REFERENSI.....................................................................................................................55
MEMAHAMI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
1
pendidikan yang disesuiakan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-
masing anak secara individual.
Cakupan konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan menjadi
dua kelompok besar yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementra
(temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang besifat menetap (permanent).
1. Anak Berkebutuhan Khusus Bersifat Sementra (Temporer)
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah
anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan
disebabkan oleh faktor-faktor eksternal. Misalnya anak yang yang mengalami
gangguan emosi karena trauma akibat diperekosa sehingga anak ini tidak
dapat belajar. Pengalaman traumatis seperti itu bersifat sementra tetapi
apabila anak ini tidak memperoleh intervensi yang tepat boleh jadi akan
menjadi permanent. Anak seperti ini memerlukan layanan pendidikan
kebutuhan khusus, yaitu pendidikan yang disesuikan dengan hambatan yang
dialaminya tetapi anak ini tidak perlu dilayani di sekolah khusus. Di sekolah
biasa banyak sekali anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus yang
berssifat temporer, dan oleh karena itu mereka memerlukan pendidikan yang
disesuaikan yang disebut pendidikan kebutuhan khusus. Contoh lain, anak
baru masuk Kls I Sekolah Dasar yang mengalami kehidupan dua bahasa. Di
rumah anak berkomunikasi dalam bahasa ibunya (contoh bahasa: Sunda,
Jawa, Bali atau Madura dsb), akan tetapi ketika belajar di sekolah terutama
ketika belajar membaca permulaan, mengunakan bahasa Indonesia. Kondisi
seperti ini dapat menyebabkan munculnya kesulitan dalam belajar membaca
permulaan dalam bahasa Indonesia. Anak seperti ini pun dapat dikategorikan
sebagai anak berkebutuhan khusus sementra (temporer), dan oleh karena itu
ia memerlukan layanan pendidikan yang disesuikan (pendidikan kebutuhan
khusus). Apabila hambatan belajar membaca seeperti itu tidak mendapatkan
intervensi yang tepat boleh jadi anak ini akan menjadi anak berkebutuhan
khusus permanent.
2
2. Anak Berkebutuhan Khusus yang Bersifat Menetap (Permanen)
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen adalah anak-anak
yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang
bersifat internal dan akibat langsung dari kondisi kecacatan, yaitu seperti anak
yang kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, gannguan perkembangan
kecerdasan dan kognisi, gannguan gerak (motorik), gannguan iteraksi-
komunikasi, gannguan emosi, social dan tingkah laku. Dengan kata lain anak
berkebutuhan khusus yang bersifat permanent sama artinya dengan anak
penyandang kecacatan.
Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau
kata lain dari anak penyandang cacat, tetapi anak berkebutuhan khusus
mencakup spektrum yang luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khusus
temporer dan anak berkebutuhan khusus permanent (penyandang cacat).
Oleh karena itu apabila menyebut anak berkebutuhan khusus selalu harus
diikuti ungkapan termasuk anak penyandang cacat. Jadi anak penyandang
cacat merupakan bagian atau anggota dari anak berkebutuhan khusus. Oleh
karena itu konsekuensi logisnya adalah lingkup garapan pendidikan
kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda dengan lingkup garapan
pendidikan khusus yang hanya menyangkut anak penyandang caca
INTERVE
Faktor internal
Faktor ekternal
Kombinasi
3
B. Hambatan Belajar dan Hambatan Perkembangan
Dalam paradigma pendidikan khusus/PLB, label kecacatan dan
karakteristiknya lebih menonjol dan dijadikan patokan dalam memberikan
layanan pendidikan dan intervensi. Anak yang memiliki kecacatan tertentu
dipandang sebagai kelompok yang memiliki karakteristik yang sama. Cara
pandang seperti ini menghilangkan eksistensi anak sebagai individu. Anak-anak
yang didiagnosis sebagai anak penyandang cacat tertentu (misalnya tunanetra)
diperlakukan dalam pembelajaran dengan cara yang sama berdasarkan label
kecacatannya. Cara pandang seperti ini lebih mengedepankan aspek identitas
kecacatan yang dimiliki dari pada aspek individu anak sebagai manusia.
Dalam konsep pendidikan khusus/PLB (special education) lebih banyak
menggunakan diagnosis untuk menentukan label kecacatan. Berdasarkan
label itulah layanan pendidikan diberikan dengan cara yang sama pada semua
anak yang memiliki label kecacatan yang sama, dan tidak memperimbangkan
aspek-aspek lingkungan dan faktor-faktor dalam diri anak. Sebagai contoh jika
hasil diagnosis menunjukkan bahwa seorang anak dikategorikan sebagai anak
autisme, maka semua anak autisme akan diperlakukan dengan cara dan
pendekatan yang sama berdasarkan label dan karakteristik nya.
Dalam paradigma pendidikan kebutuhan khusus (special needs education),
anak yang mempunyai kebutuhan khusus baik yang bersifat temporer maupun
yang bersifat permanent akan berdampak langsung kepada proses belajar, dalam
bentuk hambatan untuk melakukan kegiatan belajar (barrier to learning and
development). Hambatan belajar dan hambatan perkembangan dapat muncul
dalam banyak bentuk, untuk mengetahui dengan jelas hambatan belajar,
hambatan perkembangan dan kebutuhan yang dialami oleh seorang anak
sebagai akibat dari kebutuhan khusus tertentu/kecacatan tertentu, dilakukan
dengan mengunakan asesmen.
Hasil asesmen akan memberikan gambaran yang jelas mengenai hambatan
belajar setiap anak. Berdasarkan data hasil asesmen itulah pembelajaran akan
dilakukan. Tidak akan terjadi dua orang anak yang mempunyai kebutuhan
khusus/kecacatan yang sama, memiliki hambatan belajar, hambatan
4
perkembangan dan kebutuhan yang persis sama. Oleh karena itu pendidikan
kebutuhan khusus difokuskan untuk membantu menghilangkan atau sekurang-
kurangnya meminimalkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan
sebagai akibat dari kondisi yang dialami oleh setiap anak secara individual. Inilah
yang disebut dengan pembelajaran yang berpusat kepada anak (child center
approach).
Dalam perspektif pendidikan kebutuhan khusus diyakini bahwa ada faktor-
faktor lain yang sangat penting untuk dipertimbangkan yaitu faktor lingkungan,
termasuk sikap terhadap anak pada umumnya dan terhadap anak tertentu
karena lingkungan yang tidak responsive, kurang stimulasi, pemahaman guru dan
kesalahpahaman guru akan proses pembelajaran, isi, pendekatan pembelajaran
dan materi pembelajaran dapat memimbulkan hambatan belajar dan hambatan
perkembangan.
Selain faktor lingkungan, hal lain yang juga sangat penting untuk
dipertimbang- kan adalah faktor-faktor pada diri anak, seperti rasa ingin tahu,
motivasi, inisiatif, interaksi/komunikasi, kompetensi sosial, kreativitas,
temperamen, gaya belajar dan kemampuan potensial. Pendidikan kebutuhan
khusus memandang anak sangat komprehensif dan memandang anak sebagai
anak, bukan memandang anak berdasarkan label yang diberikan. Berdasarkan
penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa hambatan belajar dapat terjadi juga
pada anak yang tidak memiliki kecacatan. Dengan pandangan yang luas seperti
ini, akan meningkatkan pemahaman kita tentang keunikan setiap individu anak.
Konsep hambatan belajar dan hambatan perkembangan sangat penting
untuk dipahami karena hambatan belajar dapat muncul di setiap kelas dan pada
setiap anak. Semua anak mempunyai kemungkinan yang sama untuk mengalami
hambatan belajar dan hambatan perkembangan. Pendidikan kebutuhan khusus
menekankan pada upaya untuk membantu anak menghilangkan atau sekurang-
kurangnya mengurangi hambatan belajar dan hambatan perkembangan sebagai
akibat dari kondisi tertentu, agar anak dapat mencapai perkembangan optimum.
5
C. Sebab-Sebab Timbulnya Kebutuhan Khusus
Terdapat tiga faktor yang dapat diidentifikasi tentang sebab musabab
timbulnya kebutuhan khusus pada seorang anak yaitu: 1) Faktor internal pada
diri anak, 2) Faktor ekternal dari lingkungan dan, 3) Kombinasi dari factor internal
dan eksternal.
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah kondisi yang dimiliki oleh anak yang
bersangkutan. Sebagai contoh seorang anak memiliki kebutuhan khusus
dalam belajar karena ia tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, atau tidak
mengalami kesulitan untuk begerak. Keadaan seperti itu berada pada diri anak
yang bersangkutan secara internal. Dengan kata lain hambatan yang dialami
berada di dalam diri anak yang bersangkutan.
2. Faktor Ekternal
Faktor eksternal adalah Sesuatu yang berada di luar diri anak
mengakibatkan anak menjadi memiliki hambatan perkembangan dan
hambatan belajar, sehingga mereka memiliki kebutuhan layanan khusus
dalam pendidikan. Sebagai contoh seorang anak yang mengalami kekerasan di
rumah tangga dalam jangka panjang mengakibatkan anak teresbut kehilangan
konsentrasi, menarik diri dan ketakutan. Akibantnya anak tidak tidak dapat
belajar.
Contoh lain, anak yang mengalai trauma berat karena bencana alam
atau konflik sosial/perang. Anak ini menjadi sangat ketakutan kalau bertemu
dengan orang yang belum dikenal, ketakutan jika mendengar gemuruh air
yang diasosiasikan dengan banjir besar yang pernah dialaminya. Keadaan
seperti ini menyebabkan anak tersebut mengalami hambatan dalam belajar,
dan memerlukan layanan khusus dalam pendidikan.
6
khusus yang disebabkan oleh factor ekternal dan internal sekaligus
diperkirakan akan anak akan memiliki kebutuhan khusus yang lebih kompleks.
Sebagai contoh seorang anak yang mengalami gangguan pemusatan
perhataian dengan hiperaktivitas dan dimiliki secara internal berada pada
lingkungan keluarga yang kedua orang tuanya tidak memerima kehadiran
anak, tercermin dari perlakuan yang diberikan kepada anak yang
bersangkutan. Anak seperti ini memiliki kebutuhan khusus akibat dari kondisi
dirinya dan akibat perlakuan orang tua yang tidak tepat.
