Anda di halaman 1dari 33

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA Referat

FAKULTAS KEDOKTERAN November 2018

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

GANGGUAN DEPRESI PASCA SKIZOFRENIA

OLEH

Dwi Amrina Syarifuddin, S.ked

10542 0475 13

PEMBIMBING
dr. Fanny Widjaya, Sp.KJ

(Dibawakan Dalam Rangka Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu


Kedokteran Jiwa)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Dwi Amrina Syarifuddin , S.Ked

Judul Lapsus : Gangguan Depresi Pasca Skizofrenia

Telah menyelesaikan tugas tersebut dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian

Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah

Makassar.

Makassar, November 2018

Pembimbing

dr. Fanny Widjaya, Sp.KJ

2
BAB I

PENDAHULUAN

Kesehatan merupakan aspek yang sangat penting bagi manusia. Dalam

Undang-undang no 23 tahun 1992 dijelaskan bahwa kesehatan adalah keadaan

sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang dapat hidup

produktif secara sosial dan ekonomi. Atas dasar definisi kesehatan tersebut, dapat

dikatakan bahwa kesehatan jiwa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

kesehatan dan unsur utama dalam terwujudnya kualitas hidup manusia yang utuh.1

Masalah gangguan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah

yang sangat serius. Skizofrenia merupakan salah satu gangguan kesehatan jiwa yang

menjadi perhatian dan dikategorikan dalam gangguan psikis yang paling serius

karena dapat menyebabkan menurunnya fungsi manusia dalam melaksanakan

aktivitas kehidupan sehari-hari seperti kesulitan dalam merawat diri sendiri, bekerja

atau bersekolah, memenuhi kewajiban peran, dan membangun hubungan yang dekat

dengan seseorang. Dalam sejarah perkembangan skizofrenia sebagai gangguan klinis,

banyak tokoh psikiatri dan neurologi yang berperan. Mula-mula Emil Kreaplin (18-

1926) menyebutkan gangguan dengan istilah dementia prekok yaitu suatu istilah yang

menekankan proses kognitif yang berbeda dan onset pada masa awal. Istilah

skizofrenia itu sendiri diperkenalkan oleh Eugen Bleuler (1857-1939), untuk

menggambarkan munculnya perpecahan antara pikiran, emosi dan perilaku pada

pasien yang mengalami gangguan ini. Bleuler mengindentifikasi symptom dasar dari

3
skizofrenia yang dikenal dengan 4A antara lain : Asosiasi, Afek, Autisme dan

Ambivalensi.1,2

Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering, hampir 1%

penduduk dunia menderita psikotik selama hidup mereka di Amerika. Skizofrenia

lebih sering terjadi pada Negara industri terdapat lebih banyak populasi urban dan

pada kelompok sosial ekonomi rendah.1,2

Walaupun insidennya hanya 1 per 1000 orang di Amerika Serikat, skizofrenia

seringkali ditemukan di gawat darurat karena beratnya gejala, ketidakmampuan untuk

merawat diri, hilangnya tilikan dan pemburukan sosial yang bertahap. Kedatangan

diruang gawat darurat atau tempat praktek disebabkan oleh halusinasi yamg

menimbulkan ketegangan yang mungkin dapat mengancam jiwa baik dirinya maupun

orang lain, perilaku kacau, inkoherensi, agitasi dan penelantaran.3

Skizofrenia mempunyai karakteristik dengan gejala positif dan negatif. Gejala

positif antara lain thougt echo, delusi, halusinasi. Gejala negatifnya seperti: sikap

apatis, bicara jarang, efek tumpul, menarik diri. Gejala lain dapat bersifat non

skizofrenia meliputi kecemasan, depresi dan psikosomatik.4,5

Depresi merupakan salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan

yang ditandai dengan kemurungan, keleluasaan, ketiadaan gairah hidup, perasaan

tidak berguna, putus asa dan lain sebagainya. Diperkirakan, prevalensi depresi pada

populasi dunia adalah adalah 3-8% dengan 50% kasus terjadi pada usia produktif

antara 20-50 tahun. WHO, memperkirakan pada tahun 2020 depresi akan menduduki

peringkat kedua setelah penyakit jantung koroner dalam urutan daftar penyakit yang

menimbulkan beban global dunia. Sekitar 20% wanita dan 12% pria.6

4
Masalah kesehatan jiwa merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar

dibandingkan masalah kesehatan lainnya. Depresi pasca skizofrenia merupakan suatu

episode depresif yang mungkin berlangsung lama dan timbul setelah suatu serangan

penyakit skizofrenia. Gejala depresif merupakan masalah yang mempengaruhi

seluruh tubuh, dengan mengganggu kesehatan mental, kesehatan fisik, rasa dan

perilaku pada aktifitas yang biasa dilakukan. Semakin cepat keluarga memeriksakan

seorang anggota keluarganya yang dicurigai depresi ke layanan kesehatan, semakin

cepat strategi penanganan yang sesuai untuk menghadapi masalah ini yang sebetulnya

adalah gangguan yang sangat nyata terhadap kesehatan.6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Skizofrenia

