Anda di halaman 1dari 58

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN SARAF TUTORIAL KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN 21 Desember 2018


UNIVERSITAS AL-KHAIRAAT PALU

TUTORIAL KLINIK
PENURUNAN KESADARAN

Disusun Oleh:

Irwan 12 18 777 14 330

Dinah Fadillah 14 18 777 14 302

Andi Cindy Indriyani 14 18 777 14 305

Siti Hardianti 14 18 777 14 292

Pembimbing:

dr. Wijoyo Halim, M.Kes, Sp.S

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN KEDOKTERAN SARAF
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2018
IDENTITAS PASIEN
• Nama : Ny. U
• Umur : 60 tahun
• Jenis Kelamin : Perempuan
• Agama : Islam
• Status Perkawinan : Menikah

SKENARIO
Pasien MRS dengan keluhan penurunan kesadaran sejak pukul 07.00 pagi tadi,
penurunan kesadaran terjadi pada saat pasien sedang beraktifitas sebelumnya.
Pasien sulit untuk berbicara dengan lemas separuh badan sisi sebelah kanan.
Pasien baru pertama kali mengalami hal seperti ini, pasien sesak setiap kali
minum obat. Mual (-) muntah (-) nyeri kepala (-) riwayat DM (+) riwayat HT (+)
tidak terkontrol. Riwayat keluarga: ibu pasien DM dan stroke (+). Riwayat
pengobatan mengkonsumsi obat glimepiride tablet 2 mg.

PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Umum
• Keadaan umum: sakit berat
• Gizi: baik
• Kesadaran: Menurun
• Tanda-tanda vital:
o Tekanan darah: 150/90 mmHg
o Nadi: 80 x/menit
o Suhu: 36,6 C
o Pernapasan: 20 x/menit

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
GCS: : E2M4V1
1. Kepala: normocephal
2. N. cranialis:
 N. Olfactorius (I): Tidak dapat dinilai
 N.Optikus:
 Ketajaman penglihatan: tidak dapat dinilai
 Lapangan penglihatan: tidak dapat dinilai
 N. Occulomotoris:
 Ptosis: tidak ada
 Exopthalmus: tidak ada
 Pupil: ukuran: 2,5 mm/ bulat 2,5 mm/bulat
Isokor/anisokor: isokor isokor
RCL/ RCTL: + +
Reflex akomodasi: sulit dinilai sulit dinilai
 Gerakan bola mata:
Parese kearah sulit dinilai sulit dinilai
Nistagmus sulit dinilai sulit dinilai
 N. V (trigeminus):
o Sensibilitas: N.V1: sulit dinilai sulit dinilai
N.V2: sulit dinilai sulit dinilai
N.V3: sulit dinilai sulit dinilai
o Motorik: Inspeksi: istirahat
 N. VII:
o Motorik: M. Frontalis M. orbik.okuli M. orbik. Oris
Istirahat: simetris simetris simetris
Gerakan mimic: sulit dinilai sulit dinilai sulit dinilai
o Pengecap 2/3 lidah bagian depan: sulit dinilai

 N. VIII:
o Pendengaran: sulit dinilai
o Tes rinne/weber: sulit dinilai
o Fungsi vestibularis: sulit dinilai
 N. IX/X: (Glossopharingeus/vagus):
o Posisi arkus pharinks: sulit dinilai
o Reflex telan/muntah: sulit dinilai
o Pengecap 1/3 lidah bagian belakang: sulit dinilai
o Fonasi: sulit dinilai
o Takikardi/bradikardi: normal
 N. XI:
o Memalingkan kepala dengan/tanpa tahanan: sulit dinilai
o Angkat bahu: sulit dinilai
 N.XII:
o Deviasi lidah: sulit dinilai
o Fasciculasi: sulit dinilai
o Atrofi: sulit dinilai
o Tremor: sulit dinilai
o Ataxia: sulit dinilai
3. Leher:
 Tanda-tanda perangsangan selaput otak
o Kaku kuduk: tidak dilakukan
o Kernig’s sign: -
 Arteri karotis:
o Palpasi: teraba
o Auskultasi:tidak ada bruit
 Kelenjar gondok: dalam batas normal
4. Abdomen:
 Reflex kulit dinding perut: TDP
5. Kolumna vertebralis: sulit dinilai
6. Ekstremitas:
Superior Inferior
D S D S
 Motorik:
Pergerakan BT B BT B
Kekuatan 3 4 3 4
Tonus otot N N
Bentuk otot N N N N

 Otot yang terganggu: tidak ada


 Reflex fisiologi
o Biceps +++ +
o Triceps +++ +
o Patella +++ +
o Achilles +++ +
 Klonus: Lutut: -/-
Kaki: -/-
 Reflex patologis:
Hoffman: -/-
Tromner: -/-
Babinski: -/-
Chaddock: -/-
Oppenheim: -/-
 Sensibilitas:
o Ekstroseptif
Nyeri: sulit dinilai
Suhu: sulit dinilai
Rasa raba halus: sulit dinilai
o Propioseptif
Rasa sikap: sulit dinilai
Rasa nyeri dalam: sulit dinilai
o Fungsi Kortikal Luhur: sulit dinilai
7. Pergerakan abnormal yang spontan: sulit dinilai
8. Gangguan koordinasi: sulit dinilai
9. Gangguan keseimbangan: sulit dinilai
10. Pemeriksaan fungsi luhur: sulit dinilai
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
 WBC: 11,4
 RBC: 4,6
 HGB: 12,9
 HCT: 37,6
 GDS : 100
 K+ : 3,78
 Na+ : 139,13
 Cl : 98,57
 NEUT# :7,6

KATA KUNCI
1. Perempuan , 60 tahun

2. Penurunan kesadaran sejak 4 jam yang lalu


3. Sulit berbicara
4. Lemah separuh badan sisi sebelah kanan
5. Sesak
6. Riwayat DM (+), HT (+)
7. riwayat obat DM 1 bulan yang lalu
8. Riwayat keluarga (+)

PERTANYAAN
1. Anatomi dan fisiologi penurunan kesadaran
2. Langkah-langkah diagnosis pada pasien dengan penurunan kesadaran
3. Klasifikasi penurunan kesadaran
4. Keadaan apa yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran?
5. Penanganan pada pasien dengan penurunan kesadaran
6. Patofisiologi penurunan kesadaran
7. DD
JAWABAN

1. Sebutkan anatomi dan fisiologi yang berhubungan dengan kasus ini!


Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang dibentuk oleh
mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria dan dura
materdisingkirkan, di bawah lapisan arachnoid mater kranialis dan pia mater
kranialis terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks serebri. Sulkus dan fisura
korteks serebri membagi hemisfer serebri menjadi daerah lebih kecil yang disebut
lobus (Moore& Argur,2007)

1) Serebrum (Otak Besar)


Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua
hemisfer. Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh
sebelah kiri dan hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh
sebelah kanan. Masing-masing hemisfer terdiri dari empat lobus.Bagian
lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai
parit disebut sulkus.Keempat lobus tersebut masing-masing adalah lobus
frontal, lobus parietal, lobus oksipital dan lobus temporal (CDC, 2004).

a. Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah serebrum.


Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis dan bagian
belakang oleh garis yang ditarik dari sulkus parieto-oksipital ke ujung
posterior sulkus lateralis (Sylvian). Daerah ini berfungsi untuk menerima
impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan dengan segala
bentuk sensasi dan mengenali segala jenis rangsangan somatik (Ellis,
2006).
b. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada dibagian paling depan
dari serebrum. Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus sentral .
Pada daerah ini terdapat area motorik untuk mengontrol gerakan otot-otot,
gerakan bola mata; area broca sebagai pusat bicara; dan area prefrontal
(area asosiasi) yang mengontrol aktivitas intelektual.
c. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus
oksipital oleh garis yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas
sulkus lateral.Lobus temporal berperan penting dalam kemampuan
pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.
d. Lobus oksipital berada dibelakang lobus parietal dan lobus temporal.Lobus
ini berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia
mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina
mata.

2) Serebelum (Otak Kecil)


Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua otak.
Serebelum terletak di bagian bawah belakang kepala, berada dibelakang
batang otak dan dibawah lobus oksipital, dekat dengan ujung leher bagian
atas. Serebelum adalah pusat tubuh dalam mengontrol kualitas gerakan.
Serebelum juga mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya:
mengatur sikap atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi
otot dan gerakan tubuh. Selain itu, serebelum berfungsi menyimpan
danmelaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti
gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan
mengunci pintu dan sebagainya(Clark,2005)

3) Batang Otak
Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak
bertugas untuk mengontrol tekanan darah, denyut jantung, pernafasan,
kesadaran, serta pola makan dan tidur. Bila terdapat massa pada batang
otak maka gejala yang sering timbul berupa muntah, kelemahan otat wajah
baik satu maupun dua sisi, kesulitan menelan, diplopia, dan sakit kepala
ketika bangun (CDC,2004)

Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:


a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian
teratas dari batang otak yang menghubungkan serebrumdan
serebelum.Saraf kranial III dan IV diasosiasikan dengan otak tengah. Otak
tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata,
pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran (Moore
& Argur, 2007)
b. Ponsmerupakan bagian dari batang otak yang berada diantara midbrain
dan medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial posterior. Saraf
Kranial (CN) V diasosiasikan dengan pons (Moore & Argur,2007).
c. Medulla oblongataadalah bagian paling bawah belakang dari batang otak
yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata terletak
juga di fossa kranial posterior.CN IX, X, dan XII disosiasikan dengan
medulla, sedangkan CN VI dan VIII berada pada perhubungan dari pons
dan medulla (Moore & Argur, 2007).

Anatomi Peredaran Darah Otak


Darah mengangkut zat asam, makanan dan substansi lainnya yang diperlukan
bagi fungsi jaringan hidup yang baik.Kebutuhan otak sangat mendesak dan vital,
sehingga aliran darah yang konstan harus terus dipertahankan.Suplai darah arteri
ke otak merupakan suatu jalinan pembuluh-pembuluh darah yang bercabang-
cabang, berhubungan erat satu dengan yang lain sehingga dapat menjamin suplai
darah yang adekuat untuk sel.

1) Peredaran Darah Arteri


Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri
vertebralis dan arteri karotis interna, yang bercabang dan beranastosmosis
membentuk circulus willisi. Arteri karotis interna dan eksterna bercabang
dari arteri karotis komunis yang berakhir pada arteri serebri anterior dan
arteri serebri medial. Di dekat akhir arteri karotis interna, dari pembuluh
darah ini keluar arteri communicans posterioryang bersatu kearah kaudal
dengan arteri serebri posterior. Arteri serebri anterior saling berhubungan
melalui arteri communicans anterior. Arteri vertebralis kiri dan kanan
berasal dari arteria subklavia sisi yang sama. Arteri subklavia kanan
merupakan cabang dari arteria inominata,sedangkan arteri subklavia kiri
merupakan cabang langsung dari aorta. Arteri vertebralis memasuki
tengkorak melalui foramen magnum, setinggi perbatasan pons dan medula
oblongata. Kedua arteri ini bersatu membentuk arteri basilaris.

