Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sintesis Fischer Tropsch

2.1.1 Definisi dan Reaksi Fischer Tropsch

Sintesis Fischer Tropsch adalah sebuah reaksi yang mengubah campuran gas hidrogen dan
karbon monoksida menjadi hidrokarbon. Tujuan utama dari reaksi ini adalah mendapatkan
senyawa hidrokarbon rantai panjang yang dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif
pengganti minyak bumi serta bahan-bahan kimia lainnya yang memiliki nilai tinggi. Selain
hidrokarbon berantai panjang, produk lain yang ikut terbentuk adalah hidrokarbon
beroksigen, metana, dan karbon dioksida. Reaksi kimia pembentukan senyawa-senyawa
tersebut dapat dituliskan secara sederhana menjadi:

𝑛𝐶𝑂 + 2𝑛𝐻2 → (−𝐶𝐻2 −)𝑛 + 𝑛𝐻2 𝑂 (1)


𝑛𝐶𝑂 + 2𝑛𝐻2 → 𝐶𝑛 𝐻2𝑛+2 𝑂 + (𝑛 − 1)𝐻2 𝑂 (2)
𝐶𝑂 + 3𝐻2 → 𝐶𝐻4 + 𝐻2 𝑂 (3)
𝐶𝑂 + 𝐻2 𝑂 ↔ 𝐶𝑂2 + 𝐻2 (4)
Reaksi (1) merupakan reaksi pembentukan senyawa hidrokarbon rantai panjang. Reaksi ini
merupakan reaksi utama dari serangkaian reaksi sintesis Fischer Tropsch. Reaksi (2)
merupakan reaksi pembentukan senyawa beroksigen seperti alkohol. Reaksi ini merupakan
reaksi samping yang terjadi pada kondisi temperatur tinggi (lihat bagian 2.3.1) dengan
menggunakan katalis besi.

Reaksi pembentukan metana yang ditunjukkan pada persamaan (3) sangat tidak diinginkan
terjadi pada proses sintesis Fischer Tropsch. Reaksi ini cenderung terjadi pada proses Fischer
Tropsch dengan menggunakan katalis besi. Sintesis dengan menggunakan katalis kobalt juga
cenderung menghasilkan metana apabila dilangsungkan pada temperatur tinggi.

Reaksi Water Gas Shift (WGS), persamaan (4), merupakan reaksi yang mengkonversi
senyawa CO menjadi CO2 dan H2. Reaksi ini sangat cocok dengan penggunaan batubara
sebagai bahan baku pembuatan syngas. Hal ini disebabkan produk hasil gasifikasi batubara
pada temperatur tinggi (melalui reaksi parsial oksidasi) memiliki kandungan CO yang tinggi
sehingga menghasilkan syngas dengan rasio umpan (H2/CO) rendah (kurang dari 1). Dengan
adanya reaksi WGS, sebagian CO yang terbentuk melalui gasifikasi batubara akan
terkonversi menjadi H2 (menambah jumlah H2 pada umpan) dan menghasilkan rasio umpan
lebih dari 1 (sesuai dengan rasio umpan sintesis FT).

2.1.2. Mekanisme Reaksi Fischer Tropsch

Reaksi yang terjadi pada proses sintesis Fischer Tropsch sebenarnya tidak sesederhana seperti
yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Terdapat beberapa kemungkinan jalannya
reaksi pada sintesis Fischer Tropsch. Beberapa mekanisme yang terkenal adalah mekanisme
alkil, mekanisme alkenil, mekanisme enol, dan mekanisme penambahan CO. Mekanisme-
mekanisme di atas secara umum dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) tahap inisiasi atau
tahap pembentukan monomer, (2) tahap propagasi atau tahap pembentukan rantai, dan (3)
tahap terminasi atau tahap pembentukan produk reaksi.

2.1.2.1. Mekanisme Alkil

Mekanisme penambahan alkil terdiri dari beberapa reaksi yang ditunjukkan pada

Gambar 2.1.

Inisiasi

Propagasi

Terminasi/desorpsi

Gambar 2.1 Mekanisme Alkil

Mekanisme alkil diawali dengan disosiasi senyawa CO yang teradsorp di permukaan katalis
menghasilkan C teradsorp dan O teradsorp. Senyawa O teradsorp dapat bertemu dengan 2
atom H dan terdesorpsi membentuk senyawa H2O, atau bertemu dengan atom CO dan
terdesorpsi membentuk senyawa CO2. Senyawa C teradsorp dapat bertemu dengan 2 atom H
membentuk monomer CH2, atau bertemu dengan 3 atom H membentuk senyawa CH3 yang
merupakan senyawa inisiator pembentukan rantai. Senyawa CH3 yang terbentuk dapat
bertemu dengan monomer CH2 sehingga terjadi pertumbuhan rantai (tahap propagasi). Tahap
terminasi terjadi melalui reaksi desorpsi senyawa hidrokarbon membentuk 𝛼-olefin, reaksi
hidrogenasi membentuk senyawa n-parafin, atau reaksi penambahan senyawa OH
membentuk alkohol.

2.1.2.2. Mekanisme Alkenil

Pada mekanisme alkenil, tahap inisiasi terdiri dari pembentukan monomer CH2 (tahapan
reaksi yang sama dengan tahapan reaksi pada mekanisme alkil) dan pembentukan senyawa
metilen (-C-CH2) yang akan menjadi inisiator pertumbuhan rantai. Pada tahap propagasi,
senyawa metilen bertemu dengan monomer CH2 sehingga terjadi pertumbuhan rantai. Tahap
terminasi dari mekanisme ini adalah reaksi hidrogenasi senyawa hidrokarbon yang
menghasilkan 𝛼-olefin. Reaksi-reaksi yang terlibat dalam mekanisme alkenil dapat dilihat
pada Gambar 2.2.