5
1. Pengertian

Skizofrenia adalah suatu psikosa fungsional dengan gangguan utama pada

proses pikir serta disharmonisasi antara proses pikir, afek atau emosi, kemauan dan

psikomotor disertai distorsi kenyataaan terutama karena waham dan halusinasi,

assosiasi terbagi-bagi sehingga muncul inkoherensi, afek dan emosi inadekuat,

psikomotor menunjukkan penarikan diri, ambivalensi dan perilaku bizar. Skizofrenia

berasal dari dua kata “skizo” yang berarti retak atau pecah (split), dan ”frenia” yang

berarti jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita gangguan jiwa skizofrenia

adalah orang yang mengalami keretakan atau keretakan kepribadian (splitting of

personality). 1,3

Skizofrenia merupakan sebuah sindrom kompleks yang dapat merusak pada

efek kehidupan penderita maupun anggota-anggota keluarganya atau gangguan

mental dini untuk melukiskan bentuk psikosis tertentu yang sesuai dengan pengertian

skizofrenia sekarang. Hal tersebut dilaporkan dalam bentuk kasus yang terjadi pada

seorang pemuda yang ditandai adanya kemunduran atau keruntuhan fungsi intelek

yang gawat, berikutnya menjadi dementia yanc, merupakan kemerosotan otak

(dementia) yang diderita oleh orang muds (praecox) yang pada akhirnya dapat

menyebabkan kekaburan keseluruhan kepribadian. Bahwa halusinasi, delusi dan

tingkah laku yang aneh pada penderita skizofrenia dapat dikatakan sebagai kelainan

fisik atau suatu penyakit. Eugen Bleuler dalam Kaplan & Sadock, memperkenalkan

istilah skizofrenia atau jiwa yang terbelah, sebab gangguan ini ditandai dengan

disorganisasi proses berpikir, rusaknya koherensi antara pikiran dan perasaan, serta

6
berorientasi dini kedalam dan menjauh dari realitas yang intinya terjadi perpecahan

antara intelek dan emosi.4,5

2. Etiologi Skizofrenia

a. Keterlibatan faktor keturunan

Secara umum dapat dikatakan semakin dekat hubungan genetiknya dengan

pasien, maka semakin besar pula kemungkinannya untuk menderita gangguan

tersebut. Hal ini sering disebut concordant, yaitu anak kembar dari satu telur

mempunyai kemungkinan tiga sampai enam kali lebih besar untuk sama-sama

menderita gangguan skizofrenia dibandingkan dengan anak kembar dari dua telur.5,7

b. Faktor lingkungan

Penelitian menyatakan bahwa ibu yang terlalu melindungi, hubungan

perkawinan orang tua yang kurang sehat, kesalahan dalam pola komunikasi diantara

anggota keluarga dapat menimbulkan skizofrenia. Skizofrenia tidak diduga sebagai

suatu penyakit tunggal tetapi sebagai sekelompok penyakit dengan ciri-ciri klinik

umum. Banyak teori penting telah diajukan mengenai etiologi dan ekspresi gangguan

ini, salah satunya yang diungkapkan oleh Residen Bagian Psikiatri UCLA.5,7

c. Teori biologik dan genetik

Penelitian keluarga (termasuk penelitian kembar dan adopsi) sangat

mendukung teori bahwa faktor genetik sangat penting dalam transmisi mendukung

skizofrenia atau paling tidak memberi suatu sifat kerawanan dan juga dapat menjadi

penyebab peningkatan insiden dari sindrom, yang mirip dengan skizofrenia

(gangguan kepribadian skizoafektif, skizotipik dan lainnya) yang terjadi dalam

keluarga.5,7

7
d. Hipotesis neurotransmitter

Penelitian terakhir memperlihatkan adanya kelebihan reseptor dopaminergik

dalam susunan syaraf pusat (SSP) penderita skizofrenik. Pada hakekatnya neuroleptik

diduga efektif karena kemampuannya memblokir reseptor dopaminergik. Penelitian

mengenai skizofrenik yang tidak di obati juga mengungkapkan suatu kelebihan dari

reseptor dopaminergik yang secara langsung berlawanan dengan teori bahwa temuan

ini berhubungan dengan pemberian neuroleptik.5

e. Pencetus psikososial

Stressor sosio lingkungan sering menyebabkan timbulnya serangan awal dan

kekambuhan skizofrenia serta dapat diduga sebagai suatu terobosan kekuatan

protektif dengan tetap mempertahankan kerawanan secara psiko biologik dalam

pengendalian. Tiga tindakan emosi yang dinyatakan di lingkungan rumah : komentar

kritis, permusuhan dan keterlibatan emosional yang berlebihan terbukti menyebabkan

peningkatan angka kekambuhan skizofrenia. Etiologi atau penyebab skizofrenia yang

lebih rinci dijelaskan oleh Kaplan dan Sadock sebagai berikut:

1. Model diatesis-stress

Suatu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial dan

lingkungan adalah model diatesis-stress. Model ini merumuskan bahwa seseorang

mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang jika dikenai oleh suatu

pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress akan memungkinkan perkembangan

gejala skizofrenia.5,7

2. Faktor biologis

8
Semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan patofiologis untuk

daerah tertentu di otak termasuk sistem limbik, korteks frontalis dan ganglia basalis.

Ketiga daerah tersebut saling berhubungan sehingga disfungsi pada salah satu daerah

tersebut mungkin melibatkan patologi primer di daerah lainnya sehingga menjadi

suatu tempat potensial untuk patologi primer pasien skizofrenik.5,7

3. Kriteria Diagnostik Skizofrenia

Adapun kriteria diagnostik skizofrenia meliputi:

a. Gangguan pada isi pikiran

Delusi atau kepercayaan salah yang mendalam merupakan gangguan pikiran

yang paling umum dihubungkan dengan skizofrenia. Delusi ini mencakup delusi

rujukan, penyiksaan, kebesaran, cinta, kesalahan diri, kontrol, nihil atau doss dan

pengkhianatan. Delusi lain berkenan dengan kepercayaan irasional mengenai suatu

proses berpikir, seperti percaya bahwa pikiran bisa disiarkan, dimasuki yang lain atau

hilang dari alam pikirannya karena paksaan dari orang lain atau objek dari luar.

