Oposisi Mutlak
Oposisi mutlak adalah oposisi yang bersifat ‘ya’ atau ‘tidak. Pertentangan maknanya bersifat
mutlak. Artinya, jika salah satunya berlaku, maka yang lain tidak berlaku.
Contoh : hidup >< mati
Orang kalau nggak hidup, disebut mati. Kalau nggak mati, disebut hidup.Kalau mati suri? Ya tetep
aja itu namanya mati, walaupun kemudian hidup lagi. :D
Contoh lainnya adalah laki-laki >< perempuan. Walaupun dia waria, tetap saja dia laki-laki.
Walaupun tomboy, ya sejatinya dia perempuan.
Kita nggak tahu yang disebut ‘panjang’ itu yang ukurannya seberapa, begitupun dengan yang
pendek. Bisa saja kita katakan “sangat panjang >< sangat pendek”, “agak panjang >< agak
pendek”, “sangat panjang >< agak pendek”, “agak panjang >< sangat pendek”... dst.
Contoh lainnya seperti : luas >< sempit, besar >< kecil, bagus >< jelek, rajin >< malas, kotor ><
bersih,... dst.
3. Oposisi Relasional
Oposisi relasional menunjukkan bahwa sebuah kata hadir karena adanya kata lain.
Contoh : penjual >< pembeli
Adanya’penjual’ karena ada ‘pembeli’.
Contoh lain : murid ><guru, dosen >< mahasiswa, suami ><istri, dsb.
4. Oposisi Majemuk
Oposisi Majemuk adalah oposisi yang mempunyai banyak anggota ; alternatifnya lebih dari
satu.
Contoh :berdiri >< duduk (?)
Belum tentu. Bisa saja berdiri >< berbaring, atau berdiri >< jongkok, atau berlawanan dengan
tiarap, tengkurap, sujud, dst.
_____________________
Nah, cobalah berlatih dengan mencari contoh dari keempat oposisi di atas. Selamat mencoba! =)
contoh dari oposisi kutub :
oposisi majemuk :
prajurit><opsir
mati><hidup, bernafas
oposisi hubungan :
ayah-ibu,
guru-murid,
atas-bawah,
utara-selatan,
buruh-majikan,
pasang-surut,
pulang-pergi
Kata antonimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya ‘nama’, dan anti
yang artinya ‘melawan’. ‘Maka’ secara harfiah antonim berarti ‘nama lain untuk benda lain pula’.
Secara semantik, Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai: ungkapan (biasanya berupa kata,
tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari
makna ungkapan lain. Misalnya dengan kata bagusadalah antonim dengan kata buruk;
kata besar adalah berantonim dengan kata kecil; dan kata membeli berantonim dengan
kata menjual.
Hubungan makna antara dua buah kata yang berantonim bersifat dua buah arah. Jadi,
kalau kata bagus berantonim dengan kata buruk;dan kalau kata membeliberantonim dengan
kata menjual maka kata menjual pun berantonim dengan kata membeli. Kalau dibagankan
adalah sebagai berikut:
Sama halnya dengan sinonim, antonim pun terdapat pada semua tataran bahasa: tataran
morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat. Hanya barangkali mencari contohnya
dalam setiap bahasa tidak mudah. Dalam bahasa Indonesia untuk tataran morfem (terikat)
barangkali tidak ada; dalam bahasa Inggris kita jumpai contoh thankful dengan thankless,
dimana ful dan less berantonim ; antara progresif dengan regresif dimana pro dan re-
berantonim; juga antara bilingual dengan monolingual, dimana bi dan mono berantonim.
Dalam buku-buku pelajaran bahasa Indonesia, antonim biasanya disebut lawan kata.
Banyak orang yang tidak setuju dengan istilah ini sebab hakikatnya yang berlaianan bukan kata-
kata itu, melainkankan makna dari kata-kata itu. Maka, mereka yang tidak setuju dengan istilah
lawan kata lalu menggunakan istilah lawan makna. Namun, benarkah dua buah kata yang
berantonim, maknanya benar-benar berlawanan?