2) Peredaran Darah Vena


Aliran darah vena dari otak terutama ke dalam sinus-sinus
duramater, suatu saluran pembuluh darah yang terdapat di dalam struktur
duramater. Sinus-sinus duramater tidak mempunyai katup dan sebagian
besar berbentuk triangular. Sebagian besar vena cortex superfisial
mengalir ke dalam sinus longitudinalis superior yang berada di medial.
Dua buah vena cortex yang utama adalah vena anastomotica magna yang
mengalir ke dalam sinus longitudinalis superior dan vena anastomotica
parva yang mengalir ke dalam sinus transversus. Vena-vena serebri
profunda memperoleh aliran darah dari basal ganglia (Wilson,et al., 2002)
Secara fisiologik, kesadaran memerlukan interaksi yang terus-
menerus dan efektif antara hemisfer otak dan formasio retikularis di
batang otak. Kesadaran dapat digambarkan sebagai kondisi awas-waspada
dalam kesiagaan yang terus menerus terhadap keadaan lingkungan atau
rentetan pikiran kita. Hal ini berarti bahwa seseorang menyadari seluruh
asupan dari panca indera dan mampu bereaksi secara optimal terhadap
seluruh rangsangan baik dari luar maupun dari dalam tubuh. Orang normal
dengan tingkat kesadaran yang normal mempunyai respon penuh terhadap
pikiran atau persepsi yang tercermin pada perilaku dan bicaranya serta
sadar akan diri dan lingkungannya. Dalam keseharian, status kesadaran
normal bisa mengalami fluktuasi dari kesadaran penuh (tajam) atau
konsentrasi penuh yang ditandai dengan pembatasan area atensi sehingga
berkurangnya konsentrasi dan perhatian, tetapi pada individu normal dapat
segera mengantisipasi untuk kemudian bisa kembali pada kondisi
kesadaran penuh lagi. Mekanisme ini hasil dari interaksi yang sangat
kompleks antara bagian formasio retikularis dengan korteks serebri dan
batang otak serta semua rangsang sensorik.
Pada saat manusia tidur, sebenarnya terjadi sinkronisasi bagian-bagian
otak. Bagian rostral substansia retikularis disebut sebagai pusat penggugah atau
arousal centre, merupakan pusat aktivitas yang menghilangkan sinkronisasi
(melakukan desinkronisasi), di mana keadaan tidur diubah menjadi keadaan awas
waspada. Bila pusat tidur tidak diaktifkan maka pembebasan dari inhibisi
mesensefalik dan nuklei retikularis pons bagian atas membuat area ini menjadi
aktif secara spontan. Keadaan ini sebaliknya akan merangsang korteks serebri dan
sistem saraf tepi, yang keduanya kemudian mengirimkan banyak sinyal umpan
balik positif kembali ke nuklei retikularis yang sama agar sistem ini tetap aktif.
Begitu timbul keadaan siaga, maka ada kecenderungan secara alami untuk
mempertahankan kondisi ini, sebagai akibat dari seluruh ativitas umpan balik
positif tersebut.
Masukan impuls yang menuju SSP yang berperan pada mekanisme kesadaran
pada prinsipnya ada dua macam, yaitu input yang spesifik dan non-spesifik. Input
spesifik merupakan impuls aferen khas yang meliputi impuls protopatik,
propioseptif dan panca-indera. Penghantaran impuls ini dari titik reseptor pada
tubuh melalui jaras spinotalamik, lemniskus medialis, jaras genikulo-kalkarina
dan sebagainya menuju ke suatu titik di korteks perseptif primer. Impuls aferen
spesifik ini yang sampai di korteks akan menghasilkan kesadaran yang sifatnya
spesifik yaitu perasaan nyeri di kaki atau tempat lainnya, penglihatan, penghiduan
atau juga pendengaran tertentu. Sebagian impuls aferen spesifik ini melalui
cabang kolateralnya akan menjadi impuls non-spesifik karena penyalurannya
melalui lintasan aferen non-spesifik yang terdiri dari neuron-neuron di substansia
retikularis medulla spinalis dan batang otak menuju ke inti intralaminaris
thalamus (dan disebut neuron penggalak kewaspadaan) berlangsung secara
multisinaptik, unilateral dan lateral, serta menggalakkan inti tersebut
untukmemancarkan impuls yang menggiatkan seluruh korteks secara difus dan
bilateral yang dikenal sebagai diffuse ascending reticular system. Neuron di
seluruh korteks serebri yang digalakkan oleh impuls aferen non-spesifik tersebut
dinamakan neuron pengemban kewaspadaan. Lintasan aferen non-spesifik ini
menghantarkan setiap impuls dari titik manapun pada tubuh ke titik-titik pada
seluruh sisi korteks serebri. Jadi pada kenyataannya, pusat-pusat bagian bawah
otaklah yaitu substansia retikularis yang mengandung lintasan non-spesifik difus,
yang menimbulkan “kesadaran” dalam korteks serebri.
Derajat kesadaran itu sendiri ditentukan oleh banyak neuron penggerak atau
neuron pengemban kewaspadaan yang aktif. Unsur fungsional utama neuron-
neuron ialah kemampuan untuk dapat digalakkan sehingga menimbulkan
potensial aksi. Selain itu juga didukung oleh proses-proses yang memelihara
kehidupan neuron-neuron serta unsur-unsur selular otak melalui proses
biokimiawi, karena derajat kesadaran bergantung pada jumlah neuron-neuron
tersebut yang aktif. Adanya gangguan baik pada neuron-neuron pengemban
kewaspadaan ataupun penggerak kewaspadaan akan menimbulkan gangguan
kesadaran.

Gambar 1. Pusat-pusat kesadaran pada otak

2. Langkah-langkah diagnosis penurunan kesadaran?


A. Anamnesis
Dalam kasus gangguan kesadaran auto-anamnesis masih dapat dilakukan bila
gangguan kesadaran masih bersifat ”ringan”,pasien masih dapat menjawab
pertanyaan (lihat pemeriksaan Glasgow Coma Scale/ GCS). Hasil auto-anamnesis
ini dapat dimanfaatkan untuk menetapkan adanya gangguan kesadaran yang
bersifat psikiatrik – termasuk sindrom otak organik atau gangguan kesadaran yang
bersifat neurologik (dinyatakan secara kualitatif maupun kuantitatif ke dalam
GCS). Namun demikian arti klinis dari anamnesis perlu dicari dari dengan hetero-
anamnesis, yaitu anamnesis terhadap pengantar dan atau keluarganya. Berbagai
hal yang perlu ditanyakan pada saat anamnesis adalah sebaai berikut:

1. Penyakit yang pernah diderita sebelum terjadinya gangguan kesadaran,


misalnya diabetes melitus, hipertensi, penyakit ginjal, penyakit hati, epilepsi,
adiksi obat tertentu
2. Keluhan pasien sebelum terjadinya gangguan kesadaran, antara lain nyeri
kepala yang mendadak atau sudah lama, perasaan pusing berputar, mual dan
muntah, penglihatan ganda, kejang, kelumpuhan anggota gerak.
3. Obat-obat yang diminum secara rutin oleh pasien, misalnya obat penenang,
obat tidur, antikoagulansia, obat antidiabetes (dapat dalam bentuk injeksi),
antihipertensi.
4. Apakah gangguan kesadaran terjadi secara bertahap atau mendadak, apakah
disertai gejala lain / ikutan?
5. Apakah ada inkontinensi urin dan / atau alvi?
6. Apakah dijumpai surat tertentu (misalnya ”perpisahan”)?

B. Pemeriksaan fisik (status internus)


Pada pemeriksaan ini hendaknya diperhatikan hal-hal yang biasanya
dilakukan oleh setiap dokter, dengan memerhatikan sistematika dan ketelitian,
sebagai berikut:
1. Nadi, meliputi frekuensi, isi dan irama denyut Tekanan darah, diukur pada
lengan kanan dan lengan kiri; perhatikanlah apakah tensimeter masih berfungsi
dengan baik
2. Suhu tubuh, pada umumnya termometer dipasang di ketiak; bila perlu diperiksa
secara rektal
3. Respirasi, meliputi frekuensi, keteraturan, kedalaman, dan bau pernapasan
(aseton, amonia, alkohol, bahan kimia tertentu dll)
4. Kulit, meliputi turgor, warna dan permukaan kulit ( dehidrasi, ikterus, sianosis,
bekas suntikan, luka karena trauma, dll)
5. Kepala, apakah ada luka dan fraktur
6. Konjungtiva, apakah normal, pucat, atau ada perdarahan
7. Mukosa mulut dan bibir, apakah ada perdarahan, perubahan warna
8. Telinga, apakah keluar cairan bening, keruh, darah, termasuk bau cairan perlu
diperhatikan.
9. Hidung, apakah ada darah dan atau cairan yang keluar dari hidung
10. Orbita, apakah ada brill hematoma, trauma pada bulbus okuli, kelainan
pasangan bola mata (paresis N.III, IV, VI), pupil, celah palpebra, ptosis
11. Leher, apakah ada fraktur vertebra; bila yakin tidak ada fraktur maka
diperiksa apakah ada kaku kuduk
12. Dada, pemeriksaan fungsi jantung dan paru secara sistematik dan teliti
13. Perut, meliputi pemeriksaan hati, limpa, ada distensi atau tidak, suara
peristaltik usus, nyeri tekan di daerah tertentu

C. Pemeriksaan neurologik
Di samping pemeriksaan neurologik yang rutin maka terdapat beberapa
pemeriksaan neurologik khusus yang harus dilakukan oleh setiap pemeriksa.
Pemeriksaan khusus tadi meliputi pemeriksaan kesadaran dengan menggunakan
GCS dan pemeriksaan untuk menetapkan letak proses patologik di batang otak

1) Pemeriksaan dengan menggunakan GCS


a. Instrumen ini dapat diandalkan
b. Mudah untuk diaplikasikan dan mudah untuk dinilai sehingga tidak
terdapat perbedaan antar penilai
c. Dengan sedikit latihan maka perawat juga dapat mengaplikasikan
instrumen GCS ini dengan mudah.
d. Yang diperiksa dan dicatat adalah nilai (prestasi) pasien yang terbaik
e. Bila seseorang sadar maka ia mendapat nilai 15
f. Nilai terendah adalah 3

2) Pemeriksaan untuk menetapkan letak proses patologik di batang otak

a. Observasi umum, meliputi:


1. Gerakan otomatik misalnya menelan, menguap, membasahi bibir
2. Adanya gerakan otomatik ini menunjukkan bahwa fungsi nukleus di
batang otak masih baik; hal ini berarti bahwa prognosis relatif baik
3. Adanya kejat mioklonik multifokal dan berulang kali; gejala ini biasanya
disebabkan oleh gangguan metabolisme sel hemisfer otak
4. Letak
lengan dan tungkai; bila lengan dan tungkai dalam posisi fleksi
maka hal ini berarti gangguan terletak di hemsifer otak
(dekortikasi). Bila kedua lengan dan tungkai dalam keadaan ekstensi
(rigiditas deserebrasi) maka ini menunjukkan adanya gangguan di batang
otak dan keadaan ini sangat serius

b.Pengamatan pola penapasan


1. Bentuk Cheyne-Stokes atau periodic breathing
i.Pola pernapasan seperti ini disebabkan oleh proses patologik di
hemisfer dan / atau batang otak bagian atas(pedunkulus serebri).
2. Central neurogenic breathing(istilah lama: pernapasan Kussmaul/Biot)
a. Pola pernapasan seperti disebabkan oleh proses patologik di
tegmentum (batas antara mesensefalon dan pons)
b. Letak proses ini lebih kaudal bila dibandingkan dengan proses
patologik yang menimbulkan pola pernapasan Chyen-Stokes.
3. Pernapasan apneu
stik: inspirasi dalam kemudian diikuti berhentinya napas pasca-ekspirasi
4. Pernapasan ataksik: pernapasan yang cepat, dangkal dan tak teratur
a. Pola pernapasan seperti ini biasanya tampak ketika formasio retikularis
bagian dorsomedial medula oblongata terganggu
b. Pola pernapasan seperti ini sering tampak pada tahap agonal, sehingga
dianggap sebagai tanda menjelang kematian

c.Kelainan pupil
1. Pemeriksaan pupil terutama pada pasien koma sama nilainya dengan
pemeriksaan tanda vital lainnya
2. Bila pupil tampak sangat kecil (pin point) maka diperlukan kaca pembesar
3. Sebelum diperiksa dengan teliti maka mata jangan ditetesi midriatikum
4. Yang harus diperiksa meliputi:
a. Besar / lebar pupil
b. Perbandingan lebar pupil kanan dan kiri
c. Bentuk pupil
d. Refleks pupil terhadap cahaya dan konvergensi
e. Reaksi konsensual pupil

d. Gerak dan / atau kedudukan bola mata


1. Deviasi konjugat
a) Kedua bola mata melirik ke samping, ke arah hemisfer yang terganggu
b) Ukuran dan bentuk pupil normal
c) Refleks cahaya positif
d) Bila gangguan pada area 8 lobus frontalis

2. Proses di talamus
a) Kedua bola mata melirik ke hidung
b) Pasien tidak dapat dapat menggerakkan kedua bola mata ke atas
c) Pupil kecil dan refleks cahaya negatif

