PENDAHULUAN
Pada sistem penambangan surface mining kondisi lereng yang stabil akan
menjamin kemenerusan kegiatan penambangan. Adanya kegiatan penggalian pada
suatu lereng dapat menyebabkan perubahan gaya-gaya pada lereng yang
mengakibatkan terganggunya kestabilan sehingga dapat terjadi longsor. Kestabilan
lereng pada batuan lebih ditentukan oleh adanya bidang-bidang lemah yang disebut
dengan bidang diskontinuitas, geometri lereng dan sifat fisik maupun mekanis batuan.
Beberapa metode yang digunakan untuk analisis kestabilan lereng diantaranya dengan
menggunakan klasifikasi Slope Mass Rating (SMR) dan analisis kinematik.
Klasifikasi Slope Mass Rating (SMR) merupakan modifikasi dari klasifikasi Rock
Mass Rating (RMR) bieniawski 1979, yang penerapannya dikhususkan pada lereng.
Pada klasifikasi Slope Mass Rating (SMR) Romana 1985, dapat diketahui kondisi massa
batuan, tingkat kestabilan lereng, kemungkinan terjadi longsoran, dan rekomendasi
metode penanganan pada lereng. Selain klasifikasi SMR salah satu analisis kestabilan
lereng yang menekan pada pengaruh orientasi bidang diskontinuitas yaitu analisis
kinematik. Analisis kinematik bertujuan untuk mengetahui jenis, arah longsoran.
PT. Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) merupakan salah satu perusahaan
tambang logam terbesar di Indonesia dengan menggunakan metode penambangan
open pit mining. Beberapa kasus longsoran yang terjadi pada PT. Amman Mineral Nusa
Tenggara lebih dikontrol oleh pengaruh orientasi bidang diskontinuitas. Berdasarkan
hal tersebut, maka dilakukan penelitian analisis tingkat kestabilan lereng menggunakan
metode Slope Mass Rating (SMR) dan kinematik, karena kedua metode tersebut lebih
menekan pada pengaruh orientasi struktur terhadap tingkat kestabilan lereng.
Sehingga dapat dilakukan rekomendasi penanganan lereng di PT. Amman Mineral Nusa
Tenggara.
1
2. Teknis pengambilan data line mapping yang digunakan PT. Amman Mineral
Nusa Tenggara.
3. Penghitungan nilai Slope Mass Rating (SMR) berdasarkan data line mapping dan
nilai RMR di PT. Amman Mineral Nusa Tenggara.
Kerja Praktek akhirnya diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, yaitu:
1. Perusahaan dapat menjadikan nilai Slope Mass Rating (SMR) sebagai acuan
untuk mengetahui tingkat kestabilan lereng tambang.
2. Bidang akademik akan mendapatkan pustaka megenai kestabilan lereng
khususnya dengan menggunakan metode Slope Mass Rating (SMR).
2
1.6 Waktu dan Lokasi Kerja Praktek
Kerja praktek dilaksanakan selama dua bulan dimulai tanggal 21 Mei hingga 21
Juli 2018 pada PT. Amman Mineral Nusa Tenggara di Kecamatan Jereweh, Maluk dan
Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
3
1. Kota Makassar ke Kota Mataram
Perjalanan dari Kota Makassar yang berada di Pulau Sulawesi menuju Kota
Mataram di Pulau Lombok menggunakan jalur udara ± 45 menit.
2. Pulau Lombok ke Pulau Sumbawa
Perjalanan dari Pulau Lombok (Pelabuhan Kayangan) menuju Pulau Sumbawa
(Pelabuhan Benete) ditempuh dengan menggunakan jalur laut selama ± 120
menit.
3. Pelabuhan Benete ke PT. Amman Mineral Nusa Tenggara.
Perjalanan dari Pelabuhan Benete menuju lokasi PT. Amman Mineral Nusa
Tenggara ditempuh dengan menggunakan jalur darat selama ± 60 menit.
Kekuatan massa batuan (RMR) Pit Batu Hijau PT. Amman Mineral Nusa
Tenggara bervariasi dengan rating antara 20-70, Kondisi massa batuan berada pada
kelas bad - good. Dari kenampakan bird eye RMR Pit Batu Hijau dominan berada pada
nilai 40-60 sehingga dapat disimpulkan kondisi massa batuan Pit Batu Hijau umumnya
pada kelas normal (gambar 2.18).
