DI KABUPATEN BANDUNG
PENDEKATAN DAN
METODOLOGI
Bagian ini akan menjelaskan tentang tanggapan terhadap KAK yang telah dibuat oleh
pemberi kerja, pendekatan dan metodologi yang digunakan dalam penyusunan pekerjaan ini,
rencana kerja, jadwal pelaksanaan pekerjaan, komposisi tim dan uraian tugasnya serta
jadwal penugasan tenaga ahli dan tenaga pendukung yang terlibat dalam Pekerjaan
Pendampingan Fasilitasi dan Stimulasi RTLH (Paket 1) di Kabupaten Bandung.
Permasalahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman sampai dengan saat ini
masih menjadi tantangan bagi pemerintah Kabupaten Bandung. Berbagai faktor
mempengaruhi terhadap penyelesaian masalah perumahan dan kawasan permukiman
ini, salah satunya adalah pertumbuhan penduduk yang terus bertambah yang berdampak
kebutuhan akan rumah meningkat. Apalagi di era otonomi daerah saat ini, masalah
perumahan dan permukiman sudah menjadi tanggung jawab pemerintah Kabupaten/Kota.
Artinya Pemerintah Kabupaten Bandung yang harus mulai memikirkan peningkatan peran
masyarakatnya dalam pemenuhan kebutuhan rumah yang layak. Seiring dengan
dibatasinya peran pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan bidang perumahan dan
kawasan permukiman, dimana pemerintah ke depan hanya sebagai pemampu (enabler)
bukan sebagai penyedia (provider) termasuk sebagai fasilitator saja, sudah saatnya
mendorong peran masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan dalam bidang
perumahan dan kawasan permukiman.
2. Tidak seimbangnya antara tingginya kebutuhan akan perumahan yang layak dan
terjangkau dengan kemampuan sebagian besar masyarakat di Kabupaten Bandung.
Hal 2-1
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Dengan adanya keterbatasan peran pemerintah terutama dari segi pembiayaan masalah
bidang perumahan dan kawasan permukiman ini sudah menjadi tanggung jawab seluruh
lapisan masyarakat dan swasta. Dalam rangka mengatasi masalah diatas beberapa pola
pembangunan perumahan telah dikembangkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat
sendiri.
Salah satu pola pembangunan yang umum dijumpai di masyarakat Kabupaten Bandung
adalah pola pembangunan rumah secara swadaya, artinya masyarakat membangun
rumah secara mandiri/swadaya tanpa adanya bantuan dari pemerintah. Berdasarkan hasil
identifikasi kondisi rumah di Kabupaten Bandung, hasil pembangunan rumah secara
swadaya, terutama yang dibangun oleh kelompok masyarakat kurang mampu dan
masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) cenderung tidak memenuhi kriteria rumah
layak huni dan seiring dengan waktu, terjadi penurunan kualitas rumah menjadi rumah
tidak layak huni (RTLH).
Untuk merespon keberadaan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), melalui kegiatan dari
Dinas Perumahan, Permukiman dan Pertanahan (Disperkimtan) Kabupaten Bandung
Tahun Anggaran 2019 ini, akan dilakukan program Pembangunan dan Perbaikan Rumah
Layak Huni di wilayah Kabupaten Bandung.
Tanggapan :
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK),
dasar dari Pekerjaan Pendampingan Fasilitasi dan Stimulasi RTLH (Paket 1) di
Kabupaten Bandung mengacu kepada adanya permasalahan di bidang perumahan dan
kawasan permukiman di Kabupaten Bandung, salah satunya adalah keberadaan Rumah
Tidak Layak Huni (RTLH) yang diharapkan masalah ini dapat diselesaikan dengan
adanya pekerjaan ini.
a. Maksud
Secara umum maksud dari pekerjaan ini adalah memberikan fasilitasi dan stimulan
kepada masyarakat kurang mampu dan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk
dapat memenuhi kebutuhan akan tempat hunian (rumah) yang layak dalam lingkungan
yang tertata, aman, nyaman dan serasi.
b. Tujuan
Hal 2-2
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Tujuan dari fasilitasi dalam pelaksanaan program pembangunan dan perbaikan rumah
tidak layak huni ini adalah meningkatnya pembangunan perumahan pada masyarakat
kurang mampu secara swadaya melalui bantuan stimulan untuk pembangunan/perbaikan
perumahan.
c. Sasaran
Sasaran dari pelaksanaan pekerjaan ini adalah : Tersalurkannya bantuan stimulan untuk
perbaikan/pembangunan rumah yang menjadi rangsangan bagi masyarakat untuk
melaksanakan perbaikan/pembangunan rumah yang layak huni dan dilakukan secara
swadaya oleh masyarakat tersebut.
Tanggapan :
Dilihat dari uraian maksud, tujuan dan sasaran dari Pekerjaan Pendampingan Fasilitasi
dan Stimulasi RTLH (Paket 1) di Kabupaten Bandung sudah cukup tergambarkan dengan
jelas.
2.1.3 Keluaran
Keluaran yang diharapkan dari kegiatan fasilitasi dan stimulasi rumah tidak layak huni di
Kabupaten Bandung ini antara lain meliputi :
Tanggapan :
Cukup Jelas.
Hal 2-3
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Dalam melaksanakan kegiatan fasilitasi dan stimulasi rumah tidak layak huni di
Kabupaten Bandung ini, lingkup kegiatan yang akan dilakukan terdiri dari dua bagian
besar yaitu :
Bentuk kegiatan jasa yang akan dilakukan secara garis besar adalah sebagai
berikut :
Tata cara pengadaan penyediaan dana / bahan bangunan dengan mengikuti aturan
pengadaan yang berlaku.
Tanggapan :
Lingkup kegiatan yang sudah diuraikan dalam KAK sudah cukup jelas.