Inisiasi

Propagasi

Terminasi/desorpsi

Gambar 2.2 Mekanisme Alkenil

2.1.2.3. Mekanisme Enol


Mekanisme enol diawali dengan reaksi penambahan 2 atom H pada senyawa CO teradsorp
sehingga membentuk CHOH yang nantinya berperan sebagai monomer dan inisiator
pembentukan rantai. Mekanisme ini dapat menjelaskan bagaimana terbentuknya senyawa
asam, ester, alkohol, dan 𝛼-olefin. Penambahan 2 atom H pada olefin akan menghasilkan n-
parafin. Reaksi-reaksi yang terjadi dalam mekanisme ini dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Inisiasi

Propagasi

Terminasi/desorpsi

Gambar 2.3 Mekanisme Enol

2.1.2.4. Mekanisme Penambahan CO

Senyawa yang berperan sebagai monomer pada mekanisme ini adalah senyawa CO. Pada
tahap inisiasi, terjadi pembentukan senyawa CH3 yang berperan sebagai inisiator
pembentukan rantai. Rantai terbentuk akibat dari penambahan monomer CO pada alkil (R)
diikuti dengan reaksi hidrogenasi. Pada tahap terminasi, produk yang dapat terbentuk adalah
𝛼-olefin, n-parafin, aldehid, dan n-alkohol. Mekanisme reaksi ini dipercaya sebagai
mekanisme pembentukan aldehid pada sintesis Fischer Tropsch. Reaksi-reaksi yang terlibat
dalam mekanisme ini dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Inisiasi

Propagasi

Terminasi/desorpsi

Gambar 2.4 Mekanisme Penambahan CO

2.1.3. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Selektivitas FT

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap selektivitas reaksi sintesis Fischer Tropsch adalah
temperatur reaksi, komposisi gas umpan, serta katalis dan jenis promotor yang digunakan.
Temperatur reaksi secara umum memiliki pengaruh yang sama untuk semua jenis katalis,
namun memiliki kadar yang berbeda untuk setiap katalis. Pada temperatur tinggi,
kemungkinan terbentuknya senyawa hidrokarbon ringan, hidrokarbon bercabang (keton atau
aromatik), dan produk-produk terhidrogenasi semakin besar.

Pada dasarnya, komposisi gas umpan juga memiliki pengaruh terhadap jenis produk yang
dihasilkan dari sintesis FT. Semakin banyak komposisi CO dalam gas umpan, semakin
banyak terbentuk CH2 sehingga semakin tinggi kemungkinan terjadinya chain growth dan
pembentukan olefin. Sebaliknya, semakin tinggi komposisi gas H2 dalam umpan, semakin
tinggi kemungkinan terjadinya hidrogenasi sehingga lebih banyak parafin yang terbentuk.

Katalis dan jenis promotor juga memiliki pengaruh terhadap reaksi FT. Reaksi sintesis FT
akan dipengaruhi oleh jenis promotor apabila katalis besi digunakan. Pada penggunaan besi
sebagai katalis, keadaan basa pada permukaan katalis menjadi sangat penting. Keadaan basa
dapat mempengaruhi probabilitas pembentukan rantai hidrokarbon. Tingkat basa pada
permukaan katalis dapat dipengaruhi oleh jenis alkali sebagai promotor, anion yang
digunakan, dan jumlah serta jenis oksida yang ada sehingga adanya alkali sebagai promotor
akan meningkatkan kemungkinan terjadinya chain growth. Berbeda dengan besi, sintesis FT
dengan kobalt sebagai katalis tidak dipengaruhi oleh keberadaan promotor.

2.1.4. Kondisi Reaksi Sintesis Fischer Tropsch

Kondisi reaksi sintesis Fischer Tropsch dapat terbagi menjadi dua macam, yaitu proses
sintesis pada temperatur rendah (LTFT) dan proses sintesis pada temperatur tinggi (HTFT).
Proses sintesis LTFT dilakukan pada rentang temperatur 200-250 °C dengan menggunakan
katalis besi dan kobalt. Proses LTFT cenderung menghasilkan parafin dengan berat molekul
besar. Pada proses ini, penggunaan katalis besi memerlukan perbandingan syngas (H2/CO)
sebesar 1,7 sedangkan penggunaan katalis kobalt memerlukan umpan dengan perbandingan
2,15 (Dry, 2002). Reaktor yang biasa digunakan untuk proses sintesis LTFT adalah reaktor
multi tubular fixed-bed dan slurry bed.

Proses sintesis HTFT hanya cocok menggunakan katalis besi karena pada temperatur tinggi,
katalis kobalt akan menghasilkan gas metana dalam jumlah banyak. Proses sintesis HTFT
biasa dilakukan pada temperatur 300-350 °C. Proses HTFT dengan menggunakan katalis besi
memerlukan H2/CO dengan perbandingan 1,05 dengan mengasumsikan semua gas H2, CO,
dan CO2 terkonversi menjadi produk reaksi (Dry, 2002). Penggunaan besi sebagai katalis
pada reaksi FT biasanya menimbulkan reaksi samping yaitu reaksi Water Gas Shift (WGS).
Reaktor yang biasa digunakan dalam proses HTFT adalah reaktor Fixed Fluidized Bed dan
Circulating Fluidized Bed.

2.2. Katalis

2.2.1. Definisi Katalis

Katalis merupakan substansi yang menaikkan laju reaksi dengan tidak terkonsumsi secara
langsung dalam proses. Tidak terkonsumsi secara langsung dalam proses berarti bahwa dalam
kenyataannya katalis ikut bereaksi. Katalis terbagi menjadi tiga komponen, yaitu pusat aktif,
penyangga, dan promotor, yang dapat dilihat pada Gambar 2.5. Ketiga komponen tersebut
memiliki fungsi masing-masing yang menjadi karakteristik suatu katalis.
Pusat Aktif

KATALIS

Penyangga Promotor

Gambar 2.5 Komponen Katalis

1. Pusat aktif

Fungsi utama komponen pusat aktif adalah tempat berlangsungnya reaksi kimia pada katalis.
Pusat aktif merupakan bagian paling penting dalam sebuah katalis karena tanpa pusat aktif
atau rusaknya pusat aktif menyebabkan reaksi dalam katalis tidak dapat berlangsung dan
katalis tidak dapat digunakan. Luas permukaan pusat aktif merupakan faktor utama yang
mempengaruhi lamanya reaksi berlangsung. Oleh karena itu, diperlukan komponen lain
dalam katalis yang berfungsi untuk melindungi pusat aktif.

