Anda di halaman 1dari 31

EFEKTIVITAS BALANCE EXERCISE UNTUK MENURUNKAN RISIKO

JATUH PADA LANSIA DI PSRLU DAN PMP CIPARAY BANDUNG

PROPOSAL SKRIPSI

OLEH :

SITA HAVITA YUNITA

NIM : 88150013

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (S1)

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS BINA SARANA INFORMATIKA BANDUNG

2019

BAB I

PENDAHULUAN
1. 1 LATAR BELAKANG

Lansia (lanjut usia) merupakan seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas berdasarkan
UU No.13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (Infodatin, 2016). Populasi lansia di dunia
dari tahun ke tahun semakin meningkat. Berdasarkan data dari World Population Prospects the 2015
Revision, mengatakan bahwa pada tahun 2015 ada 901 juta’ orang yang berusia 60 tahun atau lebih,
atau sekitar 12% dari jumlah populasi dunia. Diperkirakan pada tahun 2050 mendatang populasi
lansia akan meningkat menjadi lebih dari dua kali lipat yaitu mencapai 2,1 miliar jiwa. Asia
menempati urutan pertama dengan jumlah populasi lansia terbesar, dimana pada tahun 2015
berjumlah 508 juta jiwa, atau sekitar 56% dari total populasi lansia di dunia (Nations, 2015). Populasi
lansia di Indonesia diprediksi meningkat lebih tinggi daripada populasi lansia di dunia setelah tahun
2100. Hasil proyeksi penduduk 2010-2035, Indonesia akan memasuki periode ageing population,
dimana 10% penduduk berusia 60 tahun ke atas (Infodatin, 2016)

Memasuki usia tua akan mengalami kondisi kemunduran fisik yang ditandai dengan
pendengaran yang kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, penurunan kekuatan otot
(gangguan muskuloskeletal) yang mengakibatkan gerakan lambat, dan gerakan tubuh yang tidak
proporsional. Akibat perubahan fisik lansia tersebut, mengakibatkan gangguan mobilitas fisik yang
akan membatasi kemandirian lansia dalam memenuhi aktifitas sehari-hari dan menyebabkan
terjadinya risiko jatuh pada lansia (Stanley, 2016).

Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi resiko jatuh yaitu faktor instrinsik dan ekstrinsik.
Faktor instrinsik meliputi gangguan fisik yang ada pada lansia diantaranya gangguan jantung,
gangguan gerak, gangguan sistem syaraf pusat, gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran.
Sedangkan faktor ekstrinsik meliputi penggunaan alat bantu jalan dan lingkungan sekitar seperti
pengcahayaan yang kurang, dan lantai yang licin (Permata, 2016).

Diantara banyaknya faktor instrinsik yang dapat mempengaruhi risiko jatuh, pada hasil
penelitian yang dilakukan oleh Dwi Agnes, dkk (2017) tentang Analisa Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Risiko Jatuh Pada Lansia yang Tinggal di Rumah menunjukkan bahwa faktor yang
dominan mempengaruhi jatuh yaitu pada lansia yang memiliki gangguan anggota gerak sebanyak
69,8% dan lansia yang memiliki gangguan jantung sebanyak 58,3%.

Jatuh merupakan kegagalan manusia untuk mempertahankan keseimbangan badan untuk


berdiri. Faktor risiko jatuh pada lansia dibagi menjadi dua golongan yaitu faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik. Faktor intrinsik yaitu faktor yang berasal dari dalam tubuh seperti kelemahan otot
ekstremitas bawah, kekuatan sendi, gangguan sensorik. Sedangkan faktor ekstrinsik merupakan
faktor dari luar atau lingkungan sekitar (Darmojo, 2009)

Jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik dan psikologis. Kerusakan
fisik yang yang paling ditakuti dari kejadian jatuh adalah patah tulang panggul. Jenis fraktur lain yang
sering terjadi akibat jatuh adalah fraktur pergelangan tangan, lengan atas dan pelvis serta kerusakan
jaringan lunak. Dampak psikologis adalah walaupun cedera fisik tidak terjadi, syok setelah jatuh dan
rasa takut akan jatuh lagi dapat memiliki banyak konsekuensi termasuk ansietas, hilangnya rasa
percaya diri, pembatasan aktivitas sehari-hari, falafobia atau fobia jatuh yang akibatnya dapat
menyebabkan depresi dan menarik diri (Stanley, 2016).

Berdasarkan survey masyarakat di Amerika Serikat setiap tahun didapatkan sekitar 3 juta
lansia dirawat di departemen gawat darurat akibat jatuh. Separuh dari angka tersebut mengalami
jatuh berulang. Insiden jatuh di masyarakat Amerika Serikat pada umur lebih dari 65 tahun sebanyak
1800 kejadian per-tahun yang menyebabkan kematian (Centres for Disease Control and Prevention, CDC,
2016). Di Indonesia prevalensi cidera jatuh pada penduduk diatas usia 55 tahun mencapai 49,4%
sedangkan pada usia diatas 65 tahun mencapai 67,15% (Kemenkes, RI, 2013)

Ada berbagai intervensi pencegahan jatuh, diantaranya olahraga, modifikasi lingkungan,


intervensi multifaktorial yang mengkombinasikan beberapa intervensi pencegahan jatuh menjadi satu
program terkoordinasi, dan intervensi institusional. Dari semua strategi pencegahan tersebut,
intervensi yang cukup efektif untuk dilakukan adalah intervensi terapi dan olahraga (Chodzko Zajko
dkk, 2009).

Terdapat beberapa latihan yang dapat menurukan risiko jatuh, dua diantaranya yaitu core
stability exercise dan balance exercise. Namun penelitian yang dilakukan oleh Lisda (2018) tentang
perbandingan pengaruh core stability exercise dan balance exercise terhadap penurunan resiko jatuh
pada lansia di Desa Popoh Kabupaten Blitar menyatakan bahwa balance exercise lebih baik dalam
penurunan risiko jatuh pada lansia.

Balance exercise adalah suatu aktivitas fisik yang dilakukan untuk meningkatkan kestabilan
tubuh dengan cara meningkatkan kekuatan otot anggota gerak bawah. Latihan keseimbangan sangat
efektif untuk meningkatkan keseimbangan fungsional dan statis serta mobilitas lansia. Latihan
keseimbangan ini juga akan menurunkan frekuensi jatuh pada lansia (Anto, 2015)

Hasil penelitian yang dilakukan Irawan Danar dan Suratini (2015) tentang Pengaruh Latihan
Keseimbangan terhadap Risiko Jatuh pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Yogyakarta Unit Budi Luhur
Kasongan Bantul mengatakan bahwa hasil uji statistik Wilcoxon menunjukan taraf signifikansi = 0,05
yaitu p=0,000 (< 0,05) yang artinya ada pengaruh latihan keseimbangan terhadap risiko jatuh pada
lansia di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur.

