan sebagai koordinasi dari usaha- usaha individu
dan kelompok untuk melaksanakan public policy).

3. Menurut Marshall E. Dimock (1958), as a study, public administration examines every


aspect of government’s efforts to discharge the laws and to give effect to public policy.

(Sebagai suatu ilmu, administrasi negara mengamati setiap aspek usaha-usaha


pemerintah untuk melaksanakan hukum-hukum dan memberikan pengaruh terhadap
public policy) (dalam Thoha, 1984: 68).

Beberapa pengertian administrasi negara di atas mencerminkan bahwa dimensi pertama


yang menjadi pokok perhatian administrasi negara ialah public policy (Thoha, 1984: 51).
Thoha (1984) menjelaskan bahwa kebijakan publik menentukan arah kegiatan-kegiatan
pemerintah untuk mengatasi masalah yang berkembang dalam suatu negara. Tidak jauh
berbeda pendapat Thoha, Dewey (1927) mengemukakan bahwa kebijakan publik
menitikberatkan pada “publik dan problem-problemnya” yang membahas soal bagaimana
isu-isu dan persoalan-persoalan tersebut disusun (constructed) dan didefinisikan, dan
bagaimana kesemuanya itu diletakan dalam agenda kebijakan dan agenda politik (dalam
Parsons, 2005: xi). Selain itu, Heidenheimer et al. (1990) mengemukakan bahwa
kebijakan publik merupakan studi tentang “bagaimana, mengapa, apa efek dari tindakan
aktif (action) dan pasif (inaction) pemerintah” (dalam Parsons, 2005: xi). Kebijakan publik
sebagai salah satu kajian dalam administrasi publik memiliki peran sangat luas dalam
menyusun suatu rancangan mewujudkan berbagai keputusan yang bersifat sangat
strategis (Sugandi, 2011: 73). Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa kebijakan publik
berperan dalam menyelesaikan permasalahan- permasalahan masyarakat dalam suatu
negara.

Dalam perkembangan administrasi publik, kebijakan publik berkembang pada pasca


perdebatan dikotomi administrasi dan politik. Ketika administrasi negara ditujukan pada
prinsip dan proses manajemen, maka perhatian terhadap studi policy sangat bergayutan
(Thoha, 1984: 69). Walaupun demikian, kebijakan publik juga memiliki hubungan yang
erat dengan politik. Paul Appleby mengemukakan bahwa pembuatan public policy yang
dijumpai disepanjang hidup administrasi negara sebagai kegiatan dari pemerintah adalah

Hal 2-9
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

suatu proses politik dalam usahanya mendapatkan konsensus atau suatu perkiraan dari
kepentingan- kepentingan masyarakat (dalam Thoha, 1984: 67). Jadi, sebagai salah satu
bidang dalam kajian administrasi publik, kebijakan publik merupakan suatu proses politik
yang diwujudkan dalam kebijaksanaan dan kegiatan pemerintah untuk mengidentifikasi
dan menyelesaikan masalah-masalah yang berkembang di masyarakat.

2.2.2 Kebijakan Publik

Suatu negara didirikan untuk mencapai tujuan tertentu serta meraih berbagai jenis dan
bentuk kemajuan (Siagian, 2012: 138). Tujuan dari suatu negara kemudian dituangkan
dalam bentuk kebijakan publik. Kebijakan publik terbentuk dari dua kata, yaitu kebijakan
dan publik. Kebijakan (policy) adalah “an authoritative decision. Decision made by the one
who hold authority, formal or informal” (Nugroho, 2009: 96). Berdasarkan pendapat
Nugroho, kebijakan diartikan sebagai sebuah keputusan dari otoritas/pihak berkuasa yang
mana keputusan tersebut dibuat oleh pemegang otoritas/pihak yang berkuasa baik formal
maupun informal. Sedangkan, publik adalah sekelompok orang yang terkait dengan suatu
isu tertentu. Jadi, publik bukanlah umum, rakyat, masyarakat, maupun sekedar
stakeholders (Nugroho, 2009: 96). Selain itu, pengertian publik adalah “a sphere where
people become citizen, a space where citizens interact, where state and society exist”
(Nugroho, 2009: 96). Nugroho mengartikan publik sebagai sebuah lingkungan dimana
orang menjadi warga negara, sebuah ruang dimana warga negara berinteraksi, dan
dimana negara dan masyarakat berada. Secara sederhana maka dapat dikatakan bahwa
kebijakan publik adalah:

Setiap keputusan yang dibuat oleh negara, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan
dari negara. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa
awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju masyarakat yang dicita-
citakan (Nugroho, 2009: 96).

Harold Laswell dan Abraham Kaplan (1970) mengungkapkan bahwa kebijakan publik
merupakan suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan- tujuan tertentu, nilai-nilai
tertentu, dan praktik-praktik tertentu (a projected program of goals, values, and practices)
(dalam Nugroho, 2009: 93). Sedangkan Thomas R. Dye (1976), mendefinisikan kebijakan
publik sebagai apa yang dilakukan oleh pemerintah, mengapa pemerintah mengambil
tindakan tersebut, dan apa akibat dari tindakan tersebut (dalam Parsons, 2005: xi).

Hal 2-10
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

Pendapat lainnya mengenai pengertian kebijakan publik, yaitu Carl I. Friedrick (1963)
yang mengemukakan bahwa kebijakan publik merupakan:

Serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah, dalam


suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada. Kebijakan yang
diusulkan tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan
yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu (dalam Nugroho, 2009: 93-94).

Dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik merupakan serangkaian keputusan dan


tindakan yang dilakukan oleh pemerintah baik atas dasar diusulkan seseorang, kelompok,
atau pemerintah yang berisikan tujuan, nilai-nilai, dan praktik-praktik tertentu dalam suatu
lingkungan tertentu. Keputusan dan tindakan pemerintah tersebut ditujukan untuk
mengatasi berbagai isu, persoalan, dan masalah yang berkembang di masyarakat.

Kebijakan publik merupakan serangkaian kegiatan intelektual yang pada dasarnya


dilakukan dalam kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dapat dijelaskan
sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap
yang saling bergantungan yang diatur menurut urutan waktu (Dunn, 2003: 22). Adapun
serangkaian tahapan kebijakan publik tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1 Tahap-tahap dalam Proses Kebijakan

No. Fase Karakteristik


1 Penyusunan Agenda Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan
masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak
disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk
waktu lama.
2 Formulasi Kebijakan Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk
mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat
perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan
peradilan, dan tindakan legislatif.

3 Adopsi Kebijakan Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan


dari mayoritas legislatif, konsensus diatara direktur
lembaga, atau keputusan peradilan.

4 Implementasi Kebijakan Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit


administrasi yang memobilisasikan sumberdaya
finansial dan manusia.

5 Penilaian Kebijakan Unit-unit pemeriksaan dan akuntasi dalam pemerintahan


menentukan apakah badan- badan eksekutif, legislatif,

Hal 2-11
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

dan peradilan memenuhi persyaratan undang-undang


dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.
(Sumber: Dunn, 2003: 24)

Berdasarkan tabel diatas Dunn (2003) mengemukakan bahwa kebijakan publik memiliki
lima tahapan sesuai urutan waktu yang dimulai dari tahap penyusunan agenda, formulasi
kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, hingga penilaian kebijakan. Setelah
penilaian kebijakan yang merupakan tahap terakhir kebijakan publik dilakukan, bukan
berarti proses kebijakan publik telah selesai. Namun, kita dapat melihat kebijakan publik
sebagai siklus atau tahapan-tahapan yang pasti dan berulang kembali (Sugandi, 2011:
80).

2.2.3 Program

Kebijakan administratif yang masih berupa pernyataan-pernyataan umum yang berisikan


tujuan, sasaran, serta berbagai macam sarana, agar dapat diimplementasikan perlu
dijabarkan lagi ke dalam program-program yang bersifat operasional (Tachjan, 2006: 31).
Implementasi kebijakan yang merupakan cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai
tujuannya dapat dilakukan dengan dua langkah, yaitu langsung diimplementasikan dalam
bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan
publik tersebut (Nugroho, 2009: 618).

Kebijakan dan program memiliki perbedaan, yaitu kebijakan publik lebih bersifat ikatan
hukum terhadap berbagai program-program, sedangkan program sendiri adalah turunan
dari kebijakan (Sugandi, 2011: 76). Adapun definisi program menurut Terry (1977) adalah:

“A program can be defined as a comprehensive plan that includes future use of different
resources in an integrated pattern and established a sequence of required actions and
time schedules for each in order to achieve stated objectives. The makeup of a program
can include objectives, policies, procedures, methods, standards, and budgets” (dalam
Tachjan, 2006: 32).

Terry (dalam Tahjan, 2006) mengemukakan bahwa program merupakan rencana yang
bersifat komprehensif yang sudah menggambarkan sumber daya yang akan digunakan
dan terpadu dalam satu kesatuan. Program tersebut menggambarkan sasaran, kebijakan,
prosedur, metode, standar, dan budget. Tidak jauh berbeda dengan pendapat Terry,
Grindle (1980) mengemukakan bahwa isi (content) program harus menggambarkan: “(1)
interests affected, (2) type of benefits, (3) extent of change envisioned, (4) site of decision
making, (5) program implementers, (6) resources commited” (dalam Tachjan, 2006: 33).
Maksud dari pendapat Grindle tersebut adalah isi program harus menggambarkan: (1)

Hal 2-12
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

kepentingan yang terpengaruhi oleh program, (2) jenis manfaat yang akan dihasilkan, (3)
derajat perubahan yang diinginkan, (4) status pembuat keputusan, (5) siapa pelaksana
program, dan (6) sumber daya yang digunakan.

Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa program merupakan turunan dari


kebijakan yang tidak hanya berisi tentang kejelasan tujuan/sasaran kebijakan yang ingin
di capai, melainkan secara rinci menggambarkan pula tentang prosedur, metode, standar,
dan sumber daya yang akan digunakan dan terpadu dalam satu kesatuan. Program
dibutuhkan agar suatu kebijakan publik dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan dari
kebijakan publik itu sendiri.

2.2.4 Evaluasi Kebijakan

Ada banyak definisi mengenai evaluasi kebijakan publik yang dikemukakan oleh para ahli.
Evaluasi kebijakan berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat
hasil kebijakan (Dunn, 2003: 608). Thomas R. Dye (1987) memberikan definisi yang luas
bahwa evaluasi merupakan pembelajaran tentang konsekuensi dari kebijakan publik yang
berbunyi: “Evaluasi kebijakan adalah pemeriksaan yang objektif, sistematis dan empiris
terhadap efek dari kebijakan dan program publik terhadap targetnya dari segi tujuan yang
ingin dicapai” (dalam Parsons, 2005: 547).

Pendapat lainnya mengenai evaluasi kebijakan adalah dari Carol Weiss (1976) yang
mengatakan bahwa evaluasi dapat dibedakan dari bentuk-bentuk analisisnya
berdasarkan enam hal, yaitu:

1. Evaluasi dimaksudkan untuk pembuatan keputusan, dan untuk menganalisis problem


seperti yang didefinisikan oleh pembuat keputusan, bukan oleh periset.

2. Evaluasi adalah penilaian karakter. Riset bertujuan untuk mengevaluasi tujuan


program.

3. Evaluasi adalah riset yang dilakukan dalam setting kebijakan, bukan dalam setting
akademik.

4. Evaluasi sering kali melibatkan konflik antara periset dan praktisi.

5. Evaluasi biayanya tidak dipublikasikan.

6. Evaluasi mungkin melibatkan periset dalam persoalan kesetiaan kepada agen pemberi
dana dan peningkatan perubahan sosial (dalam Parsons, 2005: 547-548).

Hal 2-13
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

Evaluasi kebijakan memiliki fungsi dan peranan penting dalam kebijakan publik. Evaluasi
biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakan publik guna
dipertanggungjawabkan kepada konstituennya, sejauh mana tujuan dicapai, dan evaluasi
diperlukan untuk melihat kesenjangan antara “harapan” dan “kenyataan” (Rusli, 2013:
114). Menurut Laster dan Stewart (2000), evaluasi ditujukan untuk melihat sebab-sebab
kegagalan suatu kebijakan dan untuk mengetahui apakah kebijakan yang telah
dirumuskan dan dilaksanakan dapat menghasilkan dampak yang diinginkan (dalam
Agustino, 2006: 175). Selain itu, evaluasi kebijakan memainkan sejumlah fungsi utama,
yaitu:

1. Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja
kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai
melalui tindakan publik.

2. Evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang
mendasari pemilihan tujuan dan target.

3. Evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya,


termasuk perumusan masalah dan rekomendasi (Dunn, 2003: 609-610).

Merujuk pada peran dan fungsi evaluasi kebijakan di atas, bahwa pada dasarnya evaluasi
kebijakan bertujuan untuk memberikan masukan untuk perbaikan/penyempurnaan
kebijakan selanjutnya. Setiap evaluasi kebijakan akan menghasilkan kesimpulan apakah
kebijakan dihentikan, dilanjutkan, dan jika dilanjutkan apakah tetap atau direvisi (Nugroho,
2009: 698).

Bagan 1 Pasca-Evaluasi Kebijakan

Hal 2-14
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

(Sumber : Nugroho, 2009: 699)

Berdasarkan bagan diatas terlihat bahwa evaluasi kebijakan pada akhirnya akan
menghasilkan kesimpulan yang berupa masukan apakah suatu kebijakan dihentikan,
tetap dilanjutkan dan dilanjutkan dengan adanya revisi. Menurut Nugroho (2009), revisi
kebijakan dibutuhkan karena kebijakan itu hidup sebab ada pada masyarakat yang hidup,
perubahan diperlukan untuk adaptasi dan antisipasi.

Dalam rangka menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan yang valid dan dapat
dipercaya, evaluasi kebijakan perlu menggunakan kriteria yang diterapkan secara
restrospektif (ex-post) (Dunn, 2003: 611). Adapun kriteria evaluasi kebijakan tersebut
disarikan dalam tabel berikut:

Tabel 2 Kriteria Evaluasi Kebijakan

No. Tipe Kriteria Pertanyaan


1 Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai?
Seberapa banyak usaha diperlukan untuk mencapai hasil hasil yang
2 Efisiensi dinginkan?
Seberapa jauh percapaian hasil yang diinginkan memecahkan
3 Kecukupan masalah?

Apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan merata kepada


4 Perataan kelompok-kelompok yang berbeda?

Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai


5 Responsivitas kelompok-kelompok tertentu?

Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna atau


6 Ketepatan bernilai?
(Sumber: Dunn, 2003: 610)

Berdasarkan tabel diatas, Dunn (2003) mengemukakan bahwa terdapat enam kriteria
evaluasi, yaitu efektivitas, efisiensi, kecukupan, perataan, responsivitas dan ketepatan.
Selain terdapat kriteria evaluasi juga terdapat beberapa pendekatan yang dapat
digunakan dalam pengumpulan informasi mengenai kinerja dan dampak aktual dari
kebijakan. Pada dasarnya, riset evaluasi kebijakan membahas dua dimensi, yaitu
bagaimana sebuah kebijakan bisa diukur berdasarkan tujuan yang ditetapkan, dan
dampak aktual dari kebijakan (Parsons, 2005: 548). Terdapat pula dua pendekatan dalam
evaluasi kebijakan, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif (Parsons, 2005: 549).

Hal 2-15
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

Gambar 1 Siklus Kebijakan dan Siklus Informasi

(Sumber: Parsons, 2005: 549)

Gambar diatas menunjukan bahwa pendekatan evaluasi kebijakan berkaitan dengan


waktu pelaksanaan evaluasi dan proses/siklus kebijakan publik. Posisi evaluasi formatif
berada pada implementasi dan evaluasi sumatif berorientasi pada dampak kebijakan
setelah implementasi. Palumbo (1937) mengatakan bahwa evaluasi formatif dilakukan
ketika kebijakan/program sedang diimplementasikan merupakan analisis tentang

Hal 2-16
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

“seberapa jauh sebuah program diimplementasikan dan apa kondisi yang bisa
meningkatkan keberhasilan implementasi” (dalam Parsons, 2005: 549). Evaluasi formatif
memonitor cara dimana sebuah program dikelola atau diatur untuk menghasilkan umpan
balik yang berfungsi untuk meningkatkan proses implementasi. Sedangkan, evaluasi
sumatif yang dilakukan pasca-implementasi kebijakan berusaha mengukur bagaimana
kebijakan/program secara aktual berdampak pada problem yang ditanganinya (Parsons,
2005: 552).

Secara lebih luas pendekatan evaluasi kebijakan dibedakan menjadi tiga, yaitu evaluasi
semu, formal, dan evaluasi keputusan teoritis (Dunn, 2003: 611). Penjelasan mengenai
tujuan dan asumsi ketiga pendekatan tersebut disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 3 Tiga Pendekatan Evaluasi Kebijakan

No. Pendekatan Tujuan Asumsi


1 Evaluasi Menggunakan metode Ukuran manfaat atau nilai
Semu deskriptif untuk menghasilkan terbukti dengan sendirinya
informasi yang valid tentang
atau tidak kontroversial.
hasil kebijakan.
2 Evaluasi Menggunakan metode Tujuan dan sasaran dari
Formal deskriptif untuk menghasilkan pengambil kebijakan dan
informasi yang terpercaya dan administrator yang secara
valid mengenai hasil kebijakan resmi diumumkan
secara formal diumumkan merupakan ukuran yang
sebagai tujuan program- tepat dari manfaat atau
kebijakan. nilai.
3 Evaluasi Menggunakan metode Tujuan dan sasaran dari
Keputusan deskriptif untuk menghasilkan berbagai pelaku yang
Teoritis informasi yang terpercaya dan diumumkan secara formal
valid mengenai hasil kebijakan ataupun diam-diam
yang secara eksplisit merupakan ukuran yang
diinginkan oleh berbagai tepat dari manfaat atau
pelaku kebijakan. nilai.
(Sumber: Dunn, 2003: 612)

Berdasarkan pada tabel diatas, evaluasi semu menekankan pada pengumpulan informasi
tanpa berusaha untuk menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil- hasil kebijakan
terhadap individu, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan. Selanjutnya, evaluasi
formal mengumpulkan informasi dengan menggunakan undang-undang, dokumen-
dokumen program, dan wawancara dengan pembuat kebijakan dan administrator untuk
mengidentifikasikan, mendefinisikan, dan menspesifikasikan tujuan dan terget kebijakan.

Berbeda dengan Parsons (2005) yang membedakan secara jelas antara evaluasi
kebijakan menjadi evaluasi formal dan evaluasi sumatif, Dunn (2003) mengemukakan

Hal 2-17
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

bahwa evaluasi formatif dan evaluasi sumatif merupakan tipe evaluasi yang masuk dalam
evaluasi formal. Adapun perbedaaan antara evaluasi formatif dan evaluasi evaluasi
sumatif, yaitu evaluasi formatif meliputi usaha-usaha yang secara terus menerus
memantau pencapaian tujuan-tujuan dan target formal, sedangkan evaluasi sumatif
meliputi usaha untuk memantau pencapaian tujuan dan target formal setelah suatu
kebijakan atau program diterapkan untuk jangka waktu tertentu (Dunn, 2003: 614).
Terakhir, evaluasi keputusan teoritis berusaha untuk memunculkan dan membuat eksplisit
tujuan dan target dari pelaku kebijakan baik yang tersembunyi atau dinyatakan (Dunn,
2003: 619).

