Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

INTOKSIKASI (KERACUNAN)

I. Konsep Penyakit
1.1 Pengertian
Intoksikasi adalah masuknya zat racun kedalam tubuh baik melalui saluran
pencernaan, saluran nafas, atau melalui kulit atau mukosa yang menimbulkan
gejala klinis.

Racun adalah zat yang ketika ditelan, terhisap, diabsorpsi, menempel pada
kulit, atau dialirkan didalam tubuh dalam jumlah yang relative kecil
menyebabkan cedera dari tubuh dengan adanya reaksi kimia. Reaksi kimia
racun mengganggu sistem kardiovaskular, pernapasan sistem saraf pusat, hati,
pencernaan (GI), dan ginjal (Nurarif & Kusuma, 2013).

Insektisida adalah bahan-bahan kimia bersifat racun yang dipakai untuk


membunuh serangga. Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik di
antara jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada
manusia (Arisman, 2008).

1.2 Etiologi
Penyebab keracunan ada beberapa macam dan akibatnya bisa mulai yang
ringan sampai yang berat.
1.2.1 Keracunan Hidrokarbon
Kelompok hidrokarbon yang sering menyebabkan keracunan adalah
minyak tanah, bensin, minyak cat ( tinner ) dan minyak untuk korek api
(Arisman, 2008).

1.2.2 Keracunan Makanan


a. Keracunan Jamur
Keracunan setelah memakan jamur belakangan ini sering terjadi. Ada
jamur yang mengandung racun amanitin dan muskarin dimana

1
2

muskarin merupakan zat alkaloid beracun yang menyebebkan


paralisis otot dan bereaksi sangat cepat.
b. Keracunan Makanan Kaleng
Disebabkan oleh kuman Clostridium botulinum, terdapat dalam
makanan kaleng yang diawetkan dan dikalengkan secara tidak
sempurna sehingga tercemar kuman tersebut.
c. Keracunan Jengkol
Pada keracunan jengkol terjadi penumpukan kristal asam pada tubuli,
ureter dan urethrae. Keluhan terjadi 5 - 12 jam sesudah makan
jengkol.
d. Keracunan Ketela Pohon
Dapat terjadi karena ada ketela pohon yang mengandung asam
sianida (HCN) atau sianogenik glikosida. Ketela pohon pahit
mengandung lebih dari 50mg HCN per 100gr ketela pohon segar.
e. Keracunan Makanan yang Terkontaminasi
Tidak jarang terjadi keracunan bahan makanan yang tercemar oleh
kuman, parasit, virus, maupun bahan kimia. Kuman-kuman yang
dapat menyebabkan keracunan bahan makanan ialah Staphilococcus,
Salmonella, Clostridium Botulinum, E. Coli, Proteus, Klebsiella,
Enterobacter, dll. Tercemarnya makanan biasanya melalui lalat,
udara, kotoran rumah tangga, dan terutama melalui juru masak yang
menjadi pembawa kuman. Kuman yang masuk kedalam makanan
cepat memperbanyak diri dan memproduksi toksin. Akibat keracunan
tergantung dari virulensi dan banyaknya kuman, sifat kuman ialah
tidak tahan panas (Arisman, 2008).

1.2.3 Keracunan Bahan Kimia


a. Keracunan Arsen
Lebih dari 20 abad yang lalu arsen digunakan baik oleh orang yunani
maupun roma untuk pengobatan maupun sebagai racun. Pada saat ini
tidak banyak obat mengandung arsen, akan tetapi kadang-kadang
dipakai pada pembuatan beberapa herbisida dan peptisida. Arsen
3

dapat juga ditemukan sebagai hasil sampingan dari peleburan timah,


seng, dan logam lainnya (Arisman, 2008).

b. Keracunan Asam Basa


Zat asam kuat seperti asam sulfat, asam klorida dan zat basa kuat
seperti KOH, NaOH banyak dipakai sebagai bahan kimia untuk
keperluan rumah tangga, seperti pembersih porselen, bahan anti
sumbat saluran air, pembasmi serangga, maupun untuk memasak
seperti cuka bibit (Arisman, 2008).