2. Penyangga

Komponen katalis penyangga dapat meningkatkan luas permukaan pusat aktif dalam katalis
sehingga reaksi dapat berlangsung di tempat yang lebih banyak. Salah satu contoh penyangga
yang seringkali digunakan untuk katalis adalah penyangga berbahan dasar platinum. Hal ini
disebabkan platinum dapat memberikan luas permukaan terbesar akibat kristalit yang
terbentuk dan menimbulkan aktivitas yang tinggi pada katalis. Selain memperluas permukaan
kontak, penyangga berfungsi sebagai permukaan yang bersifat stabil, tempat dispersi pusat
aktif, dan mencegah terjadinya sintering. Sintering adalah proses penggabungan partikel-
partikel katalis akibat adanya reaksi yang tidak diinginkan dan mengakibatkan luas
permukaan katalis akan semakin berkurang.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan penyangga. Penyangga harus tahan


terhadap perubahan suhu yang mempengaruhi kekuatan mekanik dan stabilitas termal dari
partikel katalis. Selain itu, faktor yang mempengaruhi pemilihan penyangga adalah jenis
bahan penyangga. Untuk menghasilkan penyangga terbaik, bahan yang digunakan seharusnya
dapat dimanipulasi dan menghasilkan tekstur katalis yang optimum. Contoh dari bahan
tersebut adalah alumina dan silika. Penyangga terbaik pasti memiliki luas area kontak yang
tinggi dalam pellet yang dipengaruhi oleh porositas, ukuran pori, dan distribusi ukuran.

3. Promotor

Promotor adalah zat aditif yang ditambahkan ke dalam katalis yang berfungsi untuk
mendukung komponen penyangga atau pusat aktif. Walaupun berjumlah sedikit di dalam
katalis, zat aditif dapat membantu katalis untuk mencapai aktivitas, selektivitas, atau stabilitas
yang diinginkan. Zat aditif biasanya digunakan untuk mencegah reaksi yang tidak diinginkan,
seperti pembentukan cokes, karena dapat menyumbat pori dan menutupi permukaan pusat
aktif.

2.2.2. Katalis Sintesis Fischer Tropsch

Katalis yang dapat digunakan untuk proses sintesis Fischer Tropsch adalah katalis berbahan
dasar Co, Fe, Ni, dan Ru. Masing-masing katalis memiliki kelebihannya dalam kondisi
operasi yang berbeda dan ditunjukkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Katalis Sintesis Fischer Tropsch (Storch, 1951)

Katalis Promotor Temperatur Tekanan Produk


(oC) (atm)
Fe, Co, ThO2, 150-350 1-30 Parafin dan hidrokarbon
Sintesis
Ni MgO, olefin , bervariasi dari
Fischer
Al2O3, metana hingga wax; sedikit
Tropsch
K2 O produk oxygenated
Ru 150-250 100-1000 Hidrokarbon parafin
bermassa molekul besar

Katalis Nikel (Ni) merupakan katalis yang pertama kali dikembangkan untuk proses sintesis
FT dengan promotor thoria (ThO2). Katalis ini bekerja optimum pada temperatur 170-250 oC
dengan tekanan 1-30 atm dan menghasilkan produk hidrokarbon parafin bermassa molekul
besar. Pada tahap penelitian, katalis Ni memiliki perubahan selektivitas dan menghasilkan
produk yang tidak diinginkan, yaitu nikel karbonil pada tekanan tinggi dan metana dalam
jumlah besar pada temperatur tinggi. Hal ini menyebabkan penelitian lebih lanjut untuk
katalis Ni tidak dilakukan dan perkembangan katalis beralih ke bahan dasar lain seperti Ru,
Co, dan Fe.

Ruthenium (Ru) dapat digunakan sebagai bahan dasar katalis sintesis FT dan memiliki
kelebihan paling aktif di antara katalis lainnya. Katalis Ru bekerja optimum pada temperatur
reaksi paling rendah, yaitu 150-250 oC, tekanan antara 100-1000 atm, dan produk yang
dihasilkan adalah hidrokarbon parafin bermassa molekul besar. Sebagai katalis, Ru dapat
berperan sendiri sebagai logam murni dalam reaksi tanpa promotor (Schulz,1999). Sama
dengan Ni, Ru memiliki selektivitas lebih tinggi terhadap metana pada temperatur tinggi.
Selain itu, harga katalis Ru yang mahal dan sumber logam Ru yang terbatas menyebabkan
katalis Ru hanya dikembangkan pada skala laboratorium, tidak pada skala industri.

Bahan dasar yang berpotensi untuk dikembangkan dalam skala besar (industri) adalah katalis
kobalt (Co) dan besi (Fe). Katalis kobalt sesuai digunakan pada kondisi reaksi 170-250 oC
dengan tekanan 20 atm, yaitu pada proses sintesis FT temperatur rendah. Penyangga yang
digunakan berupa Al2O3, SiO2, dan TiO2 yang bersifat stabil. Produk yang dihasilkan dari
sintesis FT menggunakan katalis Co adalah diesel dan wax berantai lurus. Proses hidrogenasi
yang terjadi dalam penggunaan katalis ini lebih besar dibandingkan dengan proses yang
terjadi pada katalis besi (Fe). Oleh karena itu, jika produk yang diharapkan berupa olefin
berantai linier, maka katalis yang digunakan dalam sintesis sebaiknya berbasis Fe (Dry,
2004). Katalis Co sesuai digunakan untuk memproduksi bahan bakar diesel dari umpan yang
berasal dari gas alam (Schulz, 1999).

