Anda di halaman 1dari 45

Departemen Keperawatan Gerontik

LAPORAN PENDAHULUAN POLIO


BALAI REHABILITASI SOSIAL LANJUT USIA GAU MABAJI

Oleh:

ADELIANA, S.Kep
70900118008

PRESEPTOR LAHAN PRESEPTOR INSTITUSI

(...........................................) (...........................................)

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XIV


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2019

1
BAB I
KONSEP DASAR LANSIA
A. PENGERTIAN
Penuaan adalah suatu proses yang alamiah yang tidak dapat dihindari,
berjalan secara terus-manerus, dan berkesinambungan. Usia lanjut dikatakan
sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia sedangkan
menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No.13 Tahun 1998 Tentang Kesehatan
dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih
dari 60 tahun (Maryam, 2008).
Masa dewasa tua (lansia) dimulai setelah pensiun, biasanya antarausia
65-75 tahun. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya
dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan.
Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui
tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa, dan tua (Nugroho, 2008).
Proses penuaan dipandang sebagai sebuah proses total dan sudah dimulai
saat masa konsepsi. Meskipun penuaan adalah sebuah proses berkelanjutan,
belum tentu seseorang meninggal hanya karena usia tua. Sebab individu
memiliki perbedaan yang unik terhadap genetik, sosial, psikologik, dan faktor-
faktor ekonomi yang saling terjalin dalam kehidupannya menyebabkan
peristiwa menua berbeda pada setiap orang. Dalam sepanjang kehidupannya,
seseorang mengalami pengalaman traumatik baik fisik maupun emosional
yang bisa melemahkan kemampuan seseorang untuk memperbaiki atau
mempertahankan dirinya.

B. KLASIFIKASI
Batasan seseorang dikatakan Lanjut usia masih diperdebatkan oleh para
ahli karena banyak faktor fisik, psikis dan lingkungan yang saling
mempengaruhi sebagai indikator dalam pengelompokan usia lanjut. Proses
peneuan berdasarkan teori psikologis ditekankan pada perkembangan). World
Health Organization (WHO) mengelompokkan usia lanjut sebagai berikut :

2
1. Middle Aggge (45-59 tahun)
2. Erderly (60-74 tahun)
3. Old (75-90 tahun)
4. Very old (> 91 tahun)

C. TEORI TENTANG PROSES MENUA


1. Teori Biologik
a. Teori Genetik dan Mutasi
Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram
oleh molekul /DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami
mutasi
b. Pemakaian dan Rusak
Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah
c. Autoimune
Pada proses metabolisme tubuh , suatu saat diproduksi suatu zat
khusus. Sad jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat
tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan mati.
d. Teori stress
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan.
Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan
lingkungan internal dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah
dipakai.
e. Teori radikal bebas
Tidak stabilnya redikal bebas mengakibatkan oksidasi-oksidasi bahan
bahan organik seperti karbohidrat dan protein.radikal ini
menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi.
2. Teori Sosial
a. Teori ktifitas
Lanjut usuia yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak
dalam kegiatan sosial

3
b. Teori Pembebasan
Dengan bertambahnya usia, seseorang secara berangsur angsur mulai
melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Keadaan ini
mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara
kwalitas maupun kwantitas. Sehingga terjadi kehilangan ganda yakni :
a) Kehilangan peran
b) Hambatan kontrol social
c) Berkurangnya komitmen
c. Teori Kesinambungan
Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus
kehidupan lansia .Dengan demikian pengalaman hidup seseorang pada
usatu saat merupakan gambarannya kelak pada saat ini menjadi lansia.
Pokok-pokok dari teori kesinambungan adalah :
a) Lansia tak disarankan untuk melepaskan peran atau harus aktif
dalam proses penuaan, akan tetapi didasarkan pada
pengalamannya di masa lalu, dipilih peran apa yang harus
dipertahankan atau dihilangkan
b) Peran lansia yang hilang tak perlu diganti
c) Lansia dimungkinkan untuk memilih berbagai cara adaptasi
3. Teori Psikologi
a. Teori Kebutuhan manusia mneurut Hirarki Maslow
Menurut teori ini, setiap individu memiliki hirarki dari dalam diri,
kebutuhan yang memotivasi seluruh perilaku manusia. Kebutuhan ini
memiliki urutan prioritas yang berbeda.Ketika kebutuhan dasar
manusia sidah terpenuhi, mereka berusaha menemukannya pada
tingkat selanjutnya sampai urutan yang paling tinggi dari kebutuhan
tersebut tercapai.
b. Teori individual jung
Carl Jung (1960) Menyusun sebuah terori perkembangan kepribadian
dari seluruh fase kehidupan yaitu mulai dari masa kanak-kanak , masa
muda dan masa dewasa muda, usia pertengahan sampai lansia.

4
Kepribadian individu terdiri dari Ego, ketidaksadaran sesorang dan
ketidaksadaran bersama. Menurut teori ini kepribadian digambarkan
terhadap dunia luar atau ke arah subyektif. Pengalaman-pengalaman
dari dalam diri (introvert). Keseimbangan antara kekuatan ini dapat
dilihat pada setiap individu, dan merupakan hal yang paling penting
bagi kesehatan mental.

D. PERUBAHAN- PERUBAHAN YANG TERJADI PADA LANSIA


1. Perubahan Fisik
Meliputi perubahan dari tingkat sel sampai kesemua sistem organ tubuh,
diantaranya sistem pernafasan, pendengaran, penglihatan, kardiovaskuler,
sistem pengaturan tubuh, muskuloskeletal, gastrointestinal, genito urinaria,
endokrin dan integumen
a. Sistem pernafasan pada lansia.
1) Otot pernafasan kaku dan kehilangan kekuatan, sehingga volume
udara inspirasi berkurang, sehingga pernafasan cepat dan dangkal.
2) Penurunan aktivitas silia menyebabkan penurunan reaksi batuk
sehingga potensial terjadi penumpukan sekret.
3) Penurunan aktivitas paru ( mengembang& mengempisnya ) sehingga
jumlah udara pernafasan yang masuk keparu mengalami penurunan,
kalau pada pernafasan yang tenang kira kira 500 ml.
4) Alveoli semakin melebar dan jumlahnya berkurang ( luas permukaan
normal 50m²), menyebabkan terganggunya prose difusi.
5) Penurunan oksigen (O2) Arteri menjadi 75 mmHg menggangu prose
oksigenasi dari hemoglobin, sehingga O2 tidak terangkut semua
kejaringan.
6) CO2 pada arteri tidak berganti sehingga komposisi O2 dalam arteri
juga menurun yang lama kelamaan menjadi racun pada tubuh sendiri.
7) kemampuan batuk berkurang, sehingga pengeluaran sekret & corpus
alium dari saluran nafas berkurang sehingga potensial terjadinya
obstruksi.

5
b. Sistem persyarafan.
1) Cepatnya menurunkan hubungan persyarafan.
2) Lambat dalam merespon dan waktu untuk berfikir.
3) Mengecilnya syaraf panca indera.
4) Berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecilnya
syaraf pencium & perasa lebih sensitif terhadap perubahan suhu
dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin.
c. Perubahan panca indera yang terjadi pada lansia.
Penglihatan
1) Kornea lebih berbentuk skeris.
2) Sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar.
3) Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa).
4) Meningkatnya ambang pengamatan sinar : daya adaptasi terhadap
kegelapan lebih lambat, susah melihat dalam cahaya gelap.
5) Hilangnya daya akomodasi.
6) Menurunnya lapang pandang & berkurangnya luas pandang.
7) Menurunnya daya membedakan warna biru atau warna hijau pada
skala.
Pendengaran.
1) Presbiakusis (gangguan pada pendengaran) :
2) Hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam,
terutama terhadap bunyi suara, antara lain nada nada yang tinggi,
suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata kata, 50 % terjadi pada usia
diatas umur 65 tahun.
3) Membran timpani menjadi atropi menyebabkan otosklerosis.
4) Terjadinya pengumpulan serumen, dapat mengeras karena
meningkatnya kreatin.
Pengecap dan penghidu
1) Menurunnya kemampuan pengecap.
2) Menurunnya kemampuan penghidu sehingga mengakibatkan selera
makan berkurang.

