Organofosfat
Organofosfat
“INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT”
Disusun oleh:
1
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. R
Umur : 45 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Toili Barat
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Tgl masuk RS : 19 september 2015
B. Keluhan Utama
Pasien datang dengan penurunan kesadaran setelah minum racun
E. Pemeriksaan Fisik
a. Kesan Umum : Tampak Sakit Berat
Kesadaran :GCS: E1V1M1
2
b. Vital Sign :
Tekanan darah : 130/110 mmHg
Nadi : 140 x/menit
Suhu badan : 36,4oC
Pernafasan : 40 x/menit
c. Pemeriksaan kulit
Turgor dan elastisitas dalam batas normal, kelainan kulit (-), sianosis (-)
d. Pemeriksaan kepala
Rambut : Warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusimerata
Pemeriksaan mata : Palpebra edema (-/-), Konjungtiva Anemis (-/-) Sklera
ikterik (-/-)
Pupil : Reflek cahaya (-/-), pinpoint pupil +/+
Mulut : Stridor + , Hipersalivasi +
Pemeriksaan Telinga : Otore (-/-), nyeri tekan (-/-), serumen (-/-)
Pemeriksaan Hidung : Sekret (-/-), epistaksis (-)
e. Pemeriksaan Leher :
Kelenjar tiroid tidak membesar
Kelenjar lnn Tidak membesar, nyeri (-)
f. Pemerikasaan dada :
Inspeksi : retraksi (-), Nafas Cepat dan Dalam (pernafasan Kusmaull)
Palpasi :ketinggalan gerak (-)
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi :Suara dasar vesikuler (+), Suara tambahan : Ronkhi (+),
wheezing(-), krepitasi(-), S1 S2 reguler
g. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Bentuk bulat, defans muskular (-), venektasi (-), sikatrik (-)
Auskultasi: Peristaltik usus (+)
3
Perkusi : Timpani, nyeri ketok kostovertebra (-), pekak beralih (-), undulasi
(-)
Palpasi: Nyeri tekan abdomen (+) bagian epidastrik dan umbilikalis,
abdomen kiri, nyeri lepas tekan (-), massa (-), Nyeri tekan suprapubik (-)
.
h. Extremitas atas edema (-/-), nadi lemah (+), akral Dingin (+).
i. Extremitas bawah: edema (-/-), nadi lemah (+), akral Dingin (+).
F. EKG
G. Penegakkan Diagnosa
H. Penatalaksanaan di IGD
Intubasi endotrakeal
IVFD RL 20 tpm
Pro ICU
I. Follow Up
Pasien meninggal di ICU pada tanggal 20 September Dini Hari pkl 04.00
4
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendahuluan
Pestisida adalah bahan kimia untuk membunuh hama (insekta, jamur dan gulma).
Sehingga pestisida dikelompokkan menjadi :
- Insektisida (pembunuh insekta)
- Fungisida ( pembunuh jamur)
- Herbisida (pembunuh tanaman pengganggu)
Pestisida telah secara luas digunakan untuk tujuan memberantas hama dan penyakit
tanaman dalam bidang pertanian. Pestisida juga digunakan dirumah tangga untuk
memberantas nyamuk, kepinding, kecoa dan berbagai serangga penganggu lainnya. Dilain
pihak pestisida ini secara nyata banyak menimbulkan keracunan pada orang. Kematian yang
disebabkan oleh keracunan pestisida banyak dilaporkan baik karena kecelakaan waktu
menggunakannya, maupun karena disalah gunakan (unttuk bunuh diri). Dewasa ini
bermacam-macam jenis pestisida telah diproduksi dengan usaha mengurangi efek samping
yang dapat menyebabkan berkurangnya daya toksisitas pada manusia, tetapi sangat toksik
pada serangga.
Diantara jenis atau pengelompokan pestisida tersebut diatas, jenis insektisida banyak
digunakan dinegara berkembang, sedangkan herbisida banyak digunakan dinegara yang
sudah maju. Dalam beberapa data Negara-negara yang banyak menggunakan pestisida adalah
sebagai berikut
- Amerika Serikat 45%
- Eropa Barat 25%
- Jepang 12%
- Negara berkembang lainnya 18%
Dari data tersebut terlihat bahwa negara berkembang seperti Indonesia, penggunaan
pestisida masih tergolong rendah. Bila dihubungkan dengan pelestarian lingkungan maka
penggunaan pestisida perlu diwaspadai karena akan membahayakan kesehatan bagi manusia
ataupun makhluk hidup lainnya.
