Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini, penggunaan obat tradisional dan obat yang berasal dari bahan

alami semakin marak di masyarakat. Obat tradisional dan obat bahan alam

menjadi pilihan alternatif solusi kesehatan masyarakat. Oleh karena harga obat

tradisional dan obat yang berbahan alami mempunyai harga yang relatif lebih

murah, maka obat jenis ini sering menjadi pilihan pertama solusi kesehatan

masyarakat kelas menengah dan bawah. Obat tradisional telah diterima secara luas

di negara-negara yang tergolong berpenghasilan rendah sampai sedang. Bahkan di

beberapa negara berkembang obat tradisional telah dimanfaatkan dalam pelayanan

kesehatan terutama pada pelayanan kesehatan strata pertama. Sementara itu, di

banyak negara maju penggunaan obat tradisional makin populer (Depkes, 2007).

Tren gaya hidup back to nature yang marak di negara maju dan mulai masuk ke

negara berkembang seperti Indonesia turut andil memperluas penggunaan obat

tradisional dan bahan alam hingga ke masyarakat kelas menengah dan atas.

Di Indonesia, masyarakat telah lama mengenal dan menggunakan obat

a
tradisional. Jamu merupakan obat tradisional Indonesia (BPOM, 2005 ) dan telah

digunakan turun temurun oleh masyarakat nusantara sejak lama. Melihat tren

masyarakat yang mulai kembali menggunakan jamu, banyak pengusaha jamu

berlomba untuk meningkatkan produksi mereka. Tidak sedikit pula beberapa

perusahaan farmasi yang ikut memproduksi produk bahan alam dengan membuat

1
2

unit herbal.

Masyarakat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan,

meningkatkan, dan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional yang dapat

dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya (Sekretariat Negara, 2009).

Sejalan dengan maraknya produk obat tradisional dan obat bahan alam di pasaran,

muncul masalah mengenai jaminan keamanan dan khasiat produk yang beredar

tersebut. Untuk dapat memberikan jaminan mutu baik keamanan maupun khasiat di

bidang obat tradisional, dihadapkan pada kondisi sangat kurangnya ketersediaan

standar dan metode sebagai instrumen untuk evaluasi mutu. Sementara penelitian

mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi manfaat dan mutu obat tradisional sangat

terbatas yang pada gilirannya menyebabkan terbatasnya data, standar, dan metodologi

(Depkes, 2007). Jaminan mutu dan keamanan obat tradisional juga diperlukan dalam

rangka meningkatkan daya saing produk-produk obat tradisional Indonesia di kancah

perdagangan internasional, terutama dalam menghadapi harmonisasi ASEAN dan

AFTA. Langkah utama dan merupakan persyaratan dasar untuk menerapkan sistem

jaminan mutu dan keamanan ini adalah dengan diterapkannya Cara Pembuatan Obat

Tradisional yang Baik (CPOTB) pada seluruh aspek kegiatan dan produksi obat

c
tradisional (BPOM, 2005 ). Proses produksi merupakan salah satu tahapan kunci

dimana kontrol kualitas disyaratkan untuk menjamin kualitas obat bahan alam yang

diproduksi. Good Manufacturing Practice (GMP) merupakan satu dari alat paling

penting untuk mengukurnya (WHO, 2007). Tujuan umum diterapkannya CPOTB

agar melindungi masyarakat terhadap hal-hal yang merugikan dari penggunaan obat

tradisional yang tidak memenuhi persyaratan


3

mutu dan meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk obat tradisional

c
Indonesia dalam era pasar bebas (BPOM RI, 2005 ). Setiap produsen obat

tradisional dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatan memproduksi obat

tradisional, wajib berpedoman pada CPOTB. Bagi Industri Obat Tradisional (IOT)

diwajibkan telah menerapkan CPOTB selambat-lambatnya 1 Januari 2010 dan

bagi Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) dilakukan secara bertahap sesuai