2.2.5 Kampung Kumuh

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1990), pengertian kampung
adalah desa, dusun atau kelompok rumah-rumah yang merupakan bagian kota dan
biasanya rumah-rumahnya kurang bagus. Dalam Kamus Tata Ruang yang diterbitkan
oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum bekerjasama dengan
Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia tahun 1997, pengertian kampung adalah kelompok
rumah yang menempati wilayah tertentu dan merupakan bagian dari kecamatan.

Kampung-kampung di daerah perkotaan Indonesia sering dianggap identik dengan istilah


slum (perkampungan yang miskin dan kotor) atau squatter settlement (perkampungan
Liar), padahal tidak selamanya benar. Krausse (1975) secara spesifik menyatakan: “The
Kampung is a residential segmen of the city that is characterized by substandard living
space of the population”. Kampung merupakan suatu kesatuan masyarakat tradisional
dengan kebiasaan-kebiasaan tradisional, dan umumnya berlokasi disekitar pusat kota.

Kumuh

Kumuh diartikan sebagai kesan atau gambaran keadaan yang kotor (menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990). Dalam Kamus Tata Ruang yang
diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum
bekerjasama dengan Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia tahun 1997, pengertian kumuh
adalah mengandung sifat-sifat keusangan yang banyak ditujukan kepada keadaan guna
lahan atau zona atau kawasan yang sudah sulit diperbaiki lagi sehingga lebih baik
dibongkar; atau dapat juga ditujukan kepada keadaan yang secara fisik masih cukup baik,
belum tua, tapi sudah tidak lagi memenuhi berbagai standar kelayakan.

Herbert J. Gans (dalam Clinard, 1968: hal 6) menggambarkan tentang kumuh dengan
kalimat: ”Obsolescence per se is not harmful and designation of an area as a slum for the

Hal 2-18
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

reason alone is merely a reflection of middle class standards and middle alas incomes”.
Kumuh adalah kemunduran atau kerusakan lingkungan hidup baik dilihat dari aspek fisik
maupun aspek sosial masyarakat. Kumuh juga dapat merupakan akibat dari suatu
perkembangan yang dicirikan oleh gejala-gejala seperti: kondisi perumahan yang buruk,
penduduk yang terlalu padat, fasilitas lingkungan yang kurang memadai, tingkah laku
menyimpang, dan budaya apatis.

Kampung Kumuh

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor


22/PERMEN/M/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Perumahan Rakyat
Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, pengertian rumah kumuh dapat dilihat dari
kriteria rumah tidak layak huni, yaitu: bentuk dinding yang terbuat dari bilik dan tidak
memiliki jendela, tiang yang miring, atap yang tidak bisa diperbaiki karena kemampuan
ekonomi, lantai yang masih berupa tanah, kamar mandi tidak layak, dan penghuni
melebihi kapasitas. Sedangkan rumah tidak layak huni menurut BPS mempunyai kriteria:
luas lantai atau rumah kurang dari delapan meter persegi (<8 m2), lantai masih berupa
tanah, berdinding bambu, belum mempunyai jamban, dan belum menggunakan
penerangan listrik.

Kampung kumuh dapat diartikan sebagai kelompok rumah yang menempati wilayah
tertentu di mana rumah dan kondisi hunian masyarakatnya sangat buruk. Rumah maupun
sarana dan prasarana yang ada tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik standar
kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah layak huni, kebutuhan sarana air
bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka, serta
kelengkapan fasilitas sosial lainnya. Kampung kumuh dapat juga diartikan sebagai suatu
kawasan pemukiman ataupun bukan kawasan pemukiman yang dijadikan sebagai tempat
tinggal yang bangunan-bangunannya berkondisi substandar atau tidak layak yang dihuni
oleh penduduk miskin yang padat. Kampung kumuh dapat berupa kawasan yang
sesungguhnya tidak diperuntukkan sebagai kawasan pemukiman yang oleh penduduk
miskin berpenghasilan rendah dan tidak tetap diambil alih untuk dijadikan tempat tinggal,
seperti bantaran sungai, di pinggir rel kereta api, tanah-tanah kosong di sekitar pabrik
atau pusat kota, dan di bawah jembatan.

Prof. Dr. Djoko Sujarto mengemukakan pengertian kampung kumuh sebagai suatu
kawasan permukiman dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1) kondisi fisik: kondisi bangunan di
bawah standar minimum, jenis bangunan sebagian besar temporer/semi permanen,
kepadatan bangunan tinggi, jarak antar bangunan relatif rendah, kondisi kelengkapan

Hal 2-19
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

sarana dan prasarana terbatas/buruk, rawan banjir dan kebakaran, dan tata guna lahan
tidak teratur; 2) kondisi sosial: kehidupan sosial rendah (degradasi sosial, moral
menurun), status sosial ekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, natalitas, mortalitas,
dan pengangguran tinggi, dan kepadatan penduduk tinggi; 3) kondisi ekonomi:
pendapatan perkapita penduduk rendah, produktivitas rendah, potensi ekonomi belum
dimanfaatkan, dan akses ekonomi terbatas.

Klasifikasi Tingkat Kekumuhan

Ada beberapa metode yang digunakan di Indonesia untuk menentukan klasifikasi tingkat
kekumuhan, yaitu antara lain: metode klasifikasi tingkat kekumuhan menurut Biro Pusat
Statistik (BPS), metode klasifikasi tingkat kekumuhan dalam Studi Penyusunan Rencana
Strategis Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman Kumuh 2002-2010, metode
klasifikasi tingkat kekumuhan dalam Konsep Panduan Identifikasi Lokasi Kawasan
Perumahan dan Permukiman Kumuh yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal
Perumahan dan Permukiman Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002),
dan metode klasifikasi tingkat kekumuhan berdasarkan Pedoman Identifikasi Kawasan
Permukiman Kumuh Penyangga Kota Metropolitan yang diterbitkan oleh Direktorat
Pengembangan Permukiman Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan
Umum (2006).

Menurut BPS

Kriteria Biro Pusat Statistik (BPS) terhadap kawasan permukiman kumuh adalah
lingkungan hunian dan usaha yang ditandai dengan banyaknya rumah yang tidak layak
huni, banyak saluran pembuangan limbah yang macet, penduduk/bangunan yang sangat
padat, banyak penduduk buang air besar tidak di jamban, dan biasanya berada di area
marginal. Rumah yang tidak layak huni adalah rumah yang terbuat dari bahan bekas yang
dipertimbangkan tidak cocok untuk bertempat tinggal atau terletak pada areal yang
diperuntukkan bukan untuk permukiman. Sedangkan area marginal biasanya terletak di
bantaran sungai, pinggir rel kereta api, di bawah jaringan listrik tegangan tinggi. Bantaran
sungai adalah lahan pada kedua sisi sepanjang palung sungai dihitung dari tepi sampai
dengan kaki tanggul sebelah dalam (Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang
Sungai).

Penentuan suatu kawasan itu kumuh atau tidak, bergantung pada preferensi pencacah.
Tidak ada pedoman yang menunjukkan bahwa untuk disebut kumuh adalah jika rumah
tidak layak huni sudah mencapai proporsi tertentu dari seluruh rumah.

Menurut Studi Renstra PKL Permukiman Kumuh 2002-2010

Hal 2-20
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

Metode klasifikasi tingkat kekumuhan dalam Studi Penyusunan Rencana Strategis


(Renstra) Peningkatan Kualitas Lingkungan (PKL) Permukiman Kumuh 2002-2010 yang
diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) berbeda dengan metode klasifikasi tingkat
kekumuhan berdasarkan indikator yang ditetapkan oleh BPS. Untuk mempertajam
klasifikasi kekumuhan, dalam Studi Penyusunan Rencana Strategis Peningkatan Kualitas
Lingkungan Permukiman Kumuh 2002-2010 digunakan 4 (empat) indikator, yaitu: kondisi
rumah, kondisi sarana prasarana lingkungan, kerentanan status penduduk, dan faktor
pendukung. Penentuan indikator kekumuhan adalah sebagai berikut:

.1 Kondisi Rumah

.a Persentase rumah permanen.

.b Kepadatan permukiman.

.c Proporsi rumah tangga berpotensi kumuh.

.d Sampah, saluran dan pembuangan limbah.

.2 Kondisi Sarana dan Prasarana Lingkungan

.a Air bersih.

.b Sanitasi (tempat buang air besar).

.c Energi yang aman.

.d Sirkulasi (jalan akses).

.e Fasilitas umum.

.f Sarana ekonomi.

.g Ruang terbuka.

.3 Kerentanan Status Penduduk

.a Keluarga Pra-Sejahtera dan Sejahtera I.

.b Kesehatan dan lingkungan.

.c Masalah sosial dan keamanan.

.4 Faktor Pendukung

.a Kepadatan penduduk.

.b Kepadatan bangunan.