4
Gambar 1.2 Blok model RMR Pit Batu Hijau
Sumber: (Department Geotechnical & Hydrogeological PT. AMNT)
Tabel 1.1 Deskripsi Kelas Massa Batuan, (Bieniawski 1979)
Rating (RMR) 100 – 81 80 – 61 60 – 41 40 - 21 < 20
Class I II III IV V
Description Very good Good Normal Bad Very bad
Analisis kinematik merupakan metode yang digunakan pada tahap awal dalam
melakukan analisis kemantapan lereng sebelum melangkah ketahap perhitungan faktor
keamanan. Dengan melakukan analisis kinematik, dapat diketahui jumlah bidang, jenis
dan arah longsoran serta probability of failure dari longsoran tersebut. Metode analisis
stereografis (stereonet) hanya dipakai untuk batuan yang mempunyai bidang lemah
atau bidang diskontinuitas seperti perlapisan, kekar, sesar, dan sebagainya.
Berdasarkan proses dan jenis longsornya, longsoran batuan dapat dibedakan
menjadi empat macam (E Hoek and J Bray, 1981) yaitu:
1. Longsoran Bidang (Plane Failure)
Longsoran bidang merupakan suatu longsoran batuan yang terjadi sepanjang
bidang luncur yang dianggap rata. Bidang luncur tersebut dapat berupa
sesar/patahan, rekahan (joint) maupun bidang perlapisan batuan. Longsoran
bidang dapat terjadi apabila orientasi bidang diskontinuitas searah lereng atau
5
perbadaan sudut antara arah lereng dengan arah bidang lemah maksimal 300
dengan kemiringan bidang gelincir harus lebih besar dari sudut geser dalam
batuanya.
6
Gambar 1.5 Longsoran Busur (Hoek and Bray, 1981)
4. Longsoran Guling
Longsoran guling akan terjadi apabila orientasi bidang lemah yang dominan
berlawanan terhadap kemiringan lereng. Keadaan tersebut dapat digambarkan
dengan balok-balok yang diletakkan diatas sebuah bidang miring.
7
1. Kuat Tekan Uniaksial Batuan (Strength of intact rock material)
Kuat tekan uniaksial batuan dapat diperoleh dari uji laboratorium yakni dengan
pengujian Uniaksial Compressive strength (UCS). Pada pengujian ini gaya (kN),
perpindahan (mm) aksial dan lateral direkam hingga batuan pecah. Dengan perolehan
data sifat mekanik batuan seperti kuat tekan batuan (c), modulus elastistas (E) dan
Poisson Ratio (). Jika data kuat tekan hasil uji UCS tidak diperoleh, maka dapat
menggunakan kuat tekan batuan dengan uji “Point Load Strenght Index”, dan jika
kedua pengujian tersebut tidak ada maka dapat dilakukan pendekatan “Standard Index
Manual” sebagai dasar uji di lapangan (Tabel 1).
Tabel 1.2 Manual Indeks Uniaxial Compressive Strenght (UCS)
UCS Index Point Load
Kode Diskripsi Uji Lapangan
(MPa) (MPa)
Sangat
0 Bisa ditekan dengan paku 0,25 – 1,0 -
lemah
Hancur bila dipukul dengan
1 Lemah Palu/dapat digores dengan 5 – 25 -
Pisau
Tidak dapat digores dengan
2 Sedang 25 – 50 <1
Pisau
Dapat hancur dengan
3 Kuat 50 – 100 2–4
Memukul lebih dari satu kali
Dapat hancur dengan
4 Sangat kuat 100 – 250 4 – 10
Memukul berkali-kali
Sangat kuat Sulit pecah dipukul dengan
5 >250 >10
Sekali Palu
Deere (1970) membuat klasifikasi teknis batuan utuh untuk beberapa macam
batuan dalam menilai kuat tekan batuan, seperti yang terlihat pada (Tabel 2).
Tabel 1.3 Klasifikasi Teknis Batuan Utuh, Deere (1968).
