Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada sistem penambangan surface mining kondisi lereng yang stabil akan
menjamin kemenerusan kegiatan penambangan. Adanya kegiatan penggalian pada
suatu lereng dapat menyebabkan perubahan gaya-gaya pada lereng yang
mengakibatkan terganggunya kestabilan sehingga dapat terjadi longsor. Kestabilan
lereng pada batuan lebih ditentukan oleh adanya bidang-bidang lemah yang disebut
dengan bidang diskontinuitas, geometri lereng dan sifat fisik maupun mekanis batuan.
Beberapa metode yang digunakan untuk analisis kestabilan lereng diantaranya dengan
menggunakan klasifikasi Slope Mass Rating (SMR) dan analisis kinematik.
Klasifikasi Slope Mass Rating (SMR) merupakan modifikasi dari klasifikasi Rock
Mass Rating (RMR) bieniawski 1979, yang penerapannya dikhususkan pada lereng.
Pada klasifikasi Slope Mass Rating (SMR) Romana 1985, dapat diketahui kondisi massa
batuan, tingkat kestabilan lereng, kemungkinan terjadi longsoran, dan rekomendasi
metode penanganan pada lereng. Selain klasifikasi SMR salah satu analisis kestabilan
lereng yang menekan pada pengaruh orientasi bidang diskontinuitas yaitu analisis
kinematik. Analisis kinematik bertujuan untuk mengetahui jenis, arah longsoran.
PT. Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) merupakan salah satu perusahaan
tambang logam terbesar di Indonesia dengan menggunakan metode penambangan
open pit mining. Beberapa kasus longsoran yang terjadi pada PT. Amman Mineral Nusa
Tenggara lebih dikontrol oleh pengaruh orientasi bidang diskontinuitas. Berdasarkan
hal tersebut, maka dilakukan penelitian analisis tingkat kestabilan lereng menggunakan
metode Slope Mass Rating (SMR) dan kinematik, karena kedua metode tersebut lebih
menekan pada pengaruh orientasi struktur terhadap tingkat kestabilan lereng.
Sehingga dapat dilakukan rekomendasi penanganan lereng di PT. Amman Mineral Nusa
Tenggara.

1.2 Batasan Masalah

Batasan masalah pada kerja praktek ini meliputi:


1. Orientasi di beberapa divisi pada Departemen Geotechnical and Hydrological
PT. Amman Mineral Nusa Tenggara.

1
2. Teknis pengambilan data line mapping yang digunakan PT. Amman Mineral
Nusa Tenggara.
3. Penghitungan nilai Slope Mass Rating (SMR) berdasarkan data line mapping dan
nilai RMR di PT. Amman Mineral Nusa Tenggara.

1.3 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada kerja praktek ini meliputi:


1. Bagaimana mengetahui nilai Slope Mass Rating (SMR) berdasarkan klasifikasi
Rock Mass Rating (RMR) ?
2. Bagaimana menentukan tingkat kestabilan lereng berdasarkan klasifikasi Slope
Mass Rating (SMR) menurut Romana, 1985 ?
3. Bagaimana penanganan stabilisasi lereng pada daerah penelitian ?
4. Bagaimana modelling desain perkuatan lereng untuk mendapatkan desain
lereng final yang representatif baik dari segi teknis maupun ekonomi ?

1.4 Tujuan Kerja Praktek

Kerja Praktek yang dilakukan memiliki tujuan sebagai berikut:


1. Mengikuti kegiatan orientasi di beberapa divisi pada Departemen Geotechnical
and Hydrogeological PT. Amman Mineral Nusa Tenggara.
2. Mengetahui teknis pengambilan data line mapping dengan melakukan
pengukuran pada orientasi struktur/bidang diskontinuitas, geometri lereng,
litologi batuan, intact rock, dan kondisi air tanah, yang digunakan sebagai
acaun dasar dalam analisis kestabilan lereng.
3. Menghitung nilai Slope Mass Rating (SMR) berdasarkan data line mapping dan
nilai RMR di PT. Amman Mineral Nusa Tenggara.

1.5 Manfaat Kerja Praktek

Kerja Praktek akhirnya diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, yaitu:
1. Perusahaan dapat menjadikan nilai Slope Mass Rating (SMR) sebagai acuan
untuk mengetahui tingkat kestabilan lereng tambang.
2. Bidang akademik akan mendapatkan pustaka megenai kestabilan lereng
khususnya dengan menggunakan metode Slope Mass Rating (SMR).

2
1.6 Waktu dan Lokasi Kerja Praktek

Kerja praktek dilaksanakan selama dua bulan dimulai tanggal 21 Mei hingga 21
Juli 2018 pada PT. Amman Mineral Nusa Tenggara di Kecamatan Jereweh, Maluk dan
Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Gambar 1.1 Lokasi PT. Amman Mineral Nusa Tenggara


Sumber: Arsip PT. AMNT

PT Amman Mineral Nusa Tenggara terletak pada posisi 116°24'0"BT -


116°33'0"BT dan 8°30'0"LS - 9°3'0"LS. Rute perjalanan untuk mencapai lokasi kerja
praktek, yaitu:

3
1. Kota Makassar ke Kota Mataram
Perjalanan dari Kota Makassar yang berada di Pulau Sulawesi menuju Kota
Mataram di Pulau Lombok menggunakan jalur udara ± 45 menit.
2. Pulau Lombok ke Pulau Sumbawa
Perjalanan dari Pulau Lombok (Pelabuhan Kayangan) menuju Pulau Sumbawa
(Pelabuhan Benete) ditempuh dengan menggunakan jalur laut selama ± 120
menit.
3. Pelabuhan Benete ke PT. Amman Mineral Nusa Tenggara.
Perjalanan dari Pelabuhan Benete menuju lokasi PT. Amman Mineral Nusa
Tenggara ditempuh dengan menggunakan jalur darat selama ± 60 menit.

1.7 Metode Kerja Praktek

Tahapan dalam melakukan kerja praktek yaitu sebagai berikut:


1. Studi kepustakaan, yaitu dengan menggunakan berbagai literatur sehingga
dapat dijadikan acuan dalam pembahasan serta dalam penyusunan laporan.
2. Pengambilan data terdiri dari:
a. Observasi dan pengenalan lapangan di lokasi penambangan
b. Pengumpulan data:
1) Data line mapping yang dilakukan pada PT. Amman Mineral Nusa
Tenggara.
2) Data tambahan berupa peta topografi, dan data penunjang lainnya.
3. Diskusi dengan para pembimbing dan rekan kerja dalam kegiatan pengumpulan
informasi dan pengolahan data.
4. Penyusunan laporan.
5. Presentasikan di perusahaan dan universitas.

1.8 Geoteknik Lokasi Kerja Praktek

Kekuatan massa batuan (RMR) Pit Batu Hijau PT. Amman Mineral Nusa
Tenggara bervariasi dengan rating antara 20-70, Kondisi massa batuan berada pada
kelas bad - good. Dari kenampakan bird eye RMR Pit Batu Hijau dominan berada pada
nilai 40-60 sehingga dapat disimpulkan kondisi massa batuan Pit Batu Hijau umumnya
pada kelas normal (gambar 2.18).