Hal 2-21
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

Untuk menilai tingkat kekumuhan digunakan perhitungan nilai mutlak, perhitungan nilai
relatif, dan bobot parameter, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

.5 Perhitungan Nilai Mutlak (NM)

Nilai mutlak suatu indikator bergantung kepada sifat (nature) dari indikator yang
bersangkutan. Apabila tersedia nilai nominal, misalnya 100 unit rumah, 2 km jalan
lingkungan, dan seterusnya, maka nilai nominal tersebut dapat merupakan nilai mutlak,
atau bisa pula mengikuti operasi matematik tertentu seperti nilai proporsi berikut:

Perhitungan pada kondisi rumah (sub indikator persentase rumah permanen)

Dimana: n = Jumlah rumah permanen.

N = Jumlah rumah keseluruhan.

.6 Perhitungan Nilai Relatif (NR)

Nilai relatif bagi indikator nominal diperoleh dengan membandingkan nilai mutlak dengan
ambang batas persentil data variabel secara keseluruhan. Untuk mendapatkan batas
persentil data yang bersifat continuous, data diurutkan secara keseluruhan kemudian
dibagi 5 dengan proporsi yang sama besar menurut jumlah kumulatifnya.

.7 Bobot Parameter (BP)

Pembobotan suatu indikator didasarkan pada tingkat pengaruh suatu variabel terhadap
kekumuhan kawasan dibandingkan dengan variabel lain. Proses penentuan bobot
umumnya dilakukan menurut konsensus para ahli, antara lain menggunakan metode
delphi atau analytical hierarchy process (AHP).

Selanjutnya, nilai yang diperoleh setiap parameter dikalikan bobot relatif parameter
tersebut dengan parameter lain pada indikator yang sama. Begitu pula, nilai suatu
indikator dikalikan bobot relatif indikator tersebut terhadap indikator lainnya, sehingga
pada akhirnya diperoleh nilai yang mempresentasikan tingkat kekumuhan suatu wilayah
secara relatif terhadap wilayah lainnya.

Hasil klasifikasi tingkat kekumuhan menurut Studi Renstra PKL Permukiman Kumuh
2002-2010 terbagi menjadi 5 (lima) kelompok, yaitu:

Hal 2-22
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

.1 Tidak Kumuh, jika nilai akhir kekumuhan berkisar antara 1,00 – 1,79.

.2 Kumuh Ringan, jika nilai akhir kekumuhan berkisar antara 1,80 – 2,59.

.3 Kumuh Sedang, jika nilai akhir kekumuhan berkisar antara 2,60 – 3,39.

.4 Kumuh Berat, jika nilai akhir kekumuhan berkisar antara 3,40 – 4,19.

.5 Sangat Kumuh, jika nilai akhir kekumuhan lebih besar dari 4,20.

Menurut Konsep Panduan Identifikasi Lokasi Kawasan Perumahan dan


Permukiman Kumuh 2002

Konsep Panduan Identifikasi Lokasi Kawasan Perumahan dan Permukiman Kumuh


disiapkan oleh Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman, Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002). Konsep ini sengaja disusun untuk menjadi
panduan bagi pemerintah daerah (kota/kabupaten) dalam melaksanakan identifikasi
kawasan perumahan dan permukiman kumuh di daerahnya.

Penentuan kawasan permukiman kumuh dalam Konsep Panduan Identifikasi Lokasi


Kawasan Perumahan dan Permukiman Kumuh dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:

.1 Kesesuaian peruntukan dengan RUTRK/RDTRK.

.2 Status (pemilikan) lahan.

.3 Letak/kedudukan lokasi kawasan kumuh.

.4 Tingkat kepadatan penduduk.

.5 Jumlah penduduk miskin (jumlah Pra-Sejahtera dan Sejahtera-1).

.6 Kegiatan usaha ekonomi penduduk di sektor informal.

.7 Kepadatan rumah/bangunan.

.8 Kondisi rumah/bangunan (tidak layak huni).

.9 Kondisi tata letak rumah/bangunan.

.10 Kondisi prasarana dan sarana lingkungan, meliputi:

.a Penyediaan air bersih.

.b Jamban keluarga/MCK.

Hal 2-23
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

.c Pengelolaan sampah.

.d Saluran air/drainase.

.e Jalan setapak.

.f Jalan lingkungan.

.11 Kerawanan kesehatan (ISPA, diare, penyakit kulit, usia harapan hidup) dan
lingkungan (bencana banjir/alam).

.12 Kerawanan sosial (kriminalitas, kesenjangan sosial).

Beberapa metoda dapat digunakan antara lain Microsoft Excel dan Social Process
Spread Sheet (SPSS) berbasis komputer atau dengan cara manual melalui pembobotan
dan penilaian (scoring). Untuk aspek kemudahan pelaksanaan dalam melakukan
identifikasi lokasi, metode penilaian yang digunakan adalah dengan menggunakan
pembobotan dan scoring terhadap kriteria-kriteria lokasi pada masing-masing lokasi
kawasan permukiman kumuh.

.1 Kriteria A : Tata ruang (kesesuaian peruntukan).

.2 Kriteria B : Status (pemilikan) lahan.

.3 Kriteria C : Letak/kedudukan lokasi.

.4 Kriteria D : Tingkat (derajat) kekumuhan (kepadatan penduduk, jumlah penduduk


miskin, kegiatan usaha ekonomi penduduk di sektor informal, kepadatan
rumah/bangunan, kondisi rumah/bangunan yang tidak layak huni, ketidakteraturan
tata letak rumah/bangunan, kondisi prasarana dan sarana lingkungan, kerawanan
kesehatan dan lingkungan, serta kerawanan sosial.

Pemberian bobot pada masing-masing kriteria lokasi dimaksudkan bahwa setiap kriteria
lokasi tersebut memiliki bobot (pengaruh) yang berbeda-beda. Dalam pemberian bobot
terhadap kriteria lokasi yang digunakan bersifat relatif dan sangat tergantung pada
preferensi seseorang (individu) atau kelompok masyarakat dalam melihat pengaruh
masing-masing kriteria lokasi terhadap perkembangan kawasan permukiman kumuh.
Contoh pemberian bobot (persentase) sebagai berikut:

.1 Prioritas I : Tingkat (derajat) kekumuhan (Kriteria D) dengan bobot 50%.

Prioritas I (Kriteria D) dengan bobot 50% terdiri atas beberapa variabel, dengan bobot
masing-masing variabel (dikalikan 50%) sebagai berikut:

Hal 2-24
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

.a Kriteria D1 : tingkat kepadatan penduduk memiliki bobot 15%.

.b Kriteria D2 : jumlah penduduk miskin memiliki bobot 10%.

.c Kriteria D3 : kegiatan usaha ekonomi penduduk di sektor informal memiliki bobot


5%.

.d Kriteria D4 : kepadatan rumah dan bangunan memiliki bobot 15%.

.e Kriteria D5 : kondisi rumah/bangunan yang tidak layak huni memiliki bobot 10%.

.f Kriteria D6 : ketidakteraturan tata letak rumah/bangunan memiliki bobot 5%.

.g Kriteria D7 : tingkat kerawanan kondisi prasarana dan sarana lingkungan memiliki


bobot 25%.

Kriteria D7 dengan bobot 12,5% (50% x 25%) terdiri atas beberapa variabel lagi, dengan
bobot masing-masing sub-variabel (dikalikan 12,5%) sebagai berikut:

 Kriteria D7a : kondisi penyediaan air bersih memiliki bobot 20%.

 Kriteria D7b : kondisi jamban keluarga/MCK memiliki bobot 20%.

 Kriteria D7c : kondisi pengelolaan sampah memiliki bobot 15%.

 Kriteria D7d : kondisi drainase memiliki bobot 15%.

 Kriteria D7e : kondisi jalan setapak memiliki bobot 20%.

 Kriteria D7f : kondisi jalan lingkungan memiliki bobot 10%.

.h Kriteria D8 : tingkat kerawanan kondisi kesehatan dan lingkungan bobot 10%.

.i Kriteria D9 : tingkat kerawanan sosial/angka kriminal, kesenjangan sosial memiliki


bobot 5%.

.2 Prioritas II : Kesesuaian peruntukan dengan RUTRK/RDTRK (Kriteria A) dengan bobot


30%.

.3 Prioritas III : Status (pemilikan) lahan (Kriteria B) dengan bobot 10%.

.4 Prioritas IV : Letak/kedudukan lokasi (Kriteria C) dengan bobot 10%.

Menurut Pedoman Identifikasi Kawasan Permukiman Kumuh Penyangga Kota


Metropolitan 2006

Pedoman Identifikasi Kawasan Permukiman Kumuh Penyangga Kota Metropolitan


diterbitkan oleh Direktorat Pengembangan Permukiman, Direktorat Jenderal Cipta Karya,

Hal 2-25
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

Departemen Pekerjaan Umum (2006). Pedoman ini disusun dengan tujuan sebagai acuan
dalam melakukan identifikasi kawasan permukiman kumuh perkotaan dalam upaya
meningkatkan kualitas permukiman perkotaan.

Dalam pedoman ini, untuk melakukan identifikasi kawasan permukiman kumuh digunakan
kriteria. Penentuan kriteria kawasan permukiman kumuh dilakukan dengan
mempertimbangkan berbagai aspek atau dimensi seperti kesesuaian peruntukan lokasi
dengan rencana tata ruang, status (kepemilikan) tanah, letak/kedudukan lokasi, tingkat
kepadatan penduduk, tingkat kepadatan bangunan, kondisi fisik, sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat lokal. Selain itu, digunakan kriteria sebagai kawasan penyangga kota
metropolitan seperti kawasan permukiman kumuh teridentifikasi yang berdekatan atau
berbatasan langsung dengan kawasan yang menjadi bagian dari kota metropolitan.
Dengan demikian, untuk menetapkan lokasi kawasan permukiman kumuh digunakan
kriteria-kriteria yang dikelompokkan sebagai berikut:

.1 Kriteria Vitalitas Non Ekonomi, meliputi:

.a Kesesuaian pemanfaatan ruang kawasan dalam RTRW atau RDTK.