Penelitian yang dilakukan oleh Ronald Sagala (2017) tentang Pengaruh Balance Exercise Terhadap
Keseimbangan dan Kekuatan Otot Lansia dengan Resiko Jatuh di Puskesmas Kolang Kabupaten Tapanuli Tengah,
mengemukakan bahwa hasil uji t-test didapatkan perbedaan perubahan keseimbangan sebelum dan
setelah diberikan balance exercise secara teratur pada kelompok intervensi terdapat peningkatan rerata
sebanyak -9,429 (eta squared=0,51) dengan nilai p=0,003. Hal ini menunjukan ada pengaruh balance
exercise terhadap keseimbangan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Devinder, dkk (2012) berbanding terbalik dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ronald dan Sofia, dimana tidak ada pengaruh balance exercise terhadap
penurunan risiko jatuh pada lansia.

Hasil survey yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 16 April 2016 di PSRLU & PMP
Ciparay Bandung, terdapat 150 lansia yang terdiri dari 64 laki-laki dan 86 perempuan. Berdasarkan
data yang didapat dari perawat di panti tersebut terdapat 60 lansia yang memiliki risiko jatuh rendah,
22 lansia risiko jatuh sedang dan 13 lansia memiliki risiko jatuh tinggi. Sedangkan 55 lansia lainnya
merupakan lansia ruang rawat khusus yang tidak dapat beraktivitas seperti lansia lainnya.

Berdasarkan data dan fakta di atas, mengingat dampak yang dapat terjadi pada lansia yang
jatuh serta mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi resiko jatuh pada lansia dan
pengaruh latihan fisik yang dapat mengurangi risiko jatuh pada lansia, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian tentang Efektivitas Balance Exercise untuk menurunkan risiko jatuh pada lansia di
Panti Sosial Rehabilitasi Lanjut Usia dan Pemeliharaan Taman Makam Pahlawan Ciparay Bandung.

1. 2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah penelitian “Apakah
Balance Exercise efektif untuk menurunkan risiko jatuh pada lansia di Panti Sosial Rehabilitasi Lanjut
Usia dan Pemeliharaan Taman Makam Pahlawan Ciparay Bandung.?”.

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1.3.1 Tujuan Umum


Tujuan umum dari penelitian adalah mengetahui Efektivitas Balance Exercise untuk
menurunkan risiko jatuh pada lansia di Panti Sosial Rehabilitasi Lanjut Usia dan Pemeliharaan
Taman Makam Pahlawan Ciparay Bandung.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui derajat risiko jatuh pada lansia sebelum diberikan intervensi balance
exercise.
2. Untuk mengetahui derajat risiko jatuh pada lansia setelah diberikan intervensi balance exercise.
3. Untuk mengetahui perbedaan derajat risiko jatuh antara lansia yang diberikan intervensi
balance exercise dengan lansia yang tidak diberikan intervensi balance exercise.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

1.4.1 Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang balance exercise pada lansia yang
memiliki risiko jatuh di wilayah Panti Sosial Rehabilitasi Lanjut Usia dan Pemeliharaan Taman
Makam Pahlawan Ciparay Bandung. Sehingga angka kejadian jatuh dapat menurun.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Manfaat Bagi Tempat Penelitian

Hasil penelitian dapat meningkatkan pengetahuan, menambah wawasan petugas dalam

mengelola lansia khususnya lansia yang mempunyai risiko jatuh.

2. Manfaat Bagi Institusi

Dapat digunakan sebagai sarana sumber informasi bagi mahasiswa untuk melakukan

penyuluhan tentang pencegahan resiko jatuh pada lansia.

3. Manfaat Bagi Peneliti Berikutnya

Dapat digunakan sebagai data dasar peneliti berikutnya mengenai hal yang berkaitan dengan

balance exercise terhadap keseimbangan pada lansia dengan risiko jatuh.


4. Manfaat Bagi Responden

Meningkatkan informasi tentang balance exercise agar responden dapat mempraktikannya di

panti secara mandiri.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. KONSEP LANSIA

2.1.1. PENGERTIAN LANSIA


Lansia dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Menurut
UU No. 13/Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia disebutkan bahwa lansia adalah seseorang
yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Infodatin, 2016).

Lanjut Usia menurut World Health Organization (Who, 2015) adalah seseorang yang usia nya
mencapai 60 tahun keatas. Sutikno, 2015 mengemukakan lansia adalah kelompok usia yang sensitif
mengalami perubahan yang diakibatkan proses penuaan. Proses penuaan tersebut akan
mengakibatkan perubahan-perubahan pada lansia, salah satu permasalahannya adalah perubahan
fisiologis yang akan berdampak pada masalah psikologi (kesehatan mental).

2.1.2. BATASAN-BATASAN LANSIA


DEPKES RI (2009) batasan lansia terbagi dalam 3 kelompok :

1. Virilitas (prasenium) yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan kematangan jiwa
(usia 55-59 tahun).
2. Usia lanjut dini (senescen) yaitu kelompok yang mulai memasuki masa usia lanjut dini (usia
60-64 tahun).
3. Lansia risiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif (usia >65 tahun).

Menurut WHO, terdapat 4 tahap lansia yaitu :

1. Usia pertengahan (middle age) (45-59 tahun)


2. Lanjut Usia (elderly) (60-74 tahun)
3. Lanjut usia tua (old) (75-90 tahun)
4. Usia sangat tua (very old) (di atas 90 tahun)

Menurut Prof. Dr. Koesmato Setyonegoro masa lanjut usia (geriatric age) dibagi menjadi 3
kriteria, yaitu young old dari umur 70-75 tahun, old dari umur 75-80 tahun dan very old 80 tahun keatas.
2.1.3. KONSEP MENUA

A. DEFINISI MENUA

Menurut Rahayuni, Utami dan Swedarma (2015) proses menua adalah proses biologis yang
tidak dapat dihindari oleh setiap individu, berjalan terus menerus dan berkesinambungan. Proses
menua merupakan proses perubahan yang terjadi, perubahan tersebut berupa penurunan fisik,
mental, psikososial, dan perubahan peran sosial pada lansia. Menua atau menjadi tua adalah suatu
keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup,
tidak hanya dimulai pada satu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan (Dewi, 2014)

B. TEORI MENUA

Maryam (2008) dalam Dewi (2014), mengatakan bahwa ada 3 teori yang berkaitan dengan
penuaan yaitu teori biologi, teori psikologi, dan teori sosial.