6
Peraba
1) Kemunduran dalam merasakan sakit.
2) Kemunduran dalam merasakan tekanan, panas dan dingin.
d. Perubahan cardiovaskuler pada usia lanjut.
1) Katub jantung menebal dan menjadi kaku.
2) Kemampuan jantung memompa darah menurun 1 % pertahun sesudah
berumur 20 tahun. Hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan
volumenya.
3) Kehilangan elastisitas pembuluh darah.
4) Kurangnya efektifitasnya pembuluh darah perifer untuk oksigenasi,
perubahan posisi dari tidur keduduk (duduk ke berdiri) bisa
menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65 mmHg
(mengakibatkan pusing mendadak).
5) Tekanan darah meningkat akibat meningkatnya resistensi pembuluh
darah perifer (normal ± 170/95 mmHg ).
e. Sistem genitalia dan urinaria.
1) Ginjal, Mengecil dan nephron menjadi atropi, aliran darah ke ginjal
menurun sampai 50%, penyaringan diglomerulo menurun sampai
50%, fungsi tubulus berkurang akibatnya kurangnya kemampuan
mengkonsentrasi urin, berat jenis urin menurun proteinuria
(biasanya+1),BUN meningkat sampai 21 mg%,nilai ambang ginjal
terhadap glukosa meningkat.
2) Vesika urinaria/kandung kemih, Otot otot menjadi lemah,
kapasitasnya menurun sampai 200 ml atau menyebabkan frekwensi
BAK meningkat, vesika urinaria susah dikosongkan pada pria lanjut
usia sehingga meningkatnya retensi urin.
3) Pembesaran prostat ± 75 % dimulai oleh pria usia diatas 65 tahun.
4) Atropi vulva.
5) Vagina, Selaput menjadi kering, elastisotas jaringan menurun juga
permukaan menjadi halus, sekresi menjadi berkurang, reaksi sifatnya
lebih alkali terhadap perubahan warna.

7
6) Daya sexual, Frekwensi sexsual intercouse cendrung menurun tapi
kapasitas untuk melakukan dan menikmati berjalan terus.
f. Sistem endokrin / metabolik pada lansia.
1) Produksi hampir semua hormon menurun.
2) Fungsi paratiroid dan sekesinya tak berubah.
3) Pituitary, Pertumbuhan hormon ada tetapi lebih rendah dan hanya ada
di pembuluh darah dan berkurangnya produksi dari ACTH, TSH, FSH
dan LH.
4) Menurunnya aktivitas tiriod turun dan menurunnya daya pertukaran
zat.
5) Menurunnya produksi aldosteron.
6) Menurunnya sekresi hormon bonads: progesteron, estrogen,
testosteron.
7) Defisiensi hormonall dapat menyebabkan hipotirodism, depresi dari
sumsum tulang serta kurang mampu dalam mengatasi tekanan jiwa
(stess).
g. Perubahan sistem pencernaan pada usia lanjut.
1) Kehilangan gigi, Penyebab utama adanya periodontal disease yang
biasa terjadi setelah umur 30 tahun, penyebab lain meliputi kesehatan
gigi yang buruk dan gizi yang buruk.
2) Indera pengecap menurun, Adanya iritasi yang kronis dari selaput
lendir, atropi indera pengecap (± 80 %), hilangnya sensitivitas dari
syaraf pengecap dilidah terutama rasa manis, asin, asam & pahit.
3) Esofagus melebar.
4) Lambung, rasa lapar menurun (sensitivitas lapar menurun ), asam
lambung menurun, waktu mengosongkan menurun.
5) Peristaltik lemah & biasanya timbul konstipasi.
6) Fungsi absorbsi melemah ( daya absorbsi terganggu ).
7) Liver (hati), Makin mengecil & menurunnya tempat penyimpanan,
berkurangnya aliran darah.

8
h. Sistem muskuloskeletal
1) Tulang kehilangan densikusnya Ù rapuh.
2) Resiko terjadi fraktur.
3) Kyphosis.
4) Persendian besar & menjadi kaku.
5) Pada wanita lansia > resiko fraktur.
6) Pinggang, lutut & jari pergelangan tangan terbatas.
7) Pada diskus intervertebralis menipis dan menjadi pendek (tinggi badan
berkurang ).
i. Perubahan sistem kulit & karingan ikat.
1) Kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak.
2) Kulit kering & kurang elastis karena menurunnya cairan dan
hilangnya jaringan adiposa
3) Kelenjar kelenjar keringat mulai tak bekerja dengan baik, sehingga
tidak begitu tahan terhadap panas dengan temperatur yang tinggi.
4) Kulit pucat dan terdapat bintik bintik hitam akibat menurunnya aliran
darah dan menurunnya sel sel yang meproduksi pigmen.
5) Menurunnya aliran darah dalam kulit juga menyebabkan
penyembuhan luka luka kurang baik.
6) Kuku pada jari tangan dan kaki menjadi tebal dan rapuh.
7) Pertumbuhan rambut berhenti, rambut menipis dan botak serta warna
rambut kelabu.
8) Pada wanita > 60 tahun rambut wajah meningkat kadang kadang
menurun.
9) Temperatur tubuh menurun akibat kecepatan metabolisme yang
menurun.
10) Keterbatasan reflek menggigil dan tidak dapat memproduksi panas
yang banyak rendahnya akitfitas otot.
j. Perubahan sistem reproduksi dan kegiatan sexual.
1) selaput lendir vagina menurun/kering.
2) menciutnya ovarium dan uterus.

9
3) atropi payudara.
4) testis masih dapat memproduksi meskipun adanya penurunan secara
berangsur berangsur.
5) dorongan sex menetap sampai usia diatas 70 tahun, asal kondisi
kesehatan baik.

E. PERUBAHAN-PERUBAHAN MENTAL/ PSIKOLOGIS


Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah :
1. Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa.
2. Kesehatan umum
3. Tingkat pendidikan
4. Keturunan (herediter)
5. Lingkungan
6. Gangguan saraf panca indra, timbul kebutaan dan ketulian
7. Gangguan konsep diri akibat kehilangan jabatan
8. Rangkaian dari kehilangan yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan
keluarga.
9. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri
dan perubahan konsep diri.
Perubahan kepribadian yang drastis keadaan ini jarang terjadi lebih
sering berupa ungkapan yang tulus dari perasaan seseorang, kekakuan mungkin
oleh karena faktor lain seperti penyakit-penyakit.
Kenangan (memory) ada dua;1) kenangan jangka panjang, berjam-jam
sampai berhari-hari yang lalu, mencakup beberapa perubahan,2) Kenangan
jangka pendek atau seketika (0-10 menit), kenangan buruk.
Intelegentia Quation; 1)tidak berubah dengan informasi matematika dan
perkataan verbal, 2)berkurangnya penampilan, persepsi dan keterampilan
psikomotor terjadi perubahan pada daya membayangkan, karena tekanan-
tekanan dari faktro waktu.

10
F. PERUBAHAN SPIRITUAL
a. Reaksi berkabung / berduka berhubungan dengan ditinggal pasangan.
b. Penolakan terhadap proses penuaan berhubungan dengan tak siap dengan
kematian.
c. Marah terhadap Tuhan berhubungan dengan kegagalan yang dialami.
d. Perasaan tidak tenang berhubungan dengan ketidak mampuan ibadah
secara tepat.

11
BAB II
KONSEP DASAR MEDIS
A. PENGERTIAN
Poliomilitis adalah penyakit menular yang akut disebabkan oleh
virus dengan predileksi pada sel anterior massa kelabu sumsum tulang
belakang dan inti motorik batang otak, dan akibat kerusakan bagian
susunan syaraf tersebut akan terjadi kelumpuhan serta autropi. Huda, A.
N., & Kusuma, H. 2016
Polio adalah penyakit menular yang dikategorikan sebagai penyakit
peradaban.Polio menular melalui kontak antar manusia.Virus masuk ke
dalam tubuh melalui mulut ketika seseorang memakan makanan atau
minuman yang terkontaminasi feses. Poliovirus adalah virus RNA kecil
yang terdiri atas tiga strain berbeda dan amat menular. Virus akan
menyerang sistem saraf dan kelumpuhan dapat terjadi dalam hitungan jam.
Polio menyerang tanpa mengenal usia, lima puluh persen kasus terjadi
pada anak berusia antara 3 hingga 5 tahun. Masa inkubasi polio dari gejala
pertama berkisar dari 3 hingga 35 hari. Maryunani, Anik. 2014.