c. Keracunan Insektisida (Pestisida)


Walaupun tujuan pemakaian insektisida itu untuk membasmi
berbagai macam serangga seperti kecoa dan sebagainya. Bahan-
bahan demikian dapat pula membunuh manusia. Pestisida yang
termasuk ke dalam golongan organofosfat antara lain :
Azinophosmethyl, Chloryfos, Demeton Methyl, Dichlorovos,
Dimethoat, Disulfoton, Ethion, Palathion, Malathion, Parathion,
Diazinon, Chlorpyrifos. Dengan demikian jika barang tersebut tidak
disimpan di tempat yang aman dan jauh dari jangkauan anak-anak,
maka kejadian keracuan baik melalui kontak maupun inhalasi dan
minum tidak dapat dihindarkan. Untuk menanggulangi kejadian
keracunan insektisida tidak mudah karena bahan kimia yang
dipergunakan oleh tiap produsen tidak sama (Prijanto, 2009).

1.3 Tanda dan Gejala


1.3.1 Gejala Yang Paling Menonjol
Menurut Nurarif & Kusuma 2013, dalam buku Aplikasi Asuhan
Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC
gejala yang paling menonjol pada keracunan meliputi :
a. Kelainan visus
b. Hiperaktivitas kelenjar ludah dan keringat
c. Gangguan saluran pencernaan
d. Kerusakan bernafas.
4

1.3.2 Keracunan Hidrokarbon


a. Gejala klinik : terutama terjadi sebagai akibat dari iritasi pulmonal
dan depressi susunan saraf pusat.
b. Iritasi pulmonal : Batuk, sesak, retraksi, tachipneu, cyanosis, batuk
darah dan udema paru. Pada pemeriksaan foto thorak bisa didapatkan
adanya infiltrat di kedua lapangan paru, effusi pleura atau udema
paru.
c. Depresi CNS (Central Nervous System) / SSP (Sistem Saraf Pusat) :
Terjadi penurunan kesadaran mulai dari apatis sampai koma, kadang-
kadang disertai kejang.
d. Gejala-gejala GI Tract : Mual, muntah, nyeri perut dan diare
(Arisman, 2008).

1.3.3 Keracunan Makanan


a. Keracunan Jamur
Gejala klinik : Rasa mual, Muntah, Sakit perut, Mengeluarkan
banyak ludah dan keringat, Miosis, Diplopia, Bradikardi sampai
konfusi (Kejang).
b. Keracunan Makanan Kaleng
Gejala klinik : Penglihatan kabur, refleks cahaya menurun atau
negatif, midriasis dan kelumpuhan otot-otot mata, Kelumpuhan saraf-
saraf otak yang bersifat simetrik, dysphagia, dysarthria, kelumpuhan
(general paralyse).
c. Keracunan Jengkol
Gejala klinik : Sakit pinggang, nyeri perut, muntah, hematuria,
oliguria sampai anuria dan urin berbau jengkol, dapat terjadi gagal
ginjal akut.
d. Keracunan Ketela Pohon
Gejala klinis : Tergantung pada kandungan asam sianida (HCN),
kalau banyak dapat menyebabkan kematian dengan cepat, penderita
merasa mual, perut terasa panas, pusing, lemah dan sesak, kejang,
lemas, berkeringat, mata menonjol, midriasis, mulut berbusa
5

bercampur darah, warna kulit merah bata (pada orang kulit putih) dan
sianosis.
e. Keracunan Makanan yang Terkontaminasi
Gejala timbul 3-24 jam setelah makan makanan yang tercemar
kuman terdiri dari mual muntah, diare, sakit perut, disertai pusing
dan lemas (Arisman, 2008).

1.3.4 Keracunan Bahan Kimia


a. Keracunan Arsen
Gejala klinis keracunan akut : Dalam 1 jam setelah menelan arsen
sudah timbul : Rasa tidak enak dalam perut, bibir terasa terbakar,
sukar menelan kemudian disusul sakit pada lambung dengan muntah-
muntah dan diare berat, adakalanya terdapat pula : oliguria sampai
anuria, kejang otot dan rasa haus.
Gejala klinis keracunan kronis : Otot-otot lemah, gatal-gatal,
pigmentasi, keratosis kulit dan edema (Arisman, 2008).

b. Keracunan Asam Basa


Gejala : zat asam atau basa kuat dapat merusak epitel atau mukosa
dan disebut bahan korosif. Bahan ini akan membuat nekrosis di
bagian tubuh yang terkena, seperti kulit dan mata jika tersiram,
saluran pernafasan jika terhirup, saluran pencernaan seperti kulit
mukosa mulut, esofagus, lambung jika terminum.

Dalam fase penyembuhan pada lokasi luka akan terbentuk jaringan


granulasi yang akan menyebabkan stiktura (peradangan pada
esofagus karena akumulasi jaringan parut) dan stenosis, sehingga
menimbulkan kesukaran menelan. Untuk menghindarkan kejadian ini
maka pada keracunan demikian tindakan cepat dan tepat sangatlah
penting (Arisman, 2008).
6

c. Keracunan Insektisida
Gejala keracunan organofosfat akan berkembang selama pemaparan
atau 12 jam kontak. Pestisida yang masuk ke dalam tubuh akan
mengalami perubahan secara hidrolisa di dalam hati dan jaringan-
jaringan lain. Hasil dari perubahan / pembentukan ini mempunyai
toksisitas rendah dan akan keluar melalui urine. Adapun 3 gejala
keracunan pestisida golongan organofosfat yaitu :
1. Gejala awal
Gejala awal akan timbul : mual/rasa penuh di perut, muntah, rasa
lemas, sakit kepala dan gangguan penglihatan.
2. Gejala Lanjutan
Gejala lanjutan yang ditimbulkan adalah keluar ludah yang
berlebihan, pengeluaran lendir dari hidung (terutama pada
keracunan melalui hidung), kejang usus dan diare, keringat
berlebihan, air mata yang berlebihan, kelemahan yang disertai
sesak nafas, akhirnya kelumpuhan otot rangka.
3. Gejala Sentral
Gelaja sentral yan ditimbulkan adalah, sukar bicara, kebingungan,
hilangnya reflek, kejang dan koma.
4. Kematian, apabila tidak segera di beri pertolongan berakibat
kematian dikarenakan kelumpuhan otot pernafasan (Prijanto,
2009).

1.4 Patofisiologi
Organofosfat adalah persenyawaan yang tergolong antikholinesterase.
Dampak organofosfat terhadap kesehatan bervariasi, antara lain tergantung
dari golongan, intensitas pemaparan, jalan masuk dan bentuk sediaan. Dalam
tubuh manusia diproduksi asetikolin dan enzim kholinesterase. Enzim
kholinesterase berfungsi memecah asetilkolin menjadi kolin dan asam asetat.
Asetilkolin dikeluarkan oleh ujung-ujung syaraf ke ujung syaraf berikutnya,
kemudian diolah dalam Central nervous system (CNS) dan akhirnya terjadi
gerakan-gerakan tertentu yang dikoordinasikan oleh otak. Apabila tubuh
terpapar organofosfat, maka mekanisme kerja enzim kholinesterase terganggu,
7

dengan akibat adanya ganguan pada sistem syaraf. Ketika pestisida


organofosfat memasuki tubuh manusia atau hewan, pestisida menempel pada
enzim kholinesterase. Karena kholinesterase tidak dapat memecahkan
asetilkholin, impuls syaraf mengalir terus (konstan) menyebabkan suatu
twiching yang cepat dari otot-otot dan akhirnya mengarah kepada
kelumpuhan. Pada saat otot-otot pada sistem pernafasan tidak berfungsi
terjadilah kematian.

