FITOKIMIA
PERCOBAAN KE III
ISOLASI FLAVONOID DARI TEMULAWAK
Disusun Oleh
LABORATORIUM FITOKIMIA
2019
HALAMAN PENGESAHAN DAN PERNYATAAN
Data Laporan
Hari, Tanggal Praktikum Hari, Tanggal Pengumpulan Laporan
Rabu, 10 April 2019
Nilai Laporan
No. Aspek Penilaian Nilai
1. Ketepatan waktu pengumpulan (10)
2. Kesesuaian laporan dengan format (5)
3. Kelengkapan dasar teori (15)
4. Cara Kerja (10)
5. Penyajian hasil (15)
6. Pembahasan (20)
7. Kesimpulan (10)
8. Penulisan daftar pustaka (5)
9. Upload via blog/wordpress/scribd/academia.edu (10)
TOTAL
1
I. JUDUL PRAKTIKUM
Isolasi Flavonoid dari Temulawak
2
dilakukan maka praktikan mencoba mengisolasi senyawa flavonoid dari
temulawak.
B. Maserasi
Isolasi temulawak dilakukan praktikan dengan metode maserasi.
Maserasi diartikan merendam, dimana metode ini merupakan metode
paling sederhana tanpa ada batasan pelarut. Penggunaan metode maserasi,
simplisia dibasahi terlebih dahulu agar teraliri pelarut secara penuh.
Pelarut akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
mengandung zat aktif, dimana zat aktif tersebut akan larut (Indraswari,
2008).
Maserasi dilakukan secara berulang, dimana dilakukan dengan
jalan memisah cairan perendam dengan penyaringan. Langkah selanjutnya
disusul dengan dekantir atau penyaringan yang kemudian ditambahkan
kembali penyari segar dalam ampas yang terjadi hingga warna rendaman
sama dengan warna pelarut (Yunita dan Wijaya, 2019).
Penyimpanan rendaman terlindung dari cahaya secara langsung,
hal ini untuk mencegah reaksi yang dikatalisis oleh cahaya yaitu
perubahan warna. Umumnya waktu maserasi dilakukan selama 5 hari.
Waktu setelah 5 hari keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada
bagian dalam sel dengan luar sel telah tercapai. Pengocokan akan
menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi lebih cepat dalam
cairan. Keadaan diam akan menyebabkan perpindahan bahan aktif
menurun (Voight dalam Indraswari, 2008).
C. Flavonoid
Senyawa flavonoid merupakan senyawa yang mengandung 𝐶5 ,
terdiri dua inti fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon.
Cincin A memiliki karakteristik bentuk hidroksilasi fluoroglusinol atau
resorsinol, dan cincin B biasanya 4-, 3,4- atau 3,5,4-terhidroksilasi
(Sastrohamidjojo, H. dalam Yunita dan Wijaya, 2019). Flavonoid
3
merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol. Golongan flavonoid
digambarkan sebagai deretan senyawa 𝑐6 − 𝑐3 − 𝑐6, artinya kerangka
karbon terdiri atas gugus 𝐶6 (cincin benzen) disambungkan oleh rantai
alifatik 3 karbon (Harbone dalam Indraswari, 2008).
D. Kromatografi
Kromatografi dikembangkan pertama oleh ahli botani Rusia, M. S.
Tsweet (1872-1919) yang melakukan teknik pemisahan pigmen tanaman
berwarna. Menurut International Union of Pure and Apllied Chemistry
(IUPAC), kromatografi merupakan suatu metode yang khususnya
digunakan dalam pemisahan komponen-komponen dalam suatu sampel
yang terdistribusi dalam dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase
diam dapat berupa padat, cairan yang diletakkan di atas padatan atau gel.
Fase diam berbentuk kolom,disebarkan sebagai suatu lapisan tipis atau
didistribusikan sebagai film (Rubiyanto, 2016).
Kromatografi adalah suatu nama yang diberikan untuk teknik
pemisahan tertentu. Semua cara kromatografi pada dasarnya
menggunakan dua fase yaitu fase tetap (stationary) dan fase gerak
(mobile), pemisahan tergantung pada gerak rlatif dari dua fase tersebut
(Yunita dan Wijaya, 2019).