B. ETIOLOGI
Polio disebabkan virus poliomyelitis. Satu dari 200 infeksi
berkembang menjadi kelumpuhan. Sebanyak 5-10 persen pasien lumpuh
meninggal ketika otot-otot pernapasannya menjadi lumpuh.Kebanyakan
menyerang anak-anak di bawah umur tiga tahun (lebih dari 50 persen
kasus), tapi dapat juga menyerang orang dewasa. Pencegahan dengan
vaksinasi secara berkala, idealnya pada masa kanak-kanak. Penularan
polio : Maryunani, Anik. 2014.
a. Virus masuk ke tubuh melalui mulut, bisa dari makanan atau air yang
tercemar virus.
b. Virus ditemui di kerongkongan dan memperbanyak dirinya di dalam
usus.

12
Menyerang sel-sel saraf yang mengendalikan otot, termasuk otot yang
terlibat dalam pernapasan. Penyebab poliomyelitis Family Pecornavirus
dan Genus virus,dibagi 3 yaitu:
a. Brunhilde
b. Lansing
c. Leon
Dapat hidup berbulan-bulan di dalam air, mati dengan
pengeringan/oksidan. Masa inkubasi : 7-10-35 hari.
Klasifikasi virus:
a. Golongan : Golongan IV ( (+) ssRNA )
b. Familia : Picornaviridae
c. Genus : Enterovirus
d. Spesies : Polioviru

C. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan Gejala
Tanda –tanda klinik yang timbul kemudian akan sesuai dengan
kerusakan anatomic yang terjadi biasanya masa inkubasi adalah 3-6 hari
prodromal dan kelumpuhan terjadi dalam waktu 7-21 hari. Replikasi di
motor neuron sumsum tulang belakang akan menimbulkan kerusakan sel
dan kelumpuhan serta atrofi otot sedangkan virus yang menyebar ke
batang otak akan berakibat kelumpuhan bulbar dan pernafasan. Selain
gejala klinik yang akut juga dikenal adanya post polio syndrome ( PPS)
yang gejala kelumpuhannya terjadi bertahun-tahun setelah infeksi virus
akut.
Poliomelitis dapat dibagi menjadi empat yaitu:
1. Poliomielitis asimtomatis
Setelah masa inkubasi 7-10 hari, tidak terdapat gejala karena daya
tahan tubuh cukup baik, maka tidak terdapat gejala klinik sama
sekali. Pada suatu epidemi diperkirakan terdapat pada 90-95%
penduduk dan menyebabkan imunitas terhadap virus tersebut.

13
2. Poliomielitis abortif
Diduga secara klinik hanya pada daerah yang terserang epidemi
terutama yang diketahui kontak denga pasien poliomeilitis yang
jelas. Diperkirakan terdapat 4-8% penduduk pada suatu epidemi .
Timbul mendadak berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari.
Gejela berupa malaise, anoreksia, nause, muntah, nyeri kepala,
nyeri tenggorokan, konstipasi dan nyeri obdemen.
3. Poliomielitis non paralitik
Gejala klinik hampir sama dengan poliomyelitis abortif, hanya
nyeri kepala, nausea dan muntah lebih hebat. Gejala ini timbul 1-2
hari kadang-kadang diikuti penyembuhan sementara untuk
kemudian remisi demam atau masuk ke dalam fase 2 dengan nyeri
otot.Khas untuk penyakit ini dengan hipertonia, mungkin
disebabkan oleh lesi pada batang otak, ganglion spinal dan
kolumna posterior.
4. Poliomielitis paralitik
Gejala sama pada poliomyelitis non paralitik disertai kelemahan
satu atau lebih kumpulan otot skelet atau cranial. Timbul paralysis
akut pada bayi ditemukan paralysis fesika urinaria dan antonia
usus. Adapun bentuk-bentuk gejalanya antara lain :
a) Bentuk spinal: Gejala kelemahan/paralysis atau paresis otot
leher, abdomen, tubuh, diafragma, thorak dan terbanyak
ekstremitas.
b) Bentuk bulbar: Gangguan motorik satu atau lebih syaraf
otak dengan atau tanpa gangguan pusat vital yakni
pernapasan dan sirkulasi.
c) Bentuk bulbospinal: Didapatkan gejala campuran antara
bentuk spinal dan bentuk bulbar.
d) Bentuk ensefalitik: Dapat disertai dengan gejala delirium,
kesadaran menurun, tremor dan kadang- kadang kejang.

14
D. KLASIFIKASI POLIO
Jenis polio, yaitu sebagai berikut:
a. Polio non-paralisis
Polio non-paralisis menyebabkan demam, muntah, sakit perut, lesu, dan
sensitif. Terjadi kram otot pada leher dan punggung, otot terasa lembek
jika disentuh.
b. Polio paralisis spinal
Strain poliovirus ini menyerang saraf tulang belakang, menghancurkan
sel tanduk anterior yang mengontrol pergerakan pada batang tubuh dan
otot tungkai. Meskipun strain ini dapat menyebabkan kelumpuhan
permanen, kurang dari satu penderita dari 200 penderita akan
mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan paling sering ditemukan terjadi
pada kaki. Setelah virus polio menyerang usus, virus ini akan diserap
oleh pembulu darah kapiler pada dinding usus dan diangkut seluruh
tubuh.
c. Polio bulbar
Polio jenis ini disebabkan oleh tidak adanya kekebalan alami sehingga
batang otak ikut terserang. Batang otak mengandung syaraf motorik
yang mengatur pernapasan dan saraf kranial, yang mengirim sinyal ke
berbagai syaraf yang mengontrol pergerakan bola mata; saraf trigeminal
dan saraf muka yang berhubungan dengan pipi, kelenjar air mata, gusi,
dan otot muka; saraf auditori yang mengatur pendengaran; saraf
glossofaringeal yang membantu proses menelan dan berbagai fungsi di
kerongkongan; pergerakan lidah dan rasa; dan saraf yang mengirim
sinyal ke jantung, usus, paru-paru, dan saraf tambahan yang mengatur
pergerakan leher. Tanpa alat bantu pernapasan, polio bulbar dapat
menyebabkan kematian. Lima hingga sepuluh persen penderita yang
menderita polio bulbar akan meninggal ketika otot pernapasan mereka
tidak dapat bekerja. Kematian biasanya terjadi setelah terjadi kerusakan
pada saraf kranial yang bertugas mengirim ‘perintah bernapas’ ke paru-
paru.

15
E. PATOFISIOLOGI
Virus biasanya memasuki tubuh melalui rongga orofaring dan
berkembang biak dalam traktus digestivus,kelenjar getah bening regional
dan system retikuloendoteal dalam keadaan ini timbul :
a. Perkembangan virus sehingga tubuh akan membentuk antibody
spesifik.
b. Apabila zat antibody dalam tubuh mencukupi dan cepat maka virus
akan dinetralisasi sehingga hanya timbul gejala klinik yang ringan
atau tidak timbul gejala sama sekali sehingga tubuh timbul imunitas
terhadap virus tersebut.
c. Dan apabila proliferasi virus lebih cepat dari pembentukan zat
antibody tersebut maka akan timbul gejala klinik atau viremia
kemudian virus akan terdapat dalam faeses penderita dalam beberapa
minggu lamanya.
Pada umumnya virus yang tertelan akan menginfeksi di epitel
orofaring,tonsil,kelenjar limfe pada leher dan usus kecil/halus. Faring akan
segera terkena setelah virus masuk dan karena virus tahan terhadap asam
lambung maka virus dapat mencapai saluran cerna bagian bawah tanpa
perlu proses in aktivasi. Dari faring setelah bermultiplikasi virus akan
menyebar pada jaringan limfe tonsil yang berlanjut pada aliran limfe dan
pembuluh darah. Virus dapat dideteksi pada nasofaring setelah 24 jam
sampai 3-4 minggu. Infeksi susunan saraf pusat dapat terjadi akibat
viremia yang menyusul replikasi cepat virus ini. Virus polio menempel
dan berkembang biak pada sel usus yang mengandung PVR ( PolioVirus
Reseptor) dalam waktu sekitar 3 jam setelah infeksi telah terjadi
kolonisasi. Sel yang menganduk PVR tidak hanya di usus dan tenggorok
saja akan tetapi terdapat di sel monosit dan sel neuro motor di SSP, sekali
terjadi perkaitan antara virion dan replikator akan terjadi integrasi RNA ke
dalam virion berjalan cepat sehingga dari infeksi sampai pelepasan virion
baru hanya memerlukan waktu 4-5 jam. Sedang virus yang bereplikasi
secara local kemudian menyebar pada monosit dan kelenjar limfe yang