Katalis Fe merupakan katalis yang dapat digunakan dalam dua kondisi proses, yaitu pada
temperatur tinggi maupun temperatur rendah. Kondisi optimum dari reaksi berkatalis Fe
adalah temperatur 200-325 oC dan tekanan 20 atm. Jenis produk yang dihasilkan memiliki
rentang yang lebar, yaitu olefin dan gasolin untuk proses temperatur tinggi (HTFT); diesel
dan wax untuk proses temperatur rendah. Reaksi samping yang ditimbulkan dari penggunaan
katalis ini adalah reaksi water shift gas (WGS). Hal ini menyebabkan umpan yang digunakan
untuk reaksi berkatalis Fe sebaiknya memiliki kandungan CO yang tinggi dan berasal dari
gasifikasi batubara atau minyak berat pada temperatur tinggi dengan reaksi parsial oksidasi
(rasio H2/CO sebesar 1.0). Harga yang murah dan selektivitas yang rendah terhadap metan
membuat katalis Fe dikembangkan dalam skala industri di samping katalis berbahan dasar
Co. Besi cenderung membentuk linier α-olefin (dengan berat molekul rendah) dan campuran
hidrokarbon teroksigenasi seperti alkohol, aldehid, dan keton (Joep, 2003).

Aktivitas katalis untuk sintesis FT harus dijaga agar tetap tinggi dengan tujuan mengurangi
time-down reaktor (memperpanjang umur reaktor) dan mengurangi konsumsi katalis (Dry,
2002). Katalis Co dan Fe memiliki potensi untuk teracuni kandungan sulfur yang berasal dari
gas sintesis sebagai umpan. Hal ini menyebabkan kadar maksimal sulfur yang boleh
dikandung oleh umpan adalah sebesar 0,02 mg/m3(STP). Perbedaan antara katalis Fe dan Co
secara umum ditunjukkan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Perbedaan Katalis Fe dan Co

Parameter Katalis Co Katalis Fe


Harga Lebih mahal Lebih murah
Umur Lebih mudah terdeaktivasi
Tidak mudah terdeaktivasi (coking, carbon deposit, iron
carbide)
Aktivitas pada konversi
Sama
rendah
Produktivitas pada
Lebih tinggi Lebih rendah
konversi tinggi
Pengaruh air terhadap
Tidak signifikan Sangat signifikan
laju reaksi
Probabilitas pembentukan
0,94 0,95
rantai
Water gas shift reaction Tidak signifikan Signifikan
Kandungan sulfur
<0,1 ppm <0,2 ppm
maksimal pada umpan
Fleksibilitas Fleksibel; selektivitas terhadap
Kurang fleksibel; rentang tekanan
metan kecil meski pada
dan temperatur kecil
temperatur tinggi
Rasio umpan (H /CO) ~2 0,5-2,5
2
Attrition resistance Bagus Kurang bagus

Katalis kobalt telah digunakan pada tahun 1932 di Fischer Tropsch Plant yang pertama oleh
Ruhrchemie. Katalis yang digunakan adalah campuran kobalt-thorium-Kieselguhr dengan
komposisi 100 Co: 18 ThO2: 100 Kieselguhr. Kieselguhr sering digunakan dalam pembuatan
katalis dan berperan sebagai penyangga pada katalis. Kieselguhr dengan bahan dasar SiO2
memiliki kelebihan:

1. Mendispersikan fasa aktif dengan baik


2. Menyediakan porositas tertentu
3. Mencegah penurunan volum bulk selama proses produksi
4. Meningkatkan produksi dan waktu aktif katalis

Selanjutnya penelitian Ruhrchemie terhadap katalis kobalt menghasilkan campuran 100 Co:
18 ThO2: 200 kieselguhr: 2 Cu. Tembaga yang digunakan pada katalis ini dapat menurunkan
temperatur reduksi dan mencegah terjadinya sintering. Namun kekurangan penggunaan
tembaga adalah dapat mempercepat kerusakan katalis itu sendiri. Jerman mencoba mengganti
sebagian penggunaan thorium dengan magnesium pada katalis komersialnya. Penelitian ini
menghasilkan katalis dengan komposisi 100 Co: 5 ThO2: 8 MgO: 200 kieselguhr dengan
umur 6 bulan dan dioperasikan pada tekanan atmosferik.

Pada tahun 1940, penelitian Roelen menghasilkan katalis kobalt dengan komposisi 100 Co:
15 Mn: 12,5 kieselguhr. Produk yang dihasilkan dari proses ini adalah parafin dalam jumlah
besar. Penggunaan katalis ini tidak sesuai untuk skala industri karena terjadi deposisi karbon
secara cepat disertai dengan kerusakan pada katalis tersebut. Pada tahun 1986, BP Fischer
Tropsch mengembangkan katalis berbasis kobalt yang toleran terhadap CO2. Adanya
interaksi antara penyangga dan kobalt meningkatkan ketahanan katalis kobalt terhadap CO2.
Selain itu, penyangga tersebut berfungsi untuk menstabilkan kobalt sehingga tetap aktif
meskipun dioperasikan pada temperatur tinggi.

Harga kobalt yang relatif mahal menyebabkan para peneliti mencari bahan dasar lain yang
lebih murah namun memiliki kinerja yang sama dengan kobalt. Bahan dasar yang dipilih
untuk dikembangkan adalah besi. US Bureau of Mines menemukan penggunaan optimum
alkali terhadap katalis besi, yaitu 0,6 K2O dari 100 Fe. Alkali dalam besi dapat menurunkan
rasio penggunaan gas umpan serta menghasilkan produk-produk beroksigen. Kaiser Wilhelm
Institute mencoba penggunaan besi-tembaga beralkali. Percobaan katalis ini pada tekanan 15
atm menghasilkan katalis dengan waktu aktif yang lebih baik dari pada katalis besi
sebelumnya. Teknik pretreatment pada katalis dapat mempengaruhi sifat katalis besi.
Reduksi katalis dengan menggunakan gas CO atau campuran gas CO-H2 menghasilkan
katalis dengan sifat lebih baik dari pada reduksi dengan hanya menggunakan gas H2. Selain
itu, reduksi dengan water gas (campuran CO dengan H2) dapat menurukan pembentukan gas
metana.