.b Kondisi fisik bangunan hunian.

.c Kondisi kependudukan.

.2 Kriteria Vitalitas Ekonomi, meliputi:

.a Letak kestrategisan atau kedudukan kawasan pada wilayah kota.

.b Fungsi kawasan dalam peruntukan ruang kota.

.c Jarak jangkau kawasan terhadap tempat mata pencaharian penduduk.

.3 Kriteria Status Tanah, meliputi:

.a Status pemilikan lahan kawasan perumahan permukiman.

.b Status sertifikat tanah yang ada.

.4 Kriteria Kondisi Prasarana dan Sarana, meliputi:

.a Jalan.

.b Drainase.

.c Air bersih.

.d Air limbah.

.5 Kriteria Komitmen Pemerintah Daerah, meliputi:

Hal 2-26
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

.a Keinginan pemerintah (indikasi penyediaan dana, mekanisme kelembagaan


penanganan).

.b Ketersediaan perangkat dalam penanganan (rencana penanganan, rencana induk


kawasan).

.6 Kriteria Prioritas Penanganan, meliputi:

.a Kedekatan lokasi kawasan dengan pusat kota metropolitan.

.b Kedekatan lokasi kawasan dengan kawasan pusat pertumbuhan bagian kota


metropolitan.

.c Kedekatan lokasi kawasan dengan kawasan lain (perbatasan) bagian kota


metropolitan.

.d Kedekatan lokasi kawasan kumuh dengan letak ibukota wilayah kota yang
bersangkutan.

Metode klasifikasi tingkat kekumuhan dalam pedoman ini dilakukan melalui pembobotan
dan penilaian kriteria di atas. Penentuan bobot kriteria bersifat relatif dan bergantung
pada preferensi individu dalam melihat pengaruh masing-masing kriteria, yang dilakukan
dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Penilaian merupakan
akumulasi dari hasil perhitungan terhadap kriteria-kriteria kawasan permukiman kumuh
tersebut. Proses penilaian menggunakan batas ambang yang dikategorikan ke dalam:
tinggi (T), sedang (S), dan rendah (R). Untuk mengklasifikasikan hasil penilaian
berdasarkan kategori tersebut maka dilakukan perhitungan terhadap akumulasi bobot
yang telah dilakukan dengan menggunakan formula Sturgess.

2.2.6 RTLH

Salah satu upaya yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat adalah melalui pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat akan
rumah yang layak huni. Pemerintah Indonesia memberikan jaminan bahwa setiap warga
negara berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik yang dituangkan dalam pasal 28H ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian ditindaklanjuti dengan
mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.

Hal 2-27
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

Negara Indonesia melalui penjelasan UU no 1 Tahun 2011 menyebutkan kriteria rumah


layak huni sebagai rumah yang 1) memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, 2)
memenuhi kecukupan minimum luas bangunan dan 3) menjamin kesehatan penghuni.
Dalam rangka penyelenggaraan perumahan, pemerintah telah melakukan berbagai
program perwujudan rumah layak huni dalam bentuk pengadaan rumah baru dan
perbaikan kualitas perumahan. Pada program pengadaan perumahan baru, sektor swasta
banyak berperan melalui pembangunan perumahan-perumahan formal yang memenuhi
standar layak huni. Bagi sebagian besar masyarakat berpenghasilan menengah ke atas,
program ini dapat menjadi salah satu pilihan untuk mengakses rumah tinggal dalam
kondisi yang memadai. Namun demikian, pengadaan perumahan formal seperti ini
umumnya sulit dijangkau oleh masyarakat yang kurang mampu. Dalam hal ini, program
perbaikan kualitas perumahan menjadi alternatif upaya penyediaan perumahan bagi
masyarakat kurang mampu yang telah memiliki rumah tetapi dalam kondisi yang tidak
layak huni.

Hingga saat ini, setidaknya terdapat dua program penanganan Rumah Tidak Layak Huni
(atau yang dikenal oleh masyarakat umum dengan istilah bedah rumah) yang diinisiasi
oleh pemerintah pusat. Kementerian PUPR melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat No. 13/PRT/M/2016 tentang Bantuan Stimulan Perumahan
Swadaya, melaksanakan program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya Rumah Tidak
Layak Huni (BSPS-RTLH). Sementara Kementerian Sosial melalui Peraturan Menteri
Sosial No. 20 tahun 2017 tentang Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni dan
Sarana Prasarana Lingkungan, melaksanakan program Bantuan Sosial Rumah Tidak
Layak Huni (BS-Rutilahu). Disamping kedua program pemerintah pusat tersebut,
pemerintah daerah pun secara simultan melakukan program perbaikan rumah tidak layak
huni, baik dalam lingkup pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota.

Sebagai konsekuensi dari adanya kebijakan tentang pemerintahan daerah di Indonesia,


urusan dibidang perumahan dan permukiman menjadi urusan wajib bagi seluruh
pemerintah daerah di Indonesia, yang salah satunya adalah Kabupaten Bandung.

Keberadaan rumah tidak layak huni (RTLH) merupakan permasalahan dibidang


perumahan dan permukiman yang juga merupakan tantangan bagi Pemerintah
Kabupaten Bandung dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat di wilayahnya. Sesuai
dengan kebijakan pemerintahan daerah yang memberikan kewenangan lebih kepada
pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya masing-masing, Pemerintah
Kabupaten Bandung merespon keberadaan rumah tidak layak huni di wilayahnya dengan

Hal 2-28
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

mengeluarkan program bantuan perbaikan rumah tidak layak huni bagi masyarakat
kurang mampu yang memiliki rumah tidak layak huni.

Rumah Tidak Layak Huni yang selanjutnya disingkat RTLH adalah rumah yang tidak
memenuhi persyaratan kecukupan minimal luas, kualitas, dan kesehatan bangunan.

Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni (RS-RTLH) adalah program kesejahteraan
sosial bagi fakir miskin untuk mewujudkan rumah layak huni. Kegiatan ini tidak hanya
berfokus pada aspek fisik rumah saja, tetapi jauh lebih penting bagaimana membangun
kapasitas kelompok fakir miskin ini memahami dan menyadari bahwa pentingnya tempat
tinggal yang layak huni dari aspek social dalam lingkungan keluraga. Hal ini dilakukan
agar tercapainya kesejahteraan keluarga dan berdampak pada peningkatan dalam aspek
sosial dan kesehatan.

2.3 PENDEKATAN

Proses Pekerjaan Pendampingan Fasilitasi dan Stimulasi RTLH (Paket 1) di Kabupaten


Bandung dilakukan dengan beberapa pendekatan diantaranya :

1. Pendekatan Keruangan

Rencana tata ruang merupakan rencana pengembangan suatu wilayah/kawasan


yang dilihat dari perspektif ruang fisik. Kegiatan penataan ruang adalah suatu
kegiatan untuk mengatur penempatan kegiatan pembangunan sehingga tercapai
pemanfaatan ruang yang optimal sesuai dengan daya dukung ruang/lahan.
Wilayah/kawasan sendiri tidak hanya mencakup bidang fisik saja, tetapi meliputi
seluruh aspek yang ada dalam kehidupan masyarakat di dalam wilayah/kawasan
tersebut seperti aspek ekonomi, sosial dan bahkan politik. Sebagaimana
diungkapkan oleh Djakapermana (2010:7-9) bahwa :

Prinsip pengembangan wilayah harus memandang seluruh komponen wilayah ini


sebagai suatu sistem yang saling bergantung dan saling mempengaruhi satu dengan
lainnya. Oleh karena itu dalam membuat kebijakan pembangunan harus dilakukan
berdasarkan konsep kesisteman. Pengembangan wilayah dilaksanakan melalui
optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki secara harmonis, serasi dan terpadu
melalui pendekatan yang bersifat komprehensif mencakup aspek fisik, ekonomi,
sosial, budaya, dan lingkungan.

Oleh karena itu, rencana tata ruang dalam rangka mengembangan wilayah/kawasan
haruslah merupakan rencana yang komprehensif, yang bisa mengantisipasi

Hal 2-29
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

kebutuhan-kebutuhan seluruh aspek yang ada, baik aspek fisik maupun sosial-
ekonomi untuk masa yang akan datang demi terwujudnya kondisi wilayah/kawasan
yang diinginkan. Dengan kata lain, rencana tata ruang adalah suatu desain bagi
kerangka fisik, sosial, ekonomi, dan politis bagi wilayah/kawasan yang bersangkutan
secara seimbang dan berkelanjutan.

2. Pendekatan Menyeluruh dan Terpadu

Merupakan pendekatan perencanaan yang menyeluruh dan terpadu serta didasarkan


pada potensi dan permasalahan yang ada, baik dalam wilayah perencanaan maupun
dalam konstelasi regional. Pendekatan menyeluruh memberi arti bahwa peninjauan
permasalahan bukan hanya didasarkan pada kepentingan wilayah/kawasan dalam
arti sempit, tetapi ditinjau dan dikaji pula kepentingan yang lebih luas, baik antar
wilayah dengan daerah hinterlandnya yang terdekat maupun dengan yang lebih jauh
lagi. Secara terpadu mengartikan bahwa dalam menyelesaikan permasalahan tidak
hanya dipecahkan sektor per sektor saja tetapi didasarkan kepada kerangka
perencanaan terpadu antar tiap-tiap sektor, di mana dalam perwujudannya dapat
berbentuk koordinasi dan sinkronisasi antar sektor.

3. Pendekatan Lingkungan

Pendekatan ini dilakukan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.