Kekuatan Pemeraian UCS (MPa) Batuan
Sangat Lemah 1 - 25 Talk
Lemah 25 - 50 Batubara, Batulanau, Sekis
Sedang 50 - 100 Batupasir, Sabak, Serpih
Kuat 100 - 200 Marmer, Granit, Genis
Sangat kuat >200 Kuarsa, Dolerit, Gabro, Basal
Tabel 1.4 Hubungan indeks RQD dengan kualitas batuan (Bieniawski, 1979)
RQD (%) Kualitas Batuan Pembobotan RMR
< 25 Sangat jelek (very poor) 3
8
25 – 50 Jelek (poor) 8
51 – 75 Sedang (fair) 13
76 – 90 Baik (good) 17
91 – 100 Sangat baik (excellent) 20
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑆𝑐𝑎𝑛𝑙𝑖𝑛𝑒
S=
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐷𝑖𝑠𝑘𝑜𝑛𝑡𝑖𝑛𝑢𝑖𝑡𝑎𝑠
Dimana:
S = Jarak antar diskontinuitas
Sapp = Spasi semu diskontinuitas
9
a. Kekasaran (Roughness)
Kekasaran merupakan komponen penting dalam kuat geser terutama untuk
kekar yang mengalami pergeseran atau yang terisi oleh material lain.
Kekasaran yang saling mengunci dan menempel akan mempengaruhi kuat
geser. Di lapangan penentuan kekasaran dapat dilakukan dengan meraba
permukaan kekar. Panduan untuk menentukan profil kekasaran dan
diskripsinya diberikan oleh ISRM (1981). Panduan ini untuk panjang profil
dalam 1-10m dengan skala vertikal dan horizontal (Gambar 2) sebagai
berikut:
1) Sangat kasar (very rough surfaces); terdapat banyak gelombang yang
sangat berdekatan pada permukaan kekar.
2) Kasar (rough surfaces); terdapat beberapa gelombang, kekasaran jelas
terlihat dan permukaan kekar terasa sangat abrasif.
3) Sedikit kasar (slightly rough surface); permukaan kekar dapat dibedakan
dan dirasakan antara yang relatif kasar dengan yang relatif halus.
4) Halus (smooth surfaces); permukaan kekar terasa halus ketika disentuh.
5) Polesan (slickensided surfaces); terlihat seperti dipoles (digosok).
10
b. Rengangan (Separation)
Wyllie dan Mah (2004) menjelaskan besarnya rongga diskontinuitas
diperoleh dari pengukuran jarak tegak lurus antara dinding batuan
berdekatan dari bidang diskontinuitas yang di dalamnya terisi udara atau air.
Rongga pada diskontinuitas akan mempengaruhi nilai kuat massa batuan
dan besarnya hidraulic conductivity air tanah, sehingga berguna untuk
memprediksi sifat massa batuan.
Tertutup Separasi
Menurut Wyllie dan Mah (2004) rongga dengan bukaan (> 1 m) sebagai
kategori yang besar dan jika (< 0,1 mm) dikategorikan sangat rapat. Secara
lengkap pembangian kategori rongga dilakukan oleh Barton 1973 (tabel 4).
Table 1.5 Deskripsi Keadaan Rongga pada Permukaan Diskontinuitas (Barton, 1973)
Deskripsi Lebar Rongga
Sangat Rapat < 0,1 mm
Tertutup Rapat 0,1 – 0,25 mm
Sedikit Terbuka 0,25 – 0,5 mm
Terbuka 0,5 – 2,5 mm
Celah (Gap) Lebar Menengah 2,5 – 10 mm
Lebar > 10 mm
Sangat Lebar 10 – 100 mm
Terbuka Lebar Sekali 100 – 1000 mm
Besar >1m
11
perubahan lingkungan, seperti kelembaban, pembekuan dan pemanasan.
Sedangkan dekomposisi menunjukkan perubahan batuan oleh kimia seperti
proses oksidasi pada batuan mengandung besi, hidrasi seperti perubahan
feldspar menjadi kaolinit, dan karbonisasi seperti pelarutan batugamping.
Tingkat pelapukan batuan samping dapat ditentukan sebagai berikut.
1) Tidak lapuk (unweathered/fresh), tidak ada tanda-tanda pelapukan,
batuannya segar dan kristalnya tampak jelas.
2) Sedikit lapuk (slightly weathered), pelapukan terdapat pada kekar-kekar
terbuka, tetapi pada batuan utuh pelapukan terjadi hanya sedikit saja,
dan perubahan warna pada kekar dapat mencapai jarak 10 mm.