7
kebutuhan khusus dalam hubungannya dengan kondisi seperti ini adalah
mencegah agar kehilangan fungsi penglihatan atau pendengaran itu tidak
berdampak buruk dan lebih luas kepada aspek-aspek perkembangan dan
kepribadian anak, (c) interaksi antara faktor lingkungan dan faktor dari dalam
diri anak. Misalnya seorang anak yang kehilangan fungsi pendengaran dan
secara bersamaan anak ini hidup dalam lingkungan keluarga yang tidak
memberikan kasih sayang yang cukup, sehingga anak ini mengalami hambatan
belajar yang disebabkan oleh faktor dirinya sendiri (kehilangan fungsi
pendengaran) dan akibat faktor eksternal lingkungan.
Fungsi preventif pendidikan kebutuhan khusus dalam konteks seperti ini
adalah melokalisir dampak dari kehilangan fungsi pendengaran dan secara
bersamaan menciptakan lingkungnan yang dapat memenuhi kebutuhan anak
akan kasih sayang yang tidak diperoleh di lingkungan keluarganya.
2. Fungsi Intervensi
Kata intervensi dapat diartikan sebagai upaya menangani hambatan
belajar dan hambatan perkembangan yang sudah terjadi pada diri anak.
Misalnya seorang anak mengalami gangguan dalam perkembangan
kecerdasan/kognitif sehingga ia mengalami kesulitan dalam belajar secara
akademik. Fungsi intervensi pendidikan kebutuhan khusus adalah upaya
menangani anak agar dapat mencapai perkembangan optimum sejalan
dengan potensi yang dimilikinya.
Contoh lain, seorang anak yang mengalami gangguan dalam
perkembangan motorik (misalnya: cerebral palsy). Akibat dari gangguan
motorik ini anak dapat mengalami kesulitan dalam bergerak dan mobilitas,
sehingga akitivitasnya sangat terbatas. Fungsi intervensi pendidikan
kebutuhan khusus dalam konteks ini adalah menciptakan lingkungan yang
memungkin anak dapat belajar secara efektif, sehingga dapat mencapai
perkembangan optimum sejalan dengan potensi yang dimilikinya.
Dengan kata lain fungsi intervensi tidak dimaksudkan supaya anak yang
mengalami kehilangan fungsi pendengaran agar dapat mendengar, tetapi
dalam keadaan tidak dapat mendengar mereka tetap dapat belajar, bekerja
8
dan hidup secara wajar bersama dengan orang lain dalam lingkungannya.
Inilah yang disebut dengan coping, artinya anak dapat berkembang optimum
dengan kondisi yang dimilikinya.
3. Fungsi Kompensasi
Pengertian kompensasi dalam kontek pendididikan kebutuhan khusus
diartikan sebagai upaya pendidikan untuk menggantikan fungsi yang hilang
atau mengalami hambatan dengan fungsi yang lain. Seorang anak yang
kehilangan fungsi penglihatan akan sangat kesulitan untuk belajar atau
bekerja jika berhubungan dengan penggunaan fungsi penglihatan. Oleh
karena itu kehilangan fungsi penglihatan dapat dialihkan/dikompensasikan
kepada fungsi lain misalnya perabaan dan pendengaran. Salah satu bentuk
kompensasi pada orang yang kehilangan penglihatan adalah pengunaan
tulisan braille. Seorang tunanetra akan dapat membaca dan menulis dengan
menggunakan fungsi perabaan.
Seorang yang kehilangan fungsi pendengaran akan mengalami kesulitan
dalam perkembangan keteramilan berbahasa, dan oleh sebab itu akan terjadi
hambatan dalam interaksi dan komunikasi. Bentuk kompensasi dari adanya
hambatan dalam interaksi dan komunikasi pada orang yang kehilangan fungsi
pendengaran adalah pengunaan bahasa isyarat. Dalam berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa isyarat fungsi penglihatan sangat berperan sebagai
kompensasi dari fungsi pendengaran
Contoh lain jika di sekolah ada seorang anak yang mengalami hambatan
dalam penggunaan fungsi motorik, ia akan sangat mengalami kesulitan dalam
hal menulis. Ketika misalnya anak tersebut akan mengikuti ujian maka dapat
dilakukan tindakan kompensasi dengan tidak mengikuti ujian secara tertulis
melainkan dengan ujian lisan. Dalam hal aktivitas belajar, anak itu tidak
dituntut untuk mencatat apa yang mereka pelajari tetapi dapat menggunakan
cara lain misalnya menggunakan tape recorder atau apa yang akan dijelaskan
oleh guru diberikan dalam bentuk teks.
Melalui upaya kompensasi, anak akan tetap dapat mengikuti akitivtas
belajar seperti yang dilakukan oleh anak lainya dengan cara-cara yang
9
dimodifikasi dan diseuiakan dengan mengganti fungsi yang hilang/ tidak
berkembang dengan fungsi lainnya yang masih utuh.
10
PENDIDIKAN INKLUSIF
11
A. Aspek-aspek penting dalam Pendidikan Inklusif
Sebelum membahas aspek-aspek penting dalam pendidikan inklusif, terlebih
dahulu penulis perlu memberikan gambaran tentang konsep dasar ABK yang
dibahas dalam makalah ini. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah mereka yang
mempunyai kebutuhan, baik permanen maupun sementara, yang disebabkan oleh
kondisi sosial-emosi, dan/atau, kondisi ekonomi dan/atau, kondisi politik dan/atau,
kelainan bawaan maupun yang didapat kemudian. Dengan kata lain, kita tidak hanya
membicarakan kelompok minoritas yang disebabkan oleh kelainan saja, tetapi
mencakup sejumlah besar anak yang sekolah. Oleh karenanya, sekolah hendaknya
mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi,
bahasa, ataupun kondisi-kondisi lainnya. Sekolah harus mencari cara agar berhasil
mendidik semua anak, termasuk mereka yang berkebutuhan pendidikan khusus.
Mengubah sekolah atau kelas tradisional menjadi inklusif, ramah terhadap
pembelajaran merupakan suatu proses dan bukan suatu kejadian tiba-tiba. Proses ini
tidak akan terjadi dalam sehari, karena memerlukan waktu dan kerja kelompok.
Selanjutnya aspek-aspek penting yang harus diperhatiakan dalam
menyelenggarakan sekolah yang inklusif adalah (1) Guru perlu mengetahui bagaimana
cara mengajar anak dengan latar belakang dan kemampuan yang beragam. Peningkatan
kemampuan ini dapat kita lakukan dengan berbagai cara, seperti: pelatihan, tukar
pengalaman, lokakarya, membaca buku, dan mengeksplorasi/menggali sumber lain,
kemudian mempraktekkannya di dalam kelas. (2) SEMUA anak memiliki hak untuk
belajar, tanpa memandang perbedaan fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa atau
kondisi lainnya, seperti yang ditetapkan dalam Konvensi Hak Anak yang telah
ditandatangani semua pemerintah di dunia. (3) Guru menghargai semua anak di kelas,
guru berdialog dengan siswanya; guru mendorong terjadinya interaksi di antara
anak-anak; guru mengupayakan agar sekolah menjadi menyenangkan; guru
mempertimbangkan keragaman di kelasnya; guru menyiapkan tugas yang
disesuaikan untuk anak; guru mendorong terjadinya pembelajaran aktif untuk
semua anak. (4) Dalam lingkungan pembelajaran yang inklusif, setiap orang
berbagi visi yang sama tentang bagaimana anak harus belajar, bekerja dan
bermain bersama. Mereka yakin, bahwa pendidikan hendaknya inklusif, adil dan
tidak diskriminatif, sensitif terhadap semua budaya, serta relevan dengan
12
kehidupan sehari-hari anak. (5) Lingkungan pembelajaran yang inklusif
mengajarkan kecakapan hidup dan gaya hidup sehat, agar peserta didik dapat
menggunakan informasi yang diperoleh untuk melindungi diri dari penyakit dan
bahaya. Selain itu, tidak ada kekerasan terhadap anak, pemukulan atau hukuman
fisik.
Menurut laporan UNESCO tahun 2003, ketika Pendidikan Inklusif diterapkan,
penelitian terkini menunjukkan adanya peningkatan prestasi dan kemajuan pada
semua anak. Di banyak daerah di dunia dilaporkan, bahwa diperoleh manfaat
pribadi, sosial, dan ekonomi dengan mendidik anak-anak usia sekolah dasar yang
memiliki kebutuhan khusus di sekolah umum. Kebanyakan siswa dengan
kebutuhan khusus ini berhasil diakomodasi dengan lebih menyenangkan melalui
cara yang ramah dan menghargai keragaman ini.
Adapun manfaat lingkungan pembelajaran yang inklusif adalah sebagai
berikut:
1. Manfaat bagi anak, yaitu: kepercayaan dirinya berkembang; bangga pada
diri sendiri atas prestasi yang diperolehnya; belajar secara mandiri; mencoba
memahami dan mengaplikasikan pelajaran di sekolah dalam kehidupan
sehari-hari; berinteraksi secara aktif bersama teman dan guru; belajar
menerima perbedaan dan beradaptasi terhadap perbedaan; dan anak
menjadi lebih kreatif dalam pembelajaran.
2. Manfaat bagi guru, antara lain: mendapat kesempatan belajar cara mengajar
yang baru dalam melakukukan pembelajaran bagi peserta didik yang
memiliki latar belakang dan kondisi yang beragam; mampu mengatasi
tantangan; mampu mengembangkan sikap yang positif terhadap anggota
masyarakat, anak dan situasi yang beragam; memiliki peluang untuk
menggali gagasan-gagasan baru melalui komunikasi dengan orang lain di
dalam dan di luar sekolah; mampu mengaplikasikan gagasan baru dan
mendorong peserta didik lebih proaktif, kreatif, dan kritis; memiliki
keterbukaan terhadap masukan dari orangtua dan anak untuk memperoleh
hasil yang positif. dan
13
3. Manfaat bagi orangtua, antara lain: orangtua dapat belajar lebih banyak
tentang bagaimana anaknya dididik; mereka secara pribadi terlibat dan
merasa lebih penting untuk membantu anak belajar. Ketika guru bertanya
pendapat mereka tentang anak; orangtua merasa dihargai dan menganggap
dirinya sebagai mitra setara dalam memberikan kesempatan belajar yang
berkualitas untuk anak; orangtua juga dapat belajar bagaimana cara
membimbing anaknya di rumah dengan lebih baik, yaitu dengan
menerapkan teknik yang digunakan guru di sekolah.