16
terkait. Perlekatan dan penetrasi virus dapat dihambat oleh secretory IgA
lokal, kejadian neuropati pada poliomyelitis merupakan akibat langsung
dari multiplikasi virus di jaringan saraf,itu merupakan gejala yang
patognomonik namun tidak semua saraf yang terkena akan mati keadaan
reversibillitas fungsi sebagian disebabkan karena sprouting dan seolah
kembali seperti sediakala dalam waktu 3 – 4 minggu setelah onset.
Terdapat kelainan perivaskular dan infiltrasi interstisiel sel glia, secara
histology pada umumnya kerusakan saraf yang terjadi luas namun tidak
sejalan dengan gejala klinisnya. Wong, Donna L. 2013
Lesi saraf pada kasus poliomyelitis dapat ditemukan pada ;
a. Medula spinalis terutam didaerah kornu anterior,sedikit didaerah
kornu intermediet & dorsal serta di ganglia radiks dorsalis.
b. Medulla oblongata (nuclei vestibularis,nuclei saraf cranial dan
formation retikularis yang merupakan pusat-pusat vital).
c. Serebelum (hanya di nuclei bagian atas dan vermis)
d. Otak tengah/mid brain terutama pada massa kelabu,substansia nigra
kadang-kadang substansia rubra.
e. Thalamus dan hipotalamus
f. Palidum
g. Korteks serebri bagian motorik.
Gambaran patologik menunjukkan adanya reaksi peradangan pada
system retikuloendoteal terutama jaringan limfe, kerusakan terjadi pada sel
motor neuron karena virus bersifat sangat neuronotropik,tetapi tidak
menyerang neuroglia,myelin atau pembuluh darah besar. Terjadi juga
peradangan pada sekitar sel yang terinfeksi dehingga kerusakan sel makin
luas. Kerusakan pada sumsum tulang belakang terutama pada anterior horn
cell/kornu anterior,pada otak kerusakan terutama terjadi pada sel motor
neuron formasi dari pons dan medulla,nuclei vestibules,serebelum sedang
lesi pada kortex hanya merusak daerah motor dan premotor saja. Pada
jenis bulbar lesi terutama mengenai medulla yang berisi nuklai motor dari

17
saraf otak, replikasi pada sel motor neuron di SSP yang akan
menyebabkan kerusakan permanen. Wong, Donna L. 2003

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
a) Viral isolation
Polio virus dapat di deteksi secara biakan jaringan, dari
bahan yang di peroleh pada tenggorokan satu minggu
sebelum dan sesudah paralisis dan tinja pada minggu ke 2-6
bahkan 12 minggu setelah gejala klinis.
b) Uji serologi
Uji serologi dilakukan dengan mengambil sampel darah
dari penderita, jika pada darah ditemukan zat antibodi polio
maka diagnosis orang tersebut terkena polio benar.
Pemeriksaan pada fase akut dapat dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan antibodi immunoglobulin M (IgM)
apabila terkena polio akan didapatkan hasil yang positif.
c) Cerebrospinal Fluid (CSF)
Cerebrospinal Fluid pada infeksi poliovirus terdapat
peningkatan jumlah sel darah putih yaitu 10-200 sel/mm3
terutama sel limfosit, dan terjadi kenaikan kadar protein
sebanyak 40-50 mg/100 ml
2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan ini hanya menunjang diagnosis poliomielitis
lanjut.Pada anak yang sedang tumbuh, di dapati tulang yang
pendek, osteoporosis dengan korteks yang tipis dan rongga
medulla yang relative lebar, selain itu terdapat penipisan epifise,
subluksasio dan dislokasi dari sendi.

18
G. PENATALAKSANAAN MEDIK
1. Medis

Tidak ada pengobatan yang spesifik , penanganaan dilakukan secara


simtomatis dan suportif. pengobatan yang di lakukan secara umum dalam
mencegah penyakit tersebut yaitu:

a) Istrahat
b) Antipiretik (dosisnya 15-20 mg)
c) Analgesik (dosisnya 15-20 mg)
Diberikan secara oral
1. Poliomielitis abortif
Pengobatannya:
a) Cukup di berikan analgetika dan sedatifa
b) Diet adekuat
c) Istrahat sampai suhu tubuh normal
2. Poliomielitis non paralitik
Pengobatannya:
a) Sama seperti pada tipe abortif
b) Selain di beri analgetik dan sedatif dapat di kombinasi
dengan kompres hangat selama 15-30 menit, setiap 2-4
jam.
3. Poliomielitis parilitik
Pengobatannya:
a) Membutuhkan perawatan di rumah sakit
b) Istrahat total minimal 7 hari atau sedikitnya sampai fase
akut di lampaui
c) Selama fase akut kebersihan mulut di jaga
d) Fisioterapi di lakukan sedini mungkin sesudah fase akut
mulai dengan latihan pasif dengan maksud untuk
mencegah terjadinya deformitas

19
4. Poliomielitis bulbar
Pengobatannya:
a) Memerlukan inkubasi endotrakea
b) Menjaga saluran nafas
c) Menghindari aspirasi sekret yang tidak dapat di telan
2. keperawatan
Penatalaksanaan untuk mencegah penularan klien perlu dirawat di
kamar isolasi dengan perangkat lengkap kamar isolasi dan memerlukan
pengawasan yang teliti. Mengingat bahwa virus polio juga terdapat pada
feses Klien maka bila membuang feses harus betul-betul ke dalam lobang
WC dan disiram air sebanyak mungkin. Kebersihan WC/sekitarnya harus
diperhatikan dan dibersihkan dengan desinfektan.Masalah Klien yang
perlu diperhatikan bahaya terjadi kelumpuhan, gangguan psikososial, dan
kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.

Menganjurkan klien tidur selama 2 minggu/lebih bergantung pada


jenis penyakit bentuk polio.Karena Klien merasakan sakit pada otot yang
sarafnya terkena maka Klien tidak mau bergerak sendiri. Oleh karena itu
Klien ditolong di atas tempat tidur dengan hati-hati misalnya mau
memasang pot, atau bila akan mengubah posisi angkatlah dahulu
kaki/anggota yang sakit dan orang lain memasangkan pot atau
membereskan alat tenun. Ngastiyah. 2015

H. PENCEGAHAN DAN PERAWATAN DEMENSIA


1. Imunisasi

a) Pengertian Imunisasi Polio


Imunisasi polio adalah imunisasi yang diberikan untuk
menimbulkan kekebalan terhadap penyakit poliomielitis yaitu
penyakit radang yang menyerang syaraf dan dapat mengakibatkan
lumpuh kaki (Anik Maryunani, 2010).

20
b) Jadwal Pemberian
Imunisasi polio diberikan sebanyak empat kali dengan selang
waktu tidak kurang dari satu bulan. Saat lahir (0 bulan), dan
berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan. Dilanjutkan pada usia 18 bulan dan
5 tahun. Kecuali saat lahir, pemberian vaksin polio selalu dibarengi
dengan vaksin DPT.
c) Cara Pemberian
Cara pemberian imunisasi polio bisa lewat suntikan (Inactivated
Poliomyelitis Vaccine/IPV), atau lewat mulut (Oral Poliomyelitis
Vaccine/OPV).Di Indonesia yang digunakan adalah OPV, karena
lebih aman. OPV diberikan dengan meneteskan vaksin polio
sebanyak dua tetes langsung kedalam mulut anak atau dengan
menggunakan sendok yang dicampur dengan gula manis. Imunisasi
polio diberikan 4 x dengan jarak minimal 4 minggu.
d) Efek Samping
Hampir tak ada. Hanya sebagian kecil saja yang mengalami
pusing, diare ringan, dan sakit otot.
e) Tingkat Kekebalan
Dapat mencapail hingga 90%.Pemberian imunisasi polio untuk
memutus rantai penularan virus polio.
f) Kontra Indikasi
Tak dapat diberikan pada anak yang menderita penyakit akut atau
demam tinggi (diatas 380C), muntah atau diare, penyakit kanker
atau keganasan, HIV/AIDS, sedang menjalani pengobatan radiasi
umum, serta anak dengan mekanisme kekebalan terganggu.