4
Gambar 1.2 Blok model RMR Pit Batu Hijau
Sumber: (Department Geotechnical & Hydrogeological PT. AMNT)
Tabel 1.1 Deskripsi Kelas Massa Batuan, (Bieniawski 1979)
Rating (RMR) 100 – 81 80 – 61 60 – 41 40 - 21 < 20
Class I II III IV V
Description Very good Good Normal Bad Very bad

1.9 Tinjauan Pustaka

1.9.1 Analisis Kinematik

Analisis kinematik merupakan metode yang digunakan pada tahap awal dalam
melakukan analisis kemantapan lereng sebelum melangkah ketahap perhitungan faktor
keamanan. Dengan melakukan analisis kinematik, dapat diketahui jumlah bidang, jenis
dan arah longsoran serta probability of failure dari longsoran tersebut. Metode analisis
stereografis (stereonet) hanya dipakai untuk batuan yang mempunyai bidang lemah
atau bidang diskontinuitas seperti perlapisan, kekar, sesar, dan sebagainya.
Berdasarkan proses dan jenis longsornya, longsoran batuan dapat dibedakan
menjadi empat macam (E Hoek and J Bray, 1981) yaitu:
1. Longsoran Bidang (Plane Failure)
Longsoran bidang merupakan suatu longsoran batuan yang terjadi sepanjang
bidang luncur yang dianggap rata. Bidang luncur tersebut dapat berupa
sesar/patahan, rekahan (joint) maupun bidang perlapisan batuan. Longsoran
bidang dapat terjadi apabila orientasi bidang diskontinuitas searah lereng atau

5
perbadaan sudut antara arah lereng dengan arah bidang lemah maksimal 300
dengan kemiringan bidang gelincir harus lebih besar dari sudut geser dalam
batuanya.

Gambar 1.3 Longsoran Bidang (Hoek and Bray, 1981)

2. Longsoran Baji (Wedge Failure)


Longsoran baji dapat terjadi pada suatu batuan jika terdapat lebih dari satu
bidang lemah yang bebas dan saling berpotongan dengan arah orientasi bidang
lemah searah lereng atau berada pada zona daylight. Sudut perpotongan
antara bidang lemah tersebut harus lebih besar dari sudut geser dalam
batuanya.

Gambar 1.4 Longsoran Baji (Hoek and Bray, 1981)

3. Longsoran Busur (Circular Failure)


Longsoran busur hanya terjadi pada tanah atau material yang bersifat seperti
tanah. longsoran busur juga dapat terjadi pada batuan yang sangat lapuk serta
banyak mengandung bidang lemah.

6
Gambar 1.5 Longsoran Busur (Hoek and Bray, 1981)

4. Longsoran Guling
Longsoran guling akan terjadi apabila orientasi bidang lemah yang dominan
berlawanan terhadap kemiringan lereng. Keadaan tersebut dapat digambarkan
dengan balok-balok yang diletakkan diatas sebuah bidang miring.

Gambar 1.6 Longsoran Guling (Hoek and Bray, 1981)

1.9.2 Klasifikasi Rock Mass Rating (RMR)

Bieniawski (1979) mempublikasikan suatu metode klasifikasi massa batuan


yang dikenal dengan Geomechanics Classification atau Rock Mass Rating (RMR).
Metode ini telah dikenal luas dan banyak diaplikasikan pada keadaan dan lokasi yang
berbeda-beda seperti tambang pada batuan kuat, terowongan, tambang batubara,
kestabilan lereng, dan kestabilan pondasi. Klasifikasi RMR telah dimodifikasi beberapa
kali sesuai dengan adanya data baru agar dapat digunakan untuk berbagai
kepentingan dan sesuai dengan standar internasional. Sistem klasifikasi massa batuan
RMR 79 menggunakan lima parameter berikut ini dimana rating setiap parameter
dijumlahkan untuk memperoleh nilai total dari RMR:
(1) Kuat tekan batuan utuh (Strength of intact rock material)
(2) Rock Quality Designation (RQD).
(3) Jarak antar (spasi) kekar (Spacing of discontinuities)
(4) Kondisi kekar (Condition of discontinuities)
(5) Kondisi air tanah (Groundwater conditions)

7
1. Kuat Tekan Uniaksial Batuan (Strength of intact rock material)
Kuat tekan uniaksial batuan dapat diperoleh dari uji laboratorium yakni dengan
pengujian Uniaksial Compressive strength (UCS). Pada pengujian ini gaya (kN),
perpindahan (mm) aksial dan lateral direkam hingga batuan pecah. Dengan perolehan
data sifat mekanik batuan seperti kuat tekan batuan (c), modulus elastistas (E) dan
Poisson Ratio (). Jika data kuat tekan hasil uji UCS tidak diperoleh, maka dapat
menggunakan kuat tekan batuan dengan uji “Point Load Strenght Index”, dan jika
kedua pengujian tersebut tidak ada maka dapat dilakukan pendekatan “Standard Index
Manual” sebagai dasar uji di lapangan (Tabel 1).
Tabel 1.2 Manual Indeks Uniaxial Compressive Strenght (UCS)
UCS Index Point Load
Kode Diskripsi Uji Lapangan
(MPa) (MPa)
Sangat
0 Bisa ditekan dengan paku 0,25 – 1,0 -
lemah
Hancur bila dipukul dengan
1 Lemah Palu/dapat digores dengan 5 – 25 -
Pisau
Tidak dapat digores dengan
2 Sedang 25 – 50 <1
Pisau
Dapat hancur dengan
3 Kuat 50 – 100 2–4
Memukul lebih dari satu kali
Dapat hancur dengan
4 Sangat kuat 100 – 250 4 – 10
Memukul berkali-kali
Sangat kuat Sulit pecah dipukul dengan
5 >250 >10
Sekali Palu

Deere (1970) membuat klasifikasi teknis batuan utuh untuk beberapa macam
batuan dalam menilai kuat tekan batuan, seperti yang terlihat pada (Tabel 2).
Tabel 1.3 Klasifikasi Teknis Batuan Utuh, Deere (1968).
Kekuatan Pemeraian UCS (MPa) Batuan
Sangat Lemah 1 - 25 Talk
Lemah 25 - 50 Batubara, Batulanau, Sekis
Sedang 50 - 100 Batupasir, Sabak, Serpih
Kuat 100 - 200 Marmer, Granit, Genis
Sangat kuat >200 Kuarsa, Dolerit, Gabro, Basal

2. Rock Quality Designation (RQD)


Pada perhitungan nilai RMR, parameter Rock Quality Designation (RQD) diberi
bobot berdasarkan nilai RQD-nya seperti tertera pada Tabel dibawah ini.

Tabel 1.4 Hubungan indeks RQD dengan kualitas batuan (Bieniawski, 1979)
RQD (%) Kualitas Batuan Pembobotan RMR
< 25 Sangat jelek (very poor) 3

8
25 – 50 Jelek (poor) 8
51 – 75 Sedang (fair) 13
76 – 90 Baik (good) 17
91 – 100 Sangat baik (excellent) 20

3. Jarak Bidang Diskontinuitas


Spasi dipetakan dari permukaan batuan dan core bor, dan spasi sebenarnya
dihitung dari spasi semu untuk diskontinuitas yang miring terhadap permukaan
(Gambar 1). Pengukuran spasi set kekar memberikan ukuran dan bentuk blok.
Hasilnya berupa model stabilitas dan kekuatan massa batuan.
S = Sapp x Si n θ

𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑆𝑐𝑎𝑛𝑙𝑖𝑛𝑒
S=
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐷𝑖𝑠𝑘𝑜𝑛𝑡𝑖𝑛𝑢𝑖𝑡𝑎𝑠

Dimana:
S = Jarak antar diskontinuitas
Sapp = Spasi semu diskontinuitas

Gambar 1.7 Hubungan antara spasi semu (S apparent) dan spasi


sebenarnya (S) (Wyllie dan Mah, 2004)

4. Kondisi Bidang Diskontnuitas

Kondisi bidang diskontinuitas dipengaruhi oleh kekasaran (roughness),


regangan (separation), pelapukan batuan samping dan material pengisi.