3) Terlapukkan sedang (moderately weathered), perubahan warna mencapai
bagian yang lebih luas, batuan tidak mudah lepas
4) Sangat terlapukkan (highly weathered), pelapukan mencapai semua
bagian massa batuan dan mudah pecah, tidak mengkilap, semua material
lain kecuali kuarsa sudah berubah warna, batuan mudah pecah
5) Terlapukkan sempurna (completely weathered), massa batuan secara
keseluruhan sudah berubah warna dan mengalami dekomposisi serta
dalam keadaan rapuh, kenampakan luar sudah seperti tanah (soil).
d. Material Pengisi
Wyllie dan Mah (2004) mendefinisikan pengisi sebagai material yang
memisahkan dinding batuan yang berdekatan pada suatu diskontinuitas.
materia pengisi biasanya lebih lemah kekuatannya dari batuan induk. Tipe
pengisi bisa berupa pasir, lanau, lempung, breksi, gauge dan mylonit.
Adapun untuk mineral pengisi seperti kalsit, kuarsa dan pirit memiliki
kekuatan yang tinggi. Sehingga secara mekanika material pengisi akan
mempengaruhi kuat geser diskontinuitas.
12
5. Kondisi Air tanah
Dalam pembuatan terowongan, sebaiknya diukur kecepatan aliran air tanah
dalam liter/menit per panjang 10 m penggalian. Tetapi di lapangan dipakai cara yang
relatif mudah yaitu dengan melihat dan meraba permukaan batuan lalu kondisi
airtanahnya dinyatakan dengan kondisi ; kering (dry), lembab (dam), basah (wet),
menetes (dripping) dan mengalir (flowing).
Tabel 1.7 Pembobotan Kondisi Air Tanah (Bieniawski, 1979)
Kondisi Air Tanah Pembobotan RMR
Kering (dry) 15
Lembab (dam) 10
Basah (wet) 7
Menetes (dripping) 4
Mengalir (Flowing) 0
tegangan
5.
utama
Keadaan
Kering Lembab Basah Menetes Mengalir
Umum
Pembobotan 15 10 7 4 0
13
kemiringan (Dip Direction) bidang diskontinuitas (αj), sudut kemiringan lereng (βs) dan
sudut kemiringan bidang diskontinuitas (βj). Secara matematis persamaan Slope Mass
Rating (SMR) dapat ditulis sebagai berikut:
Keterangan:
F1 = Pengaruh orientasi (dip/dip direction) joint terhadap slope
F2 = Sudut kemiringan bidang diskontinuitas
F3 = Pengaruh kemiringan bidang diskontinuitas terhadap kemiringan lereng
F4 = Metode Penggalian yang digunakan dalam pembentukan lereng (tabel 8)
Keterangan:
αj = Joint dip direction βj = Joint dip P = Longsoran Bidang
αs = Slope dip direction βs = Slope dip W = Longsoran Baji
αi = Arah Perpotongan Longsoran Baji βi = Wedge dip T = Longsoran Guling
Tabel 1.10 Nilai pembobotan untuk metode ekskavasi lereng (Romana, 1985)
Smoth Blasting or Defficient
Method Natural Presplitting
Blasting Mechanical Blasting
F4 15 10 8 0 -8
14
BAB II
TINJAUAN UMUM
PT. Amman Mineral Nusa Tenggara (PT. AMNT) merupakan salah satu
perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan emas dan tembaga sebagai
hasil akuisisi dari PT. Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT). Dimana area penambangan
bijih tembaga dan emas berada di Kecamatan Sekongkan, Kabupaten Sumbawa Barat,
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), antara bujur 116o24’0”T sampai dengan
117o0’0”T.
Tambang batu hijau dimulai pada tahun 1986 saat PT. NNT menandatangani
kontrak karya dengan pemerintah Republik Indonesia untuk melakukan eksplorasi di
dalam wilayah kontrak karya di Provinsi NTB dengan luas wilayah 1.127.134 ha. PT.
NNT menemukan cebakan tembaga porfiri pada tahun 1990 yang kemudian diberi nama
Batu Hijau. Setelah penemuan tersebut, dilakukan pengajian teknis dan lingkungan
selama enam tahun. Hasil kajian terdapat wilayah yang tidak layak tambang sehingga
terjadi pengerucutan wilayah beberapa kali di mana izin usaha yang tidak layak tersebut
dikembalikan ke pemerintah dan luas area penambangan PT. NNT seluas 116.900 ha.