2. Vaksin Polio

a) Inactived Poliomyelitis Vaccine (IPV)


IPV dihasilkan dengan cara membiakkan virus dalam media
pembiakkan, kemudian dibuat tidak aktif (inactivated) dengan
pemanasan atau bahan kimia. Karena IPV tidak hidup dan tidak

21
dapat replikasi maka vaksin ini tidak dapat menyebabkan penyakit
polio walaupun diberikan pada anak dengan daya tahan tubuh yang
lemah.
Vaksin yang dibuat oleh Aventis Pasteur ini berisi tipe 1, 2, dan 3
dibiakkan pada sel-sel VERO ginjal kera dan dibuat tidak aktif
dengan formadehid.Selain itu dalam jumlah sedikit terdapat
neomisin, streptomisin dan polimiksin.IPV harus disimpan pada
suhu 2 – 8 C dan tidak boleh dibekukan. Pemberian vaksin tersebut
dengan cara suntikan subkutan dengan dosis 0,5 ml diberikan
dalam 4 kali berturut-turut dalam jarak 2 bulan.
b) Oral Polio Vaccine (OPV)
Vaksin OPV pemberiannya dengan cara meneteskan cairan melalui
mulut. Vaksin ini terbuat dari virus liar (wild) hidup yang
dilemahkan. Komposisi vaksin tersebut terdiri dari virus Polio tipe
1, 2, dan 3 adalah suku Sabin yang masih hidup tetapi sudah
dilemahkan (attenuated). Vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan
ginjal kera dan distabilkan dalam sucrosa. Tiap dosis sebanyak 2
tetes mengandung virus tipe 1, tipe 2, dan tipe 3 serta antibiotika
eritr omisin tidak lebih dari 2 mcg dan kanamisin tidak lebih
dari 10 mcg.

Virus dalam vaksin ini setelah diberikan 2 tetes akan


menempatkan diri di usus dan memacu pembentukan antibodi baik
dalam darah maupun dalam dinding luar lapisan usus yang
mengakibatkan pertahan lokal terhadap virus polio liar yang akan
masuk. Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh pada respon
antibodi terhadap OPV dan imunisasi tidak boleh ditunda karena
hal ini. Setelah diberikan dosis pertama dapat terlindungi secara
cepat, sedangkan pada dosis berikutnya akan memberikan
perlindungan jangka panjang. Vaksin ini diberikan pada bayi baru
lahir 2, 4, 6, 18 bulan, dan 5 tahun.

22
Gejala yang umum terjadi akibat serangan virus
polio adalah anak mendadak lumpuh pada salah satu anggota
geraknya setelah demam selama 2-5 hari.Terdapat 2 jenis vaksin
yang beredar dan di Indonesia yang umum diberikan adalah vaksin
sabin (kuman yang dilemahkan). Cara pemberiannya melalui
mulut. Dibeberapa negara dikenal pula tetravaccine yaitu
kombinasi DPT dan polio. Imunisasi dasar diberikan sejak anak
baru lahir atau berumur beberapa hari atau selanjutnya diberikan
setiap 4-6 minggu.Pemberian vaksin polio dapat dilakukan
bersamaan dengan BCG, vaksin hepatitis B, dan DPT. Imunisasi
ulang diberikan bersamaan dengan imunisasi ulang DPT, pmberian
imunisasi polio dapat menimbulkan kekebalan aktif terhadap
penyakit poliomyelitis. Imunisasi polio.

Imunisasi ulang dapat diberikan sebelum anak masuk


sekolah (5-6 tahun) dan saat meninggalkan sekolah dasar (12
thun).Cara memberikan imunisasi polio adalah dengan meneteskan
vaksin polio sebanyak dua tetes langsung ke dalam mulut
anak.Imunisasi ini jangan diberika pada anak yang sedang diare
berat, efek samping yang terjadi sangat minimal dapat berupa
kejang. Ngastiyah. 2005

3. Pencegahan

yang amat penting dengan perbaikan sanitasi, setiap keluarga harus


memiliki sarana air bersih, sarana sanitasi seperti jamban, pembuangan air
limbah rumah tangga, pembuangan sampah yang tertib. Dengan
mewujudkan rumah sehat dan lingkungan yang sehat maka akan dapat
mencegah penyakit berbasis lingkungan termasuk polio.

23
PATWAY

Poli virus PV (Genus Enterovirus dan family Picorna viridae)

Virus menular melalui kotoran (feses) atau sekret tenggorokan orang yang
terinfeksi

Masuk kedalam tubuh melalui mulut

Menginfeksi saluran tenggorokan dan usus (berkembang biak)

Virus memasuki aliran darah Timbul verimia virus

Nyeri
Virus menyerang sistem saraf pusat akut Proses peradangan

Melemahnya otot Otot pernapasan Hipertermia


(Motorik)

Ansietas Kelumpuhan (paralysis) Akumulasi sekret Mual & muntah

Bersihan jalan napas Resiko defisit nutrisi


Gangguan mobilitas
tidak efektif
fisik

Kelemahan otot abdomen

Konstipasi

24
BAB II
KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN

a) Identitas
Nama, tanggal lahir, agama, umur, alamat, suku bangsa.
b) Riwayat keperawatan
Riwayat pengobatan penyakit-penyakit dan riwayat imunitas
c) Pemeriksaan fisik (data fokus)
1) Keadaan umum
a) Tingkat kesadaran (apatis, sopor, koma, gelisah, kompos mentis
yang bergantung pada keadaan klien).
b) Kesakitan atau keadaan penyakit (akut, kronis, ringan, sedang, dan
paa kasus osteomielitis biasanya akut).
c) Tanda-tanda vital : Terdapat peningkatan suhu tubuh.
2) Kepala dan leher : Terdapat nyeri kepala dan otot leher mengalami
kram / kaku dan terdapat nyeri saat menelan.
3) Axila : Axila teraba hangat.
4) Abdomen: Adanya nyeri tekan
5) Ekstremitas: Adanya paralysis atau kaku/kram.
6) Pemeriksaan fisik pada ekstremitas dilakukan dengan :
1) Pada Bayi
a) Perhatikan posisi tidur. Bayi normal menunjukkan posisi
tungkai menekuk padalutut dan pinggul. Bayi yang lumpuh
akan menunjukkan tungkai lemas dan lutut menyentuh tempat
tidur.
b) Lakukan rangsangan dengan menggelitik atau menekan dengan
ujung pensil padatelapak kaki bayi. Bila kaki ditarik berarti
tidak terjadi kelumpuhan.

25
c) Pegang bayi pada ketiak dan ayunkan. Bayi normal akan
menunjukkan gerakan kaki menekuk, pada bayi lumpuh
tungkai tergantung lemas.
2) Anak besar
a) Mintalah anak berjalan dan perhatikan apakah pincang atau
tidak.
b) Mintalah anak berjalan pada ujung jari atau tumit. Anak yang
mengalamikelumpuhan tidak bisa melakukannya.
c) Mintalah anak meloncat pada satu kaki. Anak yang lumpuh tak
bisa melakukannya.Mintalah anak berjongkok atau duduk di
lantai kemudian bangun kembali. Anak yang mengalami
kelumpuhan akan mencoba berdiri dengan berpegangan
merambat pada tungkainya.
d) Tungkai yang mengalami lumpuh pasti lebih kecil.

d) Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium
a) Viral isolation
Polio virus dapat di deteksi secara biakan jaringan, dari bahan yang
di peroleh pada tenggorokan satu minggu sebelum dan sesudah
paralisis dan tinja pada minggu ke 2-6 bahkan 12 minggu setelah
gejala klinis.
b) Uji serologi
Uji serologi dilakukan dengan mengambil sampel darah dari
penderita, jika pada darah ditemukan zat antibodi polio maka
diagnosis orang tersebut terkena polio benar. Pemeriksaan pada
fase akut dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan antibodi
immunoglobulin M (IgM) apabila terkena polio akan didapatkan
hasil yang positif.
c) Cerebrospinal Fluid (CSF)