Benarkah hidup lawan mati? putih lawan hitam? Dan menjual lawan membeli? Sesuatu yang
hidup memang belum atau tidak mati, dan sesuatu yang mati memang tidak hidup. Jadi, memang
berlawanan. Apakah juga yang putih dan tidak hitam? Belum tentu, mungkin kelabu. Menurut
ilmu fisika putih adalah warna campuran dari segala warna, sedangkan hitam memang tidak ada
warna sama sekali. Lalu, apakah juga sesuatu yang jauh berarti tidak dekat? Juga belum tentu.
Tampaknya soal jauh atau dekat bersifat relatif. Patokannya tidak tentu bisa bergeser.
Soal menjual dan membeli tampaknya merupakan dua hal yang berlaku bersamaan; tidak ada
proses pembelian tanpa terjadinya proses penjualan. Begitu juga sebaliknya.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa antonim pun, sama halnya dengan sinonim, tidak
bersifat mutlak. Itulah sebabnya barangkali dalam batasan di atas, Verhaar menyatakan “...yang
maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain”. Jadi, hanya dianggap kebalikan.
Bukan mutlak berlawanan.
Sehubungan dengan ini banyak pula yang menyebutkan oposisi makna. Dengan istilah
oposisi, maka bisa tercakup dari konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya
bersifat kontras saja. Kata hidup dan mati, seperti sudah dibicarakan di atas, mungkin bisa mnjadi
contoh yang berlawanan; tetapi hitam dan putih mungkin merupakan contoh yang hanya
berkontras.
Lebih jauh, berdasarkan sifatnya, oposisi ini dapat dibedakan menjadi:
2.3.1. Opsisi Mutlak
Di sini terdapat pertentangan makna secara mutlak. Umpamanya antara
kata hidup dan mati. Antara hidup dan mati terdapat batas mutlak , sebab sesuatu yang hidup
tentu tidak (belum) mati; sedangkan sesuatu yang mati tentu tidak hidup lagi. Memang menurut
kedokteran ada keadaan yang disebut “koma”, yaitu keadaan seseorang yang hidup tidak, tetapi
mati pun belum. Namun, orang yang berada dalam dalam keadaan “koma” itu sudah tidak dapat
berbuat apa-apa seperti manusia hidup. Yang tersisa sebagai bukti hidup hanyalah detak jantung
saja. Contoh lain dari oposisi mutlak ini adalah kata gerak dan diam sesuatu yang
(ber)gerak tentu tiada dalam keadaan diam; dan sesuatu yang diam tentu tidak dalam keadaan
(ber)gerak. Kedua proses ini tidak dapat berlangsung bersamaan, tetapi secara bergantian.
Makin ke atas makin kaya dan makin ke bawah makin miskin. Namun bata kaya-
miskin itu sendiri dapat bergeser ke atas dan ke bawah. Ketidakmutlakan makna dalam
oposisi ini tampak juga dari adanya gradasi seperti agak kaya, cukup kaya, kaya
, dan sangat kaya. Atau pun juga dari adanya tingkat perbandingan seperti kaya, lebih
kaya, dan paling kaya. Namun yang paling kaya dalam suatu deret perbandingan
mungkin menjadi yang paling miskin dalm suatu deret perbandingan yang lain. Kita ambil
contoh lain, yaitubesar-kecil. Dalam deret gajah,
banteng, dan keledai maka keledai menjadi yang paling kecil. Dalam deret gajah,
kambing, dan keledai, kita lihat keledai bukan yang paling kecil; dan dalam deret kucing,
kambing, dan keledai, dia menjadi yang paling besar. Sedangkan yang paling kecilnya
adalah kucing. Jadi, jelas batasan dalam oposisi kutub ini relatifr sekali.
Itulah sebabnya barangkali, imbauan untuk hidup sederhana sukar dilaksanakan
sebab batas antara sederhana dan tidak sederhana sangat relatif, sangat bergantung
pada situasi, kondisim dan sikap manusianya.
Kata-kata yang beroposisi kutub ini umumnya adalah kata-kata dari kelas adjektif,
seperti jauh-dekat, panjang-pendek, tingggi-rendah, terang-gelap, danluas-sempit.
Contoh lain, kata diam yang dapat beroposisi dengan kata berbicara,
bergerak,dan bekerja.
Satu hal lain yang perlu dicatat, tidak setiap kata bahasa Indonesia memiliki
antonim atau oposisi.
Kata antonimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya ‘nama’ dan anti yang artinya
‘melawan’. Maka secara harfiah maka antonim berarti ‘nama lain untuk benda lain pula’. Secara semantik,
Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai: Ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk
frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makan ungkapan lain. Misalnya
kata bagus adalah berantonim dengan kata buruk; kata besarberantonim dengan kata kecil.
Sama halnya dengan sinonim, antonimpun terdapat pada semua tataran bahasa: tataran morfem, tataran
kata, tataran frase, dan tataran kalimat. Dalam bahasa Indonesia untuk tataran morfem (terikat) barangkali
tidak ada; dalam bahasa Inggaris kita jumpai contoh thankful dengan thankless,
dimana ful dan lessberantonim; antara progresif dengan regresif, dimana fro dan re berantonim.
Makna kata-kata yang termasuk oposisi kutub ini pertentangannya tidak bersifat mutlak, melainkan
bersifat gradasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada kata-kata tersebut, misalnya,
kata kaya dan miskin adalah dua buah kata yang beroposisi kutub. Pertentangan
antara kaya dan miskain tidak mutlak orang yang tidak kaya belum tentu meras miskin, dan begitu juga
orang yang tidak miskin belum tentu merasa kaya.
Kata-kata yang beroposisi kutub ini umumnya adalah kata-kata dari kelas adjektif, seperti jauh-dekat,
panjang-pendek, tinggi-rendah, terang-gelap, dan luas-sempit.
Makna kata yang beroposisi hubungan (relasional) ini bersifat saling melengkapi. Artinya, kehadiran kata
yang satu karena ada kata yang lain yang menjadi oposisinya. Tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini
tidak ada. Umpamanya kata menjual beroposisi dengan
kata membeli. Kata menjual dan membeliwalaupun maknanya berlawanan, tetapi proses kejadiannya
berlaku serempak.proses menjual dan proses membeli terjadi pada waktu yang bersamaan, sehingga bisa
dikatakan tak akan ada proses menjual jika tak ada proses membeli.
Kata-kata yang beroposisi hubungan ini bisa berupa kata kerja seperti mundur-maju, pulang-pergi,
pasang-surut, memberi-menerima, belajar- mengajar, dan sebagainaya. Selain itu, bisa pula berupa kata
benda, seperti ayah- ibu, guru-murid, atas-bawah, utara-selatan, buruh-majikan, dan sebagainya.
Makna kata-kata yang beroposisi hierarkial ini mengatakan suatu deret jenjeng atau tingkatan. Oleh
karena itu kata-kata yang beropossisi hierarkial ini adalah kata-kata yang berupa nama satuan ukuran
(berat, panjang, dan isi), nama satuan hitungan dan penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dan
sebagainya. Umpamanya kata meter beroposisi hierarkial dengan kata kilometer karena berada dalam
deretan nama satuan yang menyatakan ukuran panjang. Kata kuintal dan ton beroposisi secara hierarkial
karena keduanya berada dalam satuan ukuran yang menyatakan berat.
Selama ini yang dibicarakan adalah oposisi diantara dua buah kata, seperti mati-hidup, menjual-membeli,
jauh-dekat, prajurit-opsir. Namun, dalam pembedaharaan kata Indonesia ada kata-kata yang beroposisi
terhadap lebih dari sebuah kata.
Misalnya kata berdiri bisa beroposisi dengan kata duduk, dengan kata berbaring, dengan kata berjongkok.
Keadaan seperti ini lazim disebut dengan kata istilah oposisi majemuk. Jadi:
duduk
berbaring
berdiri x tiarap
berjongkok
Contoh lain, kata diam yang dapat beroposisi dengan kata berbicara, bergerak, dan bekerja.
3 Homonimi, Homofoni, Homograf
Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onoma yang artinya ‘nama’ dan homo yang
artinya ‘sama’. Secara rafia homonimi dapat diartikan sebagi “nama sama untuk benda atau hal lain”.
Secara semantik, Verhaar (1978) memberi definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frasa atau
kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frasa atau kalimat) tetapi
maknanya tidak sama. Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat dua arah.
1. bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau diales yang berlainan.
Hominimi dan sinonimi dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
1. Homonimi antar morfem, tentunya terjadi antara sebuah morfem terikat dengan morfem terikat lainnya.
2. homonimi antar kata, terjadi antara sebuah kata dengan kata lainnya. Misalnya antara kata bisa yang
berarti ‘racun ular’ dan kata bisa yang berarti ‘sanggup, atau dapat’.
3. homonimi antar frase, misalnya antara frase cinta anak yang berarti ‘perasaan cinta dari seorang anak
lepada ibunya’ dan frase cinta anak yang berarti ‘cinta lepada anak dari seorang ibu’.
4. homonimi antar kalimat, misalnya antara Istri lurah yang baru itu cantik yang berarti ‘lurah yang baru
diangkat itu mempunyai istri yang cantik’, atau ‘lurah itu baru menikah lagi dengan seorang wanita yang
cantik’.
Disamping homonimi ada pula istilah homofoni dan homogfari. Homofoni dilihat dari segi “bunyi”
(homo=sama, fon=bunyi), sedangkan homografi dilihat dari segi “tulisan, ejaan” (homo=sama,
grafo=tulisan).
Homofoni sebetulnya sama saja dengan homonimi karena realisasi bentuk-bentuk bahasa adalah berupa
bunyi. Namun, dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang homofon tetapi ditulis dengan ejan yang
berbeda karena ingin memperjelas perbedaan makna.
Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti ‘nama’ dan hypo berarti “di bawah’.
Jadi secara harfiah berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama lain’. Secara semantik, Verhaar (1978:
137) menyatakan hiponim ahíla ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase atau
kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna statu ungkapan lain.
Kalau relasi antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan berhomonim bersifat dua arah, maka
relasi anatar dua buah kata yang berhiponim ini adalah searah.
Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna
sebuah kata yang berada di bawah makna kata lainnya. Karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang
merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata lain, akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang
hierarkial berada di atasnya. Konsep hiponimi dan hipernimi mudah diterapkan pada kata benda tapi agak
sukar pada kata verja atau kata sifat.
5. Polisemi
Polisemi lazim diartiakn sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih
dari satu. Umpamanya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki enam makna. Namur, makna –makna
yang banyak dari sebuah kata yang polisemi itu masih ada sangkutpautnya dengan makna asal, karena
dijabarkan dari komponen makna yang ada pada makna asal kata tersebut.
Persoalan lain yang berkenaan dengan polisemi ini adalah bagaimana kita bisa membedakannya
dengan bentuk-bentuk yang disebut homonimi. Perbedaannya yang jelas adalah bahwa homonimi
bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata aatu lebih yang kebetulan bentuknya sama. Tentu saja
karena homonimi ini bukan sebuah kata, maka maknanya pun berbeda.
Di dalam kamus bentuk-bentuk yang homonimi didaftarkan sebagi entri-entri yang berbeda.
Sebaliknya bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu. Karena
polisemi ini adalah sebuah kata maka di dalam kamus didaftarkan sebagai sebuah entri. Satu lagi
perbedaan antara homonimi dan polisemi, yaitu makna-makan pada bentuk homonimi tidak ada kaitan
atau hubungannya sama sekali antara yang satu dengan yang lainnya.
6. Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua
arti. Konsep ini tidak salah, tetapi juga kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan dengan polisemi.
Polisemi dan ambiguitas memang sama-sama bermakna ganda. Hanya kalau kegandaan makna dalam
polisemi berasal dari kata, sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal
yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang
berbeda. Dalam bahasa lisan penafsiran ganda ini mungkin tidak akan terjadi karena struktur gramatical
itu dibantu oleh unsur intonasi.
Perbedaan antara ambiguitas dan homonimi adalah homonimi dilihat sebagai dua bentuk yang
kebetulan sama dan dengan makna yang berbeda, sedangkan ambiguitas adalah sebuah bentuk dengan
makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya penafsiran struktur gramatikal bentuk tersebut. Lagi
pula ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase dan kalimat sedangkan homonimi dapat terjadi pada
semua satuan gramatikal.
7. Redudansi
Istilah redudansi sering diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam
statu bentuk ujaran. Secara semantik masalah redudansi sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsip
dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda. Makna adalah statu fenomena
dalam ujaran (utterance, internal phenomenon) sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar ujaran
(utterance-external).
Jadi, kata seperti baik dan buruk hanya memiliki makna kebalikan, bukan berlawanan secara mutlak karena
keterbatasan itu, Verhaar (1996) menggantikan antonim dengan oposisi yang di dalamnya tercakup konsep yang
betul-betul berlawanan sampai pada yang hanya bersifat kebalikan. Oposisi dibedakan atas beberapa macam
yakni sebagai berikut:
a. Oposisi Mutlak
Oposisi mutlak adalah perlawanan makna kata-kata secara mutlak, seperti hidup >< mati
d. Oposisi Hierarkial
Oposisi hierarkial adalah hubungan makna kata-kata yang berada dalam satu deret jenjang / tingkatan. biasanya
berupa nama satuan. Contoh :
a. Meter >< kilometer
b. Ons >< gram
e. Oposisi Majemuk
Oposisi majemuk yaitu makna sebuah kata beroposisi lebih dari satu makna. Contoh :
"Berdiri >< duduk, berbaring, tiarap, berjongkok".
Homonim
Homonim adalah kata-kata yang memiliki tulisan dan bunyi yang sama. Contoh :
a. Bisa (racun)
b. Bisa (dapat)
Homograf
Homograf adalah kata-kata yang tulisan dan ejaanya sama akan tetapi bunyinya berbeda. Contoh :
a. Sedan (s9dan) = sedih dan sedan = mobil.
b. Teras (t9ras) = inti kayu dan teras = bagian depan rumah.
Homofon
Homofon adalah kata-kata yang sama bunyinya dan tulisannya berbeda. Contoh :
a. Bang (bank)
b. Sanksi (sangsi)
Polisemi
Polisemi adalah kata yang memiliki lebih dari satu makna dan makna-makna tersebut masih ada hubungannya.
Perhatikan polisemi dari kepala seperti berikut :
a. Makna 1
Bagian tubuh dari leher keatas (kepala kambing)
b. Makna 2
Bagian sesuatu yang terletak didepan (kepala kereta api)
c. Makna 3
Hal yang terpenting (kepala suku)
d. Makna 4
Pemimpin atau ketua (kepala sekolah)
e. Makna 5
Bagian dari sesuatu yang berbentuk bulat (kepala paku)
f. Makna 6
Jiwa atau orang (setiap kepala mendapat kado)
g. Makna 7
Akal budi (badan besar, tetapi kepalanya kosong)
a. Makna umum
Melihat (mengarahkan mata)
b. Makna khusus
- Melihat dari dekat (memerhatikan)
- Melihat secara langsung dilapangan (meninjau kesuatu objek)
- Melihat dari kejauhan (memandang)
- Melihat dengan ekor mata (mengerling)
- Melihat dengan membuka mata lebar-lebar (membelalak)
- Melihat dengan menggerakan mata kekiri dan kekanan (melirik)
- Melihat dari celah / lubang (mengintip)
Jadi, kata seperti baik dan buruk hanya memiliki makna kebalikan, bukan berlawanan secara mutlak karena
keterbatasan itu, Verhaar (1996) menggantikan antonim dengan oposisi yang di dalamnya tercakup konsep yang
betul-betul berlawanan sampai pada yang hanya bersifat kebalikan. Oposisi dibedakan atas beberapa macam
yakni sebagai berikut:
a. Oposisi Mutlak
Oposisi mutlak adalah perlawanan makna kata-kata secara mutlak, seperti hidup >< mati
d. Oposisi Hierarkial
Oposisi hierarkial adalah hubungan makna kata-kata yang berada dalam satu deret jenjang / tingkatan. biasanya
berupa nama satuan. Contoh :
a. Meter >< kilometer
b. Ons >< gram
e. Oposisi Majemuk
Oposisi majemuk yaitu makna sebuah kata beroposisi lebih dari satu makna. Contoh :
"Berdiri >< duduk, berbaring, tiarap, berjongkok".