Salah satu faktor penentu terwujudnya pembangunan berkelanjutan adalah
terjaganya keseimbangan ekologis, keseimbangan tata air, terkendalinya kualitas
udara dan kualitas air, terwujudnya suasana kehidupan yang nyaman dan asri.

4. Pendekatan Kemitraan

Pendekatan ini dimaksudkan untuk menyatukan dan menyelaraskan peran swasta,


peran pemerintah dan peran masyarakat/publik sehingga tercapai pembangunan
yang bisa mengakomodasi semua kepentingan. Pendekatan ini dilakukan melalui
koordinasi, sosialisasi, dan lain-lain sejenisnya dengan tujuan untuk menjaring
aspirasi dari berbagai pihak yang terkait dengan kegiatan penataan ruang.

5. Pendekatan Legalitas

Hal 2-30
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengkaji keterkaitan aspek legalitas dalam


penataan ruang yang akan menjadi landasan penyusunan.

6. Pendekatan Pelibatan Pelaku Pembangunan

Rencana tata ruang merupakan pedoman bagi pembangunan wilayah/kawasan


secara fisik. Seiring dengan konsep Good Governance, terdapat tiga kelompok
pelaku pembangunan atau pelaksana pemanfaatan ruang, yaitu pemerintah, swasta
dan masyarakat. Dengan demikian pelibatan ketiga pelaku pembangunan dalam
proses perencanaan tata ruang merupakan suatu keharusan, agar rencana tata
ruang yang dihasilkan akan berdaya guna dan berhasil guna. Keterlibatan pihak
swasta dan masyarakat tidak hanya pada tahaap perencanaan, melainkan juga pada
tahap pelaksanaan pembangunan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pelibatan
pelaku pembangunan dalam penyusunan rencana ini digunakan pendekatan
partisipasi masyarakat (stakeholder approach) secara aktif untuk mengikutsertakan
masyarakat di dalam proses penyusunan rencana tata ruang melalui forum diskusi
pelaku pembangunan. Dalam penyusunan rencana ini masyarakat tidak hanya dilihat
sebagai pelaku pembangunan (stakeholder) tetapi juga sebagai pemilik dari
pembangunan (shareholder). Keterlibatan masyarakat sebagai shareholder
dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan wilayah terhadap investor dari luar
wilayah, tetapi yang diharapkan adalah kerjasama antara investor dengan
masyarakat sebagai pemilik lahan di wilayah tersebut. Dengan demikian masyarakat
akan merasa memiliki pembangunan di wilayahnya dan dapat bersaing dengan
penduduk pendatang.

2.4 METODOLOGI

Hal 2-31
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

Gambar 2 Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

Konsep fisik rumah layak huni diterangkan secara teknis dan terperinci dalam
Permenpera No. 22/Permen/M/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang
Perumahan Rakyat. Pada peraturan ini, rumah layak huni dijelaskan sebagai rumah yang
memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, kecukupan minimum luas bangunan
serta kesehatan penghuninya. Kriteria keselamatan bangunan sangat berkaitan dengan
struktur bangunan yang meliputi stuktur bawah, tengah dan atas. Aspek kesehatan
diuraikan dalam pencahayaan, penghawaan dan sanitasi. Persyaratan aspek kecukupan
luas harus memenuhi persyaratan kecukupan minimum 7.2 m2/orang sampai dengan 12
m2/ orang. Disamping Permenpera No. 22/Permen/M/2008, terdapat beberapa rujukan
peraturan dalam lingkup nasional lainnya yang menjelaskan kriteria aspek fisik rumah
layak huni dengan melibatkan jenis material yang digunakan pada komponen atap,
dinding dan lantai bangunan (aladin). Meskipun beberapa peraturan tersebut tidak secara
langsung menyebutkan kriteria struktural, namun penggunaan material secara kontekstual
berhubungan dengan struktur bangunan yang digunakan. Dalam lingkup nasional,
setidaknya terdapat 5 (lima) peraturan pemerintah pusat dan 1 (satu) acuan dari BPS
yang menjelaskan kritera rumah tidak layak huni sebagaimana terlihat pada Tabel berikut.

Tabel 4 Kriteria Bangunan Tidak Layak Huni dalam Lingkup Nasional

Keselamatan Bangunan
Luas Kesehatan
Peraturan Struktur Material Material
minimum Material Dinding Penghuni
Bangunan Atap Lantai

pondasi, kolom- Pencahayaan,


Permenpera No. 7,2 - 12
balok dan penghawaan
22/Permen/M/2008 m2/orang
rangka atap dan Sanitasi

Permendagri No. Kota <


21/2010 4m2/oran
Anyaman bambu yang belum Daun dan Tidak memiliki
g Tanah
Desa <
diproses lainnya MCK
10
m2/orang

Hal 2-32
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

Keselamatan Bangunan
Luas Kesehatan
Peraturan Struktur Material Material
minimum Material Dinding Penghuni
Bangunan Atap Lantai
Rumbia,
seng, Tanah, Tidak punya
Pergub Jabar No. Bambu/sesek, bilik, papan, kulit ilalang, papan, jamban, tidak
46/2015 kayu, tembok rusak ijuk, bambu, ada ventilasi /
genteng semen rusak jendela
rusak
Kondisi Atap dari Tanah,
Dinding dari
Permensos No < 7.2 bangunan bahan papan, tidak memiliki
bahan mudah
20/2017 m2/orang rusak yang mudah bambu/semen MCK
rusak/lapuk
membahayaka rusak/lapu atau keramik
n penghuni Bilik kDaun atau rusak Tidak
PermenPUPR No < 9 Rusak berat, genteng Tanah atau
bambu/kayu/rota mempunyai
47/PRT/M/2015 m2/orang rusak sedang plentong kayu
n pencahayaan
rapuh
< 7.2
BPS Bambu Ijuk Tanah
m2/orang

PERENCANAAN DAN PEMROGRAMAN

1. Penyusunan Program Penanganan

1.1 Penyusunan Usulan Program Prioritas

Dalam mempersiapkan program, perlu terlebih dahulu disusun jumlah kebutuhan


akan rumah, dengan kriteria jumlah angkatan umur menikah dan jumlah rumah
yang tidak layak huni dalam suatu wilayah kecamatan/desa. Dari data tersebut
dibuatkan daftar inventarisasi rumah tidak layak huni dilihat dari 3 (tiga) komponen
tingkat kerusakan yaitu : Atap, Lantai dan Dinding. Selanjutnya disusun
dalam bentuk BNBA (By Name By Address).

1.2 Penentuan Program Penanganan

Penentuan Program penanganan ditentukan sesuai dengan jenis bantuan terhadap


kondisi kebutuhan rumah tidak layak huni terhadap rencana pemanfaatan dananya,
yaitu sebagai berikut:

Tabel 5 Penentuan Program Penanganan

No. Jenis Bantuan Kondisi Rumah Keterangan

Hal 2-33
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

Sebidang tanah yang telah mengalami


Pembangunan
penyelesaian untuk urusan permohonan hak
1 Baru/ Perbaikan Tanah Matang
pemilikan, surat balik nama, dsb. Tanah
Total
yang sudah siap pakai untuk mendirikan
Dinding
bangunanpartisi retak tembus atau roboh
Kerusakan sebagian, bagian struktur (kolom, balok,
Berat kuda-kuda) mengalami kerusakan tetapi
masih dapat di perbaiki
Dinding partisi retak tembus atau roboh
Peningkatan sebagian, bagian struktur (kolom, balok,
2 Rusak Sedang
Kualitas kuda-kuda) mengalami kerusakan tetapi
masih dapat di perbaiki

Penjelasan jenis bantuan penanganan sebagai berikut :

a) Pembangunan Baru / Perbaikan Total

Pelaksanaan kegiatan pembangunan baru atau perbaikan total adalah ditujukan


kepada masyarakat yang berpenghasilan rendah dalam rangka kegiatan
pembuatan bangunan rumah layak huni di atas tanah matang;

b) Peningkatan Kualitas

Pelaksananan kegiatan peningkatan kualitas adalah ditujukan kepada


masyarakat berpenghasilan rendah dalam rangka kegiatan memperbaiki
komponen rumah dan/atau memperluas rumah untuk meningkatkan dan/atau
memenuhi syarat rumah layak huni.

2. Penyusunan Rencana Kegiatan

Rencana kegiatan adalah usulan program penanganan bidang perumahan yang


disusun oleh dinas terkait, serta disahkan oleh Bupati/Walikota untuk Rumah Tidak
Layak Huni pada lokasi prioritas nasional.

Untuk kriteria masyarakat penerima bantuan adalah masyarakat berpenghasilan


rendah yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan
pemerintah untuk memperoleh rumah yang layak huni.

Kriteria masyarakat penerima bantuan adalah sebagai berikut :

a) Warga Negara Indonesia

Hal 2-34
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

b) MBR dengan penghasilan dibawah upah minimum provinsi rata-rata nasional atau
masyarakat miskin sesuai dengan data dari Kementerian Sosial;

c) Sudah berkeluarga

d) Memiliki atau menguasai tanah

e) Belum memiliki rumah, atau memiliki dan menghuni rumah tidak layak huni

f) Belum pernah mendapat bantuan perumahan dari Pemerintah atau pemerintah


daerah, termasuk yang terkena bencana alam, kebakaran atau kerusuhan sosial

g) Didahulukan yang telah memiliki rencana membangun atau meningkatkan kualitas


rumah yang dibuktikan dengan memiliki tabungan bahan bangunan, telah mulai
membangun rumah sebelum mendapatkan bantuan stimulan, memiliki asset lain
yang dapat dijadikan dana tambahan BSPS, dan memiliki tabungan uang yang
dapat dijadikan dana tambahan BSPS

h) Bersungguh-sungguh mengikuti program BSPS, dan

i) Dapat bekerja secara kelompok.