5
B. Definisi
Organofosfat adalah nama umum ester dari asam fosfat. Organofosfat dapat
digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain, fosfat, fosforothioat, fosforamidat,
fosfonat, dan sebagainya. Contoh dari organofosfat termasuklah insektisida (malathion,
parathion, diazinon, fenthion, dichlorvos, chlorpyrifos, ethion), dan antihelmintik
(trichlorfon). Organofosfat bisa diabsorpsi melalui absorpsi kulit atau mukosa atau parenteral,
per oral, inhalasi dan juga injeksi.
Gugus X pada struktur di atas disebut “leaving group” yang tergantikan saat
organofosfat menfosforilasi asetilkholin serta gugus ini paling sensitif terhidrolisis.
Sedangkan gugus R1 dan R2 umumnya adalah golongan alkoksi, misalnya OCH3 atau
OC2H5. Organofosfat dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain, fosfat,
fosforothioat, fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya.
C. Predisposisi
Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida adalah faktor
dalam tubuh (internal) dan faktor dariluar tubuh (eksternal), faktor-faktor tersebut adalah :
a. Umur
Umur merupakan fenomena alam, semakin lama seseorang hidup maka usia pun akan
bertambah. Seiring dengan pertambahan umur maka fungsi metabolisme tubuh juga menurun.
Semakin tua umur maka rata-rata aktivitas kolinesterase darah semakin rendah, sehingga
akan mempermudah terjadinya keracunan pestisida.
b. Status gizi
6
Buruknya keadaan gizi seseorang akan berakibat menurunnya daya tahantubuh dan
meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Kondisi gizi yangburuk, protein yang ada dalam
tubuh sangat terbatas dan enzimkolinesterase terbentuk dari protein, sehingga pembentukan
enzimkolinesterase akan terganggu. Dikatakan bahwa orang yang memilikitingkat gizi baik
cenderung memiliki kadar rata-rata kolinesterase lebihbesar.
c. Jenis kelamin
Kadar kholin bebas dalam plasma darah laki-laki normal rata-rata 4,4μg/ml. Analisis
dilakukan selama beberapa bulan menunjukkan bahwatiap-tiap individu mempertahankan
kadarnya dalam plasma hingga relatifkonstan dan kadar ini tidak meningkat setelah makan
atau pemberian oralsejumlah besar kholin. Ini menunjukkan adanya mekanisme dalam
tubuhuntuk mempertahankan kholin dalam plasma pada kadar yang konstan.Jenis kelamin
sangat mempengaruhi aktivitas enzim kolinesterase, jeniskelamin laki-laki lebih rendah
dibandingkan jenis kelamin perempuankarena pada perempuan lebih banyak kandungan
enzim kolinesterase,meskipun demikian tidak dianjurkan wanita menyemprot
denganmenggunakan pestisida, karena pada saat kehamilan kadar rata-ratakolinesterase
cenderung turun.
d. Tingkat pendidikan
Pendidikan formal yang diperoleh seseorang akan memberikan tambahanpengetahuan
bagi individu tersebut, dengan tingkat pendidikan yang lebihtinggi diharapkan pengetahuan
tentang pestisida dan bahayanya jugalebih baik jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan
yang rendah,sehingga dalam pengelolaan pestisida, tingkat pendidikan tinggi akanlebih baik.
a. Dosis
Semua jenis pestisida adalah racun, dosis semakin besar semakinmempermudah
terjadinya keracunan pada petani pengguna pestisida.Dosis pestisida berpengaruh langsung
terhadap bahaya keracunanpestisida, hal ini ditentukan dengan lama pajanan. Untuk
dosispenyemprotan di lapangan khususnya golongan organofosfat, dosis yangdianjurkan 0,5
– 1,5 kg/ha.
b. Lama kerja
7
Semakin lama bekerja sebagai petani maka semakin sering kontak denganpestisida
sehingga risiko terjadinya keracunan pestisida semakin tinggi.Penurunan aktivitas
kolinesterase dalam plasma darah karena keracunanpestisida akan berlangsung mulai
seseorang terpapar hingga 2 minggusetelah melakukan penyemprotan.
d. Frekuensi penyemprotan
Semakin sering melakukan penyemprotan, maka semakin tinggi pularesiko
keracunannya.Penyemprotan sebaiknya dilakukan sesuai denganketentuan. Waktu yang
dibutuhkan untuk dapat kontak dengan pestisidamaksimal 5 jam perhari.
