Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

Primary Bone Tumor pada Mandibula

DISUSUN OLEH :

PEMBIMBING

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

Secara umum, tumor rongga mulut dapat dibedakan menjadi tumor odontogenik dan non
odontogenik (jaringan keras, jaringan lunak, dan epitel) (Hooker, 2002). Lesi Mandibular dapat
muncul dari kelompok odontogenik maupun nonodontogenik (Dunfee et al., 2002). Lesi
odontogenik seringkali dijumpai terjadi pada mandibula, dan gambaran pencitraan dari lesi ini
dijelaskan dengan baik dalam literatur radiologi. Namun, berbagai patologi nonodontogenik
termasuk tumor primer, lesi mirip tumor, metastasis, infeksi, lesi vaskular, dan kelainan
metabolisme juga dapat muncul sebagai lesi mandibula. Diagnosis mungkin akan sulit
ditegakkan, karena lesi odontogenik dan nonodontogenik dapat saling meniru dengan
penampilan radiologis yang serupa (Ozgur, 2014).

Lesi odontogenik biasanya mengelilingi sebuah komponen gigi (Cure, 2012). Kista
periapikal, merupakan lesi yang paling umum dari kista odontogenik, berkembang di sekitar
apex gigi. Kista dentigerous dan odontoma biasanya mengelilingi mahkota gigi (Cure, 2012 dan
Cakir, 2011). Kista dentigerous, tumor odontogenik keratokistik dan ameloblastoma paling
sering muncul dari mandibula posterior yang berdekatan dengan gigi molar ketiga (Cakir, 2011).
Lesi yang terkait dengan gigi yang terimpaksi sering mengindikasikan sifat odontogenik.

Namun, lesi nonodontogenik berkembang dari asal osseus dan tidak berhubungan dengan
gigi. Lesi-lesi ini biasanya, tetapi tidak selalu, terdiri dari sekelompok patologi yang dapat dilihat
di mana saja di skleton aksial. Oleh karena itu, ketika lesi nonodontogenik hadir di mandibula,
fitur pencitraan mereka mirip dengan yang terlihat di bagian lain dari tubuh. Lesi
nonodontogenik biasanya tidak mengelilingi gigi. Namun, ketika mereka cukup besar mungkin
sulit untuk menentukan hubungan lesi dengan gigi yang berdekatan (Cure, 2012).

Tumor Odontogenik (OT) adalah kelompok lesi yang heterogen dari beragam perilaku
klinis dan tipe histopatologis, mulai dari lesi hamartomatosa hingga keganasan. OT berasal dari
jaringan ectomesenchymal dan / atau epitel yang merupakan alat pembentuk gigi. Seperti halnya
odontogenesis normal, tumor odontogenik mewakili interaksi induktif antara ektomesenkim dan
epitel odontogenik (Philip, 2004 dan Cawson, 2002). Oleh karena itu OT ditemukan di dalam
tulang rahang (tipe sentral) atau di dalam jaringan mukosa yang menutupi daerah bantalan gigi
(tipe perifer). OT pada dasarnya dibagi menjadi dua kategori utama; ganas dan jinak tetapi
etiologinya tidak diketahui (Widjanarko dan Rahmat, 2010).

Ameloblastoma adalah tumor jinak odontogen yang paling sering ditemukan bersifat
agresif lokal dan infiltratif, berasal dari sisa – sisa komponen epitel gigi yang tertinggal didalam
tulang alveolar (Philip, 2004). Umumnya ameloblastoma muncul pada kelompok usia 30 – 50
tahun, asimptomatik, pertumbuhannya lambat, dan bersifat lokal, serta tidak terdapat metastase
(Philip, 2004), bila mengenai maksila ameloblastoma dapat menginvasi dasar tengkorak
sehingga mengakibatkan kematian (Widjanarko dan Rahmat, 2010).

Meskipun ameloblastoma umumnya tidak diklasifikasikan sebagai lesi yang ganas


(sebuah varian ganas yang jarang juga ada), lesi ganas tersebut sangat agresif dan infiltratif.
Banyak yang berpendapat bahwa lesi ini harus dianggap sebagai keganasan derajat rendah atau
indolen, mirip dengan karsinoma sel basal. Banyak kesamaan histologis dan perilaku ditemukan
antara 2 lesi tersebut. Keganasan ameloblastoma umumnya tidak bermetastasis tetapi tumbuh
lambat, persisten, dan sulit untuk dieradikasi (Goldman, 2018).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Mandibula

Mandibula adalah tulang rahang bawah dan merupakan tulang muka yang paling besar

dan kuat. Mandibula merupakan satu – satunya tulang pada tengkorak yang dapat bergerak.

Mandibula dapat ditekan dan diangkat pada waktu membuka dan menutup mulut. Dapat

ditonjolkan, ditarik ke belakang dan sedikit digoyangkan dari kiri ke kanan dan sebaliknya

sebagaimana terjadi pada waktu mengunyah. Pada perkembangannya tulang ini terdiri dari dua

belahan tulang yang bersendi di sebelah anterior pada simpisis mental, persatuan kedua belahan

tulang ini terjadi pada umur dua tahun membentuk sebuah korpus yang letaknya horizontal dan

berbentuk seperti tapal kuda, menonjol ke muka serta mempunyai dua buah cabang yang

menonjol ke atas dari ujung posterior korpus (gambar 1) (Soepardi dan Iskandar, 2006).
Gambar 1. Mandibula dilihat dari sisi lateral (Soepardi dan Iskandar, 2006).

Bagian – bagian mandibula, yaitu :

A. Korpus

Korpus juga mempunyai dua permukaan, yaitu :

1) Permukaan eksternus

Permukaan eksternus kasar dan cembung. Pada bagian ini terdapat suatu linea oblikum

yang meluas dari ujung bawah pinggir anterior ramus menuju ke bawah dan ke muka serta

berakhir pada tuberkulum mentale di dekat garis tengah. Dan terdapat juga foramen montale

yang terletak di atas linea oblikum dan simpisis menti yang merupakan rigi di garis tengah yang

tidak nyata di bagian atas pada tengah pada tempat persatuan dari kedua belahan foetalis dari

korpus mandibula (Soepardi dan Iskandar, 2006).

2) Permukaan internus

Permukaan internus agak cekung. Pada permukaan ini terletak sebuah linea milohyodea,

yang meluas oblik dari di bawah gigi molar ke tiga menuju ke bawah dan ke muka mencapai

garis tengah, linea milohyodea ini menjadi origo dari muskulus milohyodeus. Linea milohyoidea

membagi fossa sublingualis dari fossa submandibularis (gambar 2) (Soepardi dan Iskandar,

2006).
Gambar 2. Penampakan Mandibula dilhat dari inferior (Soepardi dan Iskandar, 2006).

Korpus mempunyai dua buah pinggir, yaitu :

1) Pinggir atas (alveolaris)

Merupakan lekuk dari gigi geligi tetap. Terdapat delapan lekuk dari masing – masing

belahan mandibula ( dua untuk gigi seri, satu untuk gigi taring, dua untuk gigi premolar dan tiga

untuk gigi molar). Pada orang tua setelah gigi – gigi tanggal lekuk – lekuk ini tidak tampak

karena atropi tulang yang mengakibatkan berkurangnya lebar corpus mandibula (Soepardi dan

Iskandar, 2006).

2) Pinggir bawah (basis)

Pinggir ini tebal dan melengkung yang melanjutkan diri ke posterior dengan pinggir

bawah ramus. Sambungan kedua pinggir bawah ini terletak pada batas gigi molar ke tiga, di
tempat ini basis disilang oleh arteri fasialis. Fossa digastrika yang merupakan lekukan oval

terletak pada masing – masing sisi dari garis tengah. Merupakan origo dari venter anterior

muskulus digastrikus. Sepanjang seluruh basis dilekatkan lapis dari fasia kolli dan tepat di

atasnya (superfasialis) dilekatkan platisma (gambar 3) (Soepardi dan Iskandar, 2006).

Gambar 3. Penampakan Mandibula dilihat dari sisi anterior (Soepardi dan Iskandar, 2006).

B. Ramus

Ramus terdiri dari dua permukaan, yaitu :

1) Permukaan eksternus (lateralis)

Permukaan ini kasar dan datar. Bagian posterior atas licin yang berhubungan dengan

glandula parotis. Sisa dari permukaan merupakan insersio dari muskulus masseter (Soepardi dan

Iskandar, 2006).
2) Permukaan internus (medialis)

Pada permukaan ini terletak foramen mandibulare yang merupakan awal dari kanalis

mandibularis serta dilalui oleh nervus dentalis dan pembuluh – pembuluh darahnya (Soepardi

dan Iskandar, 2006).

Pinggir – pinggir pada ramus, yaitu :

 Pinggir superior, merupakan insisura – insisura tajam dan cekung mandibularis di

antara prosesus – prosesus koronoideus dan prosesus kondiloideus.

 Pinggir anterior, melanjutkan diri ke bawah dengan garis oblik.

 Pinggir posterior, tebal dan alur – alur merupakan permukaan medialis dari glandula

parotis.

 Pinggir inferior, melanjutkan diri dengan pinggir inferior korpus dan bersama – sama

membentuk basis mandibula. Mandibula termasuk ke dalam bagian sepertiga bawah

wajah. Mandibula berhubungan dengan basis kranii dengan adanya temporo mandibula

joint dan disangga oleh otot-otot pengunyahan. Mandibula terdiri dari korpus berbentuk

tapal kuda dan sepasang ramus. Korpus mandibula bertemu dengan ramus masing-masing

sisi pada angulus mandibula. Pada permukaan luar digaris tengah korpus mandibula

terdapat sebuah rigi yang menunjukkan garis fusi dari kedua belahan selama

perkembangan, yaitu simfisis mandibula.

(Soepardi dan Iskandar, 2006)

Nervus Mandibularis merupakan cabang terbesar, yang keluar dari ganglion Gasseri. Saraf

keluar dari cranium melalui foramen ovale, dan bercabang menjadi 3 percabangan yang

mensyarafi mandibula. Mandibula dipersyarafi oleh 3 cabang nervus, yaitu N. Lingualis, N.

Alveolaris Inferior, dan N. Bukalis (Gambar 4) (Soepardi dan Iskandar, 2006).


Gambar 4. Nervus yang berada di wajah pada pandangan lateral (Soepardi dan Iskandar, 2006).

2.2 Definisi Tumor

Neoplasma adalah kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel-sel yang tumbuh terus

menerus secara tidak terbatas, tidak berkoordinasi dengan jaringan sekitarnya dan tidak berguna bagi

tubuh. Pada rongga mulut, tumor atau neoplasma dapat didefinisikan sebagai suatu pertumbuhan jaringan

di dalam dan di sekitar rongga mulut yang pertumbuhannya tidak dapat dikembalikan dan tidak berguna

bagi tubuh. Jaringan tersebut dapat tumbuh pada bibir, pipi, dasar mulut, palatum, lidah, dan didalam

tulang rahang. Jaringannya dapat terdiri dari jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, jaringan saraf,

jaringan tulang, pembuluh darah. Berdasarkan garis besarnya dan keganasannya neoplasma atau tumor

dapat diklasifikasikan menjadi : jinak (benigna) dan ke pertumbuhan ganas (maligna atau kanker)

(Paderson, 1965).

Tumor Mandibula

Lesi Mandibular dapat muncul dari kelompok odontogenik maupun nonodontogenik


(Dunfee et al., 2002). Lesi odontogenik seringkali dijumpai terjadi pada mandibula, dan
gambaran pencitraan dari lesi ini dijelaskan dengan baik dalam literatur radiologi. Namun,
berbagai patologi nonodontogenik termasuk tumor primer, lesi mirip tumor, metastasis, infeksi,
lesi vaskular, dan kelainan metabolisme juga dapat muncul sebagai lesi mandibula. Diagnosis
mungkin akan sulit ditegakkan, karena lesi odontogenik dan nonodontogenik dapat saling meniru
dengan penampilan radiologis yang serupa (Ozgur, 2014).

Lesi odontogenik biasanya mengelilingi sebuah komponen gigi (Cure, 2012). Kista
periapikal, merupakan lesi yang paling umum dari kista odontogenik, berkembang di sekitar
apex gigi. Kista dentigerous dan odontoma biasanya mengelilingi mahkota gigi (Cure, 2012 dan
Cakir, 2011). Kista dentigerous, tumor odontogenik keratokistik dan ameloblastoma paling
sering muncul dari mandibula posterior yang berdekatan dengan gigi molar ketiga (Cakir, 2011).
Lesi yang terkait dengan gigi yang terimpaksi sering mengindikasikan sifat odontogenik.

Namun, lesi nonodontogenik berkembang dari asal osseus dan tidak berhubungan dengan
gigi. Lesi-lesi ini biasanya, tetapi tidak selalu, terdiri dari sekelompok patologi yang dapat dilihat
di mana saja di skleton aksial. Oleh karena itu, ketika lesi nonodontogenik hadir di mandibula,
fitur pencitraan mereka mirip dengan yang terlihat di bagian lain dari tubuh. Lesi
nonodontogenik biasanya tidak mengelilingi gigi. Namun, ketika mereka cukup besar mungkin
sulit untuk menentukan hubungan lesi dengan gigi yang berdekatan (Cure, 2012).

Tumor Odontogenik Mandibula

Tumor Odontogenik (OT) adalah kelompok lesi yang heterogen dari beragam perilaku
klinis dan tipe histopatologis, mulai dari lesi hamartomatosa hingga keganasan. OT berasal dari
jaringan ectomesenchymal dan / atau epitel yang merupakan alat pembentuk gigi. Seperti halnya
odontogenesis normal, tumor odontogenik mewakili interaksi induktif antara ektomesenkim dan
epitel odontogenik (Philip, 2004). Oleh karena itu OT ditemukan di dalam tulang rahang (tipe
sentral) atau di dalam jaringan mukosa yang menutupi daerah bantalan gigi (tipe perifer). OT
pada dasarnya dibagi menjadi dua kategori utama; ganas dan jinak tetapi etiologinya tidak
diketahui (Widjanarko dan Rahmat, 2010). Mayoritas tumor odontogenik jinak tampaknya
timbul secara de novo, sedangkan tumor odontogenik ganas dapat timbul de novo tetapi lebih
sering muncul dari prekursor jinak mereka. Klasifikasi tumor odontogenik pada dasarnya
didasarkan pada interaksi antara ektomesenkim dan epitel odontogenik. Klasifikasi dinamis ini
terus diperbarui dengan penambahan entitas baru, dan penghapusan beberapa entitas lama (El –
Naggar et al., 2017).
Malignanasi Odontogenik

Ameloblastoma adalah tumor jinak odontogen yang paling sering ditemukan bersifat
agresif lokal dan infiltratif, berasal dari sisa – sisa komponen epitel gigi yang tertinggal didalam
tulang alveolar (Philip, 2004). Keganasan pada Ameloblastoma telah menjadi topic diskusi dan
kontroversi para ahli. Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa amelobastma bersifat
malignan apabila terdapat metastase, meskipun gambaran histologinya jinak, pendapat lain
mengatakan ameloblastoma dikatakan malignan apabila bersifat agresif meskpun tidak terdapat
metastase. Lesi ini seringkali menunjukkan gambaran histologist yang berbeda – beda atau
atipikal. Ada beberapa jenis tumor odontogen yang malignan yaitu: ameloblastik karsinoma,
ameloblastoma malignan, odontogenik karsinoma, dan primary intraossesus karsinoma (Philip,
2004).

Ameloblastik karsinoma

Karsinoma ameloblastik adalah tumor odontogenik yang jarang, terhitung 1,5% -2,0%
dari semua tumor odontogenik (Fonseca et al., 2012). Hanya tujuh puluh kasus telah dilaporkan
dalam literatur bahasa Inggris dari tahun 1984 hingga 2011 (Benlyazid et al., 2007). Pada tahun
1982, istilah "karsinoma ameloblastik" diperkenalkan oleh Elzay (1982) untuk menggambarkan
tumor odontogenik epitel ganas yang secara histologis mempertahankan fitur diferensiasi
ameloblastik dan menunjukkan fitur sitologis keganasan pada tumor primer atau berulang.
Dalam pembaruan klasifikasi WHO terakhir yang diterbitkan pada tahun 2005, ameloblastik
karsinoma didefinisikan "sebagai keganasan odontogenik yang langka yang menggabungkan
fitur histologis ameloblastoma dengan atypia sitologis, bahkan tanpa adanya metastasis."
(Benlyazid et al., 2007). Ia memiliki fitur histologis dan perilaku klinis khas yang membutuhkan
operasi yang lebih agresif daripada ameloblastoma. Ameloblastoma maligna berbeda dari
ameloblastoma karena adanya metastasis, keduanya memiliki histologi jinak yang sama (Ciment,
2002). Ameloblastoma maligna dan karsinoma ameloblastik dulunya seringkali terbalik – balik
dalam pendiagnosisanya. Namun, sekarang disepakati bahwa ameloblastoma maligna memiliki
kemampuan untuk bermetastasis meskipun memiliki histologi jinak baik pada lesi primer
maupun metastasis (Corio et al., 1987). Di sisi lain, karsinoma ameloblastik menunjukkan
gambaran histologis dari ameloblastoma dan karsinoma (Elyaz, 1982) dengan gambaran
histologis keganasan yang ditemukan pada primer dan metastasis (Ozlugedik et al., 2005).
Biasanya, sel-sel tumor dalam karsinoma ameloblastik menyerupai sel-sel yang terlihat
pada ameloblastoma, namun mereka menunjukkan adanya atypia sitologis. Tumor biasanya
memiliki ekstensi langsung, keterlibatan kelenjar getah bening, dan metastasis ke situs yang jauh
terutama paru-paru. Karena lesi ini sangat jarang, ia menimbulkan kesulitan besar dalam
diagnosisnya (Braimah et al., 2017).

Epidemiologi

Karsinoma ameloblastik menunjukkan tidak ada predileksi kelompok usia yang lebih
sering muncul pada pria (dua pertiga dari kasus) dan lebih sering melibatkan mandibula (dua
pertiga dari kasus). Menurut Dhir et al., (2003) rentang usia pasien sangat bervariasi dengan
kisaran 51-84 tahun dan usia rata-rata 53,5 tahun. Tidak ada jenis kelamin atau kecenderungan
ras telah dicatat (Avon et al., 2003 dan Bedi et al., 2012); namun, rasio pria terhadap wanita
mulai dari 1,2: 1 hingga 2,7: 1 (Dhir et al., 2003; Ndukwe et al., 2010 dan Kruse et al., 2009)
telah didokumentasikan. Ramesh et al. (2011) menunjukkan rasio jenis kelamin yang berlawanan
antara perempuan: laki-laki menjadi 3: 2 yang menunjukkan dominan perempuan. Ini terjadi
terutama pada mandibula pada sekitar 80% kasus yang dilaporkan (Dhir et al., 2003). Predileksi
rasial kulit hitam di atas kulit putih juga telah dilaporkan (Simko et al., 1998).

Etiologi

Etiologi karsinoma ameloblastik sebagian besar tidak diketahui dan masih controversial
(Kruse et al., 2009). Sebagian besar kasus muncul secara spontan tanpa riwayat kanker
sebelumnya (de novo) dengan beberapa kasus muncul setelah transformasi ameloblastoma ganas
(Cox et al., 2000). Para peneliti berspekulasi bahwa kelainan genetik dan imunologis, faktor
lingkungan (mis., Paparan sinar ultraviolet, bahan kimia tertentu, radiasi pengion), makanan,
stres, dan / atau faktor lain dapat berperan berkontribusi dalam menyebabkan jenis kanker
tertentu (Cotran et al., 1999).

Manifestasi klinis

Beberapa orang dengan karsinoma ameloblastik mungkin tidak mengalami gejala apa pun
(asimptomatik). Gejala yang mungkin terjadi termasuk nyeri progresif dan pembengkakan
rahang. Pendarahan dan sakit kepala juga dapat terjadi. Temuan langka termasuk
ketidakmampuan untuk membuka mulut (trismus) atau disfonia, gangguan suara yang ditandai
dengan suara serak, kelemahan, kesemutan atau mati rasa (paresthesia), dan, dalam kasus yang
jarang terjadi, kehilangan suara (catatan: gangguan suara karena laring) Keterlibatan (pita suara)
akan sangat tidak biasa tetapi disfagia, sulit makan, bisa menjadi masalah jika tumornya cukup
besar untuk menyebabkan obstruksi atau maloklusi). Discharge hidung dan penyumbatan saluran
hidung dapat terjadi jika tumor melibatkan sinus maksila. Ukuran tumor dapat menyebabkan
kelainan gigi seperti menyebabkan gigi atas dan bawah gagal bertemu dengan benar (maloklusi)
(Hall, 2015).

Karsinoma ameloblastik seringkali agresif dan dapat menyebar (bermetastasis) ke area


lain dari tubuh terutama paru-paru, yang berpotensi menyebabkan komplikasi yang mengancam
jiwa. Tulang, hati, dan otak juga merupakan situs umum untuk metastasis. Perjalanan penyakit
yang paling umum adalah kekambuhan persisten dengan penyebaran lokal (Hall, 2015).

Gambaran radiografis

Karsinoma ameloblastik dan ameloblastoma dapat memiliki gambaran radiografi yang


sebanding; namun, fitur pencitraan yang pasti dapat membantu fitur diagnostik (Kishore et al.,
2015). Kedua lesi dapat berupa radiolusen unilokular atau multilokular dengan batas yang jelas
pada ameloblastoma tetapi batas tidak jelas pada karsinoma ameloblastik. Perbatasan mungkin
menunjukkan sklerosis marginal sedikit tanpa pembentukan tulang baru periosteal (Kishore et
al., 2015). Ada kehilangan lamina dura dan resorpsi apeks gigi (Kishore et al., 2015). Pada
karsinoma ameloblastik, sering kali terdapat radiopacity fokal, yang tampaknya mencerminkan
kalsifikasi dystrophic (Benlyazid et al., 2007; Arotiba et al., 2005 dan Naik dan Kale, 2007).
Gambar. 5 Karsinoma ameloblastik: gambar aksial tomografi computasi sinar-X mandibula yang
menunjukkan lesi multilokular destruktif besar pada mandibula anterior kanan. b Gambar kotor
dari spesimen yang direseksi (Richardson dan Muller, 2014).

Gambaran Histopatologis

Penampilan mirip-ameloblastoma dengan atypia sitologis terlihat pada karsinoma


ameloblastik primer dan metastatik. Namun, fitur klasik ameloblastoma termasuk polaritas
terbalik dan palisade perifer biasanya hilang. Pleomorfisme, rasio nukleoptoplasma yang
berubah, mitosis abnormal, invasi vaskular atau saraf adalah gambaran penting untuk diagnosis.
Kehadiran nekrosis dapat membantu. Tingkat mitosis biasanya meningkat tetapi peningkatan
aktivitas mitosis saja tidak bernilai (Hall, 2007 dan Kruse, 2009).
Gambar 6. a. transformasi ganas dari ameloblastoma ke karsinoma ameloblastik (panah). Ada
peningkatan seluleritas dan hilangnya polaritas terbalik. b. Karsinoma ameloblastik yang
menunjukkan pleomorfisme seluler, hiperselularitas, dan mitosis (panah). Polaritas terbalik
secara fokal dapat diidentifikasi. c. Gambar mikroskopis daya tinggi menunjukkan banyak
mitosis (panah) bersama dengan nekrosis pusat. d. SOX2 immunoexpression pada karsinoma
ameloblastik (Richardson dan Muller, 2014)
Diagnosis

Kriteria diagnostik karsinoma ameloblastik yang membedakannya dari ameloblastoma


sebagian besar didasarkan pada atypia sitologis dan peningkatan angka mitosis (Slater, 2004).
Ketika karsinoma ameloblastik muncul de novo, perbedaan mikroskopis dari ameloblastoma
tidak terlalu jelas dan mungkin subyektif (Roy et al., 2010). Kehadiran banyak figur mitosis
tidak biasa pada ameloblastoma, kasus-kasus di mana mereka cukup banyak kemungkinan besar
akan membenarkan diagnosis karsinoma ameloblastik (Roy et al., 2010). Literatur yang ada
menunjukkan bahwa diagnosis karsinoma ameloblastik didasarkan pada beberapa fitur yang
berubah - ubah, namun empat telah diidentifikasi yaitu: (1) indeks mitosis proliferatif yang lebih
tinggi ditekankan oleh aktivitas mitosis yang lebih tinggi (Gardner, 1996), ekspresi antigen
nukleus sel proliferasi lebih tinggi dan Ki67 yang lebih tinggi (Akrish et al., 2007); (2) atipia
nuklir seperti pleomorfisme nuklir dan hiperplasia basilar (Roy et al., 2010); (3) inti
hiperkromatik sel basaloid (Roy et al., 2010); dan (4) ciri - ciri keganasan lainnya seperti invasi
perineural atau perivaskular (Roy et al., 2010).

Diagnosis diferensial utama karsinoma ameloblastik adalah varian basaloid dari


karsinoma sel skuamosa (Ram et al., 2010). Ciri khas karsinoma ameloblastik dari karsinoma sel
skuamosa meliputi, tipe teka-teki jigsaw dari sarang sel tumor, adanya retikulum stellate, dan
degenerasi kistik yang khas pada sarang (Ram et al., 2010). Diagnosis banding lain yang
mungkin adalah craniopharyngioma karena kemiripannya dengan neoplasia odontogenik dan
sebagian karena lokasinya di dasar cranial (Ozlugedik et al., 2006).

Terapi

Manajemen terapi individu dengan karsinoma ameloblastik mungkin memerlukan upaya


terkoordinasi dari tim profesional medis, seperti dokter yang berspesialisasi dalam diagnosis dan
pengobatan kanker (ahli onkologi medis), spesialis dalam penggunaan radiasi untuk mengobati
kanker (ahli onkologi radiasi) , spesialis gigi, ahli bedah, perawat onkologi, dan spesialis lainnya
(Hall, 2015).

Prosedur dan intervensi terapeutik spesifik dapat bervariasi, tergantung pada banyak
faktor, seperti lokasi tumor primer, luas tumor primer (stadium), dan derajat keganasan (derajat);
apakah tumor telah menyebar ke kelenjar getah bening atau situs yang jauh; usia individu dan
kesehatan umum; dan / atau elemen lainnya. Keputusan mengenai penggunaan intervensi khusus
harus dibuat oleh dokter dan anggota tim perawatan kesehatan lainnya dalam konsultasi yang
cermat dengan pasien, berdasarkan pada spesifik kasusnya; diskusi menyeluruh tentang potensi
manfaat dan risiko; preferensi pasien; dan faktor lain yang sesuai (Hall, 2015).

Eksisi bedah luas memberikan peluang terbaik untuk mengendalikan tumor. Radiasi
ajuvan dapat digunakan namun terapi radiasi belum efektif sebagai bentuk terapi utama. Terapi
radiasi juga dapat dilakukan sebelum operasi untuk mengurangi ukuran tumor. Kekambuhan
karsinoma ameloblastik setelah operasi dapat terjadi dan mungkin melibatkan berbagai organ
dalam tubuh dengan atau tanpa kekambuhan pada rahang. Paling sering kekambuhan terlihat di
area yang sama dengan tumor asli. Rekurensi dapat terjadi dalam satu tahun operasi atau
beberapa tahun kemudian. Karena risiko kambuh, pemeriksaan fisik berkala seumur hidup
diperlukan (Hall, 2015).

Pembedahan adalah andalan pengobatan (Ramesh et al., 2011 dan Koul et al., 2009),
termasuk eksisi profilaksis dan terapi kelenjar getah bening yang terlibat (Marx dan Stern, 2003).
Pengangkatan en bloc dengan 1-2 cm margin tulang normal telah dianggap sebagai modalitas
bedah paling aman untuk memastikan kelangsungan hidup bebas penyakit (Kishore et al., 2015).
Metode ini menghasilkan tingkat kekambuhan lokal <15% (Dorner et al., 1988). Beberapa
penulis lain telah menganjurkan margin tulang 2 atau 3 cm dengan cara pengangkatan en bloc
(Avon et al., 2003 dan Datta et al., 2003). Karsinoma ameloblastik telah dilaporkan kambuh
secara lokal 0,5-11 tahun setelah terapi definitive (Ingram et al., 1996).

Kemoterapi belum terbukti efektif dalam mengobati individu dengan karsinoma


ameloblastik dan paling sering digunakan untuk mencoba dan mengendalikan metastasis yang
menyebar luas. Mengembangkan pengobatan yang optimal untuk individu dengan karsinoma
ameloblastik telah terhambat karena relatif sedikit kasus yang diidentifikasi (Hall, 2017).

Kemoterapi sebagai pengobatan utama untuk penyakit nonmetastatik sangat buruk.


Namun, ketika ada penyakit metastasis, penggunaan cisplatin, adriamycin, dan
cyclophosphamide bernilai. Metotreksat dan leucovorin juga telah digunakan (Datta et al., 2003).

Prognosis
Faktor prognostik utama adalah perjalanan klinis penyakit yang meliputi agresivitasnya,
perusakan lokal, dan penyebaran metastasis jauh secara istimewa melalui rute hematologis jika
diabaikan (Roy et al., 2010). Selain itu, risiko metastasis jauh yang relatif tinggi ini berbeda
dengan karsinoma sel skuamosa yang menyebar agak dengan cara limfatik (Roy et al., 2010).
Metastasis jauh biasanya berakibat fatal dan dapat muncul paling cepat 4 bulan atau hingga 12
tahun pasca operasi (Ingram et al., 1996). Namun, begitu metastasis terjadi, angka harapan hidup
rata-rata telah dilaporkan 2 tahun (Ram et al., 2010). Penting juga untuk dicatat bahwa metastasis
jauh dapat terjadi dengan tidak adanya kekambuhan lokal atau regional (Simko et al., 1998).
Lokasi karsinoma ameloblastik juga berkontribusi terhadap prognosisnya karena karsinoma
ameloblastik rahang atas memiliki prognosis yang tidak menguntungkan dibandingkan dengan
yang terletak di mandibula (Ramesh, 2011). Dalam pengalaman Nigeria, kekambuhan berkisar
antara 6 hingga 96 bulan setelah operasi awal. Enam pasien meninggal secara keseluruhan
dengan tiga kematian dalam 3 tahun setelah operasi pertama (Ndukwe et al., 2010). Satu pasien
meninggal sekitar 8 tahun setelah operasi awal (Ndukwe et al., 2010).

Ameloblastoma Maligna (Metastasizing Ameloblastoma)

Definisi

Menurut definisi, metastasizing ameloblastoma (MetAm) adalah istilah yang digunakan


untuk ameloblastoma (AB) yang secara sitologis jinak bermetastasis tetapi mempertahankan fitur
sitologi jinak yang khas dari tumor induk (Barnes et al., 2005).

Epidemiologi

Ameloblastoma (AB) adalah 1% dari semua tumor yang ditemukan di rongga mulut
(Cardoso et al., 2009), sementara ameloblastoma metastasis (MetAm) diperkirakan terjadi pada <
2% dari AB (Lin et al., 2014).

Manifestasi Klinis

Sebuah tinjauan gabungan dari literatur dan investigasi klinikopatologis melaporkan


metastasis paling sering terjadi terlambat (waktu rata-rata 18 tahun) setelah pengobatan tumor
rahang primer (Van Dam et al., 2010). MetAm menampilkan perilaku klinis yang mirip dengan
ameloblastoma, yaitu pertumbuhan indolen tetapi persisten. Metastasis biasanya mengikuti
beberapa rekurensi lokal dari tumor induk dan rute yang mungkin termasuk hematogen, limfatik,
aerogen, atau transplantasi pasif sekunder untuk manipulasi bedah (Woolgar et al., 2013 dan Van
Dam et al., 2010).

Patofisiologi

Situs metastasis MetAm yang paling umum adalah paru-paru (78%). Mayoritas
metastasis paru adalah bilateral (71%) dengan keterlibatan ruang bronkial dan / atau parenkim
paru (Van Dam et al., 2010). Beberapa pasien yang dilaporkan dengan deposit paru telah
mengalami hiperkalsemia terkait tumor (Ghiam et al., 2013). Lebih jarang, metastasis kelenjar
getah bening servikal telah dilaporkan (Van Dam et al., 2010 dan Cardoso et al., 2009). Lainnya
melaporkan situs metastasis langka yang tidak biasa termasuk vertebra, tengkorak, usus kecil,
otak, ginjal dan jantung (Cardoso et al., 2009; Jayaraj et al., 2011 dan Gilijamse et al., 2007).
Potensi untuk bermetastasis belum berkorelasi dengan subtipe atau pola histologis (Van Dam et
al., 2010) sedangkan tanda khas molekul ameloblastoma yang mengarah ke metastasis masih
belum jelas (Gonzales et al., 2014 dan Nodit et al., 2004). Peristiwa yang tepat dalam kaskade
metastasis MetAm sulit dipahami (Richardson dan Muller, 2014).

Terapi

Beberapa telah mendalilkan reseksi primer yang memadai dari tumor induk dapat
mengurangi insidensi MetAm (Lin et al., 2014 dan Jayaraj et al., 2014).

Prognosis

Waktu kelangsungan hidup rata-rata yang dilaporkan setelah metastasis kisaran antara 3
bulan sampai dengan 5 tahun, meskipun kelangsungan hidup terpanjang yang dilaporkan adalah
37 tahun tanpa pengobatan untuk lesi paru (Van Dam et al., 2010; Cardoso et al., 2009 dan Lin et
al., 2014).

Malignansi Odontogenik yang lain

Clear Cell Odontogenik Carcinoma


Karsinoma odontogenik sel jernih atau Clear Cell Odontogenik Carcinoma (CCOC),
suatu tumor ganas yang tidak lazim yang berasal dari putatif odontogenik (diduga berasal dari
lamina gigi) dianggap sebagai entitas yang berbeda (Barnes et al., 2005). Saat ini ada sekitar 74
kasus yang dilaporkan dalam literatur bahasa Inggris (Kalsi et al., 2014). Hansen awalnya
menggambarkannya pada tahun 1985 sebagai lesi yang jinak tetapi agresif, berlokasi di rahang,
dengan kedok tumor odontogenik sel jernih. Laporan kasus berikutnya dan seri kecil termasuk
tindak lanjut klinis tambahan yang mendokumentasikan kapasitas neoplasma ini untuk
pertumbuhan destruktif lokal dengan invasi tulang meduler, saraf, limfatik, serta kelenjar getah
bening regional dan metastasis jauh (paru, tulang). Organisasi Kesehatan Dunia mereklasifikasi
tumor pada tahun 2005 sebagai karsinoma odontogenik (Zhang et al., 2011).
Gambar 7. Karsinoma odontogenik sel jernih yang menunjukkan berbagai pola histologis: a.
pola ameloblastomatosa dengan pulau sel jernih dengan sel kolumnar palisading perifer; b.
lembar sel jernih dengan stroma kolagen; sarang dan tali sel bening yang dikelilingi oleh stroma
sklerotik (Richardson dan Muller, 2014).

Ghost Cell Odonogenik Carcinoma

Karsinoma odontogenik sel ghost atau Ghost Cell Odonogenik Carcinoma (GCOC)
adalah neoplasma odontogenik ganas yang jarang terjadi. Ini didefinisikan oleh WHO sebagai
karsinoma odontogenik dengan fitur kalsifikasi tumor odontogenik kistik (CCOT) dan / atau
tumor sel ghost dentinogenik atau dentinogenic ghost cell tumor (DGCT) (Barnes et al., 2005).
Tumor ini mewakili kelompok heterogen dengan presentasi klinis dan radiologis variabel serta
fitur histopatologis variabel. Deskripsi awal dari tumor ini adalah pada tahun 1985. Sejak
klasifikasi WHO 2005, empat belas kasus lainnya telah ditambahkan ke literatur. GCOC
memengaruhi rentang usia yang luas dengan puncaknya pada dekade keempat dan kelima, lebih
umum pada pria (pria: wanita 4: 1) dan maksila adalah lokasi yang umum (maksila: mandibula 2:
1). Kasus-kasus yang dilaporkan menunjukkan tumor ini mungkin paling umum di antara orang
Asia. Presentasi klinis mirip dengan karsinoma lain di situs ini (gigi lepas, pembengkakan nyeri,
parestesia). Secara radiologis lesi ini merupakan radiolusen yang tidak terdefinisi dengan
opasitas radio campuran (Del Corso et al., 2014).
Gambar. 5 a. gambar daya rendah karsinoma odontogenik sel hantu. Bahan dentinoid eosinofilik
terlihat di lapangan sentral yang dikelilingi oleh proliferasi sel epitel hiperkromatik dengan
kemiripan dangkal dengan ameloblastoma. b. Bahan dentinoid berdekatan dengan komponen
epitel. c. Proliferasi sel ghost (panah). d. Sel epitel seperti ameloblastoma hiperkromatik dan
pleomorfik dengan mitosis (panah) (Richardson dan Muller, 2014).

Fibrosarcoma Ameloblastik

Fibrosarcoma ameloblastik adalah sarkoma odontogenik biphasic langka yang terdiri dari
komponen epitel jinak yang bercampur dalam stroma mesenchymal maligna hiperseluler (Barnes
et al., 2005). Entitas lain, seperti ameloblastik fibrodentinosarcoma atau fibro odontosarcoma,
termasuk dalam kategori sarkoma odontogenik dan memiliki jaringan dentin atau enamel yang
muncul selain dari yang disebutkan sebelumnya. Ameloblastik fibrosarcoma dianggap sebagai
bagian ganas dari fibroma ameloblastik (Muller et al., 1995).
Gambar 8. a fibrosarcoma Ameloblastik menunjukkan pola pertumbuhan bifasik. Pulau-pulau
odontogenik jinak dan tali epitel kuboid hingga kolumnar yang dikelilingi oleh stroma
menunjukkan peningkatan seluleritas. b Stroma ganas menunjukkan pleomorfisme,
hiperkromasia, dan mitosis (panah) (Richardson dan Muller, 2014).

Sclerosing Odontogenik Carcinoma

Lokalisasi yang paling sering terkena adalah area premolar dan molar mandibula tanpa
kecenderungan jenis kelamin. Secara radiografi ada radiolusen yang tidak jelas dengan
kerusakan tulang kortikal yang sering. Ciri khas tumor ini adalah cord file tunggal dan untaian
sel epitel polihedral yang mengalir dalam stroma sklerosis padat. Meskipun fitur sitologisnya
hambar, tumornya ditandai oleh pertumbuhan infiltratif yang agresif ke otot dan saraf.
Mengingat kelangkaan tumor, tumor odontogenik dan metastasis lainnya harus dikeluarkan
sebelum diagnosis dapat dibuat (Koutlas et al., 2008 dan Tan et al., 2014).

Karsinoma Intraoseus Primer

Dalam klasifikasi 2005, karsinoma sel skuamosa intraosseous primer dibagi menjadi
banyak entitas berdasarkan histogenesisnya. Dalam klasifikasi 2017, salah satu tujuannya adalah
kesederhanaan dan kelompok lesi ini dimasukkan sebagai satu di bawah payung 'karsinoma
intraosseous primer'. Karsinoma intraosseous primer didiagnosis hanya setelah jenis karsinoma
lainnya dieksklusikan, khususnya karsinoma metastasis dari lokasi primer yang jauh. Karsinoma
primer sangat jarang. Mereka berasal dari epitel odontogenik, baik dari sisa-sisa yang tersisa dari
odontogenesis, dari lapisan epitel kista odontogenik atau lesi epitel prekursor lainnya (Wright
dan Vered, 2017).

Malignansi Non – Odontogenik

Osteosarkoma

Osteosarkoma jarang, sangat ganas, tumor tulang yang didefinisikan oleh adanya sel
mesenkhimal ganas yang menghasilkan osteoid atau tulang yang belum matang. Osteosarkoma
pada rahang sangat jarang, mewakili sekitar 7% dari semua osteosarkoma dan 1% dari semua
keganasan kepala dan leher. Diagnosis yang akurat, biasanya difasilitasi oleh kemoterapi (CT),
MRI, dan biopsi, diperlukan untuk menentukan stadium penyakit dan memberikan pengobatan
yang memadai. Reseksi bedah agresif dan rekonstruksi teknik lanjut adalah andalan pengobatan,
karena satu-satunya faktor paling penting untuk penyembuhan adalah reseksi radikal. Hasil klinis
dapat ditingkatkan dengan strategi multimodal yang menggabungkan operasi dengan kemoterapi
neo-ajuvan dan ajuvan dalam kasus-kasus tertentu, dan radioterapi ajuvan tanpa adanya margin
yang jelas (Ferari et al., 2017).
Gambar 11. A) rekonstruksi panoramik, menunjukkan lesi campuran di daerah posterior
mandibula, dengan batas yang tidak jelas, yang menyebabkan reabsorpsi parsial dari akar distal
gigi 37; B) bagian koronal yang memperlihatkan reaksi osteofit periosteal dengan penampilan
"sun ray" pada kortikal lingual mandibula; C) bagian aksial yang menunjukkan tulang meduler
hyperdense mandibula, di sisi kiri (Oliveira et al., 2018).

Gambar 13. A) deposisi dari substansi basofilik dan eosinofilik yang konsisten dengan matriks
chondroid dan osteoid, masing-masing; B) deposisi intens dari jaringan trabekuler mineral
diselingi melalui jaringan ikat hypercellularized; C) matriks osteoid dan adanya osteoblas
atipikal dengan morfologi ovoid ke fusiform; D) celah tidak teratur dalam matriks chondroid
(chondroplasts) yang mengandung sel-sel yang sebagian besar kompatibel dengan chondroblast
atipikal (Oliviera et al., 2018).

Giant cell reparative cyst atau Central Giant Cell Granuloma

Giant cell reparative cyst diyakini berkembang dari proses inflamasi reparatif yang
kemungkinan besar terkait dengan trauma. Kista biasanya dilihat sebagai lesi litik unilocular atau
multilocular pada wanita muda antara dekade kedua dan ketiga kehidupan. Ini paling sering
terjadi pada mandibula anterior dan dapat melewati garis tengah (Dunfee et al., 2006). Ekspansi
tulang dan erosi kortikal juga dapat terlihat. Kista reparatif sel raksasa dapat meniru tumor coklat
hiperparatiroidisme baik secara radiologis maupun histologis. Usia pasien dan level parathormon
darah sangat membantu dalam membedakan kedua lesi ini (Ozgur et al., 2014).

Gambar 9. Giant cell reparative cyst pada dua pasien berbeda. Pemindaian CT aksial (a)
menunjukkan lesi litik garis tengah (panah) yang dibatasi dengan baik pada simfisis mandibula
yang meluas ke area parasimpsefika bilateral pada pria berusia 33 tahun. Perhatikan ekspansi
tulang minimal tanpa erosi kortikal. Gambar CT aksial (b) dari seorang pria berusia 26 tahun
menunjukkan lesi litik yang ekspansil (panah) dalam sudut mandibula yang menyebabkan
remodeling tulang dan penipisan kortikal (Ozgur et al., 2014).
BAB III

SIMPULAN

1. Tumor primer mandibula secara umum terbagi menjadi tumor odontogenik dan tumor non
odontogenik.

2. tumor odontogenik merupakan tumor yang paling umum terjadi pada mandibula, tumor ini
berhubungan dengan elemen gigi.

3. tumor odontogenik dapat bersifat ganas (maligna) atau jinak (benigna)

4. tumor ganas odontogenik pada mandibula yang paling sering dijumpai adalah karsinoma
amelobastik dan ameloblastoma maligna

5. karsinoma ameloblastik memiliki gambaran ameloblastoma tetapi dengan sifat – sifat sel
maligna

6. ameloblastoma maligna merupakan ameloblastoma yang mengalami metastase ke lokasi


lainnya.

7. reseksi dengan pembedahan merupakan terapi yang paling bermakna dalam menghambat
perkembangan dari tumor karsinoma ameloblastik maupun ameloblastoma maligna.

8. prognosis dari karsinoma ameloblastik maupun ameloblastoma maligna dapat menyebabkan


kematian dalam 5 – 10 tahun.

Anda mungkin juga menyukai