Kriteria obyek bantuan adalah :

a) Rumah tidak layak huni yang berada di atas tanah

b) Bangunan yang belum selesai dari yang sudah diupayakan oleh masyarakat sampai
paling tinggi struktur tengah dan luas lantai bangunan paling tinggi 45 m2 (empat
puluh lima meter persegi)

c) Terkena kegiatan konsilidasi tanah, atau relokasi dalam rangka peningkatan kualitas
perumahan dan kawasan permukiman kumuh dan/atau

d) Terkena bencana alam, kerusuhan sosial dan/atau kebakaran.

Rumah dikatakan tidak layak huni adalah sebagai berikut :

a) Bahan lantai berupa tanah atau kayu kelas IV

b) Bahan dinding berupa bilik bambu/kayu/rotan atau kayu kelas IV, tidak/kurang
mempunyai ventilasi dan pencahayaan

c) Bahan atap berupa daun atau genteng plentong yang sudah rapuh d) Rusak berat
dan/atau

Hal 2-35
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

e) Rusak sedang dan luas lantai bangunan tidak mencukupi standar minimal luas per
anggota keluarga yaitu 9 m2 (Sembilan meter persegi).

Untuk persyaratan administrasi pemohon penerima bantuan sebagai berikut :

a) Surat permohonan dari MBR

b) Surat pernyataan dan kuasa di atas materai secukupnya yang menyatakan :

 Belum pernah menerima bantuan rumah berupa dana maupun barang yang
bersumber dari APBN dan/atau APBD provinsi/kabupaten/kota;

 Tanah merupakan milik sendiri dan bukan tanah warisan yang belum dibagi;

 Satu-satunya rumah yang dimiliki untuk ditingkatkan kualitasnya atau belum


memiliki rumah;

 Akan menghuni sendiri rumah yang mendapat BSPS;

 Tidak memberikan dana BSPS kepada pihak lain dengan dalih apapun;

 Bersungguh-sungguh mengikuti program BSPS dan melaksanakan semua


peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan BSPS; dan

 Memberikan kuasa kepada bank/pos penyalur untuk menyampaikan informasi isi


rekening tabungan kepada PPK sewaktu-waktu diperlukan.

c) Fotokopi sertifikat hak atas tanah, fotokopi surat bukti menguasai tanah; atau
surat keterangan menguasai tanah dari kepala desa/lurah;

d) Fotokopi KTP nasional, atau KTP seumur hidup dan fotokopi kartu keluarga;

e) Surat keterangan penghasilan dari tempat kerja bagi yang berpenghasilan tetap,
atau dari kepala desa/lurah bagi yang berpenghasilan tidak tetap; dan

f) Gambar Kerja dan Rencana Penggunaan Dana Bantuan Stimulan Perumahan


Swadaya.

3. Penyiapan Masyarakat

Penyiapan masyarakat dilakukan dalam rangka memperkuat tingkat partisipasi


masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan BSPS. Partisipasi masyarakat meliputi :

Hal 2-36
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

a) Penyelenggaraan rembug warga sebagai tempat berhimpun dan menyalurkan


aspirasi masyarakat;

b) Penetapan dukungan swadaya (bahan bangunan, tenaga, alat, tanah);

c) Pengambilan keputusan penting, berupa penyusunan kesepakatan sosial,


penyusunan rencana tindak komunitas, dan penetapan aturan main;

d) Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian mandiri;

e) SKPD bidang perumahan melakukan pembinaan kepada fasilitator dalam rangka


memberikan pembekalan tentang pemberdayaan dan kemampuan teknis yang
diperlukan dalam melaksanakan tugas penyiapan dan pendampingan masyarakat;

f) Sebelum melakukan kegiatan penyiapan masyarakat ditingkat desa/kelurahan


pemerintah SKPD bidang perumahan bersama fasilitator memberikan data calon
penerima bantuan yang diperoleh dari Pejabat Pembuat Komitemen kepada
fasilitator sebagai pelaku kegiatan penyiapan masyarakat ditingkat desa/kelurahan.

3.1. Sosialisasi (rembug 1)

Sosialisasi di tingkat Kelurahan/Desa dilakukan oleh Fasilitator bersama Kepala


Desa/Lurah dan tim teknis kabupaten/kota dengan sasaran lembaga masyarakat,
tokoh masyarakat/tokoh agama, RT, RW, dan Calon Penerima Bantuan dengan
materi sosialisasi meliputi Penjelasan tentang kebijakan BSPS tahun 2016,
tahapan pelaksanaan BSPS, kriteria dan persyaratan penerima bantuan, dan
Pakta Integritas. Pakta Integritas untuk mencegah terjadinya KKN, diperlukan
komitmen bersama, yang dituangkan dalam bentuk Pakta Integritas yang
ditandatangani oleh seluruh pemangku kepentingan yang hadir dalam kegiatan
sosialisasi.

3.2. Klarifikasi Hasil Pendataan

Yang bertujuan untuk memastikan data Calon Penerima Bantuan adalah benar
penerima bantuan, dan telah terdata sesuai hasil pendataan H-1.

3.3. Penyepakatan Calon Penerima Bantuan (rembug 2)

Penyepakatan Calon Penerima Bantuan dilakukan melalui rembug yang dihadiri


oleh calon penerima bantuan dari hasil klarifikasi.

3.4. Pembentukan Kelompok

Hal 2-37
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

Pembentukan kelompok didasari atas kesamaan tujuan, kepentingan dan


kebutuhan. Fasilitator mendampingi proses pembentukan kelompok. Pada
rembug ini kelompok diberi pembekalan mengenai reviu Gambar Kerja dan
Rencana Penggunaan Dana (RPD) dan penyusunan proposal.

3.5. Penyepakatan Sosial

Kesepakatan sosial adalah kesepakatan yang dibangun oleh anggota kelompok


KPB sebagai wujud keseriusan dalam melaksanakan kegiatan BSPS tanpa ada
paksaan dari manapun.

3.6. Penyusunan Dokumen Penyiapan Masyarakat

Dokumen Penyiapan Masyarakat dilakukan oleh Fasilitator sebagai bukti laporan


proses pelaksanaan pada kegiatan penyiapan masyarakat. Dokumen Penyiapan
Masyarakat akan digunakan sebagai dasar penyusunan SK Lurah/Kepala Desa
tentang penetapan kelompok penerima bantuan BSPS yang akan diterbitkan
sesudah perhitungan RPD dikeluarkan.

3.7. Pembekalan Perencanaan Teknis Rumah (rembug 3)

Tujuan pembekalan perencanaan teknis ini adalah memberikan pembekalan


penguatan kelompok agar kelompok dapat memahami fungsi dan arti
perencanaan teknis.

Rencana Teknis Bangunan terdiri dari Gambar Kerja (GK), Spesifikasi Teknis dan
Rencana Anggaran Biaya atau Rencana Penggunaan Dana (RPD). Jika Gambar
Kerja, Spesifikasi Teknis dan RPD sudah tersedia dari hasil perencanaan teknis
sebelumnya, maka kegiatan yang dilakukan adalah melakukan reviu atau
peninjauan kembali.

4. Penyiapan Proposal dan Pengusulan Penetapan Penerima Bantuan

Proposal yang dibuat oleh KPB antara lain terdiri dari dokumen Penyiapan
Masyarakat dan dokumen Perencanaan Teknis yang dihasilkan dari kegiatan
perencanaan teknis yang dilakukan Calon Penerima Bantuan dan Kelompok
Penerima Bantuan dengan didampingi oleh Fasilitator. Gambar Kerja dan/atau
Spesifikasi Teknis, Rencana Penggunaan Dana dan KPB sebagai organisasi
pelaksana hasil kesepakatan rembug disusun menjadi Rencana Teknis Proposal.
Secara keseluruhan proses perencanaan teknis proposal dapat dilihat pada diagram
alir perencanaan teknis penyusunan proposal seperti tercantum pada Gambar 1.

Hal 2-38
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

Gambar 2 Diagram Alir Perencanaan Teknis Penyusunan Proposal

4.1 Survey dan Investigasi

a) Survey Kondisi Rumah

Sebelum dilakukan perencanaan teknis terlebih dahulu dilakukan survey teknis


kondisi rumah untuk mendapatkan data/informasi kondisi/situasi awal lokasi
pembangunan/ peningkatan kualitas rumah yang sebenarnya. Jenis data/informasi
yang diperlukan tergantung pada jenis pekerjaan yang akan dilakukan dalam
pembangunan/peningkatan kualitas rumah, seperti: kondisi fisik bangunan (lantai,
dinding, atap), kondisi tanah (keras/lunak) dan lain lain.

b) Survey Swadaya Masyarakat

Sasaran dari survey swadaya masyarakat ini adalah untuk memperoleh data
keswadayaan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pendanaan
pembangunan/peningkatan kualitas rumah. Indikator keluarannya adalah untuk
mengetahui siapa pelakunya, apa bentuknya dan berapa besarnya swadaya yang
akan diberikan oleh masyarakat.

c) Survey dan Kesepakatan Harga Satuan Bahan Bangunan

Sesuai dengan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas pemanfaatan dana


kegiatan maka harga-harga satuan bahan yang akan dipergunakan dalam

Hal 2-39
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

pelaksanaan kegiatan harus merupakan hasil survey sekurang-kurangnya dari 3


toko/penyedia bahan bangunan setempat/terdekat dan disepakati bersama melalui
rembug warga.