2.2.3. Katalis Fe-Co

Pada Tabel 2.2, dapat dilihat masing-masing kelebihan dan kekurangan untuk katalis besi dan
kobalt. Penggabungan kedua bahan dasar tersebut dengan komposisi yang tepat dapat
meningkatkan aktivitas dan selektivitas katalis sintesis Fischer Tropsch. Pada penelitian yang
dilakukan Mirzaei (2006), campuran Fe-Co dengan komposisi 40% Fe-60% Co
menghasilkan katalis dengan aktivitas dan selektivitas paling tinggi dibandingkan dengan
katalis berbahan dasar besi saja. Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan kobalt pada
katalis besi dapat meningkatkan selektivitas dan aktivitas katalis besi.
2.2.4. Katalis Fe-K

Pada penelitian Xiang (2007), pengaruh promotor Cu dan K terhadap katalis besi telah
diamati. Katalis besi disiapkan dengan menggunakan metode presipitasi. Ada empat jenis
katalis yang dibuat, yaitu Fe, Fe-Cu, Fe-K, dan Fe-Cu-K. Uji aktivitas katalis dilangsungkan
di dalam reaktor slurry pada tekanan 15 bar, temperatur 260 oC, H2/CO sebesar 0,67, dan
GHSV sebesar 1000 h-1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa promotor kalium
meningkatkan aktivitas dan stabilitas dari katalis besi, sedangkan promotor tembaga
menurunkan aktivitas dan stabilitas dari katalis besi. Penambahan promotor kalium dan
tembaga sekaligus ke dalam katalis besi menyebabkan aktivitas dan stabilitas katalis besi
menjadi lebih besar dari pada penambahan promotor kalium saja.

2.2.5. Katalis Fe-Co-K

Pada penelitian Mirzaei (2006), pengaruh beberapa promotor alkali terhadap katalis 40% Fe-
60% Co/15% SiO2 telah diamati. Katalis diuji di dalam reaktor unggun diam mikro pada
tekanan 1 bar, temperatur 350-500 oC, CO/H2 sebesar 0,25-1, dan GHSV sebesar 4050-5400
h-1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa katalis berpromotor kalium bekerja dengan sangat
aktif dan selektif terhadap etilen dan propilen dibandingkan dengan katalis berpromotor
lainnya. Selanjutnya, Mirzaei mencari tahu pengaruh jumlah promotor kalium yang
dimasukkan terhadap aktivitas dan selektivitas katalis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tidak ada pengaruh yang signifikan antara jumlah promotor kalium yang dimasukkan
terhadap kinerja dari katalis, namun dapat disimpulkan bahwa katalis dengan jumlah
promotor kalium sebanyak 1,5%-berat memberikan aktivitas yang lebih baik dibandingkan
dengan katalis lain.

2.2.6. Pembuatan Katalis

Katalis dapat dibuat dengan menggunakan dua metode, yaitu presipitasi dan impregnasi.
Berikut ini akan dijelaskan lebih detail mengenai kedua metode tersebut.

2.2.6.1 Presipitasi

Pembuatan katalis dengan menggunakan metode presipitasi pada dasarnya adalah


pembentukan komponen fasa aktif menjadi sol1 pada larutan dan mengontakkan sol pada

1
Fasa aktif terdispersi dalam larutan
permukaan penyangga. Pelet-pelet penyangga dimasukkan ke dalam larutan garam logam.
Kemudian larutan alkali dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam campuran tersebut disertai
dengan pengadukan yang cepat. Hal ini bertujuan untuk menghindari terbentuknya sol
berukuran besar yang dapat menghambat masuknya sol ke dalam pori-pori penyangga.
Selanjutnya penyangga yang sudah terbasahi dikeringkan pada suhu tinggi selama waktu
tertentu. Pada saat pengeringan, pemanasan yang terlalu cepat (rapid heating) tidak boleh
terjadi karena dapat menaikkan tekanan uap dalam penyangga dan menurunkan luas
permukaan katalis. Tahap selanjutnya yang dilakukan adalah kalsinasi. Pada tahap ini,
hidroksida dan karbonat yang menempel pada permukaan penyangga akan terdekomposisi
menjadi oksida dan metal yang stabil.

2.2.6.2. Impregnasi

Pada impregnasi, penyangga dimasukkan ke dalam larutan garam logam dengan volum yang
cukup untuk mengisi pori-pori dan membasahi permukaan penyangga. Penyangga biasanya
dipanaskan terlebih dahulu agar difusi solut menuju pori-pori berjalan dengan lebih cepat.
Selanjutnya, pelet-pelet penyangga yang terbasahi dikeringkan sehingga terbentuk kristal
garam pada permukaan penyangga. Proses kristalisasi yang lambat akan menghasilkan
distribusi konsentrasi yang merata pada permukaan katalis. Selanjutnya pada tahap kalsinasi,
garam yang menempel pada permukaan katalis akan diubah menjadi oksida atau metal.

2.2.7. Pembuatan Katalis Sintesis Fischer Tropsch

2.2.7.1. Pembuatan Katalis Berbasis Fe

Katalis ini dapat dibuat dengan mengimpregnasikan larutan besi(III) nitrat nonahidrat pada
penyangga γ-Al2O3. Metode yang digunakan adalah pembasahan pada tahap awal untuk
memperoleh komposisi katalis 20%-berat Fe. Setelah itu katalis yang telah diimpregnasi
dikeringkan pada suhu 110oC selama 24 jam yang selanjutnya dilakukan kalsinasi pada udara
bersuhu 350oC selama 3 jam. (Pansanga, 2007)

2.2.7.2. Pembuatan Katalis Berbasis Co dengan Metode Impregnasi

Katalis berbasis Co dapat dibuat dengan metode impregnasi, yaitu menambahkan larutan
kobalt (II) nitrat nonahidrat ke dalam penyangga kering Al2O3 hingga semua pori penyangga
terbasahi. Proses pembuatan katalis kobalt dengan metode ini membutuhkan parameter-
parameter yang harus selalu diperhatikan, seperti temperatur dan waktu pengeringan
penyangga, laju penambahan larutan impregnasi, temperatur dan waktu pengeringan katalis.
(Khodakov, 2007)

2.2.7.3. Pembuatan Katalis bimetal Fe-Co dengan Metode Ko-presipitasi

1. Metode 1 (Mirzaei, 2006)

Pembuatan kombinasi katalis besi dan kobalt dapat dilakukan dengan metode kopresipitasi.
Larutan Fe(NO3)3.9H2O (0,5 mol/L) dan Co(NO3)2.6H2O (0,5 mol/L) dicampurkan dalam
komposisi 40%-60% berat. Kemudian penyangga SiO2 dicelupkan ke dalam campuran
tersebut. Promotor (LiNO3, KNO3, RbNO3, dan (MgNO3)2.6H2O) kemudian dimasukkan ke
dalam larutan dalam jumlah sedikit. Presipitat yang terbentuk selanjutnya dikeringkan pada
suhu 110 °C selama 18 jam dan dikalsinasi pada suhu 600 °C selama 6 jam.