Kromatografi digolongkan sesuai dengan sifat fase tetapnya yang
berupa zat padat atau cair. Bila fase tetap berupa zat padat maka cara
tersebut dikenal sebagai kromatografi serapan. Bila fase tetap berupa zat
cair dikenal sebagai kromatografi partisi. Fase gerak yang berupa zat cair
atau gas system kromatografinya yaitu kromatografi serapan yang terdiri
dari kromatografi lapis tipis dan kromatografi penukar ion; kromatografi
padat; kromatografi partisi dan kromatografi gas-cair; dan kromatografi
kolom kapiler (Hostettmann dalam Yunita dan Wijaya, 2019).
4
IV. ALAT DAN BAHAN
A. ALAT
1. Seperangkat alat maserasi
2. Seperangkat alat KLT
3. Beaker Glass
4. Stirer
5. Rotavapour
6. Cawan Porselin
B. BAHAN
1. Simplisia temulawak
2. Etanol
3. Etil asetat
4. Heksan
5. Standar kuersetin
6. Standar rutin
V. CARA KERJA
A. Uraian Cara Kerja
1. Ekstraksi
Sebanyak 100 gram rimpang temu kunci yang telah
dihaluskandimasukkan kedalam beaker glass 500ml, kemudian
tambahkan 200 ml etanol. Campuran tersebut selanjutnya diaduk
selama 1 jam menggunakan stirrer. Campuran tersebut kemudian
disaring. Hasil saringan dikumpulkan dan diuapkan dengan
penguap putar (rotavapour) hingga volume kurang lebih 10 ml.
Hasil rotavapour dikumpulkan dan dipindahkan ke cawan porselin.
2. Isolasi dengan KLT Preparatif
Ekstrak yang sudah kental ditotolkan pada plat silica GF 254
sepanjang 5x10 cm sebanyak 5-10 kali. Pengembang yang
digunakan adalah heksan : etil asetat (4 : 1). Deteksi dengan
5
menggunakan lampu UV 366 nm, bercak dengan pita ditandai.
Bercak yang ditandai dikerok dan dilarutkan dalam etanol,
kemudian etanol diuapkan.
3. Identifikasi
Ambil sedikit padatan dengan ujung spatel kecil, larutkan dalam
etanol. Larutan siap dianalisis secara kualitatif dengan
kromatografi lapis tipis dengan kondisi sebagai berikut :
a. Fase diam : Silica gel GF 254
b. Fase gerak : heksan : etil asetat (4 : 1)
c. Cuplikan : larutan sampel dan pembanding kuersetin/rutin
dalam etanol
d. Deteksi : UV 254
Catat harga Rf dan bandingkan harga Rf standar kuersetin.
6
B. Skema Cara Kerja
ISOLASI
FLAVONOID
diuapkan dengan
rotavapour (vol ± 10 bercak ditandai
ml) Hitung harga Rf : Rf
standar kuersetin
diuapkan
7
VI. HASIL
Minggu ke-1
Nama Simplisia : Temulawak (Curcumae xanthorrhiza)
Metode ekstrkasi : Maserasi
Pelarut : Etanol 70%
Jumlah pelarut : 200 ml
Durasi pengadukan : 1 jam
Minggu ke-2
Pemerian ekstrak
- Aroma : Khas aromatik temulawak
- Warna : Coklat tua
- Bentuk / tekstur : Kental
Rendemen Ekstrak :
- Berat cawan = 36,08 gram
- Berat cawan+ekstrak = 43,89 gram
- Berat ekstrak = 7,81 gram
- Berat simplisia = 40,00 gram
7.81 gram
Rendemen =40.0 𝑔𝑟𝑎𝑚 x 100 %
= 19,525 %
8
Percobaan I Percobaan II
Percobaan II
spot 4
spot 3
spot 2
spot 1
kuersetin
warna yang sama dengan standar
kuersetin adalah spot nomor 2
9
Hasil pengamatan dengan kromatografi preparatif
- Kuersetin = 6,70 cm
6,70 cm
= 7,91 cm = 0,84
5,60 cm
Harga Rf spot 1 = = 0,71
7,91 cm
6,40 cm
Harga Rf spot 2 = 7,91 cm = 0,81
6,90 cm
Harga Rf spot 3 = 7,91 cm = 0,87
7,40 cm
Harga Rf spot 4 = 7,91 cm = 0,93
10
VII. PEMBAHASAN
Pelaksanaan kromatografi lapis tipis dengan fase diam dan fase gerak. Pada
fase diam, sebagai adsorben digunakan silika gel GF 254. Tebal lapisan silika gel
berkisar antara 0,15-2,00 mm tergantung pada kebutuhan, untuk analisis umumnya
0,2 mm. Preparatif tebal lapisan yang dimaksud ± 2,00 mm ( Mulya, M. dan
Suharman, 1995 ). Fase gerak adalah medium angkut dan terdiri atas satu atau
beberapa pelarut. Gerakan ini disebabkan oleh adanya gaya kapiler. Fase gerak ini
menggunakan pelarut yang berderajat kemurnian untuk kromatografi atau pro
11
analisis. Bejana yang digunakan untuk fase gerak ini harus tertutup rapat untuk
mencegah penguapan eluen dari permukaan pelat, bejana harus dijenuhkan dengan
uap eluen dengan cara meletakkan kertas saring di seluruh dinding sebelah dalam
bejana dan membiarkannya sampai seluruh kertas saring dibasahi dengan uap eluen.