3. Proses di pons
a) Kedua bola mata berada di tengah
b) Bila kepala pasien digerakkan ke samping maka tidak terlihat gerakan
bola mata ke samping (dolls eye manoever yang abnormal)
c) Pupil sangat kecil, reaksi terhadap cahaya positif (dilihat dengan kaca
pembesar)
d) Kadang-kadang tampak adanya ocular bobbing

4. Proses di serebellum
a) Pasien tidak dapat melihat ke samping
b) Pupil normal (bentuk dan reaksi terhadap cahaya)

5. Refleks sefalik batang otak


a) Refleks pupil (mesensefalon)
b) Refleks cahaya, refleks konsensual dan refleks konvergensi
c) Pada pasien koma hanya dapat diperiksa refleks cahaya dan
konvergensi
d) Bila refleks cahaya terganggu berarti ada gangguan di mesensefalon
(bagian atas batang otak)

6. Doll’s eye manoever


a) Bila kepala pasien digerakkan ke samping maka bola mata akan
bergerak ke arah yang berlawanan
b) Refleks negatif bila ada gangguan di pons

7. Refleks okulo-auditorik
Bila telinga pasien dirangsang dengan suara yang keras maka pasien akan
menutup matanya (auditory blink reflex)
8. Refleks okulovestibular (pons)
a) Bila meatus akustikus eksternus dirangang dengan air panas (440C)
maka akan terjadi gerakan bola mata cepat ke arah telinga yang
dirangsang
b) Bila tes kalori ini negatif berarti ada gangguan di pons

9. Refleks kornea
Bila kornea digores dengan kapas halus maka akan terjadi penutupan
kelopak mata

10. Refleks muntah (medula oblongata)


Dinding belakang faring dirangsang dengan spatel maka akan terjadi
refleks muntah

11. Reaksi terhadap rangsang nyeri


a) Tekanan di atas orbita, jaringan di bawah kuku jari tangan, atau
tekanan pada sternum
b) Reaksi yang dapat dilihat

12. Gerakan abduksi, seakan-akan pasien menghalau rangsangan; ini


menandakan bahwa masih terdapat fungsi hemisfer (high level function)
a) Gerakan aduksi, seakan-akan pasien menjauhi rangsangan
(withdrawal); ini berarti bahwa masih terdapat fungsi tingkat bawah
b) Gerakan fleksi lengan dan tungkai; ini berartibahwa terdapat gangguan
di hemisfer
c) Kedua lengan dan tungkai mengambil posisi ekstensi (rigiditas
deserebrasi); hal ini berarti bahwa terdapat gangguan di batang otak

g. Fungsi traktus piramidalis


1. Traktus piramdalis merupakan saluran saraf terpanjang dan karena itu. itu
amat sering terganggu pada suatu kerusakan struktural susuna saraf pusat

2. Bila tidak dijumpai gangguan traktus piramidalis maka kita harus mencari
penyebab koma ke arah gangguan metabolik

3. Gangguan traktus piramidalis dapat diketahui dari


a) Kelumpuhan-Dengan rangsangan nyeri, ada gerakan lengan / tungkai
atau tidak-Menempatkan lengan / tungkai dalam kedudukan sulit-
Menjatuhkan lengan / tungkai dan membandingkan lengan / tungkai
kanan dan kiri; ekstremitas yang lumpuh akan jatuh lebih cepat dan
lebih berat
b) Refleks tendon-Pada tahap akut di sisi kontralateral lesi akan terjadi
penurunan refleks-Pada tahap pasca-akut di sisi kontralateral lesi
muncul peningkatan refleks
c) Refleks patologik-Dijumpai refleks patologik di sisi kontralateral lesi,
di di tangan mau pun di kaki. Tanda refleks patologis yang paling
terkenal dan mudah ditimbulkan adalah refleks Babinsky di tapak kaki.
d) Tonus-Pada tahap akut di sisi kontralateral lesi dijumpai penurunan
tonus-Pada tahap pasca-akut di sisi kontralateral lesi dijumpai
peningkatan tonus

3. Klasifikasi penurunan kesadaran


Penurunan kesadaran dibagi 3, yaitu gangguan kesadaran tanpa disertai
kelainan fokal/ lateralisasi dan tanpa disertai kaku kuduk; gangguan kesadaran
tanpa disertai kelainan fokal/ lateralisasi disertai dengan kaku kuduk; dan
gangguan kesadaran disertai dengan kelainan fokal.
a) Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal dan kaku kuduk
1. Gangguan iskemik
2. Gangguan metabolik
3. Intoksikasi
4. Infeksi sistemis
5. Hipertermia
6. Epilepsi
b) Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal tapi disertai kaku kuduk
1. Perdarahan subarakhnoid
2. Radang selaput otak (meningitis)
3. Radang selaput otak dan jaringan otak (meningoencefalitis)
c) Gangguan kesadaran dengan kelainan fokal
1. Tumor otak
2. Perdarahan otak
3. Infark otak
4. Abses otak

4. Keadaan apa yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran?


Gangguan kesadaran disebabkan oleh berbagai faktor etiologi, baik yang
bersifat intrakranial maupun ekstrakranial / sistemik. Penjelasan singkat tentang
faktor etiologi gangguan kesadaran adalah sebagai berikut:

a. Gangguan sirkulasi darah di otak (serebrum, serebellum, atau batang otak)


- Perdarahan, trombosis maupun emboli
- Mengingat insidensi stroke cukup tinggi maka kecurigaan terhadap
stroke pada setiap kejadian gangguan kesadaran perlu digarisbawahi.
b. Infeksi: ensefalomeningitis (meningitis, ensefalitis, serebritis/abses otak)
Mengingat infeksi (bakteri, virus, jamur) merupakan penyakit yang sering
dijumpai di Indonesia maka pada setiap gangguan kesadaran yang disertai
suhu tubuh meninggi perlu dicurigai adanya ensefalomeningitis.
c. Gangguan metabolisme
Di Indonesia, penyakit hepar, gagal ginjal, dan diabetes melitus sering
dijumpai.
d. Neoplasma
- Neoplasma otak, baik primer maupun metastatik, sering di jumpai di
Indonesia.
- Neoplasma lebih sering dijumpai pada golongan usia dewasa dan lanjut.
- Kesadaran menurun umumnya timbul berangsur-angsur namun progresif/
tidak akut.
e. Trauma kepala
Trauma kepala paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas.
f. Epilepsi
Gangguan kesadaran terjadi pada kasus epilepsi umum dan status
epileptikus
g. Intoksikasi
Intoksikasi dapat disebabkan oleh obat, racun (percobaan bunuh diri),
makanan tertentu dan bahan kimia lainnya.
h. Gangguan elektrolit dan endokrin
Gangguan ini sering kali tidak menunjukkan “identitas”nya secara jelas;
dengan demikian memerlukan perhatian yang khusus agar tidak terlupakan
dalam setiap pencarian penyebab gangguan kesadaran.

5. Penanganan pada pasien dengan penurunan kesadaran


awal pasien dengan perdarahan intraserebral meliputi :

1. Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi .

2. Jika terdapat tand-tanda TIK meningkat dan tidak ada hipotensi atau gagal
ginjal dan atau gagal jantung, diberikan manitol 20% 5 ml/kgBB,
dilanjutkan 2 ml/ kgBB dalam 20 menit setiap 6 jam, jaga osmolalitas
darah < 320 mOsm.

3. Bila kejang : Diazepam 10 mg iv pelan, dapat ditambah hingga kejang


berhenti. Awasi depresi nafas, dilanjutkan phenitoin bolus15 - 20
mg/kgBB encerkan dengan aqua steril 100 ml NaCl 0,9% iv pelan,
dilanjutkan 8 mg/kgBB
4. Infus cairan isotonis (NaCl 0,9 %) 1,5 ml/kgBB/jam pertahankan
volume,pemasangan CVP atas indikasi.

5. Obat simptomatik analgetik, antiemetic, H2 Reseptor antagonis, antibiotic


IV atau supp sesuai indikasi

6. Pasang kateter, catat keadaan dan produksi urine

 Perdarahan intracranial dengan gejala herniasi atau menyebabkan efek


massa dilakukan tindakan

 pembedahan.

Kontusio serebri tanpa efek massa dapat dilakukan pengobatan konservatif


dengan observasi ketat suatu CT Scan serial.

6. Patofisiologi penurunan kesadaran pada pasien ini?


Patofisiologi menerangkan terjadinya kesadaran menurun sebagai akibat
dari berbagai macam gangguan atau penyakit yang masing-masing pada
akhirnya mengacaukan fungsi reticular activating system secara langsung
maupun tidak langsung. Dari studi kasus-kasus koma yang kemudian
meninggal dapat dibuat kesimpulan, bahwa ada tiga tipe lesi /mekanisme yang
masing-masing merusak fungsi reticular activating system, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
a. Disfungsi otak difus
1) Proses metabolik atau submikroskopik yang menekan aktivitas
neuronal.
2) Lesi yang disebabkan oleh abnormalitas metabolik atau toksik atau
oleh pelepasan general electric (kejang) diduga bersifat subseluler
atau molekuler, atau lesi-lesi mikroskopik yang tersebar.
3) Cedera korteks dan subkorteks bilateral yang luas atau ada
kerusakan thalamus yang berat yang mengakibatkan terputusnya
impuls talamokortikal atau destruksi neuron-neuron korteks bisa
karena trauma (kontusio, cedera aksonal difus), stroke (infark atau
perdarahan otak bilateral).
4) Sejumlah penyakit mempunyai pengaruh langsung pada aktivitas
metabolik selsel neuron korteks serebri dan nuclei sentral otak
seperti meningitis, viral ensefalitis, hipoksia atau iskemia yang bisa
terjadi pada kasus henti jantung.
5) Pada umumnya, kehilangan kesadaran pada kondisi ini setara
dengan penurunan aliran darah otak atau metabolisme otak.

b. Efek langsung pada batang otak


1) Lesi di batang otak dan diensefalon bagian bawah yang
merusak/menghambat
reticular activating system.
2) Lesi anatomik atau lesi destruktif terletak di talamus atau midbrain
di mana neuron-neuron ARAS terlibat langsung.
3) Lebih jarang terjadi.
4) Pola patoanatomik ini merupakan tanda khas stroke batang otak
akibat oklusi arteri basilaris, perdarahan talamus dan batang otak
atas, dan traumatic injury.
c. Efek pada kompres otak
1) Kausa kompresi primer atau sekunder
2) Lesi masa yang bisa dilihat dengan mudah.
3) Massa tumor, abses, infark dengan edema yang masif atau
perdarahan intraserebral, subdural maupun epidural. Biasanya lesi
ini hanya mengenai sebagian dari korteks serebri dan substansia
alba dan sebagian besar serebrum tetap utuh. Tetapi lesi ini
mendistorsi struktur yang lebih dalam dan menyebabkan koma
karena efek pendesakan (kompresi) ke lateral dari struktur tengah
bagian dalam dan terjadi herniasi tentorial lobus temporal yang
berakibat kompresi mesensefalon dan area subthalamik reticular
activating system, atau adanya perubahan-perubahan yang lebih
meluas di seluruh hemisfer.
4) Lesi serebelar sebagai penyebab sekunder juga dapat menekan area
reticular batang otak atas dan menggesernya maju ke depan dan ke
atas.
5) Pada kasus prolonged coma, dijumpai perubahan patologik yang
terkait lesi seluruh bagian sistim saraf korteks dan diensefalon.