4. Manfaat bagi masyarakat, antara lain: masyarakat lebih merasa bangga
ketika lebih banyak anak bersekolah dan mengikuti pembelajaran;
masyarakat menemukan lebih banyak "calon pemimpin masa depan" yang
disiapkan untuk berpartisipasi aktif di masyarakat. Masyarakat melihat
bahwa potensi masalah sosial, seperti: kenakalan dan masalah remaja bisa
dikurangi; dan masyarakat menjadi lebih terlibat di sekolah dalam rangkah
menciptakan hubungan yang lebih baik antara sekolah dan masyarakat.
14
termasuk ABK, seperti: hambatan penglihatan, atau pendengaran, fisik, atau
mental-kecerdasan atau emosi, atau perilaku-sosial, autis dan lainnya, sehingga
mereka membutuhkan akses fisik dan modifikasi kurikulum serta
mengadaptasikan metode pengajarannya agar semua murid dapat
menyesuaikan diri secara efektif dalam semua kegiatan sekolah.
Di Sekolah yang Ramah (Welcoming Schools) semua komunitas sekolah
mengerti bahwa tujuan pendidikan adalah sama untuk semua, yaitu semua
murid mempunyai hak untuk merasa aman dan nyaman (to be save and secure),
untuk mengembangkan diri (to develop a sense of self), untuk membuat pilihan
(to make choices), untuk berkomunikasi (to communicate), untuk menjadi bagian
dari komunitas (to be part of a community), untuk mampu hidup dalam situasi
dunia yang terus berubah (live in a changing world), untuk menghadapi banyak
transisi dalam hidup, dan untuk memberi kontribusi yang bernilai (to make
valued contributions).
Persoalan kurikulum di Sekolah yang Ramah merupakan tantangan
terbesar bagi guru-guru dan sekolah-sekolah dalam mempertahankan
keikutsertaan dan memaksimalkan partisipasi semua anak. Penyesuaian
kurikulum bukanlah tentang penurunan standar persyaratan ataupun membuat
latihan menjadi lebih mudah bagi murid-murid yang mempunyai keterbatasan
atau berkebutuhan khusus. Tetapi adaptasi kurikulum ini untuk memenuhi
keanekaragaman, membutuhkan perencanaan dan persiapan yang matang oleh
guru-guru dan bekerjasama dengan murid-murid, orang tua, rekan-rekan guru,
dan staf.
Di sekolah-sekolah yang ramah, kita dapat melihat kerja dari para guru, di
mana dalam kelas, mereka melakukan upaya untuk meminimalkan hambatan
untuk belajar dan berpartisipasi untuk mempromosikan keikutsertaan seluruh
anak di sekolah. Guru-guru sebaiknya bersikap fleksibel dalam menyusun
penyesuaian kurikulum (make curriculum adjustments). Mereka merencanakan
untuk semua kelas (plan for the whole class) dan menggunakan metode
pengajaran alternatif (use alternative methods).
15
Selain itu, dalam welcoming schools senantiasa terdapat akses fisik yang
baik (ensure physical access) dan para gurunya mempersiapkan diri lebih awal
(prepare well ahead). Persiapan untuk pelajaran melibatkan pemikiran tentang
bagaimana memastikan bahwa semua murid berpartisipasi dalam proses belajar
dan bagaimana kebutuhan kurikulum dibedakan berdasarkan kebutuhan
individu. Guru senantiasa memikirkan, bagaimana mengelompokkan kelas, dan
materi apa yang diperlukan oleh anak didiknya. Semua ini tergantung pada
konteks sekolah, ruang kelas, dan kebutuhan anak. Tindakan guru seperti ini
sudah menunjukkan sikap inklusi. Kinerja guru yang inklusi salah satu indikasinya
selalu berupaya untuk memperbaiki cara mengajar dan menyesuaikan dengan
kebutuhan siswa.
Pada sekolah yang ramah, guru-guru menggunakan beragam metode
pengajaran dan gaya presentasi untuk menjamin bahwa semua murid
memperoleh keuntungan maksimal dari sekolah. Mereka sadar bahwa dengan
kebutuhan pendidikan khusus, maka membutuhkan penyesuaian dan modifikasi
kurikulum yang berbeda. Memanfaatkan teknologi yang ada (use available
technology) dapat membantu pemahaman anak. Kita dapat melihat bahwa
welcoming schools yang inklusif terlihat berbeda dari satu negara ke negara lain.
Di samping itu, guru di sekolah yang ramah bekerja untuk
mengembangkan lingkungan belajar yang suportif (supportive school
environtments) di dalam kelas, di sekolah dan sekitar sekolah dalam
komunitasnya. Jadi pada sekolah yang ramah itu, guru senantiasa membimbing
suatu generasi yang dapat menerima dan toleran terhadap siapapun yang
mempunyai kebutuhan yang berbeda. Membangun kemitraan dengan orang tua
dan komunitas adalah suatu proses, yang tidak dapat terjadi dalam semalam.
16
Strategi pembelajaran ini dapat diterapkan dengan efektif melalui perubahan
atau penyesuaian antara kemampuan belajar mereka dengan harapan/target,
alokasi waktu, penghargaan/hadiah. tugas-tugas/pekerjaan, dan bantuan yang
diberikan pada anak-anak dari masing-masing kelompok yang beragam,
meskipun mereka belajar dalam satu kelas, dengan tema dan mata pelajaran
yang sama. Misalnya, harapan atau target belajar matematika untuk anak kelas
III SD yang cepat belajarnya (high function learners) adalah memahami dan
mampu menggunakan perkalian dalam soal ceritera dengan analisisnya pada
tahapan berpikir abstrak.
Sedangkan untuk anak-anak yang kemampuan belajarnya rata-rata
(average performers) mempelajari perkalian hanya sampai ratusan pada tahapan
semi konkrit, dan untuk anak yang lambat belajarnya (slow learners) mengenali
perkalian baru sampai puluhan dengan tahapan konkrit, serta bagi anak autis
mempelajari matematika sampai ratusan dengan lebih banyak memfokuskan
pada keunggulan visual thinkingnya (pemahaman konsep melalui pengamatan
dengan bantuan gambar, kode, label, simbol atau film dan sebagainya).
Demikian pula dalam alokasi waktu, penghargaan/hadiah. tugas-
tugas/pekerjaan, dan bantuan yang diberikan juga disesuaikan dengan tahapan
perkembangan belajar dari masing-masing kelompok tersebut. Jadi proses
layanan pembelajarannya bukan didasarkan pada bentuk layanan sama rata,
sama rasa dan disampaikan secara klasikal, tetapi diarahkan pada pembelajaran
yang lebih demokratis dan proporsional sesuai dengan harapan dan target
belajar dari masing-masing kelompok anak tersebut, dan proses belajar anak-
anak tersebut tidak dipisahkan berdasarkan kelompok atau dipisahkan dari
komunitasnya, melainkan mereka belajar bersama-sama dengan teman
sebayanya di dalam kelas reguler.
Apabila program dan proses belajar anak didik disesuaikan dengan
keberagaman dari setiap kelompok tersebut, maka semua anak dalam kelas yang
sama itu dapat mengikuti proses belajar sesuai dengan porsinya masing-masing.
Siswa yang belajarnya cepat tidak harus mendapatkan materi pelajaran dan
alokasi waktu belajar yang sama dengan teman-teman sebaya pada umumnya
17
(average group) atau sama dengan temannya yang lebih lambat belajarnya atau
sama dengan temannya yang autis.
Sebelum mereka berpartisipasi dalam belajar secara penuh, anak perlu
meyakini bahwa mereka bisa belajar. Untuk menumbuhkan keyakinan tersebut
pada semua anak, maka mereka memerlukan reward (penghargaan, hadiah dan
sejenisnya). Pemberian reward ini sangat diperlukan oleh semua anak untuk
mengembangkan harga dirinya (self esteem) dan identitasnya. Khususnya buat
anak-anak yang lambat belajarnya, dengan memperoleh reward pada setiap
langkah selama menyelesaikan pekerjaan dan proses belajarnya, maka membuat
mereka menjadi lebih percaya diri dalam mengerjakan tugas atau
pekerjaannnya.
Dengan kata lain, anak harus dihargai apa adanya. Mereka harus merasa
aman, bisa mengekspresikan pendapatnya dan sukses dalam belajarnya. Ini
membantu anak menikmati belajar dan guru bisa memperkuat rasa senang ini
melalui penciptaan kelas yang lebih 'menyenangkan'. Di kelas seperti itu, harga
diri anak ditingkatkan melalui reward (penghargaan/pujian); di dalam kelompok
ini anak yang kooperatif dan ramah didukung; sehingga anak merasa sukses serta
senang belajar sesuatu yang baru.Begitu juga bantuan dan bimbingan pada anak
yang cerdas pun, tetap perlu diberikan walaupun tidak sebanyak dan seintensif
yang diberikan pada anak autis dan anak-anak lain yang lebih lambat belajarnya.
Pada anak-anak autis dan yang lambat belajarnya membutuhkan
bimbingan pada setiap tahapan belajarnya. Jadi, apabila strategi dan atmosfir
proses belajar seperti telah dijelaskan tersebut dapat direalisasikan dengan
optimal, maka dapat mengantarkan semua anak untuk mencapai proses belajar
yang menyenangkan (joy of learning dan fun of learning).
18
PENDIDIKAN JASMANI ADAPTIF
19
Pernyataan di atas sejalan dengan hasil penelitian Gusmawan (2006). dalam
karyanya yang berjudul ‘Problematika Pembelajaran Pendidikan Jasmani bagi
Tunanetra di Sekolah Umum’ yang menyatakan bahwa “Guru pendidikan jasmani
tidak memahami pelaksanaan pendidikan jasmani adaptif, sehingga pembelajaran
yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan dan hambatan yang dimiliki oleh
ABK” Bahkan di saat peneliti melakukan observasi pendahuluan peneliti
menemukan ada diantara guru pendidikan jasmani yang tidak mengikutsertakan
siswa ABK dalam kegiatan pembelajaran pendidikan jasmani mereka hanya bermain
sesuka hati tanpa ada perhatian dari guru dan hanya membiarkan mereka
menonton teman-temannya yang sedang berolahraga di pinggir lapangan olahraga.