9
a. Kekasaran (Roughness)
Kekasaran merupakan komponen penting dalam kuat geser terutama untuk
kekar yang mengalami pergeseran atau yang terisi oleh material lain.
Kekasaran yang saling mengunci dan menempel akan mempengaruhi kuat
geser. Di lapangan penentuan kekasaran dapat dilakukan dengan meraba
permukaan kekar. Panduan untuk menentukan profil kekasaran dan
diskripsinya diberikan oleh ISRM (1981). Panduan ini untuk panjang profil
dalam 1-10m dengan skala vertikal dan horizontal (Gambar 2) sebagai
berikut:
1) Sangat kasar (very rough surfaces); terdapat banyak gelombang yang
sangat berdekatan pada permukaan kekar.
2) Kasar (rough surfaces); terdapat beberapa gelombang, kekasaran jelas
terlihat dan permukaan kekar terasa sangat abrasif.
3) Sedikit kasar (slightly rough surface); permukaan kekar dapat dibedakan
dan dirasakan antara yang relatif kasar dengan yang relatif halus.
4) Halus (smooth surfaces); permukaan kekar terasa halus ketika disentuh.
5) Polesan (slickensided surfaces); terlihat seperti dipoles (digosok).

Gambar 1.8 Profil Kekasaran dan Diskripsinya


(ISRM, 1981)

10
b. Rengangan (Separation)
Wyllie dan Mah (2004) menjelaskan besarnya rongga diskontinuitas
diperoleh dari pengukuran jarak tegak lurus antara dinding batuan
berdekatan dari bidang diskontinuitas yang di dalamnya terisi udara atau air.
Rongga pada diskontinuitas akan mempengaruhi nilai kuat massa batuan
dan besarnya hidraulic conductivity air tanah, sehingga berguna untuk
memprediksi sifat massa batuan.

Tertutup Separasi

Gambar 1.9 Ilustrasi Pengertian Separasi

Menurut Wyllie dan Mah (2004) rongga dengan bukaan (> 1 m) sebagai
kategori yang besar dan jika (< 0,1 mm) dikategorikan sangat rapat. Secara
lengkap pembangian kategori rongga dilakukan oleh Barton 1973 (tabel 4).
Table 1.5 Deskripsi Keadaan Rongga pada Permukaan Diskontinuitas (Barton, 1973)
Deskripsi Lebar Rongga
Sangat Rapat < 0,1 mm
Tertutup Rapat 0,1 – 0,25 mm
Sedikit Terbuka 0,25 – 0,5 mm
Terbuka 0,5 – 2,5 mm
Celah (Gap) Lebar Menengah 2,5 – 10 mm
Lebar > 10 mm
Sangat Lebar 10 – 100 mm
Terbuka Lebar Sekali 100 – 1000 mm
Besar >1m

c. Pelapukan Batuan Samping

Pelapukan batuan adalah proses yang menyebabkan alterasi batuan,


disebabkan oleh air, karbon dioksida dan oksigen atau proses eksternal yang
menyebabkan hilang dan berubahnya sifat asal mula menjadi kondisi yang
baru. Pelapukan terjadi akibat proses fisika, kimia, biologi atau melalui
proses mekanika dan dipengaruhi oleh keadaan iklim. Wyllie dan Mah (2004)
pelapukan berbentuk desintegrasi dan dekomposisi. Desintegrasi adalah hasil

11
perubahan lingkungan, seperti kelembaban, pembekuan dan pemanasan.
Sedangkan dekomposisi menunjukkan perubahan batuan oleh kimia seperti
proses oksidasi pada batuan mengandung besi, hidrasi seperti perubahan
feldspar menjadi kaolinit, dan karbonisasi seperti pelarutan batugamping.
Tingkat pelapukan batuan samping dapat ditentukan sebagai berikut.
1) Tidak lapuk (unweathered/fresh), tidak ada tanda-tanda pelapukan,
batuannya segar dan kristalnya tampak jelas.
2) Sedikit lapuk (slightly weathered), pelapukan terdapat pada kekar-kekar
terbuka, tetapi pada batuan utuh pelapukan terjadi hanya sedikit saja,
dan perubahan warna pada kekar dapat mencapai jarak 10 mm.
3) Terlapukkan sedang (moderately weathered), perubahan warna mencapai
bagian yang lebih luas, batuan tidak mudah lepas
4) Sangat terlapukkan (highly weathered), pelapukan mencapai semua
bagian massa batuan dan mudah pecah, tidak mengkilap, semua material
lain kecuali kuarsa sudah berubah warna, batuan mudah pecah
5) Terlapukkan sempurna (completely weathered), massa batuan secara
keseluruhan sudah berubah warna dan mengalami dekomposisi serta
dalam keadaan rapuh, kenampakan luar sudah seperti tanah (soil).
d. Material Pengisi
Wyllie dan Mah (2004) mendefinisikan pengisi sebagai material yang
memisahkan dinding batuan yang berdekatan pada suatu diskontinuitas.
materia pengisi biasanya lebih lemah kekuatannya dari batuan induk. Tipe
pengisi bisa berupa pasir, lanau, lempung, breksi, gauge dan mylonit.
Adapun untuk mineral pengisi seperti kalsit, kuarsa dan pirit memiliki
kekuatan yang tinggi. Sehingga secara mekanika material pengisi akan
mempengaruhi kuat geser diskontinuitas.

Tabel 1.6 Klasifikasi Kondisi Diskontinuitas, Bieniawski (1979)


Pembobotan
Deskripsi Kondisi Bidang Diskontinuitas
RMR
Permukaan sangat kasar, tidak menerus, separasi tidak ada, tidak lapuk 30
Permukaan agak kasar, lebar bukaan diskontinuitas <1 mm, tingkat pelapukan
25
rendah slightly weathered
Permukaan agak kasar, lebar bukaan diskontinuitas <1 mm, sangat lapuk 20
Bidang diskontinuitas menerus, permukaan halus (slickenside structure), lebar
10
bukaan diskontinuitas 1-5 mm, terdapat material pengisi yang lunak
Bidang diskontinuitas menerus, permukaan halus (slickenside structure), lebar
0
bukaan diskontinuitas >5 mm, terdapat material pengisi yang lunak

12
5. Kondisi Air tanah
Dalam pembuatan terowongan, sebaiknya diukur kecepatan aliran air tanah
dalam liter/menit per panjang 10 m penggalian. Tetapi di lapangan dipakai cara yang
relatif mudah yaitu dengan melihat dan meraba permukaan batuan lalu kondisi
airtanahnya dinyatakan dengan kondisi ; kering (dry), lembab (dam), basah (wet),
menetes (dripping) dan mengalir (flowing).
Tabel 1.7 Pembobotan Kondisi Air Tanah (Bieniawski, 1979)
Kondisi Air Tanah Pembobotan RMR
Kering (dry) 15
Lembab (dam) 10
Basah (wet) 7
Menetes (dripping) 4
Mengalir (Flowing) 0

Tabel 1.8 Parameter Klasifikasi dan Pembobotan, Bieniawski (1979)