Berdasar anatomi-patofisiologi, koma dibagi dalam:


1) Koma kortikal-bihemisferik, yaitu koma yang terjadi karena neuron
pengemban kewaspadaan terganggu fungsinya.
2) Koma diensefalik, terbagi atas koma supratentorial, infratentorial,
kombinasi supratentorial dan infratentorial; dalam hal ini neuron
penggalak kewaspadaan tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron
pengemban kewaspadaan.
Sampai saat ini mekanisme neuronal pada koma belum diketahui
secara pasti. Dalam eksperimen, jika dilakukan dekortikasi atau perusakan
inti intralaminar talamik atau jika substansia grisea di sekitar akuaduktus
sylvii dirusak akan terjadi penyaluran impuls asenden nonspesifik yang
terhambat sehingga terjadi koma. Studi terkini yang dilakukan oleh Parvizi
dan Damasio melaporkan bahwa lesi pada pons juga bisa menyebabkan
koma.
Koma juga bisa terjadi apabila terjadi gangguan baik pada neuron
penggalak kewaspadaan maupun neuron pengemban kewaspadaan yang
menyebabkan neuronneuron tersebut tidak bisa berfungsi dengan baik dan
tidak mampu bereaksi terhadap pacuan dari luar maupun dari dalam tubuh
sendiri. Adanya gangguan fungsi pada neuron pengemban kewaspadaan,
menyebabkan koma kortikal bihemisferik, sedangkan apabila terjadi
gangguan pada neuron penggalak kewaspadaan, menyebabkan koma
diensefalik, supratentorial atau infratentorial.
Penurunan fungsi fisiologik dengan adanya perubahan-perubahan
patologik yang terjadi pada koma yang berkepanjangan berhubungan erat
dengan lesi-lesi sistem neuron kortikal diensefalik. Jadi prinsipnya semua
proses yang menyebabkan destruksi baik morfologis (perdarahan,
metastasis, infiltrasi), biokimia (metabolisme, infeksi) dan kompresi pada
substansia retikularis batang otak paling rostral (nuklei intralaminaris) dan
gangguan difus pada kedua hemisfer serebri menyebabkan gangguan
kesadaran hingga koma. Derajat kesadaran yang menurun secara patologik
bisa merupakan keadaan tidur secara berlebihan (hipersomnia) dan
berbagai macam keadaan yang menunjukkan daya bereaksi di bawah
derajat awas-waspada. Keadaan-keadaan tersebut dinamakan letargia,
mutismus akinetik, stupor dan koma.
Bila tidak terdapat penjalaran impuls saraf yang kontinyu dari
batang otak ke serebrum maka kerja otak menjadi sangat terhambat. Hal
ini bisa dilihat jika batang otak mengalami kompresi berat pada
sambungan antara mesensefalon dan serebrum akibat tumor hipofisis
biasanya menyebabkan koma yang ireversibel. Saraf kelima adalah nervus
tertinggi yang menjalarkan sejumlah besar sinyal somatosensoris ke otak.
Bila seluruh sinyal ini hilang, maka tingkat aktivitas pada area eksitatorik
akan menurun mendadak dan aktivitas otakpun dengan segera akan sangat
menurun, sampai hampir mendekati keadaan koma yang permanen.
Gambar 1. Dasar anatomi gangguan kesadaran

8. Differential diagnosis pada pasien ?

1) PERDARAHAN INTRACEREBRAL
A. DEFINISI

Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang terjadi di


otak yang disebabkan oleh pecahnya (ruptur) pada pembuluh darah otak.
Perdarahan dalam dapat terjadi di bagian manapun di otak. Darah dapat
terkumpul di jaringan otak, ataupun di ruang antara otak dan selaput membran
yang melindungi otak. Perdarahan dapat terjadi hanya pada satu hemisfer
(lobar intracerebral hemorrhage), atau dapat pula terjadi pada struktur dari
otak, seperti thalamus, basal ganglia, pons, ataupun cerebellum (deep
intracerebral hemorrhage).1

B. EPIDEMIOLOGI

Di seluruh dunia insiden perdarahan intraserebral berkisar 10


sampai 20 kasus per 100.000 penduduk dan meningkat seiring dengan usia.
Perdarahan intraserebral lebih sering terjadi pada pria daripada wanita,
terutama yang lebih tua dari 55 tahun, dan dalam populasi tertentu, termasuk
orang kulit hitam dan Jepang. Selama periode 20 tahun studi The National
Health and Nutrition Examination Survey Epidemiologic menunjukkan
insiden perdarahan intraserebral antara orang kulit hitam adalah 50 per
100.000, dua kali insiden orang kulit putih. Perbedaan dalam prevalensi
hipertensi dan tingkat pendidikan berhubungan dengan perbedaan resiko.
Peningkatan risiko terkait dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah
mungkin terkait dengan kurangnya kesadaran akan pencegahan primer dan
akses ke perawatan kesehatan. Insiden perdarahan intraserebral di Jepang
yaitu 55 per 100.000 jumlah ini sama dengan orang kulit hitam.
Tingginya prevalensi hipertensi dan pengguna alkohol pada populasi Jepang
dikaitkan dengan insiden. Rendahnya observasi kadar kolesterol serum pada
populasi ini juga dapat meningkatkan resiko perdarahan intraserebral. Usia
rata-rata pada umur 53 tahun, interval 40 – 75 tahun. Insiden pada laki-laki
sama dengan pada wanita. Angka kematian 60 – 90 %.1,2

C. ETIOLOGI

Hipertensi merupakan penyebab terbanyak (72-81%). Perdarahan


intraserebral spontan yang tidak berhubungan dengan hipertensi,
biasanya berhubungan dengan diskrasia darah, hemartroma, neoplasma,
aneurisma, AVM, tumor otak metastasis, pengobatan dengan antikoagulans,
gangguan koagulasi seperti pada leukemia atau trombositopenia,
serebralarteritis, amyloid angiopathy dan adiksi narkotika.

Perdarahan intraserebral dapat disebabkan oleh :3,4

1. Hipertensi

Hipertensi lama akan menimbulkan lipohialinosis dan nekrosis fibrinoid


yang memperlemah dinding pembuluh darah yang kemudian
menyebabkan ruptur intima dan menimbulkan aneurisma. Selanjutnya
dapat menyebabkan mikrohematoma dan edema. Hipertensi kronik dapat
juga menimbulkan sneurisma-aneurisma kecil (diameternya 1 mm) yang
tersebar di sepanjang pembuluh darah, aneurisma ini dikenal sebagai
aneurisma Charcot Bouchard.

2. Cerebral Amyloid Angiopathy

Cerebral Amyloid Angiopathy adalah suatu perubahan vaskular yang unik


ditandai oleh adanya deposit amiloid di dalam tunika media dan tunika
adventisia pada arteri kecil dan arteri sedang di hemisfer serebral. Arteri-
arteri yang terkena biasanya adalah arteri-arteri kortical superfisial dan
arteri-arteri leptomening. Sehingga perdarahan lebih sering di daerah
subkortikal lobar ketimbang daerah basal ganglia. Deposit amiloid
menyebabkan dinding arteri menjadi lemah sehingga kemudian pecah dan
terjadi perdarahan intraserebral. Di samping hipertensi, amyloid
angiopathy dianggap faktor penyebab kedua terjadinya perdarahan
intraserebral pada penderita lanjut usia.

3. Arteriovenous Malformation

4. Neoplasma intrakranial. Akibat nekrosis dan perdarahan oleh jaringan


neoplasma yang hipervaskular.

Perdarahan di putamen, thalamus, dan pons biasanya akibat ruptur


a. lentikulostriata, a. thalamoperforating dan kelompok basilar-paramedian.
Sedangkan perdarahan di serebelum biasanya terdapat di daerah nukleus
dentatus yang mendapat pendarahan dari cabang a. serebelaris superior dan a.
serecelaris inferior anterior.

Gambar 1. Lokasi tersering sumber perdarahan intraserebral4

D. PATOFISIOLOGI

Kasus PIS umumnya terjadi di kapsula interna (70 %), di fossa


posterior (batang otak dan serebelum) 20 % dan 10 % di hemisfer (di luar
kapsula interna). Gambaran patologik menunjukkan ekstravasasi darah karena
robeknya pembuluh darah otak dan diikuti adanya edema dalam jaringan otak
di sekitar hematom. Akibatnya terjadi diskontinuitas jaringan dan kompresi
oleh hematom dan edema pada struktur sekitar, termasuk pembuluh darah otak
dan penyempitan atau penyumbatannya sehingga terjadi iskemia pada jaringan
yang dilayaninya, maka gejala klinis yang timbul bersumber dari destruksi
jaringan otak, kompresi pembuluh darah otak / iskemia dan akibat kompresi
pada jaringan otak lainnya.4

E. GEJALA KLINIS

Secara umum gejala klinis PIS merupakan gambaran klinis akibat


akumulasi darah di dalam parenkim otak. PIS khas terjadi sewaktu aktivitas,
onset pada saat tidur sangat jarang. Perjalanan penyakitnya, sebagian besar
(37,5-70%) per akut. Biasanya disertai dengan penurunan kesadaran.
Penurunan kesadaran ini bervariasi frekuensi dan derajatnya tergantung dari
lokasi dan besarnya perdarahan tetapi secara keseluruhan minimal terdapat
pada 60% kasus. dua pertiganya mengalami koma, yang dihubungkan dengan
adanya perluasan perdarahan ke arah ventrikel, ukuran hematomnya besar dan
prognosis yang jelek. Sakit kepala hebat dan muntah yang merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial dijumpai pada PIS, tetapi frekuensinya
bervariasi. Tetapi hanya 36% kasus yang disertai dengan sakit kepal sedang
muntah didapati pada 44% kasus. Jadi tidak adanya sakit kepala dan muntah
tidak menyingkirkan PIS, sebaliknya bila dijumpai akan sangat mendukung
diagnosis PIS atau perdarahn subarakhnoid sebab hanya 10% kasus stroke
oklusif disertai gejala tersebut. Kejang jarang dijumpai pada saat onset PIS.5

F. PEMERIKSAAN FISIK

Hipertensi arterial dijumpai pada 91% kasus PIS. Tingginya


frekuensi hipertensi berkorelasi dengan tanda fisik lain yang menunjukkan
adanya hipertensi sistemik seperti hipertrofi ventrikel kiri dan retinopati
hipertensif. Pemeriksaan fundus okuli pada kasus yang diduga PIS
mempunyai tujuan ganda yaitu mendeteksi adanya tanda-tanda retinopati
hipertensif dan mencari adanya perdarahan subhialoid (adanya darah di ruang
preretina, yang merupakan tanda diagnostik perdarahan subarakhnoid) yang
mempunyai korelasi dengan ruptur aneurisma. Kaku kuduk terdapat pada 48%
kasus PIS.

Gerakan mata, pada perdarahan putamen terdapat deviation


conjugae ke arah lesi, sedang pada perdarahan nukleus kaudatus terjadi
kelumpuhan gerak horisontal mata dengan deviation conjugae ke arah lesi.
Perdarahan thalamus akan berakibat kelumpuhan gerak mata atas (upward
gaze palsy), jadi mata melihat ke bawah dan kedua mata melihat ke arah
hidung. Pada perdarahan pons terdapat kelumpuhan gerak horisontal mata
dengan ocular bobbing.

Pada perdarahan putamen, reaksi pupil normal atau bila terjadi


herniasi unkus maka pupil anisokor dengan paralisis N. III ipsilateral lesi.
Perdarahan di thalamus akan berakibat pupil miosis dan reaksinya lambat.
Pada perdarahan di mesensefalon, posisi pupil di tengah, diameternya sekitar
4-6 mm, reaksi pupil negatif. Keadaan ini juga sering dijumpai pada herniasi
transtentorial. Pada perdarahn di pons terjadi pinpoint pupils bilateral tetapi
masih terdapat reaksi, pemeriksaannya membutuhkan kaca pembesar.5,6

Pola pernafasan pada perdarahan diensefalon adalah Cheyne-


Stroke, sedang pada lesi di mesensefalon atau pons pola pernafasannya
hiperventilasi sentral neurogenik. Pada lesi di bagian tengah atau caudal pons
memperlihatkan pola pernafasan apneustik. Pola pernafasan ataksik timbul
pada lesi di medula oblongata. Pola pernafasan ini biasanya terdapat pada
pasien dalam stadium agonal.6

G. KLASIFIKASI PERDARAHAN INTRASEREBRAL

Tipe perdarahan intaserebral yang tersering adalah seperti berikut :6

1. Putaminal Hemorrhage

Antara sindroma klinis perdarahan yang tersering adalah


disebabkan oleh perdarahan putaminal dengan terjadinya penekanan pada
daerah berdekatan dengan kapsula interna. Gejala dan kelainan neurologic
hampir bervariasi berdasarkan kedudukan dan ukuran penekanan.
Perdarahan putaminal khas dengan onset progresif pada hampir
duapertiga pasien, dan kurang dari sepertiga mempunyai gejala mendadak
dan hampir maksimal saat onset. Nyeri kepala tampil saat onset gejala
hanya pada 14% kasus dan pada setiap waktu hanya 28%; semua pasien
menunjukkan berbagai bentuk defisit motorik dan sekitar 65%
mengalami perubahan reaksi terhadap pin-prick. Perdarahan putaminal
kecil menyebabkan defisit sedang motorik dan sensori kontralateral.
Perdarahan berukuran sedang mula-mula mungkin tampil dengan
hemiplegia flaksid, defisit hemisensori, deviasi konjugasi mata pada sisi
perdarahan, hemianopia homonim, dan disfasia bila yang terkena hemisfer
dominan. Progresi menjadi perdarahan masif berakibat stupor dan
lalukoma, variasi respirasi, pupil tak berreaksi yang berdilatasi, hilangnya
gerak ekstra-okuler, postur motor abnormal, dan respons
Babinski bilateral.