b
dengan kemampuan industri (BPOM, 2005 ). Oleh karena itu, perlu dilakukan

penilaian terhadap penerapan CPOTB terutama di IKOT sebagai evaluasi sejak

diwajibkannya CPOTB tersebut. Sampai saat ini, telah diberlakukan dua CPOTB,

yaitu CPOTB tahun 2005 dan CPOTB tahun 2010. CPOTB tahun 2010

diberlakukan untuk menyempurnakan CPOTB 2005 yang telah diberlakukan

sebelumnya. Oleh karena itu, sebelum dilakukan penerapan CPOTB tahun 2010,

diperlukan evaluasi terhadap penerapan CPOTB sebelumnya yaitu CPOTB tahun

2005. Pada tahun 2012 telah diterbitkan peraturan menteri kesehatan RI

(Permenkes) No. 6 tahun 2012 tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional yang

tidak lagi menyebut IKOT tetapi Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT) dan

Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT) sebagai bentuk produksi obat tradisional

skala kecil (Depkes RI, 2012). Sehingga evaluasi CPOTB yang dilaksanakan pada

penelitian ini disesuaikan dengan definisi terbaru tersebut.

Titik tekan penilaian menurut dra. Lucky S. Slamet, M.Sc., Kepala BPOM RI

periode 2012 - 2013, dokumentasi alur produksi sehingga memudahkan dalam

penelusuran produk unit usaha tersebut (Slamet, 2012). Menurut Ketua KOJAI,

Suwarsi Moertedjo, selain aspek dokumentasi, KOJAI juga menekankan pada


4

pemenuhan aspek sanitasi dan higiene oleh UKOT dan UMOT di Kabupaten

Sukoharjo (Moertedjo, 2013).

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Sejauh mana penerapan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik

(CPOTB) pada UKOT dan UMOT di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah?

2. Bagaimana kemampuan UKOT dan UMOT dalam memenuhi standar CPOTB?

3. Aspek CPOTB manakah yang paling sulit dipenuhi oleh UKOT dan UMOT?

4. Apa kendala yang paling sering ditemui pada pelaksanaan CPOTB oleh

UKOT dan UMOT?

C. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang evaluasi CPOTB pada Usaha Kecil Obat Tradisional

(UKOT) dan Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT) di Kabupaten Sukoharjo ini

menurut pengamatan penulis belum pernah dilakukan, kecuali pemeriksaan dan

pembinaan oleh instansi yang berwenang. Penelitian lain dengan tema evaluasi

CPOTB yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Farmasi UGM dapat dilihat di

tabel I.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian pada tabel I adalah mengambil tema

evaluasi penerapan CPOTB. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian setingkat tesis

pada tabel I adalah penelitian ini dilakukan pada Industri Kecil Obat Tradisional

(IKOT) sedangkan kedua penelitian tesis dilakukan pada Industri Obat Tradisional

(IOT). Perbedaan dengan penelitian setingkat skripsi pada tabel I adalah


5

perbedaan lokasi pengambilan sampel dimana penelitian pada tabel I dilakukan di

Kabupaten Bantul sedangkan penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sukoharjo,

Jawa Tengah.

Tabel I. Penelitian dengan tema evaluasi CPOTB di Fakultas Farmasi UGM


No Judul Penulis Keterangan

1 Evaluasi Penerapan Cara Pembuatan Bambang Suryadi Tesis


Obat Tradisional yang Baik di

Industri Obat Tradisional Jawa

Tengah

2 Evaluasi Penerapan CPOTB dan Rita Mahyona Tesis


Pengendalian Kualitas Sediaan Tablet

X di PT. Kimia Farma Tbk. PLANT

Jakarta

3 Evaluasi Penerapan Cara Pembuatan Arifudin Dhian Skripsi


Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) Kurniawan

pada Industri Kecil Obat Tradisional

(IKOT) di Kabupaten Bantul

D. Faedah yang Diharapkan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada masyarakat,

pemerintah, dan pihak yang peduli dengan obat tradisional Indonesia mengenai

kondisi yang dihadapi pelaku usaha kecil dan mikro obat tradisional di Kabupaten

Sukoharjo berkaitan dengan kualitas obat tradisional yang dihasilkan.