26
Cerebrospinal Fluid pada infeksi poliovirus terdapat peningkatan
jumlah sel darah putih yaitu 10-200 sel/mm3 terutama sel limfosit,
dan terjadi kenaikan kadar protein sebanyak 40-50 mg/100 ml
(Paul,2004).
2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan ini hanya menunjang diagnosis poliomielitis lanjut.Pada
anak yang sedang tumbuh, di dapati tulang yang pendek, osteoporosis
dengan korteks yang tipis dan rongga medulla yang relative lebar,
selain itu terdapat penipisan epifise, subluksasio dan dislokasi dari
sendi.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1) BERSIHAN JALAN NAFAS TIDAK EFEKTIF


Adalah Ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi dari
saluran pernafasan untuk mempertahankan kebersihan jalan nafas.
Faktor resiko
a. Dispnea
b. Suara napas tambahan
c. Perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan
d. Batuk tidak ada atau tidak efektif
e. Sianosis
f. Kesulitan untuk berbicara
g. Penurunan suara napas
h. Ortopnea
i. Gelisah
j. Sputum berlebihan
k. Mata terbelalak

27
kondisi terkait
a. Lingkungan; merokok, menghisap asap rokok, perokok pasif
b. Obstruksi jalan napas; terdapat benda asing dijalan napas,
spasme jalan napas.
c. Fisiologis; kelainan dan penyakit

2) HIPERTERMIA

Adalah Peningkaan suhu tubuh di atas rentang normal.


Faktor resiko
a. Kulit merah
b. Suhu tubuh meningkat di atas rentang normal (frekuensi napas
meningkat).
c. Kejang atau konvulsi
d. (kulit) teraba hangat
e. Takikardi
f. Takipnea
kondisi terkait
a. Dehidrasi
b. Penyakit atau trauma
c. Ketidakmampuan atau penurunan kemampuan untuk berkeringat
d. Pakaian yang tidak tepat
e. Peningkatan laju metabolisme
f. Obat atau anestesi
g. Terpajan pada lingkungan yang panas (jangka panjang) Aktifitas
yang berlebihan

3) NYERI AKUT
Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang muncul
akibat kerusakan jaringan aktual atau potensial atau yang di gambarkan
sebagai kerusakan (internasional association for the study of pain); awitan

28
yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir
yang dapat diantisipasi atu diprediksi
Faktor resiko
a. Bukti nyeri dengan mengunakan standar daftar periksa nyeri
untuk pasien yang tidak dapat mengungkapkannya (mis.,
neonatal infant pain scale, pain assessment check list for senior
with limited abilitd to comunicate).
b. Diforesis
c. Dilatasi pupil
d. Ekspresi wajah nyeri (mis., mata kurang bercahaya, tampak
kacau, gerakan mata berpencar atau tetap pada satu fokus,
meringis).
e. Fokus menyempit (mis., persepsi waktu, proses berpikir,
interaksi dengan orang dengan lingkungan).
f. Fokus pada diri sendiri.
g. Keluhan tentang intensitas menggunakan standar skala nyeri
(mis., skala Wong-Baker FACES skala analog visual, skala
penilaian numerik).
h. Keluhan tentang karakteristik nyeri dengan menggunakan
standar instrumen nyeri (mis., McGill Paint Questionnaire, Brief
Paint Infentory).
i. Laporan tentang perilaku nyeri/perubahan aktifitas (mis.,
anggota keluarga, pemberi asuhan).
j. Mengekspresikan perilaku (mis., gelisa, merengek, menangis,
waspada).
k. Perilaku distraksi.
l. Perubahan pada parameter fisiologis (mis., tekanan darah,
frekuensi jantung, frekuensi pernapasan, saturasi oksigen,
end/tidal karbondioksida (C02)
m. Perubahan sisi untuk menghindari nyeri
n. Perubahan selera makan

29
o. Purtus asa
p. Sikap melindungi area nyeri
q. Sikap tubuh melindungi
kondisi terkait
a. Agens cedera biologis (mis., infeksi, iskemia, neoplasma)
b. Agens cedera fisik (mis., apses, amputasi, luka bakar, terpotong,
mengangkat berat, konsedur bedah, trauma, olaragah berlebihan)
c. Agens cedera kimiawi (mis., luka bakar, kapsaisin, metilen
klorida, agen mustard).

4) GANGGUAN MOBILITAS FISIK


keterbatasan dalam pergerakan fisik mandiri dan terarah pada tubuh atau
satu ekstremitas atau lebih.
Tingkat 0 : Mandiri total
Tingkat 1 : Memerlukan penggunaan peralatan atau alat bantu
Tingkat 2 : Memerlukan bantuan orang lain untuk pertolongan,
pengawasan, atau pengajaran
Tingkat 3: Membutuhkan orang lain dan alat bantu peralatan atau alat
bantu
Tingkat 4 : ketergantungan, tidak berpartisipasi alam aktivitas
Faktor resiko
a. Penurunan waktu reaksi
b. Kesulitan membolak-balik posisi
c. Asyik dengan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan
(misalnya, peningkatan perhatian terhadap aktivitas orang lain,
perilaku mengendalikan berfokus pada kondisi sebelum sakit
atau ketunadayaan aktivitas).
d. Dipsnea saat beraktivitas
e. Perubahan cara berjalan
f. Pergerakan menyentak

30
g. Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan
motorik halus
h. Keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik
halus
i. Keterbatasan rentang pergerakan sendi
j. Tremor yang diinduksi oleh pergerakan
k. Melambatnya pergerakan
l. Gerakan tidak teratur atau tidak terkoordinasi
kondisi terkait
a. Perubahan metabolisme sel
b. IMT di atas persentil ke-75 sesuai usia
c. Gangguan kognitif
d. Kepercayaan budaya terkait aktivitas sesuai dengan usia
e. Penurunan kekuatan, kendali, atau massa otot
f. Keadaan alam perasaan depresi atau ansietas
g. Keterlambatan perkembangan
h. Ketidaknyamanan
i. Intoleransi aktivitas dan penurunan kekuatan dan ketahanan
j. Kaku sendi atau kontraktur
k. Difisiensi pengetahuan tentang nilai aktivitas fisik
l. Kurang dukungan lingkungan fisik atau sosial
m. Keterbatasan ketahanan kardiovaskular
n. Hilangnya integritas struktur tulang
o. Medikasi
p. Gangguan muskuloskeletal
q. Gangguan neuromuskular
r. Nyeri
s. Program pembatasan pergerakan
t. Keengganan untuk memulai pergerakan
u. Gaya hidup yang kurang gerak atau disuse atau melemah
v. Gangguan sensori persepsi

31
5) KONSTIPASI
Konstipasi merupakan penurunan frekuensi normal defekasi yang disertai
pengeluaran feses yang sulit atau tidak lampias atau pengeluaran feses
yang sangat keras dan kering.
Faktor resiko
a. Subjektif
1) Nyeri abdomen
2) Nyeri tekan pada abdomen dengan atau tanpa resistansi otot
yang dapat di palpasi
3) Anoreksia
4) Perasaan penuh atau tekanan pada rektum
5) Kelelahan umum
6) Sakit kepala
7) Peningkatan tekanan abdomen
8) Indigesti
9) Mual
10) Nyeri saat defekasi
b. Objektif
1) Tampilan atipikal pada lansia (misalnya, perubahan stataus
mental, inkontinensia urine, jatuh tanpa sebab jelas, dan
peningkatan suhu)
2) Darah merah segar menyertai pengeluaran feses
3) Perubahan pola suara abdomen (borborigmi)
4) Perubahan pola pada defekasi
5) Perubahan frekuensi
6) Penurunan volume feses
7) Distensi abdomen
8) Feses yang kering, keras, dan padat.
9) Bising usus hipoaktif atau hiperaktif
10) Pengeluaran feses cair

32
kondisi terkait
a. Fungsional
1) Kelemahan otot abdomen
2) Kebiasaan menyangkal dan mengabaikan desakan untuk
defekasi
3) Eliminasi ataudefekasi yang tidak adekuat (misalnya tepat
waktu, posisi saat defekasi, dan privasi)
4) Aktifitas fisik yang tidak memadai
5) Kebiasaan defekasi yang tidak teratur
6) Perubahan lingkungan baru-baru ini
b. Psikologis
1) Depresi
2) Stress emosi
3) Konfusi mental
c. Farmakologis
1) Antasida yang mengandung alumunium
2) Antikolinergis
3) Antikonvulsan
4) Antidepresan
5) Agens antilipemik
6) Garam bismuth
7) Kalsium karbonat
8) Penyekat saluran kalsium
9) Diuretik
10) Garam besi
11) Overdosis laksatif
12) Agens anti-inflamasi nonstreroid
13) Opiat
14) Fenotiazid
15) Sedatif
16) Simpatomimetik