2. Metoda 2 (Cabet, 1998)

Pada metode ini, kombinasi katalis dibuat dengan mencampurkan larutan CoCl2.6H2O
sebanyak 4,02 g dan FeCl2.4H2O sebanyak 10,08 g dengan 28 ml air pada suhu ruangan.
Kemudian campuran tersebut ditambahkan ke dalam 150 ml larutan KOH mendidih sambil
diaduk. Presipitat yang terbentuk dikeringkan selama satu jam pada temperatur 152 oC.
setelah itu, presipitat disaring di cuci dengan air panas hingga muatan filtrat netral. Setelah
dicuci, presipitat di keringkan selama dua jam pada temperatur 40 oC. setelah pengeringan,
presipitat dipanaskan dengan mengguanakan gas argon pada suhu 415 oC selama 10 jam.

2.2.8. Karakterisasi katalis

Karakterisasi katalis bertujuan untuk mengetahui karakter/sifat dari katalis yang telah dibuat.
Karakter-karakter katalis yang ingin diuji meliputi luas permukaan, distribusi pori, serta
ukuran dan bentuk kristal. Beberapa metoda yang dapat dilakukan untuk mengetahui karakter
dari katalis yang telah dibuat adalah SEM, XRD, dan BET.

2.2.8.1. Scanning Electron Microscopy (SEM)

SEM merupakan metode untuk mengetahui senyawa-senyawa yang terdapat dalam katalis
yang telah dibuat (karakterisasi kristal). Metode ini menggunakan prinsip difraksi elektron.
Elektron atau proton ditembakkan ke sampel. Elektron yang dipancarkan akan ditangkap
kembali oleh detektor dan menghasilkan sebuah gambar pada cathode ray tube. Gambar yang
muncul akan menunjukkan senyawa-senyawa apa saja yang terdapat pada katalis tersebut.

Metode SEM memiliki resolusi yang sangat tinggi, bahkan dapat mendeteksi kristal-kristal
tunggal. Namun, metoda ini hanya dapat digunakan untuk mendeteksi kristal dengan ukuran
lebih besar dari 5 nm.

2.2.8.2. X-Ray Diffraction (XRD)

XRD merupakan metode yang bertujuan untuk mengetahui senyawa-senyawa yang


terkandung dalam katalis (sama seperti metoda SEM). Metode ini menggunakan sinar X
monokromatik. Sinar X monokromatik ditembakkan menuju sampel. Sampel kemudian
memantulkan cahaya kembali. Cahaya yang dipantulkan kembali akan terdifraksi, berbeda-
beda sesuai dengan senyawa yang dikenainya. Cahaya yang dipantulkan kembali akan
terekam sebagai garis-garis difraksi (dapat dilihat pada Gambar 2.6).

Gambar 2.6 Hasil X-Ray Diffraction

Lebar sempitnya garis difraksi (puncak) dipengaruhi oleh ukuran kristal. Semakin besar
ukuran kristal, semakin sempit garis difraksi. Garis difraksi yang terlalu lebar (hampir
mendekati garis lurus) akan sulit dibedakan dengan puncak yang lain. Oleh karena itu,
pengukuran dengan menggunakan XRD dibatasi hanya untuk ukuran kristal lebih dari 5 nm.

2.2.8.3. Metode Brunauer-Emmet-Teller (BET)

BET merupakan metode yang digunakan untuk mengukur luas permukaan katalis. Prinsip
dari metode ini adalah absorbsi gas secara isotermal. Gas yang digunakan biasanya adalah
gas nitrogen (N2). Gas yang dikontakkan ke padatan katalis akan terabsorb sebagian.
Perhitungan luas area spesifik dari suatu katalis diawali dengan penentuan kapasitas
monolayer katalis dengan menggunakan persamaan (5) 2:

1 𝑐 − 1 𝑃∗ 1
= + (5)
𝑃𝑠𝑎𝑡 𝑉1 𝑐 𝑃 𝑠𝑎𝑡 𝑉1 𝑐
𝑉𝑔 ( 𝑃∗ − 1)

Dengan:
𝑃∗ = tekanan pada saat kesetimbangan
𝑃 𝑠𝑎𝑡 = tekanan jenuh adsorbat pada temperatur operasi BET
𝑉𝑔 = volum gas teradsorb
𝑉1 = volum gas teradsorb pada lapisan pertama
𝑐 = konstanta BET

Konstanta BET dapat dicari dengan menggunakan persamaan (6):

𝐸1 − 𝐸𝐿
𝑐 = exp⁡( ) (6)
𝑅𝑇𝐵𝐸𝑇

Dengan:
𝐸1 = panas adsorpsi pada lapisan pertama
𝐸𝐿 = panas adsorpsi pada lapisan selanjutnya (~ panas liquefaksi)
𝑅 = konstanta gas
𝑇𝐵𝐸𝑇 = temperatur proses BET

Pengaluran 1/(V(Psat/P*-1) terhadap P*/Psat pada grafik akan menghasilkan suatu garis lurus.
Kemiringan dan intersep garis masing-masing menunjukkan nilai (c-1)/(V1.c) dan 1/(V1.c).
Setelah diketahui kemiringan dan intersep garis tersebut, nilai V1 dapat diketahui.
Selanjutnya, luas permukaan katalis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (7):

𝑚2 𝑉𝑔 × 𝑁 × 𝐴𝑚
𝑙𝑢𝑎𝑠⁡𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛⁡𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑓𝑖𝑘⁡ ( )= (7)
𝑔 𝑊 × 𝑉𝑜

Dengan:

2
Sumber :
http://203.199.213.48/1951/1/sourav_Thesis_.pdf dan
http://zumbuhllab.unibas.ch/pdf/talks/080425_Tobias_BET.pdf
𝑉𝑔 = volum gas teradsorp
𝑁 = bilangan Avogadro (6,023.1023 molekul mol-1)
𝐴𝑚 = luas permukaan dari molekul adsorbat (luas permukaan adsorpsi)
𝑊 = berat sampel
𝑉𝑜 = volum molar adsorben gas

2.3. Reaktor untuk sintesis Fischer Tropsch

Reaktor yang digunakan untuk proses sintesis Fischer Tropsch dapat dibagi berdasarkan
kondisi proses yang berlangsung, yaitu proses sintesis FT pada temperatur tinggi (HTFT) dan
proses sintesis FT pada temperatur rendah (LTFT). Kondisi proses ini menentukan bentuk
dan material yang digunakan untuk pembuatan reaktor. Masing-masing proses memiliki dua
jenis reaktor dengan bentuk dan cara kerja yang berbeda.

2.3.1. Reaktor untuk Proses Fischer Tropsch Temperatur Tinggi (HTFT)

Proses sintesis Fischer Tropsch pada reaktor ini memiliki rentang kerja temperatur antara
300-3500C. Katalis yang digunakan biasanya berbahan dasar besi (Fe) untuk memproduksi
gasolin dan olefin dengan massa molekul rendah. Jenis reaktor HTFT adalah fixed fluidized
bed (FFB) dan circulating fluidized bed (CFB) (Jakobsen, 2003), ditunjukkan pada Gambar
2.7.
(a) (b)

Gambar 2.7 (a) Reaktor fixed fluidized bed (FFB) dan (b) circulating fluidized bed (CFB)

Reaktor FFB atau dense-phase fluidized bed biasanya terdiri dari distributor gas, cyclone,
dipleg, heat exchanger, bagian terekspansi, dan baffles (ditunjukkan pada Gambar 2.7).
Aliran gas berasal dari bagian bawah reaktor, kemudian didistribusikan oleh distributor agar
tersebar merata pada bed yang terletak di atasnya. Pada bed ini dipasang heat exchanger
(dalam tube) yang berfungsi sebagai pengontrol temperatur dengan menyerap panas yang
dihasilkan oleh reaksi FT dan dapat juga berfungsi sebagai baffle. Gas yang sudah melewati
bed biasanya membawa beberapa padatan yang disebut carry over. Padatan ini selanjutnya
dipisahkan oleh cyclone yang dipasang sebelum keluaran gas sehingga gas yang dihasilkan
bersih dan padatan kembali ke bed dengan bantuan standpipe pada bagian luar cyclone dan
dipleg pada bagian dalam cyclone. Rejim aliran yang terjadi pada reaktor ini adalah rejim
smooth, bubbling, slugging, dan turbulen.

Operasi yang terjadi pada reaktor CFB atau lean-phase fluidized bed ditentukan tidak hanya
oleh laju alir gas (seperti pada FFB), tetapi sirkulasi padatan katalis juga berpengaruh
(Jakobsen, 2008). Pada reaktor ini, padatan katalis mengalami sirkulasi pada bagian riser dan
downcomer. Gas dialirkan masuk ke reaktor melalui bagian bawah riser dengan laju alir
tinggi dimana katalis padat dialirkan dari downcomer dengan alat pengontrol sehingga katalis
akan terbawa oleh gas terfluidisasi menuju bagian atas riser. Bagian atas dan bawah riser
mempengaruhi kelakuan aliran gas dan padatan dalam reaktor. Rejim yang terjadi adalah
fluidisasi cepat. Kemudian gas keluar dari bagian atas riser dan partikel padat katalis yang
terbawa akan dipisahkan oleh cyclone menuju downcomer. Pada reaktor CFB, ukuran cyclone
yang lebih besar diperlukan karena pada laju alir gas yang tinggi, partikel padatan yang
terbawa akan semakin banyak. Hal ini mempengaruhi distribusi ukuran partikel dan laju
sirkulasi padatan dalam reaktor. Downcomer mempengaruhi hold volume dan tekanan head
statik untuk sirkulasi partikel ke dalam riser.

Reaktor komersial yang digunakan pertama kali pada tahun 1950-an adalah FFB dan
diinstalasi di Brownsville, Texas, bernama FT Hydrocol plant. Kondisi operasi yang
digunakan adalah 2 MPa dan 3000C, dengan katalis Fe. Selain itu, dibangun juga reaktor FT
oleh Sasol (South African Synthetic Oil Limited) di Sasolburg, Afrika Selatan, dengan jenis
reaktor CFB dan kondisi operasi 2 MPa dan 3400C. Setelah melakukan perbaikan dan
perubahan pada proses dan katalis, reaktor ini beroperasi dengan sangat baik untuk bertahun-
tahun dan dinamakan reaktor Synthol. Dua plant baru dibangun di Secunda 25 tahun
kemudian (dengan tipe reaktor yang sama dan kondisi operasi yang lebih tinggi), diikuti
dengan pembangunan reaktor CFB di Mossgas FT complex.

Pengembangan oleh departemen R&D Sasol tetap dilakukan untuk jenis reaktor FFB,
walaupun reaktor komersial original mereka berjenis CFB dan dilakukan pada tahun 1970-an.
Adanya rumor tentang permasalahan fluidisasi yang terjadi di plant Texas menyebabkan
Sasol cepat mengembangkan reaktor komersial FFB pada tahun 1989. Pada tahun 1995-1999,
16 reaktor CFB di Secunda diganti seluruhnya oleh delapan reaktor FFB, empat dengan
diameter 8 inci dan kapasitas 470.000 tpy dan sisanya dengan diameter 10,7 inci dan
kapasitas 850.000 tpy. Kedelapan reaktor ini dinamai Sasol Advanced Synthol (SAS).
Perbandingan keuntungan penggunaan reaktor FFB dibandingkan dengan CFB ditunjukkan
pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Perbandingan reaktor FFB dan CFB

