Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM

FITOKIMIA
PERCOBAAN KE III
ISOLASI FLAVONOID DARI TEMULAWAK

Disusun Oleh

Sri Wigati (1606067123)

Dhiya Ulfa Nurul Hadi (1606967066)

Anna Bekti Pratiwi (1708067081)

Bambang Eko Raharjo (1708067083)

Devi Ayu Febriana (1708067084)

Hari, Tanggal Praktikum : Rabu,10 April 2019

Dosen Pembimbing : Erma Yunita, M.Sc., Apt.

LABORATORIUM FITOKIMIA

AKADEMI FARMASI INDONESIAYOGYAKARTA

2019
HALAMAN PENGESAHAN DAN PERNYATAAN

Laporan Praktikum FITOKIMIA Percobaan Ke III dengan judul Isolasi


Flavonoid dari Temulawak adalah benar sesuai dengan praktikum yang telah
dilaksanakan. Laporan ini saya susun sendiri berdasarkan data hasil praktikum yang
telah dilakukan.

Yogyakarta, 10 April 2019

Dosen Pembimbing, Ketua Kelompok,

Erma Yunita, M.Sc., Apt. Bambang Eko Raharjo

Data Laporan
Hari, Tanggal Praktikum Hari, Tanggal Pengumpulan Laporan
Rabu, 10 April 2019

Nilai Laporan
No. Aspek Penilaian Nilai
1. Ketepatan waktu pengumpulan (10)
2. Kesesuaian laporan dengan format (5)
3. Kelengkapan dasar teori (15)
4. Cara Kerja (10)
5. Penyajian hasil (15)
6. Pembahasan (20)
7. Kesimpulan (10)
8. Penulisan daftar pustaka (5)
9. Upload via blog/wordpress/scribd/academia.edu (10)
TOTAL

1
I. JUDUL PRAKTIKUM
Isolasi Flavonoid dari Temulawak

II. TUJUAN PRAKTIKUM


Mengetahui langkah-langkah isolasi dan melakukan isolasi flavonoid
dari temulawak serta mengidentifikasi isolat yang diperoleh.

III. DASAR TEORI


A. Temulawak
Temulawak (Curcumae xanthorrhiza) merupakan tanaman asli
Indonesia yang banyak ditemukan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Bali, Sumatera Utara, Kalimatan Barat dan Kalimantan Timur.
Temulawak termasuk dalam famili Zingiberaceae, berbatang semu,
dengan bagian yang dimanfaatkan yaitu rimpang (Rahardjo, 2010).
Khasiat temulawak secara tradisional empiris berguna dalam
kesehatan. Hasil survei pada 609 produk jamu, 176 diantaranya
mengandung temulawak, dimana penggunaanya terdapat pada 12
kelompok penyakit (Purwakusumah dalam Rahardjo, 2010). Banyaknya
manfaat yang dapat diperoleh dari temulawak, tentunya tidak lepas dari
kandungan senyawa yang terkandung dalam temulawak.
Zat aktif dalam temulawak diantaranya xanthorrizol, kukuminoid
dimana terdapat zat kuning (kurkumin) dandesmetoxy kurkumin, minyak
atsiri, protein, lemak, selulosa dan mineral (Ozaki dalam Raharjo, 2010).
Tahun 1993, Claeson et al, mengisolasi tiga senyawa non fenolik
diarylheptanoid dari termulawak yaitu trans-trans-1,7–difenil-1,3,-
heptadien-4–on (alnuston); trans 1,7–difenil-1–hepten-5-ol dan trans,
trans-1,7-difebil-1,3,-heptadien-5-ol. Tahun 1994, Suksamrarn et al,
menemukan dua senyawa fenolik diariherpanoid yang diisolasi, yaitu 5-
hidroksi-7-(4-hidroksifenil)-1-fenil-(1E)-1-hepten dan 7-(3,4-
dihidroksifenil)-5-hidroksi-1-fenil-(1E)-1-hepten. Sekian penelitian yang

2
dilakukan maka praktikan mencoba mengisolasi senyawa flavonoid dari
temulawak.