Gejala muntah terjadi hampir setengah daripada penderita. Sakit


kepala adalah gejala tersering tetapi tidak seharusnya ada. Dengan jumlah
perdarahan yang banyak, penderita dapat segera masuk kepada kondisi
stupor dengan hemiplegi dan kondisi penderita akan tampak memburuk
dengan berjalannya masa.

Walau bagaimanapun, penderita akan lebih sering mengeluh


dengan sakit kepala atau gangguan kepala yang dirasakan pusing. Dalam
waktu beberapa menit wajah penderita akan terlihat mencong ke satu sisi,
bicara cadel atau aphasia, lemas tangan dan tungkai dan bola mataakan
cenderung berdeviasi menjauhi daripada ekxtremitas yang lemah. Hal ini
terjadi, bertahap mengikuti waktu dari menit ke jam di mana sangat kuat
mengarah kepada perdarahan intraserebral. Paralisis dapat terjadi semakin
memburuk dengan munculnya refleks Babinski yang mana pada awalnya
dapat muncul unilateral dan kemudian bisa bilateral dengan ekstremitas
menjadi flaksid, stimulasi nyeri menghilang, tidak dapat bicara dan
memperlihatkan tingkat kesadaran stupor. Karekteristik tingkat keparahan
paling parah adalah dengan tanda kompresi batang otak atas (koma); tanda
Babinski bilateral; respirasi dalam, irregular atau intermitten; pupil dilatasi
dengan posisi tetap pada bagian bekuan dan biasanya adanya kekakuan
yang deserebrasi.

Gambar 2. Perdarahan Putaminal6

2. Thalamic Hemorrhage

Sindroma klinis akibat perdarahan talamus sudah dikenal.


Umumnya perdarahan talamus kecil menyebabkan defisit neurologis lebih
berat dari perdarahan putaminal. Seperti perdarahan putaminal,
hemiparesis kontralateral terjadi bila kapsula internal tertekan. Namun
khas dengan hilangnya hemisensori kontralateral yang nyata yang
mengenai kepala, muka, lengan, dan tubuh. Perluasan perdarahan ke
subtalamus dan batang otak berakibat gambaran okuler klasik yaitu
terbatasnya gaze vertikal, deviasi mata kebawah, pupil kecil namun
bereaksi baik atau lemah. Anisokoria, hilangnya konvergensi, pupil tak
bereaksi, deviasi serong, defisit lapang pandang, dan nistagmus retraksi
juga tampak. Anosognosia yang berkaitan dengan perdarahan sisi kanan
dan gangguan bicara yang berhubungan dengan lesi sisi kiri tidak jarang
terjadi. Nyeri kepala terjadi pada 20-40 % pasien. Hidrosefalus dapat
terjadi akibat penekanan jalur CSS.

Gambar 3. Perdarahan Thalamus6

3. Perdarahan Pons

Perdarahan pons merupakan hal yang jarang terjadi dibandingkan


dengan perdarahan intraserebral supratentorial, tetapi 50% dari perdarahan
infratentorial terjadi di pons. Gejala klinik yang sangat menonjol pada
perdarahan pons ialah onset yang tiba-tiba dan terjadi koma yang dalam
dengan defisit neurologik bilateral serta progresif dan fatal. Perdarahan
ponting paling umum menyebabkan kematian dari semua perdarahan otak.
Bahkan perdarahan kecil segera menyebabkan koma, pupil pinpoint (1
mm) namun reaktif, gangguan gerak okuler lateral, kelainan saraf kranial,
kuadriplegia, dan postur ekstensor. Nyeri kepala, mual dan muntah
jarang.6

4. Perdarahan Serebelum

Lokasi yang pasti dari tempat asal perdarahan di serebelum sulit


diketahui. Tampaknya sering terjadi di daerah nukleus dentatus dengan
arteri serebeli superior sebagai suplai utama. Perluasan perdarahan ke
dalam ventrikel IV sering terjadi pada 50% dari kasus perdarahan di
serebelum. Batang otak sering mengalami kompresi dan distorsi sekunder
terhadap tekanan oleh gumpalan darah. Obstruksi jalan keluar cairan
serebrospinal dapat menyebabkan dilatasi ventrikel III dan kedua ventrikel
lateralis sehingga dapat terjadi hidrosefalus akut dan peningkatan tekanan
intrakranial dan memburuknya keadaan umum penderita. Kematian
biasanya disebabkan tekanan dari hematoma yang menyebabkan herniasi
tonsil dan kompresi medula spinalis.6

Sindroma klinis perdarahan serebeler pertama dijelaskan secara


jelas oleh Fisher. Yang khas adalah onset mendadak dari mual, muntah,
tidak mampu bejalan atau berdiri. Tergantung dari evolusi perdarahan,
derajat gangguan neurologis terjadi. Hipertensi adalah faktor etiologi pada
kebanyakan kasus. Duapertiga dari pasien dengan perdarahan
serebeler spontan mengalami gangguan tingkat kesadaran dan tetap
responsif saat datang; hanya 14% koma saat masuk. 50% menjadi koma
dalam 24 jam, dan 75% dalam seminggu sejak onset. Mual dan muntah
tampil pada 95%, nyeri kepala (umumnya bioksipital) pada 73%,
dan pusing (dizziness) pada 55 %. Ketidakmampuan berjalan atau berdiri
pada 94 %. Dari pasien non koma, tanda-tanda serebeler umum terjadi
termasuk ataksia langkah (78 %), ataksia trunkal (65 %), dan ataksia
apendikuler ipsilateral (65 %). Temuan lain adalah palsi saraf fasial perifer
(61%), palsi gaze ipsilateral (54 %), nistagmus horizontal (51 %), dan
miosis (30%). Hemiplegia dan hemiparesis jarang, dan bila ada biasanya
disebabkan oleh stroke oklusif yang terjadi sebelumnya atau bersamaan.
Triad klinis ataksia apendikuler, palsi gaze ipsilateral, dan palsi fasial
perifer mengarahkan pada perdarahan serebeler. Perdarahan serebeler garis
tengah menimbulkan dilema diagnostik atas pemeriksaan klinis.
Umumnya perjalanan pasien lebih ganas dan tampil dengan oftalmoplegia
total, arefleksia, dan kuadriplegia flaksid. 6

Pada pasien koma, diagnosis klinis perdarahan serebeler lebih sulit


karena disfungsi batang otak berat. Dari pasien koma, 83 % dengan
oftalmoplegia eksternal yang lengkap, 53 % dengan irreguleritas
pernafasan, 54 % dengan kelemahan fasial ipsilateral. Pupil umumnya
kecil; tak ada reaksi pupil terhadap sinar pada 40 % pasien.

5. Perdarahan Lober

Sindroma klinis akut perdarahan lober dijelaskan Ropper dan


Davis. Hipertensi kronik tampil hanya pada 31 % kasus, dan 4 % pasien
yang koma saat datang. Perdarahan oksipital khas menyebabkan nyeri
berat sekitar mata ipsilateral dan hemianopsia yang jelas. Perdarahan
temporal kiri khas dengan nyeri ringan pada atau dekat bagian anterior
telinga, disfasia fluent dengan pengertian pendengaran yang buruk namun
repetisi relatif baik. Perdarahan frontal menyebabkan kelemahan lengan
kontralateral berat, kelemahan muka dantungkai ringan, dan nyeri kepala
frontal. Perdarahan parietal mulai dengan nyeri kepala temporal anterior
('temple') serta defisit hemisensori, terkadang mengenai tubuh ke garis
tengah. Evolusi gejala yang lebih cepat, dalam beberapa menit, namun
tidak seketika bersama dengan satu dari sindroma tersebut membantu
membedakan perdarahan lober dari stroke jenis lain. Kebanyakan
AVM dan tumor memiliki lokasi lober.6
6. Perdarahan intraserebral akibat trauma

Adalah perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak. Hematom


intraserebral pascatraumatik merupkan koleksi darah fokal yang biasanya
diakibatkan cedera regangan atau robekan rasional terhadap pembuluh-
pembuluh darah intraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera
penetrans. Ukuran hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai
beberapa sentimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera.
Intracerebral hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5
ml dalam substansi otak (hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate
atau petechial/bercak).6

H. DIAGNOSIS

Cara yang paling akurat untuk mendefinisikan stroke hemoragik


dengan stroke non hemoragik adalah dengan CT scan tetapi alat ini
membutuhkan biaya yang besar sehingga diagnosis ditegakkan atas dasar
adanya suatu kelumpuhan gejala yang dapat membedakan manifestasi klinis
antara perdarahan infark.7

Pemeriksaan Penunjang

 Kimia darah
 Lumbal punksi
 EEG
 CT scan
 Arteriografi
Pemeriksaan koagulasiharus dikerjakan pada pasien.

I. KOMPLIKASI

o Stroke hemoragik

o Kehilangan fungsi otak permanen

o Efek samping obat-obatan dalam terapi medikasi


J. PENANGANAN PERDARAHAN INTRASEREBRAL

Semua penderita yang dirawat dengan ‟intracerebral hemorrhage‟ harus


mendapat

pengobatan untuk :

1. ”Normalisasi” tekanan darah

2. Pengurangan tekanan intrakranial

3. Pengontrolan terhadap edema serebral

4. Pencegahan kejang.

Hipertensi dapat dikontrol dengan obat, sebaiknya tidak berlebihan


karena adanya beberapa pasien yang tidak menderita hipertensi; hipertensi
terjadi karena cathecholaminergic discharge pada fase permulaan. Lebih lanjut
autoregulasi dari aliran darah otak akan terganggu baik karena hipertensi
kronik maupun oleh tekanan intrakranial yang meninggi. Kontrol
yang berlebihan terhadap tekanan darah akan menyebabkan iskemia pada
miokard, ginjal dan otak.9

Dalam suatu studi retrospektif memeriksa dengan CT-Scan untuk


mengetahui hubungan tekanan darah dan pembesaran hematoma terhadap 79
penderita dengan PISH, mereka menemukan penambahan volume hematoma
pada 16 penderita yang secara bermakna berhubungan dengan tekanan darah
sistolik. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg tampak berhubungan dengan
penambahan volume hematoma dibandingkan dengan tekanan darah sistolik ≤
150 mmHg. Obat-obat anti hipertensi yang dianjurkan adalah dari golongan :9

1. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors

2. Angiotensin Receptor Blockers

3. Calcium Channel Blockers


Tindakan segera terhadap pasien dengan PIS ditujukan langsung
terhadap pengendalian TIK serta mencegah perburukan neurologis berikutnya.
Tindakan medis seperti hiperventilasi, diuretik osmotik dan steroid (bila
perdarahan tumoral) digunakan untuk mengurangi hipertensi intrakranial yang
disebabkan oleh efek massa perdarahan. Sudah dibuktikan bahwa evakuasi
perdarahan yang luas meninggikan survival pada pasien dengan koma,
terutama yang bila dilakukan segera setelah onset perdarahan.

Walau begitu pasien sering tetap dengan defisit neurologis yang


jelas. Pasien memperlihatkan tanda-tanda herniasi unkus memerlukan
evakuasi yang sangat segera dari hematoma. Angiogram memungkinkan untuk
menemukan kelainan vaskuler. Adalah sangat serius untuk memikirkan
pengangkatan PIS yang besar terutama bila ia bersamaan dengan hipertensi
intrakranial yang menetap dan diikuti atau telah terjadi defisit neurologis
walau telah diberikan tindakan medis maksimal.