Hasil eksplorasi tersebut disetujui pemerintah Indonesia pada tahun 1996 dan
menjadi dasar dimulainya pembangunan proyek tambang Batu Hijau. Proyek
pembangunan tambang, pabrik dan prasarananya selesai pada 1999 dan mulai
beroperasi secara penuh pada Maret 2000. Adapun sejarah ringkas PT. AMNT adalah
sebagai berikut:
1. Desember 1986 : Kontrak kerja ditandatangani oleh PTNNT.
2. Mei 1990 : Deposit Batu Hijau ditemukan.
3. Oktober 1996 : ANDAL disetujui.
4. Desember 1999 : Konstruksi diselesaikan.
5. Maret 2000 : Produksi dimulai.
6. 2 November 2016 : Perubahan kepemilikan dari PT. NNT ke PT.AMNT.
PT. Amman Mineral Nusa Tenggara merupakan perusahaan yang
mengoperasikan tambang tembaga dan emas Batu Hijau yang beroperasi saat ini di
Kecamatan Maluk dan Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat, Propinsi
Nusa Tenggara Barat. Pemegang saham PT. AMNT adalah PT. Amman Mineral
15
Internasional (82,2%) dan PT. Pukuafu Indah (17,8%). PT. Amman Mineral
Internasional adalah perusahaaan Indonesia yang pemegang sahamnya terdiri dari PT.
AP Investasi (50%) dan PT. Medco Energi Internasional Tbk, (50%). Sebelum
masuknya PT. AMNT, tambang Batu Hijau dioperasikan oleh PT. Newmont Nusa
Tenggara yang dimana PT. AMNT merupakan peralihan saham dari PT. Newmont Nusa
Tenggara.
Kegiatan penambangan emas dan tembaga di lokasi pit Batu Hijau, memulai kegiatan
produksi dan operasi pada tahun 2000, yang telah memproduksi sekitar 3,6 juta ton
tembaga dan 8 juta ounces emas. Pada pelaksanaannya, PT Amman Mineral Nusa
Tenggara menerapkan pengolahan stockpile jangka panjang dan memperhatikan
kelestarian lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan pembuangan waste tambang langsung
ke palung laut dengan menggunakan Deep Sea Tailing Placement.
16
2.2 Visi dan Misi PT. Amman Mineral Nusa Tenggara
2.2.1 Visi
Suatu perusahaan tentu memiliki tujuan yang ingin dicapai di masa yang akan
datang yang tertuang dalam bentuk visi dan misi. PT. Amman Mineral Nusa Tenggara
memiliki visi, yakni menjadi perusahaan tambang yang diakui dan disegani atas
keunggulan kinerja ekonomi, perlindungan lingkungan, dan tanggung jawab sosial.
2.2.2 Misi
Dalam mewujudkan visi perusahaan maka ada beberapa misi yang harus
dipenuhi oleh PT. Amman Mineral Nusa Tenggara, yaitu mengubah sumber daya
mineral menjadi nilai bersama untuk pemangku kepentingan dan menjadi pemimpin di
industri tambang dengan memberikan peningkatan nilai saham bagi pemegang saham,
terdepan di bidang keselamatan kerja, tanggung jawab sosial, dan perlindungan sosial.
2.3 Persiapan
2.3.1 Data
Data yang diperlukan dalam pelaksanaan kerja praktek ini antara lain :
1. Model RMR
2. Geometri Lereng.
3. Pengukuran Line Mapping.
4. Metode Penggalian.
2.3.2 Peralatan
17
2.4 Diagram Alir Pelaksanaan Kerja Praktek
18
1. Distance
Pada distance data yang diukur adalah pada jarak (meter) ke-berapa
ditemukan bidang diskontinuitas.
2. Type
Pengambilan data untuk type merupakan jenis bidang diskontinuitas yang
ditemukan. Pengisian type diskontinuitas menggunakan simbol J (joint), JS
(joint set), S (shear), SZ (shearedzone), F (fault), VN (Vein), B (bedding), dan
DK (Dike).
3. Dip
Dip merupakan sudut kemiringan suatu bidang/objek yang diamati. Pengukuran
dip menggunakan kompas geologi.
4. Dip Direction
Pengukuran dip direction pada kompas geologi bisa dilakukan secara langsung
maupun dengan menambah 90 dari nilai strike.
5. Length
Length merupakan panjangnya bidang diskontinuitas dalam satuan meter.