B. Maserasi
Isolasi temulawak dilakukan praktikan dengan metode maserasi.
Maserasi diartikan merendam, dimana metode ini merupakan metode
paling sederhana tanpa ada batasan pelarut. Penggunaan metode maserasi,
simplisia dibasahi terlebih dahulu agar teraliri pelarut secara penuh.
Pelarut akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
mengandung zat aktif, dimana zat aktif tersebut akan larut (Indraswari,
2008).
Maserasi dilakukan secara berulang, dimana dilakukan dengan
jalan memisah cairan perendam dengan penyaringan. Langkah selanjutnya
disusul dengan dekantir atau penyaringan yang kemudian ditambahkan
kembali penyari segar dalam ampas yang terjadi hingga warna rendaman
sama dengan warna pelarut (Yunita dan Wijaya, 2019).
Penyimpanan rendaman terlindung dari cahaya secara langsung,
hal ini untuk mencegah reaksi yang dikatalisis oleh cahaya yaitu
perubahan warna. Umumnya waktu maserasi dilakukan selama 5 hari.
Waktu setelah 5 hari keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada
bagian dalam sel dengan luar sel telah tercapai. Pengocokan akan
menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi lebih cepat dalam
cairan. Keadaan diam akan menyebabkan perpindahan bahan aktif
menurun (Voight dalam Indraswari, 2008).
C. Flavonoid
Senyawa flavonoid merupakan senyawa yang mengandung 𝐶5 ,
terdiri dua inti fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon.
Cincin A memiliki karakteristik bentuk hidroksilasi fluoroglusinol atau
resorsinol, dan cincin B biasanya 4-, 3,4- atau 3,5,4-terhidroksilasi
(Sastrohamidjojo, H. dalam Yunita dan Wijaya, 2019). Flavonoid

3
merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol. Golongan flavonoid
digambarkan sebagai deretan senyawa 𝑐6 − 𝑐3 − 𝑐6, artinya kerangka
karbon terdiri atas gugus 𝐶6 (cincin benzen) disambungkan oleh rantai
alifatik 3 karbon (Harbone dalam Indraswari, 2008).

D. Kromatografi
Kromatografi dikembangkan pertama oleh ahli botani Rusia, M. S.
Tsweet (1872-1919) yang melakukan teknik pemisahan pigmen tanaman
berwarna. Menurut International Union of Pure and Apllied Chemistry
(IUPAC), kromatografi merupakan suatu metode yang khususnya
digunakan dalam pemisahan komponen-komponen dalam suatu sampel
yang terdistribusi dalam dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase
diam dapat berupa padat, cairan yang diletakkan di atas padatan atau gel.
Fase diam berbentuk kolom,disebarkan sebagai suatu lapisan tipis atau
didistribusikan sebagai film (Rubiyanto, 2016).
Kromatografi adalah suatu nama yang diberikan untuk teknik
pemisahan tertentu. Semua cara kromatografi pada dasarnya
menggunakan dua fase yaitu fase tetap (stationary) dan fase gerak
(mobile), pemisahan tergantung pada gerak rlatif dari dua fase tersebut
(Yunita dan Wijaya, 2019).
Kromatografi digolongkan sesuai dengan sifat fase tetapnya yang
berupa zat padat atau cair. Bila fase tetap berupa zat padat maka cara
tersebut dikenal sebagai kromatografi serapan. Bila fase tetap berupa zat
cair dikenal sebagai kromatografi partisi. Fase gerak yang berupa zat cair
atau gas system kromatografinya yaitu kromatografi serapan yang terdiri
dari kromatografi lapis tipis dan kromatografi penukar ion; kromatografi
padat; kromatografi partisi dan kromatografi gas-cair; dan kromatografi
kolom kapiler (Hostettmann dalam Yunita dan Wijaya, 2019).

4
IV. ALAT DAN BAHAN
A. ALAT
1. Seperangkat alat maserasi
2. Seperangkat alat KLT
3. Beaker Glass
4. Stirer
5. Rotavapour
6. Cawan Porselin
B. BAHAN
1. Simplisia temulawak
2. Etanol
3. Etil asetat
4. Heksan
5. Standar kuersetin
6. Standar rutin

V. CARA KERJA
A. Uraian Cara Kerja
1. Ekstraksi
Sebanyak 100 gram rimpang temu kunci yang telah
dihaluskandimasukkan kedalam beaker glass 500ml, kemudian
tambahkan 200 ml etanol. Campuran tersebut selanjutnya diaduk
selama 1 jam menggunakan stirrer. Campuran tersebut kemudian
disaring. Hasil saringan dikumpulkan dan diuapkan dengan
penguap putar (rotavapour) hingga volume kurang lebih 10 ml.
Hasil rotavapour dikumpulkan dan dipindahkan ke cawan porselin.
2. Isolasi dengan KLT Preparatif
Ekstrak yang sudah kental ditotolkan pada plat silica GF 254
sepanjang 5x10 cm sebanyak 5-10 kali. Pengembang yang
digunakan adalah heksan : etil asetat (4 : 1). Deteksi dengan

5
menggunakan lampu UV 366 nm, bercak dengan pita ditandai.
Bercak yang ditandai dikerok dan dilarutkan dalam etanol,
kemudian etanol diuapkan.
3. Identifikasi
Ambil sedikit padatan dengan ujung spatel kecil, larutkan dalam
etanol. Larutan siap dianalisis secara kualitatif dengan
kromatografi lapis tipis dengan kondisi sebagai berikut :
a. Fase diam : Silica gel GF 254
b. Fase gerak : heksan : etil asetat (4 : 1)
c. Cuplikan : larutan sampel dan pembanding kuersetin/rutin
dalam etanol
d. Deteksi : UV 254
Catat harga Rf dan bandingkan harga Rf standar kuersetin.

6
B. Skema Cara Kerja

ISOLASI
FLAVONOID

ISOLASI KLT IDENTIFIKASI


EKSTRAKSI PREPARATIF

40 gr serbuk rimpang ekstrak kental ditotol sedikit padatan


temu + 200 ml etanol, pada silika gel GF seujung spatel kecil,
dalam beaker glass 254 5x10 cm (5-10 dilarukan etanol
500 ml kali)

aduk 1 jam dengan pengembang herksan larutan diidentifikasi


stirer : etil asetat (4 : 1)

KLT fase diam = silica


gel GF 254, fase gerak =
deteksi lampu UV heksan : etilasetat (4:1),
disaring 366 nm cuplikan = sampel +
pembanding kuersetin
dlm etanol, deteksi UV
254

diuapkan dengan
rotavapour (vol ± 10 bercak ditandai
ml) Hitung harga Rf : Rf
standar kuersetin

pindah ke cawan bercak dikerok,


porselin larutkan etanol

diuapkan

7
VI. HASIL
Minggu ke-1
Nama Simplisia : Temulawak (Curcumae xanthorrhiza)
Metode ekstrkasi : Maserasi
Pelarut : Etanol 70%
Jumlah pelarut : 200 ml
Durasi pengadukan : 1 jam

Minggu ke-2
Pemerian ekstrak
- Aroma : Khas aromatik temulawak
- Warna : Coklat tua
- Bentuk / tekstur : Kental

Rendemen Ekstrak :
- Berat cawan = 36,08 gram
- Berat cawan+ekstrak = 43,89 gram
- Berat ekstrak = 7,81 gram
- Berat simplisia = 40,00 gram

7.81 gram
Rendemen =40.0 𝑔𝑟𝑎𝑚 x 100 %

= 19,525 %

Hasil pengamatan dengan kromatografi


- Fase diam : kuersetin + ekstrak
- Fase gerak : heksan : etil asetat ( 4:1 )
- Pembanding : kuersetin
- Deteksi : UV 366
- Gambar :

8
Percobaan I Percobaan II

hasil tidak menunjukkan ada kenaikan standar


kenaikan dari standar kuersetin kuersetin dan sample
(perbandingan heksan : etil (perbandingan heksan :
asetat 1:4) etil asetat 4:1)

Percobaan II

spot 4

spot 3

spot 2

spot 1

kuersetin
warna yang sama dengan standar
kuersetin adalah spot nomor 2

9
Hasil pengamatan dengan kromatografi preparatif

- Fase gerak = 7,91 cm

- Spot sample 1 = 5,60 cm

- Spot sample 2 = 6,40 cm

- Spot sample 3 = 6,90 cm

- Spot sample 4 = 7,40 cm

- Kuersetin = 6,70 cm

jarak yang ditempuh komponen


Harga Rf standar kuersetin = jarak yang ditempuh fase gerak

6,70 cm
= 7,91 cm = 0,84

5,60 cm
Harga Rf spot 1 = = 0,71
7,91 cm

6,40 cm
Harga Rf spot 2 = 7,91 cm = 0,81

6,90 cm
Harga Rf spot 3 = 7,91 cm = 0,87

7,40 cm
Harga Rf spot 4 = 7,91 cm = 0,93

Artinya sample ( temulawak ) memiliki kandungan flavonoid yang terbukti


dari hasil Rf yang mendekati standar yaitu pada spot nomer 2.

10
VII. PEMBAHASAN

Praktikum yang dilakukan adalah mengisolasi flavonoid dari temulawak.


Preparasi samplenya digunakan serbuk temulawak yang diekstraksi dengan pelarut
etanol 70% dan hasil pengamatan dilakukan dengan kromatografi. Etanol 70%
dipilih sebagai pelarut karena merupakan pelarut yang optimal untuk menarik
senyawa dari temulawak (kandungan yang berkhasiat atau yang aktif) , dengan
demikian senyawa dari temulawak tersebut dapat dipisahkan dari senyawa kandungan
lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa kandungan yang
diinginkan. Prinsipnya cairan pengekstraksi harus memenuhi syarat kefarmasian atau
dalam istilah perdagangan dikenal dengan kelompok spesifikasi “ pharmaceutical
grade “ ( Depkes RI, 1979 ). Pelarut pengekstraksi juga dipilih berdasarkan
keberadaan senyawa lain, misalnya bahan hasil degradasi atau kontaminan. Senyawa-
senyawa tersebut biasanya lebih polar dibandingkan senyawa aktifnya, sehingga
pelarut yang dipilih memiliki kepolaran yang rendah ( Schirmer, 1982 ).

Pengamatan hasil dilakukan dengan teknik kromatografi lapis tipis.


Kromatografi ini menggunakan dua fase, yaitu fase diam ( stasioner ) dan fase gerak (
mobile ). Keunggulan dari teknik kromatografi lapis tipis adalah lebih fleksibel,
memungkinkan untuk pengembangan metode yang lebih cepat, dapat digunakan
untuk analisis sample secara simultan, biaya analisis lebih rendah, memungkinkan
pengamatan terjadinya pemisahan, dan waktu analisis lebih efisien ( Soeharsono,M.,
1989 ).

Pelaksanaan kromatografi lapis tipis dengan fase diam dan fase gerak. Pada
fase diam, sebagai adsorben digunakan silika gel GF 254. Tebal lapisan silika gel
berkisar antara 0,15-2,00 mm tergantung pada kebutuhan, untuk analisis umumnya
0,2 mm. Preparatif tebal lapisan yang dimaksud ± 2,00 mm ( Mulya, M. dan
Suharman, 1995 ). Fase gerak adalah medium angkut dan terdiri atas satu atau
beberapa pelarut. Gerakan ini disebabkan oleh adanya gaya kapiler. Fase gerak ini
menggunakan pelarut yang berderajat kemurnian untuk kromatografi atau pro

11
analisis. Bejana yang digunakan untuk fase gerak ini harus tertutup rapat untuk
mencegah penguapan eluen dari permukaan pelat, bejana harus dijenuhkan dengan
uap eluen dengan cara meletakkan kertas saring di seluruh dinding sebelah dalam
bejana dan membiarkannya sampai seluruh kertas saring dibasahi dengan uap eluen.
Tingkat kejenuhan bejana dengan eluen mempunyai pengaruh yang nyata pada
pemisahan dan letak noda pada kromatogram.

Penotolan dilakukan dengan pipa kapiler dimana ekstrak kental yang sudah
dilarutkan dengan sedikit etanol 70% ditotolkan pada plat silika gel 254 sepanjang
5x10 cm sebanyak 5-10 kali. Pengembang yang digunakan adalah heksan 8 ml dan
etil asetat 2 ml ( 4;1 ). Proses pengembangan ini merupakan proses pemisahan
campuran akibat fase gerak atau pelarut pengembang merambat naik melalui pelat/
lapisan tipis. Jarak pengembangan normal yaitu jarak antara garis awal penotolan dan
garis akhir pengembangan adalah 100 mm. Praktikum ini menggunakan jarak
pengembangan atas dan bawah dalam 1 cm. Berdasarkan arah pengembangan,
pengembangan naik ini digunakan untuk tujuan mencapai kesetimbangan partisi yang
lebih sempurna sehingga akan didapat noda yang kompak dan terpisah dengan baik.

Deteksi noda, jika zat yang dipisahkan sudah berwarna seperti pada
praktikum yang dilakukan , ekstrak temulawak sudah berwarna cokat tua, maka noda
hasil pemisahan akan nampak dengan sendirinya. Deteksi ini menggunakan sinar UV
gelombang panjang 366 nm. Dipilihnya panjang gelombang 366 nm karena dalam
plat terdapat indikator fluoresensi yang akan berpendar/ berfluoresensi di bawah
lampu UV 366 nm sehingga senyawa-senyawa akan nampak sebagai noda gelap. Dari
hasil percobaan pertama ternyata tidak nampak noda pada standar kuersetin dan noda
pada sample tidak seperti yang diharapkan. Hal ini terjadi karena kurangnya jumlah
penotolan kuersetin pada silika gel 254. Dilakukan percobaan ulang dengan
mengerok ekstak sample pada silika gel 254 ( percobaan I ) kemudian ditambahkan
dengan sedikit etanol 70%, untuk pengembang juga dilakukan perubahan
perbandingan dari semula heksan:etil asetat ( 4:1 ) menjadi heksan:etil asetat (1:4 ).
Hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil pemisahan terbaik. Perubahan

12
perbandingan pengembang ini diperoleh hasil percobaan yang diinginkan yaitu
adanya warna bercak yang nampak, jumlah bercak lebih dari satu, dan letak bercak
beriringan, dimana ketiga spesifikasi ini dapat digunakan untuk identifikasi dan
analisis suatu kandungan kimia yang lain dalam bahan yang dianalisis ( Macek,K.,
1972 ).

Langkah selanjutnya adalah menghitung harga Rf. Angka Rf berkisar antara


0,00 sampai 1,00. Harga Rf dipengaruhi oleh beberapa faktor namun jika semua
variable dikendalikan, Rf cukup konstan pada kondisi yang disamakan. Tiap
komponen memiliki harga Rf yang khas. Komponen terpisah baik jika harga Rf
berbeda minimal 0,1 ( Soeharsono, M., 1989 ). Perkiraan identifikasi diperoleh
dengan pengamatan dua bercak noda yang tampak dengan pengamatan harga Rf dan
ukuran yang kurang lebih sama. Jika zat yang diperiksa mempunyai warna, ukuran,
dan harga Rf yang hampir sama maka kedua zat tersebut kemungkinan adalah sama (
Depkes RI, 1978 ). Hasil percobaan menunjukkan adanya warna noda yang sesuai
antara sample dengan standar kuersetin dan memiliki harga Rf yang hampir sama
yang memiliki nilai resolusi kecil < 1,5 dimana Rf standar kuersetin 0,84 sedangkan
noda yang sesuai dengan standar adalah noda spot nomor 2 dengan nilai Rf
mendekati yaitu 0,81.