Parameter Nilai
Untuk nilai yang
Kuat PLI (MPa) > 10 4 - 10 2–4 1-2 kecil di pakai hasil
Tekan UCS
1 Batuan
UCS
Utuh > 250 100 – 200 50 – 100 25 – 50 5-25 1-5 <1
(MPa)
Pembobotan 15 12 7 4 2 1 0
RQD (%) 90 – 100 75 – 90 50 – 75 25 - 50 25
2
Pembobotan 20 17 13 8 3
200mm -
Jarak Diskontinuitas > 2m 0,6m – 2m 60mm– 200mm < 60mm
3 600mm
Pembobotan 20 15 10 8 5
Permukaan
sangat kasar, Agak
Agak kasar, Slikensided/gouge
tidak kasar, Gouge lunak > 5
Kondisi separasi < < 5 mm, atau
menerus, separasi < mm, atau separasi
4 Diskontinuitas 1 mm, separasi 1 – 5
tidak 1 mm, > 5 mm, menerus
sangat lapuk mm, menerus
renggang, agak lapuk
tidak lapuk
Pembobotan 30 25 20 10 0
Tekanan pori
dibagi
0 < 0,1 0,1 – 0,2 0,2 – 0,5 > 0,5
Airtanah

tegangan
5.
utama
Keadaan
Kering Lembab Basah Menetes Mengalir
Umum
Pembobotan 15 10 7 4 0

1.9.3 Slope Mass Rating (SMR)

Romana (1985) memperkenalkan suatu penyesuaian pada konsep Rock Mass


Rating (RMR) khusus untuk lereng yang dikenal dengan Slope Mass Rating (SMR).
Slope Mass Rating (SMR) diperoleh dari nilai RMR yang dikoreksi oleh faktor-faktor
penyesuai tergantung kepada arah relatif bidang diskontinuitas, geometri lereng, dan
metode penggalian. Parameter yang dibutuhkan untuk klasifikasi Slope Mass Rating
(SMR) antara lain arah kemiringan (Dip Direction) dari permukaan lereng (αs), arah

13
kemiringan (Dip Direction) bidang diskontinuitas (αj), sudut kemiringan lereng (βs) dan
sudut kemiringan bidang diskontinuitas (βj). Secara matematis persamaan Slope Mass
Rating (SMR) dapat ditulis sebagai berikut:

SMR = RMRBasic + (F1xF2xF3) + F4

Keterangan:
F1 = Pengaruh orientasi (dip/dip direction) joint terhadap slope
F2 = Sudut kemiringan bidang diskontinuitas
F3 = Pengaruh kemiringan bidang diskontinuitas terhadap kemiringan lereng
F4 = Metode Penggalian yang digunakan dalam pembentukan lereng (tabel 8)

Tabel 1.9 Nilai pembobotan untuk kekar (Romana, 1985)


The Very Very
Case Calculated Favourable Fair Unfavourable
Favourable unfavourable
value
P |𝜶𝒋 − 𝜶𝒔|
T |𝜶𝒋 − 𝜶𝒔 − 𝟏𝟖𝟎| > 300 300 – 210 200 - 110 100 - 50 < 50
W |𝜶𝒊 − 𝜶𝒔|
P/W/T F1 0.15 0.4 0.7 0.85 1.0
P |𝜷𝒋| 0 0 0 0 0 0 0
|𝜷𝒊|
< 20 20 - 30 31 - 35 36 - 45 > 450
W
P/W F2 0.15 0.4 0.7 0.85 1.0
T F2 1.0
P |𝜷𝒋 − 𝜷𝒔|
W |𝜷𝒊 − 𝜷𝒔| > 100 100 - 00 00 00 – (-100) > -100
T |𝜷𝒋 + 𝜷𝒔| < 1100 1100 - 1200 > 1200
P/W/T F3 0 -6 -25 -50 -60

Keterangan:
αj = Joint dip direction βj = Joint dip P = Longsoran Bidang
αs = Slope dip direction βs = Slope dip W = Longsoran Baji
αi = Arah Perpotongan Longsoran Baji βi = Wedge dip T = Longsoran Guling

Tabel 1.10 Nilai pembobotan untuk metode ekskavasi lereng (Romana, 1985)
Smoth Blasting or Defficient
Method Natural Presplitting
Blasting Mechanical Blasting
F4 15 10 8 0 -8

14
BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1 Sejarah Tambang Batu Hijau

PT. Amman Mineral Nusa Tenggara (PT. AMNT) merupakan salah satu
perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan emas dan tembaga sebagai
hasil akuisisi dari PT. Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT). Dimana area penambangan
bijih tembaga dan emas berada di Kecamatan Sekongkan, Kabupaten Sumbawa Barat,
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), antara bujur 116o24’0”T sampai dengan
117o0’0”T.
Tambang batu hijau dimulai pada tahun 1986 saat PT. NNT menandatangani
kontrak karya dengan pemerintah Republik Indonesia untuk melakukan eksplorasi di
dalam wilayah kontrak karya di Provinsi NTB dengan luas wilayah 1.127.134 ha. PT.
NNT menemukan cebakan tembaga porfiri pada tahun 1990 yang kemudian diberi nama
Batu Hijau. Setelah penemuan tersebut, dilakukan pengajian teknis dan lingkungan
selama enam tahun. Hasil kajian terdapat wilayah yang tidak layak tambang sehingga
terjadi pengerucutan wilayah beberapa kali di mana izin usaha yang tidak layak tersebut
dikembalikan ke pemerintah dan luas area penambangan PT. NNT seluas 116.900 ha.
Hasil eksplorasi tersebut disetujui pemerintah Indonesia pada tahun 1996 dan
menjadi dasar dimulainya pembangunan proyek tambang Batu Hijau. Proyek
pembangunan tambang, pabrik dan prasarananya selesai pada 1999 dan mulai
beroperasi secara penuh pada Maret 2000. Adapun sejarah ringkas PT. AMNT adalah
sebagai berikut:
1. Desember 1986 : Kontrak kerja ditandatangani oleh PTNNT.
2. Mei 1990 : Deposit Batu Hijau ditemukan.
3. Oktober 1996 : ANDAL disetujui.
4. Desember 1999 : Konstruksi diselesaikan.
5. Maret 2000 : Produksi dimulai.
6. 2 November 2016 : Perubahan kepemilikan dari PT. NNT ke PT.AMNT.
PT. Amman Mineral Nusa Tenggara merupakan perusahaan yang
mengoperasikan tambang tembaga dan emas Batu Hijau yang beroperasi saat ini di
Kecamatan Maluk dan Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat, Propinsi
Nusa Tenggara Barat. Pemegang saham PT. AMNT adalah PT. Amman Mineral

15
Internasional (82,2%) dan PT. Pukuafu Indah (17,8%). PT. Amman Mineral
Internasional adalah perusahaaan Indonesia yang pemegang sahamnya terdiri dari PT.
AP Investasi (50%) dan PT. Medco Energi Internasional Tbk, (50%). Sebelum
masuknya PT. AMNT, tambang Batu Hijau dioperasikan oleh PT. Newmont Nusa
Tenggara yang dimana PT. AMNT merupakan peralihan saham dari PT. Newmont Nusa
Tenggara.