Tingkat kejenuhan bejana dengan eluen mempunyai pengaruh yang nyata pada
pemisahan dan letak noda pada kromatogram.
Penotolan dilakukan dengan pipa kapiler dimana ekstrak kental yang sudah
dilarutkan dengan sedikit etanol 70% ditotolkan pada plat silika gel 254 sepanjang
5x10 cm sebanyak 5-10 kali. Pengembang yang digunakan adalah heksan 8 ml dan
etil asetat 2 ml ( 4;1 ). Proses pengembangan ini merupakan proses pemisahan
campuran akibat fase gerak atau pelarut pengembang merambat naik melalui pelat/
lapisan tipis. Jarak pengembangan normal yaitu jarak antara garis awal penotolan dan
garis akhir pengembangan adalah 100 mm. Praktikum ini menggunakan jarak
pengembangan atas dan bawah dalam 1 cm. Berdasarkan arah pengembangan,
pengembangan naik ini digunakan untuk tujuan mencapai kesetimbangan partisi yang
lebih sempurna sehingga akan didapat noda yang kompak dan terpisah dengan baik.
Deteksi noda, jika zat yang dipisahkan sudah berwarna seperti pada
praktikum yang dilakukan , ekstrak temulawak sudah berwarna cokat tua, maka noda
hasil pemisahan akan nampak dengan sendirinya. Deteksi ini menggunakan sinar UV
gelombang panjang 366 nm. Dipilihnya panjang gelombang 366 nm karena dalam
plat terdapat indikator fluoresensi yang akan berpendar/ berfluoresensi di bawah
lampu UV 366 nm sehingga senyawa-senyawa akan nampak sebagai noda gelap. Dari
hasil percobaan pertama ternyata tidak nampak noda pada standar kuersetin dan noda
pada sample tidak seperti yang diharapkan. Hal ini terjadi karena kurangnya jumlah
penotolan kuersetin pada silika gel 254. Dilakukan percobaan ulang dengan
mengerok ekstak sample pada silika gel 254 ( percobaan I ) kemudian ditambahkan
dengan sedikit etanol 70%, untuk pengembang juga dilakukan perubahan
perbandingan dari semula heksan:etil asetat ( 4:1 ) menjadi heksan:etil asetat (1:4 ).
Hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil pemisahan terbaik. Perubahan
12
perbandingan pengembang ini diperoleh hasil percobaan yang diinginkan yaitu
adanya warna bercak yang nampak, jumlah bercak lebih dari satu, dan letak bercak
beriringan, dimana ketiga spesifikasi ini dapat digunakan untuk identifikasi dan
analisis suatu kandungan kimia yang lain dalam bahan yang dianalisis ( Macek,K.,
1972 ).
13
VIII. KESIMPULAN
14
IX. DAFTAR PUSTAKA
Claeson, P., dkk. 1993. Three Non Phenolic Diarylheptonoids with anti-inflammatory
activity from Curcuma xanthrorriza. Planta.
Depkes RI, 1978. Materia Medika Indonesia Jilid II. Jakarta : Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Depkes RI, 1979. Materia Medika Indonesia Jilid III. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Hostettmann, K., dkk. 2014. Cara Kromatografi Preparatif. Penerbit ITB. Bandung.
Purwakusumah, E. D., dkk. 2008. Menjadikan Temulawak sebagai bahan baku utama
industri berbasis kreatif yang berdaya saing. Pusat Studi Biofarmaka
LPPM-IPB. E-mail: bfarmaka@gmail.com, 24 hlm.
15
Rubiyanto, Dwiarso., 2016, Teknik Dasar Kromatografi. Penerbit Deepublish,
Yogyakarta.
Yunita, E. dan Wijaya, A., 2019, Modul Praktikum Fitokimia. Akademi Farmasi
Indonesia Yogyakarta, Yogyakarta.
16