4.2. Reviu Gambar Kerja dan Rencana Penggunaan Dana.

a) Reviu dan Membuat Gambar Kerja (GK)

Reviu Gambar Kerja dilakukan dengan cara membandingkan antara Gambar Kerja
yang dihasilkan dari proses pendataan yang dilakukan sebelumnya dengan kondisi
rumah saat ini. Riviu ini dilakukan oleh calon penerima bantuan didampingi oleh
fasilitator.

b) Reviu dan Membuat Rencana Penggunaan Dana (RPD)

Kegiatan Reviu Rencana Penggunaan Dana (RPD) dilakukan terhadap


perencanaan teknis peningkatan kualitas yang telah dilakukan sebelumnya,
sedangkan membuat RPD dilakukan terhadap rencana rumah pada kegiatan
Pembangunan Baru.

4.3. Perencanaan Pembelian Bahan Bangunan

a) Dalam perencanaan pembelian bahan bangunan diperlukan dokumen Daftar


Rencana Pembelian Bahan Bangunan (DRPB2) yang dimaksudkan untuk
mengendalikan penerima bantuan dalam penarikan dana tabungan dan pembelian
bahan bangunan sehingga tercapai penggunaan dana yang sesuai untuk
membangun atau meningkatkan kualitas rumah menjadi layak huni atau sesuai
dengan RPD.

b) Penerima bantuan harus membuat DRPB2 secara bersama-sama dalam KPB


didampingi fasilitator, sebelum menarik dana bantuan dari rekening tabungan.
DRPB2 ini dibuat setiap tahapan penarikan dana bantuan yaitu tahap I dan tahap II
dengan prosentase masing- masing adalah 50% dari nilai RPD.

4.4. Penyusunan Proposal BSPS

Proposal per KPB disusun oleh KPB dengan susunan sebagai berikut:

a) Lembar Verifikasi Kelengkapan Dokumen Proposal b) Kesepakatan Sosial

c) SK Kepala Desa/Lurah tentang Pembentukan Kelompok Penerima Bantuan

d) Resume penggunaan dana

e) Berita acara review GK dan RPD

Hal 2-40
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

f) Rencana Teknis Peningkatan Kualitas/Pembangunan Baru:

g) Spesifikasi Teknis Peningkatan Kualitas per penerima bantuan h) Gambar Kerja


Pembangunan Baru per penerima bantuan

i) Rencana Penggunaan Dana (RPD) per penerima bantuan

j) Proposal diserahkan oleh ketua KPB kepada fasilitator untuk dimasukkan kedalam
berkas Pengusulan Penetapan Penerima Bantuan.

5. Pengusulan Penetapan Penerima Bantuan

Berkas Usulan Penetapan Penerima Bantuan per desa disusun oleh fasilitator
dengan susunan: a) Lembar Verifikasi Kelengkapan Dokumen Pengusulan
Penetapan Penerima Bantuan; b) Permohonan Penetapan Penerima BSPS; c) Surat
Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak /SPTJM; d) Draft Lampiran SK PPK; e) Berita
Acara Sosialisasi; f) Pakta Integritas; g) Hasil Klarifikasi Lapangan; h) Berita Acara
Rembug Penyepakatan Penerima Bantuan.

5.1. Penetapan Penerima Bantuan

Setelah dokumen asli permohonan pencairan BSPS yang diajukan oleh tim
teknis kabupaten/kota diterima serta dinyatakan lengkap dan benar, selanjutnya
PPK menerbitkan SK Penetapan Penerima BSPS per desa yang disahkan oleh
Kepala Satuan Kerja.

5.2. Penyaluran Dana ke Masyarakat

Penyaluran dana BSPS dilakukan oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)


Penyerahan buku tabungan oleh Kantor layanan Bank/Pos Penyalur kepada
penerima bantuan paling lambat 7 hari kaleder sejak dana masuk dalam rekening
tabungan

Hal 2-41
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

Gambar 3 Prosedur Pelaksanaan BSPS

2.5 JADWAL PELAKSANAAN, KOMPOSISI TIM DAN JADWAL PENUGASAN

Jadwal pelaksanaan dan jadwal penugasan yang akan dibuat disesuaikan dengan
rencana kerja yang akan dilakukan konsultan. Untuk lebih jelasnya jadwal pelaksanaan
pekerjaan, komposisi tim dan uraian tugas masing-masing tenaga ahli dan tenaga
pendukung serta jadwal penugasan tenaga ahli ahli dan tenaga pendukung dapat dilihat
pada tabel sebagai berikut.

Hal 2-42
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

2.5.1 Jadwal Pelaksanaan

Tabel 6 Jadwal Pelaksanaan Pekerjaan

Bulan ke 1 Bulan ke 2 Bulan ke 3 Bulan ke 4


No Kegiatan Minggu ke- Minggu ke- Minggu ke- Minggu ke-
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 TAHAP PERSIAPAN
a Koordinasi dan mobilisasi
b penyusunan rencana kerja
c Penyusunan metodologi pelaksanaan pekerjaan
d Penyusunan jadwal pelaksanaan kegiatan
e Kajian literatur
2 TAHAP PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS
a Kondisi Fisik dan Non Fisik
b Analisis Potensi dan Masalah
c Rekomendasi Program Penanganan
3 TAHAP SOSIALISASI / DESIMINASI
a Sosialisasi dan desiminasi rekomendasi program penanganan
b Penyiapan kelembagaan/ kelompok penerima rekomendasi program
c Pendampingan realisasi rekomendasi program

Hal 2-43
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

2.5.2 Komposisi Tim dan Uraian Tugas

Tenaga inti dari team pelaksana Konsultan berjumlah 3 (tiga) orang, dan 8 (delapan) tenaga pendukung dengan uraian tugas masing-masing
akan diuraikan pada tabel sebagai berikut.

Tenaga Ahli Posisi Yang


Nama Perusahaan Lingkup Keahlian Uraian Pekerjaan Jumlah
No Lokal/Asing diusulkan
Org - Bln
A. TENAGA AHLI
Bertanggung jawab dalam
mengkoordinasikan pekerjaan,
menyusun rencana kerja dan
memberikan pengarahan kepada
seluruh anggota tim pelaksana guna
Team Leader/ menjamin tercapainya tujuan
Balukia
Teknik Arsitekrut/ Ahli Perumahan pekerjaan secara optimal, selain itu
1 Badruzaman, ST Lokal 4 MM
Planologi/ Sipil dan team leader juga merangkap sebagai
MT
Permukiman tenaga ahli perumahan dan
permukiman yang bertanggung jawab
terhadap kajian mengenai perumahan
dan permukimannyaMemonitor atau
memantau progress pekerjaan yang
dilakukan tenaga ahli.
2 Fachrudin, S.Si Lokal Sosiologi/ Ahli Sosiologi Bertanggungjawab dalam pelaksanaan 4 MM
Anthropologi/ dan kegiatan pendampingan dan
Komunikasi dan Pemberdayaan pemberdayaan masyarakat serta

Hal 2-44
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

Tenaga Ahli Posisi Yang


Nama Perusahaan Lingkup Keahlian Uraian Pekerjaan Jumlah
No Lokal/Asing diusulkan
Org - Bln
peningkatan partisipasi masyarakat
Ilmu Sosial
Masyarakat dalam pembangunan perumahan dan
lainnya
kawasan permukiman.
Bertanggungjawab dalam pelaksanaan
Ahli Sarana dan
kegiatan pendampingan dan saran-
Teknik Arsitektur/ Prasarana
3 Januar, ST Lokal saran teknis pelaksanaan perbaikan 4 MM
Sipil Perumahan dan
rumah serta pembangunan prasarana
Permukiman
perumahan dan kawasan permukiman.
B. Tenaga Pendukung
Syamba Fauzi
Bertanggung jawab kepada Team
Yayendra Mega
Leader dan tenaga ahli dalam
Sucipto
pelaksanaan kegiatan fasilitasi dan
Surveyor/
1 Dimas Pramono Lokal stimulasi serta sebagai mitra kerja 4 MM
Fasilitator
masyarakat di lapangan dalam setiap
Ikbal Genial
tahapan proses pendampingan
Fahd Tigana
fasilitasi dan stimulasi.
Sanusi
Bertanggung jawab kepada Team
Operator
2 Lokal Leader dan tenaga ahli dalam kegiatan 4 MM
Komputer
pengelola data komputerisasi.
3 Lokal Staf Bertanggung jawab kepada Team 4 MM

Hal 2-45
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

Tenaga Ahli Posisi Yang


Nama Perusahaan Lingkup Keahlian Uraian Pekerjaan Jumlah
No Lokal/Asing diusulkan
Org - Bln
Leader dan tenaga ahli dalam kegiatan
Administrasi pengelola manajemen dan
administrasi pekerjaan.

Hal 2-46
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

2.5.3 Jadwal Penugasan Tenaga Ahli dan Tenaga Pendukung

Tabel 7 Jadwal Penugasan Tenaga Ahli dan Tenaga Pendukung

Bulan Ke Bulan Ke Bulan Ke Bulan Ke Jml


No Keahlian Nama Personil -1 -2 -3 -4 MM
1 2 3 1 2 3 4 4 1 2 3 4 1 2 3 4
A TENAGA AHLI
Balukia
1 Team Leader
Badruzaman, ST MT
2 Ahli Sosiologi Fachrudin, S.Si
Ahli Sarana dan
3 Januar, ST
Ppasarana
TENAGA
A
PENDUKUNG
1 Surveyor
2 Operator Komputer
3 Staf Administrasi

Hal 2-47
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG

Hal 2-48

Anda mungkin juga menyukai