Kegiatan penambangan emas dan tembaga di lokasi pit Batu Hijau, memulai kegiatan
produksi dan operasi pada tahun 2000, yang telah memproduksi sekitar 3,6 juta ton
tembaga dan 8 juta ounces emas. Pada pelaksanaannya, PT Amman Mineral Nusa
Tenggara menerapkan pengolahan stockpile jangka panjang dan memperhatikan
kelestarian lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan pembuangan waste tambang langsung
ke palung laut dengan menggunakan Deep Sea Tailing Placement.

Gambar 2.1 Batasan Kontrak Karya PT. AMNT


(Sumber : Arsip PT. AMNT, 2016)

16
2.2 Visi dan Misi PT. Amman Mineral Nusa Tenggara

2.2.1 Visi

Suatu perusahaan tentu memiliki tujuan yang ingin dicapai di masa yang akan
datang yang tertuang dalam bentuk visi dan misi. PT. Amman Mineral Nusa Tenggara
memiliki visi, yakni menjadi perusahaan tambang yang diakui dan disegani atas
keunggulan kinerja ekonomi, perlindungan lingkungan, dan tanggung jawab sosial.

2.2.2 Misi

Dalam mewujudkan visi perusahaan maka ada beberapa misi yang harus
dipenuhi oleh PT. Amman Mineral Nusa Tenggara, yaitu mengubah sumber daya
mineral menjadi nilai bersama untuk pemangku kepentingan dan menjadi pemimpin di
industri tambang dengan memberikan peningkatan nilai saham bagi pemegang saham,
terdepan di bidang keselamatan kerja, tanggung jawab sosial, dan perlindungan sosial.

2.3 Persiapan

2.3.1 Data

Data yang diperlukan dalam pelaksanaan kerja praktek ini antara lain :
1. Model RMR
2. Geometri Lereng.
3. Pengukuran Line Mapping.
4. Metode Penggalian.

2.3.2 Peralatan

A. Perangkat Keras (Hardware)


 Kompas Geologi.
 Laptop Toshiba Satelite RAM 2GB.
B. Perangkat Lunak (Software)
 Rocscience Dips v6 untuk analisis data hasil line mapping.
 Microsoft Excel 2013 untuk pengolahan data.
 Microsoft Word 2013 untuk penulisan laporan.

17
2.4 Diagram Alir Pelaksanaan Kerja Praktek

Gambar 2.2 Diagram Alir Pelaksanaan Kerja Praktek

2.5 Proses Pengukuran

Line mapping merupakan metode pengukuran bidang diskontinuitas pada


lereng dengan cara membentangkan meteran sepanjang 50m horizontal searah lereng
tambang. Line mapping dilakukan bertujuan untuk mengetahui sifat fisik batuan
maupun kondisi bidang diskontinuitas (terlampir). Untuk melakukan mapping alat dan
bahan yang dibutuhkan yaitu APD lengkap, kompas geologi, palu geologi, papan
komputer, sarung tangan, alat tulis, pilox, dan form line mapping. Lokasi mapping
ditentukan berdasarkan intensitas aktivitas penambangan. Lokasi yang merupakan
akses primary road sebisa mungkin dihindari karena membahayakan keselamatan
dalam melakukan mapping. Parameter yang diukur dalam line mapping adalah sebagai
berikut:

18
1. Distance
Pada distance data yang diukur adalah pada jarak (meter) ke-berapa
ditemukan bidang diskontinuitas.
2. Type
Pengambilan data untuk type merupakan jenis bidang diskontinuitas yang
ditemukan. Pengisian type diskontinuitas menggunakan simbol J (joint), JS
(joint set), S (shear), SZ (shearedzone), F (fault), VN (Vein), B (bedding), dan
DK (Dike).
3. Dip
Dip merupakan sudut kemiringan suatu bidang/objek yang diamati. Pengukuran
dip menggunakan kompas geologi.
4. Dip Direction
Pengukuran dip direction pada kompas geologi bisa dilakukan secara langsung
maupun dengan menambah 90 dari nilai strike.
5. Length
Length merupakan panjangnya bidang diskontinuitas dalam satuan meter.
Pengukuran line mapping dilakukan dengan langkah sebagai berikut :

Gambar 2.3 Standar line mapping yang digunakan PT. Amman Mineral Nusa Tenggara

2.5.1 Geometri Lereng

Langkah-langkah pengambilan data geometri lereng adalah sebagai berikut:


1. Mempersiapkan peralatan (roll meter, kompas geologi, dan alat tulis) yang akan
digunakan untuk pengukuran.
2. Menentukan data geografis bujur dan lintang serta elevasi menggunakan GPS.
3. Mengukur jarak antara crest dan toe.

19
4. Mengukur besar kemiringan slope, crest dan toe
5. Mengukur jarak horizontal antara toe dan crest.

2.5.2 Data Kekar

Langkah-langkah pengambilan data geometri lereng adalah sebagai berikut:


1. Mempersiapkan (roll meter, kompas geologi, palu geologi dan alat tulis)
peralatan yang akan digunakan.
2. Memasang Roll Meter sepanjang bidang lereng yang akan diukur.
3. Melakukan pengukuran scanline pada lereng batuan.
4. Mencatat hasil pengukuran pada tabel line mapping.

2.6 Proses Pengolahan Data

2.6.1 Tahapan Analisis Kinematik menggunakan Software Rocscience Dips

Analisis kinematik merupakan metode yang digunakan pada tahap awal dalam
melakukan analisis kemantapan lereng. Dengan melakukan analisis kinematik dapat
diketahui jenis dan arah longsoran maupun persentasi terjadinya longsoran. Analisis
kinematik dilakukan menggunakan software dips dengan parameter data dip/dip
direction dari lereng maupun bidang diskontinuitas hasil line mapping.
Tahapan dalam analisis kinematik yaitu sebagai berikut:

a. Input data orientasi bidang diskontinuitas (dip/dip direction) pada software


dips.

Gambar 2.4 Input data joint dip/dip direction pada software dips

20
b. Masukan parameter dari geometri lereng, joint friction angle, dan lateral limit
dalam menentukan critical zone pada lereng. critical zone adalah kondisi
dimana pengaruh orientasi bidang diskontinuitas terhadap lereng sangat tinggi
sehingga dapat menyebabkan terjadinya longsoran/failure.

Gambar 2.5 Input parameter dari slope, joint friction


angle, dan lateral limit

c. Pembacaan dip/dip direction dari banyaknya joint set pada hasil analisis.

Dip/Dip Direction Joint Set

Gambar 2.6 Hasil Analisis Kinematik menggunakan software dips

2.6.2 Tahapan Pengolahan data menggunakan Microsoft Excel

Pengolahan data pada Microsoft Excel dliakukan untuk menghitung nilai Slope
Mass Rating (SMR) dari suatu lereng. Parameter yang dibutuhkan untuk klasifikasi
Slope Mass Rating (SMR) antara lain; Data rock mass rating (RMR), Arah kemiringan

21
(Dip Direction) dari permukaan lereng (αs), arah kemiringan (Dip Direction) bidang
diskontinuitas (αj), dan sudut kemiringan bidang diskontinuitas (βj). Arah umum joint
diperoleh dari hasil plot data line mapping menggunakan software dips.
Tahapan dalam pengolahan data pada Microsoft Excel yaitu sebagai berikut:
a. Menentukan nilai faktor koreksi (F1, F2, F3, dan F4) berdasarkan data sudut
kemiringan (dip) dari permukaan lereng (βs), arah kemiringan (Dip Direction)
dari permukaan lereng (αs), arah kemiringan (Dip Direction) bidang
diskontinuitas (αj), dan sudut kemiringan bidang diskontinuitas (βj).