Kebutuhan gerak ABK lebih besar daripada siswa lainnya, karena ABK
mengalami hambatan dalam merespon rangsangan yang diberikan lingkungan
untuk melakukan gerak, meniru gerak dan bahkan ada yang memang fisiknya
terganggu sehingga ia tidak dapat melakukan gerakan yang terarah dengan benar
Hal ini terjadi karena mereka memiliki masalah dalam sensorisnya, motoriknya,
belajarnya, dan tingkah lakunya yang dapat menghambat perkembangan fisik siswa
tersebut. Seperti yang di ungkapkan oleh Irham Hosni (2003) bahwa:
Anak berkebutuhan khusus memiliki masalah dalam sensorisnya, motoriknya,
belajarnya, dan tingkah lakunya. Semua ini mengakibatkan terganggunya
perkembangan fisik anak. Hal ini karena sebagian besar ABK mengalami hambatan
dalam merespon rangsangan yang diberikan lingkungan untuk melakukan gerak,
meniru gerak dan bahkan ada yang memang fisiknya terganggu sehingga ia tidak
dapat melakukan gerakan yang terarah dengan benar
Pernyataan di atas menggambarkan akan pentingnya gerak dalam
perkembangan seorang individu, apabila seorang inividu memiliki kemampuan
gerak yang baik maka perkembangan fisiknya akan baik pula. Dengan begitu gerak
memiliki fungsi lain bagi ABK, yaitu membantu perkembangan fisik, melatih untuk
merespon rangsangan dari lingkungan dan membiasakan gerakan agar terarah
dengan benar. Dengan kata lain melakukan gerakan bagi ABK sama dengan melatih
motorik halus dan kasar mereka untuk mengurangi hambatan geraknya. Selain itu
gerak juga dapat digunakan sebagai media untuk mendapatkan informasi atau
20
pengetahuan dari lingkungan. Oleh karena itu pendidikan jasmani bagi ABK
sangatlah penting, walaupun demikian program yang di berikan harus di sesuaikan
dengan kebutuhan dan hambatan ABK itu sendiri agar hasilnya dapat optimal.
Apabila program pembelajaran yang di berikan oleh guru tidak berorientasi kepada
kebutuhan dan hambatan ABK, di khawatirkan perkembangan fisik ABK tidak
berkembang dengan baik dan bahkan bisa saja menjadi masalah baru baginya.
Samsudin (2008:2) mengemukakan bahwa: Pendidikan jasmani merupakan
suatu proses pembelajaran melalui aktivitas jasmani yang didesain untuk
meningkatkan kebugaran jasmani, mengembangkan keterampilan motorik,
pengetahuan dan perilaku hidup sehat dan aktif, sikap sportif dan kecerdasan
emosi. Lingkungan belajar diatur secara seksama untuk meningkatkan pertumbuhan
dan perkembangan seluruh ranah, jasmani, psikomotor, kognitif dan afektif siswa.
Pernyataan di atas menyatakan bahwa pendidikan jasmani merupakan
sebuah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani untuk
meningkatkan kemampuan fisik, intelektual, sosial maupun emosional
dalam rangka meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan seluruh ranah
baik jasmani, psikomotor, kognitif dan afektif siswa’. Tetapi di dalam
pelaksanaannya ditemukan adanya kesulitan yang dialami oleh beberapa individu
yang unik sehingga mereka tidak terjangkau oleh pendidikan jasmani.
Mereka tetap sangat membutuhkan layanan pendidikan jasmani, oleh karena
itu di butuhkan bentuk pendidikan jasmani yang dapat mengakomodasi setiap
individu sesuai dengan keunikannya masing-masing. Pendidikan jasmani seperti itu
disebut dengan pendidikan jasmani adaptif.
1. Pengertian Pendidikan Jasmani Adaptif
Pendidikan jasmani adaptif menurut Sherril dalam Sriwidati dan Murtadlo
(2007:3) adalah sebagai berikut:
Pendidikan jasmani adaptif didefinisikan sebagai satu sistem penyampaian
pelayan yang komprehensif yang dirancang untuk mengidentifikasi, dan
memecahkan masalah dalam ranah psikomotor. Pelayanan tersebut mencakup
penilaian, program pendidikan individual (PPI), pengajaran bersifat
pengembangan dan/atau yang disarankan, konseling dan koordinasi dari sumber
21
atau layanan yang terkait untuk memberikan pengalaman pendidikan jasmani
yang optimal kepada semua anak dan pemuda.
Menurut Winnick dalam Sriwidati dan Murtadlo (2007:3) ‘Pendidikan
Jasmani Adapif itu adalah suatu program yang dibuat secara individual berupa
kegiatan perkembangan, latihan, permainan, ritme, dan olahraga yang dirancang
memenuhi kebutuhan pendidikan jasmani untuk individu-individu yang unik’.
Syarifuddin, & Muhadi dalam Sriwidati dan Murtadlo (2007:4) mengemukakan
bahwa:
Pendidikan jasmani adaptif adalah suatu proses mendidik melalui aktivitas gerak
untuk laju pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun psikis dalam
rangka pengoptimalan seluruh potensi kemampuan, keterampilan jasmani yang
disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan anak, kecerdasan , kesegaran
jasmani, sosial, kultural, emosional, dan rasa keindahan demi tercapainya tujuan
pendidikan yaitu terbentuknya manusia seutuhnya
Dari beberapa definisi di atas menggambarkan bahwa pendidikan jasmani
adaptif adalah suatu program pembelajaran dalam memenuhi kebutuhan
psikomotor anak yang dirancang sedemikian rupa sesuai dengan keunikan anak
tersebut.
22
baik;(7) untuk menolong siswa memahami dan menghargai macam olahraga
yang dapat diminatinya sebagai penonton. Selain itu Tarigan (2000:10),
menyatakan bahwa: Tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan adaptif bagi anak
berkebutuhan khusus adalah untuk meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan jasmani, keterampilan gerak, sosial, dan intelektual. Disamping
itu, proses pendidikan itu penting untuk menanamkan nilai-nilai dan sikap positif
terhadap keterbatasan kemampuan baik dari segi fisik maupun mentalnya
sehingga mereka mampu bersosialisasi dengan lingkungan dan memiliki rasa
percaya diri dan harga diri
Sedangkan menurut Furqon dalam Sukardin (2006;5) manfaat pendidikan
jasmani bagi anak berkebutuhan khusus adalah: Dapat membantu mengenali
kelainannya dan mengarahkannya pada individu-individu atau lembaga-lembaga
yang terkait; (2) dapat member kebahagiaan bagi anak dengan kebutuhan
khusus, member pengalaman bermain yang menyenangkan; (3) dapat
membantu siswa mencapai kemampuan dan latihan fisik sesuai dengan
keterbatasannya;(4) dapat member banyak kesempatan mempelajari
keterampilan yang sesuai dengan orang-orang yang memiliki kelainan untuk
meraih sukses;(5) pendidikan jasmani dapat berperan bagi kehidupan yang lebih
produktif bagi anak dengan kebutuhan khusus dengan mengembangkan kualitas
fisik yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan kehidupan sehari-hari
23
c. Siswa yang mengalami hambatan pendengaran dan komunikasi (Tunarungu)
d. Siswa yang mengalami hambatan emosi ( Tunalaras)
e. Siswa Tunagrahita
f. Siswa yang mengalami Hambatan fisik (Tunadaksa)
g. Siswa yang memiliki hambatan belajar (LD)
h. Dan siswa yang memiliki hambatan lainnya seperti epilepsy, HIV,ADD dan
ADHD, Asma, Leukimia dan lain sebagainya
Selain itu menurut Undang-undang rehabilitasi Amerika serikat (Section
504 of the Rehabilitation Act of 1973) siswa yang berhak mendapatkan layanan
pendidikan jasmani adaptif adalah: ‘a person with a disability is anyone who has
a physical or mental impairment that limits one or more major life activities, has
a record of impairment, or is regarded as having an impairment ’.
(http://en.wikipedia.org/wiki/ Adapted Physical_Education,2009)
Jadi menurut undang-undang tersebut yang termasuk mendapatkan
layanan pendidikan jasmani adaptif adalah siswa yang memiliki hambatan baik
fisik maupun mental, atau memiliki satu atau lebih hambatan yang bisa
mengganggu aktivitas hidupnya, memiliki riwayat hambatan yang dimilikinya
atau dianggap memiliki hambatan.
24
PROGRAM PENDIDIKAN JASMANI ADAPTIF
DALAM SETTING PENDIDIKAN INKLUSIF
25
Secara umum materi pembelajaran pendidikan jasmani bagi siswa
berkebutuhan khusus sama dengan materi pembelajaran siswa lainnya.
Namun yang membedakannya adalah strategi dan model pembelajarannya
yang berbeda dan disesuaikan dengan jenis dan tingkat kecacatannya.
Artinya jenis aktivitas olahraga yang terdapat dalam kurikulum dapat
diberikan dengan berbagai penyesuaian.
Program pendidikan jasmani untuk anak berkebutuhan khusus
menurut Tarigan (2000:43), dibagi menjadi tiga kategori seperti tertera
pada table berikut :
Tabel
Tiga Kategori Program Pendidikan Jasmani
Menurut Tarigan
NO KATEGORI AKTIVITAS GERAK
1. Pengembangan Gerakan-gerakan yang tidak berpindah
gerak tempat
Gerakan-gerakan yang berpindah tempat
Gerakan-gerakan keseimbangan
2. Olahraga Olahraga permainan yang bersifat rekreatif
dan Permainan Permainan lingkaran
Olahraga dan permainan beregu
Olahraga senam dan aerobic
Kegiatan yang menggunakan music dan tari
Olahraga permainan di air
Olahraga dan permainan yang menggunakan
meja
3. Kebugaran dan Aktivitas yang meningkatkan kekuatan
kemampuan gerak Aktivitas yang meningkatkan kelentukan
Aktivitas yang meningkatkan kelincahan
Aktivitas yang meningkatkan kecepatan
Aktivitas yang meningkatkan daya tahan
26
c. Pembelajaran Individual
Pembelajaran individual dimaksudkan agar kebutuhan setiap individu
dapat terpenuhi sesuai dengan jenis dan tingkat kecacatannya.