Delusi somatik meliputi kepercayaan yang salah dan aneh tentang kerja tubuh,

misalnya pasien skizofrenia menganggap bahwa otaknya sudah dimakan rayap.8-10

b. Gangguan pada bentuk pikiran, bahasa dan komunikasi

Proses berpikir dari pasien skizofrenia dapat menjadi tidak terorganisasi dan

tidak berfungsi, kemampuan berpikir mereka menjadi kehilangan logika, cara mereka

mengekspresikan dalam pikiran dan bahasa dapat menjadi tidak dapat dimengerti,

akan sangat membingungkan jika kita berkomunikasi dengan penderita, gangguan

pikiran. Contoh umum gangguan berpikir adalah inkoheren, kehilangan asosiasi,

neologisms, blocking dan pemakaian kata-kata yang salah.8-10

9
c. Gangguan persepsi halusinasi

Halusinasi adalah salah satu simpton skizofrenia yang merupakan kesalahan

dalam persepsi yang melibatkan kelima alat indera kita walaupun halusinasi tidak

begitu terikat pada stimulus yang di luar tetapi kelihatan begitu nyata bagi pasien

skizofrenia. Halusinasi tidak berada dalam kontrol individu, tetapi tejadi begitu

spontan walaupun individu mencoba untuk menghalanginya. 8-10

d. Gangguan afeksi (perasaan)

Pasien skizofrenia selalu mengekspresikan emosinya secara, abnormal

dibandingkan dengan orang lain. secara umum, perasaan itu konsisten dengan emosi

tetapi reaksi ditampilkan tidak sesuai dengan perasaannya. 8-10

e. Gangguan psikomotor

Pasien skizofrenia kadang akan terlihat aneh dan cara yang berantakan,

memakai pakaian aneh atau membuat mimik yang aneh atau pasien skizofrenia akan

memperlihatkan gangguan katatonik stupor (suatu keadaan di mana pasien tidak lagi

merespon stimulus dari luar, mungkin tidak mengetahui bahwa ada orang di

sekitarnya), katatonik rigid (mempertahankan suatu posisi tubuh atau tidak

mengadakan gerakan) dan katatonik gerakan (selalu mengulang suatu gerakan tubuh)

menonjol adalah afek yang menumpul, hilangnya dorongan kehendak dan

bertambahnya kemunduran sosial. Menurut Eugen Bleuler (1857-1938) dalam Kaplan

& Sadock, (2010) membagi gejala-gejala skizofrenia menjadi 2 kelompok: gejala

positif dan negatif. Gejala positif antara lain thougt echo, delusi, halusinasi. Gejala

negatifnya seperti: sikap apatis, bicara jarang, efek tumpul, menarik diri. Gejala lain

dapat bersifat non-skizofrenia meliputi kecemasan, depresi dan psikosomatik. 8-10

10
B. Depresi

1. Pengertian Depresi

Menurut sejarah psikiatri dapat dilihat bahwa pengertian depresi sebagai

gangguan tersendiri terpisah dari gangguan mental lain yang telah sama ada sejak

zaman Hipocrates (460-377 SM). Hipocrates inilah yang berusaha

mengklasifikasikan gangguan jiwa dalam beberapa penyakit yang berdiri sendiri:

epilepsi, mania (gaduh, gelisah, melankoli (depresi), paranoid. Walaupun namanya

berbeda, waktu itu diberi nama melancholy, yang digambarkan sebagai kemurungan

atau kesedihan yang ditimbulkan oleh karena kelebihan cairan empedu yang

berwarna hitam (zwartgalligheid). Kemudian pada tahun 1905 istilah melancholy

diganti dengan depresi oleh Meyer dengan alasan etiologi yang luas. Depresi

merupakan kata Indonesia yang disadur dari bahasa Inggris yaitu depression, sadness

dan low spirit . Depresi adalah suatu penyakit jiwa yang gejala utamanya adalah

sedih, yang dapat disertai gejala-gejala psikologik lainnya, gangguan somatik maupun

gangguan psikomotor dalam kurun waktu tertentu dan digolongkan kedalam penyakit

jiwa afektif. Stuart (2006) berpendapat bahwa depresi atau melankolia adalah suatu

kesedihan dan perasaan yang berkepanjangan atau abnormal. Dapat digunakan untuk

menunjukkan berbagai fenomena, seperti tanda, gejala, sindrom, emosional, reaksi.

Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnostik Gangguan Jiwa III di Indonesia

yang dimaksud depresi adalah sekumpulan gejala dengan gambaran utama gangguan

mood yang mempengaruhi penampilan kognitif, psikomotor dan psikososial disertai

kesulitan hubungan interpersonal.6,11

11
2. Teori Penyebab Depresi

Adapun teori penyebab terjadinya depresi meliputi:

a. Teori biologi: depresi berhubungan dengan gangguan pada ritme sirkadian,

disfungsi otak, aktivitas kejang limbik, disfungsi neuroendokrin, defisiensi biogenik

amine, cacat pada sistem imun dan genetic.5,12

b. Teori psikoanalitical: depresi berasal dari respon terhadap kehilangan, kekecewaan

atau kegagalan. Rasa marah dipindahkan dan dikembalikan pada diri sendiri,

ketidakmampuan untuk berduka cita karena adanya kehilangan. 5,12

c. Teori Behavioral: kegagalan untuk menerima reinforcement positif dari orang lain

dan lingkungan merupakan predisposisi bagi seseorang untuk mengalami gangguan

depresi.12

d. Teori kognitif: konsep negatif dari diri, pengalaman, orang lain dan lingkungan

merupakan kontribusi terjadinya depresi. Kepercayaan bahwa seseorang tidak dapat

mengontrol situasi memberikan kontribusi terjadinya depresi. 5,12

e. Teori sociological: kehilangan kekuasaan, status, identitas, nilai dan tujuan untuk

menciptakan eksistensi yang tepat akan menyebabkan depresi. 5,12

f. Teori Holism: depresi adalah hasil dari genetik, biologi, psikoanalisa, tingkah laku,

kognitif dan pengalaman sosiologis. 5,12

3. Etiologi Depresi

Faktor penyebab terjadinya depresi menurut Kaplan dan Saddock (2010) adalah:

a. Faktor Biologi

Noreepinephrin dan serotonin adalah dua jenis neurotransmitter yang bertanggung

jawab mengendalikan patofisiologi gangguan alam perasaan pada manusia. Gangguan

12
depresi melibatkan keadaan patologi di limbic system, basal ganglia dan

hypothalamus. Limbic system dan basal ganglia berhubungan sangat erat, hipotesa

sekarang menyebutkan produksi alam perasaan berupa emosi, depresi dan mania

rupakan peranan utama limbic system. Disfungsi hypothalamus berakibat perubahan

regulasi tidur, selera makan, dorongan seksual dan memacu perubahan biologi dalam

endokrin dan imunologik.5,13

b. Faktor Genetika

Gangguan alam perasaan (mood) baik tipe bipolar (adanya episode manik dan

depresi) dan tipe unipolar (hanya depresi saja) memiliki kecenderungan menurun

kepada generasinya. Gangguan bipolar lebih kuat menurun daripada unipolar.

Sebanyak 50 % pasien bipolar memiliki satu orang tua dengan alam perasaan atau

gangguan afektif, yang tersering unipolar (depresi saja). Jika salah satu orang tua

mengidap gangguan bipolar maka 27 % anaknya memiliki resiko mengidap gangguan

alam perasaan. Bila kedua orang tua mengidap gangguan bipolar maka 75 % anaknya

memiliki resiko mengidap gangguan alam perasaan. 5,13

c. Faktor Psikososial

Peristiwa traumatik kehidupan dan lingkungan sosial dengan suasana yang

menegangkan dapat menjadi kausa gangguan neurosa depresi. Sejumlah data yang

kuat menunjukkan kehilangan orang tua sebelum berusia 11 tahun dan kehilangan

pasangan hidup dapat memacu serangan awal gangguan neurosa depresi. Boyd dan

Nihart (1998) menggambarkan hubungan sebabsebab biopsikososial terjadinya

depresi pada lansia terdiri dari: 5,13

13
1) Biologik: penyakit fisik, disregulasi neurotransmitter dalam system saraf pusat

(SSP), efek samping terapi pengobatan, interaksi pengobatan resep maupun non

resep, gangguan mobilitas, perubahan kapasitas sensorik.

2) Psikologis: stress, kehilangan sesuatu dalam hidup, episode depresi sebelumnya

(diawal kehidupan), kemunduran kognitif.

3) Sosiokultural: isolasi sosial, kematian atau ketidakmampuan pasangan atau teman,

kesulitan ekonomi, pensiun, gangguan perubahan lingkungan. 5,13

4. Faktor Resiko Depresi

Menurut Kaplan dan Saddock (2010), faktor resiko dari depresi dipengaruhi oleh:

a. Umur, rata-rata usia onset untuk depresi berat adalah kira-kira 40 tahun, 50 % dari

semua pasien mempunyai onset antara usia 20 dan 50 tahun. Gangguan depresif berat

juga mungkin memiliki onset selama masa anak-anak atau pada lanjut usia, walaupun

hal tersebut jarang terjadi.5,14,15

b. Jenis kelamin, terdapat prevalensi gangguan depresi berat yang dua kali lebih besar

pada wanita dibandingkan laki-laki. Alasan adanya perbedaan telah didalilkan sebagai

melibatkan perbedaan hormonal, perbedaan stressor psikososial bagi perempuan dan

laki-laki c. Status perkawinan, pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling

sering pada orang-orang yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat atau

karena perceraian atau berpisah dengan pasangan. .5,14,15

d. Status fungsional baru, adanya perubahan seperti pindah ke lingkungan baru,

pekerjaan baru, hilangnya hubungan yang akrab, kondisi sakit, adalah sebagian dari

beberapa kejadian yang menyebabkan seseorang menjadi depresi. .5,14,15

5. Gejala-gejala Depresi

14
Menurut Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III depresi

ditandai dengan gejala, yaitu : 8,15

a. Gejala utama pada derajat ringan, sedang dan berat

1) Afek depresif

2) Kehilangan minat dan kegembiraan

3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah

yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan aktivitas menurun. 8,15

b. Gejala lain, meliputi:

1) Konsentrasi dan perhatian berkurang.

2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang.

3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna.

4) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistik.

5) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri.

6) Tidur terganggu.

7) Nafsu makan berkurang. 8,15

Individu yang terkena depresi pada umumnya menunjukkan gejala psikis, gejala fisik

dan sosial yang khas, seperti murung, sedih berkepanjangan, sensitif, mudah marah

dan tersinggung, hilang semangat kerja, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya

konsentrasi dan menurunnya daya tahan. 8,15

Gejala-gejala ini dapat dilihat dari tiga segi yaitu:

a. Gejala fisik

15
Gejala depresi yang kelihatan ini mempunyai rentangan dan variasi yang luas sesuai

dengan berat ringannya depresi yang dialami. Namun secara garis besar ada beberapa

gejala fisik umum yang relatif mudah dideteksi. 8,15 Gejala itu seperti:

1) Sulit tidur, terlalu banyak atau terlalu sedikit

2) Pada umumnya, orang yang mengalami depresi menunjukkan perilaku yang pasif,

menyukai kegiatan yang tidak melibatkan orang lain seperti nonton tv, makan, tidur.

3) Orang yang terkena depresi akan sulit memfokuskan perhatian atau pikiran pada

suatu hal, atau p ekerjaan. Sehingga mereka juga akan sulit memfokuskan energi pada

hal-hal prioritas. Kebanyakan yang dilakukan justru hal-hal yang tidak efisien dan

tidak berguna, seperti misalnya mengemil, melamun, merokok terus-menerus, sering

menelpon yang tidak perlu. Orang yang terkena depresi akan terlihat dari metode

kerjanya yang menjadi kurang terstruktur, sistematika kerjanya jadi kacau atau

kerjanya jadi lamban. 8,15

4) Orang yang terkena depresi akan kehilangan sebagian atau seluruh motivasi

kerjanya. Sebabnya, ia tidak lagi bisa menikmati dan merasakan kepuasan atas apa

yang dilakukannya. Ia sudah kehilangan minat dan motivasi untuk melakukan

kegiatannya seperti semula. Oleh karena itu, keharusan untuk tetap beraktivitas

membuatnya semakin kehilangan energi karena energi yang ada sudah banyak

terpakai untuk mempertahankan diri agar tetap dapat berfungsi seperti biasanya.

Mereka mudah sekali lelah, capai padahal belum melakukan aktivitas yang berarti. 8,15

5) Depresi itu sendiri adalah perasaan negatif. Jika seseorang menyimpan perasaan

negatif maka jelas akan membuat letih karena membebani pikiran dan perasaan dan ia

harus memikulnya dimana saja dan kapan saja, suka tidak suka. 8,15

16
b. Gejala Psikis

1)Kehilangan rasa percaya diri

Penyebabnya, orang yang mengalami depresi cenderung memandang segala sesuatu

dari sisi negatif, termasuk menilai diri sendiri. Pasti mereka senang sekali

membandingkan antara dirinya dengan orang lain. Orang lain dinilai lebih sukses,

pandai, beruntung, kaya, lebih berpendidikan, lebih berpengalaman, lebih

diperhatikan oleh atasan dan pikiran negatif lainnya. 8,15

2)Sensitif

Orang yang mengalami depresi senang sekali mengkaitkan segala sesuatu dengan

dirinya perasaannya sensitive sekali, sehingga sering peristiwa yang netral jadi

dipandang dari sudut pandang yang berbeda oleh mereka, bahkan disalahartikan.

Akibatnya, mereka mudah tersinggung, mudah marah, perasa, curiga akan maksud

orang lain (yang sebenarnya tidak ada apa-apa), mudah sedih, murung, dan lebih suka

menyendiri8,15

3)Merasa diri tidak berguna

Perasaan tidak berguna ini muncul karena mereka merasa menjadi orang yang gagal

terutama dalam bidang atau lingkungan yang seharusnya mereka kuasai. Misalnya

seorang manager mengalami depresi karena ia dimutasikan ke bagian lain. Dalam

persepsinya, pemutasian itu disebabkan ketidakmampuannya dalam bekerja dan

pimpinan menilai dirinya tidak cukup memberikan kontribusi sesuai dengan yang

diharapkan. 8,15

4)Perasaan Bersalah

17
Perasaan bersalah terkadang timbul dalam pemikiran orang yang mengalami depresi.

Mereka memandang suatu kejadian yang menimpa dirinya sebagai suatu hukuman

atau akibat dari kegagalan mereka melaksanakan tanggung jawab yang seharusnya

dikerjakan. Banyak pula yang merasa dirinya menjadi beban bagi orang lain dan

menyalahkan diri mereka atas situasi tersebut. 8,15

5) Perasaan terbebani

Banyak orang yang menyalahkan orang lain atas kesusahan yang dialami. Mereka

merasakan beban yang terlalu berat karena merasa dibebani tanggung jawab yang

berat. 8,15

c. Gejala Sosial

Masalah depresi yang berawal dari diri sendiri pada akhirnya mempengaruhi

lingkungan dan pekerjaan (atau aktivitas lainnya). Bagaimana tidak, lingkungan tentu

akan bereaksi terhadap perilaku orang yang depresi tersebut yang pada umumnya

negatif (mudah marah, tersinggung, menyendiri, sensitive, mudah letih, mudah sakit).

Masalah sosial yang terjadi biasanya berkisar pada masalah yang berinteraksi dengan

rekan kerja, atasan, atau bawahan. Masalah ini tidak hanya berbentuk konflik, namun

masalah lainnya juga seperti perasaan minder, malu, cemas jika berada diantara

kelompok dan merasa tidak nyaman untuk berkomunikasi secara normal. Mereka

merasa tidak mampu untuk bersikap terbuka dan secara aktif menjalin hubungan

dengan lingkungan sekalipun ada kesempatan. 8,15

6. Tingkatan Depresi

Menurut PPDGJ-III, depresi dibagi sesuai dengan tingkat keparahannya, yaitu:

a. Depresi Ringan

18
Pedoman yang dipakai adalah:

1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi

2) Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya

3) Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya

4) Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar

2 minggu

5) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan social yang

biasa dilakukan. 8,17

b. Depresi Sedang

Pedoman yang dipakai adalah :

1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi

seperti pada episode depresi ringan

2) Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala

lainnya

3) Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu

4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan

urusan rumah tangga. 8,17

c. Depresi Berat

Pedoman yang dipakai adalah:

1) Semua 3 gejala depresi harus ada

2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa diantaranya

harus berintensitas berat

19
3) Bila ada gejala penting (misalnya agitasi dan retardasi psikomotor) yang

mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan

banyak gejala secara rinci. 8,17

Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif berat

masih dapat dibenarkan, yaitu:

a) Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurangkurangnya dua minggu,

akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, masih dibenarkan untuk

menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari dua minggu

b) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan

atau urusan rumah tangga, kecuali pada tahap yang sangat terbatas. 8,17

Lebih lanjut dijelaskan bahwa depresi berat ditandai dengan adanya:

1) Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut episode depresif berat

tanpa gejala psikotik

2) Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya melibatkan ide

tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam dan pasien merasa

bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa

suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk.

Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika diperlukan, waham

atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan afek (mood-

congruent)

7. Penatalaksanaan Depresi

20
Penatalaksanaan pada penderita depresi harus dilakukan secara adekuat dengan

menggunakan kombinasi terapi psikologis dan farmakologis disertai pendekatan

multidisiplin yang menyeluruh. Adapun penatalaksanaan depresi meliputi:

a. Terapi Fisik

1) Obat. Secara umum, semua obat anti-depresan sama efektifitasnya. Pemilihan jenis

anti-depresan lebih ditentukan oleh pengalaman klinikus dan familiarity terhadap

jenis-jenis anti-depresan. Pertimbangkan baik, untung dan rugi dari setiap pemberian

terapi dengan mengacu pada 4 hal yaitu efektivitas, tolerabilitas, keamanan, dan

interaksi obat.16,18

2) Terapi ECT (Electroconvulsive Therapy). Untuk pasien depresi yang tidak bisa

makan minum, mau bunuh diri atau retardasi psikomotor yang hebat, maka ECT

merupakan pilihan terapi yang efektif dan aman. ECT diberikan 1-2 kali seminggu

pada pasien rawat inap, dengan metode unilateral untuk mengurangi confusion atau

memory problem. Terapi ECT diberikan sampai ada perbaikan mood (sekitar 5-10

kali), sementara anti-depresan maintenance harus diberikan untuk mencegah relaps

atau kekambuhan. 16,18

3) Terapi profilaksis. Terapi profilaksis harus diberikan untuk mencegah terjadinya

kekambuhan depresi. Setelah gejala-gejala depresi membaik, terapi anti-depresan

masih harus dilanjutkan selama 4-6 bukan dengan dosis terapeutik penuh. Beberapa

penelitian bahkan menganjurkan agar terapi diteruskan sampai 2 tahun. Kapan anti-

depresan boleh dihentikan, sangatlah tergantung pada evaluasi klinis (perkembangan

efek samping, munculnya penyakit fisik atau kelemahan kondisi umum). 16,18

b. Terapi psikologik antara lain:

21
1) Psikoterapi

Psikoterapi individual maupun kelompok paling efektif jika dilakukan bersama-sama

dengan pemberian anti-depresan. Baik pendekatan secara psikodinamik maupun

kognitif behavioural adalah sama keberhasilannya. 16,18

2) Terapi kognitif

Terapi kognitif perilaku bertujuan mengubah pola pikir pasien yang selalu negatif

(persepsi diri yang buruk, masa depan yang suram, dunia yang tak ramah, diri yang

tak berguna lagi, tak mampu dan sebagainya) ke arah pola pikir yang netral atau

positif. 16,18

3) Terapi keluarga

Problem keluarga dapat berperan dalam perkembangan gangguan depresi, sehingga

dukungan terhadap keluarga pasien adalah sangat penting. Tujuan dari terapi terhadap

keluarga pasien yang depresi adalah untuk meredakan perasaan frustasi dan putus asa,

merubah dan memperbaiki sikap/struktur dalam keluarga yang menghambat proses

penyembuhan pasien. 16,18

4) Penanganan ansietas (relaksasi)

Macam relaksasi antara lain (Davis et.al., 1995): Relaksasi progresif, pernafasan

dalam, meditasi, guided imagery, mendengarkan musik, biofeedback, kesadaran

tubuh, dan visualisasi. 16,18

8. Instrumen Pengukuran Tingkat Depresi

Dalam mengukur tingkat depresi menggunakan skala Hamilton Rating Scale For

Depresion (HRSD) yaitu suatu skala depresi yang terdiri dari 24 item, yaitu item

berkisar antara 0 sampai 4, atau 0 sampai 2 dengan total skor antara 0 sampai 76.

22
Dokter mengevaluasi jawaban pasien terhadap pertanyaan tentang rasa bersalah,

pikiran bunuh diri, kebiasaan tidur, dan gejala lain dari depresi, dan penilaian

diperoleh dari wawancara klinik. Hasil skor penilaian menggunakan HRSD adalah

sebagai berikut:

a. Tidak dijumpai depresi skor HRSD 0 – 6

b. Depresi ringan skor HRSD 7 – 17

c. Depresi sedang skor HRSD 18 – 24

d. Depresi berat skor HRSD > 24

HRSD atau Hamilton Rating Scale for Depression merupakan salah satu dari

berbagai intrumen untuk menilai depresi. Penelitian yang membandingkan HRSD

dengan skor depresi lain didapatkan konsistensi. Reliabilitas antara pemeriksa pada

umumnya cukup tinggi. Demikian juga halnya reliabilitas oleh satu pemeriksa yang

dilakukan pada waktu yang berbeda. Adapun untuk mengukur tingkat depresi

seseorang menggunakan Hamilton Rating Scale for Depression :

a. Keadaan perasaan sedih (sedih,putus asa,tak berdaya,tak berguna)

Perasaan ini ada hanya bila ditanya; perasaan ini dinyatakan secara verbal spontan;

perasaan yang nyata tanpa komunikasi verbal, misalnya ekspresi muka, bentuk, suara,

dan kecenderungan menangis pasien menyatakan perasaan yang sesungguhnya ini

dalam komunikasi baik verbal maupun nonverbal secara spontan.19,20

b. Perasaan bersalah

Menyalahkan diri sendiri dan merasa sebagai penyebab penderitaan orang lain; ada

ide-ide bersalah atau renungan tentang kesalahankesalahan masa lalu; sakit ini

23
sebagai hukuman, waham bersalah dan berdosa; ada suara-suara kejaran atau tuduhan

dan halusinasi penglihatan tentang hal-hal yang mengancamnya. 19,20

c. Bunuh diri

merasa hidup tak ada gunanya, mengharapkan kematian atau pikiran-pikiran lain

kearah itu, ada ide-ide bunuh diri atau langkah-langkah ke arah itu. 19,20

d. Gangguan pola tidur (initial insomnia)