33
d. Mekanis
1) Ketidakseimbangan elektrolit
2) Hemoroid
3) Megakolon (penyakit Horschsprung
4) Kerusakan neurologis
5) Obesitas
6) Obstruksi pascabedahan
7) Kehanilan
8) Pembesaran prostat
9) Abses atau ulkus paa rektum
10) Fisura anal rektum
11) Striktur anal rektum
12) Prolaps rektum
13) Rektokel
14) Tumor

6) ANSIETAS
Perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respons
autonom (sumber sering kali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh
individu), perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya.
Perasaan ini merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan
bahaya yang akan terjadi dan memampukan individu melakukan tindakan
untuk menghadapi ancaman.
Faktor resiko
a. Krisis situasional
b. Kebutuhan tidak terpenuhi
c. Ancaman terhadap konsep diri
d. Kurang terpapar informasi
e. Difungsi sistem keluarga
f. Ancaman terhadap kematian
g. Penyalahgunaan zat

34
kondisi terkait
a. Terpajan toksin
b. Hubungan keluarga/hereditas
c. Transmisi dan penularan interpersonal
d. Krisis situasi dan maturasi
e. Stres
f. Penyalahgunaan zat
g. Ancaman kematian
h. Ancaman atau perubahan pada status peran, fungsi peran,
lingkungan, status kesehatan, staus ekonomi, atau pola
interaksi
i. Ancaman terhadap konsep diri
j. Komflik yang tidak disadari tentang nilai dan tujuan hidup
yang esensial.
k. Kebutuhan yang tidak terpenuhi

7) RESIKO DEFISIT NUTRISI


Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
Faktor resiko
a. Berat badan 20% atau lebih di bawah rentang berat badan ideal
b. Bisisng usus hiperaktif
c. Cepat kenyang setelah makan
d. Diare
e. Gangguan sensasi rasa
f. Kehilangan rambut berlebihan
g. Kelemahan otot mengunyah
h. Kelemahan otot untuk menelan
i. Kerapuhan kapiler
j. Kesalahan informasi
k. Kesalahan persepsi
l. Ketidakmampuan memakan makanan

35
m. Kram abdomen
n. Kurang informasi
o. Kurang minat pada makanan
p. Membran mukosa pucat
q. Nyeri abdomen
r. Peurunan berat badan dengan asupan makanan adekuat
s. Sariawan rongga mulut
t. Tonus otot menurun.
kondisi terkait
a. Faktor biologis
b. Faktor ekonomi
c. Gangguan psikososial
d. Ketidakmampuan makan
e. Ketidakmampuan mencerna makanan
f. Ketidakmampuan mengabsorpsi nutrien Kurang asupan makana

C. RENCANA KEPERAWATAN (INTERVENSI)

1) BERSIHAN JALAN NAFAS TIDAK EFEKTIF

Respiratory monitoring

a) Pantau rate, irama, kedalaman, dan usaha respirasi.


Rasional: Mengetahui tingkat gangguan yang terjadi dan
membantu dalam menetukan intervensi yang akan diberikan.
b) Perhatikan gerakan dada, amati simetris, penggunaan otot aksesori,
retraksi otot supraclavicular dan interkostal.
Rasional: menunjukkan keparahan dari gangguan respirasi yang
terjadi dan menetukan intervensi yang akan diberikan.
c) Monitor suara napas tambahan
Rasional: suara napas tambahan dapat menjadi indikator gangguan
kepatenan jalan napas yang tentunya akan berpengaruh terhadap
kecukupan pertukaran udara.

36
d) Monitor pola napas : bradypnea, tachypnea, hyperventilasi, napas
kussmaul, napas cheyne-stokes, apnea, napas biot’s dan pola
ataxic.
Rasional: mengetahui permasalahan jalan napas yang dialami dan
keefektifan pola napas klien untuk memenuhi kebutuhan oksigen
tubuh.

Airway Management

a) Auskultasi bunyi nafas tambahan; ronchi, wheezing.


Rasional: Adanya bunyi ronchi menandakan terdapat penumpukan
sekret atau sekret berlebih di jalan nafas.
b) Berikan posisi yang nyaman untuk mengurangi dispnea.
Rasional: posisi memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan
upaya pernapasan. Ventilasi maksimal membuka area atelektasis
dan meningkatkan gerakan sekret ke jalan nafas besar untuk
dikeluarkan.
c) Bersihkan sekret dari mulut dan trakea; lakukan penghisapan
sesuai keperluan.
Rasional: Mencegah obstruksi atau aspirasi. Penghisapan dapat
diperlukan bia klien tak mampu mengeluarkan sekret sendiri.
d) Anjurkan asupan cairan adekuat
Rasional: Mengoptimalkan keseimbangan cairan dan membantu
mengencerkan sekret sehingga mudah dikeluarkan.
e) Ajarkan batuk efektif
Rasional: Fisioterapi dada/ back massage dapat membantu
menjatuhkan secret yang ada dijalan nafas.
f) Kolaborasi pemberian oksigen
Rasional: Meringankan kerja paru untuk memenuhi kebutuhan
oksigen serta memenuhi kebutuhan oksigen dalam tubuh.
g) Kolaborasi pemberian broncodilator sesuai indikasi.

37
Rasional: Broncodilator meningkatkan ukuran lumen percabangan
trakeobronkial sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran
udara.
2) HIPERTERMIA
a) Kaji penyebab hipertermi
Rasional: hipertermi merupakan salah satu gejala/kompensasi
tubuh terhadap adanya infeksi baik secara local maupun secara
sistemik. Hal ini perlu diketahui sebagai dasar dalam rencana
intervensi.
b) Regulasi suhu
Rasional: mencapai atau mempertahankan suhu tubuh dalam
rentang normal.

c) Terapi demam ‘beri komper hangat pada dahi atau axilla


Rasional: penatalaksanaan pasien yang mengalami hiperpireksia
akibat factor selain lingkungan, daerah dahi atau axilla merupakan
jaringan tipis dan terdapat pembuluh darah sehingga proses
vasodilatasi pembuluh darah lebih cepat sehingga pergerakan
molekul cepat.
d) Anjurkan ibu untuk memakaikan pakaian tipis dan yang dapat
menyerap keringat
Rasional: pakaian yang tipis dapat membantu mempercepat proses
evaporasi
e) Beri minum sering tapi sedikit
Rasional: untuk mengganti cairan yang hilang selama proses
evaporasi.
f) Kolaborasi dalam pemberian obat antipiretik
Rasional: obat antipiretik bekerja sebagai pengatur kembali pusat
pengatur panas.

38
3) NYERI AKUT
a) Kaji secara komprehensip terhadap nyeri termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri dan faktor
presipitasi.
Rasional: Untuk mengetahui tingkat nyeri pasien
b) Observasi reaksi ketidaknyaman secara nonverbal
Rasional: Untuk mengetahui tingkat ketidaknyamanan dirasakan
oleh pasien.
c) Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengungkapkan
pengalaman nyeri dan penerimaan klien terhadap respon nyeri.
Rasional: Untuk mengalihkan perhatian pasien dari rasa nyeri
d) Tentukan pengaruh pengalaman nyeri terhadap kualitas hidup
(napsu makan, tidur, aktivitas,mood, hubungan sosial).
Rasional: Untuk mengetahui apakah nyeri yang dirasakan klien
berpengaruh terhadap yang lainnya.
e) Tentukan faktor yang dapat memperburuk nyeri
Rasional: Untuk mengurangi factor yang dapat memperburuk nyeri
yang dirasakan klien.
f) Lakukan evaluasi dengan klien dan tim kesehatan lain tentang
ukuran pengontrolan nyeri yang telah dilakukan.
Rasional: untuk mengetahui apakah terjadi pengurangan rasa nyeri
atau nyeri yang dirasakan klien bertambah.
g) Berikan informasi tentang nyeri termasuk penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan hilang, antisipasi terhadap ketidaknyamanan dari
prosedur.
Rasional: Pemberian “health education” dapat mengurangi tingkat
kecemasan dan membantu klien dalam membentuk mekanisme
koping terhadap rasa nyeri.
h) Control lingkungan yang dapat mempengaruhi respon
ketidaknyamanan klien (suhu ruangan, cahaya dan suara).