1) Teori biologi

Teori ini antara lain teori genetik dan mutasi, immunology slow theory, teori stres, teori radikal bebas
dan teori rantai silang.

a) Teori Genetik dan Mutasi

Menua adalah sesuatu yang telah terperogram secara genetik pada spesies-spesies tertent u. Menua
terjadi dari sebuah akibat biokimia yang telah diprogram oleh molekul-molekul DNA dan setiap sel
yang akan mengalami mutasi.

b) Immunology Slow Theory

Menua merupakan akibat dari sistem imun yang menjadi efektif dengan bertambahnya usia virus
masuk ketubuh yang menyebabkan kerusakan organ.

c) Teori Stress

Menua merupakan akibat dari hilangnya sel-sel yang biasanya digunakan oleh tubuh. Regenerasi
jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan pada dalam tubuh, kelebihan usaha dan stress dapat
menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.

d) Teori Radikal Bebas

Radikal bebas mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organik seperti kabohidrat dan protein.
Ini mengakibatkan sel-sel tidak dapat beregenerasi.
e) Teori Rantai Silang

Reaksi kimia sel-sel yang tua menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Hal ini
menyebabkan kurangnya elastisitas dan hilangnya fungsi sel.

2) Teori Psikolog

Proses menua terjadi seiring waktu secara alamaiah seiring bertambahnya usia. Perubahan psikolog
yang terjadi dapat dihubungkan dengan keadaan mental dan keadaan fungsional. Adanya proses
penurunan intelektualitas seperti persepsi, kemampuan kognitif, memori dan belajar pada usia lanjut
menyebabkan lansia sulit untuk dipahami dan diajak berinteraksi.

3) Teori Sosial

Teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan ada 6 teori yaitu:

a) Teori Interaksi Sosial

Lansia mengalami penurunan kekuasaan dan prestisennya, sehingga interaksi sosial mereka juga
berkurang, yang ada pada usia tersebut hanya harga diri dan kemampuan mereka untuk mengikuti
perintah.

b) Teori Penarikan Diri

Proses menua terjadi jika lansia mulai menarikan diri dari kegiatan-kegiatan terdahulu dan dapat
merusak diri pada persoalan pribadi dan mempersiapkan diri pada kematian.

c) Teori Aktivitas

Lansia akan beranggapan bahwa menua adalah suatu perjuangan untuk menjadi tetap muda dan
berusaha untuk mempertahankan aktivitas pada masa mudanya.

d) Teori Berkesinambungan

Adanya hubungan dalam siklus lansia. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan suatu
gambaran kelak pada saat dia berusia tua.

e) Teori Perkembangan

Proses menua merupakan suatu tantangan bagi lansia dan bagaimana jawaban tantangan yang
dihadapi lansia tersebut yang dapat bernilai positif atau negatif.
f) Teori Strafikasi Usia

Wiley (1971) dalam Maryam, Ekasari, Rosidawanti, Jubaedi & Batubara (2008) mengatakan bahwa
menyusun stratifikasi usia berdasarkan usia kronolgis hubungan individu dengan alam semesta dan
persepsi indvidu dengan arti kehidupan.

2.1.4 PERUBAHAN SISTEM ORGAN TUBUH AKIBAT PROSES MENUA


Perubahan organ akibat proses menua dijelaskan sesuai sistem organ tubuh. Kata “fungsi”
mengarah pada kemampuan lansia untuk melakukan aktivitas sehari-hari (ADL) dan aktivitas sehari-
hari independen (IADL) yang berpengaruh terhadap kualitas kehidupan individu lansia. Ketika lansia
mengalami perubahan akibat proses menua, fungsi independen lansia akan mengalami gangguan
(Dewi, 2014)

A. SISTEM CARDIOVASKULAR

Sistem kardiovaskular mengalami penurunan efisiensi sejalan dengan proses menua. Namun
karena kebutuhan oksigen lansia saat beristirahat ataupun beraktivitas lebih sedikit, banyak lansia
yang mampu mengkompensasi perubahan pada sistem sirkulasi ini. Namun, tingginya insiden
penyakit kardiovaskuler pada populasi lansia membuatnya sulit untuk dibedakan antara proses menua
ataupun penyakit. Saat ini penyakit jantung tidak lagi menjadi penyebab kematian nomor satu sejak
empat dekade silam. Saat ini para lansia umumnya telah memahami cara merawat kesehatannya
sehingga kondisi kardiovaskularnya pun membaik.

Perubahan yang terjadi akibat proses menua

1. Jantung

- Kekuatan otot menurun


- Katup jantung mengalami penebalan dan menjadi lebih kaku
- Nodul sinoatrial yang bertanggung jawab terhadap kelistrikan jantung menjadi kurang
efektif dalam menjalankan tugasnya dan impuls yang dihasilkan melemah.

2. Pembuluh darah

- Dinding arteri menjadi kurang elastis


- Dinding kapiler menebal sehingga menyebabkan melambatnya pertukaran antara nutrisi
dan zat sisa metabolisme antara sel dan darah
- Dinding pembuluh darah yang semakin kaku akan meningkatkan tekanan darah sistolik
maupun diastolik

3. Darah

- Volume darah menurun sejalan penurunan volume cairan tubuh akibat proses menua
- Aktivitas sumsum tulang mengalami penurunan sehingga terjadi penurunan jumlah sel
darah merah, kadar hematokrit dan kadar hemoglobin
- Kontraksi jantung melemah, volume darah yang dipompa menurun, dan cardiac output
mengalami penurunan sekitar 1% pertahun dari volume cardiac output orang dewasa
normal sebesar 5 liter.

B. SISTEM PERNAFASAN

Proses menua memberikan pengaruh minimal terhadap fungsi respirasi. Perubahan fungsi
respirasi akibat proses menua terjadi secara bertahap sehingga umumnya lansia sudah dapat
mengkompensasi perubahan yang terjadi.