Ada keluhan kadang-kadang sukar masuk tidur misalnya, lebih dari setengah jam

baru masuk tidur; ada keluhan tiap malam sukar masuk tidur. 19,20

e. Gangguan pola tidur (middle insomnia)

pasien mengeluh gelisah dan terganggu sepanjang malam, terjadi sepanjang malam

(bangun dari tempat tidur kecuali buang air kecil). 19,20

f. Gangguan pola tidur (late insomnia)

bangun saat dini hari tetapi dapat tidur lagi, bangun saat dini hari tetapi tidak dapat

tidur lagi. 19,20

g. Kerja dan kegiatan-kegiatannya

pikiran perasaan ketidakmampuan keletihan atau kelemahan yang berhubungan

dengan kegiatan kerja atau hobi; hilangnya minat terhadap pekerjaan atau hobi atau

kegiatan lainnya baik langsung atau tidak pasien menyatakan kelesuan, keragu-

raguan dan rasa bimbang; berkurangnya waktu untuk aktivitas sehari-hari atau

produktivitas menurun. Bila pasien tidak sanggup beraktivitas, sekurang-kurangnya 3

jam seharidalam kegiatan sehari-hari; tidak bekerja karena sakitnya sekarang

(dirumah sakit) bila pasien tidak bekerja sama sekali, kecuali tugas-tugas di bangsal

atau jika pasien gagal melaksanakan; kegiatan-kegiatan di bangsal tanpa bantuan. 19,20

24
h. Kelambanan (lambat dalam berpikir, berbicara gagal berkonsentrasi, dan aktivitas

motorik menurun) sedikit lamban dalam wawancara; jelas lamban dalam wawancara;

sukar diwawancarai; stupor (diam sama sekali). 19,20

i. Kegelisahan (agitasi)

kegelisahan ringan; memainkan tangan jari-jari, rambut, dan lain-lain; bergerak terus

tidak dapat duduk dengan tenang; meremas-remas tangan, menggigit-gigit kuku,

menarik-narik rambut, menggigit-gigit bibir. 19,20

j. Kecemasan (ansietas somatik)

sakit nyeri di otot-otot, kaku, dan keduten otot; gigi gemerutuk; suara tidak stabil;

tinitus (telinga berdenging); penglihatan kabur; muka merah atau pucat, lemas;

perasaan ditusuk-tusuk. 19,20

k. Kecemasan (ansietas psikis)

ketegangan subyektif dan mudah tersinggung; mengkhawatirkan hal-hal kecil; sikap

kekhawatiaran yang tercermin di wajah atau pembicaraannya; ketakutan yang

diutarakan tanpa ditanya. 19,20

l. Gejala somatik (pencernaan)

nafsu makan berkurang tetapi dapat makan tanpa dorongan teman, merasa perutnya

penuh; sukar makan tanpa dorongan teman, membutuhkan pencahar untuk buang air

besar atau obat-obatan untuk saluran pencernaan. 19,20

m. Gejala somatik (umum)

anggota gerak, punggung atau kepala terasa berat; sakit punggung, kepala dan otot-

otot, hilangnya kekuatan dan kemampuan. 19,20

n. Kotamil (genital)

25
sering buang air kecil terutama malam hari dikala tidur; tidak haid, darah haid sedikit

sekali; tidak ada gairah seksual dingin (firgid); ereksi hilang; impotensi. 19,20

o. Hipokondriasis (keluahan somatik, fisik yang berpindah-pindah)

dihayati sendiri, preokupasi (keterpakuan) mengenai kesehatan sendiri, sering

mengeluh membutuhkan pertolongan orang lain, delusi hipokondriasi. 19,20

p. Kehilangan berat badan (A dan B)

(1). Bila hanya dari anamnesis (wawancara) berat badan berkurang berhubungan

dengan penyakitnya sekarang,jelas penurunan berat badan,tak terjelaskan lagi

penurunan berat badan. 19,20

(2). Di bawah pengawasan dokter bangsal secara mingguan bila jelas berat badan

berkurang menurut ukuran, kurang dari 0,5 kg seminggu, lebih dari 0,5 kg seminggu,

tidak ternyatakan lagi kehilangan berat badan. 19,20

q. Insight (pemahaman diri)

mengetahui sakit tetapi berhubungan dengan penyebab-penyebab iklim, makanan,

kerja berlebihan, virus, perlu istirahat, dan lain-lain. 19,20

r. Variasi Harian

adakah perubahan atau keadaan yang memburuk pada waktu malam atau pagi.

s. Depersonalisasi (perasaan diri berubah) dan derealisasi (perasaan tidak nyata tidak

realistis). 19,20

t. Gejala-gejala paranoid

Kecurigaan; pikiran dirinya menjadi pusat perhatian, atau peristiwa kejadian diluar

tertuju pada dirinya (ideas refence); waham kejaran. 19,20

C. Terapi Senam

26
Pendekatan psikoterapi bagi pasien terdepresi adalah pendekatan kognitif dan

pendekatan yang lebih terarah dan lebih terstruktur. Walaupun setelah periode

depresif menghilang, intervensi keterampilan jangka panjang masih diperlukan. Pada

beberapa program terapi, modelling dan permainan peran dapat membantu

menegakkan keterampilan pemecahan masalah yang baik. Beberapa pendekatan

psikoterapi berbeda yang digunakan telah menunjukkan hasil, yaitu psikoterapi

perorangan, terapi berorientasi kesadaran, terapi tingkah laku, terapi bermain, model

stress hidup, psikoterapi kognitif, terapi aktivitas kelompok, terapi kerja, pendidikan

remedial, penempatan di luar rumah serta ECT (Weller, 1990). Terapi aktivitas

kelompok merupakan suatu jenis terapi aktivitas yang dilaksanakan oleh pasien

dengan depresi secara bersama-sama dalam usaha penyaluran energy secara benar

dalam bentuk senam. Pengertian senam adalah aktivitas fisik yang dilakukan baik

sebagai cabang olahraga tersendiri maupun sebagai latihan untuk cabang olahraga

lainnya. Berbeda dengan cabang olahraga lain umumnya yang mengukur hasil

aktivitasnya pada obyek tertentu, senam mengacu pada bentuk gerak yang dikerjakan

dengan kombinasi terpadu dan menjelma dari setiap bagian anggota tubuh dari

komponen-komponen kemampuan motorik seperti : kekuatan, kecepatan,

keseimbangan, kelentukan, agilitas dan ketepatan. Dengan koordinasi yang sesuai dan

tata urutan gerak yang selaras akan terbentuk rangkaian gerak artistik yang menarik