6

Penelitian ini merupakan penelitian tentang evaluasi CPOTB yang pertama di

Kabupaten Sukoharjo dan belum pernah dilakukan penelitian serupa. Penelitian

ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pelaku UKOT dan UMOT di

Sukoharjo tentang kondisi mereka agar dapat menjadi pertimbangan dalam

pengembangan usaha ke depan, juga bagi lembaga terkait dalam mengambil

kebijakan tentang pembinaan dan pengawasan pelaksanaan CPOTB pada UKOT

dan UMOT di Sukoharjo.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui sejauh mana penerapan seluruh aspek CPOTB pada masing-

masing UKOT dan UMOT di Kabupaten Sukoharjo dalam produksinya.

2. Mengetahui kemampuan UKOT dan UMOT dalam memenuhi standar

CPOTB.

3. Mengetahui aspek CPOTB yang paling sulit dipenuhi oleh UKOT dan UMOT.

4. Mengetahui kendala yang paling sering ditemui dalam pelaksanaan CPOTB

oleh UKOT dan UMOT.


7

F. Tinjauan Pustaka

1. CPOTB

Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) meliputi seluruh aspek

yang menyangkut pembuatan obat tradisional dengan tujuan untuk menjamin

produk yang dihasilkan agar dapat senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang

telah ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Mutu produk tergantung

dari bahan awal, proses produksi, dan pengawasan mutu, bangunan, peralatan, dan

personalia yang menangani (Depkes, 1991).

Penerapan CPOTB merupakan persyaratan kelayakan dasar untuk

menerapkan sistem jaminan mutu yang diakui dunia internasional. Untuk itu

sistem mutu hendaklah dibangun, dimantapkan, dan diterapkan sehingga

kebijakan yang ditetapkan dan tujuan yang diinginkan dapat dicapai. Dengan

demikian penerapan CPOTB merupakan nilai tambah bagi produk obat tradisional

Indonesia agar dapat bersaing dengan produk sejenis dari negara lain baik di pasar

b
dalam negeri maupun internasional (BPOM, 2005 ).

Ada sepuluh aspek yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan CPOTB, yaitu

a. Personalia

b. Bangunan

c. Peralatan

d. Sanitasi dan Higiene

e. Penyiapan Bahan Baku

f. Pengolahan dan Pengemasan


8

g. Pengawasan Mutu

h. Inspeksi Diri

i. Dokumentasi

j. Penanganan terhadap Hasil Pengamatan Produk Jadi di Peredaran

Uraian mengenai sepuluh aspek tersebut di atas adalah sebagai berikut :

a. Personalia

Personalia hendaklah mempunyai pengetahuan, pengalaman, ketrampilan, dan

kemampuan yang sesuai dengan tugas dan fungsinya, serta tersedia dalam jumlah

yang cukup. Mereka hendaklah dalam keadaan sehat dan mampu menangani tugas

c
yang dibebankan kepadanya (BPOM, 2005 ). Jumlah dan kualitas personil yang

kurang memadai cenderung mempengaruhi kualitas obat tradisional. Jumlah personil

yang terbatas mengakibatkan tugas dilakukan secara tidak cermat dengan segala

akibatnya. Disamping itu kekurangan personil mengakibatkan sering dilakukan kerja

lembur yang dapat menimbulkan kelelahan fisik dan mental baik bagi operator

maupun supervisor. Pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan personil hendaklah

sesuai dengan persyaratan kualifikasi yang tertera pada uraian tugas masing-masing

c
personil (BPOM, 2005 ).

Seluruh personil yang langsung terlibat serta dalam kegiatan pembuatan

produk dan yang karena tugasnya mengharuskan mereka masuk ke daerah

pembuatan produk hendaklah dilatih mengenai kegiatan tertentu yang sesuai

dengan tugasnya maupun mengenai prinsip-prinsip CPOTB. Pelatihan mengenai

CPOTB hendaknya dilakukan secara berkesinambungan dengan frekuensi yang

memadai untuk menjamin agar para personil terbiasa denga persyaratan CPOTB
9

yang berkaitan dengan tugasnya. Pelatihan tersebut dilaksanakan menurut program

tertulis yang telah disetujui oleh Kepala Bagian Produksi dan Kepala Bagian

Pengawasan Mutu. Setelah mendapat pelatihan, prestasi personil hendaknya

dievaluasi untuk menentukan apakah mereka telah memiliki kualifikasi yang

c
memadai untuk melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya (BPOM, 2005 ).

b. Bangunan

Aspek bangunan mempunyai dua sub aspek, yaitu bangunan dan ruangan.

Pada sub aspek bangunan, secara ideal industri obat tradisional yang baik dan

sehat hendaknya berada di lokasi yang bebas dari pencemaran. Bangunan pabrik

juga hendaknya memenuhi persyaratan sanitasi dan higiene dengan cara-cara

tertentu. Bangunan hendaknya memiliki rancangan, ukuran, dan konstruksi yang

memenuhi syarat dan peraturan yang berlaku. Bangunan industri obat tradisional

hendaklah memiliki ruangan-ruangan pembuatan yang rancang bangun dan

luasnya sesuai dengan bentuk, sifat, dan jumlah produk yang dibuat, jenis, dan

jumlah peralatan yang digunakan, jumlah karyawan yang bekerja serta fungsi

c
ruangan (BPOM, 2005 ).

Tata letak ruang hendaklah dikaji sejak tahap perencanaan konstruksi

bangunan demi terlaksananya semua kegiatan, kelancaran arus kerja, komunikasi,

dan pengawasan yang efektif, serta menghindari ketidakteraturan. Peralatan

produksi, barang, dan fasilitas lain yang akan ditempatkan serta lalu lintas barang

dan orang hendaklah digambarkan dengan benar pada tata ruang sesuai dengan

ukuran yang direncanakan. Tata letak ruangan hendaklah mengikuti urutan proses

pengolahan dan dihubungkan melalui koridor. Antar ruangan hendaklah dilakukan


10

penyekatan sesuai dengan fungsi khusus masing-masing ruangan guna mencegah

terjadinya tercampurnya bahan maupun kemungkinan terjadinya kontaminasi

silang antar bahan serta mencegah resiko terlewatnya salah satu langkah dalam

proses produksi. Ruang laboratorium harus terpisah dari area produksi dan tidak

menghadap ke dalam area produksi. Laboratorium kimia fisika dan laboratorium

mikrobiologi harus terpisah. Lantai, dinding, dan langit-langit ruangan dibuat

sedemikian rupa hingga mudah dibersihkan, kedap air, tidak ada sambungan, rata,

c
dan tidak merupakan media pertumbuhan mikroba (BPOM, 2005 ).

c. Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam pembuatan produk hendaklah memiliki

rancang bangun konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai serta ditempatkan

dengan tepat, sehingga mutu yang dirancang bagi tiap produk terjamin secara

seragam dari bets ke bets, serta untuk memudahkan pembersihan dan

perawatannya. Peralatan tidak boleh menimbulkan akibat yang merugikan

terhadap produk, misalnya tidak bereaksi dengan produk, kebocoran katup,

penetesan zat pelumas dan hal lain yang sejenis, atau karena perbaikan,

c
pemeliharaan, modifikasi, atau adaptasi yang salah (BPOM, 2005 ).

Idealnya dalam satu ruangan hanya boleh ada satu peralatan. Apabila dalam

satu ruangan terdapat lebih dari satu peralatan, hanya boleh mengolah satu produk

c
pada satu waktu untuk menghindari pencemaran silang (BPOM, 2005 ). Peralatan

hendaklah ditempatkan sedemikian rupa untuk memperkecil kemungkinan

pencemaran silang dan untuk memberikan keleluasaan kerja, serta mudah


11

c
dibersihkan (BPOM, 2005 ). Semua jenis pipa yang terpasang kecuali yang ditanam
c
di bawah tanah dan pipa listrik hendaklah diberi tanda yang jelas (BPOM, 2005 ).