Perubahan yang terjadi akibat proses menua :

1. Cavum thorax

- Cavum thorax menjadi kaku seiring dengan proses klasifikasi kartilago


- vertebrae thorakalis mengalami pemendekan, dan osteoporosis menyebabkan postur bungkuk
yang akan menurunkan ekspansi paru dan membatasi pergerakan thorax

2. Otot Bantu pernafasan

- Otot abdomen melemah sehingga menurunkan usaha nafas baik inspirasi atau ekspirasi

3. Perubahan intrapulmonal

- Daya recoil paru semakin menurun seiring pertambahan usia


- Alveoli melebar dan menjadi lebih tipis, dan walaupun jumlahnya konstan, jumlah alveoli
yang berfungsi menurun secara keseluruhan
- Peningkatan ketebalan membran alveoli-kapiler, menurunkan area permukaan fungsional
untuk terjadinya pertukaran gas
Perubahan struktural pada sistem respirasi berpengaruh terhadap jumlah aliran udara yang
mengalir dari dan ke dalam paru, demikian pula pertukaran gas di tingkat alveolar. Dengan adanya
penurunan daya elastisitas recoil, maka volume residu meningkat. Artinya pada basis paru terjadi
respirasi minimal yang mengakibatkan peningkatan sisa udara dan sekresi yang tertinggal di paru.
Pola nafas lansia yang dalam, sekunder akibat perubahan postur, berkontribusi terhadap penurunan
aliran udara. Penurunan kekuatan otot dada berkontribusi terhadap menurunnya kemampuan batuk
efektif sehingga lansia semakin beresiko mengalami pneumonia. Pola nafas dalam juga berpengaruh
terhadap pertukaran gas (Dewi, 2014).

C. SISTEM MUSKULOSKELETAL

Pada proses menua akan mengakibatkan perusakan dan pembentukan tulang melambat. Hal
ini terjadi karena penurunan hormon esterogen pada wanita, vitamin D dan beberapa hormon lain.
Tulang-tulang trabekulae menjadi lebih berongga, mikro-arsitektur berubah dan sering patah, baik
akibat benturan ringan maupun spontan (Sunaryo et al, 2016).

1. Stuktur Tulang

- Penurunan massa tulang menyebabkan tulang menjadi rapuh dan lemah


- Columna vertebralis mengalami kompresi sehingga menyebabkan penurunan tinggi badan

2. Kekuatan otot

- Regenarasi jaringan otot berjalan lambat dan massa otot berkurang


- Otot lengan dan betis mengecil dan bergelimbir
- Seiring dengan inaktivitas otot kehilangan fleksibilitas dan ketahanannya

3. Sendi

- Keterbatasan rentang gerak


- Kartilago menipis sehingga sendi menjadi kaku, nyeri dan mengalami inflamasi

Penurunan massa otot merupakan proses gradual, dan mayoritas lansia dapat beradaptasi
dengan keadaan ini. Aktivitas olahraga telah terbukti mampu menurunkan laju pengoroposan tulang,
meningkatkan kekuatan otot, meningkatkan flesibilitas dan koordinasi otot. Sebaliknya, inaktivitas
dan gaya hidup sedentari dapat menurunkan ukuran dan kekuatan otot. Penurunan kekuatan otot
dan densitas tulang menyebabkan osteoporosis, tulang keropos dan rapuh sehingga beresiko
mengalami fraktur. Hal ini terjadi karena defisiensi estrogen dan penurunan kadar kalsium dalam
darah. Perubahan yang disebabkan oleh osteoporosis, menurunnya pergerakan sendi, serta
menurunnya kekuatan dan ketahanan otot dapat berpengaruh terhadap kemampuan fungsional
lansia. Program latihan efektif dibarengi dengan intake nutrisi adekuat dan pandangan hidup sehat
mandiri dan aktif dapat memperlambat proses penuaan pada lansia (Dewi, 2014).

D. SISTEM INTEGUMEN

penuaan yang terjadi pada lansia akan mengakibatkan perubahan kolagen dan penurunan
jaringan elastis, sehingga penampilan lansia akan terlihat keriput. Penurunan kelejar eksokrin,
aktivitas eksokrin dan kelenjar sebasea akan mengakibatkan tekstur kulit kering. Degenerasi
menyeluruh jaringan penyambung, disertai penurunan cairan tubuh total, menimbulkan penurunan
turgor kulit. Massa lemak bebas berkurang 6,3% BB per dekade dengan penambahan massa lemak
2% dekade. Massa air berkurang 2,5% per dekade (Sunaryo et al, 2016).

1. Kulit

- Elastisitas kulit menurun, sehingga kulit berkerut dan kering


- kulit menipis sehingga fungsi kulit sebagai pelindung bagi pembuluh darah yang terletak
di bawahnya berkurang
- Lemak subkutan menipis
- Penumpukkan melanosit, mnyebabkan terbentuknya pigmentasi yang dikenal sebagai
“aged spot”

2. Rambut

- Aktivitas folikel rambut menurun sehingga rambut menipis


- Penurunan melanin sehingga terjadi perubahan warna rambut

3. Kuku

- Penurunan aliran darah ke kuku menyebabkan bantalan kuku menjadi tebal, keras dan
rapuh dengan garis longitudinal

4. Kelenjar Keringat

- Terjadi penurunan ukuran dan jumlah


Kulit merupakan pertahanan pertama terhadap invasi mikrobakteri. Kekeringan dan
penurunan elastisitas kulit meningkatkan resiko gangguan integritas kulit yang berpotensi
menimbulkan cedera dan infeksi. Perubahan sistem integumen akibat proses menua mempengaruhi
mekanisme pertahanan tubuh, regulasi suhu tubuh, dan juga mempengaruhi persepsi seseorang
tentang proses menua (Dewi, 2014).

E. SISTEM GASTROINTESTINAL

Perubahan yang terjadi pada sistem gastrointestinal, meskipun bukan kondisi yang
mengancam nyawa, namun tetap menjadi perhatian utama bagi para lansia.

1. Cavum Oris

- Reabsorbsi tulang bagian rahang dapat menyebabkan tanggalnya gigi sehingga


menurunkan kemampuan mengunyah
- Lansia yang mengenakan gigi palsu harus mengecek ketepatan posisinya

2. Esofagus

- Refleks telan melemah sehingga meningkatkan resiko aspirasi


- Melemahnya otot halus sehingga memperlambat waktu pengosongan

3. Lambung

- Penurunan sekresi asam lambung menyebabkan gangguan absorbsi besi, vitamin B12,
dan protein

4. Instestinum

- Peristaltik menurun
- Melemahnya peristaltik usus menyebabkan inkompetensi pengosongan bowel

Menurunnya peristaltik usus disertai hilangnya tonus otot lambung menyebabkan


pengosongan lambung menurun sehingga lansia akan merasa penuh setelah menkonsumsi makanan
meski dalam jumlah sedikit. Pengosongan lambung yang melambat dan penurunan sekresi asam
lambung dapat menyebabkan indigesti, ketidaknyamanan dan penurunan nafsu makan. Penurunan
peristaltik usus juga memperlambat waktu transit di kolon, sehingga absorbsi air meningkat dan feses
mengeras (Dewi, 2014).
F. SISTEM GENITOURINARIA