D. Patofisiologi
8
Pada bentuk ini enzim mengalami phosphorylasi.
Organophosphat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida lainnya
dan sering menyebabkan keracunan pada orang. Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja
dapat menyebabkan kematian, tetapi diperlukan lebih dari beberapa mg untuk dapat
menyebabkan kematian pada orang dewasa.
9
Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan
kholinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara normal
menghidrolisis asetylcholin menjadi asetat dan kholin. Pada saat enzim dihambat,
mengakibatkan jumlah asetylkholin meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan
nikotinik pada system saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala
keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh.
E. Gejala
Tanda dan gejala dari intoksikasi organofosfat terbagi menjadi 3 bagian: (1) efek
muskarinik, (2) efek nikotinik, dan (3) efek Sistem Saraf Pusat
a. Efek muskarinik
Tanda dan gejala yang timbul 12-24 jam pertama setelah terpapar termasuk:
diare, urinasi, miosis (tidak pada 10% kasus), bronkospasma/bradikardi, mual muntah,
peningkatan lakrimasi, hipersalivasi dan hipotensi.
Efek muskarinik menurut sistem organ termasuk:
1. Kardiovaskular - Bradikardi, hipotensi
2. Respiratori – bronkospasma, batuk, depresi saluran pernafasan
3. Gastrointestinal – hipersalivasi, mual muntah, nyeri abdomen, diare,
inkontinensia alvi
4. Genitourinari – Inkontinensia urin
5. Mata – mata kabur, miosis
6. Kelenjar – Lakrimasi meningkat, keringat berlebihan
b. Efek Nikotinik
Efek nikotinik termasuklah fasikulasi otot, kram, lemah, dan gagal diafragma
yang bisa menyebabkan paralisis otot. Efek nikotinik autonom termasuk hipertensi,
takikardi, midriasis, dan pucat.
10
F. Diagnosis Banding
G. Diagnosis
1) Diperlukan autoanamnesis dan aloanamnesis yang cukup cermat serta diperlukan
bukti-bukti yang diperoleh di tempat kejadian.
2) Bagi pemeriksaan fisik harus ditemukan dugaan tempat masuknya racun sama ada
dengan cara inhalasi, per oral, absorpsi kulit dan mukosa atau parenteral, yang
amat berpengaruh pada efek kecepatan dan lamanya reaksi keracunan.
3) Pemeriksaan klinis paling awal adalah menilai status kesadaran pasien. Hal ini
diikuti oleh penemuan tanda dan gejala klinis seperti yang telah dihuraikan
sebelumnya
4) Akhir sekali diagnosa dikuatkan lagi dengan pemeriksaan penunjang sesuai
indikasi.
H. Pemeriksaan penunjang
1) Laboratorium klinik
analisa gas darah
darah lengkap
serum elektrolit
pemeriksaan fungsi hati
Pemeriksaan fungsi ginjal
sedimen urin
2) EKG
Deteksi gangguan irama jantung
3) Pemeriksaan radiologi
Dilakukan terutama bila curiga adanya aspirasi zat racun melalui inhalasi atau
dugaan adanya perforasi lambung.