Homonim
Homonim adalah kata-kata yang memiliki tulisan dan bunyi yang sama. Contoh :
a. Bisa (racun)
b. Bisa (dapat)
Homograf
Homograf adalah kata-kata yang tulisan dan ejaanya sama akan tetapi bunyinya berbeda. Contoh :
a. Sedan (s9dan) = sedih dan sedan = mobil.
b. Teras (t9ras) = inti kayu dan teras = bagian depan rumah.
Homofon
Homofon adalah kata-kata yang sama bunyinya dan tulisannya berbeda. Contoh :
a. Bang (bank)
b. Sanksi (sangsi)
Polisemi
Polisemi adalah kata yang memiliki lebih dari satu makna dan makna-makna tersebut masih ada hubungannya.
Perhatikan polisemi dari kepala seperti berikut :
a. Makna 1
Bagian tubuh dari leher keatas (kepala kambing)
b. Makna 2
Bagian sesuatu yang terletak didepan (kepala kereta api)
c. Makna 3
Hal yang terpenting (kepala suku)
d. Makna 4
Pemimpin atau ketua (kepala sekolah)
e. Makna 5
Bagian dari sesuatu yang berbentuk bulat (kepala paku)
f. Makna 6
Jiwa atau orang (setiap kepala mendapat kado)
g. Makna 7
Akal budi (badan besar, tetapi kepalanya kosong)
a. Makna umum
Melihat (mengarahkan mata)
b. Makna khusus
- Melihat dari dekat (memerhatikan)
- Melihat secara langsung dilapangan (meninjau kesuatu objek)
- Melihat dari kejauhan (memandang)
- Melihat dengan ekor mata (mengerling)
- Melihat dengan membuka mata lebar-lebar (membelalak)
- Melihat dengan menggerakan mata kekiri dan kekanan (melirik)
- Melihat dari celah / lubang (mengintip)
Aminuddin. 1988. Semantik Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: C.V. Sinar Baru.
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Faizah, Hasnah. 2010. Linguistik Umum. Pekanbaru: Cendikia Insani.
Padeta, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Parera,J.D. 2004. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.
Sartuni, Rasjid dkk. 1987. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Nina Dinamika.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.
Varhaar. 1992. Pengantar Linguistik.Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Contoh oposisi Dalam Relasi Makna
1. Oposisi mutlak
Contoh: kalah dan menang
2. Oposisi kutub
Contoh: manis dan pahit, murah dan mahal, marah dan sabar
3. Oposisi hubungan
Suami dan istri, bos dan karyawan guru dan murid
4. Oposisi hirarkial
Sekolah dasar dan sekolah menengah, doktor dan magister, meter dan
sentimeter
5. Oposisi majemuk
Contoh: keluarga beroposisi dengan teman, sahabat, kenalan, musuh
Bekerja beroposisi dengan istirahat, libur mengangur.
Berteriak beroposisi dengan, berbisik bernyanyi berbicara.