Perubahan fisiologi, pada ginjal, bladder, uretra dan sistem nervus sehingga dapat menganggu
kemampuan dalam mengontrol berkemih yang mengakibatkan inkontinensia dan akan memiliki
konsekoensi yang lebih jauh (Sunaryo et al, 2016). Perubahan sistem genitourinaria mempengaruhi
fungsi dasar tubuh dalam BAK dan penampilan seksual. Kepercayaan yang dipegang masyarakat
bahwa masalah pada sistem genitourinaria merupakan hal yang wajar seiring pertambahan usia.
Akibatnya ketika terjadi masalah pada sistem ini lanjut usia terlambat mencari pertolongan (Dewi,
2014)

1. Fungsi ginjal

- Aliran darah ke ginjal menurun karena penurunan cardiac output dan laju filtrasi glomerulus
menurun
- Terjadi gangguan dalam kemampuan mengkonsentrasikan urine

2. Kandung kemih

- Tonus otot menghilang dan terjadi gangguan pengosongan kandung kemih


- penurunan kapasitas kandung kemih

3. Miksi

- Pada pria, dapat terjadi peningkatan frekuensi miksi akibat pembesaran prostat
- Pada wanita, peningkatan frekuensi miksi dapat terjadi karena melemahnya otot perineal

4. Reproduksi Wanita

- Terjadi atrofi vulva


- Penurunan jumlah rambut pubis
- Sekresi vaginal menurun, dinding vagina menjadi tipis dan kurang elastik

5. Reproduksi Pria

- Ukuran testis mengecil


- Ukuran prostat membesar

Meski terjadi penurunan aliran darah ke ginjal dan terjadi penurunan massa ginjal, selama
tidak terjadi suatu penyakit maka sistem genitourinaria masih dapat berfungsi dengan baik.
G. PERUBAHAN SISTEM PERSARAFAN

Perubahan pada sistem saraf mempengaruhi semua sistem tubuh termasuk sistem vaskuler,
mobilitas, koordinasi, aktivitas visual dan kemampuan kognitif.

1. Neuron

- Terjadi penurunan jumlah neuron di otak dan batang otak


- Sintesa dan metabolisme neuron berkurang
- Massa otak berkurang secara progresif

2. Pergerakan

- Sensasi kinetik berkurang


- Gangguan keseimbangan
- Penurunan reaction time

3. Tidur

- Dapat terjadi insomnia dan mudah terbangun di malam hari


- Tidur dalam (tahap IV) dan tidur REM berkurang

Seiring dengan penurunan efisiensi kerja neuron, reaction time akan melambat dan kemampuan
untuk berespon terhadap stimulus menjadi lambat. Lansia beresiko mengalami jatuh karena reaction
time dalam mempertahankan keseimbangan menurun dan mengalami reaksi hipotensisekunder
akibat penurunan volume darah. Keluhan berupa gejala pusing, kepala berputar, dan vertigo juga turut
mempengaruhi keseimbangan lansia (Dewi, 2014)

H. SISTEM SENSORI

Sistem sensori seperti penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman, dan perasa


memfasilitasi komunikasi manusia dengan lingkungan sekitarnya. Penurunan fungsi organ sensori
mempengaruhi kemampuan dan kualitas hidup lansia (Dewi. 2014)

1. Penglihatan

- Penurunan kemampuan memfokuskan objek dekat


- terjadi peningkatan densitas lensa, dan akumulasi lemak di sekitar iris, menimbulkan adanya
cincin kuning keabu-abuan
- Produksi air mata menurun
- Penurunan ukuran pupil dan penurunan sensitivitas pada cahaya
- Kemampuan melihat di malam hari menurun, iris kehilangan pigmen sehingga bola mata
berwarna biru muda dan abu-abuan

2. Pendengaran

- Penurunan kemampuan untuk mendengarkan suara berfrekuensi tinggi


- Serumen mengandung banyak keratin sehingga mengeras

3. Perasa

- Penurunan kemampuan untuk merasakan rasa pahit, asin, dan asam

4. Peraba

- Penurunan kemampuan untuk merasakan nyeri ringan dan perubahan suhu

Peubahan pada indera penglihatan lansia, mempengaruhi kebutuhan ADLnya. Lansia


membutuhkan kacamata untuk membantu mereka melaksanakan ADL. Pada lansia, adaptasi
terhadap gelap dan terang membutuhkan waktu lebih lama sehingga aktivitas ringan seperti keluar
masuk kamar mandi pada malam hari mengakibatkan resiko jatuh pada lansia. Kemampuan
mendengar juga berkurang, terutama pada suara bernada tinggi. Perubahan fungsi sensori
berpengaruh pada kemampuan fungsional lansia (Dewi, 2014)

I. Perubahan Pada Sistem Endokrin

Perubahan yang terjadi pada sisten endokrin karena proses menua adalah sebagai berikut.
Pertama, kadar glukosa darah meningkat sehingga glukosa darah puasa 140 mg/dl dianggap normal.
Kedua, ambang batas ginjal untuk glukosa meningkat sehingga kadar glukosa darah 2 jam PP 1400200
mg/dl dianggap normal. Ketiga, residu urin di dalam kandung kemih meningkat sehingga pemantauan
glukosa urin tidak dapat diandalkan. Keempat, kelenjar tiroad menjadi lebih kecil, produksi T3 dan T4
sedikit menurun dan waktu paruh T3 dan T4 meningkat sehingga serum T3 dan T4 tetap stabil
(Sunaryo et al, 2016).
2.2 RESIKO JATUH PADA LANSIA

2.2.1 Definisi
Jatuh merupakan kegagalan manusia untuk mempertahankan keseimbangan badan untuk
berdiri. Faktor risiko jatuh pada lansia dibagi menjadi dua golongan yaitu faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik. Faktor intrinsik yaitu faktor yang berasal dari dalam tubuh seperti kelemahan otot
ekstremitas bawah, kekuatan sendi, gangguan sensorik. Sedangkan faktor ekstrinsik merupakan
faktor dari luar atau lingkungan sekitar (Darmojo, 2009). Jatuh adalah kejadian yang dilaporkan
penderita atau saksi mata, yang melihat kejadian mengakibatkan seseorang mendadak terbaring atau
terduduk di lantai atau tempat yang lebh rendah atautanpa kehilangan kesadaran atau luka
(Maryam,2010).