Pengukuran line mapping dilakukan dengan langkah sebagai berikut :
Gambar 2.3 Standar line mapping yang digunakan PT. Amman Mineral Nusa Tenggara
19
4. Mengukur besar kemiringan slope, crest dan toe
5. Mengukur jarak horizontal antara toe dan crest.
Analisis kinematik merupakan metode yang digunakan pada tahap awal dalam
melakukan analisis kemantapan lereng. Dengan melakukan analisis kinematik dapat
diketahui jenis dan arah longsoran maupun persentasi terjadinya longsoran. Analisis
kinematik dilakukan menggunakan software dips dengan parameter data dip/dip
direction dari lereng maupun bidang diskontinuitas hasil line mapping.
Tahapan dalam analisis kinematik yaitu sebagai berikut:
Gambar 2.4 Input data joint dip/dip direction pada software dips
20
b. Masukan parameter dari geometri lereng, joint friction angle, dan lateral limit
dalam menentukan critical zone pada lereng. critical zone adalah kondisi
dimana pengaruh orientasi bidang diskontinuitas terhadap lereng sangat tinggi
sehingga dapat menyebabkan terjadinya longsoran/failure.
c. Pembacaan dip/dip direction dari banyaknya joint set pada hasil analisis.
Pengolahan data pada Microsoft Excel dliakukan untuk menghitung nilai Slope
Mass Rating (SMR) dari suatu lereng. Parameter yang dibutuhkan untuk klasifikasi
Slope Mass Rating (SMR) antara lain; Data rock mass rating (RMR), Arah kemiringan
21
(Dip Direction) dari permukaan lereng (αs), arah kemiringan (Dip Direction) bidang
diskontinuitas (αj), dan sudut kemiringan bidang diskontinuitas (βj). Arah umum joint
diperoleh dari hasil plot data line mapping menggunakan software dips.
Tahapan dalam pengolahan data pada Microsoft Excel yaitu sebagai berikut:
a. Menentukan nilai faktor koreksi (F1, F2, F3, dan F4) berdasarkan data sudut
kemiringan (dip) dari permukaan lereng (βs), arah kemiringan (Dip Direction)
dari permukaan lereng (αs), arah kemiringan (Dip Direction) bidang
diskontinuitas (αj), dan sudut kemiringan bidang diskontinuitas (βj).
Gambar 2.7 Kalkulasi nilai faktor koreksi (F1, F2, F3, dan F4)
22
Gambar 2.9 Nilai Slope Mass Rating (SMR)
d. Menentukan kondisi massa batuan dan tingkat kestabilan lereng dari nilai Slope
Mass Rating (SMR) yang diperoleh.
23
BAB III
Aktivitas Kerja Praktek dimulai pada tanggal 21 Mei 2018 dibawah bimbingan
Bapak Adeni Muhadi Saputra selaku Engineer Geotech. Waktu kerja yang diterapkan di
lokasi Kerja Praktek dimulai dari pukul 07.00 WITA sampai dengan pukul 16.00 WITA.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dan lokasi kegiatan dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Training
9. 16 Juli 2018 Pengumpulan Laporan
Department
Training
10. 20 Juli 2018 Pengembalian APD
Department
24
3.2 Orientasi Pada Departemen Geoteknik & Hidrologi
25
Gambar 3.2 Monitoring pembersihan tanaman
liar sekitar Bridge
26
3.2.4 Divisi Model & Analytical
Divisi Model and analytical melakukan kegiatan yang berkaitan dengan analisis
kestabilan lereng seperti melakukan pengukuran strukur, analisis kinematik,
limit equilibrium, dan update structure map. Mapping struktur yang dilakukan PT.
Amman Mineral Nusa Tenggara yaitu line mapping dan RMR mapping bertujuan untuk
mengetahui sifat fisik batuan, kondisi air tanah, orientasi joint/bidang diskontinuitas
dan kekuatan massa batuan pada lereng tambang. Dari hasil mapping dilakukan
analisis sehingga diketahui kondisi lereng pada area pit Batu Hijau.
Kegiatan kerja praktek dilakukan berada pada divisi modelling and analytical
mencakup kegiatan Line Mapping dan update structure map. Pengukuran struktur (line
mapping) pada lereng tambang merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui
kondisi massa batuan dan bidang diskontinuitas pada lereng sehingga dapat dilakukan
analisis kestabilan lereng. Sebelum melakukan mapping maupun project lainnya,
student maupun visitor yang berkunjung diwajibkan mengetahui dan mematuhi JHA
(Job Hazard Analytical) yang dibuat PT. AMNT sebagai standar keamanan suatu
pekerjaan.