(Brick, 2002). Sedangkan menurut Hidayat (1990) menyatakan senam ialah latihan

tubuh yang diciptakan dengan sengaja, disusun secara sistematik dan dilakukan

secara sadar dengan tujuan membentuk dan mengembangkan pribadi secara

harmonis. Olahraga senam sendiri ada bermacam-macam, seperti : senam kuno,

27
senam sekolah, senam alat, senam korektif, senam irama, turnen, senam artistik dan

senam ritmik atau modern ritmik seperti senam aerobic. 19,20

C. Depresi Pasca Skizofrenia

Depresi pasca skizofrenia merupakan gejala depresif setelah suatu episode psikotik

pada seorang pasien skizofrenik dikategorikan sebagai contoh dari gangguan depresif

yang tidak ditentukan dalam DSM-II-R.6,8,19

Berdasarkan PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III)

depresi pasca skizofrenia masuk ke dalam F20.4 dengan kriteria sebagai berikut:

Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau:

a. Pasien telah menderita skizofrenia ( yang memenuhi kriteria umum skizofrenia)

selam 12 bulan terakhir ini.

b. Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi

gambaran klinisnya).

c. Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling sedikit kriteria

untuk episode depresif (F32.-) dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2

minggu. 6,8,19

Apabila pasien pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis

menjadi Episode depresif (F32.-). Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol,

Diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai (F20.0- F20.3).

28
Terapinya antara lain dengan pemakaian anti depresan dalam pengobatan

gangguan depresif pascapsikotik dari skizofrenia telah dilaporkan dalam beberapa

penelitian. Kira-kira setengah dari beberapa penelitian telah melaporkan efek yang

positif, dan setengah penelitian lain tidak melaporkan adanya efek hilangnya gejala

depresif. Medikasi antidepresan kemungkinan menghilangkan gejala depresif pada

beberapa pasien, tetapi hasil campuran dari penelitian mencerminkan

ketidakmampuan sekarang ini untuk membedakan pasien mana yang akan berespons

dan pasien mana yang tidak berespons terhadap antidepresan. 6,8,19

29
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

• Episode depresif pada pasien pasca skizofrenia biasanya berpotensi menjadi

lebih berat dan membutuhkan terapi dan penanganan yang sesuai.

• Batas klinis dari diagnosis sulit ditentukan secara operasional.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, Sadock. Skizofrenia. Sinopsis Psikiatri Jilid 1: edisi 7; Penerbit Bina


Rupa Aksara, Jakarta; 2011: 685-729.

2. W.F. Maramis. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Universitas Airlangga; 2012:


215-35.

3. Anna L, Sarah G. Severity among Schizophrenics . Journal of Behavioural


Sciences; 2012:125-133.

4. Hawari, Dadang. Skizofrenia dalam Pendekatan Holistik Pada Gangguan


Jiwa. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2011.

5. Sadock, Benjamin J, Virginia A. Schizophrenia and Other Psychotic


Disorders. Kaplan and Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry, 8th
ed ; 2012.

6. American Psychiatric Association. Depressive Disorders. DSM V, 5th ed.


Washington DC; 2013;12-17.

7. Nurmiati A. Skizofrenia. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;


2010:170-190.

8. Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III.

31
9. Maslim. R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Penerbit
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. Jakarta; 2014: 14-23.

10. Parnas J, Jorgensen A. Pre-morbid psychopathology in schizophrenia


spectrum. British Journal of Psychiatry; 2013:115:623–7.

11. Velligan DI and Alphs LD. Negative Symptoms in Schizophrenia: The


Importance of Identification and Treatment. Psychiatric Times. March 1,
2010;25(3).

12. P. Kulhara, A Avasthi, R Chadda. Negative and depressive symptoms in


schizophrenia. The British Journal of Psychiatry; 2010; 154:207-11.

13. K. W. Sax, S. Strakowski, Keck. Relationships among negative, positive, and


depressive symptoms in schizophrenia and psychotic depression. The British
Journal of Psychiatry; 2010; 168:68-71.

14. D A Johnson. Studies of depressive symptoms in schizophrenia. The British


Journal of Psychiatry;2011.

15. Novita S. Correlation Between Family Health Task and Relapse of


Schizophrenia. Journal Universitas Airlangga, Surabaya; 2012: 9 – 23.

16. Philip Gorwood , M.D., Ph.D. , Emmanuelle Corruble , M.D., Ph.D. , et all.
Depressive symptoms, medical illness, and functional status in depressed
psychiatric inpatients. American Journal of Psychiatry; June 2010: 910 – 915.

17. McInnis Melvin G, Riba Michelle , Greden John F.Depressive disorders.


American Journal of Psychiatry; 2013: 882 – 882.

18. Arshad, Samreen K, Farah J. Impact of Caregivers' Expressed Emotions on


their Mental Health and Relapse Symptoms; 2010.
19. Glanville, D.N, Dixon, L. Family treatment appraisal and service use in
families of patient schizophrenia. The Israel Journal of Psychiatry and Related
Sciences. 2013;42, 15-23.

32
20. Lewis L. Judd, Dilip V. Jeste. Depressive Symptoms in Schizophrenia.
American Journal of Psychiatry; 2012: 1736 – 1743.

21. Mark G, Williams, Kuyken W. Mindfulness-based cognitive therapy: a


promising new approach to preventing depressive relapse. The British Journal
of Psychiatry; 2012 200:359-360

33

Anda mungkin juga menyukai