Jatuh merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada lansia. Lebih dari sepertiga
lansia yang berusia 65 tahun dan 50% dari lansia mengalami jatuh yang berulang. Jatuh sangat
berhubungan dengan pola jalan. Pola jalan dipengaruhi oleh komponen-komponen jaringan syaraf
yang baik antara lain sistem ganglia kortikal-basal, struktur muskuloskletal yang baik dan sistem sensorik.
Komponen-komponen ini sangat mempengaruhi mencegah resiko jatuh dan mempertahankan gaya
berjalan.Seiring bertambahkan usia, banyak perubahan yang terjadi pada gaya berjalan akibat
penuaan, seperti penurunan kecepatan berjalan, panjang langkah dan penurunan kekuatan anggota
gerak bawah. Perubahan sangat terlihat, ketika lansia berjalan ditempat yang tidak rata (Ama, 2011).

Menurut Ko, Jung & Jeong, 2014 kejadian jatuh merupakan salah satu kecelakaan yang
terjadi pada lansia, yang disebabkan oleh gangguan kekukatan otot, proprioseptif dan kordinasi
tubuh karena proses penuaan. Lansia tidak memiliki kapasitas untuk menghadapi sebuah rintangan
dan cenderung tersandung yang disebabkan oleh faktor lingkungan yang sering dijumpai seperti
kusen pintu, lantai yang kasar dan permukaan lantai yang tidak rata. Pada masyarakat setempat, 33%
lansia mengalami penurunan jatuh dengan 42,2% mengalami sakit akibat jatuh.

Lansia yang mengalami riwayat kejadian jatuh akan memiliki trauma sendiri yang berakibat
berupa sikap seperti ketakutan akan terjatuh, depresi dan suka gelisah yang berdampak pada
penurunan aktivitas fungsional pada lansia. Pengalaman negatif ini mengakibatkan lansia
berkurangnya kapasitas fisik dalam hal kekuatan otot, fleksibilitas tubuh dan koordinasi, dampak dari
hal ini adalah lansia mengalami peningkatan resiko jatuh yang tinggi (Ko, Jung & Jeong, 2014).

2.2.2. Faktor Resiko


Faktor resiko jatuh yang paling besar adalah gangguan penglihatan seperti penggunaan
kacamata yang tidak tepat, penggunaan obat psikoatif, gangguan pola jalan dan gangguan
keseimbangan, akibat berat badan. Faktor lingkungan yang mengakibatkan kejadian jatuh adalah
permukaan yang licin, lantai yang tidak rata, penerangan yang buruk, karpet yang longgar, barang
funiture yang tidak tertata rapi dan hambatan yang ada pada lantai yang dapat memicu jatuh. Asih &
Tambunan, 2015 mengatakan kejadian jatuh adalah masalah yang sering tidak dipedulikan oleh
masyarakat luas. Ada dua faktor yang menyebabkan resiko jatuh antara lain :

a. Faktor Intrinsik

Faktor interinsik adalah faktor yang berasal dari dalam lansia itu sendiri (Marks, 2014). Dewi,
2014 mengatakan faktor interinsik berhubungan dengan kelemahan fisik dan kesehatan yang
memburuk seperti kelemahan otot, gangguan keseimbangan atau gangguan berjalan, kognitif
menurun, menurunnya sistem neuromuskular, penurunan penglihatan dan infeksi. Pada lansia yang
memiliki banyak penurunan fisiologi tubuh terutama yang berpengaruh pada pengontrol
keseimbangan seperti penurunan kekuatan otot, perubahan posture, kadar lemak yang menumpuk
pada daerah tertentu, penurunan proprioceptive dan penurunan visual. Jika hal itu terjadi kontrol
keseimbangan akan turun dan dapat meningkatkan resiko jatuh pada lansia. Ketika otot-otot yang
berperan dalam keseimbangan tubuh tersebut bekerjasama untuk membentuk kekuatan yang
bertujuan untuk mempertahankan posisi badan sesuai dengan aligment tubuh simetri agar lebih
stabil merupakan gerak yang efektif dan efesien sehingga dapat mengurangi resiko jatuh dan cedera
(Munawarah dan Nindya, 2015).

b. Faktor Ekstrinsik

Dewi, 2014 mengatakan faktor ekstrinsik merupakan hubungan keseharian gaya hidup dan
tingkat bahaya lingkungan, pencahayaan yang kurang dan penempatan perabotan yang tidat tepat.
Akibatnya lansia akan merasa ketakutan akan jatuh lagi dan memilih untuk berada di atas tempat
tidur. Perilaku seperti ini akan menurukan status fungsional dan meningkatnya ketergantungan dalam
pelaksanaan Activity Daily Living (ADL). Faktor ekstrinsik mempengaruhi 50% kejadian jatuh pada
lansia.
2.2.3. Pemeriksaan Resiko Jatuh
Matarese & Ivziku 2016 mengatakan pemeriksaan resiko jatuh pada lansia adalah upaya
pertama untuk mengurangi resiko jatuh. Sebagian besar untuk program pencegahan resiko jatuh
membutuhkan alat yang digunakan untuk menilai resiko jatuh. Alat yang dibutuhkan adalah berupa
kuesioner dan penelitian. Salah satu alat atau skala yang digunakan dalam pemeriksaan resiko jatuh
adalah morse fall scale(MFS). Pencegahan jatuh dengan metode MFS di buat untuk untuk
menciptakan lingkungan yang bebas dari bahaya yaitu mengorientasikan pasien terhadap lingkungan
dan intruksi penggunaan alat bantu jalan (Dessy, Harmayety & Widyawati, 2013)
No Pengkajian Bobot nilai

1 Riwayat Jatuh : Apakah anda pernah jatuh Tidak (0)


dalam 3 – 6 bulan terakhir?
Ya (25)

2 Diagnosa Sekunder : Apakah anda memiliki Tidak (0)


lebih dari satu penyakit?
Ya (15)

3 Terapi Intravena : Apakah saat ini anda Tidak (0)


terpasang infus?
Ya (15)

4 Alat bantu jalan : Apakah anda a. 0


menggunakan alat bantu jalan?
b. 10
a. Bedrest dibantu perawat
c. 15
b. Kruk atau tongkat walker

c. berpegangan pada benda-benda sekitar


(kursi, lemari, meja dan dinding)

5 Gaya berjalan atau cara berpindah : Apakah a. 0


anda berjalan?
b. 10
a. Normal atau bedrest. Imobile (tidak dapat
c. 20
berjalan sendiri)

b. Lemah (tidak bertenaga)

c. Gangguan atau tidak normal


(pincang/diseret)

6 Status mental : Apakah anda mengalami a. 0


gangguan status mental?
b. 15
a. apakah anda menyadari kondisi anda
sendiri?
b. apakah anda mengalami keterbatasan daya
ingat?