Perbedaan Reaktor FFB Reaktor CFB


40% lebih murah dibanding
Biaya konstruksi Mahal
CFB
Lebih lebar
Kapasitas (Kapasitas dapat ditingkatkan Lebih sempit
dengan penambahan koil)
Muatan katalis yang ikut
berpartisipasi dalam Seluruh katalis Hanya sebagian
reaksi
Penurunan densitas bulk
Kurang signifikan Signifikan
(akibat deposisi karbon)
Konsumsi katalis Rendah Tinggi
Dapat masuk reaktor dan Diserap terlebih dahulu oleh
Sulfur
mendeaktivasi katalis katalis bagian atas

2.3.2. Reaktor untuk Proses Fischer Tropsch Temperatur Rendah (LTFT)

Rentang kerja yang digunakan untuk proses sintesis Fischer Tropsch pada reaktor ini berkisar
antara 200-2400C. Katalis yang digunakan dalam proses ini berbasis besi dan kobalt untuk
memproduksi wax bermassa molekul tinggi dan linear. Berbeda dengan reaktor HTFT,
reaktor pada proses ini melibatkan tiga fasa berbeda yang dikontakkan, yaitu gas, padat, dan
cair. Reaktor LTFT dapat dibagi menjadi dua, yaitu Multi-Tubular Fluidized Bed Reactor
(MTFBR) dan slurry bed reactor (SBR), ditunjukkan pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Multi-Tubular Fluidized Bed Reactor (MTFBR) dan slurry bed reactor (SBR)

Multi-Tubular Fluidized Bed Reactor (MTFBR) memiliki struktur yang hampir sama dengan
reaktor FFB, hanya saja pada MTFBR terjadi kontak antara gas, cair, dan padatan. Gas
dialirkan dari bagian bawah shell sedangkan liquid dialirkan dari bagian atas shell.
Kemudian, pada bed yang berisi katalis terjadi kontak antara ketiga fasa dan dihasilkan panas
akibat reaksi yang terjadi yang diserap oleh coolant pada tube. Masing-masing aliran gas dan
cair keluar melalui bagian bawah dan atas shell, sedangkan produk yang terbentuk bercampur
dengan katalis. Namun hal ini dapat menyebabkan katalis teraglomerasi (bergabung) dan
menyebabkan gangguan pada fluidisasi. Pencegahan aglomerasi dapat dilakukan dengan
pemilihan kondisi operasi (temperatur) di bawah titik embun hidrokarbon sehingga liquid
yang dihasilkan akan terkumpul di bawah dan bersirkulasi (keluar dan kembali masuk ke
dalam reaktor) sehingga tidak bercampur dengan katalis.

Kontak antara ketiga fasa juga terjadi pada slurry bed reactor (SBR) yang ditunjukkan pada
Gambar 2.8. Dengan proses yang sama dengan yang terjadi pada MTFBR, produk yang
dihasilkan dari reaksi akan tercampur dengan katalis dan panas dari reaksi diserap oleh
coolant. Perbedaan yang paling mencolok antara kedua reaktor ini adalah pada SBR, katalis
bercampur dengan cairan hidrokarbon berat dan fasa liquid (membentuk slurry) dan produk
hidrokarbon diambil dengan memisahkan campuran liquid dan produk hidrokarbon tersebut.

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam reaktor tiga fasa adalah kondisi operasi,
kapasitas perpindahan panas, kapasitas penghilang panas, laju gas, dan laju cairan (de
Deugd,et al., 2003). Kondisi operasi yang digunakan sangat mempengaruhi reaksi yang
terjadi pada katalis dan produk serta panas yang dihasilkan oleh reaksi. Kapasitas
perpindahan panas dipengaruhi oleh laju cairan yang bersirkulasi dan kontak antara gas dan
cair. Adanya sirkulasi dapat meningkatkan nilai kapasitas perpindahan panas. Kapasitas
penghilang panas diperoleh dengan memasang tube yang berisi coolant yang berfungsi untuk
memindahkan panas dari reaksi sehingga kondisi operasi pada bed tetap terjaga pada kondisi
yang diinginkan. Perbandingan antara operasi reaktor MTFBR dibandingkan dengan SBR
ditunjukkan pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Perbandingan reaktor MTFBR dan SBR

Perbedaan Reaktor MTFB SBR


Biaya 25% lebih rendah dari SBR Tinggi
Pressure drop 4 kali lebih rendah dari SBR Tinggi (biaya kompresi gas
(biaya kompresi gas lebih tinggi)
rendah)
Katalis loading 4 kali lebih rendah Tinggi
Konsumsi katalis Lebih rendah Tinggi
Temperatur Isotermal (jika T rata-rata Tidak isotermal (jika T tinggi,
tinggi, pasti konversi tinggi) konversi belum tentu tinggi)
Penambahan/pengurangan Lebih sedikit (reaktor berjalan Sering (reaktor tidak dapat
katalis lebih lama) berjalan lama)

Plant Sasolburg FT dibangun pertama pada tahun 1955 dan terdiri dari lima reaktor
multitubular ARGE untuk produksi wax. Setiap reaktor terdiri dari 2050 buah tube, diameter
5 cm dan panjang 12 m. Kondisi operasi reaktor berada pada tekanan 2,7 MPa dan temperatur
2300C dengan kapasitas produksi 21.000 tpy. Reaktor lain milik Sasol R&D pilot plant
dibangun pada tahun 1987 pada tekanan operasi 4,5 MPa. Setelah kedua reaktor tersebut,
pada tahun 1993, plant Shell Bintuli dibangun empat reaktor multitubular dengan jumlah
tube sebanyak 10.000 dan kapasitas produksi 125.000 tpy.

SBR yang pertama digunakan untuk sintesis FT mulai dikembangkan pada tahun 1950-an,
yang kemudian pada tahun 1970-an Sasol membandingkan performansi reaktor MTFB
dengan SBR yang dimilikinya pada skala pilot. Pada tahun 1993, reaktor komersial slurry
bed dioperasikan dengan menggunakan katalis berbasis Fe dan memiliki kapasitas sebesar
100.000 tpy yang setara dengan 5 reaktor jenis ARGE.

Anda mungkin juga menyukai