Adanya hematoma dalam jaringan otak bersamaan dengan adanya


kelainan neurologis memerlukan evakuasi bedah segera sebagai tindakan
terpilih. Beratnya perdarahan inisial menggolongkan pasien ke dalam tiga
kelompok :9,10

1. Perdarahan progresif fatal.

Kebanyakan pasien berada pada keadaan medis buruk. Perubahan


hebat tekanan darah mempengaruhi kemampuan otak untuk mengatur
darahnya, gangguan elektrolit umum terjadi dan pasien sering dehidrasi.
Hipoksia akibat efek serebral dari perdarahan serta obstruksi jalan nafas
memperburuk keadaan. Perburukan dapat diikuti sejak saat perdarahan
dengan bertambahnya tanda-tanda peninggian TIK dan gangguan batang
otak. Pengelolaan inisial pada kasus berat ini adalah medikal dengan
mengontrol tekanan darah ke tingkat yang tepat, memulihkan kelainan
metabolik, mencegah hipoksia dan menurunkan tekanan intrakranial
dengan manitol, steroid ( bila penyebabnya perdarahan tumoral) serta
tindakan hiperventilasi. GCS biasanya kurang dari 6.

2. Kelompok sakit ringan (GCS 13-15).

3. Kelompok intermediet, dimana perdarahan cukup berat untuk


menimbulkan defisit neurologis parah namun tidak cukup untuk
menyebabkan pasien tidak dapat bertahan hidup (GCS 6-12). Tindakan
medikal di atas diberikan hingga ia keluar dari keadaan berbahaya, namun
keadaan neurologis tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Pada
keadaan ini pengangkatan hematoma dilakukan secara bedah.

PENGELOLAAN SECARA MEDIKAL

Penilaian dan Pengelolaan Inisial

Pengelolaan spontan terutama tergantung keadaan klinis pasien


serta etiologi, ukuran serta lokasi perdarahan. Tak peduli apakah tindakan
konservatif atau bedah yang akan dilakukan, penilaian dan tindakan medikal
inisial terhadap pasien adalah sama.

Saat pasien datang atau berkonsultasi, evaluasi dan pengelolaan


awal harus dilakukan bersama tanpa penundaan yang tidak perlu.
Pemeriksaan neurologis inisial dapat dilakukan dalam 10 menit, harus
menyeluruh. Informasi ini untuk memastikan prognosis, juga untuk membuat
rencana tindakan selanjutnya. Pemeriksaan neurologis serial harus dilakukan.

Tindakan standar adalah untuk mempertahankan jalan nafas,


pernafasan, dan sirkulasi. Hipoksia harus ditindak segera untuk mencegah
cedera serebral sekunder akibat iskemia. Pengamatan ketat dan pengaturan
tekanan darah penting baik pada pasien hipertensif maupun nonhipertensif.
Jalur arterial dipasang untuk pemantauan yang sinambung atas tekanan darah.
Setelah PIS, kebanyakan pasien adalah hipertensif. Penting untuk tidak
menurunkan tekanan darah secara berlebihan pada pasien dengan lesi massa
intrakranial dan peninggian TIK, karena secara bersamaan akan menurunkan
tekanan perfusi serebral. Awalnya, usaha dilakukan untuk mempertahankan
tekanan darah sistolik sekitar 160 mmHg pada pasien yang sadar dan sekitar
180 mmHg pada pasien koma, walau nilai ini tidak mutlak dan
akan bervariasi tergantung masing-masing pasien. Pasien dengan hipertensi
berat dan tak terkontrol mungkin diperkenankan untuk mempertahankan
tekanan darah sistoliknya di atas 180 mmHg, namun biasanya di bawah 210
mmHg, untuk mencegah meluasnya perdarahan oleh perdarahan ulang.
Pengelolaan awal hipertensinya, lebih disukai labetalol, suatu antagonis alfa-
1, beta-1 dan beta-2 kompetitif. Drip nitrogliserin mungkin perlu untuk kasus
tertentu.

Gas darah arterial diperiksa untuk menilai oksigenasi dan status


asam-basa. Bila jalan nafas tidak dapat dijamin, atau diduga suatu lesi massa
intrakranial pada pasien koma atau obtundan, dilakukan intubasi
endotrakheal. Cegah pemakaian agen anestetik yang akan meninggikan TIK
seperti oksida nitro. Agen anestetik aksi pendek lebih disukai. Bila diduga ada
peninggian TIK, dilakukan hiperventilasi untuk mempertahankan
PCO2sekitar 25-30 mmHg, dan setelah kateter Foley terpasang,
diberikanmannitol 1,5 g/kg IV. Tindakan ini juga dilakukan pada pasien
dengan perburukan neurologis progresif seperti perburukan hemiparesis,
anisokoria progresif, atau penurunan tingkat kesadaran. Dilakukan
elektrokardiografi, dan denyut nadi dipantau.

Darah diambil saat jalur intravena dipasang. Hitung darah lengkap,


hitung platelet, elektrolit, nitrogen urea darah, creatinin serum, waktu
protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan tes fungsi hati dinilai. Foto
polos dilakukan bila perlu.
Setelah penilaian secara cepat dan stabilisasi pasien, dilakukan CT-
scan kepala tanpa kontras. Sekali diagnosis PIS ditegakkan, pasien dibawa
untuk mendapatkan pemeriksaan radiologis lain yang diperlukan, ke unit
perawatan intensif, kamar operasi atau ke bangsal, tergantung status klinis
pasien, perluasan dan lokasi perdarahan, serta etiologi perdarahan. Sasaran
awal pengelolaan adalah pencegahan perdarahan ulang dan mengurangi efek
massa, sedang tindakan berikutnya diarahkan pada perawatan medikal umum
serta pencegahan komplikasi.9

Pencegahan atas Perdarahan Ulang

Perdarahan ulang jarang pada perdarahan hipertensif. Saat pasien


sampai di dokter, perdarahan aktif biasanya sudah berhenti. Risiko
perdarahan ulang dari AVM dan tumor juga jarang. Tindakan utama yang
dilakukan adalah mengontrol tekanan darah seperti dijelaskan di atas. Pada
perdarahan karena aneurisma yang ruptur, risiko perdarahan ulang lebih
tinggi. Pertahankan tekanan darah 10-20 % di atas tingkat normotensif untuk
mencegah vasospasme, namun cukup rendah untuk menekan risiko
perdarahan. Beberapa menganjurkan asam aminokaproat, suatu agen
antifibrinolitik. Namun manfaat serta indikasinya tetap belum jelas.

Kasus dengan koagulasi abnormal, risiko perdarahan ulang atau


perdarahan yang berlanjut sangat nyata kecuali bila koagulopati dikoreksi.
Pasien dengan kelainan perdarahan lain dikoreksi sesuai dengan penyakitnya.

Mengurangi Efek Massa

Pengurangan efek massa dapat dilakukan secara medikal maupun


bedah. Pasien dengan peninggian TIK dan atau dengan area yang lebih fokal
dari efek massa, usaha nonbedah untuk mengurangi efek massa penting untuk
mencegah iskemia serebral sekunder dan kompresi batang otak yang
mengancam jiwa. Tindakan untuk mengurangi peninggian TIK antara lain :9
1. Elevasi kepala higga 30o untuk mengurangi volume vena intrakranial serta
memperbaiki drainase vena.

2. Manitol intravena (mula-mula 1,5 g/kg bolus, lalu 0,5 g/kg tiap 4-6 jam
untuk mempertahankan osmolalitas serum 295-310 mOsm/L).

3. Restriksi cairan ringan (67-75% dari pemeliharaan) dengan penambahan


bolus cairan koloid bila perlu.

4. Ventrikulostomi dengan pemantauan TIK serta drainase CSS untuk


mempertahankan TIK kurang dari 20 mmHg.

5. Intubasi endotrakheal dan hiperventilasi, mempertahankan PCO2 25-30


mmHg.

Pada pasien sadar dengan efek massa regional akibat PIS,


peninggian kepala, restriksi cairan, dan manitol biasanya memadai. Tindakan
ini dilakukan untuk memperbaiki tekanan perfusi serebral dan mengurangi
cedera iskemik sekunder. Harus ingat bahwa tekanan perfusi serebral adalah
sama dengan tekanan darah arterial rata-rata dikurangi tekanan intrakranial,
hingga tekanan darah sistemik harus dipertahankan pada tingkat normal, atau
lebih disukai sedikit lebih tinggi dari tingkat normal. Diusahakan tekanan
perfusi serebral setidaknya 70 mmHg, bila perlu memakai vasopresor seperti
dopamin intravena atau fenilefrin.

Pasien sadar dipantau dengan pemeriksaan neurologis serial,


pemantauan TIK jarang diperlukan. Pada pasien koma yang tidak sekarat
(moribund), TIK dipantau secara rutin. Disukai ventrikulostomi karena
memungkinkan mengalirkan CSS, karenanya lebih mudah mengontrol TIK.
Perdarahan intraventrikuler menjadi esensial karena sering terjadi hidrosefalus
akibat hilangnya jalur keluar CSS. Lebih disukai pengaliran CSS dengan
ventrikulostomi dibanding hiperventilasi untuk pengontrolan TIK jangka
lama. Pemantauan TIK membantu menilai manfaat tindakan medikal dan
membantu memutuskan apakah intervensi bedah diperlukan.
Pemakaian kortikosteroid untuk mengurangi edema serebral akibat
PIS pernah dilaporkan bermanfaat pada banyak kasus anekdotal. Namun
penelitian menunjukkan bahwa deksametason tidak menunjukkan manfaat, di
samping jelas meningkatkan komplikasi (infeksi dan diabetes). Namun
digunakan deksametason pada perdarahan parenkhimal karena tumor yang
berdarah dimana CT-scan memperlihatkan edema serebral yang berat.

K. PROGNOSIS

Perdarahan yang besar jelas mempunyai morbiditas dan mortalitas


yang tinggi. diperkirakan mortalitas seluruhnya berkisar 26-50%. Mortalitas
secara dramatis meningkat pada perdarahan talamus dan serebelar yang
diameternya lebih dari 3 cm, dan pada perdarahan pons yang lebih dari 1 cm.
Untuk perdarahan lobar mortalitas berkisar dari 6-30 %. Bila volume darah
sesungguhnya yang dihitung (bukan diameter hematomnya), maka mortalitas
kurang dari 10% bila volume darahnya kurang dari 20 mm3 dan 90% bila
volume darahnya lebih dari 60 mm3.

Kondisi neurologik awal setelah terserang perdarahan juga penting


untuk prognosis pasien. Pasien yang kesadarannya menurun mortalitas
meningkat menjadi 63%. Mortalitas juga meningkat pada perdarahan yang
besar dan letaknya dalam, pada fossa posterior atau yang meluas masuk ke
dalam ventrikel. Felmann E mengatakan bahwa 45% pasien meninggal bila
disertai perdarahan intraventrikular. Suatu penilaian dilakukan untuk
memperkirakan mortalitas dalam waktu 30 hari pertama dengan menggunakan
3 variabel pada saat masuk rumah sakit yaitu Glasgow Coma Scale (GCS),
ukuran perdarahan dan tekanan nadi. Perdarahan kecil bila ukurannya kurang
dari satu lobus, sedangkan perdarahan besar bila ukurannya lebih dari satu
lobus. Bila GCS lebih dari 9, perdarahannya kecil, tekanan nadi kurang dari 40
mmHg, maka probabilitas hidupnya dalam waktu 30 hari adalah 98%. Tetapi
bila pasien koma, perdarahannya besar dan tekanan nadinya lebih dari 65
mmHg, maka probabilitas hidupnya dalam waktu 30 hari hanya 8%. Pada PIS
hipertensif jarang terjadi perdarahan ulang.8

PERDARAHAN INTRASEREBRAL SPONTAN

A. Definisi

Perdarahan Intraserebral Spontan adalah perdarahan pada jaringan otak


yang bukan disebabkan oleh trauma kepala ataupun patologi lain seperti tumor,
aneurisma, malformasi arteri vena, kavernoma dan sebagainya. Perdarahan
intraserebral spontan penyebab stroke kedua tersering setelah stroke iskemik).
Estimasi insidensi pada stroke perdarahan berkisar antara 16 sampai 33 kasus per
100.000 kasus stroke

Lokasi tersering terjadinya PIS adalah pada basal ganglia, tepatnya pada
putamen. Arteri yang sering ruptur pada perdarahan intrsebral spontan adalah
arteri lentikulostriata yang merupakan cabang langsung dan arteri serebri media.
Ruptur dan arteri ini akan mengakibatkan perdarahan pada basal ganglia, tepatnya
putamen. Arteri Thalamo-perforata yang merupakan percabangan dan arteri
serebri anterior dan media juga merupakan sumber terjadinya PIS. Ruptur arteri
ini akan mengakibatkan perdarahan thalamus. Arteri lain yang terlibat pada PIS
adalah cabang paramedian dari arteri basilaris, yang mana akan menyebabkan
perdarahan dan pons dan serebelum.

