Anda di halaman 1dari 13

I.

Pengertian Biohidrogen
Biohidrogen adalah gas hidrogen yang dihasilkan oleh aktivitas mikroorganisme
seperti ganggang hijau, cyanobacteria, atau mikroorganisme fermentasi. Ganggang hijau
dan cyanobacteria menggunakan energi sinar matahari untuk menghasilkan H2 dari air,
sementara bakteri fermentasi bersifat heterotrof (Das dan Veziroglu, 2001). Produksi hidrogen
dari sumber daya terbarukan dengan fermentasi adalah metode yang lebih menjanjikan di
antara alternatif proses produksi hidrogen yang lain. Sesuai dengan pembangunan
berkelanjutan dan masalah minimisasi limbah, produksi hidrogen biologis, yang dikenal
sebagai "teknologi hijau" telah menerima banyak perhatian dalam beberapa tahun terakhir
dikarenakan membutuhkan energi yang sedikit dan dapat dikombinasikan dengan proses
pengolahan limbah cair. Hidrogen tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak
beracun ketika digunakan sebagai bahan bakar karena tidak menghasilkan polutan tetapi
menghasilkan air sebagai produk tunggal. Dibandingkan dengan bahan bakar fosil, hidrogen
menghasilkan energi sebesar 122 kJ/g, 2,75 kali lebih besar dibandingkan dengan bahan
bakar hidrokarbon (Mei Ling Chong dkk.,2009).
Adapun beberapa keuntungan dari penggunaan hidrogen ialah pembakaran hidrogen
pada automobile 50% lebih efisien dari pada bensin (Reith dkk., 2003). Kemudian hidrogen
mempunyai efisiensi konversi sebesar 55-60% (Nilai pembakaran gas H2) dibandingkan
dengan gas metana yang hanya 33% (Van Groenestijn dkk., 2002). Hidrogen dapat dijual
sebagai metal hydride (Dong dkk., 2007) serta transmisi hidrogen melalui perpipaan gas akan
lebih efisien daripada transmisi electricity down power line (Kloeppel dan Rogerson, 1991).
Selain itu gas H2 mempunyai aplikasi industri yang lebih luas dibandingkan gas metana (Li
dan Fang, 2007). Di antara metode produksi hidrogen, metode yang paling menjanjikan dan
ramah lingkungan adalah fermentasi gelap dari limbah organik karena menggabungkan
proses produksi hidrogen dengan pengolahan limbah (Benemann 1996).

II. Sejarah Biohidrigen


Hidrogen pertama kali diisolasi pada pertengahan tahun 1600 oleh Robert Boyle,
yang menjatuhkan paku besi ke dalam asam sulfat, disebut gas H2 dikenal sebagai “udara
buatan” (Busby,2005). Kurang lebih 100 tahun kemudian, pada tahun 1766, Henry Cavendish
mengidentifikasi hidrogen sebagai elemen kimia ( disebut sebagai udara yang mudah
terbakar) dan menjelaskan sifat-sifat dari gas tersebut, seperti densitas dan berat molar.
Cavendish juga menunjukkan bahwa pembakaran H2 di udara menghasilkan air mengoreksi
kesalahan dari ide yang menyatakan air sebagai elemen dasar. Pada tahun 1783, Antoine-
Laurent Lavoisier mengenal oksigen sebagai komponen dari air, dan memberikan hidrogen
nama modernnya (penghasil air). Pada akhir tahun 1700 dan awal tahun 1800, hidrogen
digunakan pada udara panas balon penerbangan, dan sebagai bahan bakar pada salah satu
mesin pembakaran internal yang pertama. Hidrogen juga merupakan komponen yang kaya
pada “kota gas” digunakan untuk tujuan pemanasan dan penerangan (Busby, 2005). Pada
tahun 1920 dan 1930, penelitian hidrogen sangat aktif dan beberapa aplikasi utilitas
pemindahan H2 dikembangkan, dari zeppelin dirigibles hingga kereta api , bus dan kapal laut
(Hoffmann, 2002). Kemajuan teknologi H2 dihentikan setelah perang dunia kedua disebabkan
rendahnya harga minyak dan bensin. Perhatian pada energi H2 kembali meningkat pada
tahun 1970 selama krisis energi, tetapi berkurang setelah harga minyak merosot tajam
(Hoffmann, 2002). Pada tahun 1990, perhatian H2 kembali meningkat dengan pertumbuhan
kecemasan publik pada dampak negatif bahan bakar fosil terhadap lingkungan dunia
(Benemann, 1996).
Produksi hidrogen oleh mikroorganisme terungkap pada akhir tahun 1800. Penelitian
dasar bakteri penghasil H2 ditemukan pada akhir tahun 1920 (Benemann, 2002) dan ganggang
mikro pada awal tahun 1940 (Homann, 2003). Meskipun produksi H2 secara mikrobiologi
tidak dipertimbangkan sebagai kemungkinan yang mudah dilaksanakan hingga tahun 1970
(Benemann, 1996). Pada tahun 1970 dan 1980 penelitian biohidrogen kebanyakan
berkonsentrasi pada produksi H2 secara biologis menggunakan cahaya (Asada and Miyake,
1999). Penelitian mengenai produksi H2 dengan fermentasi gelap memperoleh perhatian
lebih pada akhir tahun 1990 dengan meningkatnya jumlah studi hingga sekarang (Perttu
Koskinen, 2008).

III. Faktor yang Mempengaruhi Proses Anaerobik


Aktivitas metabolisme mikroorganisme penghasil hidrogen tergantung pada faktor:
1. Temperatur
Temperatur mempengaruhi aktivitas bakteri penghasil hidrogen dan laju
produksi (Nath et al, 2006). Reaksi fermentasi gelap hidrogen dapat dioperasikan
pada temperatur yang berbeda : mesofilik (25-40oC), termofilik (40-65oC),
ekstrim termofilik (65-80oC), atau hipertermofilik (>80oC) (Levin et al, 2004).
Kebanyakan percobaan fermentasi gelap menggunakan temperatur sebesar 35-
55oC. Proses ekstrim termofilik memberikan sejumlah keuntungan dibandingkan
dengan termofilik dan mesofilik. Pertama, produksi hidrogen lebih tinggi pada
kondisi ekstrim termofilik daripada kondisi mesofilik dan termofilik. Telah
dilaporkan bahwa fermentasi anaerobik hidrogen secara ekstrim termofilik dapat
menghasilkan produksi hidrogen yang lebih banyak dan laju produksi hidrogen
yang lebih tinggi daripada fermentasi hidrogen secara mesofilik (Van Groenestijin
dkk., 2002). Telah dilaporkan juga bahwa pada kondisi ekstrim termofilik (70oC),
hasil hidrogen mencapai maksimum secara teoritis yaitu 4 mol hidrogen per mol
glukosa, sedangkan pada kondisi mesofilik dan termofilik normalnya adalah
kurang dari 2 mol hidrogen per mol glukosa (Van Niel dkk., 2002). Kedua, ekstrim
termofilik memiliki kemampuan memusnahkan patogen yang lebih baik pada
digested residu yang ditunjukkan pada temperatur tinggi (Sah Istrom, 2003).
Ketiga, meminimalisasi kontaminasi oleh pengkonsumsi hidrogen, seperti
metanogen. Hellenbeck (2005), melaporkan bahwa pada fermentasi dengan
temperatur tinggi lebih disukai secara termodinamik bagi reaksi penghasil
hidrogen karena temperatur yang tinggi menghasilkan peningkatan entropi, dan
menjadikan fermentasi gelap hidrogen lebih berenergi sementara utilitas proses
hidrogen berdampak negatif dengan kenaikan temperatur (Amend dan Shock, 2001).
Bakteri ekstrim termofilik menunjukkan toleransi yang lebih baik pada tekanan
parsial hidrogen yang tinggi yang akan menyebabkan pergantian metabolik pada
cara penghasil nonhidrogen, seperti produksi pelarut (Niel dkk., 2003).
Pada kondisi mesofilik, Lay dkk. (2003) melaporkan produksi hidrogen
sebesar 50 ml/gVS yang ditambahkan pada HSW batch fermentation. Okamoto
dkk. (2000) menemukan produksi hidrogen sebesar 19,3-96,0 mL/ gVS yang
ditambahkan dari fraksi individu HSW seperti nasi dan wortel oleh pengolahan
batch secara mesofilik. Valdez- Vazquez dkk. (2005) melaporkan bahwa 95 ml
H2/ gVS yang ditambahkan diperoleh secara berturut-turut dengan menggunakan
CSTR semi kontinyu. Dawei Liu (2008) menemukan produksi hidrogen sebesar
43 ml H2/ gVS yang ditambahkan dari fermentasi HSW secara mesofilik, dan
juga menemukan bahwa produksi hidrogen sebesar 100-250 ml H2/ gVS yang
ditambahkan dapat dipenuhi pada kondisi ekstrim termofilik.
2. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman memiliki efek terhadap aktivasi enzim mikroorganisme,
karena setiap enzim aktif hanya pada kisaran pH yang bersifat spesifik dan
mempunyai aktivitas maksimum pada pH optimalnya (Lay dkk., 1997). Penelitian
hidrogen telah mengakui bahwa pH adalah salah satu kunci faktor yang
mempengaruhi produksi hidrogen. Fermentasi hidrogen bersifat sensitif terhadap
pH dan pokok dari produk akhir (Craven, 1998). Telah banyak penelitian untuk
memproduksi hidrogen dari limbah padat. Hasilnya mengindikasi bahwa kontrol
pH merupakan hal yang sangat penting untuk memproduksi hidrogen. Telah
dilaporkan juga bahwa dibawah pH yang tidak optimal proses fermentasi
hidrogen digantikan oleh produksi pelarut (Temudo dkk., 2007), atau memperlama
fasa lag (Liang, 2003). Produksi laktat selalu diobservasi bersamaan dengan
perubahan parameter lingkungan yang terjadi secara tiba-tiba, seperti pH, HRT,
dan temperatur, yang mengindikasikan biakan bakteri tidak beradaptasi dengan
kondisi lingkungan yang baru (Temudo dkk., 2007). Liu dkk. (2006) menemukan
bahwa pada fermentasi gelap hidrogen secara mesofilik memiliki pH optimal
sekitar 5-5,5.
Sementara itu, fermentasi hidrogen pada temperatur ekstrim termofilik
pada semua publikasi menggunakan pH 6,5-7,5. Van Niel dkk. (2002)
menggunakan biakan murni dari Caldicellulosiruptor saccharolyticus dan
Thermatoga elfii untuk fermentasi gelap hidrogen menggunakan bahan baku
sukrosa dan glukosa pada temperatur 70oC. pH yang utama adalah 7 dan 7,4
melalui eksperimen tersebut. Schroder et al (1994) menggunakan biakan murni
dari Thermatoga maritime dengan menggunakan substrat glukosa pada temperatur
80oC dan kontrol pH 6,5. Kadar et al. (2004) melaporkan produksi hidrogen dari
sludge hidrolisat kertas dengan biakan murni Caldicellulosiruptor saccharolyticus
pada pH 7,2. Dari keseluruhan penelitian ini mengindikasi bahwa kebanyakan
bakteri ekstrim termofilik penghasil hidrogen lebih menyukai pH netral sebagai
pH optimum. Penelitian biakan campuran bakteri ekstrim termofilik yang
diadaptasi dari pupuk juga melaporkan bahwa pH optimum adalah 7 (Yokoyama
dkk., 2007). Dawei Liu (2008) juga menemukan bahwa biakan campuran bakteri
ekstrim termofilik penghasil hidrogen yang diadaptasi dari pupuk dan pengolahan
substrat HSW mempunyai pH optimum 7.
3. Tekanan Parsial Hidrogen dan Karbondioksida
a. Tekanan Parsial Hidrogen
Konsentrasi hidrogen pada fasa cair berhubungan dengan tekanan parsial
hidrogen yang merupakan salah satu kunci faktor yang mempengaruhi
produksi hidrogen (Hawkes dkk., 2002). Tekanan parsial H2 (pH2) adalah faktor
yang sangat penting terutama bagi sintesis H2 secara kontinyu (Hawkws dkk.,
2007). Alur sintesis hidrogen bersifat sensitif bagi konsentrasi H2 dan
merupakan penghambat produk akhir karena meningkatnya konsentrasi H2
menyebabkan sintesis H2 berkurang dan alur metabolik berganti menjadi
produksi substrat seperti laktat, etanol, aseton, butanol, atau alanin (Tamagnini
et al., 2002). Sintesis H2 secara kontinyu membutuhkan pH2 sebesar 50 kPa
pada temperatur 60oC (Lee dan Zinder, 1998). 20 kPa pada temperatur 70oC
(Van Niel dkk., 2002), dan 2 kPa pada temperatur 98oC dibawah kondisi
standart (Levin dkk., 2004).
b. Tekanan Parsial Karbondioksida
Pada kasus karbondioksida, konsentrasi H2 yang tinggi dapat
menyebabkan produksi fumarat atau suksinat, yang berkontribusi
mengkonsumsi elektron, sehingga produksi hidrogen berkurang (Tanisho dkk.,
1998). Tanisho et al. Juga melaporkan bahwa penghilangan CO2 dapat
meningkatkan produksi hidrogen pada fermentasi gelap.
Setelah CO2 dihilangkan, produksi hidrogen meningkat dua kali semula.
Terlebih lagi ketika CO2 dihilangkan dari cairan dengan sparging gas argon
dan gas hidrogen, dibandingkan tekanan parsial hidrogen, tekanan parsial CO2
memiliki efek penghambat yang lebih besar pada proses fermentasi gelap.
Belakangan ini gas CH4 digunakan sebagai sparging gas untuk menghilangkan
hidrogen dan karbondioksida dari cairan. Gas sparging menghasilkan
peningkatan yang signifikan terhadap produksi hidrogen (88%). Mizuno dkk.
(2000) melaporkan bahwa produksi hidrogen meningkat sebesar 68% setelah
mengalami sparging dengan gas N2.
c. Konsentrasi Asam Organik
Konsentrasi asam organik yang tinggi telah dilaporkan menghasilkan
penurunan gradien pH dan menyebabkan penghambatan total dari fungsi
keseluruhan metabolik sel (Jones dan Woods, 1986). Konsentrasi total antara
asam asetat atau butirat dan bentuk tidak terpisahkan dari asam-asam ini dapat
menghambat proses fermentasi gelap hidrogen (Van Niel dkk., 2003).
Suatu pendekatan yang lengkap mengenai penghambatan produksi H2
diobservasi oleh Van Ginkel dan Logan (2005) dengan menambahkan asam
asetat untuk memberikan konsentrasi asam yang tak terpisahkan pada reaktor
63 mM, yang terjadi pada pH 5,5 dan penambahan 165mM asetat. Mereka
melaporkan bahwa alur fermentasi berubah dari asam organik dan hidrogen
menjadi pelarut yang tidak terdeteksi. Dilaporkan juga bahwa konsentrasi
keseluruhan asetat adalah inhibitor yang kuat pada fermentasi hidrogen. Van
Niel dkk. (2003) melaporkan bahwa konsentrasi asetat tak terpisah tidak
serius menghambat produksi hidrogen pada pH 6,5 dan 7,2 serta pada
temperatur 70oC oleh biakan murni Caldicellulosiruptor saccharolyticus, dan
konsentrasi total asetat adalah penghambat utama bagi fermentasi ekstrim
termofilik hidrogen. Huang dkk. (1998) menggunakan Coltridium
formicoaceticum untuk memfermentasi fruktosa pada pH 7,6 dan temperatur
37oC. Mereka menemukan konsentrasi asetat keseluruhan (bukan konsentrasi
asetat tak terpisah) memiliki efek penghambatan nonkompetitif bagi
fermentasi hidrogen. Nakashimada dkk. (1999) menemukan bahwa fermentasi
hidrogen dihambat secara keseluruhan oleh konsentrasi total asetat sebesar
25mM pada pH 6,5 pada bakteri hiper termofilik penghasil hidrogen.
4. Senyawa Anorganik
a. Konsentrasi Fe
Hidrogenase adalah enzim yang penting karena mereka terlibat langsung
dalam produksi hidrogen hidrogen selama proses fermentasi. Telah dilaporkan
bahwa seiring meningkatnya konsentrasi besi, produksi hidrogen meningkat
secara signifikan (Lee dkk., 2001).
Dalam proses produksi fermentasi hidrogen, Fd, sebuah protein
besibelerang, fungsi utamanya adalah sebagai pembawa elektron dan terlibat
dalam oksidasi piruvat untuk asetil-Ko A dan CO2 dan pengurangan proton
molekul H2 (Lee dkk., 2001). Vanacova et dkk. (2001) menunjukkan bahwa
besi dapat menginduksi perubahan metabolik dan menjadi terlibat dalam
ekspresi protein Fe-S dan non-Fe-S yang beroperasi dalam hidrogenase.
b. C/N Ratio
Karbon / nitrogen (C / N) rasio juga penting untuk stabilitas proses
fermentasi gelap (Tanisho et al., 1998). Telah dilaporkan bahwa rasio C/N yang
tepat dapat meningkatkan produksi hidrogen dalam fermentasi hidrogen
mesofilik dari limbah lumpur. Pada rasio C/N 47, produksi hidrogen adalah 5
kali lebih tinggi dari yang di C/N rasio 40 (Lin dan Lay, 2004).
IV. Tahapan-Tahapan Pembentukan Biohidrogen
1. Pretreatmen
Pretreatment membantu mempercepat tahapan hidrolisis, sehingga
mengurangi laju tahapan dan meningkatkan pencernaan anaerobik untuk
memperbesar produksi gas hidrogen (H. Koku dkk., 2002). Beberapa prosedur pre
treatment di antaranya ialah dengan pemanasan, penggunaan bahan kimia seperti
asam atau alkali, pembekuan, dan sebagainya dilakukan terhadap biakan
campuran untuk menyeleksi bakteri asidogenik penghasil H2 (S.M. Kotay dan D.
Das, 2010).
2. Hidrolisis
Bahan organik secara enzimatis diuraikan oleh enzim ekstraselular
(selulosa, amilase, proteinase, dan lipase) mikroorganisme. Bakteri
mendekomposisi rantai panjang karbohidrat, protein dan lemak menjadi bagian
yang lebih pendek. Sebagai contoh, polisakarida diubah menjadi monosakarida.
Protein dibagi menjadi peptida dan asam amino (Aryati, 2010).
3. Asidifikasi
Bakteri penghasil asam, terlibat dalam langkah kedua, menkonversi hasil
fermentasi menjadi asam asetat (CH3COOH), hidrogen (H2) dan karbon dioksida
(CO2). Bakteri ini bersifat anaerobik dan dapat tumbuh di bawah kondisi asam.
Untuk menghasilkan asam asetat, mereka membutuhkan oksigen dan karbon.
Untuk ini, mereka menggunakan oksigen larut dalam larutan atau oksigen terikat..
Setelah itu, terjadi penguraian senyawa dengan berat molekul yang rendah
menjadi alkohol, asam organik, asam amino, karbon dioksida, hidrogen sulfida,
dan metana (Aryati, 2010).
4. Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS)
Selama proses ekstraksi crude palm oil (CPO), pabrik akan menghasilkan
limbah cair yang disebut dengan limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS).
LCPKS umumnya bersuhu tinggi (60-75oC), berwarna kecoklatan, mengandung
padatan terlarut dan tersuspensi berupa koloid dan residu minyak dengan
kandungan biological oxygen demand (BOD) yang tinggi. Bila limbah tersebut
langsung dibuang ke perairan, maka akan sangat berpotensi mencemari
lingkungan, sehingga harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang (Santoso,
2009). Komposisi kimia limbah cair POME dan komposisi asam amino limbah
cair segar disajikan pada tabel berikut.
KOMPONEN % BERAT KERING
Ekstrak dengan ether 31,60
Protein (N x 6,25) 8,20
Serat 11,90
Ekstra tanpa N 34,20
Abu 12,10
P 0,24
K 0,99
Ca 0,97
Mg 0,30
Na 0.08
Energi (kkal/100gr) 454,00
Sumber: Siregar, 2009
Parameter yang menggambarkan karakteristik limbah terdiri dari sifat
fisik, kimia, dan biologi. Karakteristik limbah berdasarkan sifat fisik meliputi
suhu, kekeruhan, bau, dan rasa, berdasarkan sifak kimia meliputi kandungan
bahan organik, protein, BOD, chemical oxygen demand (COD), sedangkan
berdasakan sifat biologi meliputi kandungan bakteri patogen dalam air limbah
(Siregar, 2009).
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup ada 6 (enam)
parameter utama yang dijadikan acuan baku mutu limbah meliputi :
a. Tingkat keasaman (pH), ditetapkannya parameter pH bertujuan agar
mikroorganisme dan biota yang terdapat pada penerima tidak
terganggu, bahkan diharapkan dengan pH yang alkalis dapat
menaikkan pH badan penerima.
b. BOD, kebutuhan oksigen hayati yang diperlukan untuk merombak
bahan organik. Semakin tinggi nilai BOD air limbah, maka daya
saingnya dengan mikroorganisme atau biota yang terdapat pada badan
penerima akan semakin tinggi.
c. COD, kelarutan oksigen kimiawi adalah oksigen yang diperlukan
untuk merombak bahan organik dan anorganik, oleh sebab itu nilai
COD lebih besar dari BOD.
d. Total suspended solid (TSS), menggambarkan padatan melayang
dalam cairan limbah. Pengaruh TSS lebih nyata pada kehidupan biota
dibandingkan dengan total solid. Semakin tinggi TSS, maka bahan
organik membutuhkan oksigen untuk perombakan yang lebih tinggi.
e. Kandungan total nitrogen, semakin tinggi kandungan total nitrogen
dalam cairan limbah, maka akan menyebabkan keracunan pada biota.
f. Kandungan oil and grease, dapat mempengaruhi aktifitas mikroba dan
merupakan pelapis permukaan cairan limbah sehingga menghambat
proses oksidasi pada saat kondisi aerobic
(Siregar, 2009).
Adapun karakteristik dari limbah POME yang dihasilkan dapat dilihat
pada tabel dibawah ini:
PARAMETER KOMPOSISI
BOD5 (mg/L) 23000-26000
COD (mg/L) 42500-55700
Soluble COD (mg/L) 22000-24000
TVFAs (mg acetic acid//) 2500-2700
SS (mg/L) 16500-19500
Oil and grease (mg/L) 4900-5700
Total N (mg/L) 500-700
pH 3,8-4,4
Sumber: Zinatizadeh, dkk., 2007
Berdasarkan data di atas, ternyata semua parameter limbah cair POME
berada diatas ambang batas baku mutu limbah. Jika tidak dilakukan pencegahan
dan pengolahan limbah, maka akan berdampak negatif terhadap lingkungan
seperti pencemaran air yang mengganggu bahkan meracuni biota perairan,
menimbulkan bau, dan menghasilkan gas metan dan CO2 yang merupakan emisi
gas penyebab efek rumah kaca yang berbahaya bagi lingkungan (Siregar, 2009).

V. Perusahaan yang Memproduksi Hidrogen


Sejumlah sistem transportasi sedang beralih ke mesin-mesin berbahan bakar
hidrogen sebagai alternatif bahan bakar gas, tetapi hingga kini gas hidrogen masih
diproduksi dari bahan bakar fosil seperti gas alam. Oleh karena itu, sampai saat ini
biohidrogen masih dalam proses penelitian yang terus-menerus dikembangkan dan berbeda
dengan biogas yang sudah di produksi dalam skala besar. Hal ini biohidrogen merupakan
gas alternatif yang dikembangkan dari biogas dan lebih ramah lingkungan.
Adapun salah satu perusahaan yang memproduksi hidrogen yaitu Mahler AGS
dengan 4.500 cabang dan dibangung di seluruh dunia sejak 1950. Mahler AGS adalah
produsen yang sangat dihormati untuk generasi pembuatan hidrogen, oksigen dan nitrogen.
Mahler AGS memproduksi sistem generasi yang hemat biaya, aman dan terpercaya dan
menyediakan teknik untuk pemurnian dan pemulihan gas dan limbah dari proses gas
tersebut. Mahler gas ini terletak di Stuttgart, Jerman.
Untuk memproduksi hidrogen, perusahaan ini menggunakan 2 proses teknologi yaitu
HYDROFORM-C dan HYDROFORM-M. HYDROFORM-C berdasarkan pada proses
steam reforming gas alam, LPG atau nafta. Proses ini menawarkan pelanggan kualitas dan
keamanan yang maksimum, serta kemampuan efisien untuk memenuhi kebutuhan hidrogen
100-10.000 Nm3 /jam pada kemurnian hingga 99,999 + persen volum (Mahler AGS, tanpa
tahun).
Flowsheet proses HYDROFORM-C Mahler Gas
(Mahler AGS, tanpa tahun)

Mahler AGS telah berhasil mengoperasikan selama bertahun-tahun di bidang


methanol reforming untuk pembentukan hidrogen. Pemurnian bahan baku hidrogen
dilakukan oleh sistem HYDROFORM-M dan dilakukan sistem yang memberikan langkah
pemurnian secara terpisah. Perusahaan ini menawarkan proses yang efisien untuk methanol
reforming dalam kuantitas 100-4.000 Nm3/jam hidrogen dengan kemurnian 99,999 + persen
volume.

Flowsheet proses HYDROFORM-M Mahler Gas


(Mahler AGS, tanpa tahun)
Proses pemurnian hidrogen dilakukan secara terpisah dengan sistem HYROSWING.

Flowsheet proses HYDROSWING Mahler Gas


(Mahler AGS, tanpa tahun)