Total penilaian

Keterangan :

Nilai 0-24 : Tidak berisiko jatuh

Nilai 25-50 : Risiko jatuh rendah

Nilai >50 : Risiko tinggi jatuh

2.2.4 Pencegahan Jatuh

Upaya pencegahan perlu dilakukan untuk meminimalisir kejadian jatuh pada


lansia. terdapat tiga usaha pokok pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya jatuh pada lansia, yaitu mengidentifikasi faktor resiko, upaya penilaian
keseimbangan dan gaya berjalan, serta mengatur atau mengatasi fraktur situasional
dengan melakukan pemeriksaan rutin kesehatan lansia secara periodik (Suyanto,
2011). Berikut penguraian beberapa metode pencegahan jatuh pada lansia :

1) Latihan Fisik

Latihan fisik diharapkan dapat mengurangi resiko jatuh dengan meningkatkan


kekuatan tungkai dan tangan, memperbaiki keseimbangan, koordinasi dan
meningkatkan , reaksi terhadap bahaya lingkungan, latihan fisik juga bisa mengurangi
kebutuhan obat-obat sedatife. Latihan fisik yang dianjurkan yang melatih kekuatan
tungkai, tidak terlalu berat dan semampunya seperti berjalan kaki.

2) Modifikasi Lingkungan

Keadaan lingkungan sekitar yang berbahaya dan dapat menyebabkan jatuh


harus dihilangkan. Penerangan rumah harus cukup tapi tidak menyilaukan. Lantai
rumah datar, tidak licin, bersih dari benda-benda kecil yang susah dilihat. Kamar
mandi dbuat agar tidak licin, sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya, pintu yang
mudah dibuka.

3) Manajemen obat-obatan
Obat-obatan yang menyebabkan hipotensi postural, hipoglikemik atau
penurunan kewaspadaan harus diberikan sangat selektif dan dengan penjelasan yang
komprehensif pada lansia dan keluarganya tentang risiko terjadinya jatuh akibat
minum obat tertentu.

4) Memperbaiki kebiasaan lansia

Berdiri dengan posisi duduk atau jongkok dengan cara yang tidak terlalu cepat
dan tidak dengan mengangkat brang sekaligus. Mengambil barang dengan cara yang
benar dari lantai dan hindari olahraga berlebihan.

5) Alat bantu jalan

Alat bantu berjalan yang dipakai lansia baik berupa tongkat, tripod, kruk atau
walker harus dibuat dari bahan yang kuat tetapi ringan, aman, dan tidak mudah
bergeser serta sesuai dengan ukuran tinggi badan lansia (Suyanto, 2011)

2.3 BALANCE EXERCISE

2.3.1 Definisi
Anto, 2015 menyatakan bahwa balance exercise adalah suatu aktivitas fisik yang
dilakukan untuk meningkatkan kestabilan tubuh dengan cara meningkatkan kekuatan
otot anggota gerak bawah. Latihan keseimbangan sangat efektif untuk meningkatkan
keseimbangan fungsional dan statis serta mobilitas lansia. Latihan keseimbangan ini
juga akan menurunkan frekuensi jatuh pada lansia.

2.3.2 Manfaat
Balance exercise bemanfaat untuk meningkatkan keseimbangan postural. Balance
exercise juga bermanfaat untuk menurunkan terjadinya resiko jatuh pada lansia. Balance
exercise memberikan efek peningkatan kekuatan otot ekstremitas bawah. Olahraga
atau latihan yang melibatkan kontraksi otot dapat meningkatkan kekuatan otot hingga
lebih dari 100 %. Penurunan ukuran dan kekuatan otot pada lansia akibat degenerasi
dapat dikurangi dengan olahraga atau latihan teratur. Penelitian menunjukkan bahwa
balance exercise dapat meningkatkan kekuatan otot (Anto,2015).

2.3.3 Indikasi dan Kontraindikasi


Indikasi dari balance exercise adalah (Kisner & Colby, 2007) :
a. Seseorang yang mengalami bed rest dalam waktu yang lama.
b. Seseorang yang mengalami penurunan keseimbangan statis maupun
dinamis.
c. Seseorang yang mengalami kewaspadaan dan reflek.
d. Memiliki masalah muskuloskletal yaitu penurunan kekuatan otot,
mobilitas sendi, kelenturan dan postur yang buruk.

Sedangkan kontraindikasinya adalah memiliki gangguan kognitif.


2.3.4 Mekanisme Balance Exercise

Masitoh, 2013 mengatakan gerakan pada balance exercise dimana ada gerakan
pada ekremitas bawah pada tubuh seperti plantar fleksi, hip fleksi, hip ekstensi, knee fleksi
dan side leg rise. Gerakan plantar fleksi di dapatkan gerakan yang mengontraksikan otot
gastrocnemius dan soleus. Gerakan hip fleksi gerakan aktif akan menghasilkan kontraksi
otot-otot hip fleksi dan otot ilio psoas.Gerakan hip ekstensi dapat mengontraksikan otot-
otot gluteus maximus. Gerakan knee fleksi ada penguluran pada grup otot quadriceps dan
kontraksi pada otot hamstring. Sedangkan pada side leg rise dapat mengontraksikan
otot tensor facia latae.

Gerakan pada balance exercise akan menghasilkan serangkaian gerakan yang


di lakukan untuk meningkatkan keseimbangan postural baik dinamis maupun statis
untuk membantu otak dalam menyesuaikan dengan perubahan sinyal sehingga
dengan sendirinya otak akan mampu beradaptasi dengan keadaan lingkungan.
Dengan adanya peningkatan keseimbangan tubuh akan menghasilkan penurunan
pada resiko jatuh. (Masitoh, 2013)

2.3.5 Pelaksanaan Balance Exercise


Masitoh, 2013 mengatakan ada 5 gerakan latihan keseimbangan yaitu plantar
flexi, hip flexi, hip extensi, knee flexi dan side leg raise. Latihan tersebut membantu otak
menyesuaikan dengan perubahan sinyal (re-calibrate) sehingga dengan sendirinya otak
akan mampu beradaptasi, proses ini disebut central compensation. Senam
keseimbangan bagi lansia dapat dilakukan 3 kali seminggu (Tilarso, 2008). Penelitian
telah membuktikan bahwa protein kontraktil otot (aktin dan miosin) dapat di ganti
secara total sesingkat 2 minggu.

Adapun langkah-langkah untuk latihan balance exercise menurut Masitoh, 2013 yaitu
:

1. Plantar flexion

1) Berdiri tegak dengan salah satu tangan berpegangan pada kursi.