Gambar 2.7 Kalkulasi nilai faktor koreksi (F1, F2, F3, dan F4)

b. Memberikan pembobotan pada nilai faktor koreksi berdasarkan tabel


Pembobotan F1, F2 dan F3 SMR, Romana (1985).

Gambar 2.8 Pembobotan nilai faktor koreksi

c. Menghitung nilai Slope Mass Rating (SMR) dengan rumus


SMR=RMRbasic+(F1xF2xF3)+F4.

22
Gambar 2.9 Nilai Slope Mass Rating (SMR)
d. Menentukan kondisi massa batuan dan tingkat kestabilan lereng dari nilai Slope
Mass Rating (SMR) yang diperoleh.

Gambar 2.10 Kondisi massa batuan dan tingkat kestabilan lereng


berdasarkan nilai Slope Mass Rating (SMR).

23
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan Kerja Praktek dilakukan di Geotechnical And Hydrological Department


yang merupakan departemen yang bertanggung jawab dalam wall design dan
monitoring dinding lereng tambang di PT. Amman Mineral Nusa Tenggara.

3.1 Aktivitas Kerja Praktek

Aktivitas Kerja Praktek dimulai pada tanggal 21 Mei 2018 dibawah bimbingan
Bapak Adeni Muhadi Saputra selaku Engineer Geotech. Waktu kerja yang diterapkan di
lokasi Kerja Praktek dimulai dari pukul 07.00 WITA sampai dengan pukul 16.00 WITA.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dan lokasi kegiatan dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Aktivitas Kerja Praktek

No Tanggal Lokasi Aktivitas

Training Pengenalan PT. AMNT dan Safety


1. 21 Mei 2018
Departement Induction
Training Pembuatan mine permit dan
2. 22 Mei 2018
Departement pembagian APD
Training Pembagian Batche/ID Card dan
3. 23 Mei 2018
Departement Penentuan Lokasi Kerja Praktek
Office
4. 24-31 Mei 2018 Pengenalan divisi In Pit Monitoring
& Mine Pit
Office
5. 1-6 Juni 2018 Pengenalan divisi Model & Analytical
& Mine Pit
Office
6. 7-12 Juni 2018 Pengenalan divisi Ex Pit Monitoring
& Mine Pit
Office
7. 18-25 Juni 2018 Pengenalan divisi Project & Hydro
& Mine Pit

8. 26 Juni-15 Juli 2018 Office Pembuatan Laporan

Training
9. 16 Juli 2018 Pengumpulan Laporan
Department
Training
10. 20 Juli 2018 Pengembalian APD
Department

24
3.2 Orientasi Pada Departemen Geoteknik & Hidrologi

Dalam melakukan kerja praktek student (peserta KP/TA) diwajibkan mengikuti


Pengenalan/orientasi pada departemen yang ditempati bertujuan untuk mengetahui
tugas-tugas yang dilakukan oleh departemen terserbut. Pada departeman geoteknik
terbagi menjadi 4 (empat) divisi yaitu in pit monitoring, ex pit monitoring, project dan
modelling and analytical. Berikut orientasi yang dilakukan pada departemen
geotechnical and hydrogeological PT. Amman Mineral Nusa Tenggara yaitu sebagai
berikut:
3.2.1 Divisi In Pit Monitoring
Tugas yang dilakukan Divisi in pit monitoring adalah pengawasan kondisi lereng
pada area pit. Hal ini dilakukan selama 24 jam/hari. Alat yang digunakan dalam
melakukan pengawasan yaitu menggunakan radar/MSR dan prisma. Radar dipasang di
beberapa lokasi PT. Amman Mineral sehingga dapat melihat secara keseluruhan
pergerakan tanah pada lereng pit Batu Hijau. Selain radar, monitoring pit dilakukan
menggunakan prisma yang dipasang pada area pit Batu Hijau.

Gambar 3.1 Pengecekkan Radar/MSR

3.2.2 Divisi Ex Pit Monitoring


Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh tim Expit hampir sama seperti yang
dilakukan oleh tim Inpit monitoring. Namun untuk pelaksanaannya dilakukan di luar
lingkungan area pit seperti pada dumping area, stockpile, dan sepanjang PAR (Primary
Access Road). Kegiatan lain yang dilakukan lagi yaitu saling melakukan koordinasi
dengan tim environment mengenai lingkungan di sekitar PAR, dumping area, maupun
stockpile.

25
Gambar 3.2 Monitoring pembersihan tanaman
liar sekitar Bridge

3.2.3 Divisi Project & Hydro


Tugas yang dilakukan divisi project yaitu melakukan kegiatan untuk
meningkatkan kestabilan lereng seperti reinforcement, horizontal drilling, pembuatan
sump, monitoring VWP dan lainnya. Reinforcement yang dilakukan PT. Amman Mineral
salah satunya yaitu cable bolt. Teknis penggunaan cable bolt yaitu memasukan kabel
baja sepanjang 25m pada area rawan longsor sehingga dapat menahan beban material
dan merapatkan kembali rekahan akibat bidang diskontinuitas. Setelah kabel baja
dimasukan dilakukan injeksi semen yang bertujuan untuk mengisi rekahan-rekahan
yang ada, kemudian di press menggunakan baut. Selain cable bolt, project yang
sedang dikerjakan PT. AMNT yaitu Horizontal Drilling dengan cara melakukan
pengeboran horizontal pada lereng tambang. Horizontal Drilling dilakukan untuk
mengurangi tekanan air tanah pada area pit Batu Hijau. Tekanan air tanah yang
berlebihan dapat mengakibatkan terjadinya failure/longsor. Air dari hasil horizontal
drilling dialirkan melalui parit yang selanjutnya dipompa keluar dari area pit.
Divisi Project & Hydro melakukan monitoring data Vibrating Wire Piezometer
(VWP) untuk mengetahui ground water level. Pengaruh air tanah dapat mengganggu
kestabilan lereng tambang, maka dari itu dilakukan pemasangan VWP sehingga bias
mengetahui kondisi air tanah yang ada dibawah permukaan.

Gambar 3.3 VWP (Vibrating Vire Piezometer)

26
3.2.4 Divisi Model & Analytical
Divisi Model and analytical melakukan kegiatan yang berkaitan dengan analisis
kestabilan lereng seperti melakukan pengukuran strukur, analisis kinematik,
limit equilibrium, dan update structure map. Mapping struktur yang dilakukan PT.
Amman Mineral Nusa Tenggara yaitu line mapping dan RMR mapping bertujuan untuk
mengetahui sifat fisik batuan, kondisi air tanah, orientasi joint/bidang diskontinuitas
dan kekuatan massa batuan pada lereng tambang. Dari hasil mapping dilakukan
analisis sehingga diketahui kondisi lereng pada area pit Batu Hijau.
Kegiatan kerja praktek dilakukan berada pada divisi modelling and analytical
mencakup kegiatan Line Mapping dan update structure map. Pengukuran struktur (line
mapping) pada lereng tambang merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui
kondisi massa batuan dan bidang diskontinuitas pada lereng sehingga dapat dilakukan
analisis kestabilan lereng. Sebelum melakukan mapping maupun project lainnya,
student maupun visitor yang berkunjung diwajibkan mengetahui dan mematuhi JHA
(Job Hazard Analytical) yang dibuat PT. AMNT sebagai standar keamanan suatu
pekerjaan.