B. Etiologi dan Faktor Risiko


1. Usia
Usia merupakan faktor risiko terbanyak daripada perdarahan
intraserebral. Insidensinya meningkat secara dramatis pada penderita usia
lebih daripada 60 tahun
2. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko yang paling penting dan merupakan
faktor risiko yang dapat dimodifikasi pada perdarahan intraserebral.Penderita
hipertensi yang tidak mendapatkan terapi lebih berat dibandingkan penderita
hipertensi yang mendapatkan terapi. Diantara faktor risiko perdarahan
intraserebral, hipertensi diperkirakan sebagai faktor risiko perdarahan pada
daerah deep hemisfer dan brainstem
3. Cerebral Amyloid Angiopati (CAA)
Cerebral Amyloid Angiopati merupakan faktor risiko yang jarang terjadi
dari perdarahan intraserebral, akan tetapi sekarang menjadi pertimbangan
faktor risiko dari perdarahan intraserebral khususnya perdarahan lobar pada
penderita usia lanjut. Gambaran patologi yang utama adalah deposit protein
amiloid pada media dan adventitia dari arteri leptomeningeal, arteriol,
kapiler dan paling sedikit pada vena. Patogenesis CAA pada perdarahan
intraserebral adalah destruksi pada struktur vaskular yang normal melalui
deposisi amiloid pada media dan adventitia dan rangkaian formasi
aneurisma.
4. Aneurisma dan Malformasi Vaskular
Meskipun rupture aneurisma Berry menjadi penyebab perdarahan
subarakhnoid, akan tetapi perdarahan secara langsung pada parenkim otak
tanpa ekspansi ke subarakhnoid dapat menyebabkan perdarahan
intraserebral. Malformasi vaskular yang berhubungan dengan perdarahan
intraserebral termasuk arterivenousmalformation (AVM), malformasi
kavernosus, dural arteriovenous fistula, malformasi vena dan capillary
telengiactesis (Carhuapoma,2010).
5. Antikoagulan dan Antitrombolitik berhubungan dengan Perdarahan
Intraserebral
Pada beberapa percobaan, warfarin sebagai terapi atrial fibrillasi dan
infark miokard merupakan penyebab terbanyak anticoagulant associated
intracerebral hemorrhage (AAICH)
6. Antiplatelet
Obat antiplatelet kemungkinan dapat meningkatkan risiko
perdarahan intraserebral. Risiko absolute perdarahan intrakranial pada
penderita usia lanjut yang mengkonsumsi aspirin diperkirakan sebanyak 0.2
– 0.3% per tahunnya
7. Cerebral Microbleeds
Dengan menggunakan MRI Gradient Echo untuk mendeteksi lesi yang
kecil, perdarahan asimptomatik pada parenkim otak
(microbleeds).Microbleeds berhubungan dengan stroke iskemik (khususnya
lakunar) dan perdarahan.Microbleeds sering dijumpai pada perdarahan
intraserebral, hal ini terjadi pada 54 – 71% penderita perdarahan
intraserebral
8. Prior Cerebral Infarction
Kejadian stroke iskemik sebelumnya berhubungan dengan peningkatan
risiko perdarahan intraserebral sebanyak 5 – 22 kali lipat. Hubungan yang
kuat antara stroke iskemik dan perdarahan intraserebral adalah keduanya
memiliki faktor risiko yang sama yaitu hipertensi
9. Hipokolesterolemia
Beberapa penjelasan mengenai hubungan kolesterol rendah dengan
perdarahan intraserebral adalah pengurangan agregasi platelet, peningkatan
fragilitas dan vaskularisasi serebral. Sehingga dari hasil penemuan ini,
muncul teori yang berkembang luas bahwa penggunan obat penurun
kolesterol dapat meningkatkan risiko perdarahan intraserebral (Carhuapoma,
2010).
10. . Peminum Alkohol Berat
Peminum alkohol yang berat memiliki implikasi terhadap ekspansi
perdarahan, dimana dihubungkan dengan efek samping dari platelet dan
fungsi hati
11. Pengguna Tembakau
Beberapa studi menyatakan penderita yang baru memulai merokok
memiliki risiko peningkatan kejadian perdarahan intraserebral dibandingkan
perokok lama dan tidak pernah merokok dihubungan dengan dosis merokok
(Carhuapoma, 2010).
C. Gejala Klinis
Gejala klinis dari perdarahan intraserebral adalah kejadian progresif yang
bertahap (dalam waktu menit sampai dengan hari) atau kejadian yang terjadi
secara tiba – tiba dari defisit neurologi fokal biasanya berhubungan dengan
tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti muntah dan penurunan
kesadaran.Kejadian muntah banyak terjadi pada perdarahan intraserebral dan
perdarahan subarakhnoid dibandingkan dengan stroke iskemik. Sebanyak 33%
kasus perdarahan intraserebral mengeluhkan nyeri kepala dan penderita koma
dijumpai sebanyak 24% kasus dibandingkan dengan stroke iskemik dengan
presentasi 0 – 4%
Karakteristik yang utama dari perdarahan intraserebral adalah
perkembangannya yang bertahap pada 63% kasus dan sering mengalami
perburukan dalam waktu 24 jam pertama. Pada tabel 2 dapat dilihat gambaran
klinis dari subtipe stroke (Carhuapoma, 2010). Pada Tabel 3 dapat dilihat
gambaran neurologis berdasarkan lokasi tertentu

D. Diagnosis

Diagnosis perdarahan intraserebral antara lain berdasarkan gejala klinis


kemudian didukung dengan pemeriksaan darah dan imaging (CT dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI) ). Bila terjadi pada fase akut sulit untuk menemukan
penyebab yang mendasari malformasi vaskular, angiografi biasanya dibutuhkan
untuk diagnostik selanjutnya. Penentuan faktor koagulasi diperlukan pada
beberapa penderita (Carhuapoma,2010).
Hasil pemeriksaan CT Scanmembuktikan reliable dalam mendeteksi
perdarahan dengan diameter 1 cm atau lebih. Pada saat bersamaan juga
ditemukan hidrosefalus, tumor, pembengkakan otak.Magnetic Resonance
Imaging (MRI) sangat bermanfaat dalam memperlihatkan perdarahan brainstem
dan sisa perdarahan Hemosiderin dan pigmen besi. Pada gambar 1 dan gambar 2
dapat dilihat gambaran CT Scan perdarahan intraserebral
E. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penderita dengan perdarahan intraserebral yang luas dan


koma antara lain mempertahankan ventilasi yang adekuat, dengan mengkontrol
hiperventilasi mencapai PCO2 25 – 30 mmHg, mengawasi peningkatan tekanan
intrakranial pada beberapa kasus dengan melakukan pemberian cairan Mannitol
(osmolaritas dipertahankan 295 – 305 mosmol/L. Pengurangan secara cepat
tekanan darah dengan harapan dapat mengurangi perdarahan pada otak tidak
dianjurkan, setelah ditemukan adanya risiko perfusi serebral pada kasus
peningkatan tekanan intrakranial
Pada kondisi lain, tekanan darah rata – rata lebih dari 110 mmHg dapat
menimbulkan edema otak dan risiko ekstensi dari penyumbatan. Diperkirakan
pada saat hipertensi akut menggunakan obat beta blocker (esmolol, labetalol),
atau ACE inhibitor dianjurkan. Calcium channel blocking drugs jarang
digunakan dikarenakan laporan efek samping dari tekanan.

2. PERDARAHAN SUBARACHNOID
A. DEFINISI

Pendarahan subarakhnoid ialah suatu kejadian saat adanya darah


pada rongga subarakhnoid yang disebabkan oleh proses patologis.
Perdarahan subarakhnoid ditandai dengan adanya ekstravasasi darah ke
rongga subarakhnoid yaitu rongga antara lapisan dalam (piamater) dan
lapisan tengah (arakhnoid matter) yang merupakan bagian selaput yang
membungkus otak (meninges).Perdarahan subarakhnoid paling umum disebabkan
trauma kepala. SAH keadaan perdarahan non traumatik (atau spontan), umumnya
diakibatkan rupturnya aneurisma serebral atau malformasi arteriovenosa (MAV)

B. ETIOLOGI

Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan subarakhnoid adalah


ruptur aneurisma salah satu arteri di dasar otak dan adanya malformasi
arteriovenosa (MAV). Terdapat beberapa jenis aneurisma yang dapat terbentuk di
arteri otak seperti : 1. Aneurisma sakuler (berry)

Gambar 1. Aneurisma sakular (berry) Aneurisma ini terjadi pada titik bifurkasio
arteri intrakranial.

Lokasi tersering aneurisma sakular adalah arteri komunikans anterior (40%),


bifurkasio arteri serebri media di fisura sylvii (20%), dinding lateral arteri karotis
interna (pada tempat berasalnya arteri oftalmika atau arteri komunikans posterior
30%), dan basilar tip (10%). Aneurisma dapat menimbulkan deficit neurologis
dengan menekan struktur disekitarnya bahkan sebelum rupture. Misalnya,
aneurisma pada arteri komunikans posterior dapat menekan nervus okulomotorius,
menyebabkan paresis saraf kranial ketiga (pasien mengalami dipopia)

2. Aneurisma fusiformis
Gambar 2. Aneurisma fusiformis. Pembesaran pada pembuluh darah yang
berbentuk memanjang disebut aneurisma fusiformis. Aneurisma tersebut
umumnya terjadi pada segmen intracranial arteri karotis interna, trunkus utama
arteri serebri media, dan arteri basilaris.

Aneurisma fusiformis dapat disebabkan oleh aterosklerosis dan/atau hipertensi.


Aneurisma fusiformis yang besar pada arteri basilaris dapat menekan batang otak.
Aliran yang lambat di dalam aneurisma fusiformis dapat mempercepat
pembentukan bekuan intraaneurismal terutama pada sisi-sisinya. Aneurisma ini
biasanya tidak dapat ditangani secara pebedahan saraf, karena merupakan
pembesaran pembuluh darah normal yang memanjang, dibandingkan struktur
patologis (seperti aneurisma sakular) yang tidak memberikan kontribusi pada
suplai darah serebral.

3. Aneurisma mikotik Aneurisma mikotik umumnya ditemukan pada arteri kecil


di otak. Terapinya terdiri dari terapi infeksi yang mendasarinya dikarenakan hal
ini biasa disebabkan oleh infeksi. Aneurisma mikotik kadang-kadang mengalami
regresi spontan; struktur ini jarang menyebabkan perdarahan subarachnoid.3
Malformasi arterivenosa (MAV) adalah anomaly vasuler yang terdiri dari jaringan
pleksiform abnormal tempat arteri dan vena terhubungkan oleh satu atau lebih
fistula. Pada MAV arteri berhubungan langsung dengan vena tanpa melalui
kapiler yang menjadi perantaranya. Pada kejadian ini vena tidak dapat
menampung tekanan darah yang datang langsung dari arteri, akibatnya vena akan
merenggang dan melebar karena langsung menerima aliran darah tambahan
yangberasal dari arteri. pPembuluh darah yang lemah nantinya akan mengalami
ruptur dan berdarah sama halnya seperti yang terjadi paada aneurisma.9 MAV
dikelompokkan menjadi dua, yaitu kongenital dan didapat. MAV yang didapat
terjadi akibat thrombosis sinus, trauma, atau kraniotomi.

C. PATOFISIOLOGI

Aneurisma intrakranial khas terjadi pada titik-titik cabang arteri serebral utama.
Hampir 85% dari aneurisma ditemukan dalam sirkulasi anterior dan 15% dalam
sirkulasi posterior. Secara keseluruhan, tempat yang paling umum adalah arteri
communicans anterior diikuti oleh arteri communicans posterior dan arteri
bifucartio cerebri. Dalam sirkulasi posterior, situs yang paling lebih besar adalah
di bagian atas bifurkasi arteri basilar ke arterie otak posterior.