Sarana pengolahan produk hendaklah dilengkapi dengan peralatan sesuai

dengan proses dan bentuk sediaan yang akan dibuat. Sedangkan peralatan serta

instrumen laboratorium pengujian hendaklah sesuai untuk menguji tiap bentuk

sediaan produk yang dibuat. Dalam laboratorium hendaknya terdapat sekurang-

kurangnya : timbangan gram dan miligram, mikroskop dan perlengkapannya, alat-

alat gelas sesuai keperluan, serta lampu spiritus. Bahan uji yang perlu dilengkapi

adalah zat atau bahan kimia dan larutan pereaksi sesuai kebutuhan serta buku-

buku persyaratan antara lain Materia Medika Indonesia, Farmakope Indonesia,

dan Ekstra Farmakope Indonesia serta buku-buku resmi lainnya. Bila memiliki

laboratorium mikrobiologi hendaklah sekurang-kurangnya memiliki otoklac,

oven, lemari pendingin, Laminar Air Flow (LAF), inkubator, peralatan gelas, dan

media yang diperlukan. Prosedur kerja standar untuk setiap instrumen atau

peralatan harus tersedia, dan diletakkan di dekat instrumen atau peralatan yang

bersangkutan. Untuk menjamin ketepatan dan ketelitian pengukuran instrumen

yang digunakan hendaklah dikalibrasi secara berkala sesuai jadwal yang

ditetapkan. Jadwal pelaksanaan kalibrasi untuk masing-masing instrumen

c
hendaknya tertera pada instrumen yang bersangkutan (BPOM, 2005 ).
12

d. Sanitasi dan Higiene

Dalam pembuatan produk hendaklah diterapkan tindakan sanitasi dan higiene

yang meliputi bangunan, peralatan dan perlengkapan, personalia, bahan dan wadah

serta faktor lain sebagai sumber pencemaran produk. Karyawan hendaklah menjalani

pemeriksaan kesehatan baik sebelum diterima menjadi karyawan maupun selama

menjadi karyawan yang dilakukan secara berkala serta hendaklah karyawan dilatih

menerapkan higiene perorangan dengan baik. Hendaklah tersedia jamban atau tempat

cuci tangan yang dilengkapi dengan sabun dan pengering yang berfungsi dengan baik

c
dan jumlah serta kapasitasnya memadai (BPOM, 2005 ).

Prosedur sanitasi peralatan hendaklah dirancang dengan tepat agar dapat

dicegah pencemaran peralatan oleh bahan pembersih atau bahan untuk sanitasi.

Peralatan sebelum dipakai hendaklah diperiksa lagi untuk memastikan

kebersihannya. Peralatan setelah digunakan hendaklah dibersihkan baik bagian

luar maupun bagian dalam sesuai prosedur, serta dijaga dan disimpan dalam

kondisi bersih dan diberi tanda. Peralatan yang dapat dipindah-pindahkan

pembersihannya dan penyimpanannya hendaklah dilakukan dalam ruangan yang

c
terpisah dari ruangan pengolahan (BPOM, 2005 ).

e. Penyiapan Bahan Baku

Setiap bahan baku yang digunakan untuk pembuatan hendaklah memenuhi

persyaratan yang berlaku. Pada saat penerimaan terhadap setiap kiriman bahan baku

hendaklah dilakukan pemeriksaan secara organoleptik dan laboratoris. Setiap bahan

baku yang diterima hendaklah diberi label yang memberi informasi mengenai nama

daerah dan nama latin bahan, tanggal penerimaan, dan pemasok. Semua
13

pemasukan, pengeluaran, dan sisa bahan baku hendaklah dicatat dalam kartu atau

buku persediaan yang meliputi nama, tanggal penerimaan atau pengeluaran, serta

nama dan alamat pemasok. Setiap simplisia sebelum digunakan hendaklah dilakukan

sortasi untuk membebaskan dari bahan asing dan pengotor lain. Simplisia yang dicuci

hendaklah dikeringkan terlebih dahulu dengan cara yang tepat sehingga tidak terjadi

perubahan mutu dan mencapai kadar air yang dipersyaratkan. Pengeluaran simplisia

yang akan diolah dilakukan oleh petugas yang ditunjuk dengan cara mendahulukan

simplisia yang disimpan lebih awal (First In First Out), atau yang mempunyai batas

kadaluwarsa lebih awal (First Expired First Out). Semua bahan baku yang tidak

memenuhi syarat hendaklah ditandai dengan jelas, disimpan secara terpisah

c
menunggu tindak lanjut (BPOM, 2005 ).

f. Pengolahan dan Pengemasan

Pengolahan dan pengemasan hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti cara

yang telah ditetapkan oleh industri sehingga dapat menjamin produk yang

c
dihasilkan senantiasa memenuhi persayaratan yang berlaku (BPOM, 2005 ).