I. Penatalaksanaan
a. Stabilisasi Pasien
Pemeriksaan saluran nafas, pernafasan, dan sirkulasi merupakan evaluasi primer
yang harus dilakukan serta diikuti evaluasi terhadap tanda dan symptom toksisitas
kolinergik yang dialami pasien. Dukungan terhadap saluran pernafasan dan intubasi
11
endotrakeal harus dipertimbangkan bagi pasien yang mengalami perubahan status
mental dan kelemahan neuromuskular sejak antidotum tidak memberikan efek. Pasien
harus menerima pengobatan secara intravena dan monitoring jantung. Hipotensi yang
terjadi harus diberikan normal salin secara intravena dan oksigen harus diberikan
untuk mengatasi hipoksia. Terapi suportif ini harus diberikan secara paralel dengan
pemberian antidotum.
b. Dekontaminasi
Dekontaminasi harus segera dilakukan pada pasien yang mengalami keracunan.
Baju pasien harus segera dilepas dan badan pasien harrus segera dibersihkan dengan
sabun. Proses pembersihan ini harus dilakukan pada ruangan yang mempunyai
ventilasi yang baik untuk menghindari kontaminasi skunder dari udara.
Pelepasan pakaian dan dekontaminasi dermal mampu mengurangi toksikan yang
terpapar secara inhalasi atau dermal, namun tidak bisa digunakan untuk
dekontaminasi toksikan yang masuk dalam saluran pencernaan. Dekontaminasi pada
saluran cerna harus dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Dekontaminasi saluran
cerna dapat melalui pengosongan orogastrik atau nasogastrik, jika toksikan
diharapkan masih berada di lambung. Pengosongan lambung kurang efektif jika
organofosfat dalam bentuk cairan karena absorbsinya yang cepat dan bagi pasien yang
mengalami muntah.
Arang aktif 1g/kg BB harus diberikan secara rutin untuk menyerap toksikan
yang masih tersisa di saluran cerna. Arang aktif harus diberikan setelah pasien
mengalami pengosongan lambung. Muntah yang dialami pasien perlu dikontrol untuk
menghindari aspirasi arang aktif karena dapat berhubungan dengan pneumonitis dan
gangguan paru kronik.
c. Pemberian Antidotum
a) Agen Antimuskarinik
Agen antimuskarinik seperti atropine, ipratopium, glikopirolat, dan skopolamin
biasa digunakan mengobati efek muskarinik karena keracunan organofosfat. Salah
satu yang sering digunakan adalah Atropin karena memiliki riwayat penggunaan
paling luas. Atropin melawan tiga efek yang ditimbulkan karena keracunan
organofosfat pada reseptor muskarinik, yaitu bradikardi, bronkospasme, dan
bronkorea.
12
Pada orang dewasa, dosis awalnya 1-2 mg iv yang digandakan setiap 2-3 menit
sampai teratropinisasi. Untuk anak-anak dosis awalnya 0,05mg/kg BB yang
digandakan setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Tidak ada kontraindikasi
penanganan keracunan organofosfat dengan Atropin.
b) Oxime
Oxime adalah salah satu agen farmakologi yang biasa digunakan untuk
melawan efek neuromuskular pada keracunan organofosfat. Terapi ini diperlukan
karena Atropine tidak berpengaruh pada efek nikotinik yang ditimbulkan oleh
organofosfat. Oxime dapat mereaktivasi enzim kholinesterase dengan membuang
fosforil organofosfat dari sisi aktif enzim.
Pralidoxime adalah satu-satunya oxime yang tersedia. Pada regimen dosis tinggi
(1 g iv load diikuti 1g/jam selam 48 jam), Pralidoxime dapat mengurangi penggunaan
Atropine total dan mengurangi jumlah penggunaan ventilator.
Efek samping yang dapat ditimbulkan karena pemakaian Pralidoxime meliputi
dizziness, pandangan kabur, pusing, drowsiness, nausea, takikardi, peningkatan
tekanan darah, hiperventilasi, penurunan fungsi renal, dan nyeri pada tempat injeksi.
Efek samping tersebut jarang terjadi dan tidak ada kontraindikasi pada penggunaan
Pralidoxime sebagai antidotum keracunan organofosfat.
d. Pemberian anti-kejang
Dazepam diberikan pada pasien bagi mengurangkan cemas, gelisah (dosis: 5-10
mg IV) dan bisa juga digunakan untuk mengkontrol kejang (dosis: sehingga 10-20 mg
IV)
J. Komplikasi
Gagal nafas
kejang
pneumonia aspirasi
neuropati
kematian
13
KESIMPULAN
14
DAFTAR PUSTAKA
15