2) Perlahan angkat tumit ke atas (berdiri dengan ujung kaki).
3) Pertahankan posisi.
4) Kembalikan kaki pada posisi semula.
5) Gerakan dilakukan sebanyak 10 x.

2. Hip flexion

1) Berdirir tegak dengan salah satu tangan berpegangan pada kursi.


2) Angkat lutut kanan ke atas tanpa menggerakkan atau menekuk pinggang.
3) Pertahankan posisi.
4) Perlahan turunkan lutut dan kembali ke posisi semula.
5) Ulangi dengan menggunakan lutut kiri.
6) Gerakan dilakukan sebanyak 10 x
3. Hip extention

1) Berdiri dengan jarak ± 30 cm dari kursi.


2) Perlahan gerakkan kaki kanan kearah belakang (sampai pinggang dalam
keadaan lurus).
3) Pertahankan posisi.
4) Perlahan kembalikan kaki pada posisi semula.
5) Ulangi dengan menggunakan kaki kiri.
6) Gerakan dilakukan sebanyak 10 x.

4. Knee flexion

1) Berdiri tegak dengan salah satu tangan berpegangan pada kursi.


2) Perlahan tekuk lutut kanan kearah belakang sehingga kaki kanan terangkat
dibelakang tubuh.
3) Pertahankan posisi.
4) Perlahan kembalikan kaki kanan pada posisi semula.
5) Ulangi dengan menggunakan kaki kiri.
6) Gerakan dilakukan sebanyak 10 x.
5. Side leg raise

1) Berdiri tegak dengan salah satu tangan berpegangan pada kursi.


2) Perlahan angkat kaki kanan kearah samping (sampai pinggang dalam
keadaan lurus).
3) Pertahankan posisi.
4) Perlahan kembalikan kaki kanan pada posisi semula.
5) Ulangi dengan menggunakan kaki kiri
6) Gerakan dilakukan sebanyak 10 x.
DAFTAR PUSTAKA

Ashar, P.H. (2016). Gambaran Persepsi Faktor Risiko Jatuh pada Lansia di Panti Sosial
Tresna Werdha Budi Mulia 4 Margaguna Jakarta Selatan. Jakarta

Centres for Disease Control and Prevention (CDC). 2016. Important Facts about Falls.
http://www.cdc.gov/homeandrecreationalsafety/falls/adultfalls.html

Darmojo, R.B. & Martono, H.H. (2009). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta:
Balai penerbit FKUI

Fristantia, D. A., et al. (2018). Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Risiko
Jatuh pada Lansia yang Tinggal di Rumah. Pekanbaru.

Kementrian Kesehatan RI. (2014). Infodatin. Situasi dan Analisis Lanjut Usia. Jakarta
Selatan : Kementrian Kesehatan

Kementrian Kesehatan RI. (2016), Pusat Data dan Informasi. Jakarta.

Nurkuncoro, I. D., & Suratini, S. (2015). Pengaruh Latihan Keseimbangan terhadap Risiko
Jatuh pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Yogyakarta Unit Budi Luhur
Kasongan Bantul (Doctoral dissertation, STIKES’Aisyiyah Yogyakarta).

Sagala, Ronald. (2017). Pengaruh Balance Exercise terhadap Keseimbangan dan Kekuatan Otot
pada Lansia dengan Risiko Jatuh di Puskesmas Kecamatan Kolang Kabupaten Tapanuli
Tengah ( Jurnal Ilmiah Kohesi)

Singh, Devinder KA., et al. (2012). Participating in A Virtual Reality Balance Exercise
Program Can Reduce Risk and Fear of Falls. Kuala Lumpur. Malaysia

Stanley, M & Beare, P.G. 2016. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC

Sunaryo, Wijayanti, Rahayu. (2016). Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: CV


ANDI OFFSET

United Nations. (2015). World Population prospect : revision. Diakses dari


http://un.org/en/development/desa/population/publication/pdf/ageing/W
PA2015_Report.pdf
Ama, Tareef al. 2011. Falls in Elderly. Clinical Review.

Anto, Berbudi. 2015. Pelatihan Core Stability Exercise dan Balance Board Exercise Lebih
Baik Dalam Meningkatkan Keseimbangan Dibandingkan dengan Balance Board Exercise
Pada Mahasiswa Usia 18 – 24 Tahun dengan Kurang Aktivitas Fisik. Jurnal
Fisioterapi. 5(1)

Asih, Windy & Tambunan, Roselina. 2015. Pengaruh Program Pencegahan Jatuh Berupa
Edukasi dan Latihan Kekuatan Otot Terhadap Faktor Resiko Jatuh yang dimiliki Oleh
Lansia di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha (BPSTW) Ciparay Bandung. Jurnal
Ilmu Kesehatan. 9(2)

Darmojo, R.B. & Martono, H.H. (2009). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta:
Balai penerbit FKUI

Depkes RI(2009). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik


Indonesia

Dewi, Sofia Rhosma. 2014. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta : Deepublish

________________. 2014. Efektivitas Balance Training Dalam Meningkatkan Fungsi


Keseimbangan Lansia. The Indonesia Journal of Health Science. 4(2)

Kementrian Kesehatan RI. (2016). Infodatin. Situasi dan Analisis Lanjut Usia. Jakarta
Selatan : Kementrian Kesehatan

Ko, Dae-Sik., Jung, Dae-In & Jeong, Mie-Ae. 2014. Analysis of core stability exercise effect
on the physical and psyological function of elderly women Vulnurable to falls during obstacle
negotiation. Journal Physical Therapy Science. 26(11)

Marks, Rays. 2014. Falls Among the Elderly: Multifactorial Community Based Falls Revention
Programs. Journal of Aging Science. 2(1)

Maryam, R Siti., Ekasari, Mia Fatma., Rosidawati., Jubaedi, Ahmad & Irwan
Batubara. 2010. Mengenal Lanjut Usia dan Perawatannya. Jakarta : Salemba Medika

Masitoh, Iloh. 2013. Pengaruh Balance Exercise Terhadap Keseimbangan Postural Pada
Lanjut usia di Posyandu Abadi Sembilan Gonila Sukarjo. Surakarta : Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Matarese, Maria & Ivziku, Dhurata. 2016. Falls Risk Assesment in Older Patients in
Hospital. Nursing Standar : London

Sunaryo, Rahayu Wijayanti., Kuhu, Maisje Marlyn, Sumedi, Taat., Wiayanti, Esti
Dwi,. Sukrillah,

Ulfa Agus., Riyadi, Sugeng & Kuswanti, Aini. 2016. Asuhan Keperawatan Gerontik.
Penerbit Andi : Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai