Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH EKOTOKSIKOLOGI PERAIRAN:

Pencemaran Limpasan Sulfur di Gunung Api bawah Laut

Disusun Oleh:
Putri Ayuni S 230210170001
M Septian Azhar S 230210170008
Bunga Maharani N 230210170024
Yassa Ishaq P 230210170027
Najma Khansa A 230210170029
M Maulana Rahmadi 230210170032
Nadiyah Adira H 230210170036

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PADJAJARAN
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan limpahan rahmatnyalah maka kamidapat menyelesaikan Makalah Ekotoksikologi
Perairan: Pencemaran Limpasana Sulfur di Gunung Api bawah Laut dengan tepat waktu
Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang
pencemaran limpasan sulfur. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangunselalu kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kitadan memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.

Jatinangor, 25 Oktober 2019

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................................................. 2
DAFTAR ISI................................................................................................................................................. 3
BAB I ............................................................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 4
1.1 LATAR BELAKANG ....................................................................................................................... 4
1.2 RUMUSAN MASALAH ................................................................................................................... 5
1.3 TUJUAN ............................................................................................................................................ 5
BAB II .......................................................................................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................................................. 6
1.1. Pencemaran ................................................................................................................................. 6
1.2. Sulfur............................................................................................................................................ 8
1.2.1. Definisi Sulfur...................................................................................................................... 8
1.2.2. Daur Sulfur .......................................................................................................................... 9
1.3. Gunung Api Bawah laut ........................................................................................................... 11
1.3.1. Pengertian .......................................................................................................................... 11
1.3.2. Terbentuknya Gunung Api bawah Laut......................................................................... 11
1.4. Limpasan Sulfur........................................................................................................................ 12
1.4.1. Belerang ............................................................................................................................. 12
1.4.2. Siklus Belerang .................................................................................................................... 14
1.4.3. Pengujian di Laboatorium ............................................................................................... 16
1.4.4. Pengujiian di Lapangan.................................................................................................... 19
BAB III....................................................................................................................................................... 21
PENUTUP.................................................................................................................................................. 21
3.1. Kesimpulan ................................................................................................................................ 21
3.2. Saran .......................................................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 23

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Secara geografis Indonesia mem-bentang dari 60 LU sampai 110 LS dan 920 sampai 1420
BT, terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang jumlahnya kurang lebih 17.504 pulau. Tiga per-
empat wilayahnya adalah laut (5,9 juta km2), dengan panjang garis pantai 95.161 km, terpanjang
kedua setelah Kanada.
Pencemaran laut adalah perubahan pada lingkungan laut yang terjadi akibat
dimasukkannya oleh manusia secara langsung ataupun tidak langsung bahanbahan atau energi ke
dalam lingkungan laut (termasuk muara sungai) yang menghasilkan akibat yang demikian
buruknya sehingga merupakan kerugian terhadap kekayaan hayati, bahaya terhadap kesehatan
manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan dan lain-lain, penggunaan laut
yang wajar, pemburukan dari pada kwalitas air laut dan menurunnya tempat-tempat pemukiman
dan rekreasi.
Pencemaran laut memberikan dampak yang cukup berpengaruh bagi lingkungan sekitar
apalagi bila disekitarnya merupakan pemukiman penduduk yang mana penduduk pada umumnya
bermata pencaharian sebagai pelaut atau nelayan.
Gunung berapi bawah laut adalah ventilasi atau celah di Bumi permukaan di mana magma
dapat meletus. Sejumlah besar gunung berapi bawah laut yang terletak di dekat daerah tektonik
pergerakan lempeng, yang dikenal sebagai mid-ocean ridges. Gunung-gunung berapi di mid-ocean
ridges sendiri diperkirakan mencapai 75% dari magma output di Bumi. Meskipun sebagian besar
gunung berapi bawah laut yang terletak di kedalaman lautan dan samudra, beberapa juga ada di
air dangkal, dan ini dapat debit bahan ke atmosfer selama letusan. Jumlah gunung berapi bawah
laut yang diperkirakan mencapai lebih dari 1 juta, dimana sekitar 75 000 naik lebih dari 1 km di
atas dasar laut. Ventilasi hidrotermal, situs dari banyak aktivitas biologis, biasanya ditemukan di
dekat gunung berapi bawah laut.
Ventilasi hidrotermal adalah hasil dari air laut meresap turun melalui celah di kerak laut di
sekitar Pusat penyebaran atau zona subduksi (tempat di bumi di mana dua lempeng tektonik
bergerak menjauh atau terhadap satu sama lain). Air laut yang dingin dipanaskan oleh magma

4
panas dan timbul kembali untuk membentuk ventilasi. Air laut di ventilasi hidrotermal dapat
mencapai suhu lebih dari 700 ° Fahrenheit. Partikel ini didominasi oleh mineral sulfida yang sangat
halus terbentuk ketika cairan hidrotermal panas bercampur dengan air laut yang membeku. Mineral
ini memantapkan saat mereka dingin, membentuk struktur seperti cerobong asap. "Hitam perokok"
adalah cerobong yang terbentuk dari endapan besi sulfida, yang berwarna hitam. "Putih perokok"
adalah cerobong yang terbentuk dari endapan barium, kalsium, dan silikon, yang berwarna putih

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa itu pencemaran?
2. Mengapa Sulfur dapat mencemari lingkungan?
3. Apa akibat dari pencemaran sulfur (Limpasan Sulfur)?
4. Bagaimana pengujian di Laboratorium dan Lapangan?

1.3 TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah mengetahui apa itu pencemaran yang
disebabkan oleh sulfur, khususnya yang berasal dari gunung berapi, juga mengetahui apa yang
harus dilakukan saat hal tersebut terjadi

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1.Pencemaran
Pencemaran, menurut SK Menteri Kependudukan Lingkungan Hidup No
02/MENKLH/1988, adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat,energi, dan/atau
komponen lain ke dalam air/udara, dan/atau berubahnya tatanan (komposisi) air/udara oleh
kegiatan manusia dan proses alam, sehingga kualitas air/udara menjadi kurang atau tidak dapat
berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya. Untuk mencegah terjadinya pencemaran
terhadap lingkungan oleh berbagai aktivitas industri dan aktivitas manusia, maka diperlukan
pengendalian terhadap pencemaran lingkungan dengan menetapkan baku mutu lingkungan.
Baku mutu lingkungan adalah batas kadar yang diperkenankan bagi zat atau bahan pencemar
terdapat di lingkungan dengan tidak menimbulkan gangguan terhadap makhluk hidup,
tumbuhan atau benda lainnya. Pada saat ini, pencemaran terhadap lingkungan berlangsung di
mana-mana dengan laju yang sangat cepat. Sekarang ini beban pencemaran dalam lingkungan
sudah semakin berat dengan masuknya limbah industri dari berbagai bahan kimia termasuk
logam berat.
Pencemaran lingkungan dapat dikategorikan menjadi:
 Pencemaran Air.
 Pencemaran Udara.
 Pencemaran Tanah.

Faktor faktor Penyebab Perubahan Lingkungan.

1. Faktor Alam.
Faktor yang dapat menimbulkan kerusakan antara lain gunung meletus, gempa bumi,angin
topan, kemarau panjang, banjir, dan kebakaran hutan.
2. Faktor Manusia.
Kegiatan manusia yang menyebabkan perubahan lingkungan misalnya, membuang limbah
( limbah rumah tangga, industri, pertanian, dsb ) secara sembarangan, menebang hutan
sembarangan, dsb.

Suatu zat dapat disebut polutan apabila:

6
1. Jumlahnya melebihi jumlah normal.
2. Berada pada waktu yang tidak tepat.
3. Berada di tempat yang tidak tepat.

Sifat polutan adalah :


1. Merusak untuk sementara, tetapi bila telah bereaksi dengan zat lingkungan tidak merusak
lagi.
2. Merusak dalam waktu lama. Contohnya Pb tidak merusak bila konsentrasinya rendah.
Akan tetapi dalam jangka waktu yang lama, Pb dapat terakumulasi dalam tubuh sampai
tingkat yang merusak.
Polusi atau pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makluk
hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lngkungan atau berubahnya tatanan
lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam sehingga kualitas lingkungan
turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak
dapat berfingsi lagi sesuai dengan peruntukannya (UU Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup No. 4 Tahun 1982). Pencemaran dapat timbul sebagai akibat kegiatan manusia
ataupun disebabkan oleh alam (misal gunung meletus, gas beracun). Ilmu lingkungan
biasanya membahas pencemaran yang disebabkan oleh aktivitas manusia, yang dapat
dicegah dan dikendalikan. Karena kegiatan manusia, pencermaran lingkungan pasti terjadi.
Pencemaran lingkungan tersebut tidak dapat dihindari. Yang dapat dilakukan adalah
mengurangi pencemaran, mengendalikan pencemaran, dan meningkatkan kesadaran dan
kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya agar tidak mencemari lingkngan.
Zat atau bahan yang dapat mengakibatkan pencemaran di sebut polutan. Syarat-
syarat suatu zat disebut polutan bila keberadaannya dapat menyebabkan kerugian terhadap
makluk hidup. Contohnya, karbon dioksida dengan kadar 0,033% di udara berfaedah bagi
tumbuhan, tetapi bila lebih tinggi dari 0,033% dapat memberikan efek merusak. Suatu zat
dapat disebut polutan apabila :
1. Jumlahnya melebihi jumlah normal.
2. Berada pada waktu yang tidak tepat.
3. Berada di tempat yang tidak tepat.
Sifat polutan yaitu :

7
1. Merusak untuk sementara, tetapi bila telah bereaksi dengan zat lingkungan tidak
merusak lagi.
2. Merusak dalam waktu lama. Contohnya Pb tidak merusak bila konsentrasinya rendah.
Akan tetapi dalam jangka waktu yang lama, Pb dapat terakumulasi dalam tubuh sampai
tingkat yang merusak.

1.2.Sulfur
1.2.1. Definisi Sulfur
Polutan adalah kandungan alamiah di udara merupakan bagian dari kehidupan sehari –
hari, dan sulit untuk dipisahkan dari udara yang dihirup oleh pernafasan. Kegiatan manusia
juga merupakan salah satu penyebab ketidak seimbangan didalam mekanisme proses
sirkulasi udara yang bersih dan peningkatan polutan di atmosfir sehingga dapat
menyebabkan gangguan kesehatan (Atash, 2007) .
Polutan di atmosfir dibedakan menurut sumbernya, komposisi kimiawi, ukuran dan
bentuk pelepasan didalam atau diluar ruangan. Pada abad ke-20 persoalan polusi udara
berhubungan erat dengan tingginya konsentrasi sulfur dioksida . Pengawasan terhadap
sulfur dioksida dengan konsentrasi 0,25 ppm terhadap manusia dalam waktu 5 menit akan
menyebabkan bronkhokonstriksi, baik pada orang sehat dan asma. Penderita yang
terinhalasi oleh sulfur dioksida berkaitan dengan ditemuinya TNF-α promoter
polymorphism yang diketahui berhubungan erat dengan asma (Bernstein et al., 2004)
Belerang atau sulfur adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang memliki lambang S
dan nomor atom 16 . Belerang merupakan unsur non-logam yang tidak berasa. Belerang,
dalam bentuk aslinya, adalah sebuah zat padat kristalin kuning. Di alam, belerang dapat
ditemukan sebagai unsur murni atau sebagai mineral-mineral sulfide dan sulfat. Belerang
atau sulfur adalah suatu unsur kimia dengan nomor atom 16 yang berbentuk non-logam,
tidak berasa, tidak berbau, dan merupakan senyawa multivalent. Sulfur dioksida (SO2)
merupakan salah satu gas hasil turunan dari belerang yang terdapat pada gunung berapi.
Apabila sulfur dioksida direaksikan dengan air akan terbentuk asam sulfat (H2SO4). Uap
dan kabut asam sulfur atau pun asam sulfat bersifat korosif. (Dyah Pranani,2008)
Di alam, belerang dapat ditemukan sebagai unsur murni atau sebagai mineral-mineral
sulfide dan sulfate. Sulfur dikenal dengan nama lain belerang yaitu kumpulan kristal

8
kuning padat dengan berat jenis relatif 2.07 pada suhu 20oC. Dalam keadaan padat, struktur
sulfur rata-rata berbentuk belah ketupat dan tetap stabil dalam keadaan ini hingga mencapai
suhu 203 oF (95oC). Sulfur mencair di suhu sekitar 240 oF (116 oC) hingga 300 oF (149
o
C). Pemanasan yang dilakukan diatas suhu 318 oF melebihi tingkat polimerisasi sulfur,
akan meningkatkan nilai viskositasnya (Arif Setiawan, 2012).
Senyawa sulfur dapat berperan sebagai polutan lingkungan. Senyawa tersebut
diproduksi pada area yang luas seperti industri tanaman, industri pertambangan atau dari
container seperti drum atau botol. Adanya sulfur dilingkungan tidak selalu menyebabkan
paparan pada orang sekitar, kecuali jika kontak selama periode tertentu. Jika seseorang
terpapar oleh sulfur, banyak faktor yang menetukan apakah kandungan sulfur berbahaya
pada orang tersebut, antara lain dosis, durasi, dan cara kontak senyawa tersebut. Perlu juga
dipertimbangkan paparan senyawa kimia lain, usia, jenis kelamin, diet, faktor genetik, pola
hidup dan tingkat kesehatan (Ika Kartiani, 2006).

1.2.2. Daur Sulfur


Daur sulfur merupakan perubahan sulfur dari hidrogen sulfida (H2S) menjadi sulfur
dioksida (SOX) lalu menjadi sulfat (SO4) dan kembali menjadi hidrogen sulfida lagi.
Sulfur dialam ditemukan dalam berbagai bentuk. Dalam tanah sulfur ditemukan dalam
bentuk mineral, diudara dalam bentuk gas sulfur dioksida dan didalam tubuh organisme
sebagai penyusun protein. Sulfur berasal dari erupsi gunung merapi, asap- asap yang
menggunakan bahan bakar fosil.

Proses Terjadinya Daur Sulfur

9
Sulfur terjadi akibat dari proses terjadinya pembakaran bahan bakar fosil (batu bara) atau
terjadi akibat adanya aktifitas gunung berapi, lalu asapnya itu akan naik ke atmosfer atau
udara, sulfur oksida itu akan berada diawan dan beraksi dengan air membentuk H2SO4,
awan akan mengalami kondensasi yang akhirnya menurunkan hujan yang dikenal dengan
hujan asam. Apabila pH hujan terlalu rendah maka akan mengancam kelangsungan
makhluk hidup, menyebabkan korosi pada logam, pelapukan pada batuan dan iritasi pada
kulit. H2SO4 yang jatuh ke dalam tanah oleh bakteri di pecah lagi menjadi ion sulfat (SO4)
yang kembali di serap oleh akar dan di metabolisme menjadi penyusun protein dalam tubuh
tumbuhan. Ketika hewan dan manusia memakan tumbuhan, protein tersebut akan
berpindah ketubuh manusia. Dari dalam tubuh manusia senyawa sulfur mengalami
metabolisme yang sisa-sisa hasil metabolisme tersebut diuraikan oleh bakteri dalam
lambung berupa gas. Salah satu zat yang terkandung dalam gas tersebut adalah sulfur.
Semakin besar kandungan sulfur dalam gas maka gas akan semakin bau. Apabila
tumbuhan, hewan dan manusia mati, maka akan diurai oleh dekomposer.
Hidrogen sulfida hasil penguraian sebagian tetap berada dalam tanah dan sebagian lagi di
lepaskan ke udara dalam bentuk gas hidrogen sulfida. Gas hidrogen sulfida di udara
kemudian bersenyawa dengan oksigen membentuk sulfur dioksida. Sedangkan hidrogen
sulfida yang tertinggal didalam tanah dengan bantuan bekteri akan diubah menjadi ion
sulfat dan senyawa sulfur oksida. Ion sulfat akan diserap kembali oleh tanaman sedangkan
sulfur dioksida akan terlepas keudara.
Dalam daur sulfur atau siklus belerang, untuk merubah sulfur menjadi senyawa belerang
lainnya setidaknya ada dua jenis proses yang terjadi. Yaitu melalui reaksi antara sulfur,
oksigen dan air serta oleh aktivitas mikrorganisme. Beberapa mikroorganisme yang
berperan dalam siklus sulfur adalah dari golongan bakteri, antara lain adalah bakteri
Desulfomaculum dan bakteri Desulfibrio yang akan mereduksi sulfat menjadi sulfida
dalam bentuk hidrogen sulfida (H2S). Kemudian H2S digunakan oleh bakteri fotoautotrof/
anaerob (Chromatium) dan melepaskan sulfur serta oksigen. Kemudian Sulfur dioksidasi
yang terbentuk diubah menjadi sulfat oleh bakteri kemolitotrof (Thiobacillus).
Dalam daur belerang, mikroorganisme yang bertanggung jawab pada setiap proses
trasformasi adalah sebagai berikut :

10
 H2S → S → SO4 => bakteri sulfur tak berwarna, hijau dan ungu.
 SO4 → H2S => bakteri desulfovibrio dalam reaksi reduksi sulfat Anaerobik.
 H2S → SO4 => bakteri thiobacilli dalam proses reaksi oksidasi sulfide aerobik.
 Sulfur organik → SO4 + H2S, => mikroorganisme heterotrofik aerobik dan
anaerobik.
Fungsi Siklus Sulfur
 Membantu pembentukan butir hijau daun sehingga daun menjadi lebih hijau.
 Menambah kandungan protein dan vitamin hasil panen.
 Meningakatkan jumlah anakn yang menghasilkan (pada tanaman padi).
 Berperan penting pada proses pembulatan zat gula.
 Memperbaiki warna, aroma, dan kelenturan daun tembakau ( khusus pada
tembakau omprongan).
Memperbaiki aroma, mengurangi penyusutan selama penyimpangan, memperbesar umbi &
bawang merah
1.3.Gunung Api Bawah laut
1.3.1. Pengertian
Gunung api adalah tempat atau bukaan yang menjadi titik awal bagi batuan pijar dan
atau gas yang keluar ke permukaan bumi, dan bahan sebagai produk yang menumpuk di
sekitar bukaan tersebut membentuk bukit atau gunung (Macdonald, 1972). Tempat atau
bukaan tersebut disebut kawah atau kaldera, sedangkan batuan pijar dan gas adalah magma.
Batuan atau endapan gunung api adalah bahan padat berupa batuan atau endapan yang
terbentuk sebagai akibat kegiatan gunung api, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Secara umum, terdapat dua jenis erupsi gunung api, yaitu erupsi letusan yang
menghasilkan material fragmental berbutir halus – kasar, sedangkan erupsi lelehan
menghasilkan kerucut spater, aliran lava, dan kubah lava.
1.3.2. Terbentuknya Gunung Api bawah Laut
Di Daerah pemekaran samudera terjadi proses keluarnya material dari mantel atas
yang keluar seperti keluarnya gelembung air pada saat mendidih. Arus berputarnya ini
disebut arus konveksi. Yang berwarna merah-biru dibawah ini merupakan kerak samudera.
Sedangkan yang hijau disebut kerak benua. Kerak samudera ini selalu bertambah atau
bergerak karena ada pembentukan kerak baru pada zona pemekaran samudera.

1. Gunung api bawah laut ini terbentuk diatas kerak samudera dan terus terbawa oleh
kerak samudera menuju zona penunjaman di sebelah kanan.
2. Semakin jauh dari zona pemekaran, tentu saja material mantel yang cair dan panas
ini kehilangan suhunya. Sehingga membentuk seamount atau gunung laut yang sering
kali berupa gundukan yang tidak lagi berupa gunung api yang aktif.

11
3. Ketika mendekati zona penunjaman tentu saja bagian atas dari kerak samudera
ini akan bergesekan dengan kerak benua. Gesekan ini menimbulkan panas dan sering
menyebabkan batuan pembentuk kerak samudera ini meleleh. Batuan yang meleleh dan cair ini
akan keluar membentuk gunung api seperti yang kita lihat di rentetan Gunung Api sepanjang
bagian barat Sumatra, hingga bagian selatan Jawa. Termasuk Gunung Merapi, Semeru dan
gunung api yang lain yang masih aktif.
Seamount (gunung laut) kebanyakan sudah tidak berupa gunung api aktif. Karena
biasanya gunung laut itu tidak lagi mendapatkan pasokan panas, maka materialnya tidak lagi
berupa material cair panas seperti sumber magma.
Sejauh ini, gas vulkanik yang paling berlimpah adalah uap air, yang tidak
berbahaya. Namun, sejumlah besar karbon dioksida, sulfur dioksida, hidrogen sulfida, dan
hidrogen halida juga dapat dipancarkan dari gunung berapi. Tergantung pada konsentrasinya,
semua gas ini berpotensi berbahaya bagi manusia, hewan, pertanian, dan properti.
Sulfur dioksida adalah gas tidak berwarna dengan bau menyengat yang mengiritasi
kulit dan jaringan serta selaput lendir mata, hidung, dan tenggorokan. Selama letusan yang
sangat besar, SO2 dapat diinjeksikan ke ketinggian lebih dari 10 km ke stratosfer. Di sini, SO2
dikonversi menjadi aerosol sulfat yang memantulkan sinar matahari dan karenanya memiliki
efek pendinginan pada iklim Bumi. Mereka juga memiliki peran dalam penipisan ozon, karena
banyak reaksi yang merusak ozon terjadi pada permukaan aerosol tersebut.

1.4. Limpasan Sulfur


1.4.1. Belerang
Sulfur atau belerang adalah unsur kimia dalam sistim periodik yang mempunyai
simbol S dan nomor atom 16. Belerang bukan logam multivalent yang berlimpah, tanpa rasa
dan tanpa bau. Belerang dalam bentuk aslinya, adalah satu kristal padat yang berwarna kuning.
Belerang ditemukan di alam dalam bentuk unsur murni atau dalam bentuk mineral sulfida atau
sulfat. Belerang merupakan unsur penting untuk kehidupan dan ditemukan dalam dua asam
amino. Belerang digunakan terutama dalam baja dan juga digunakan secara meluas dalam
mesiu, korek api, racun serangga dan racun jamur (Mukti, 2012). Menurut Rolando (2018),
belerang adalah bahan kimia mineral yang paling penting dan unsur yang paling banyak
disebarluaskan. Belerang di alam terdapat dalam keadaan bebas yang diperoleh dari gunung
berapi dan ada pula yang tertimbun di dalam tanah. Belerang dalam bentuk senyawa tersebar
luas di bumi sebagai sulfit dan sulfat. Belerang dalam bentuk gas dapat ditemui pada proses
peleburan biji logam dan industri kimia. Belerang memiliki sifat relatif inert, tetapi pada kisaran
2470C belerang terbakar menjadi SO2 atau SO3 dan gas ini dapat digunakan langsung atau
dikonversikan menjadi asam sulfat, hal tersebut merupakan penggunaan belerang yang murah.
Belerang berikatan dengan ion hidrogen dan oksigen dalam perairan. Bentuk belerang di
perairan adalah sulfida (S2-), hydrogen sulfida (H2S), ferro sulfida (FeS), sulfur dioksida
(SO2), sulfit (SO3), dan sulfat (SO4). Sulfat yang berikatan dengan hidrogen membentuk asam
sulfat dan sulfat yang berikatan dengan logam alkali merupakan bentuk sulfur yang paling
banyak ditemukan di danau dan sungai.
Menurut Kadarsetia (2006), menyatakan bahwa H2S dalam kawah gunung berapi
disebabkan oleh letusan gunung berapi yang melepaskan beberapa jenis gas, yaitu H2O, CO2,

12
HCl, SO2, H2S, HF, H2, HBr, NH3, CH4, H2BO dan N2. Hal ini kemungkinan besar berkaitan
dengan interaksi yang berjalan secara intensif antara batuan gunung api dengan air danau dalam
kondisi fisika dan kimia tertentu, yang menyebabkan gas-gas SO2 dan H2S yang berperan aktif
dalam mempengaruhi komposisi kimia air danau kawah. Menurut Priatna (2014), adanya
perubahan konsentrasi dari masing-masing gas sangat dipengaruhi oleh suhu dan tekanan atau
tingkat aktivitas vulkanik yang sedang terjadi. Hal tersebut menandakan adanya hubungan yang
signifikan ketika terjadi peningkatan peningkatan konsentrasi H2, lalu terjadi pembentukan
H2S yang dipengaruhi oleh meningkatnya konsentrasi H2 dalam magma tersebut.
1. Transformasi Kimia Senyawa Belerang

Transformasi kimia senyawa belerang akibat aktivitas antropogenik diperkirakan


memberikan kontribusi 100 juta metrik ton belerang per tahun, sedangkan kontribusi dari
aktivitas nonantropogenik berasal dari vulkanik dan proses pembusukkan bahan organik
memberikan kontribusi di bawah 1 juta metrik ton per tahun. Pada dasarnya, siklus senyawa
belerang di atmosfer melibatkan H2S, SO2, SO3 dan SO4. Belerang yang dihasilkan dari
aktivitas nonantropogenik masuk ke atmosfer terutama dalam bentuk H2S yang berasal dari
vulkanik dan dari proses pembusukan bahan organik (Sopiah, 2005).
2. Indikator atau batas belerang dalam air

Menurut (Menteri Kesehatan RI, 2002) batas yang diperbolehkan kadar belerang dalam
air yaitu, 0,02 mg/l, apabila melebihi batas tersebut dapat dikatakan berbahaya dan tidak boleh
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan jika kadar belerang di air kurang dari
ketetapan tersebut maka dikatakan tidak berbahaya bagi masyarakat untuk menggunakan atau
mengkonsumsi air yang mengandung belerang.
3. Dampak Pencemaran Belerang Bagi Kesehatan

Sering sekali kita mengabaikan kesehatan demi untuk kebutuhan sehari-hari, masyarakat
sekitar sungai Banyuputih memanfaatkan air sungai tersebut sebagai kebutuhan sehari-hari
contohnya yaitu mandi, minum, masak, bahkan MCK (Mandi Cuci Kakus). Berikut adalah
gangguan yang dapat dialami apabila mengkonsumsi air sungai yang mengandung banyak
belerang bagi masyarakat yaitu gangguan pernafasan atau sesak nafas, kerusakan pada gigi dan
menjadi keropos, nyeri pada persendian, gagal ginjal dan yang terparah sampai menuju pada
kematian (Ma’rufi dkk, 2016).
4. Hubungan Kualitas Air Dengan Kadar Belerang

13
Aliran air sungai yang tercemari oleh kandungan belerang yang berlebih akan
menunjukkan perubahan yang signifikan, perubahan tersebut telah dipaparkan oleh Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Situbondo (2011) menyatakan bahwa warna aliran air
sungai Banyupahit berwarna kemerahan. Air juga memiliki pH, pH normal air yang bersih
dan layak untuk konsumsi ialah 7 (tujuh) namun pada aliran air sungai Banyupahit setelah
dilakukan pengukuran derajat keasamannya ditemukan bahwa pH aliran air sungai tersebut
kurang dari 7 (<7). Menurut Susiati (2002), derajat keasaman pH aliran air sungai Banyupahit
setelah sampai di wilayah Desa Bantal yaitu pH = 3. Seperti yang kita ketahui kadar belerang
terlarut (H2S) yang berlebih dapat menurunkan kualitas air, menurut (Sa’diyah, 2018), apabila
kadar hidrogen sulfiuda melebihi 0,002 mg/l maka dapat dikatakan bahwa air tersebut
mengalami penurunan kualitas. Menurut Widya (2012), menyatakan bahwa semakin tinggi
kadar hidrogen sulfida maka semakin menyengat pula bau busuk yang ada didalam air tersebut
1.4.2. Siklus Belerang
1. Pengertian Siklus Belerang
Sulfur merupakan perubahan sulfur dari hidrogen sulfide (H2S) menjadi sulfur diokasida
(SO2) lalu menjadi sulfat dan kembali menjadi hidrogen sulfida lagi. Sulfur dialam
ditemukan dalam berbagai bentuk. Dalam tanah sulfur ditemukan dalam bentuk mineral,
diudara dalam bentuk gas sulfur dioksida dan didalam tubuh organisme sebagai penyusun
protein. Siklus sulfur di mulai dari dalam tanah. yaitu ketika ion-ion sulfat di serap oleh
akar dan di metabolisme menjadi penyusun protein dalam tubuh tumbuhan. Ketika hewan
dan manusia memakan tumbuhan, protein tersebut akan berpindah ketubuh manusia. Dari
dalam tubuh manusia senyawa sulfur mengalami metabolisme yang sisa-sisa hasil
metabolisme tersebut diuraikan oleh bakteri dalam lambung berupa gas. Salah satu zat yang
terkandung dalam gas tersebut adalah sulfur. Semakin besar kandungan sulfur dalam gas
maka gas akan semakin bau. Hidrogen sulfida (H2S) berasal dari penguraian hewan dan
tumbuhan yang mati oleh mikroorganisme seperti bakteri dan jamur. Hidrogen sulfida hasil
penguraian sebagian tetap berada dalam tanah dan sebagian lagi di lepaskan ke udara dalam
bentuk gas hidrogen sulfida.
Gasi hidrogen sulfida di udara kemudian bersenyawa dengan oksigen membentuk sulfur
dioksida. Sedangkan hidrogen sulfida yang tertinggal didalam tanah dengan bantuan

14
bekteri akan diubah menjadi ion sulfat dan senyawa sulfur oksida. Ion sulfat akan diserap
kembali oleh tanaman sedangkan sulfur dioksida akan terlepas keudara.
Diudara sulfur dioksida akan bereaksi dengan oksigen dan air membentuk asam sulfat
(H2SO4) yang kemudian jatuh ke bumi dalam bentuk hujan asam. Hujan asam juga dapat
disebakan oleh polusi udara seperti asap-asap pabrik, pembakaran kendaraan bermotor,
dll. Hujan asam dapat menjadi penyebab korosi batu-batuan dan logam. H2SO4 yang jatuh
kedalam tanah oleh bakteri di pecah lagi menjadi ion sulfat yang kembali diserap oleh
tumbuhan, tumbuhan di makan oleh hewan dan manusia, makhluk hidup mati diuraikan
oleh bakteri menghasilkan sulfur kebali. bergitu seterusnya. Siklus sulfur atau daur
belerang tidak akan pernah terhenti selama salah satu komponen penting penting seperti
tumbuhan masih ada di permukaan bumi ini.
Dalam daur sulfur atau siklus belerang, untuk merubah sulfur menjadi senyawa belerang
lainnya setidaknya ada dua jenis proses yang terjadi. Yaitu melalui reaksi antara sulfur,
oksigen dan air serta oleh aktivitas mikrorganisme. beberapa mikroorganisme yang
berperan dalam siklus sulfur adalah dari golongan bakteri, antara lain adalah bakteri
Desulfomaculum dan bakteri Desulfibrio yang akan mereduksi sulfat menjadi sulfida
dalam bentuk hidrogen sulfida (H2S). Kemudian H2S digunakan oleh bakteri fotoautotrof
anaerob (Chromatium) dan melepaskan sulfur serta oksigen. Kemudian Sulfur dioksidasi
yang terbentuk diubah menjadi sulfat oleh bakteri kemolitotrof (Thiobacillus).
Dalam daur belerang, mikroorganisme yang bertanggung jawab pada setiap proses
trasformasi adalah sebagai berikut :
H2S → S → SO4 => bakteri sulfur tak berwarna, hijau dan ungu.
SO4 → H2S => bakteri desulfovibrio dalam reaksi reduksi sulfat Anaerobik.
H2S → SO4 => bakteri thiobacilli dalam proses reaksi oksidasi sulfide aerobik.
Sulfur organik → SO4 + H2S, => mikroorganisme heterotrofik aerobik dan anaerobik.
i. Proses Terjadinya Siklus Belerang / Sulfur
Sulfur terjadi akibat dari proses terjadinya pembakaran bahan bakar fosil batu bara atau
terjadi akibat adanya aktifitas gunung berapi, lalu asapnya itu akan naik ke atmosfer, atau
udara sulfur oksida itu akan berada diawan yang menjadi hidrolidid air membentuk
H2SO4, awan akan mengalami kondensasi yang akhirnya menurunkan hujan yang dikenal
dengan hujan asam.