VI. Aplikasi Gas Hidrogen


Sejumlah besar H2 diperlukan dalam industri petrokimia dan kimia. Penggunaan
terbesar H2 adalah untuk memproses bahan bakar fosil dan dalam pembuatan ammonia.
Konsumen utama dari H2 di kilang petrokimia meliputi hidrodealkilasi, hidrodesulfurisasi,
dan penghidropecahan (hydrocracking). H2 memiliki beberapa kegunaan yang penting. H2
digunakan sebagai bahan hidrogenasi, terutama dalam peningkatan kejenuhan dalam lemak
tak jenuh dan minyak nabati (ditemukan di margarin), dan dalam produksi metanol. Ia juga
merupakan sumber hidrogen pada pembuatan asam klorida. H2 juga digunakan sebagai
reduktor pada bijih logam (Chemistry Operation, 2003).
Selain digunakan sebagai pereaksi, H2 memiliki penerapan yang luas dalam bidang
fisika dan teknik. Ia digunakan sebagai gas penameng di metode pengelasan seperti
pengelasan hidrogen atomic (Ahmet,2003; Specialty Welds, 2007). H2 digunakan sebagai
pendingin rotor di generator pembangkit listrik karena ia mempunyai konduktivitas termal
yang paling tinggi di antara semua jenis gas. H2 cair digunakan di riset kriogenik yang
meliputi kajian superkonduktivitas (Walter, 2003). Oleh karena H2 lebih ringan dari udara,
hidrogen pernah digunakan secara luas sebagai gas pengangkat pada kapal udara balon
(Mathew, 2004).
Baru-baru ini hidrogen digunakan sebagai bahan campuran dengan nitrogen
(kadangkala disebut forming gas) sebagai gas perunut untuk pendeteksian kebocoran gas
yang kecil. Aplikasi ini dapat ditemukan di bidang otomotif, kimia, pembangkit listrik,
kedirgantaraan, dan industri telekomunikasi (Mathias, 2004). Hidrogen adalah zat aditif
(E949) yang diperbolehkan penggunaanya dalam ujicoba kebocoran bungkusan makanan
dan sebagai antioksidan (European Union, tanpa tahun).
Hidrogen sebagai bahan bakar memiliki kemampuan mendorong kendaraan yang
setara dengan bensin. Hanya saja, kelemahannya terletak pada biaya yang tinggi untuk
memproduksi sel bahan bakar itu sendiri serta investasi untuk menyiapkan stasiun bahan
bakar untuk menyalurkan bahan bakar hydrogen (Pamungkas, 2012).

VII. Proses Integrasi Produksi Biohidrogen


Terdapat 5 macam sistem biohidrogen yaitu :
1. Biofotolisis Langsung
Fotosintesis memproduksi hidrogen dari air adalah suatu proses secara
biologi yang memanfaatkan cahaya matahari, menghasilkan energi kimia dengan
reaksi sebagai berikut :
2H2O 2H2 + O2
Alga hijau, di bawah kondisi anaerob, dapat menggunakan H2 sebagai
suatu donor elektron di dalam proses fiksasi CO2 atau meningkatkan H2. Produksi
hidrogen oleh mikroalga hijau membutuhkan waktu beberapa menit hingga
beberapa jam dari inkubasi anaerob dalam kondisi gelap untuk menginduksi
pengaktifan dan/atau sintesa enzim yang dilibatkan dalam metabolisme H2,
termasuk reversible enzim hidrogenase. Hidrogenase mengkombinasi proton (H+ )
dalam medium dengan elektron untuk membentuk dan menghasilkan H2. Dengan
begitu, mikroalga hijau mampu secara genetik, enzimatik, metabolik, dan
transport elektron menuju ke photoproduce gas H2. Sintesis H2 memungkinkan
elektron melalui rantai transport elektron, yang mendukung sintesis ATP.
Proses fotosintesis alga mengoksidasi H2O dan meningkatkan O2. Energi
cahaya diabsorbsi oleh fotosistem II (PSII) menghasilkan electron yang ditransfer
ke ferredoxin, lalu menggunakan energi cahaya diabsorbsi oleh fotosistem I (PSI).
Hidrogenase reversible menerima elektron secara langsung dari ferredoxin yang
telah dikurangi untuk menghasilkan H2. Karena enzim hidrogenase yang
bertanggung jawab pada evolusi molekuler H2 adalah sangat sensitive terhadap
O2, produksi fotosintesis dari H2 dan O2 haruslah sementara dan/atau terpisah.
Dalam 2 fase proses, selama fotosintesis normal (fase1),CO2 pertama
tercampur dalam substrat yang kaya H2, diikuti dengan generasi cahaya tengah
dari molekuler H2 saat mikroalga dierami di bawah kondisi anaerob (fase 2). Fase
2 dari dua tahap proses dapat dicapai dengan inkubasi mikroalga dalam medium
yang tidak mengandung sulfur. Contoh kultur alga hijau adalah Chlamydomonas
reinhardtii.
2. Biofotolisis Tak Lamgsung
Cyanobacteria dapat juga mensintesis dan meningkatkan H2 melalui jalur
fotosintesis mengikuti proses sebagai berikut :
12H2O + 6CO2 C6H12O6 + 6O2
C6H12O6 + 12H2O 12H2 + 6CO2
Cyanobacteria (disebut juga blue-green algae, cyanophyceae, or
cyanophytes) adalah suatu grup besar dari mikroorganisme photoautotrophic.
Cyanobacteria mengandung pigmen fotosintesis, seperti klorofil, karotenoid, dan
fikobiliprotein, serta dapat menyuguhkan fotosintesis oksigenik. Nutrisi yang
dibutuhkan mikroorganisme ini cukup sederhana yakni udara (N2 dan O2), air,
garam mineral, dan cahaya. Spesies ini memiliki beberapa enzim yang secara
langsung meningkatkan metabolisme H2 dan sintesis molekuler H2. Termasuk
nitrogenase yang mengkatalis produksi H2 sebagai by-product dari reduksi
nitrogen menjadi ammonia, pengambilan hidrogenase yang mengkatalis oksidasi
dari sintesis H2 oleh nitrogenase, dan bi-directional hydrogenases yang
mempunyai kemampuan untuk mengoksidasi dan sintesis H2. Produksi hidrogen
dengan Cyanobacteria telah diteliti lebih dari 3 dekade dan terungkap bahwa
efisien fotokonversi dari H2O menjadi H2 dipengaruhi oleh banyak faktor
(Sirosiris, 2010).
3. Photo fermentation (Fermentasi Cahaya)
Langkah photo fermentation (PHF) adalah proses yang berbasis cahaya,
yang mengubah asam-asam organik menjadi hidrogen dan CO2.
Foto-sintetik bakteri Rhodobacter sphaeroides OU 001 digunakan untuk
fermentasi cahaya. Reaktor beroperasi dengan kondisi terbaik sekitar 30°C dan
bekerja pada konsentrasi substrat 40 mM dengan konversi 60% dari hasil teoritis
sesuai dengan reaksi berikut:

Konsentrasi yang sangat rendah dan sangat tinggi adalah pada waktu
retensi (10 hari) yang diperlukan untuk mengoperasikan fermentor secara kontinu.
Kondisi ini menyebabkan volume besar yang diperlukan untuk fermentor. Karena
dimensi, variasi pH tidak dapat dikontrol secara lokal, sehingga buffer yang tinggi
(garam fosfat kalium) konsentrasi 20 mM diperlukan dalam kaldu fermentasi
(Foglia dkk., 2011).

Flowsheet Proses Pembentukan hydrogen dengan PHF


(Foglia dkk., 2011)
4. Dark Fermentation (Fermentasu Gelap)
Fermentasi termofilik (THF) atau gelap merupakan langkah fermentasi
anaerobik di mana bakteri termofilik ekstrim (Caldicellulosiruptor
saccharolyticus) bekerja pada suhu 70 ° C. Pada langkah ini, gula diubah menjadi
hidrogen, CO2 dan asam organik, menurut reaksi di bawah ini:
Fermentasi yang terbaik terus beroperasi pada konsentrasi substrat yang
rendah dari 10/l g gula dan pH 6,5. Air pengenceran diasumsikan pada 20° C.
Untuk mempertahankan pH konstan, pH controller otomatis digunakan, dengan
menggunakan basa (KOH) sebagai dasar untuk menyesuaikan perubahan pH,
yang disebabkan oleh pembentukan asam organik selama langkah fermentasi.
Untuk menghindari penghambatan hidrogen vakum diterapkan pada
fermentor termofilik (0,55 bar) untuk menurunkan tekanan parsial hidrogen dan
meningkatkan desorpsi hidrogen dari kaldu fermentasi. Flowsheet dari model dari
fermentor termofilik ditunjukkan pada Gambar. 5 . Unit operasi TH-DIL
digunakan untuk menggabungkan aliran substrat yang berasal dari PTR (TH-
Prec), air pengenceran aliran dan bahan kimia (KOH, buffer).
5. Proses HYVOLUTION
Proses ini terdiri dari empat langkah utama yaitu :
pre-treatment (PTR),PHF, THF dan gas upgrade. Berikut skema dari
proses HYVOLUTION.

Skema Proses HYVOLUTION


(Foglia dkk., 2011)
Dari berbagai proses teknologi yang ada, maka metode fermentasi gelap
(THF) yang paling cocok untuk diterapkan.
Hal ini disebabkan keunggulan produksi H2 melalui fermentasi gelap
adalah :
1. Tidak memerlukan energi matahari
2. Berbagai limbah/tanaman energi dapat digunakan
3. Teknologi reaktor yang sederhana
(Hallenbeck & Ghosh 2009)

Anda mungkin juga menyukai