Hendaklah dibuatkan prosedur operasional baku pengolahan dan pengemasan

c
secara tertulis dan catatan hasilnya hendaklah disimpan (BPOM, 2005 ).

g. Pengawasan Mutu

Pengawasan mutu merupakan bagian yang essensial dari cara pembuatan obat

tradisional yang baik. Rasa ketertarikan dan tanggung jawab semua unsur dalam

semua rangkaian pembuatan adalah mutlak untuk menghasilkan produk yang

c
bermutu mulai dari bahan awal sampai pada produk jadi (BPOM, 2005 ).

Pengawasan mutu obat tradisional dilaksanakan melalui suatu sistem pengawasan


14

yang terencana dan terpadu. Semua unsur yang terlibat dalam pembuatan obat

tradisional, baik personalia maupun kelengkapan sarana pabrik, hendaklah

menunjang maksud pembuatan obat tradisional itu dan mendukung sepenuhnya

persyaratan yang diinginkan sehingga obat tradisional yang dihasilkan senantiasa

memenuhi spesifikasi mutu. Pengawasan mutu merupakan bagian (departemen)

yang berdiri sendiri dan tidak merupakan bagian dari departemen produksi.

Memiliki otoritas tunggal untuk meluluskan atau menolak bahan awal untuk

produksi, kelanjutan proses produksi sesudah melewati tahap proses yang kritis,

c
dan produk jadi untuk didistribusikan (BPOM, 2005 ). Sistem pengawasan mutu

hendaklah dirancang dengan tepat untuk menjamin bahwa tiap produk

mengandung bahan dengan mutu yang benar dan dibuat pada kondisi yang tepat

serta mengikuti prosedur standar sehingga produk tersebut senantiasa memenuhi

persyaratan produk jadi yang berlaku. Pengawasan mutu hendaklah dilakukan

terhadap bahan baku, bahan pengemas, proses pembuatan, produk antara, produk

c
ruahan, dan produk jadi (BPOM, 2005 ).

h. Inspeksi Diri

Inspeksi diri pada dasarnya adalah cara untuk mengkaji kembali secara objektif

seluruh tata kerja diri sendiri dari setiap aspek yang mungkin dapat berpengaruh pada

jaminan mutu. Tujuan inspeksi diri adalah melakukan penilaian apakah seluruh aspek

pengolahan, pengemasan, dan pengendalian mutu selalu memenuhi CPOTB (BPOM,

c
2005 ). Tujuan inspeksi diri juga untuk mengetahui cacat, baik yang berdampak

besar, sedang, maupun kecil. Inspeksi diri hendaklah dilakukan oleh orang yang

kompeten dari perusahaan dengan atau tanpa bantuan tenaga ahli


15

c
dari luar (BPOM, 2005 ). Untuk pelaksanaan inspeksi diri hendaklah ditunjuk tim
inspeksi yang mampu menilai secara obyektif pelaksanaan CPOTB. Hendaklah
c
dibuat prosedur dan catatan mengenai inspeksi diri (BPOM, 2005 ).

i. Dokumentasi

Dokumentasi pembuatan produk merupakan bagian dari sistem informasi

manajemen yang meliputi spesifikasi, label/etiket, prosedur, metoda dan instruksi,

catatan dan laporan, serta jenis dokumentasi lain yang diperlukan dalam

perencanaan, pelaksanaan, pengendalian serta evaluasi seluruh rangkaian kegiatan

pembuatan produk. Dokumentasi sangat penting untuk memastikan bahwa setiap

petugas mendapat instruksi secara rinci dan jelas mengenai bidang tugas yang

harus dilaksanakannya, sehingga memperkecil risiko terjadiya salah tafsir dan

kekeliruan yang biasanya timbul karena hanya mengandalkan komunikasi lisan

c
(BPOM, 2005 ).

Dokumentasi dapat diklarifikasikan dalam empat tingkat, yaitu : panduan mutu,

Prosedur Operasional Baku (POB), Instruksi Kerja (IK), dan Catatan Mutu (BPOM,

c
2005 ). Sistem dokumentasi hendaklah bisa menggambarkan riwayat lengkap dari

setiap bets suatu produk sehingga memungkinkan penyelidikan serta penelusuran

terhadap bets produk yang bersangkutan. Sistem dokumentasi digunakan pula dalam

pemantauan dan pengendalian, misalnya kondisi lingkungan, perlengkapan, dan

c
personalia (BPOM, 2005 ). Sistem dokumentasi yang dirancang atau digunakan

hendaklah mengutamakan tujuan yaitu menentukan, memantau, dan mencatat seluruh

c
aspek produksi dan pengendalian mutu (BPOM, 2005 ).
16

j. Penanganan terhadap Hasil Pengamatan Produk Jadi di Peredaran Keluhan

dan laporan menyangkut kualitas, efek yang merugikan atau masalah

medis lainnya hendaklah diselidiki dan dievaluasi serta diambil tindak lanjut yang

c
sesuai (BPOM, 2005 ).

a) Keluhan mengenai kualitas menyangkut keadaan fisik, kimia, dan biologi dari

produk jadi atau kemasannya dan lain sebagainya.

b) Keluhan dan laporan tentang efek yang merugikan seperti reaksi alergi, reaksi

toksis, reaksi fatal, dan lain sebagainya.

c
(BPOM, 2005 )

Hendaklah dibuat catatan tertulis mengenai semua keluhan dan laporan yang

diterima. Keluhan dan laporan tersebut hendaklah ditangani oleh bagian yang

bersangkutan sesuai dengan jenis keluhan dan laporan yang diterima. Tiap keluhan

dan laporan hendaklah dilakukan penelitian dan evaluasi secara seksama dan

kemudian dilakukan tindak lanjut sesuai evaluasi dan penelitian. Hasil pelaksanaan

penanganan keluhan dan laporan termasuk hasil evaluasi penelitian dan tindak

lanjut yang diambil hendaklah dicatat dan dilaporkan kepada


bagian yang

c
bersangkutan dan kepada pejabat pemerintah yang berwenang (BPOM, 2005 ).

Penarikan kembali produk yang berupa penarikan kembali satu atau beberapa

bets atau seluruh produk tertentu dari semua mata rantai produksi. Penarikan kembali

dilakukan apabila ditemukan adanya produk yang tidak memenuhi persyaratan atau

atas dasar pertimbangan adanya efek yang tidak diperhitungkan yang merugikan

kesehatan. Penarikan kembali seluruh produk tertentu dapat berupa


17

tindak lanjut penghentian pembuatan sait jenis produk bersangkutan (BPOM,

c
2005 ).

2. Obat tradisional

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan

hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang

secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan

norma yang berlaku di masyarakat (Sekretariat Negara, 2009). Obat Tradisonal merupakan

salah satu produk dari budaya bangsa Indonesia (Depkes, 2007). Obat tradisional di Indonesia

dibagi menjadi 3 kriteria yaitu : Jamu, Obat Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka. Jamu adalah

obat tradisional Indonesia. Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah

dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya

telah distandarisasi. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan

keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku, dan

produk jadinya telah distandarisasi (BPOM, 2005d).

3. Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT)

Usaha Kecil Obat Tradisional yang selanjutnya disebut UKOT adalah usaha

yang membuat semua bentuk sediaan obat tradisional, kecuali bentuk sediaan

tablet dan efervesen ( Depkes RI, 2012).

4. Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT)

Usaha Mikro Obat Tradisional yang selanjutnya disebut UMOT adalah usaha

yang hanya membuat sediaan obat tradisional dalam bentuk param, tapel, pilis,

cairan obat luar dan rajangan ( Depkes RI, 2012).


18

5. Industri Obat Tradisional (IOT)

Industri Obat Tradisional yang selanjutnya disebut IOT adalah industry yang

membuat semua bentuk sediaan obat tradisional (Depkes RI, 2012).

6. Keterangan empiris

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai penerapan

CPOTB tahun 2005 yang telah ditetapkan oleh BPOM RI khususnya pada UKOT

dan UMOT di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, sehingga dapat memberi

masukan awal dalam pelaksanaan CPOTB 2011 bagi pelaku usaha obat tradisional

serta dalam menetapkan metode pembinaan oleh pihak-pihak terkait.


19

Anda mungkin juga menyukai