3.3 Data

Gambar 3.4 Daerah pengukuran data line mapping.

27
Data yang digunakan dalam penghitungan nilai Slope Mass Rating (SMR)
dinding Selatan-Barat phase 7 pit batu hijau diperoleh dari hasil pengukuran struktur
dengan cara line mapping. Data hasil pengukuran line mapping berupa data sudut
kemiringan (dip) lereng (βs), arah kemiringan (Dip Direction) dari permukaan lereng
(αs), arah kemiringan (Dip Direction) bidang diskontinuitas (αj), dan sudut kemiringan
bidang diskontinuitas (βj).
Data-data tersebut digunakan untuk menentukan nilai faktor koreksi (F1, F2,
F3, dan F4) yang akan digunakan untuk menghitung nilai Slope Mass Rating (SMR).
Nilai F1 merupakan selisih sudut antara orientasi bidang diskontinuitas terhadap arah
lereng. Nilai F1 menunjukan batas lateral adanya bidang bebas yang memungkinkan
terjadinya longsor. Untuk pembobotan nilai F1 untuk longsoran bidang dan baji yaitu
selisih sudut diatas 300 (>300) maka F1 diberi nilai (0,15), selisih sudut 210-300 diberi
nilai 0.4, selisih sudut 110-200 diberi nilai (0,7), selisih sudut 50-100 diberi nilai (0,85),
dan selisih sudut dibawah 50 diberi nilai 1.
Nilai F2 merupakan pembobotan untuk Kemiringan bidang diskontinuitas (βj).
Parameter F2 menunjukan kondisi bidang gelincir untuk jatuhnya longsoran.
Pembobotan Nilai F2 untuk longsoran bidang dan baji yaitu kemiringan bidang
diskontinuitas dibawah 200 (<200) diberi nilai (0,15), sudut diskontinuitas 200-300 diberi
nilai (0,4), sudut diskontinuitas 300-350 diberi nilai (0,7), sudut diskontinuitas 350-450
diberi nilai (0,85), dan diatas (>450) diberi nilai 1.
Nilai F3 merupakan hubungan antara kemiringan bidang diskontinuitas
terhadap kemiringan lereng. Longsoran dapat terjadi apabila kemiringan bidang
diskontinuitas lebih kecil dari kemiringan lereng. Nilai F3 untuk longsoran bidang dan
baji yaitu kemiringan bidang diskontinuitas dikurangi kemiringan lereng (βj-βs).
Pembobotan Nilai F3 yaitu hasil dari (βj-βs) diatas 100 (>100) diberi nilai 0, sudut yang
dibentuk 00-100 diberi nilai -6, sudut yang dibentuk 00 diberi nilai -25, sudut yang
dibentuk 00-(-100) diberi nilai -50 dan sudut yang dibentuk diatas -100 > (-100) diberi
nilai -60. Nilai F4 merupakan metode penggalian lereng yang digunakan.
Berikut adalah titik pengambilan data line mapping:
Tabel 3.2 Titik pengukuran data line mapping
Domain 5 Domain 9
Sektor 1 Sektor 2 Sektor 3 Sektor 4
DH04-DH05 EA03-EA04 S11-S12 S13-S14
EA01-EA02 S01-S02 S12-S13 S14-S15
EA02-EA03 S02-S03 S23-S24 S25-S26
RF03-RF04 S03-S04 S24-S25 S26-S27

28
RG08-RG09 S08-S09 HD10-HD11 S27-S28
S18-S19 S09-S10 HD11-HD12 S28-S29
S19-S20 S10-S11 W01-W02 S29-S30
HD06-HD07 S20-S21 S30-S31
HD07-HD08 S21-S22 W02-W03
ES01-ES02 S22-S23 W03-W04
HD08-HD09 W04-W05
HD09-HD10 W05-W06
WR01-WR02
WR02-WR03
WR03-WR04
WR04-WR05
CBL01-CBL02
CBL02-CBL03
CB01-CB02
CB02-CB03
NW01-NW02

3.4 Nilai Slope Mass Rating (SMR)

Data-data yang telah diolah pada software Rocscience Dips kemudian


digunakan untuk menghitung nilai faktor koreksi (F1, F2, F3, dan F4). Nilai F1, F2, dan
F3 diambil dari nilai dip/dip direction joint yang terdapat pada tiap sektor pengambilan
data dan nilai F4 merupakan metode penggalian yang diterapkan pada lokasi
pengambilan data. Hasilnya adalah sebagai berikut :
Tabel 3.3 Nilai faktor koreksi (F1, F2, F3, dan F4) untuk longsoran bidang

DOMAIN 5 & 9 αJ βJ αS βS αi βi F1 F2 F3 F4

Joint set 1 261 70 329 45 162 68 -68 70 25 Presplit


Sektor 1 Joint set 2 55 52 329 45 181 52 -274 52 7 Presplit
Joint set 3 327 43 329 45 151 47 -2 43 -2 Presplit
Joint set 1 275 74 14 45 171 50 261 74 29 Presplit
Joint set 2 74 81 14 45 164 87 60 81 36 Presplit
Sektor 2
Joint set 3 70 33 14 45 181 76 56 33 -12 Presplit
Joint set 4 24 36 14 45 174 57 10 36 -9 Presplit
Sektor 3 Joint set 1 50 33 31 47 211 58 19 33 -14 Presplit
Joint set 1 70 34 63 47 246 56 7 34 -13 Presplit
Sektor 4
Joint set 2 143 71 63 47 246 56 80 71 24 Presplit

29
Tabel 3.4 Nilai faktor koreksi (F1, F2, F3, dan F4) untuk longsoran baji

DOMAIN 5 & 9 αJ βJ αS βS αi βi F1 F2 F3 F4

Joint set 1 261 70 329 45 162 68 -167 68 23 Presplit


Sektor 1 Joint set 2 55 52 329 45 181 52 -148 52 7 Presplit
Joint set 3 327 43 329 45 151 47 -178 47 2 Presplit
Joint set 1 275 74 14 45 171 50 157 50 5 Presplit
Joint set 2 74 81 14 45 164 87 150 87 42 Presplit
Sektor 2
Joint set 3 70 33 14 45 181 76 167 76 31 Presplit
Joint set 4 24 36 14 45 174 57 160 57 12 Presplit
Sektor 3 Joint set 1 50 33 31 47 211 58 180 58 11 Presplit
Joint set 1 70 34 63 47 246 56 183 56 9 Presplit
Sektor 4
Joint set 2 143 71 63 47 246 56 183 56 9 Presplit

Hasil penghitungan nilai faktor koreksi kemudian diberikan pembobotan


berdasarkan pada tabel pembobotan nilai F1, F2, F3, dan F4. Kemudian dari hasil
pembobotan tersebut dilakukan penghitungan nilai SMR. Hasil pembobotan nilai faktor
koreksi adalah sebagai berikut:

Tabel 3.5 Pembobotan nilai faktor koreksi


F1 F2 F3 F4
DOMAIN Joint Set
P W P W P W P W
JS1 1 1 1 1 0 0 10 10
SEKTOR 1 JS2 1 1 1 1 -6 -6 10 10
JS3 1 1 0.85 1 -50 -6 10 10
DOMAIN 5 JS1 0.15 0 1 1 0 -6 10 10
JS2 0.15 0 1 1 0 0 10 10
SEKTOR 2
JS3 0.15 0 0.7 1 -60 0 10 10
JS4 0.15 0 0.85 1 -50 0 10 10
SEKTOR 3 JS1 0.15 0 0.7 1 -60 0 10 10
DOMAIN 9 JS2 0.15 0 0.7 1 -60 -6 10 10
SEKTOR 4
JS3 0.15 0 1 1 0 -6 10 10