15
Air hujan itu akan masuk kedalam tanah yang akan diubah menjadi Sulfat yang sangat
peting untuk tumbuhan. Sulfat hanya terdapat dalam bentuk anorganik (SO4), sulfat ini
yang mampu berpindah dari bumi atau alam ketubuh tanaman/ tumbuhan melalui
penyerapan sulfat oleh akar .Sulfur akan direduksi oleh bakteri menjadi sulfida dan
berbentuk sulfur dioksida atau hidrogen sulfida.

Gambar 1. Siklus Belerang


ii. Fungsi Siklus Sulfur / Belerang
Berikut adalah beberapa fungsi dari siklus belerang yaitu :
a. Membantu pembentukan butir hijau daun sehingga daun menjadi lebih hijau
b. Menambah kandungan protein dan vitamin hasil panen
c. Meningakatkan jumlah anakn yang menghasilkan (pada tanaman padi)
d. Berperan penting pada proses pembulatan zat gula
e. Memperbaiki warna, aroma, dan kelenturan daun tembakau ( khusus pada
tembakau omprongan)
f. Memperbaiki aroma, mengurangi penyusutan selama penyimpangan, memperbesar
umbi & bawang merah
C. Pencemaran Air Laut
Laut merupakan milik umum yang pengelolaan dan perlindungan oleh pemerintah.
Pencemaran air laut yang terjadi perlu untuk dikendalikan karena dengan adanya
pencemaran air laut dapat mnegurangi pemanfaatan dari air laut sebagai kebutuhan utama
dan salah satu faktor dalam pembangunan perkelanjutan, pencemaran dikendalikan
bersama-sama bukan hanya oleh pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan pemangku
kepentingan yang melakukan perlindungan lingkungan hidup dalam pembangunan
berkelajutan namun masyarakat juga harus turut serta ikut mengendalikan pencemaran
sampah dalam air laut, karena pemerintah atau masyarakat merupakan faktor manusia yang
dapat menimbulkan pencemaran air laut dengan beberapa faktor penyebab, salah satunya
adalah sampah. Pengendalian pencemaran air laut penting dilakukan karena air laut
merupakan sebagian kebutuhan yang selalu dimanfaatkan manusia dalam berbagai
kebutuhan hidupnya dan faktor utama dalam pembangunan (Kodoatie dan Syarief, 2010).
1.4.3. Pengujian di Laboatorium

16
UJI SULFUR DI LABORATIUM PADA BIOTA
AKTIVITAS SULFUR DAN SELENIUM NANOPARTIKEL TERHADAP CACING
Steinerma feltiae DAN PERBANDINGAN TOKSISITASNYA TERHADAP SEL
NEUROBLASTOMA (NEURO 2A CELL LINES)
Penelitian ini bertujuan mengetahui aktivitas sulfur dan selenium nanopartikel terhadap cacing
Steinernema feltiae (S. feltiae) dan perbandingan toksisitasnya terhadap sel neuroblastoma
(neuro 2A). Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sulfur nanopartikel
mempunyai aktivitas antibakteri seperti Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus areus
(Winyard et al., 2005; Jacob, 2011; Jacob et al., 2012). Sulfur nanopartikel adalah partikel yang
memiliki rantai panjang atom sulfur-sulfur (S8) atau disebut juga senyawa polisulfida karena
mengandung rantai sulfur-sulfur. Uji aktivitas sulfur dan selenium nanopartikel terhadap S.
feltiae menunjukkan aktivitas yang sangat signifikan. Konsentrasi yang digunakan untuk uji
aktivitas sulfur dan selenium nanopartikel berkisar antara 1-500 μg/ml (Gambar 1).

Gambar 1. Uji nematisidal sulfur nanopartikel setelah 24 jam perlakuan


METODE
Semua bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah berasal dari Sigma Aldrich (Darmstadt,
Jerman). Semua larutan yang digunakan menggunakan air deionized MilliQ (R= 18.2 MΩ).
Steinerma feltiae (S. feltiae) yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari Sautter & Stepper,
Ammerbuch, Jerman.
Sulfur nanopartikel disintesis dan dimurnikan berdasarkan prosedur yang telah dikembangkan oleh
Bomhard dan Lange (Schneider et al., 2012) dengan sedikit modifikasi. Setelah tahapan sintesis,
nanopartikel dicuci secara ekstensif menggunakan air deionized MilliQ (R= 18.2 MΩ) dan
selanjutnya disentrifugasi beberapa kali untuk menghilangkan zatzat pengotor dan zat-zat yang
tidak bereaksi lainnya. Larutan sulfur nanopartikel selanjutnya disaring menggunakan syringe
filter yang mengandung membran selulosa asetat (w/0.2 μm). Selenium nanopartikel disintesis dan
dimurnikan berdasarkan prosedur Chen et al. (2010) dengan sedikit modifikasi (Schneider et al.,
2012).

17
Nematoda Steinernema feltiae yang digunakan dalam penelitian ini dalam bentuk soft cake yang
dibeli dari Sautter & Stepper. Segera setelah diterima dari pemesanan, soft cake cacing ini
disimpan pada suhu 4- 8° C dan dikeluarkan saat digunakan. Untuk pengujian nematoda,
dilarutkan 200 mg soft cake Steinerma feltiae dalam 50 ml akuades sehingga membentuk larutan
suspensi. Sebelum digunakan, larutan suspensi ini kemudian didiamkan selama 10-15 menit pada
suhu ruang untuk menghidupkan atau membangunkan kembali cacing Steinerma feltiae. Untuk uji
aktivitas, larutan suspensi dilarutkan dalam sampel berdasarkan variasi konsentrasi. Konsentrasi
akhir untuk uji aktivitas sampel adalah 1, 5, 10, 25, 50, 75, 100, 250, dan 500 mg/ml. Untuk negatif
kontrol, 100 μl larutan suspensi cacing dimasukkan ke dalam satu well-plate steril (96 well plate
flat bottom tissue cell culture). Untuk setiap konsentrasi dibuat tiga kali pengulangan. Untuk setiap
kali pengulangan, dibuat tiga sampel, dan setiap sampel berisi 100 μl larutan sampel yang telah
berisi suspensi S. feltiae. Nematoda yang hidup dan yang mati dihitung segera setelah inkubasi
terhadap sampel dengan menggunakan mikroskop (four-fold magnification). Kemudian dianalisis
persen viabilitas nematoda terhadap sampel uji. Selanjutnya plate uji ditutup dan diinkubasi pada
suhu ruang dalam ruang tertutup. Selanjutnya dilakukan penghitungan kembali setelah 24 jam
pemaparan (Sarakbi, 2009).
Sel neuro 2A adalah suatu neuroblastoma sel pada tikus. Sel neuro 2A ditumbuhkan dalam media
Dulbecco’s modified eagle’s medium (DMEM) yang mengandung 10% fetal bovine serum (FBS),
1% penisilin/streptomisin, dan 1% asam amino nonesensial (NEAA). Sel kemudian dikulturkan
pada suhu 37° C dengan CO2 atmosfer 5%. Sel selanjutnya ditumbuhkan dalam 96 well plate flat
bottom tissue cell culture dengan densitas sel setiap well nya adalah 10.000 sel. Sel selanjutnya
diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37° C dengan CO2 atmosfir 5%. Setelah 24 jam, kultur media
selanjutnya diganti dengan 0,2 ml medium yang mengandung senyawa dengan konsentrasi 1, 10,
50, dan 100 μM dan diinkubasi untuk 24 jam selanjutnya pada suhu 37° C dengan CO2 atmosfer
5%. Setelah diinkubasi, medium selanjutnya dicuci dengan 0,2 ml phosphate buffer saline (PBS).
Larutan PBS selanjutnya dipindahkan dan diganti dengan staining solution dan kemudian
diinkubasi selama 15 menit dengan CO2 atmosfer 5%. Saat melakukan staining hindari kontak
langsung dengan cahaya. Kuantifikasi sel dilakukan dengan menggunakan fluorescence
microscopy dengan image J software. Dengan alat ini, sel yang hidup akan berpendar
menghasilkan warna hijau, sementara sel yang mati akan berpendar menghasilkan warna merah.
Selanjutnya dihitung jumlah sel yang hidup dan yang mati, kemudian viabilitas sel diekspresikan
dengan membandingkan sel yang hidup dengan total jumlah sel yang ada dalam sampel (Doering
et al., 2012; Khairan, 2013).

HASIL
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sulfur nanopartikel mempunyai aktivitas yang sangat tinggi
dengan lethal dose 50 (LD50) berkisar pada 6,99 μg/ml setelah 24 jam perlakuan. Sulfur
nanopartikel pada konsentrasi 250 μg/ml dapat membunuh S. feltiae sampai 100%, artinya pada
konsentrasi ini menunjukkan aktivitas yang sangat toksik yaitu semua organisme uji mengalami
kematian yang sangat tinggi dengan persen viabilitasnya adalah 0%.

18
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sufur dan selenium nanopartikel mempunyai toksisitas yang
tinggi terhadap S. feltiae dan neuro 2A cell lines. Dibandingkan dengan selenium, sulfur
nanopartikel menunjukkan ativitas yang sangat tinggi terhadap kedua organisme uji tersebut.
1.4.4. Pengujiian di Lapangan
UJI SULFUR DI LABORATIUM PADA BIOTA LAUT
ANALISIS SULFUR (S) DAN BESI (Fe) PADA LIMBAH CAIR PANAS
PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP (PLTU) DI KELURAHAN PANAU
KECAMATAN PALU UTARA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar sulfur dan zat besi dalam limbah cair yang
dibuang ke PLTU genangan air di Desa Panau, Kecamatan utara Palu. Penelitian ini menggunakan
spektrodirect untuk analisis. Sulfit merupakan senyawa dari sulfur yang dapat menyebabkan
gangguan pada saluran pernafasan. Akan tetapi, ketika sulfit terdapat di dalam air maka yang
menanggung dampak dari keberadaan senyawa tersebut adalah biota laut. Adanya sulfit di dalam
limbah juga menandakan bahwa terdapat sulfur yaitu sebesar 1,25 mg/L atau setara 1,25 × 10-6
ppm di dalam limbah yang disalurkan ke badan air laut. Kadar tersebut masih tergolong normal
dan belum melampaui NAB yaitu 0,05 ppm (Menteri Kesehatan RI, 2002). Adanya senyawa sulfit
(SO3) dalam limbah disebabkan karena kandungan sulfur dalam batubara bereaksi dengan oksigen
yang terdapat di dalam air laut yang digunakan dalam PLTU.
Pengukuran sulfur dilakukan pada panjang gelombang 666 nm, setelah diukur ternyata sampel
tidak mengandung sulfur. Karena sulfur sulit ditemukan dalam keadaan bebas, maka kemudian
dilakukan kembali pengukuran dengan senyawanya, menggunakan panjang gelombang 405 nm
dan ditemukan bahwa sampel tersebut mengandung sulfit. Kadar sulfite berturut-turut adalah 3,13
mg/L; 3,23 mg/L; dan 3,02 mg/L. Jadi rata-rata kandungan sulfit yang terkandung dalam sampel
adalah 3,12 mg/L. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut, konsentrasi S dalam sampel adalah 1,25
mg/L.

19
Gambar 1. Grafik konsentarsi SO3 dan S dalam limbah cair panas PLTU
METODE
Proses pengukuran kadar sulfur dan besi dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer
spectrodirect. Sampel dimasukan kedalam vial dan ditambahkan dengan tablet sulfite LR untuk
sampel yang akan diukur kadar sulfurnya, serta penambahan tablet iron II LR untuk sampel yang
akan dilakukan pengukuran pada kadar besinya. Setelah itu masing-masing sampel dimasukan
kedalam spektrofotometer specktro-direct.
HASIL
Sampel limbah air PLTU yang bertempat di Kelurahan Panau Kecamatan Palu Utara tidak
mengandung besi (Fe), akan tetapi mengandung sulfit sebesar 3,12 mg/L dan di dalam 3,12 mg/L
sulfit tersebut terdapat 1,25 mg/L sulfur (S).

20
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
 Pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat atau komponen
lain kedalam air/udara, atau berubahnya tatanan (komposisi) air/udara oleh
kegiatan manusia dan proses alam, sehingga kualitas air/udara menjadi kurang atau
tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya.
 Senyawa sulfur dapat berperan sebagai polutan lingkungan. Jika seseorang terpapar
oleh sulfur, banyak faktor yang menetukan apakah kandungan sulfur berbahaya
pada orang tersebut, antara lain dosis, durasi, dan cara kontak senyawa tersebut.
Adanya sulfur dilingkungan tidak selalu menyebabkan paparan pada orang sekitar,
kecuali jika kontak selama periode tertentu.
 Dampak limpasan sulfur
o Manusia: Iritasi pada sistem pernafasan. Udara yang tercemar Sox
menyebabkan manusia mengalami gangguan pada sistem pernafasannya
o Lingkungan: Pencemaran udara (hujan asam, smog dan pemanasan global).
o Hewan: Turunnya pH akibat hujan asam juga dapat menyebabkan kematian
plankton. Apabila plankoton mati, rantai makanan akan terganggu
o Tanaman: Kerusakan pada tanaman terjadi pada kadar sebesar 0,5 ppm,,
yang mengakibatkan tanaman mati
o Material: terjadinya korosi dan pelapukan pada material bangunan.
 Pengujian di laboratorium dan lapangan
o Lapangan: Penelitian dilakukan di lapangan bertujuan untuk mengetahui
kadar sulfur dan zat besi dalam limbah cair yang dibuang ke PLTU
genangan air di Desa Panau, Kecamatan utara Palu. Penelitian ini
menggunakan spektrodirect untuk analisis. Pengukuran sulfur dilakukan
pada panjang gelombang 666 nm, setelah diukur ternyata sampel tidak
mengandung sulfur. Karena sulfur sulit ditemukan dalam keadaan bebas,
maka kemudian dilakukan kembali pengukuran dengan senyawanya,
menggunakan panjang gelombang 405 nm dan ditemukan bahwa sampel
tersebut mengandung sulfit. Sampel limbah air PLTU mengandung sulfit
sebesar 3,12 mg/L dan di dalam 3,12 mg/L sulfit tersebut terdapat 1,25
mg/L sulfur (S).
o Laboratorium: Penelitian ini bertujuan mengetahui aktivitas sulfur dan
selenium nanopartikel terhadap cacing Steinernema feltiae (S. feltiae) dan
perbandingan toksisitasnya terhadap sel neuroblastoma (neuro 2A). Semua
bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah berasal dari Sigma Aldrich
(Darmstadt, Jerman). Semua larutan yang digunakan menggunakan air
deionized MilliQ (R= 18.2 MΩ). Steinerma feltiae (S. feltiae) yang
digunakan pada penelitian ini diperoleh dari Sautter & Stepper,
Ammerbuch, Jerman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sulfur
21
nanopartikel mempunyai aktivitas yang sangat tinggi dengan lethal dose 50
(LD50) berkisar pada 6,99 μg/ml setelah 24 jam perlakuan

3.2. Saran
Pada saat proses pembuatan makalah terjadi beberapa kendala. Kendala
tersebutadalah sulitnya mencari sumber literatur pada judul yang terkait karena sedikitnya
sumber literatur mengenai pencemaran limpasan sulfur pada gunung api bawah laut belum
banyak yang mengkaji lebih spesifik mengenai kajian tersebut. Oleh karena itu diperlukan
lebih banyak sumber literatur pada judul terkait.

22
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Rukaesih., 2004. Kimia Lingkungan. Jakarta:Penerbit ANDI


Bernstein, J.A. (2004). Health effects of air pollution. J Allergy Clin Immunol114:1116-23.)
Doering, M., B. Diesel, M.C.H. Gruhlke, U.M. Viswanathan, D. Manikova, M. Chovanec, T.
Burkholz, A.J. Slusarenko, A.K. Kiemer, and C. Jacob. 2012. Selenium- and tellurium-
containing redox modulators with distinct activity against macrophages: possible
implications for the treatment of inflammatory diseases. Tetrahedron. 68:10577-10585.
Dyah Pranani.2008.Pengaruh Paparan Uap Belerang Terhadap Kejadian Erosi Gigi : studi pada
pekerja tambang belerang di gunung Ijen Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur.Artikel Karya
Tulis Ilmiah.Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro : Semarang.
Hidayat, Rifki Nur (2019) ANALISIS KADAR BELERANG ALIRAN AIR SUNGAI BANYUPUTIH
DARI GUNUNG IJEN DI DESA BANTAL KECAMATAN ASEMBAGUS KABUPATEN
SITUBONDO SEBAGAI SUMBER BELAJAR BIOLOGI SMA. Bachelors Degree (S1) thesis,
university of muhammadiyah malang.
Macdonald, A.G., 1972. Volcanoes. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey, 510 h.
Nurhidayah Abd. Madjid, Mery Napitupulu dan Irwan Said.2018. ANALISIS SULFUR (S) DAN
BESI (Fe) PADA LIMBAH CAIR PANAS PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP
(PLTU) DI KELURAHAN PANAU KECAMATAN PALU UTARA. Jurnal Akademika
Kimia 7(1): 46-50, February 2018.
Kartiyani, Ika. (2006). Pengaruh Paparan Uap Sulfur Terhadap Kejadian Gingivitis (Studi Kasus
Pekerja Tambang Belerang di Gunung Welirang Kabupaten Pasuruan Jawa Timur). Artikel
Karya Tulis Ilmiah .
Pakde.2009. Seamount, Gunung Raksasa Bawah Laut. Dikutip 24 Oktober 2019 dari Dongeng
Geologi : https://geologi.co.id/2009/05/30/seamount-si-gunung-raksasa-dibawah-laut-1-
proses-terbentuknya/
Schneider, T., Y. Muthukumar, B. Hinkelmann, R. Franke, M. Doring, C. Jacob, and F. Sasse.
2012. Deciphering intracellular targets of organochalcogen based redox catalysts.
Med. Chem. Comm. 3:784-787.
Sarakbi, M.B. 2009. Natural Products and Related Compounds as Promising Antioxidants and
Antimicrobial Agents. Bioorganic Chemistry, Diplom.
Setiawan, Arief. (2012). Pengaruh Sulfur Terhadap Karakteristik Marshall Ashalatic Concrete
Wearing Course (AC-WC). Jurnal Rekayasa dan Manajemen Transportasi Vol 2 No 1.

23
Toda K, Yuki, H., Shin-Ichi, O. and Namihira, T. 2007. Micro-gas analysis system for
measurement of nitric oxide and nitrogen dioxide: respiratory treatment and respiratory
treatment and environmental mobile monitoring. Analytica Chimica Acta. 603:60–66.
USGS.2017. Volcanic gases can be harmful to health, vegetation and infrastructure. Dikutip dari
USGS science for a changing world. : https://volcanoes.usgs.gov/vhp/gas.html
Winyard, P.G., C.J. Moody, and C. Jacob. 2005. Oxidative activation of antioxidant defence.
Trends in Biochemical Sci. 30:453-461.

24

Anda mungkin juga menyukai