Hadirnya pestisida golongan organofosfat di dalam tubuh juga akan


menghambat aktifitas enzim asetilkholinesterase, sehingga terjadi akumulasi
substrat (asetilkholin) pada sel efektor. Keadaan tersebut diatas akan
menyebabkan gangguan sistem syaraf, baik sistem saraf pusat, sistem saraf
simpatis dan parasimpatis yang berupa aktifitas kolinergik secara terus
menerus akibat asetilkholin yang tidak dihidrolisis. Gangguan ini selanjutnya
akan dikenal sebagai tanda-tanda atau gejala keracunan (Prijanto, 2009).

1.5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium dengan pemeriksaan lengkap (urin, gula darah,
cairan lambung, analisa gas darah, darah lengkap, osmolalitas serum,
elektrolit, urea, kreatinin, glukosa, transaminase hati). EKG, untuk melihat
dan memantau kerja dari jantung, Foto toraks/abdomen, untuk melihat apakah
terjadi perubahan pada organ pernafasan dan organ pencernaan, Tes
toksikologi kuantitatif (Boswick, 1997).

1.6 Komplikasi
1.6.1 Kejang
1.6.2 Koma
1.6.3 Henti jantung
1.6.4 Henti napas
1.6.5 Syok (Brunner and Suddarth, 2010).
8

1.7 Penatalaksanaan Medis


1.7.1 Pengobatan simptomatis / mengatasi gejala :
a. Gangguan sistem pernafasan dan sirkulasi : RJP
b. Gangguan sistem susunan saraf pusat :
1. Kejang : beri diazepam atau fenobarbital
2. Odem otak : beri manitol atau dexametason
c. Gejala : mual, muntah, nyeri perut, hipersalivasi, nyeri kepala, mata
miosis, kekacauan mental, bronchokonstriksi, hipotensi, depresi
pernafasan dan kejang.
Tindakan : Atropin 2 mg tiap 15 menit sampai pupil melebar.
Atropin berfungsi untuk menghentikan efek acetylcholine pada
reseptor muscarinik, tapi tidak bisa menghentikan efek nikotinik.
Pada usia < 12 tahun pemberian atropin diberikan dengan dosis 0,05
mg/kgBB, IV perlahan dilanjutkan dengan 0,02-0,05mg/kgBB setiap
5-20 menit sampai atropinisasi sudah adekuat atau dihentikan bila :
1. Kulit sudah hangat, kering dan kemerahan
2. Pupil dilatasi (melebar)
3. Mukosa mulut kering
4. Heart rate meningkat
Pada anak usia > 12 tahun diberikan 1 - 2 mg IV dan disesuaikan
dengan respon penderita. Pengobatan maintenance dilanjutkan sesuai
keadaan klinis penderita, atropin diteruskan selama 24 jam kemudian
diturunkan secara bertahap. Meskipun atropin sudah diberikan masih
bisa terjadi gagal nafas karena atropin tidak mempunyai pengaruh
terhadap efek nikotinik (kelumpuhan otot) organofosfat
d. Antiemetik : zat-zat yang digunakan untuk menghambat muntah.
Obat antiemetik adalah : Antagonis reseptor 5-hydroxy-tryptamine
yang menghambat reseptor serotonin di Susunan Syaraf Pusat (SSP)
dan saluran cerna. Obat ini dapat digunakan untuk pengobatan post-
operasi, dan gejala mual dan muntah akibat keracunan. Beberapa
contoh obat yang termasuk golongan ini adalah : Domperidon,
Ondansentron, Dolasetron (Boswick, 1997).
9

1.7.2 Pengobatan Supportif


Tujuan dari terapi suportif adalah adalah untuk mempertahankan
homeostasis fisiologis sampai terjadi detoksifikasi lengkap dan untuk
mencegah serta mengobati komplikasi sekunder seperti aspirasi, ulkus
dekubitus, edema otak & paru, pneumonia, rhabdomiolisis (kumpulan
gejala yang ditimbulkan karena gangguan dalam sel-sel otot), gagal
ginjal, sepsis, dan disfungsi organ menyeluruh akibat hipoksia atau syok
berkepanjangan. Terapi : Hipoglikemia : glukosa 0,5-1g /kgBB IV,
Kejang : diazepam 0,2-0,3mg /kgBB IV (Boswick, 1997).

1.7.3 Kosongkan lambung (efektif bila racun tertelan sebelum 4 jam) dengan
cara :
a. Dimuntahkan : Bisa dilakukan dengan cara mekanik (menekan reflek
muntah di tenggorokan), atau pemberian air garam atau sirup ipekak.
Kontraindikasi : cara ini tidak boleh dilakukan pada keracunan zat
korosif (asam/basa kuat, minyak tanah, bensin), kesadaran menurun
dan penderita kejang.
b. Bilas lambung :
1. Pasien telungkup, kepala dan bahu lebih rendah.
2. Pasang NGT dan bilas dengan : air, larutan norit, Natrium
bicarbonat 5 %, atau asam asetat 5 %.
3. Pembilasan sampai 20 X, rata-rata volume 250 cc.
4. Kontraindikasi : keracunan zat korosif & kejang (Arisman, 2009).
10

1.8 Pathway

Masuknya insektisida Intoksikasi


organofosfat ke insektisida
gastrointestinal organofosfat

Respon Psikologis Hambatan aktivikasi Penurunan asupan


enzim asetilkolinesterase makanan
(Ache)
Koping individu tidak efektif
kecemasan Ketidakseimbangan
pemenuhan informasi Akumulasi asetilkolin nutrisi kurang dari
pada ujung saraf kebutuhan tubuh

Efek stimulasi Efek stimulasi nikotinik


muskarinik pada saraf Efek stimulasi nikotinik muskarinik pada sistem
parasimpatis pada sistem saraf saraf pusat
simpatis

Bronkospasme, hipotensi, Agitasi, gagal nafas,


bradikardi, miosis, muntah, Takikardi, Hipertensi, penurunan tingkat
berkeringat, diare, sering Midriasis kesadaran dan koma
kencing dan hipersaliva.

Ketidakefektifan pola nafas


Penurunan aliran udara, Resiko ketidakefektifan perfusi
hipoksia, penurunan aliran jaringan otak
darah sistemik, peningkatan
hilangnya cairan tubuh
Gangguan tidak dapat
dikoreksi
Gangguan pertukaran gas
Ketidakefektifan perfusi
jaringan perifer Gagal kardiorespirasi
Ketidakseimbangan elektrolit

Kematian
Efek akumulasi asetilkolin
Kelelahan, Kelemahan Intoleransi Aktivitas
pada neuromuskular
fisik, fasikulasi
junction

Sumber : Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA


NIC-NOC 2013
11

II. Rencana Asuhan Klien Dengan Gangguan Keracunan


2.1 Pengkajian
2.1.1 Primer Survey
a. Airway (A) : Kaji apakah terdapat sumbatan karena edema
(inflamasi) saluran pernapasan akibat dari keracunan gas (inhalasi)
atau reaksi alergi berat.
b. Breathing (B) : Nafas cepat atau lambat, keracunan
asetaminofen dapat menyebabkan depresi pusat nafas.
c. Circulation (C) : Kaji jika ada reaksi perdarahan lambung karena
keracunan zat korosif atau zat racun lain yang teringesti, kaji jika
ada mual-muntah, tanda dehidrasi, diare/GE.
d. Disability (D) : Kaji GCS, penurunan kesadaran akibat racun,
reaksi pupil terhadap cahaya, dan dilatasi pupil.

2.1.2. Secondary Survey


a. Exposure (E): Kaji apakah terdapat luka atau lesi luar akibat
terpapar racun (tersiram zat kimia).
b. Fluid, Farenheit (F): Observasi output urine jika terdapat dehidrasi
atau tanda-tanda syok (urine output : 1-2cc/kgBB/jam).
c. Get Vital Sign (G) : Kaji tanda-tanda vital, dan perubahanya secara
teratur. Lakukan bilas lambung segera untuk mengeliminasi racun.
d. Head To toe, History (H) : Monitoring kerja jantung jika
keracunan asetominopen.

2.2 Diagnosa Keperawatan Yang Muncul


Diagnosa 1 : Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
hiperventilasi, Ansietas.
2.1.1 Definisi :
2.1.2 Batasan karakteristik
2.1.2.1 Data Subjuektif :
a.Klien menyatakan sulit untuk bernafas
b.Klien menyatakan merasa seperti tercekik
2.1.2.2 Data Objektif :
12

a. perubahan kedalaman pernafasan


b. takipnea
c. suara nafas abnormal

2.1.3 Faktor yang berhubungan

Diagnosa 2 : Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan Ventilasi-


Perfusi.
2.1.4 Definisi :
Kelebihan atau kekurangan dalam oksigenasi dan atau pengeluaran
karbondioksida di dalam membran kapiler alveoli

2.1.5 Batasan karakteristik


2.1.5.1 Subjektif
a. Dispnea
b. Sakit kepala pada saat bangun tidur
c. Gangguan penglihatan
2.1.5.2 Objektif
a. Gas darah arteri yang tidak normal
b. pH arteri yang tidak normal
c. ketidaknormalan frekuensi, irama, dan kedalaman
pernapasan
d. warna kulit tidak normal
e. konfusi
f. sianosis
g. karbondioksida menurun
h. diaphoresis
i. hiperkapnia
j. hiperkarbia
k. hipoksia
l. hipoksemia
m. iritabilitas
n. napas cuping hidung
13

o. gelisah
p. somnolen
q. takikardi

2.1.6 Faktor yang berhubungan


2.1.6.1 Perubahan membrane kapiler-alveolar
2.1.6.2 Ketidakseimbangan perfusi-ventilasi

Diagnosa 3 : Ansietas berhubungan dengan pemajanan toksin.


2.1.7 Definisi :
2.1.8 Batasan karakteristik
2.1.8.1 Data Subjektif :
Klien menyatakan kawatir karena perubahan dalam
peristiwa hidup.
2.1.8.2 Data Objektif :
a. Perilaku : gelisah, agitasi
b. Affektive: ketakutan,
c. Fisiologis: suara bergetar, gemetar, peningkatan
keringat,
d. Respirasi meningkat, nadi meningkat, tekanan darah
meningkat.
2.1.9 Faktor yang berhubungan
2.1.9.1 Hubungan keluarga/hereditas
2.1.9.2 Transmisi dan penularan interpersonal
2.1.9.3 Krisis situasi dan maturasi
2.1.9.4 Stress
2.1.9.5 Penyalahgunaan zat
2.1.9.6 Ancaman kematian
2.1.9.7 Ancaman atau perubahan pada status peran, fungsi peran,
lingkungan, status kesehatan, status ekonomi, atau pola
interaksi
2.1.9.8 Ancaman terhadap konsep diri
14

2.1.9.9 Konflik yang tidak disadari tentang nilai dan tujuan hidup
yang esensial
2.1.9.10 Kebutuhan yang tidak terpenuhi

2.2 Perencanaan
Diagnosa 1 : Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
hiperventilasi, Ansietas.
2.3.1 Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC)
1.3.1.1 Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24 jam pola nafas
klien teratur

1.3.1.2 Kriteria hasil :

a. Menunjukkan jalan nafas yang paten (Klien tidak merasa


tercekik, irama nafas teratur, frekuensi pernafasan dalam
rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
b. Tanda-tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah,
nadi, perafasan, suhu).

2.3.2 Intervensi Keperawatan dan rasional NIC


2.3.2.1 Intervensi Keperawatan
a. Posisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi.
b. Identifikasi klien perlunya pemasangan alat jalan nafas
buatan.
c. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan.
d. Berikan bronkodilator bila perlu.
e. Monitor TTV.
f. Berikan Terapi oksigen sesuai indikasi.
2.3.2.2 Rasional
a. Posisi setengah duduk dapat meringankan kerja dari
otot-otot pernafasan,
15

b. Mengetahui tindakan selanjutnya yang perlu untuk


mempermudah klien bernafas,
c. Mengetahui kondisi saluran pernapasan klien,
d. Bronkodilator untuk melebarkan saluran pernapasan
untuk pemenuhan O2 yang adekuat,
e. Menunjukkan keadaan / respon klien dan untuk
menentukan tindakan selanjutnya
f. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen tubuh klien

Diagnosa 2 : Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan Ventilasi-


Perfusi.
2.3.3 Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC)
b.3.1.1 Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan 1x24 jam
pertukaran gas klien kembali normal

2.3.1.2 Kriteria hasil :


a. Tanda-tanda vital dalam rentang normal,
b. Tidak ada Sianosis dan Dispnea
c. Peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat

2.3.4 Intervensi Keperawatan dan rasional NIC


2.3.4.1 Intervensi Keperawatan
a. Monitor TTV
b. Atur posisi klien menjadi semi-fowler
c. Auskultasi suara nafas.
d. Identifikasi klien perlunya pemasangan alat jalan nafas
buatan.
e. Monitor respirasi dan status O2.
f. Kolaborasi untuk pemberian O2 sesuai indikasi.
2.3.4.2 Rasional
16

a. Menunjukkan keadaan / respon klien dan untuk


menentukan tindakan selanjutnya
b. Posisi semi-fowler dapat memaksimalkan ventilasi dan
meringankan kerja otot-otot pernafasan
c. Untuk mengetahui adanya sumbatan jalan nafas atau
tidak.
d. Hasil identifikasi dapat mempermudah klien dalam
memenuhi oksigenasinya.
e. Melihat perkembangan status O2 serta untuk menentukan
tindakan selanjutnya.
f. Untuk pemenuhan kebutuhan oksigenasi klien.

Diagnosa 3 : Ansietas berhubungan dengan pemajanan toksin.


2.3.5 Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC)
2.3.1.1 Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam
ansietas klien berkurang.
2.3.1.2 Kriteria hasil :
a. Vital sign dalam batas normal.
b. Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan
teknik untuk mengontrol cemas.
c. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat
aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan

2.3.6 Intervensi Keperawatan dan rasional NIC


2.3.2.1 Intervensi Keperawatan
a. Identifikasi tingkat kecemasan.
b. Monitor TTV
c. Bantu klien mengenal situasi yang menyebabkan
kecemasan.
d. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan,
persepsi.
e. Instruksikan klien menggunakan teknik relaksasi.
17

f. berikan obat untuk mengurangi kecemasan


2.3.2.2 Rasional
a. Untuk menentukan tingkat kecemasan klien dan untuk
menentukan tindakan selanjutnya.
b. Menunjukkan keadaan / respon klien dan untuk
menentukan tindakan selanjutnya
c. Klien dapat melakukan latihan nafas dalam agar perasaan
cemas berkurang.
d. Dengan mengungkapkan apa yang sedang dirasakan
dapat menurunkan tingkat kecemasan
e. Teknik nafas dalam dapat memberikan rasa tenang
kepada klien
f. kandungan obat langsung berkerja pada otak sehingga
mengurangi rasa cemas klien.
18

DAFTAR PUSTAKA

Arisman. 2008. Keracunan Makanan:Buku Ajar Ilmu Gizi. EGC. Jakarta

Herdman, T.H. 2012. NANDA International Nursing Diagnose Definition & Clasification,
2012-2014. Oxford. Wiley-Blackwell

Nanda NIC- NOC. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Edisi
Revisi Jilid II. Jakarta: EGC.

Nurarif, H.N & Kusuma, H. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC. Mediaction Publishing. Yogyakarta
.
Prijanto, B.T. 2009. Analisis Faktor Risiko Keracunan Pestisida Organofosfat Pada
Keluarga Petani Hortikultura Di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang.
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Semarang.
19

Banjarmasin, Agustus 2017

Preseptor akademik, Preseptor klinik,

(……………………………………..) (……………………………………..,)

Anda mungkin juga menyukai