13
VIII. KESIMPULAN

1. Langkah-langkah isolasi flavonoid :


a. membuat ekstrak dari rimpang temulawak.
b. melakukan isolasi KLT (Kromatografi Lapis Tipis) preparatif
dengan menggunakan :
fase diam = kuersetin + ekstrak
fase gerak = heksan : etil asetat ( 4 : 1 )
pembanding = kuersetin
deteksi = UV 366
c. mengidentifikasi / menganalisis secara kualitatif dengan KLT
serta menghitung harga Rf spot yang muncul dibandingkan
dengan harga Rf standar kuersetin.
2. Identifikasi isolat yang diperoleh menunjukkan adanya flavonoid
pada temulawak, yaitu dengan perhitungan harga Rf, spot nomor 2
dengan hasil 0,81 yang mendekati harga Rf standar kuersetin 0,84.
Warna spot nomor 2 paling mendekati warna standar kuersetin, hal ini
menunjukkan bahwa temulawak mengandung flavonoid.

14
IX. DAFTAR PUSTAKA

Claeson, P., dkk. 1993. Three Non Phenolic Diarylheptonoids with anti-inflammatory
activity from Curcuma xanthrorriza. Planta.

Depkes RI, 1978. Materia Medika Indonesia Jilid II. Jakarta : Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

Depkes RI, 1979. Materia Medika Indonesia Jilid III. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.

Hostettmann, K., dkk. 2014. Cara Kromatografi Preparatif. Penerbit ITB. Bandung.

Indraswari, Arista., 2008, Optimasi Pembuatan Ekstrak Daun Dewandaru (Eugenia


uniflora L.) Menggunakan Metode Maserasi dengan Parameter Kadar
Total Senyawa Fenolik dan Flavonoid, Fakultas Farmasi Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

Macek, Karel., 1972. Pharmaceutical Application of Thin Layer Chromatography


and Paper Chromatography 3rd Edition. Amsterdam : Elseivier Publising
Company.

Mulya,M. dan Suharman, 1995. Analisis Instrumental. Surabaya : Airlangga


University Press.

Ozaki, Y. 1990. Antiinflammatory Effect of Curcuma xanthrorriza ROXB. And its


active principles. Chemical Pharmaceutical Bulletin, 38(4) : 1045-1048.

Purwakusumah, E. D., dkk. 2008. Menjadikan Temulawak sebagai bahan baku utama
industri berbasis kreatif yang berdaya saing. Pusat Studi Biofarmaka
LPPM-IPB. E-mail: bfarmaka@gmail.com, 24 hlm.

Rahardjo, Mono, 2010. Penerapan SOP Budidaya untuk Mendukung Temulawak


sebagai Bahan Baku Obat Potensial, Prospektif, 9(2) : 78-93.

15
Rubiyanto, Dwiarso., 2016, Teknik Dasar Kromatografi. Penerbit Deepublish,
Yogyakarta.

Sastrohamidjojo, Hardjono., 2001. Kromatrogari. Liberty, Yogyakarta.

Shcirmer, R.E., 1982. Modern Methods of Pharmaceutical Analysis Vol. I. Florida :


CRC Press Inc.

Soeharsono,M., 1989. Mikro Analisis Kualitatif Campuran Ion-Ion Logam dengan


Metoda Kromatografi Lapisan Tipis. Surabaya : Lembaga Penelitian
Universitas Airlangga.

Suksamrarn, M. Rahardjo, D. Rusmin dan Melati. 2007. Efisisensi penggunaan Benih


Nomor Harapan Temulawak Curcuma xanthorriza Roxb. Laporan Teknis
Penelitian Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Puslitbangbun,
Balai Litbang Pertanian, Hlm 251-256.

Yunita, E. dan Wijaya, A., 2019, Modul Praktikum Fitokimia. Akademi Farmasi
Indonesia Yogyakarta, Yogyakarta.

16

Anda mungkin juga menyukai