Nilai pembobotan faktor koreksi kemudian dikalkulasikan dengan nilai RMR


yang ada pada lokasi pengambilan data. Berdasarkan Peta pemodelan RMR, untuk
Domain 5 sektor 1 RMR 40 dan 50. Domain 5 sektor 2, RMR 20, 30, dan 40.
Sedangkan untuk Domain 9 sektor 3 dan sektor 4, RMR 40 dan 50. Sehingga nilai SMR
dapat ditentukan dengan persamaan SMR=RMR+(F1xF2xF3)+F4. Hasil perhitungannya
adalah sebagai berikut:

30
Tabel 3.6 Penghitungan Nilai SMR
SMR
RMR 40 RMR 50
P W P W
SEKTOR 1 50 50 60 60
44 44 54 54
7.5 44 17.5 54
RMR 20 RMR 30 RMR 40
P W P W P W
30 30 40 40 50 50
SEKTOR 2
30 30 40 40 50 50
23.7 30 33.7 40 43.7 50
23.625 30 33.625 40 43.625 50
RMR 40 RMR 50
SEKTOR 3 P W P W
43.7 50 53.7 60
RMR 40 RMR 50
P W P W
SEKTOR 4
43.7 50 53.7 60
50 50 60 60

Berdasarkan tabel 3.4, nilai SMR tiap sektor berkisar antara 7.5-60. Sektor 1
dengan RMR 40 untuk longsoran bidang diperoleh nilai SMR 7.5-50, dan untuk
longsoran baji diperoleh nilai SMR 44-50. Sedangkan, dengan RMR 50 untuk longsoran
bidang diperoleh nilai SMR 17.5-60, dan untuk longsoran baji diperoleh nilai SMR 54-
60. Pada sektor 2 dengan RMR 20 untuk longsoran bidang diperoleh nilai SMR 23.625-
30, dan untuk longsoran baji diperoleh nilai SMR 30. Pada sektor 2 dengan RMR 30
untuk longsoran bidang diperoleh nilai SMR 33.625-40, dan untuk longsoran baji
diperoleh nilai SMR 40. Sedangkan, dengan RMR 40 untuk longsoran bidang diperoleh
nilai SMR 43.625-50, dan untuk longsoran baji diperoleh nilai SMR 50.
Sektor 3 dan sektor 4 memiliki massa batuan dengan RMR 40 dan 50. Kedua
sektor memiliki nilai SMR yang sama. Pada RMR 40 untuk longsoran bidang diperoleh
nilai SMR 43.7-50, dan untuk longsoran baji diperoleh nilai SMR 50. Sedangkan dengan
RMR 50 untuk longsoran bidang diperoleh nilai SMR 53.7-60, dan untuk longsoran baji
diperoleh nilai SMR 60.
Dari hasil penghitungan nilai SMR yang sudah diperoleh pada sektor 1 – sektor
4, kemudian nilai SMR dikelompokkan menurut kelasnya sehingga dapat diketahui
kondisi massa batuan dan tingkat kestabilannya. Berikut adalah pembagian
kelas/klasifikasinya :

31
Tabel 3.7 Deskripsi nilai SMR
Kondisi Massa Tingkat
Sektor KASUS RMR SMR Kelas
Batuan Kestabilan
1 P 40 7.5 Va Sangat Buruk Sangat Tidak Stabil
1 P 50 17.5 Va Sangat Buruk Sangat Tidak Stabil
1 W 40 44 - 50 IIIb Normal Kritis
1 W 50 54 - 60 IIIa Normal Kritis
2 P 20 23.625 IVb Buruk Tidak Stabil
2 P 30 33.625 IVa Buruk Tidak Stabil
2 P 40 43.625 IIIb Normal Kritis
2 W 20 30 IVb Buruk Tidak Stabil
2 W 30 40 IVa Buruk Tidak Stabil
2 W 40 50 IIIb Normal Kritis
3 P 40 43.7 IIIb Normal Kritis
3 P 50 53.7 IIIa Normal Kritis

3 W 40 50 IIIb Normal Kritis


3 W 50 60 IIIa Normal Kritis
4 P 40 43.7 IIIb Normal Kritis
4 P 50 53.7 IIIa Normal Kritis
4 W 40 50 IIIb Normal Kritis
4 W 50 60 IIIa Normal Kritis

Berdasarkan pada tabel 3.5, nilai SMR yang diperoleh telah diklasifikasikan
untuk penentuan tingkat kestabilan dan kondisi massa batuan pada masing-masing
sektor. Sektor 1 dengan nilai SMR berkisar antara 7.5-60 memiliki kondisi massa
batuan sangat buruk – normal dan memiliki tingkat kestabilan, sangat tidak stabil-
kritis. Pada sektor 2 dengan nilai SMR berkisar antara 23.625-50 memiliki kondisi
massa batuan yang buruk – normal dan memiliki tingakt kestabilan, tidak stabil – kritis.
Sedangkan pada sektor 3 dan sektor 4 dengan nilai SMR berkisar antara 43.7-60
memiliki kondisi massa batuan yang normal dan memiliki tingkat kestabilan, kritis.

32
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari hasil pengamatan “Pengukuran Struktur Dengan Metode Line Mapping


Untuk Penghitungan Nilai Slope Mass Rating (SMR) (Studi Kasus : Domain 5 dan
Domain 9 Phase 7 Dinding Selatan-Barat Area Pit Batu Hijau)”, dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil penghitungan terhadap nilai RMR dan empat faktor koreksi
yang diperoleh, nilai SMR pada daerah penelitian.
Domain 5 sektor 1 RMR 40-50 IRA 45°, diperoleh nilai SMR 7.5 – 60
Domain 5 sektor 2 RMR 20-40 IRA 45°, diperoleh nilai SMR 23.625 – 50
Domain 9 sektor 3 RMR 40-50 IRA 47°, diperoleh nilai SMR 43.7 – 60
Domain 9 sektor 4 RMR 40-50 IRA 47°, diperoleh nilai SMR 43.5 – 60
2. Nilai SMR daerah peneltian umumnya berada pada kelas V-III (very bad rock –
normal) yaitu range antara 7.5 – 50, namun ada beberapa yang berada pada
range 40-70 (normal – good) yaitu pada domain 9 sector 3 dan sector 4,
menandakan kondisi lereng pada daerah penelitian umumnya berada pada
tingkat very unstable - Partially stable.
3. Klasifikasi nilai SMR menunjukkan pada daerah penelitian berada pada kelas V-
III, sehingga jenis perkuatan yang sesuai diterapkan adalah Systematic Bolting
dan Spot Bolting.
4. Desain perkuatan lereng menggunakan software Rocscience Slide dengan
menggunakan jenis perkuatan End Anchored.

4.2 Saran

Berdasarkan aktivitas kerja praktek yang dilakukan, saran yang dapat diberikan
adalah periu dilakukan penanganan/perkuatan terhadap lereng tambang yang memiliki
tingkat kestabilan yang rendah. Selain itu, jenis perkuatan yang digunakan harus
disesuaikan dengan kondisi massa batuan dan kondisi bidang diskontinuitas yang ada
pada lereng tambang.

33

Anda mungkin juga menyukai