39
Rasional: Untuk mengurangi tingkat ketidaknyamanan yang
dirasakan klien.
i) Hilangkan faktor presipitasi yang dapat meningkatkan pengalaman
nyeri klien (ketakutan, kurang pengetahuan).
Rasional: Agar nyeri yang dirasakan klien tidak bertambah.
j) Ajarkan cara penggunaan terapi non farmakologi (distraksi, guide
imagery, relaksasi).
Rasional: Agar klien mampu menggunakan teknik nonfarmakologi
dalam memanagement nyeri yang dirasakan.
k) Kolaborasi pemberian analgesic
Rasional: Pemberian analgetik dapat mengurangi rasa nyeri pasien.

4) GANGGUAN MOBILITAS FISIK


a) Kaji tanda dan gejala hambatan mobilitas fisik
Rasional: mengobservasi penyebab hambatan mobilitas dari tanda
dan gejala untuk menentukan tindakan lanjutan.
b) Kaji skala kekuatan otot
Rasional: menggunakan skala kekuatan otot 0-5 untuk menentukan
kemampuan bermobilisasi berdasarkan hasil skala kekuatan otot.
c) Kaji skala aktivitas
Rasional: menggunakan skala aktivitas 0-4 untuk menentukan
tingkat kemandirian.
d) Observasi
Observasi tingkat kemampuan ROM aktif pasien
Rasional: ROM aktif dapat membantu dalam
mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan kelenturan otot dan
mencegah kekakuan sendi.
e) Mandiri
Terapi latihan fisik: latihan kekuatan
Rasional: memfasilitasi pelatihan otot resistif secara rutin untuk
mempertahankan atau meningkatkan kekuatan otot.

40
f) Terapi latihan fisik: ambulasi
Rasional: meningkatkan dan membantu dalam perjalanan untuk
mempertahankan atau mengembalikan fungsi tubuh autonom dan
volunter selama pengobatan dan pemulihan dari kondisi sakit atau
cedera.
g) Terapi latihan fisik: keseimbangan:
Rasional: menggunakan aktivitas, postur, dan gerakan tertentu
untuk mempertahankan, meningkatkan, atau memulihkan
keseimbangan.
h) Terapi latihan fisik: mobilitas sendi:
Rasional: menggunakan gerakan tubuh aktif dan pasif untuk
mempertahankan atau mengembalikan fleksibilitas sendi
i) Terapi latihan fisik: pengendalian otot
Rasional: menggunakan aktivitas tertentu atau protokol latihan
yang sesuai untuk meningkatkan atau mengembalikan gerakan
tubuh yang terkendali.
j) Pengaturan posisi:
Rasional: mengatur posisi pasien atau bagian tubuh pasien secara
hati-hati untuk meningkatkan kesejaraheraan fisiologis dan
psikologis.
k) Pengaturan posisi: kursi roda:
Rasional: mengatur posisi pasien dengan benar di kursi roda
pilihan untuk mencapai rasa nyaman, meningkatkan integritas
kulit, dan menumbuhkan kemandirian pasien
l) Bantuan perawatan - diri: berpindah:
Rasional: membantu individu untuk mengubah posisi tubuhnya.
m) Edukasi
Ajarkan keluarga teknik mobilisasi
Rasional: Melibatkan peran keluarga untuk meningkatkan
mobilisasi pasien
n) Kolaborasi

41
Kolaborasi dengan fisioterapi untuk program latihan.
Rasional: Mempercepat proses penyembuhan.
5) KONSTIPASI
a) Manajemen defekasi
Rasional: membentuk dan mempertahankan pola eliminasi defekasi
yang teratur.
b) Manajemen konstipasi/impaksi
Raional: Mencegah dan mengatasi konstipasi/impaksi.
c) Manajemen cairan
Rasional: meningkatkan keseimbangan cairan dan mencegah
komplikasi akibat kadar cairan yang tidak normal atau tidak
diinginkan.
d) Manajemen cairan/elektrolit
Raional: mengatur dan mencegah komplikasi akibat perubahan
kadar cairan dan/atau elektrolit.
6) ANSIETAS
a) Pengkajian
Kaji tingkat ansietas
Rasional: tingkat ansietas yang digunakan yaitu tidak ansietas,
ansietas ringan, ansietas sedang, ansietas berat, dan panik untuk
mengetahui tingkatan ansietas yang dialami.
b) Observasi
tanda dan gejalan ansietas
Rasional: tanda gejala diketahui dapat digunakan untuk mengkaji
tingkat ansietas.
c) Mandiri
Bimbingan antisipasi
Rasional: mempersiapkan pasien menghadapi kemungkinan kritis
perkembangan dan situasi
d) Menurunkan ansietas klien

42
Rasional : meminimalkan kekhawatiran, ketakutan, prasanka, atau
perasaan tidak tenang yang berhubungan dengan sumber bahaya
yang diantisipasi dan tidak jelas.
e) Teknik menenangkan diri
Rasional : Meredakan kecemasan pada pasien yang mengalami
distres akut.
f) Menigkatkan koping
Rasional: Membantu pasien untuk beradaptasi dengan persepsi
stresor, perubahan, atau ancaman yang menghambat pemenuhan
tuntutan perat hidup
g) Dukungan emosi
Rasional: Memberikan penenangan, penerimaan, bantuan atau
dukungan selama masa stress
h) Edukasi
Ajarkan pasien dan keluarga untuk melakukan teknik relaksasi
Rasional: Teknik relaksasi dengan napas dalam untuk mengurangi
ansietas.
i) Kolaborasi
Kolaborasi dengan psikolog
Rasional: sarana untuk mengurangi ansietas dengan terapi bicara
7) RESIKO DEFISIT NUTRISI
a) Kaji keluhan mual, muntah, dan sakit menelan yang dialami klien.
Rasional: Untuk menetapkan cara mengatasinya.
b) Kaji cara/pola menghidangkan makanan klien.
Rasional: Cara menghidangkan makanan dapat mempengaruhi
nafsu makan klien.
c) Berikan makanan yang mudah ditelan seperti: bubur dan
dihidangkan saat masih hangat.
Rasional: Membantu mengurangi kelelahan klien dan
meningkatkan asupan makanan karena mudah ditelan.
d) Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.

43
Rasional: Untuk menghindari mual dan muntah serta rasa jenuh
karena makanan dalam porsi banyak.
e) Jelaskan manfaat nutrisi bgi klien terutama saat sakit.
Rasional: UntukMeningkatkan pengetahan klien tentang nutrisi
sehingga motivasi untuk makan meningkat.
f) Catat jumlah porsi yang dihabiskan klien.
Rasional: Mengetahui pemasukan/pemenuhan nutrisi klien.

44
DAFTAR PUSTAKA

Arif, Mansjoer. 2009. Keperawatan gerontik dan geriatric.Edisi ketiga. Jakarta :


EGC.
Elizabeth.J.Corwin. 2009. Buku Saku : Patofisiologi. Ed.3. EGC : Jakarta.
Huda, A. N., & Kusuma, H. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis. Yogyakarta:
Mediaction.
Maryam, R. Siti & dkk.2008. Mengenal Usia Lanjut danPerawatannya. Jakarta :
Salemba Medika
Maryunani, Anik. 2010. Imu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Jakarta : TIM.
Ngastiyah. 2015. Perawatan Anak Sakit, ed 2. Jakarta: EGC.
Nugroho, Wahjudi. 2008. Keperawatan Gerontik & Geriatrik.EGC : Jakarta.
PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator
Diagnosis. Edisi I. Cetakan III (Revisi). Jakarta : DPP PPNI.
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator
Diagnosis. Edisi I. Cetakan II. Jakarta : DPP PPNI.
Smeltzer, suzannec. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, ed.8, vol.1. Jakarta: EGC.
Wong, Donna L. 2013. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik, ed.4. Jakarta:
EGC
William, F. Ganong. 2010. Buku Ajar Keperawatan Gerontik.Edisi2. EGC;
Jakarta.

45

Anda mungkin juga menyukai