Gambar 3. Lokasi aneurisma

Pada umumnya aneurisma terjadi pada sekitar 5% dari populasi orang dewasa,
terutama pada wanita. Penyebab pembentukan aneurisma intrakranial dan rupture
tidak dipahami; Namun, diperkirakan bahwa aneurisma intrakranial terbentuk
selama waktu yang relatif singkat dan baik pecah atau mengalami perubahan
sehingga aneurisma yang utuh tetap stabil. Pemeriksaan patologis dari aneurisma
ruptur diperoleh pada otopsi menunjukkan disorganisasi bentuk vaskular normal
dengan hilangnya lamina elastis internal dan kandungan kolagen berkurang.
Sebaliknya, aneurisma yang utuh memiliki hampir dua kali kandungan kolagen
dari dinding arteri normal, sehingga peningkatan ketebalan aneurisma
bertanggung jawab atas stabilitas relatif yang diamati dan untuk resiko rupture
menjadi rendah.4 Meskipun masih terdapat kontroversi mengenai asosiasi ukuran
dan kejadian pecah, 7 mm tampaknya menjadi ukuran minimal pada saat ruptur.
Secara keseluruhan, aneurisma yang ruptur cenderung lebih besar daripada
aneurisma yang tidak rupture.

D. MANIFESTASI KLINIS

Tanda klasik PSA, sehubungan dengan pecahnya aneurisma yang besar,


meliputi:

1. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak,

2. Hilangnya kesadaran,

3. Fotofobia
4. Meningismus,

5. Mual dan muntah.

Sebenarnya, sebelum muncul tanda dan gejala klinis yang hebat dan mendadak
tadi, sudah ada berbagai tanda peringatan yang pada umumnya tidak memperoleh
perhatian sepenuhnya oleh penderita maupun dokter yang merawatnya. Tanda-
tanda peringatan tadi dapat muncul beberapa jam, hari, minggu, atau lebih lama
lagi sebelum terjadinya perdarahan yang hebat.5 Tanda-tanda perigatan dapat
berupa nyeri kepala yang mendadak dan kemudian hilang dengan sendirinya (30-
60%), nyeri kepala disertai mual, nyeri tengkuk dan fotofobia (40-50%), dan
beberapa penderita mengalami serangan seperti “disambar petir”. Sementara itu,
aneurisma yang membesar (sebelum pecah) dapat menimbulkan tanda dan gejala
sebagai berikut : defek medan penglihatan, gangguan gerak bola mata, nyeri
wajah, nyeri orbital, atau nyeri kepala yang terlokalisasi.5 Aneurisma berasal dari
arteri komunikan anterior dapat menimbulkan defek medan penglihatan, disfungsi
endokrin, atau nyeri kepala di daerah frontal. Aneurisma pada arteri karotis
internus dapat menimbulkan paresis okulomotorius, defek medan penglihatan,
penurunan visus, dan nyeri wajah disuatu tempat. Aneurisma pada arteri karotis
internus didalam sinus kavernosus, bila tidak menimbulkan fistula karotiko-
kavernosus, dapat menimbbulkan sindrom sinus kavernosus. 5 Aneurisma pada
arteri serebri media dapat menimbulkan disfasia, kelemahan lengan fokal, atau
rasa baal. Aneurisma pada bifukarsio basiaris dapat menimbulkan paresis
okulomotorius. 5 Hasil pemeriksaan fisik penderita PSA bergantung pada bagian
dan lokasi perdarahan. Pecahnya aneurisma dapat menimbulkan PSA saja atau
kombinasi dengan hematom subdural, intraserebral, atau intraventrikular. Dengan
demikian tanda kklinis dapat bervariasi mulai dari meningismus ringan, nyeri
kepala, sampai defiist neurologis berat dan koma. Semnetara itu, reflek Babinski
positif bilateral.

Disfungsi nervi kraniales dapat terjadi sebagai akibat dari a) kompresi


langsung oleh aneurisma; b) kompresi langsung oleh darah yang keluar dari
pembuluh darah, atau c) meningkatnya TIK. Nervus optikus seringkali terkena
akibat PSA. Pada penderita dengan nyeri kepala mendadak dan terlihat adanya
perdarahan subarachnoid maka hal itu bersifat patognomik untuk PSA.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. CT Scan
Pemeriksaan CT scan tanpa kontras adalah pilihan utama karena sensitivitasnya
tinggi dan mampu menentukan lokasi perdarahan lebih akurat; sensitivitasnya
mendekati 100% jika dilakukan dalam 12 jam pertama setelah serangan tetapi
akan turun pada 1 minggu setelah serangan.

Gambar 4. CT scan Perdarahan Subarakhnoid

2. Pungsi Lumbal

Jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif, langkah diagnostic selanjutnya


adalah pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal sangat penting untuk
menyingkirkan diagnosis banding. Beberapa temuan pungsi lumbal yang
mendukung diagnosis perdarahan subarachnoid adalah adanya eritrosit,
peningkatan tekanan saat pembukaan, dan atau xantokromia. Jumlah eritrosir
meningkat, bahkan perdarahan kecil kurang dari 0,3 mL akan menyebabkan nilai
sekitar 10.000 sel/mL. xantokromia adalah warna kuning yang memperlihatkan
adanya degradasi produk eritrosit, terutama oksihemoglobin dan bilirubin di
cairan serebrospinal.

3. Angiografi

Digital-substraction cerebral angiography merupakan baku emas untuk deteksi


aneurisma serebral, tetapi CT angiografi lebih sering digunakan karena non-
invasif serta sensitivitas dan spesifitasnya lebih tinggi. Evaluasi teliti terhadap
seluruh pembuluh darah harus dilakukan karena sekitar 15% pasien memiliki
aneurisma multiple. Foto radiologic yang negative harus diulang 7-14 hari setelah
onset pertama. Jika evaluasi kedua tidak memperlihatkan aneurisma, MRI harus
dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya malformasi vascular di otak
maupun batang otak.

Adapun parameter klinis yang dapat dijadikan acuan untuk intervensi dan
prognosis pada PSA seperti skala Hunt dan Hess yang bisa digunakan.

Tabel Skala Hunt dan Hess

Selain skala Hunt dan Hess, skor Fisher juga bisa digunakan untuk
mengklasifikasikan perdarahan subarachnoid berdasarkan munculnya darah di
kepala pada pemeriksaan CT scan.

Tabel Skor Fisher


F. PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalakasanaan pertama dari perdarahan subarakhnoid adalah


identifikasi sumber perdarahan dengan kemungkinan bisa diintervensi dengan
pembedahan atau tindakan intravascular lain. Jalan napas harus dijamin aman dan
pemantauan invasive terhadap centralvenous pressure dan atau pulmonary artery
pressure, seperti juga terhadap tekanan darah arteri, harus terus dilakukan. Untuk
mencegah penigkatan tekanan intracranial, manipulasi pasien harus dilakukan
secara hati-hati dan pelan-pelan, dapat diberikan analgesic dan pasien harus
istirahat total.1 PSA yang disertai dengan peningkatan tekanan intracranial harus
diintubasi dan hiperventilasi. Pemberian ventilasi harus diatur untuk mencapai
PCO2 sekitar 30-35 mmHg. Beberapa obat yang dapat diberikan untuk
menurunkan tekanan intracranial seperti:

 Osmotic agents (mannitol) dapat menurunkan tekanan intracranial secara


signifikan (50% dalam 30 menit pemberian).
 Loop diuretics (furosemide) dapat juga menurnukan tekanan intracranial

Setelah itu tujuan selanjutnya adalah pencegahan perdarahan ulang,


pencegahan dan pengendalian vasospasme, serta manajemen komplikasi medis
dan neurologis lainnya. Tekanan darah harus dijaga dalam batas normal dan jika
perlu diberi obat-obat antihipertensi intravena, seperti labetalol dan nikardipin.
Akan tetapi, rekomendasi saat ini menganjurkan penggunaan obat-obat anti
hipertensi pada PSA jikalau MABP diatas 130 mmHg.

G. KOMPLIKASI

Vasospasme dan perdarahan ulang adalah komplikasi paling sering pada


perdarahan subarachnoid. Tanda dan gejala vasospasme dapat berupa status
mental, deficit neurologis fokal. Vasospasme akan menyebabkan iskemia serebral
tertunda dengan dua pola utama, yaitu infark kortikal tunggal dan lesi multiple
luas. 1 Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%. Untuk mengurangi risiko
perdarahan ulang sebelum dilakukan perbaikan aneurisma, tekanan darah harus
dikelola hati-hati dengan diberikan obat fenilefrin, norepinefrin, dan dopamine
(hipotensi), labetalol, esmolol, dan nikardipi (hipertensi). Tekanan darah sistolik
harus dipertahankan >100 mmHg untuk semua pasien selama ±21 hari. Sebelum
ada perbaikan, tekanan darah sistolik harus dipertahankan dibawah 160 mmHg
dan selama ada gejala vasospasme, tekanan darah sistolik akan meningkat sampai
1200- 220 mmHg. Selain vasopasme dan perdarahan ulang, komplikasi lain yang
dapat terjadi adalah hidrosefalus, hiponatremia, hiperglikemia dan epilepsi.

H. PROGNOSIS

Sekitar 10% penderita PSA meninggal sebelum tiba di RS dan 40% meninggal
tanpa sempat membaik sejak awitan. Tingkat mortalitas pada tahun pertama
sekitar 60%. Apabila tidak ada komplikasi dalam 5 tahun pertama sekitar 70%.
Apabila tidak ada intervensi bedah maka sekitar 30% penderita meninggal dalam
2 hari pertama, 50% dalam 2 minggu pertama, dan 60% dalam 2 bulan pertama.
Hal-hal yang dapat memperburuk prognosis dapat dilihat pada tabel Sistem
Ogilvy dan Carter berikut ini.

Tabel Sistem Ogilvy dan Carter.

Besarnya nilai ditentukan oleh jumlah skor Sistem Ogilvy dan Carter, yaitu skor 5
mempunyai prognosis buruk, sedangkan skor 0 mempunyai prognosis lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Goysal, Y. 2010. PENURUNAN KESADARAN, Bagian/SMF Neurologi


Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin RS WS
Makassar.http:/med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-
content/uploads/2016/09/Bahan-Ajar-Kesadaran-Menurun.pdf. (Akses 06 juli
2017).
2. Goysal, Y. 2010. PENURUNAN KESADARAN, Bagian/SMF Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin RS WS
Makassar.http:/med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-
content/uploads/2016/09/Bahan-Ajar-Kesadaran-Menurun.pdf. (Akses 06 juli
2017).
3. Goysal, Y. 2010. PENURUNAN KESADARAN, Bagian/SMF Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin RS WS
Makassar.http:/med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-
content/uploads/2016/09/Bahan-Ajar-Kesadaran-Menurun.pdf. (Akses 06 juli
2017).
4. Moore, Argur. 2007. Anatomy Of Brain. p. 60-62 diakses tgl 7 juli 2017
http://erepo.unud.ac.id/8298/3/9d9825a203a1f153e178908c357b5e41.pdf
5. Brust, J.C.M., 2007, Current Diagnosis & Treatment NEUROLOGY,
International ed, Mc GrawHill, New York.
6. Setyopranoto I. Penatalaksanaan Perdarahan Subarakhnoid. Continuing
Medical Education. 2012;39.
7. PERDOSSI. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gajah Mada
University Pres; 2011.
8. Becske T. Subarachnoid Hemorrhage Treatment & Management. Medscape
Reference Drugs, Disease & Procedures. 2014.
9. Jasmine L. Subarachnoid Hemorrhage. Medline Plus. 2013.
10. Zuccarello M, McMahon N. Arteriovenous Malformation (AVM). Mayfield
Clinic. 2013
11. Wahjoepurmono EJ, Junus J. Tindakan Pembedahan pada Penderita
Aneurisma Intrakranial. 2003;22(2). 11. Yahya RC. Stroke Hemragik -
Defenisi, Penyebaba & Pengobatan Stroke Perdarahan Otak. Jevuska. 2014.

Anda mungkin juga menyukai