3.3 Data
27
Data yang digunakan dalam penghitungan nilai Slope Mass Rating (SMR)
dinding Selatan-Barat phase 7 pit batu hijau diperoleh dari hasil pengukuran struktur
dengan cara line mapping. Data hasil pengukuran line mapping berupa data sudut
kemiringan (dip) lereng (βs), arah kemiringan (Dip Direction) dari permukaan lereng
(αs), arah kemiringan (Dip Direction) bidang diskontinuitas (αj), dan sudut kemiringan
bidang diskontinuitas (βj).
Data-data tersebut digunakan untuk menentukan nilai faktor koreksi (F1, F2,
F3, dan F4) yang akan digunakan untuk menghitung nilai Slope Mass Rating (SMR).
Nilai F1 merupakan selisih sudut antara orientasi bidang diskontinuitas terhadap arah
lereng. Nilai F1 menunjukan batas lateral adanya bidang bebas yang memungkinkan
terjadinya longsor. Untuk pembobotan nilai F1 untuk longsoran bidang dan baji yaitu
selisih sudut diatas 300 (>300) maka F1 diberi nilai (0,15), selisih sudut 210-300 diberi
nilai 0.4, selisih sudut 110-200 diberi nilai (0,7), selisih sudut 50-100 diberi nilai (0,85),
dan selisih sudut dibawah 50 diberi nilai 1.
Nilai F2 merupakan pembobotan untuk Kemiringan bidang diskontinuitas (βj).
Parameter F2 menunjukan kondisi bidang gelincir untuk jatuhnya longsoran.
Pembobotan Nilai F2 untuk longsoran bidang dan baji yaitu kemiringan bidang
diskontinuitas dibawah 200 (<200) diberi nilai (0,15), sudut diskontinuitas 200-300 diberi
nilai (0,4), sudut diskontinuitas 300-350 diberi nilai (0,7), sudut diskontinuitas 350-450
diberi nilai (0,85), dan diatas (>450) diberi nilai 1.
Nilai F3 merupakan hubungan antara kemiringan bidang diskontinuitas
terhadap kemiringan lereng. Longsoran dapat terjadi apabila kemiringan bidang
diskontinuitas lebih kecil dari kemiringan lereng. Nilai F3 untuk longsoran bidang dan
baji yaitu kemiringan bidang diskontinuitas dikurangi kemiringan lereng (βj-βs).
Pembobotan Nilai F3 yaitu hasil dari (βj-βs) diatas 100 (>100) diberi nilai 0, sudut yang
dibentuk 00-100 diberi nilai -6, sudut yang dibentuk 00 diberi nilai -25, sudut yang
dibentuk 00-(-100) diberi nilai -50 dan sudut yang dibentuk diatas -100 > (-100) diberi
nilai -60. Nilai F4 merupakan metode penggalian lereng yang digunakan.
Berikut adalah titik pengambilan data line mapping:
Tabel 3.2 Titik pengukuran data line mapping
Domain 5 Domain 9
Sektor 1 Sektor 2 Sektor 3 Sektor 4
DH04-DH05 EA03-EA04 S11-S12 S13-S14
EA01-EA02 S01-S02 S12-S13 S14-S15
EA02-EA03 S02-S03 S23-S24 S25-S26
RF03-RF04 S03-S04 S24-S25 S26-S27
28
RG08-RG09 S08-S09 HD10-HD11 S27-S28
S18-S19 S09-S10 HD11-HD12 S28-S29
S19-S20 S10-S11 W01-W02 S29-S30
HD06-HD07 S20-S21 S30-S31
HD07-HD08 S21-S22 W02-W03
ES01-ES02 S22-S23 W03-W04
HD08-HD09 W04-W05
HD09-HD10 W05-W06
WR01-WR02
WR02-WR03
WR03-WR04
WR04-WR05
CBL01-CBL02
CBL02-CBL03
CB01-CB02
CB02-CB03
NW01-NW02
DOMAIN 5 & 9 αJ βJ αS βS αi βi F1 F2 F3 F4
29
Tabel 3.4 Nilai faktor koreksi (F1, F2, F3, dan F4) untuk longsoran baji
DOMAIN 5 & 9 αJ βJ αS βS αi βi F1 F2 F3 F4
30
Tabel 3.6 Penghitungan Nilai SMR
SMR
RMR 40 RMR 50
P W P W
SEKTOR 1 50 50 60 60
44 44 54 54
7.5 44 17.5 54
RMR 20 RMR 30 RMR 40
P W P W P W
30 30 40 40 50 50
SEKTOR 2
30 30 40 40 50 50
23.7 30 33.7 40 43.7 50
23.625 30 33.625 40 43.625 50
RMR 40 RMR 50
SEKTOR 3 P W P W
43.7 50 53.7 60
RMR 40 RMR 50
P W P W
SEKTOR 4
43.7 50 53.7 60
50 50 60 60
Berdasarkan tabel 3.4, nilai SMR tiap sektor berkisar antara 7.5-60. Sektor 1
dengan RMR 40 untuk longsoran bidang diperoleh nilai SMR 7.5-50, dan untuk
longsoran baji diperoleh nilai SMR 44-50. Sedangkan, dengan RMR 50 untuk longsoran
bidang diperoleh nilai SMR 17.5-60, dan untuk longsoran baji diperoleh nilai SMR 54-
60. Pada sektor 2 dengan RMR 20 untuk longsoran bidang diperoleh nilai SMR 23.625-
30, dan untuk longsoran baji diperoleh nilai SMR 30. Pada sektor 2 dengan RMR 30
untuk longsoran bidang diperoleh nilai SMR 33.625-40, dan untuk longsoran baji
diperoleh nilai SMR 40. Sedangkan, dengan RMR 40 untuk longsoran bidang diperoleh
nilai SMR 43.625-50, dan untuk longsoran baji diperoleh nilai SMR 50.
Sektor 3 dan sektor 4 memiliki massa batuan dengan RMR 40 dan 50. Kedua
sektor memiliki nilai SMR yang sama. Pada RMR 40 untuk longsoran bidang diperoleh
nilai SMR 43.7-50, dan untuk longsoran baji diperoleh nilai SMR 50. Sedangkan dengan
RMR 50 untuk longsoran bidang diperoleh nilai SMR 53.7-60, dan untuk longsoran baji
diperoleh nilai SMR 60.
Dari hasil penghitungan nilai SMR yang sudah diperoleh pada sektor 1 – sektor
4, kemudian nilai SMR dikelompokkan menurut kelasnya sehingga dapat diketahui
kondisi massa batuan dan tingkat kestabilannya. Berikut adalah pembagian
kelas/klasifikasinya :
31
Tabel 3.7 Deskripsi nilai SMR
Kondisi Massa Tingkat
Sektor KASUS RMR SMR Kelas
Batuan Kestabilan
1 P 40 7.5 Va Sangat Buruk Sangat Tidak Stabil
1 P 50 17.5 Va Sangat Buruk Sangat Tidak Stabil
1 W 40 44 - 50 IIIb Normal Kritis
1 W 50 54 - 60 IIIa Normal Kritis
2 P 20 23.625 IVb Buruk Tidak Stabil
2 P 30 33.625 IVa Buruk Tidak Stabil
2 P 40 43.625 IIIb Normal Kritis
2 W 20 30 IVb Buruk Tidak Stabil
2 W 30 40 IVa Buruk Tidak Stabil
2 W 40 50 IIIb Normal Kritis
3 P 40 43.7 IIIb Normal Kritis
3 P 50 53.7 IIIa Normal Kritis
Berdasarkan pada tabel 3.5, nilai SMR yang diperoleh telah diklasifikasikan
untuk penentuan tingkat kestabilan dan kondisi massa batuan pada masing-masing
sektor. Sektor 1 dengan nilai SMR berkisar antara 7.5-60 memiliki kondisi massa
batuan sangat buruk – normal dan memiliki tingkat kestabilan, sangat tidak stabil-
kritis. Pada sektor 2 dengan nilai SMR berkisar antara 23.625-50 memiliki kondisi
massa batuan yang buruk – normal dan memiliki tingakt kestabilan, tidak stabil – kritis.
Sedangkan pada sektor 3 dan sektor 4 dengan nilai SMR berkisar antara 43.7-60
memiliki kondisi massa batuan yang normal dan memiliki tingkat kestabilan, kritis.
32
BAB IV
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Berdasarkan aktivitas kerja praktek yang dilakukan, saran yang dapat diberikan
adalah periu dilakukan penanganan/perkuatan terhadap lereng tambang yang memiliki
tingkat kestabilan yang rendah. Selain itu, jenis perkuatan yang digunakan harus
disesuaikan dengan kondisi massa batuan dan kondisi bidang diskontinuitas yang ada
pada lereng tambang.
33