Pembelajaran individual dalam kontek ini bukan berarti melakukan
pembelajaran kepada siswa satu demi satu. Tetapi dalam proses
pembelajaran tersebut, guru pendidikan jasmani perlu merencanakan
aktivitas jasmani yang disesuaikan dengan kebutuhan dan jenis kecacatan
siswa.
Agar program dapat memenuhi kebutuhan setiap individu, guru
pendidikan jasmani seyogianya memperhatikan berbagai factor yang
meliputi : pemahaman terhadap individu, kebutuhan-kebutuhan individu,
keterbatasan- keterbatasan individu dan kemampuan dan kelebihan
individu serta pengembangan strategi yang tepat, sangat menentukan
dalam mencapai tujuan.
27
Artinya setelah siswa mempelajari dan menguasai bagiab-bagian dari
suatu aktivitas gerak dalam olahraga permainan, maka selanjutnya bagian-
bagian tersebut digolongkan kembali menjadi aktivitas yang lengkap dan
menyeluruh.
2. Metode Keseluruhan
Pembelajaran dengan metode keseluruhan merupakan aktivitas gerak
yang dilakukan secara keseluruhan. Metode ini biasanya digunakan untuk
melatih teknik dan gerakan yang sederhana, atau apabila keseluruhan
serangkaian gerak dari satu teknik olahraga, tidak bisa dipecah menjadi
bagian-bagian.
Metode keseluruhan cukup efektif digunakan untuk anak berkebutuhan
khusus, namun tergantung dari berat ringannya tugas gerakan yang dilakukan
dengan kondisi kecacatan anak. Semakin rendah tingkat kompleksitas tugas
gerakan secara keseluruhan, dan semakin kecil taraf hambatan yang diderita
anak, maka pendekatan ini akan berlangsung lebih baik.
Bagi anak yang terbelakang mental yang cukup berat, seyogianya
diberikan pelajaran atau latihan keterampilan gerak secara keseluruhan.
Misalnya tugas gerak melempar dalam bola tangan atau bola basket.
Pemecahan suatu struktur gerak atau pola gerak menjadi bagian-bagian,
kurang bermanfaat bagi siswa yang kurang mampu memproses informasi
dengan baik seperti anak yang mengalami keterbelakangan mental.
3. Metode gabungan
Memodifikasi metode dengan cara mengubahnya menjadi kombinasi
keseluruhan – bagian – keseluruhan, umumnya memberikan kemudahan dan
keuntungan bagi siswa berkebutuhan khusus.
Semakin simpel langkah-langkah pembelajaran yang diberikan kepada
anak, semakin besar peluangnya untuk menguasai tugas-tugas gerak yang
diajarkan. Kecepatan laju penyampaian instruksi dan jumlah pengulangan
serta reinforcement yang diberikan dalam proses pembelajaran, berbanding
terbalik antara satu dengan yang lainnya terhadap kemajuan dan keberhasilan
yang dicapai siswa berkebutuhan khusus.
28
Hal ini berarti semakin lambat penyampaian instruksi yang dilakukan
guru, dan semakin banyak frekuensi pengulangan oleh siswa, maka semakin
baik kemajuan yang dicapai oleh siswa berkebutuhan khusus.
4. Penyampaian Penjelasan dan peragaan
Metode ini sudah lazim dipergunakan dalam proses pembelajaran
pendidikan jasmani. Namun faktor penting dalam penerapannya adalah
penekanan pada kombinasi penjelasan (baik secara verbal, tertulis maupun
manual) yang dilanjutkan dengan peragaan atau demonstrasi tugas gerak
yang sebenarnya.
Melalui penjelasan dan demonstrasi, para siswa berkebutuhan khusus
lebih terdorong dan termotivasi untuk melakukan tugas gerak, sehingga
memiliki peluang lebih besar untuk memperoleh hasil dalam setiap
pembelajaran.
Bagi sebagian anak, terutama yang memiliki hambatan bicara, hambatan
pendengaran dan keterbelakangan mental, penjelasan-penjelasan yang
diberikan secara sistematis dan runtut kelihatannya kurang bermanfaat.
Namun demikian, peragaan dan demonstrasi yang dapat dilihat dan diamati
dari berbagai arah, sangat membantu terhadap pemantapan persepsi tentang
suatu tugas gerak yang tidak dapat mereka tangkap melalui penjelasan.
Sebaliknya, bagi anak-anak yang mengalami hambatan visual, akan lebih
bermakna informasi melalui penjelasan dibanding melalui peragaan atau
demonstrasi.
Untuk menghadapi kasus lainnya, diperlukan kreativitas dan kejelian guru
dalam memilih suatu metode yang cocok sesuai dengan jenis dan tingkat
kecacatan siswa.
29
pelaksanaan pembelajaran bersama-sama dengan siswa lain, tetapi program
yang harus diterapkan berbeda dengan program pembelajaran bagi siswa
lainnya. Untuk memperoleh hasil pembelajaran yang maksimal maka diperlukan
pengembangan maupun modifikasi pembelajaran dalam upaya memenuhi
kebutuhan-kebutuhan setiap siswa.
Tarigan (2000;49) mengungkapkan bahwa ada beberapa tehnik modifikasi
yang dapat dilakukan pada saat pembelajaran jasmani bagi siswa berkebutuhan
khusus. diantaranya: modifikasi pembelajaran, dan “modifikasi lingkungan
belajar”.
1. Modifikasi Pembelajaran
Tarigan (2000;49) mengungkapkan bahwa “ untuk memenuhi kebutuhan
para siswa berkebutuhan khusus dalam pembelajaran pendidikan jasmani
maka para guru seyogiyanya melakukan modifikasi atau penyesuaian-
penyesuaian dalam pelaksanaan pembelajaran yang disesuaikan dengan
kondisi dan kebutuhan siswa”.
Jenis modifikasi dalam pembelajaran ini berveriasi dan bermacam-macam
disesuaikan dengan kebutuhan dan keterbatasan siswa berkebutuhan khusus,
tetapi tetap memiliki tujuan untuk memaksimalkan proses pembelajaran. Ada
beberapa hal menurut Tarigan (2000;50) yang dapat dimodifikasi untuk
meningkatkan pembelajaran diantaranya:
a. Penggunaan Bahasa
Bahasa merupakan dasar dalam melakukan komunikasi. Sebelum
pembelajaran dimulai, para siswa harus faham tentang apa yang harus
dialakukan. Pemahaman berlangsung melalui jalinan komunikasi yang baik
antara guru dengan siswa. Oleh karena itu, mutu komunikasai antara guru
dan siswa perlu ditingkatkan melalui modifikasi bahasa yang dipergunakan
dalam pembelajaran.
Sasaran dari modifikasi bahasa bukan hanya ditujukan bagi siswa
yang mengalami hambatan berbahasa saja, tetapi bagi anak yang
mengalami hambatan dalam memproses informasi, gangguan perilaku,
mental, dan jenis hambatan-hambatan lainnya.
30
Contohnya pada siswa Autis, dia tidak bisa menerima dan merespon
instruksi yang di berikan apabila instruksi yang diberikan terlalu panjang.
Oleh karena itu instuksi yang diberikan kepada siswa autis harus singkat
tetapi jelas, seperti yang diungkapkan oleh Auxter (2001:504) Begitupula
dengan siswa yang memiliki hambatan mental dengan tingkat kecerdasan
di bawah rata-rata, mereka tidak dapat memproses sebuah instruksi yang
terlalu panjang sehingga instruksi yang diberikan kepada mereka haruslah
singkat dan jelas.
Berbeda dengan contoh di atas penggunaan bahasa bagi siswa
tunanetra dan siswa yang berkesulitan belajar harus lengkap dan jelas,
karena siswa tunanetra memiliki keterbatasan dalam menggambarkan
lingkungan yang ada disekitarnya sehingga mereka membutuhkan
penjelasan yang jelas dan lengkap.
Sementara bagi beberapa siswa berkesulitan belajar, ada diantara
mereka yang memiliki hambatan saat menerima instruksi yang diberikan,
contohnya siswa berkesulitan belajar yang memiliki gangguan
perkembangan motorik saat dia diberikan instruksi untuk menggerakan
tangan kanan tetapi tanpa disadari dan disengaja tangan kiri yang dia
gerakan. Seperti yang diungkapkan oleh Learner dalam Abdurrahman
(2003:146) bahwa “siswa berkesulitan belajar memiliki gangguan
perkembangan motorik antara lain kekurangan pemahaman dalam
hubungan keruangan dan arah, dan bingung lateralitas (confused
laterality)”. oleh karena itu dia memerlukan instruksi yang jelas bahkan
kalau bisa guru juga ikut memperagakan gerakan yang diinstruksikan agar
siswa tidak mengalami kesalahan dalam melakukan gerakan dan instruksi
yang diberikan harus berurutan dari tahapan awal sampai akhir karena
apabila ada gerakan yang runtutannya hilang kemungkinan besar dia akan
bingung saat melakukan gerakan selanjutnya.
Sedangkan bagi siswa yang memiliki hambatan pendengaran guru
harus menggunakan dua metode komunikasi yakni komunikasi verbal dan
Isyarat yang sering disebut dengan komunikasi total. Komunikasi total ini
31
dapat lebih memahami instruksi yang diberikan oleh guru, pada saat siswa
tidak memahami bahasa isyarat dia bisa membaca gerak bibir dan juga
sebaliknya.
b. Membuat urutan tugas
Dalam melakukan tugas gerak yang diberikan oleh guru terkadang
siswa melakukan kesalahan dalam melakukannya, hal ini diasumsikan
bahwa para siswa memiliki kemampuan memahami dan membuat urutan
gerakan-gerakan secara baik, yang merupakan prasyarat dalam
melaksanakan tugas gerak.
Seorang guru menyuruh siswa “ berjalan ke pintu” yang sedang
dalam keadaan duduk. Untuk melaksanakan tugas gerak yang
diperintahkan oleh guru tersebut, diperlukan langkah-langkah persiapan
sebelum anak benar-benar melangkahkan kakinya menuju pintu.
Jika seorang siswa mengalami kesulitan dalam membuat urutan-
urutan peristiwa yang dialami, maka pelaksanaan tugas yang diperintahkan
guru tersebut akan menjadi tantangan berat yang sangat berarti bagi
dirinya. Oleh karena itu guru harus tanggap dan memberikan bantuan
sepenuhnya baik secara verbal maupun manual pada setiap langkah secara
beraturan.
c. Ketersediaan Waktu Belajar
Dalam menghadapi siswa berkebutuhan khusus perlu disediakan
waktu yang cukup, baik lamanya belajar maupun pemberian untuk
memproses informasi. Sebab dalam kenyataan ada siswa berkebutuhan
khusus yang mampu menguasai pelajaran dalam waktu yang sesuai dengan
siswa-siswa lain pada umumnya.
Namun pada sisi lain ada siswa yang membutuhkan waktu lebih
banyak untuk memproses informasi dan mempelajari suatu aktivitas gerak
tertentu. Hal ini berarti dibutuhkan pengulangan secara menyeluruh dan
peninjauan kembali semua aspek yang dipelajari. Demikian juga halnya
dalam praktek atau berlatih, sebaiknya diberikan waktu belajar yang
32
berlebih untuk menguasai suatu keterampilan atau melatih keterampilan
yang telah dikuasai
Contohnya bagi siswa yang memiliki hambatan mental dengan
tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, dia tidak dapat memproses
informasi atau perintah yang diberikan dengan cepat, sehingga dia akan
mengalami kesulitan dan sedikit membutuhkan waktu lebih banyak dalam
melakukan kegiatan tersebut. Begitu pula dengan siswa yang memiliki
hambatan motorik, mereka membutuhkan waktu yang lebih saat
melakukan sebuah aktivitas jasmani karena hambatan yang dimilkinya.
Contoh kegiatannya, pada saat kegiatan berlari mengelilingi lapangan
siswa yang lain di berikan alokasi waktu 2 menit untuk dapat mengelilingi
lapangan, tetapi bagi siswa yang memiliki hambatan mental, motorik dan
perilaku mungkin membutuhkan alokasi waktu 4 sampai 5 menit untuk
dapat mengelilingi lapangan tersebut.
Jadi waktu yang diberikan kepada siswa yang memiliki
hambatan harus disesuaikan dengan kemampuan dan hambatan yang
dimiliki oleh siswa tersebut, tetapi bukan erarti harus selalu lebih dari siswa
lainnya karena pada kenyataanya ada siswa yang memiliki hambatan dapat
menguasai pelajaran waktu yang dibutuhkannya sama dengan siswa
lainnya. Sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Tarigan (2000;56)
bahwa: dalam menghadapi siswa cacat perlu disediakan waktu yang cukup,
baik lamanya belajar maupun pemberian untuk memproses informasi.
Sebab dalam kenyataannya ada siswa yang cacat mampu menguasai
pelajaran dalam waktu yang sesuai dengan rata-rata anak normal
d. Modifikasi peraturan permainan
Memodifikasi peraturan permainan yang ada merupakan sebuah
keharusan yang dilakukan oleh guru pendidikan jasmani agar program
pendidikan jasmani bagi siswa berkebutuhan khusus dapat berlangsung
dengan baik. Oleh karena itu guru pendidikan jasmani harus mengetahui
modifikasi apa saja yang dapat dilakukan dalam setiap cabang olah raga
bagi siswa berkebutuhan khusus.
33
Berikut ini ada beberapa cabang olahraga yang dimodifikasi peraturan
permainannya bagi siswa berkebutuhan khusus:
1. Atletik
Bagi beberapa siswa berkebutuhan khusus cabang olahraga altetik
terutama cabang berlari ini tidak memerlukan begitu banyak
penyesuaian, tetapi bagi siswa tunanetra dan siswa tunarungu sangat
membutuhkan penyesuaian. Contoh penyesuaian yang dilakukan bagi
siswa tunanetra saat mengikuti pembelajaran atletik adalah pada saat
berlari siswa tunanetra memegang tali yang terbentang dari garis star
sampai ke garis finish jadi saat berlari siswa tidak tersesat atau
bertabrakan dengan siswa lainnya. Atau cara lain seperti yang
diungkapkan oleh Auxter (2005;) pada saat berlari siswa tunanetra
diikuti oleh teman yang memiliki penglihatan normal dari belakang
dengan saling memegang tali. jadi pada saat harus berbelok ke kanan
temannya menggerakan talinya kesebelah kanan dan itu menandakan
berbelok ke sebelah kanan dan sebaliknya.
Peraturan atletik pada umumnya saat start di lakukan biasanya wasit
membunyikan pistol atau peluit sebagai tanda dimulainya pertandingan
tersebut. Tetapi bagi siswa tunarunggu hal tersebut tidaklah sesuai
dengan keterbatasan mereka, maka diperlukan sedikit penyesuaian
diantaranya dengan mengganti peluit atau pistol dengan alat yang dapat
memberikan dilihat mereka contohnya seperti bendera. Jadi pada saat
pertandingan dimulai wasit mengibaskan bendera sebagai tandanya.
2. Basket
Dalam permainan bola basket bagi siswa berkebutuhan khusus
diperlukan beberapa penyesuaian dan perubahan peraturan
seperti: pemain yang mengikuti permainan ini terdiri dari 6 orang atau
lebih, diperbolehkan melangkah dua atau tiga kali setelah menangkap
bola. Bagi siswa tunadaksa yang menggunakan kursi roda penyesuaian
yang dilakukan dengan cara menurunkan tinggi ring dalam permainan.
34
Bagi siswa tunanetra bola yang digunakan harus mengeluarkan bunyi
begitu pula dengan keranjang atau ringnya harus mengeluarkan bunyi
agar dapat dikenali oleh para pemain.
3. Sepak bola
Permaian sepakbola bagi kebanyakan siswa berkebutuhan khusus tidak
terlalu banyak memerlukan penyesuaian, hanya ukuran lapangan yang
harus di modifikasi karena siswa berkebutuhan khusus memiliki tingkat
kekuatan atau kemampuan fisik yang lemah sehingga mudah
kecapean. Jadi mereka hanya bermain setengah lapangan sepak bola
besar atau lebih kecil lagi dari itu sesuai dengan kemampuan mereka.
Tetapi bagi siswa tunanetra ada beberapa penyesuaian yang dilakukan
diantaranya bola dan gawang yang harus mengeluarkan bunyi agar bisa
dikenali oleh mereka. Lapangan yang diperkecil serta tidak ada
aturan bola keluar. Masih banyak lagi permainan atau cabang olahraga
bagi siswa berkebutuhan khusus yang memerlukan penyesuaian.
2. Modifikasi Lingkungan Belajar
Dalam meningkatkan pembelajaran pendidikan jasmani bagi siswa yang
berkebutuhan khusus maka suasana dan lingkungan belajar perlu dirubah
sehingga kebutuhan-kebutuhan pendidikan siswa dapat terpenuhi secara baik
untuk memperoleh hasil maksimal.
Adapun teknik-teknik memodifikasi lingkungan belajar siswa menurut
Tarigan dalam Penjas adaptif (2000: 58) sebagai berikut:
a. Modifikasi fasilitas dan peralatan
Memodifikasi fasilitas-fasilitas yang telah ada atau menciptakan
fasilitas baru merupakan keharusan agar program pendidikan jasmani bagi
siswa berkebutuhan khusus dapat berlangsung dengan sebagai mana
mestinya.
Semua fasilitas dan peralatan tentunya harus disesuaikan dengan
kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh siswa. Oleh karena itu
diperlukan sebuah modifikasi dan penyesuaian pada fasilitas dan peralatan
35
yang akan digunakan oleh siswa berkebutuhan khusus. Ada beberapa
modifikasi tersebut meliputi:
1) Pengecatan, pengapuran atau memperjelas garis-garis pinggir atau batas
lapangan
2) Memperlebar lintasan agar dapat dilalui oleh kursi roda
3) Mengubah atau menyesuaikan ukuran bola dalam permainan sepak bola
dan voli ball
4) Memodifikasi bola menjadi bercahaya dan berbunyi bagi siswa tunanetra
36
Khusus bagi siswa yang mengalami gangguan belajar, hiperaktif dan
tidak bisa berkonsentrasi lama, faktor-faktor tersebut merupakan
gangguan yang sangat berarti, namun bagi siswa siswa lainnya tidak terlalu
mengganggu.
Semua faktor – faktor di atas, perlu dihilangkan atau dihindari
semaksimal mungkin, agar para siswa dapat memusatkan perhatian dan
berkonsentrasi pada tugas-tugas yang diberikan. Tarigan (2001:61)
mengungkapkan bahwa
Konsentrasi dan perhatian siswa dapat dialihkan dengan berbagai cara
antara lain: pemberian instruksi dengan jelas dan lancar, dan guru harus
memiliki antusiasme yang tinggi serta selalu ikut berpartisipasi aktif dalam
pembelajaran.
Seperti apa yang diungkapkan oleh Tarigan di atas bahwa konsentrasi
dan perhatian siswa dapat dialihkan dengan beberapa cara diantaranya
pemberian instruksi dengan jelas dan lancar. Instruksi yang diberikan oleh
guru kepada siswa harus jelas tanpa ada singkatan ataupun kata-kata yang
dapat membuat siswa menjadi bingung, dan instruksi yang diberikan harus
utuh dan lancar jangan tersendat-sendat atau terputus-putus karena hal
tersebut dapat menciptakan ruang bagi siswa untuk memalingkan
perhatiannya.
Cara yang kedua adalah guru harus memiliki antusiasme yang tinggi
serta selalu ikut berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Pada saat
pembelajaran berlangsung guru harus dapat berperan aktif dalam setiap
kegiatan yang dilakukan bersama-sama dengan siswa. Guru dengan siswa
bersama-sama melakukan kegiatan jasmani dengan menunjukan semangat
dan keceriaan yang dapat menarik perhatian siswa agar mau mengikuti
kegiatan yang dilakuan.
37
MODIFIKASI PEMBELAJARAN
PADA PENDIDIKAN JASMANI ADAPTIF
38
Educational Assessment ( Asesmen Pendidikan)
Langkah awal dalam menyusun program untuk pembelajaran adaptif
didahului dengan melakukan penilaian(assessmet). Dalam asesmen kita harus
menemukan tiga hal:
1) Apa yang ia miliki dalam satu hal
2) Apa yang ia belum miliki dalam satu hal.
3) Apa yang dibutuhkan ABK tentang tentang satu hal.
Dengan ditemukannya jawaban ketiga pertanyaan asessment di atas, maka
asesmen dapat berfungsi:
a. Menjelaskan tingkat kemampuan siswa dalam satu hal.
b. Menjelaskan tentang keuntungan dan kerugian dari program yang
diberikan kepada ALB.
c. Menjelaskan tingkat kemajuan siswa.
Adapun cara guru melakukan asesmen dapat secara “formal” yaitu dengan
menggunakan tes standart yang telah baku, maupun dengan cara “informal”
yaitu dengan mengobservasi dalam kegiatan sehari-hari anak atau dengan tes
non standart yang dibuat oleh guru dan sebagainya.
3. Rencana Program yang individual.
Apapun program yang dirancang untuk ALB maka harus program yang
diindividualisasi sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya.
4. Guru
Guru PLB yang dapat memberikan pelayanan Pendidikan Luar Biasa pada
siswa Anak Luar Biasa bisa guru biasa dengan berkonsultasi pada guru khusus
atau Guru pembimbing khusus yang memang telah dipersiapkan dengan
kompetensinya.Guru PLB untuk ALB ada beberapa macam tergantung peran
dan kebutuhan layanan yaitu:
a. Guru Biasa
b. Guru konsultan
c. Guru kunjung
d. Guru Pembimbing khusus
e. Guru kelas Khusus.
39
5. Peran orang tuanya.
Dalam menyusun dan merancang program bagi ALB, orang tua harus
dilibatkan dan memiliki peran khusus. Hal ini harus menjadi suatu paket dari
penyusun rancangan tersebut.
6. Team ahli yang lain yang dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan program
pembelajaran bagi ALB. Dalam pembelajaran ALB harus mengunakan
pendekatan team.
7. Layanan dalam pembelajaran ALB perlu dirancang yang sesuai dengan
kebutuhan, karakteristik, tingkat kelainan dan kemampuan ALB. Rancangan ini
termasuk didalamnya:
a. Apa Layanan atau jenis layanan yang dibutuhkan.
b. Dimana layanan diberikan, lokasi layanan baik sekolahnya, kelasnya dan
sebagainya.
c. Kapan dan berapa lama harus diberikan layanan diberikan.
d. Bagaimana harus diberikan dan oleh siapa layanan tersebut harus
diberikan. Setiap jenis kelainan atau setiap anak belum tentu sama
layanan yang dibutuhkan, baik itu jenis layanan, tempat layanan,
waktunya, cara dan tenaga pelayanannya.
40
C. Pembelajaran Adaptif dalam Pendidikan Jasmani bagi Anak Berkebutuhan
Khusus
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak yang mengalami kelainan
sedemikian rupa baik fisik, mental, sosial maupun kombinasi dari ketiga aspek
tersebut, sehingga untuk mencapai potensi yang optimal ia memerlukan
Pendidikan Luar Biasa (PLB). PLB merupakan pendidikan yang dirancang untuk
memenuhi kebutuhan pendidikan ABK. Adapun yang dirancang dalam PLB adalah
kelas, program dan layanannya. Sehingga PLB dapat diartikan juga sebagai
Spesial kelas, program atau layanan yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan
ABK. ABK bisa memiliki masalah dalam sensorisnya, motoriknya, belajarnya, dan
tingkahlakunya. Semua ini mengakibatkan terganggunya perkembangan fisik
anak. Hal ini karena sebagian besar ABK mengalami hambatan dalam merespon
rangsangan yang diberikan lingkungan untuk melakukan gerak, meniru gerak dan
bahkan ada yang memang fisiknya terganggu sehingga ia tidak dapat melakukan
gerakan yang terarah dengan benar. Di satu sisi, ABK harus dapat mandiri,
beradaptasi, dan bersaing dengan orang normal, di sisi lain ia tidak secara
otomatis dapat melakukan aktivitas gerak. Secara tidak disadari akan berdampak
kepada pengembangan dan peningkatan kemampuan fisik dan keterampilan
geraknya. Pendidikan jasmani bagi ABK disamping untuk kesehatan juga harus
mengandung pembetulan kelainan fisik.
Dengan uraian di atas maka jelas bahwa Pendidikan jasmani yang
diadaptasi dan dimodifikas sesuai dengan kebutuhan, jenis kelainan dan tingkat
kemampuan ABK merupakan salah satu factor yang sangat menentukan dalam
keberhasilan Pendidikan bagi ABK. Keberhasilan ini akan terwujud baik pada PLB
dalam bentuk kelas khusus, program khusus, maupun dalam bentuk layanan
khusus di SD biasa maupun di tiap jenjang sekolah biasa lainnya.
41
kelemahan siswa. Maka hasil evaluasi dapat digunakan untuk merncanakan dan
menyesuaikan program individual bagi setiap siswa yang memiliki jenis dan
kecacatan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Menyusun
program yang sesuai bagi setiap anak,termasuk usaha-usaha untuk
menyempurnakan kekurangan siswa.
2. Hakekat Tes, Pengukuran dan Evaluasi penjas adaptif
a. Tes
Tes adalah suatu tehnik pengumpulan data dengan menggunakan peralatan
yang spesifik, atau memerlukan prosedur yang tertentu bila menggunakan
metode observasi.
b. Pengukuran
Pengukuran adalah suatu tehnik dalam proses penjaringan data atau hasil
tes berupa simbol-simbol, misalnya skor/nilai yang dicapai oleh seseorang.
c. Evaluasi
Evaluasi adalah suatu istilah yang sering digunakan oleh guru pendidikan
jasmani umum, sedangkan penilaian digunakan oleh guru pendidikan
jasmani adaptif. Namun beberapa penulis buku menggunakan istilah
evaluasi dan penilaian secara bergantian sesuai dengan konteksnya.
d. Penilaian
Penilaian merupakan proses penafsiran hasil-hasil pengukuran untuk
membuat suatu keputusan tentang penempatan atau pengelompokan siswa.
3. Tujuaan Evaluasi dan Penilaian Penjas Adaptif
Ada 4 tujuan evaluasi dan penilaian yang secara umum telah disepakati dan
diterima, baik oleh guru pendidikan jasmani umum dan juga guru pendidikan
jasmani adaptif yaitu sebagai berikut :
a. Klasifikasi/pengelompokan
Salah satu tujuan tes dan pengukuran bagi siswa penyandang cacat adalah
menentukan apakah siswa tersebut hsru dipisah dan ditempatkan dalam
kelas pendidikan jasmani khusus, atau digabung dengan kelas lainnya.
b. Diagnosis
42
Diagnosis ini berperan dalam mengenal dan mengetahui kemampuan siswa
serta mengarahkan pada jenis aktifitas fisik yang cocok.
c. Prediksi
Penilaian dimanfaatkan oleh guru pendidikan jasmani adaptif untuk
memperkirakan pencapaian prestasi atau kemajuan yang diperoleh siswa
dalam suatu periode tertentu.
d. Mengukur kemajuan siswa (prestasi)
Bagi setiap guru pendidikan jasmani adaptif salah satu tujuan paling penting
dari tes dan pengukuran adalah menentukan apakah tujuan pembelajaran
telah tercapai dengan baik.
4. Pedoman Pengukuran Tes
Sebelum menggunakan suatu bentuk tes, ada beberapa faktor yang perlu
dipertimbangkan antara lain :
Seorang guru penjas adaptif haris betul-betul memahami dengan baik tes yang
akan digunakan, termasuk cara pelaksanaannya dan peruntukannya.
Tes yang digunakan tersebut harus sahih, artinya tes tersebut dapat mengukur
keretampilan sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Tes yang digunakan
harus terandal, artinya tes tersebut memberikan hasil yang konsisten. Guru
penjas adaptif harus selalu mencari bentuk-bentuk tes yang paling tepat sesuai
dengan jenis tingkatan kecacatan siswa.
Suatu tes yang ditunjukkan untuk keperluan diagnosis, maka jangan hanya
menggunakan tes saja, tetapi gunakan jenis tes yang lainnya. Harga peralatan
tes dan efisien waktu penggunaanya juga harus menjadi pertimbangan dalam
memilih dan menggunakan tes. Tes yang digunakan harus objektif, artinya bila
lebih dari dua orang yang memberikan penilaian berdasarkan tes yang
dilakukan, maka hasilnya harus mendekati sama. Untuk mendapatkan
kesasihan suatu tes maka lakukanlah pengetesan berulang-ulang. Harus ada
saling percaya dan saling mengenal antara yang di tes dengan orang yang
melakukan tes.
43
5. Jenis Tes untuk Anak Berkebutuhan Khusus
a. Tes Kebugaran jasmani
Hollis fait school of physical education university of conecticut
Metropolitan Toronto association for retarded
AAHPERD Youth fitness tes adation for the blind (Buell, 1973)
Tes kebugaran jasmani yang dibuat oleh jack hilsendager dan man, pada
tahun 1973
AAHPERD physical education and recreation for visually handicapped
tahun 1974
AAHPERD
b. Tes Keterampilan
Besic motor ability test revised
Bruiniks-Gseresky test of motor profiency
Six-category gross-motor test
Standard brands education service oleh M. peanut
ICAN body management
c. Tes Kebugaran Morotik
AAHPERD, tes kebugaran motorik untuk anak keterbelakangan mental sedang
dengan kisaran usia antar 6-20 tahun putra maupun putrid.
d. Tes penyimpangan Sikap Tubuh
Full view dynamic posture evaluation
Tes ini bertujuan untuk mengevaluasi sikap tubuh, yang walaupun belum ada
kesepakatan mengenai bagaimana sikap tubuh yang benar.
ICAN : Health and fitness
Tes ini bertujuan untuk mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan
sikap tubuh, baik sikap tubuh statis maupun dinamis yang meliputi berdiri,
berjalan, duduk, naik dan tutun tangga.
44
guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid”.
Kendala yang sering di jumpai oleh para pengajar adalah sarana dan prasarana yang
kurang memadai, kondisi siswa yang kurang memungkinkan, dan lain-lain.
Maksud dari siswa yang kurang memungkinkan keadaannya adalah siswa-
siswa yang mempunyai hambatan sehingga perlu penanganan khusus dibandingkan
menangani siswa yang normal. Dalam pendidikan jasmani penanganan untuk anak-
anak yang mempunyai hambatan disebut dengan pendidikan jasmani adaptif atau
pendidikan jasmani yang disesuaikan.
45
ORGANISASI OLAHRAGA DISABILITAS
Special Olympics didirikan pertama kali pada tahun 1968 oleh Eunice
Kennedy Shriver. Program Special Olympics telah menyebar ke seluruh dunia dan
memberdayakan banyak warga Tunagrahita hingga menjadi manusia yang lebih
produktif di dalam kehidupan bermasyarakat. Hingga tahun 2009 Special
Olympics International telah mendata sebanyak 4 juta atlet Special Olympics
yang tersebar di lebih dari 180 negara.
Special Olympics Indonesia atau SOIna adalah satu-satunya organisasi di
Indonesia yang mendapat akreditasi dari Special Olympics International (SOI)
untuk menyelenggarakan pelatihan dan kompetisi olahraga bagi warga
Tunagrahita di Indonesia. Indonesia bergabung menjadi anggota Special
Olympics ke-79 pada 9 Agustus 1989. Hingga tahun 2011 SOIna telah menjaring
55.000 atlet yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Pengurus Pusat SOIna
periode 2006-2014 diketuai oleh dr. Pudji Hastuti, Msc PH, dengan Pembina
Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia dan Ibu Sri Soemarsih
Surjadi Soedirdja.
46
Misi :
Menyelenggarakan pelatihan dan kompetisi olahraga sepanjang tahun bagi
wargaTunagrahita, memberikan kesempatan yang berkesinambungan untuk
membentuk fisik yang sehat, menunjukkan keberanian, merasakan kebahagiaan
dan memperlihatkan kemampuan, keahlian dan persahabatan dengan
keluarganya, atlet Special Olympics lainnya dan masyarakat.
47
1. Healthy Athletes, yaitu kegiatan pemeriksaan keehatan atlet, meliputi
Kesehatan Mata, Kesehatan Gigi dan Mulut, Kesehatan Telinga, Fisioterapu,
Kesehatan Kaki dan Tulang dan Pendidikan Kesehatan.
2. Special Olympics Get Into It, yaitu kurikulum pendidikan yang dirancang untuk
memperkenalkan Special Olympics dan Tunagrahita kepada siswa/i sekolah
untuk memotivasi mereka agar terlibat dalam gerakan Special Olympics.
48
4. Unified Sports yaitu program yang membawa kebersamaan antara warga
Tunagrahita dan non-Tunagrahita dalam satu tim pertandingan olahraga.
6. Youth Activation Network atau Youth Leader Program, yaitu program yang
ditujukan bagi atlet-atlet Tunagrahita yang berusia di bawah 17 tahun untuk
disatukan dengan teman seusianya yang non atlet agar terjalin hubungan
persahabatan dan menghilangkan stigma negatif terhadap anak-anak
Disabilitas Intelektual.
49
Paralympic yang sekarang kita kenal adalah warisan dari Dr. Ludwig
Guttman seorang ahli saraf Jerman yang mempelopori penggunaan olahraga
untuk rehabilitasi. Sebelumnya, para difable yang tidak pernah merasakan
rehablitasi mengalami penurunan kualitas hidup. Sesuai Perang Dunia II, banyak
rumah sakit di Eropa dibanjiri para pemuda yang menderita cedera mengerikan.
Dr. Guttmann bertekad bahwa, orang-orang seharusnya tidak tersisihkan dan
masih memiliki banyak kemampuan untuk berkontribusi kepada masyarakat dan
ia melihat olahraga sebagai kunci untuk rehabilitasi dan bahkan transformasi.
Tadinya olahraga paralimpik tidak begitu diakui keberadaanya sampai
pada masa Perang Dunia ke II dimana jenis olahraga ini kemudian diperkenalkan
secara luas. Tujuan dari pengenalan olahraga ini pada masa itu adalah untuk
membantu atau memberikan dukungan pada veteran perang dan warga sipil
yang mengalami kecacatan akibat menjadi korban perang.
Pada tahun 1944, atas permintaan Pemerintah Inggris, Dr. Ludwig
Guttmann membuka pusat spinal injuries di Rumah Sakit Stoke Mandeville, di
Inggris Raya, dan pada saat itu juga, tempat rehabilitasi olahraga dibangun untuk
olahraga rekreasi hingga kemudian berkembang menjadi olahraga prestasi.
Pada 29 Juli 1948, pada hari Pembukaan Olympic Games London 1948,
Dr. Guttmann menyelenggarakan kompetisi pertama untuk atlit - atlit pemakai
kursi roda yang ia namakan Stoke Mandeville Games. Kompetisi tersebut diikuti
oleh 16 mantan pejuang yang menjadi korban perang yang berlaga pada
kejuaraan panahan. Pada tahun 1952, mantan korban perang asal Belanda
bergabung dalam pergerakan ini dan pada saat itulah International Stoke
Mandeville Games diselenggarakan.
Event olahraga ini kemudian dikenal dengan nama Paralympic Games
atau Paralimpiade yang pertama kali diselenggarakan di Roma, Italia pada 1960
yang diikuti oleh 1960 atlit dari 23 negara. Sejak saat itu event ini diadakan
secara rutin setiap 4 tahun sekali. Pada tahun 1976, Paralimpiade musim dingin
pertama diadakan di Swedia, sama seperti Paralimpiade Musim Panas, event ini
juga diselenggarakan setiap 4 tahun sekali.
50
Sejak Olimpiade Musim Panas di Seoul, Korea pada 1988 dan Olimpiade
Musim Dingin di Albertville Perancis pada 1992, Paralimpiade juga
diselenggarakan di tempat/kota yang sama dengan penyelenggaraan Olimpiade
berdasarkan perjanjian yang telah dibuat antara IPC dan IOC.
Pada tahun 1960, dibawah naungan World Federation of ex-serviceman
(Federasi Dunia Mantan Pejuang Perang, sebuah Kelompok International yang
bergerak di bidang olahraga bagi penyandang disabilitas dibentuk untuk
mempelajari segala permasalahan yang muncul berkaitan dengan olahraga bagi
penyandang disabilitas. Hasil dari dibentuknya kelompok ini adalah didirikannya
International Sport Organization for Disabled (ISOD) yang memberikan
kesempatan kepada para atlit yang tidak bisa berkompetisi pada Stoke
Mandeville Games diantaranya adalah para tuna netra, amputee, dan
penyandang cerebral palsy dan paraplegi.
Pada awalnya, ada 16 negra yang berafiliasi kepada ISOD dan organisasi
ini berusaha dengan sangat keras untuk mengikutsertakan tuna netra dan
amputee pada Paralympiade Toronto 1976 dan athlete dengan cerebral palsy
pada Arnheim 1980. Tujuannya adalah untuk menaungi semua jenis kecacatan di
masa mendatang dan berlaku sebagai Co-coordinating committee. Dengan
demikian, kemudian terbentuklah organisasi kecacatan international lainnya
yaitu Cerebral Palsy International Sports and Recreation Association (CPISRA) dan
International Blind Sports Federation (IBSA) yang didirikan pada tahun 1978 dan
1980.
Keempat organisasi tersebut menyadari perlunya koordinasi dalam
sebuah Kejuaraan maka dari itu pada 1982 mereka mendirikan "International Co-
coordinating Committee Sports for Disabled in the World (ICC).
Awal mulanya ICC terdiri dari 4 president dari CPISRA, IBSA, ISMGF dan
ISOD, secretary general dan seorang anggota tambahan (pada awalnya disebut
Wakil President, dan kemudian sebutan tersebut diganti dengan Technical
Officer). The International Committee of Sport for the Deaf (CISS) dan
International Sports Federations for Person with an Intelectual Disability (INAS -
FID) bergabung pada tahun 1986, tetapi untuk tuna rungu mereka masih
51
mengurusi organisasi mereka sendiri. Namun demikian, negara-negara anggota
menuntut adanya perwakilan tingkat nasional dan regional untuk organisasi
tersebut.
Akhirnya pada 22 Desember 1989 International Paralympic Committee
didirikan sebagai sebuah organisasi non profit di Dusseldorf, Jerman yang
bertindak sebagai organisasi global yang bergerak dibidang Paralimpik.
Istilah paralympik berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu 'para' yang
bermakna 'selain/disisi' dan 'olympic'. Makna dari istilah tersebut adalah bahwa
Paralympics adalah sebuah kejuaraan paralel dan mengilustrasikan bagaimana
kedua pergerakan ini ada berdampingan untuk para atlit di dunia.
Dr. Ludwig Guttmann datang ke Inggris pertama kali pada tahun 1939 setelah
melarikan diri dari Nazi. Pada foto ini Dr. Guttmann terlihat sedang menangani
pasien awal di Stoke Mandeville, Buckinghamshire, Inggris.
52
Pertama kali dikenal dengan nama Stoke Mandeville Games, yang berlangsung
setiap tahun. Foto ini menunjukkan pertandingan basket dengan kursi roda antara
Amerika Serikat dan Belanda di Rumah Sakit Stoke Mandeville pada tanggal 30 Juli
1955.
53
Ornelis Moriel dari Belgia dalam
pertandingan di Stadion Stoke Mandeville
pada bulan Juli 1970. Rekan satu timnya
memberikan dukungan pada salah satu
kursi roda. Istilah Paralympic merupakan
gabungan dari “Parallel” dan “Olympic”
untuk menggambarkan bagaimana dua
pergerakan Olympic berdampingan.
Sebanyak 4.200 dari 165 negara atlet bersaing di Paralympic London 2012. Siaran
upacara pembukaan acara ini merupakan acara yang banyak disaksikan di seluruh
dunia. Stephen Hawking, dengan penampilan yang jarang di publik mengatakan
pada saat pembukaan acara: “Look up at the stars, and not down at your feet. Try to
make sense of what you see, and wonder about what makes the universe exist. Be
curious. However difficult life may seem, there is always something you can do and
succeed at.”
54
REFERENSI
55