Hal 2-4
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Dalam melaksanakan pekerjaan perencanaan fasilitasi dan stimulasi rumah tidak layak
huni di Kabupaten Bandung paket 1 ini, adalah 10 (Sepuluh) kecamatan, 355 (Tiga Ratus
Lima Puluh Lima) Unit Rumah di Kabupaten Bandung.
Tanggapan :
Cukup Jelas. Namun konsultan akan terus berkoordinasi dengan dinas terkait dengan
nominal yang tertera di Kerangka Acuan Kerja (KAK) ini.
Agar pekerjaan ini berjalan dengan efektif dan efisien, dibutuhkan tenaga ahli yang
mempunyai kompetensi yang sesuai untuk menunjang kegiatan fasilitasi dan stimulasi
pembangunan perumahan masyarakat dalam perbaikan rumah tidak layak huni ini,
dimana tenaga ahli yang dibutuhkan sekurang-kurangnya terdiri dari :
a. Team Leader merangkap Ahli perumahan dan permukiman sebanyak 1 orang
Seorang Sarjana (S-1) Arsitektur (101) atau Planologi (502) atau Sipil (201) memiliki
SKA Madya, berpengalaman minimal 2 (dua) tahun dalam bidang Pengembangan
Perumahan dan Permukiman atau Pendampingan Masyarakat.
Melampirkan SKA Madya, SPT Tahunan, Referensi Kerja, KTP, NPWP, Curiculum
Vitae.
Seorang sarjana (S-1) Sosiologi, Anthropologi, Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya
(sejenis), berpengalaman minimal 4 (empat) tahun dalam bidang pengembangan
dan pendampingan masyarakat, pengembangan SDM dan Pekerjaan pekerjaan
yang membutuhkan keahlian di bidang peningkatan peran serta masyarakat.
Hal 2-5
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Seorang sarjana (S-l) Teknik Arsitektur (101) / Teknik Sipil (201), memiliki SKA
Muda, berpengalaman minimal 1 (satu) tahun dalam bidang perencanaan bidang
perumahan dan kawasan permukiman, serta sarana dan prasarana dasar
perumahan permukiman
Melampirkan SKA Muda, SPT Tahunan, Referensi Kerja, KTP, NPWP, Curiculum
Vitae.
d. Tenaga Pendukung
1. Surveyor/ Fasilitator sebanyak 5 orang
Bertanggung jawab kepada Team Leader dan tenaga ahli dalam pelaksanaan
kegiatan fasilitasi dan stimulasi serta sebagai mitra kerja masyarakat di lapangan
dalam setiap tahapan proses pendampingan fasilitasi dan stimulasi.
Berpendidikan min SMA/SMK yang bertanggung jawab kepada Team Leader dan
juga kepada Tenaga Ahli dalam kegiatan pengelola Data Komputerisasi.
Berpendidikan min SMA/SMK yang bertanggung jawab kepada Team Leader dan
juga kepada Tenaga Ahli dalam kegiatan pengelola manajemen dan administrasi
pekerjaan.
Hal 2-6
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Tanggapan :
Berdasarkan uraian dari Kerangka Acuan Kerja (KAK) diatas kebutuhan tenaga ahli
sebanyak 3 (tiga) orang dan tenaga pendukung sebanyak 8 (delapan) orang sudah cukup
mengakomodir kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan ruang lingkup yang telah
ditetapkan oleh pihak pemberi kerja.
1. Pendanaan Proyek
2.1.8 Pelaporan
Jenis pelaporan dan jadwal penyerahan laporan dalam rangkaian kegiatan ini adalah
sebagai berikut :
1. Laporan Pendahuluan yang memuat antara lain :.
Tanggapan terhadap KAK dan struktur organisasi tata kerja dan personil yang
bertanggung jawab.
Hal 2-7
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Laporan Pendahuluan ini harus diserahkan kepada pemberi tugas dalam waktu 1
(satu) bulan setelah penerbitan SPMK. Disajikan dalam format A-4 sebanyak 5
(lima) eksemplar.
Laporan Antara ini harus diserahkan kepada pemberi tugas dalam Waktu 2 (dua)
bulan setelah penerbitan SPMK. Disajikan dalam format A-4 sebanyak 5 (lima)
eksemplar.
Laporan Akhir ini harus diserahkan kepada pemberi tugas dalam Waktu 4 (empat)
bulan setelah penerbitan SPMK. Disajikan dalam format A-4 sebanyak 5 (lima)
eksemplar.
Tanggapan :
Cukup Jelas. Konsultan akan memenuhi produk yang harus dihasilkan dari kegiatan ini.
Kebijakan publik (public policy) merupakan salah satu bidang yang dipelajari atau dikaji
dalam ilmu administrasi negara/administrasi publik. Dalam beberapa literatur, terdapat
definisi administrasi negara yang menunjukan bahwa kebijakan publik menjadi bagian
yang penting dan tidak terpisahkan kajian administrasi negara/publik. Definisi administrasi
negara tersebut, diantaranya:
1. Menurut Leonald D. White (1955), public administration consist of all those operations
having for their purpose the fulfillment or enforcement of public administration.
Hal 2-8
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
(Administrasi negara terdiri dari semua kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan atau
untuk melaksanakan public policy).
(Administrasi negara dapat dirumuskan sebagai koordinasi dari usaha- usaha individu
dan kelompok untuk melaksanakan public policy).
Hal 2-9
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
suatu proses politik dalam usahanya mendapatkan konsensus atau suatu perkiraan dari
kepentingan- kepentingan masyarakat (dalam Thoha, 1984: 67). Jadi, sebagai salah satu
bidang dalam kajian administrasi publik, kebijakan publik merupakan suatu proses politik
yang diwujudkan dalam kebijaksanaan dan kegiatan pemerintah untuk mengidentifikasi
dan menyelesaikan masalah-masalah yang berkembang di masyarakat.
Suatu negara didirikan untuk mencapai tujuan tertentu serta meraih berbagai jenis dan
bentuk kemajuan (Siagian, 2012: 138). Tujuan dari suatu negara kemudian dituangkan
dalam bentuk kebijakan publik. Kebijakan publik terbentuk dari dua kata, yaitu kebijakan
dan publik. Kebijakan (policy) adalah “an authoritative decision. Decision made by the one
who hold authority, formal or informal” (Nugroho, 2009: 96). Berdasarkan pendapat
Nugroho, kebijakan diartikan sebagai sebuah keputusan dari otoritas/pihak berkuasa yang
mana keputusan tersebut dibuat oleh pemegang otoritas/pihak yang berkuasa baik formal
maupun informal. Sedangkan, publik adalah sekelompok orang yang terkait dengan suatu
isu tertentu. Jadi, publik bukanlah umum, rakyat, masyarakat, maupun sekedar
stakeholders (Nugroho, 2009: 96). Selain itu, pengertian publik adalah “a sphere where
people become citizen, a space where citizens interact, where state and society exist”
(Nugroho, 2009: 96). Nugroho mengartikan publik sebagai sebuah lingkungan dimana
orang menjadi warga negara, sebuah ruang dimana warga negara berinteraksi, dan
dimana negara dan masyarakat berada. Secara sederhana maka dapat dikatakan bahwa
kebijakan publik adalah:
Setiap keputusan yang dibuat oleh negara, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan
dari negara. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa
awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju masyarakat yang dicita-
citakan (Nugroho, 2009: 96).
Harold Laswell dan Abraham Kaplan (1970) mengungkapkan bahwa kebijakan publik
merupakan suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan- tujuan tertentu, nilai-nilai
tertentu, dan praktik-praktik tertentu (a projected program of goals, values, and practices)
(dalam Nugroho, 2009: 93). Sedangkan Thomas R. Dye (1976), mendefinisikan kebijakan
publik sebagai apa yang dilakukan oleh pemerintah, mengapa pemerintah mengambil
tindakan tersebut, dan apa akibat dari tindakan tersebut (dalam Parsons, 2005: xi).
Hal 2-10
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Pendapat lainnya mengenai pengertian kebijakan publik, yaitu Carl I. Friedrick (1963)
yang mengemukakan bahwa kebijakan publik merupakan:
Hal 2-11
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Berdasarkan tabel diatas Dunn (2003) mengemukakan bahwa kebijakan publik memiliki
lima tahapan sesuai urutan waktu yang dimulai dari tahap penyusunan agenda, formulasi
kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, hingga penilaian kebijakan. Setelah
penilaian kebijakan yang merupakan tahap terakhir kebijakan publik dilakukan, bukan
berarti proses kebijakan publik telah selesai. Namun, kita dapat melihat kebijakan publik
sebagai siklus atau tahapan-tahapan yang pasti dan berulang kembali (Sugandi, 2011:
80).
2.2.3 Program
Kebijakan dan program memiliki perbedaan, yaitu kebijakan publik lebih bersifat ikatan
hukum terhadap berbagai program-program, sedangkan program sendiri adalah turunan
dari kebijakan (Sugandi, 2011: 76). Adapun definisi program menurut Terry (1977) adalah:
“A program can be defined as a comprehensive plan that includes future use of different
resources in an integrated pattern and established a sequence of required actions and
time schedules for each in order to achieve stated objectives. The makeup of a program
can include objectives, policies, procedures, methods, standards, and budgets” (dalam
Tachjan, 2006: 32).
Terry (dalam Tahjan, 2006) mengemukakan bahwa program merupakan rencana yang
bersifat komprehensif yang sudah menggambarkan sumber daya yang akan digunakan
dan terpadu dalam satu kesatuan. Program tersebut menggambarkan sasaran, kebijakan,
prosedur, metode, standar, dan budget. Tidak jauh berbeda dengan pendapat Terry,
Grindle (1980) mengemukakan bahwa isi (content) program harus menggambarkan: “(1)
interests affected, (2) type of benefits, (3) extent of change envisioned, (4) site of decision
making, (5) program implementers, (6) resources commited” (dalam Tachjan, 2006: 33).
Maksud dari pendapat Grindle tersebut adalah isi program harus menggambarkan: (1)
Hal 2-12
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
kepentingan yang terpengaruhi oleh program, (2) jenis manfaat yang akan dihasilkan, (3)
derajat perubahan yang diinginkan, (4) status pembuat keputusan, (5) siapa pelaksana
program, dan (6) sumber daya yang digunakan.
Ada banyak definisi mengenai evaluasi kebijakan publik yang dikemukakan oleh para ahli.
Evaluasi kebijakan berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat
hasil kebijakan (Dunn, 2003: 608). Thomas R. Dye (1987) memberikan definisi yang luas
bahwa evaluasi merupakan pembelajaran tentang konsekuensi dari kebijakan publik yang
berbunyi: “Evaluasi kebijakan adalah pemeriksaan yang objektif, sistematis dan empiris
terhadap efek dari kebijakan dan program publik terhadap targetnya dari segi tujuan yang
ingin dicapai” (dalam Parsons, 2005: 547).
Pendapat lainnya mengenai evaluasi kebijakan adalah dari Carol Weiss (1976) yang
mengatakan bahwa evaluasi dapat dibedakan dari bentuk-bentuk analisisnya
berdasarkan enam hal, yaitu:
3. Evaluasi adalah riset yang dilakukan dalam setting kebijakan, bukan dalam setting
akademik.
6. Evaluasi mungkin melibatkan periset dalam persoalan kesetiaan kepada agen pemberi
dana dan peningkatan perubahan sosial (dalam Parsons, 2005: 547-548).
Hal 2-13
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Evaluasi kebijakan memiliki fungsi dan peranan penting dalam kebijakan publik. Evaluasi
biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakan publik guna
dipertanggungjawabkan kepada konstituennya, sejauh mana tujuan dicapai, dan evaluasi
diperlukan untuk melihat kesenjangan antara “harapan” dan “kenyataan” (Rusli, 2013:
114). Menurut Laster dan Stewart (2000), evaluasi ditujukan untuk melihat sebab-sebab
kegagalan suatu kebijakan dan untuk mengetahui apakah kebijakan yang telah
dirumuskan dan dilaksanakan dapat menghasilkan dampak yang diinginkan (dalam
Agustino, 2006: 175). Selain itu, evaluasi kebijakan memainkan sejumlah fungsi utama,
yaitu:
1. Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja
kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai
melalui tindakan publik.
2. Evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang
mendasari pemilihan tujuan dan target.
Merujuk pada peran dan fungsi evaluasi kebijakan di atas, bahwa pada dasarnya evaluasi
kebijakan bertujuan untuk memberikan masukan untuk perbaikan/penyempurnaan
kebijakan selanjutnya. Setiap evaluasi kebijakan akan menghasilkan kesimpulan apakah
kebijakan dihentikan, dilanjutkan, dan jika dilanjutkan apakah tetap atau direvisi (Nugroho,
2009: 698).
Hal 2-14
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Berdasarkan bagan diatas terlihat bahwa evaluasi kebijakan pada akhirnya akan
menghasilkan kesimpulan yang berupa masukan apakah suatu kebijakan dihentikan,
tetap dilanjutkan dan dilanjutkan dengan adanya revisi. Menurut Nugroho (2009), revisi
kebijakan dibutuhkan karena kebijakan itu hidup sebab ada pada masyarakat yang hidup,
perubahan diperlukan untuk adaptasi dan antisipasi.
Dalam rangka menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan yang valid dan dapat
dipercaya, evaluasi kebijakan perlu menggunakan kriteria yang diterapkan secara
restrospektif (ex-post) (Dunn, 2003: 611). Adapun kriteria evaluasi kebijakan tersebut
disarikan dalam tabel berikut:
Berdasarkan tabel diatas, Dunn (2003) mengemukakan bahwa terdapat enam kriteria
evaluasi, yaitu efektivitas, efisiensi, kecukupan, perataan, responsivitas dan ketepatan.
Selain terdapat kriteria evaluasi juga terdapat beberapa pendekatan yang dapat
digunakan dalam pengumpulan informasi mengenai kinerja dan dampak aktual dari
kebijakan. Pada dasarnya, riset evaluasi kebijakan membahas dua dimensi, yaitu
bagaimana sebuah kebijakan bisa diukur berdasarkan tujuan yang ditetapkan, dan
dampak aktual dari kebijakan (Parsons, 2005: 548). Terdapat pula dua pendekatan dalam
evaluasi kebijakan, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif (Parsons, 2005: 549).
Hal 2-15
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Hal 2-16
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
“seberapa jauh sebuah program diimplementasikan dan apa kondisi yang bisa
meningkatkan keberhasilan implementasi” (dalam Parsons, 2005: 549). Evaluasi formatif
memonitor cara dimana sebuah program dikelola atau diatur untuk menghasilkan umpan
balik yang berfungsi untuk meningkatkan proses implementasi. Sedangkan, evaluasi
sumatif yang dilakukan pasca-implementasi kebijakan berusaha mengukur bagaimana
kebijakan/program secara aktual berdampak pada problem yang ditanganinya (Parsons,
2005: 552).
Secara lebih luas pendekatan evaluasi kebijakan dibedakan menjadi tiga, yaitu evaluasi
semu, formal, dan evaluasi keputusan teoritis (Dunn, 2003: 611). Penjelasan mengenai
tujuan dan asumsi ketiga pendekatan tersebut disajikan dalam tabel berikut:
Berdasarkan pada tabel diatas, evaluasi semu menekankan pada pengumpulan informasi
tanpa berusaha untuk menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil- hasil kebijakan
terhadap individu, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan. Selanjutnya, evaluasi
formal mengumpulkan informasi dengan menggunakan undang-undang, dokumen-
dokumen program, dan wawancara dengan pembuat kebijakan dan administrator untuk
mengidentifikasikan, mendefinisikan, dan menspesifikasikan tujuan dan terget kebijakan.
Berbeda dengan Parsons (2005) yang membedakan secara jelas antara evaluasi
kebijakan menjadi evaluasi formal dan evaluasi sumatif, Dunn (2003) mengemukakan
Hal 2-17
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
bahwa evaluasi formatif dan evaluasi sumatif merupakan tipe evaluasi yang masuk dalam
evaluasi formal. Adapun perbedaaan antara evaluasi formatif dan evaluasi evaluasi
sumatif, yaitu evaluasi formatif meliputi usaha-usaha yang secara terus menerus
memantau pencapaian tujuan-tujuan dan target formal, sedangkan evaluasi sumatif
meliputi usaha untuk memantau pencapaian tujuan dan target formal setelah suatu
kebijakan atau program diterapkan untuk jangka waktu tertentu (Dunn, 2003: 614).
Terakhir, evaluasi keputusan teoritis berusaha untuk memunculkan dan membuat eksplisit
tujuan dan target dari pelaku kebijakan baik yang tersembunyi atau dinyatakan (Dunn,
2003: 619).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1990), pengertian kampung
adalah desa, dusun atau kelompok rumah-rumah yang merupakan bagian kota dan
biasanya rumah-rumahnya kurang bagus. Dalam Kamus Tata Ruang yang diterbitkan
oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum bekerjasama dengan
Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia tahun 1997, pengertian kampung adalah kelompok
rumah yang menempati wilayah tertentu dan merupakan bagian dari kecamatan.
Kumuh
Kumuh diartikan sebagai kesan atau gambaran keadaan yang kotor (menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990). Dalam Kamus Tata Ruang yang
diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum
bekerjasama dengan Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia tahun 1997, pengertian kumuh
adalah mengandung sifat-sifat keusangan yang banyak ditujukan kepada keadaan guna
lahan atau zona atau kawasan yang sudah sulit diperbaiki lagi sehingga lebih baik
dibongkar; atau dapat juga ditujukan kepada keadaan yang secara fisik masih cukup baik,
belum tua, tapi sudah tidak lagi memenuhi berbagai standar kelayakan.
Herbert J. Gans (dalam Clinard, 1968: hal 6) menggambarkan tentang kumuh dengan
kalimat: ”Obsolescence per se is not harmful and designation of an area as a slum for the
Hal 2-18
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
reason alone is merely a reflection of middle class standards and middle alas incomes”.
Kumuh adalah kemunduran atau kerusakan lingkungan hidup baik dilihat dari aspek fisik
maupun aspek sosial masyarakat. Kumuh juga dapat merupakan akibat dari suatu
perkembangan yang dicirikan oleh gejala-gejala seperti: kondisi perumahan yang buruk,
penduduk yang terlalu padat, fasilitas lingkungan yang kurang memadai, tingkah laku
menyimpang, dan budaya apatis.
Kampung Kumuh
Kampung kumuh dapat diartikan sebagai kelompok rumah yang menempati wilayah
tertentu di mana rumah dan kondisi hunian masyarakatnya sangat buruk. Rumah maupun
sarana dan prasarana yang ada tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik standar
kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah layak huni, kebutuhan sarana air
bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka, serta
kelengkapan fasilitas sosial lainnya. Kampung kumuh dapat juga diartikan sebagai suatu
kawasan pemukiman ataupun bukan kawasan pemukiman yang dijadikan sebagai tempat
tinggal yang bangunan-bangunannya berkondisi substandar atau tidak layak yang dihuni
oleh penduduk miskin yang padat. Kampung kumuh dapat berupa kawasan yang
sesungguhnya tidak diperuntukkan sebagai kawasan pemukiman yang oleh penduduk
miskin berpenghasilan rendah dan tidak tetap diambil alih untuk dijadikan tempat tinggal,
seperti bantaran sungai, di pinggir rel kereta api, tanah-tanah kosong di sekitar pabrik
atau pusat kota, dan di bawah jembatan.
Prof. Dr. Djoko Sujarto mengemukakan pengertian kampung kumuh sebagai suatu
kawasan permukiman dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1) kondisi fisik: kondisi bangunan di
bawah standar minimum, jenis bangunan sebagian besar temporer/semi permanen,
kepadatan bangunan tinggi, jarak antar bangunan relatif rendah, kondisi kelengkapan
Hal 2-19
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
sarana dan prasarana terbatas/buruk, rawan banjir dan kebakaran, dan tata guna lahan
tidak teratur; 2) kondisi sosial: kehidupan sosial rendah (degradasi sosial, moral
menurun), status sosial ekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, natalitas, mortalitas,
dan pengangguran tinggi, dan kepadatan penduduk tinggi; 3) kondisi ekonomi:
pendapatan perkapita penduduk rendah, produktivitas rendah, potensi ekonomi belum
dimanfaatkan, dan akses ekonomi terbatas.
Ada beberapa metode yang digunakan di Indonesia untuk menentukan klasifikasi tingkat
kekumuhan, yaitu antara lain: metode klasifikasi tingkat kekumuhan menurut Biro Pusat
Statistik (BPS), metode klasifikasi tingkat kekumuhan dalam Studi Penyusunan Rencana
Strategis Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman Kumuh 2002-2010, metode
klasifikasi tingkat kekumuhan dalam Konsep Panduan Identifikasi Lokasi Kawasan
Perumahan dan Permukiman Kumuh yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal
Perumahan dan Permukiman Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002),
dan metode klasifikasi tingkat kekumuhan berdasarkan Pedoman Identifikasi Kawasan
Permukiman Kumuh Penyangga Kota Metropolitan yang diterbitkan oleh Direktorat
Pengembangan Permukiman Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan
Umum (2006).
Menurut BPS
Kriteria Biro Pusat Statistik (BPS) terhadap kawasan permukiman kumuh adalah
lingkungan hunian dan usaha yang ditandai dengan banyaknya rumah yang tidak layak
huni, banyak saluran pembuangan limbah yang macet, penduduk/bangunan yang sangat
padat, banyak penduduk buang air besar tidak di jamban, dan biasanya berada di area
marginal. Rumah yang tidak layak huni adalah rumah yang terbuat dari bahan bekas yang
dipertimbangkan tidak cocok untuk bertempat tinggal atau terletak pada areal yang
diperuntukkan bukan untuk permukiman. Sedangkan area marginal biasanya terletak di
bantaran sungai, pinggir rel kereta api, di bawah jaringan listrik tegangan tinggi. Bantaran
sungai adalah lahan pada kedua sisi sepanjang palung sungai dihitung dari tepi sampai
dengan kaki tanggul sebelah dalam (Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang
Sungai).
Penentuan suatu kawasan itu kumuh atau tidak, bergantung pada preferensi pencacah.
Tidak ada pedoman yang menunjukkan bahwa untuk disebut kumuh adalah jika rumah
tidak layak huni sudah mencapai proporsi tertentu dari seluruh rumah.
Hal 2-20
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
.1 Kondisi Rumah
.b Kepadatan permukiman.
.a Air bersih.
.e Fasilitas umum.
.f Sarana ekonomi.
.g Ruang terbuka.
.4 Faktor Pendukung
.a Kepadatan penduduk.
.b Kepadatan bangunan.
Hal 2-21
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Untuk menilai tingkat kekumuhan digunakan perhitungan nilai mutlak, perhitungan nilai
relatif, dan bobot parameter, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Nilai mutlak suatu indikator bergantung kepada sifat (nature) dari indikator yang
bersangkutan. Apabila tersedia nilai nominal, misalnya 100 unit rumah, 2 km jalan
lingkungan, dan seterusnya, maka nilai nominal tersebut dapat merupakan nilai mutlak,
atau bisa pula mengikuti operasi matematik tertentu seperti nilai proporsi berikut:
Nilai relatif bagi indikator nominal diperoleh dengan membandingkan nilai mutlak dengan
ambang batas persentil data variabel secara keseluruhan. Untuk mendapatkan batas
persentil data yang bersifat continuous, data diurutkan secara keseluruhan kemudian
dibagi 5 dengan proporsi yang sama besar menurut jumlah kumulatifnya.
Pembobotan suatu indikator didasarkan pada tingkat pengaruh suatu variabel terhadap
kekumuhan kawasan dibandingkan dengan variabel lain. Proses penentuan bobot
umumnya dilakukan menurut konsensus para ahli, antara lain menggunakan metode
delphi atau analytical hierarchy process (AHP).
Selanjutnya, nilai yang diperoleh setiap parameter dikalikan bobot relatif parameter
tersebut dengan parameter lain pada indikator yang sama. Begitu pula, nilai suatu
indikator dikalikan bobot relatif indikator tersebut terhadap indikator lainnya, sehingga
pada akhirnya diperoleh nilai yang mempresentasikan tingkat kekumuhan suatu wilayah
secara relatif terhadap wilayah lainnya.
Hasil klasifikasi tingkat kekumuhan menurut Studi Renstra PKL Permukiman Kumuh
2002-2010 terbagi menjadi 5 (lima) kelompok, yaitu:
Hal 2-22
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
.1 Tidak Kumuh, jika nilai akhir kekumuhan berkisar antara 1,00 – 1,79.
.2 Kumuh Ringan, jika nilai akhir kekumuhan berkisar antara 1,80 – 2,59.
.3 Kumuh Sedang, jika nilai akhir kekumuhan berkisar antara 2,60 – 3,39.
.4 Kumuh Berat, jika nilai akhir kekumuhan berkisar antara 3,40 – 4,19.
.5 Sangat Kumuh, jika nilai akhir kekumuhan lebih besar dari 4,20.
.7 Kepadatan rumah/bangunan.
.b Jamban keluarga/MCK.
Hal 2-23
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
.c Pengelolaan sampah.
.d Saluran air/drainase.
.e Jalan setapak.
.f Jalan lingkungan.
.11 Kerawanan kesehatan (ISPA, diare, penyakit kulit, usia harapan hidup) dan
lingkungan (bencana banjir/alam).
Beberapa metoda dapat digunakan antara lain Microsoft Excel dan Social Process
Spread Sheet (SPSS) berbasis komputer atau dengan cara manual melalui pembobotan
dan penilaian (scoring). Untuk aspek kemudahan pelaksanaan dalam melakukan
identifikasi lokasi, metode penilaian yang digunakan adalah dengan menggunakan
pembobotan dan scoring terhadap kriteria-kriteria lokasi pada masing-masing lokasi
kawasan permukiman kumuh.
Pemberian bobot pada masing-masing kriteria lokasi dimaksudkan bahwa setiap kriteria
lokasi tersebut memiliki bobot (pengaruh) yang berbeda-beda. Dalam pemberian bobot
terhadap kriteria lokasi yang digunakan bersifat relatif dan sangat tergantung pada
preferensi seseorang (individu) atau kelompok masyarakat dalam melihat pengaruh
masing-masing kriteria lokasi terhadap perkembangan kawasan permukiman kumuh.
Contoh pemberian bobot (persentase) sebagai berikut:
Prioritas I (Kriteria D) dengan bobot 50% terdiri atas beberapa variabel, dengan bobot
masing-masing variabel (dikalikan 50%) sebagai berikut:
Hal 2-24
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
.e Kriteria D5 : kondisi rumah/bangunan yang tidak layak huni memiliki bobot 10%.
Kriteria D7 dengan bobot 12,5% (50% x 25%) terdiri atas beberapa variabel lagi, dengan
bobot masing-masing sub-variabel (dikalikan 12,5%) sebagai berikut:
Hal 2-25
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Departemen Pekerjaan Umum (2006). Pedoman ini disusun dengan tujuan sebagai acuan
dalam melakukan identifikasi kawasan permukiman kumuh perkotaan dalam upaya
meningkatkan kualitas permukiman perkotaan.
Dalam pedoman ini, untuk melakukan identifikasi kawasan permukiman kumuh digunakan
kriteria. Penentuan kriteria kawasan permukiman kumuh dilakukan dengan
mempertimbangkan berbagai aspek atau dimensi seperti kesesuaian peruntukan lokasi
dengan rencana tata ruang, status (kepemilikan) tanah, letak/kedudukan lokasi, tingkat
kepadatan penduduk, tingkat kepadatan bangunan, kondisi fisik, sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat lokal. Selain itu, digunakan kriteria sebagai kawasan penyangga kota
metropolitan seperti kawasan permukiman kumuh teridentifikasi yang berdekatan atau
berbatasan langsung dengan kawasan yang menjadi bagian dari kota metropolitan.
Dengan demikian, untuk menetapkan lokasi kawasan permukiman kumuh digunakan
kriteria-kriteria yang dikelompokkan sebagai berikut:
.c Kondisi kependudukan.
.a Jalan.
.b Drainase.
.c Air bersih.
.d Air limbah.
Hal 2-26
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
.d Kedekatan lokasi kawasan kumuh dengan letak ibukota wilayah kota yang
bersangkutan.
Metode klasifikasi tingkat kekumuhan dalam pedoman ini dilakukan melalui pembobotan
dan penilaian kriteria di atas. Penentuan bobot kriteria bersifat relatif dan bergantung
pada preferensi individu dalam melihat pengaruh masing-masing kriteria, yang dilakukan
dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Penilaian merupakan
akumulasi dari hasil perhitungan terhadap kriteria-kriteria kawasan permukiman kumuh
tersebut. Proses penilaian menggunakan batas ambang yang dikategorikan ke dalam:
tinggi (T), sedang (S), dan rendah (R). Untuk mengklasifikasikan hasil penilaian
berdasarkan kategori tersebut maka dilakukan perhitungan terhadap akumulasi bobot
yang telah dilakukan dengan menggunakan formula Sturgess.
2.2.6 RTLH
Salah satu upaya yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat adalah melalui pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat akan
rumah yang layak huni. Pemerintah Indonesia memberikan jaminan bahwa setiap warga
negara berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik yang dituangkan dalam pasal 28H ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian ditindaklanjuti dengan
mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
Hal 2-27
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Hingga saat ini, setidaknya terdapat dua program penanganan Rumah Tidak Layak Huni
(atau yang dikenal oleh masyarakat umum dengan istilah bedah rumah) yang diinisiasi
oleh pemerintah pusat. Kementerian PUPR melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat No. 13/PRT/M/2016 tentang Bantuan Stimulan Perumahan
Swadaya, melaksanakan program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya Rumah Tidak
Layak Huni (BSPS-RTLH). Sementara Kementerian Sosial melalui Peraturan Menteri
Sosial No. 20 tahun 2017 tentang Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni dan
Sarana Prasarana Lingkungan, melaksanakan program Bantuan Sosial Rumah Tidak
Layak Huni (BS-Rutilahu). Disamping kedua program pemerintah pusat tersebut,
pemerintah daerah pun secara simultan melakukan program perbaikan rumah tidak layak
huni, baik dalam lingkup pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota.
Hal 2-28
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
mengeluarkan program bantuan perbaikan rumah tidak layak huni bagi masyarakat
kurang mampu yang memiliki rumah tidak layak huni.
Rumah Tidak Layak Huni yang selanjutnya disingkat RTLH adalah rumah yang tidak
memenuhi persyaratan kecukupan minimal luas, kualitas, dan kesehatan bangunan.
Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni (RS-RTLH) adalah program kesejahteraan
sosial bagi fakir miskin untuk mewujudkan rumah layak huni. Kegiatan ini tidak hanya
berfokus pada aspek fisik rumah saja, tetapi jauh lebih penting bagaimana membangun
kapasitas kelompok fakir miskin ini memahami dan menyadari bahwa pentingnya tempat
tinggal yang layak huni dari aspek social dalam lingkungan keluraga. Hal ini dilakukan
agar tercapainya kesejahteraan keluarga dan berdampak pada peningkatan dalam aspek
sosial dan kesehatan.
2.3 PENDEKATAN
1. Pendekatan Keruangan
Oleh karena itu, rencana tata ruang dalam rangka mengembangan wilayah/kawasan
haruslah merupakan rencana yang komprehensif, yang bisa mengantisipasi
Hal 2-29
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
kebutuhan-kebutuhan seluruh aspek yang ada, baik aspek fisik maupun sosial-
ekonomi untuk masa yang akan datang demi terwujudnya kondisi wilayah/kawasan
yang diinginkan. Dengan kata lain, rencana tata ruang adalah suatu desain bagi
kerangka fisik, sosial, ekonomi, dan politis bagi wilayah/kawasan yang bersangkutan
secara seimbang dan berkelanjutan.
3. Pendekatan Lingkungan
4. Pendekatan Kemitraan
5. Pendekatan Legalitas
Hal 2-30
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
2.4 METODOLOGI
Hal 2-31
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Konsep fisik rumah layak huni diterangkan secara teknis dan terperinci dalam
Permenpera No. 22/Permen/M/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang
Perumahan Rakyat. Pada peraturan ini, rumah layak huni dijelaskan sebagai rumah yang
memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, kecukupan minimum luas bangunan
serta kesehatan penghuninya. Kriteria keselamatan bangunan sangat berkaitan dengan
struktur bangunan yang meliputi stuktur bawah, tengah dan atas. Aspek kesehatan
diuraikan dalam pencahayaan, penghawaan dan sanitasi. Persyaratan aspek kecukupan
luas harus memenuhi persyaratan kecukupan minimum 7.2 m2/orang sampai dengan 12
m2/ orang. Disamping Permenpera No. 22/Permen/M/2008, terdapat beberapa rujukan
peraturan dalam lingkup nasional lainnya yang menjelaskan kriteria aspek fisik rumah
layak huni dengan melibatkan jenis material yang digunakan pada komponen atap,
dinding dan lantai bangunan (aladin). Meskipun beberapa peraturan tersebut tidak secara
langsung menyebutkan kriteria struktural, namun penggunaan material secara kontekstual
berhubungan dengan struktur bangunan yang digunakan. Dalam lingkup nasional,
setidaknya terdapat 5 (lima) peraturan pemerintah pusat dan 1 (satu) acuan dari BPS
yang menjelaskan kritera rumah tidak layak huni sebagaimana terlihat pada Tabel berikut.
Keselamatan Bangunan
Luas Kesehatan
Peraturan Struktur Material Material
minimum Material Dinding Penghuni
Bangunan Atap Lantai
Hal 2-32
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Keselamatan Bangunan
Luas Kesehatan
Peraturan Struktur Material Material
minimum Material Dinding Penghuni
Bangunan Atap Lantai
Rumbia,
seng, Tanah, Tidak punya
Pergub Jabar No. Bambu/sesek, bilik, papan, kulit ilalang, papan, jamban, tidak
46/2015 kayu, tembok rusak ijuk, bambu, ada ventilasi /
genteng semen rusak jendela
rusak
Kondisi Atap dari Tanah,
Dinding dari
Permensos No < 7.2 bangunan bahan papan, tidak memiliki
bahan mudah
20/2017 m2/orang rusak yang mudah bambu/semen MCK
rusak/lapuk
membahayaka rusak/lapu atau keramik
n penghuni Bilik kDaun atau rusak Tidak
PermenPUPR No < 9 Rusak berat, genteng Tanah atau
bambu/kayu/rota mempunyai
47/PRT/M/2015 m2/orang rusak sedang plentong kayu
n pencahayaan
rapuh
< 7.2
BPS Bambu Ijuk Tanah
m2/orang
Hal 2-33
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
b) Peningkatan Kualitas
Hal 2-34
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
b) MBR dengan penghasilan dibawah upah minimum provinsi rata-rata nasional atau
masyarakat miskin sesuai dengan data dari Kementerian Sosial;
c) Sudah berkeluarga
e) Belum memiliki rumah, atau memiliki dan menghuni rumah tidak layak huni
b) Bangunan yang belum selesai dari yang sudah diupayakan oleh masyarakat sampai
paling tinggi struktur tengah dan luas lantai bangunan paling tinggi 45 m2 (empat
puluh lima meter persegi)
c) Terkena kegiatan konsilidasi tanah, atau relokasi dalam rangka peningkatan kualitas
perumahan dan kawasan permukiman kumuh dan/atau
b) Bahan dinding berupa bilik bambu/kayu/rotan atau kayu kelas IV, tidak/kurang
mempunyai ventilasi dan pencahayaan
c) Bahan atap berupa daun atau genteng plentong yang sudah rapuh d) Rusak berat
dan/atau
Hal 2-35
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
e) Rusak sedang dan luas lantai bangunan tidak mencukupi standar minimal luas per
anggota keluarga yaitu 9 m2 (Sembilan meter persegi).
Belum pernah menerima bantuan rumah berupa dana maupun barang yang
bersumber dari APBN dan/atau APBD provinsi/kabupaten/kota;
Tanah merupakan milik sendiri dan bukan tanah warisan yang belum dibagi;
Tidak memberikan dana BSPS kepada pihak lain dengan dalih apapun;
c) Fotokopi sertifikat hak atas tanah, fotokopi surat bukti menguasai tanah; atau
surat keterangan menguasai tanah dari kepala desa/lurah;
d) Fotokopi KTP nasional, atau KTP seumur hidup dan fotokopi kartu keluarga;
e) Surat keterangan penghasilan dari tempat kerja bagi yang berpenghasilan tetap,
atau dari kepala desa/lurah bagi yang berpenghasilan tidak tetap; dan
3. Penyiapan Masyarakat
Hal 2-36
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Yang bertujuan untuk memastikan data Calon Penerima Bantuan adalah benar
penerima bantuan, dan telah terdata sesuai hasil pendataan H-1.
Hal 2-37
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Rencana Teknis Bangunan terdiri dari Gambar Kerja (GK), Spesifikasi Teknis dan
Rencana Anggaran Biaya atau Rencana Penggunaan Dana (RPD). Jika Gambar
Kerja, Spesifikasi Teknis dan RPD sudah tersedia dari hasil perencanaan teknis
sebelumnya, maka kegiatan yang dilakukan adalah melakukan reviu atau
peninjauan kembali.
Proposal yang dibuat oleh KPB antara lain terdiri dari dokumen Penyiapan
Masyarakat dan dokumen Perencanaan Teknis yang dihasilkan dari kegiatan
perencanaan teknis yang dilakukan Calon Penerima Bantuan dan Kelompok
Penerima Bantuan dengan didampingi oleh Fasilitator. Gambar Kerja dan/atau
Spesifikasi Teknis, Rencana Penggunaan Dana dan KPB sebagai organisasi
pelaksana hasil kesepakatan rembug disusun menjadi Rencana Teknis Proposal.
Secara keseluruhan proses perencanaan teknis proposal dapat dilihat pada diagram
alir perencanaan teknis penyusunan proposal seperti tercantum pada Gambar 1.
Hal 2-38
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Sasaran dari survey swadaya masyarakat ini adalah untuk memperoleh data
keswadayaan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pendanaan
pembangunan/peningkatan kualitas rumah. Indikator keluarannya adalah untuk
mengetahui siapa pelakunya, apa bentuknya dan berapa besarnya swadaya yang
akan diberikan oleh masyarakat.
Hal 2-39
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Reviu Gambar Kerja dilakukan dengan cara membandingkan antara Gambar Kerja
yang dihasilkan dari proses pendataan yang dilakukan sebelumnya dengan kondisi
rumah saat ini. Riviu ini dilakukan oleh calon penerima bantuan didampingi oleh
fasilitator.
Proposal per KPB disusun oleh KPB dengan susunan sebagai berikut:
Hal 2-40
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
j) Proposal diserahkan oleh ketua KPB kepada fasilitator untuk dimasukkan kedalam
berkas Pengusulan Penetapan Penerima Bantuan.
Berkas Usulan Penetapan Penerima Bantuan per desa disusun oleh fasilitator
dengan susunan: a) Lembar Verifikasi Kelengkapan Dokumen Pengusulan
Penetapan Penerima Bantuan; b) Permohonan Penetapan Penerima BSPS; c) Surat
Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak /SPTJM; d) Draft Lampiran SK PPK; e) Berita
Acara Sosialisasi; f) Pakta Integritas; g) Hasil Klarifikasi Lapangan; h) Berita Acara
Rembug Penyepakatan Penerima Bantuan.
Setelah dokumen asli permohonan pencairan BSPS yang diajukan oleh tim
teknis kabupaten/kota diterima serta dinyatakan lengkap dan benar, selanjutnya
PPK menerbitkan SK Penetapan Penerima BSPS per desa yang disahkan oleh
Kepala Satuan Kerja.
Hal 2-41
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Jadwal pelaksanaan dan jadwal penugasan yang akan dibuat disesuaikan dengan
rencana kerja yang akan dilakukan konsultan. Untuk lebih jelasnya jadwal pelaksanaan
pekerjaan, komposisi tim dan uraian tugas masing-masing tenaga ahli dan tenaga
pendukung serta jadwal penugasan tenaga ahli ahli dan tenaga pendukung dapat dilihat
pada tabel sebagai berikut.
Hal 2-42
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Hal 2-43
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Tenaga inti dari team pelaksana Konsultan berjumlah 3 (tiga) orang, dan 8 (delapan) tenaga pendukung dengan uraian tugas masing-masing
akan diuraikan pada tabel sebagai berikut.
Hal 2-44
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Hal 2-45
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Hal 2-46
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Hal 2-47
PENDAMPINGAN FASILITASI DAN STIMULASI RTLH (PAKET 1)
DI KABUPATEN BANDUNG
Hal 2-48