Anda di halaman 1dari 25

Nyeri dan Kolik Abdomen serta

Tinjauan Radiologisnya

Riska Hayuvi Erlita Diti 15700068


Komang Adinata Putra 15700070
Yuyun Meiantari Okarini 15700072
Velinda Triolina 15700074
Moch. Irfan Mahalli 15700076
I Gusti Ayu Dwi Pradnya Agustina 15700078
Liya Triyulani 15700080
Naila Zulbahrina 14700029
Kadek Santi Pradnyani 14700044

i
KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.

Puji syukur kami ucapkan pada Allah SWT atas rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat
terselesaikan. Makalah berjudul ‘Analisis Radiologi Pada Kolik Abdomen’ disusun untuk
melengkapi tugas akhir ...

Penulis mengucapkan terima kasih pada dr. Hendro Siswanggono,Sp.Rad sebagai


pembimbing kami di Mata Kuliah Radiologi atas bimbingannya selama penyusunan makalah
ini.

Penulis menyadari masih didapatkan banyak sekali kekurangan pada makalah ini. Oleh
sebab itu penulis mengharapkan adanya kritik yang membangun agar makalah ini dapat
semakin baik.

Penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca.

Wassalamualaikum wr.wb.

Surabaya, Juli 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................................... i


KATA PENGANTAR ............................................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 3
II.1 FOTO POLOS ABDOMEN ........................................................................................... 3
II.2 PENYEBAB KOLIK ABDOMEN ................................................................................. 7
II.2.1 APENDISITIS AKUT .................................................................................................. 7
II.2.2 KOLIK RENAL ......................................................................................................... 12
II.2.3 KOLESTISTITIS ....................................................................................................... 15
II.3 CONTOH KASUS KOLIK ABDOMEN ATIPIKAL ............................................... 19
BAB III KESIMPULAN ...................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 22

iii
Bab I
PENDAHULUAN

Kolik abdomen merupakan salah satu penyebab utama pasien datang ke Instalasi Gawat
Darurat, mencakup 5-10% kunjungan ke Instalasi Gawat Darurat. Penyebab kolik abdomen
beraneka ragam, mulai dari permasalahan pada gastro-intestinal, urologi dan ginekologi
(Chanana, et al., 2015). Penanganan kedaruratan kolik abdomen harus dilakukan dengan hati-
hati, dikarenakan kolik abdomen seringkali merupakan tanda dari penyakit yang serius.
Kesalahan diagnosis harus dihindari, khususnya pada pasien berusia lebihd ari 65 tahun karena
pasien pada kelompok ini memiliki tingkat mortalitas 6-8 kali lebih tinggi (Abdullah &
Firmansyah, 2012)
Radiologi memegang peranan besar dalam mendiagnosis kolik abdomen.
Penatalaksanaan kolik abdomen tanpa pemeriksaan radiologi hanya dapat mengidentifikasi
penyebab pada 43% - 59% kasus. Sebaliknya, pemeriksaan CT Scan pada kolik abdomen dapat
menghasilkan diagnosis yang benar pada 62% - 96% kasus. Penting bagi penyedia layanan
kesehatan untuk mengidentifikasi apakah nyeri abdomen memerlukan tindakan bedah atau
tidak dalam waktu 24 jam (Schiefeling & Williams, 2017). Pada penelitian, didapatkan
penyebab kolik abdomen meliputi 33% merupakan nyeri abdomen non spesifik yang banyak
terdapat pada wanita muda, 23% appendisitis akut dan 8,8% disebabkan oleh kolik bilier yang
biasanya diderita oleh wanita tua. Hampir separuh dari keadaan kolik abdomen tersebut
memerlukan terapi pembedahan (Dombal & Margulies, 1996)
Foto rontgen dan USG berperan besar dalam diagnosis awal kolik abdomen. CT Scan
dilakukan pada pasien dengan keluhan kolik abdomen untuk mengklasifikasikan temuan yang
didapatkna pada pemeriksaan rontgen lebih jauh. USG dilakukan sebagai pemeriksaan pertama
apabila teraba massa pada pemeriksaan fisik, sebelum dilakukan pemeriksaan CT Scan.
Pemeriksaan endoskopi hanya idlakukan apabila terjadi hematemesis atau perdarahan saluran
cerna akut (Eastman, et al., 2006). Dengan pemeriksaan abdomen yang baik maka diagnosis
kolik abdomen dapat dilakukan dengan tepat sehingga intervensi klinis yang diperlukan dapat
segera dilakukan. Oleh sebab itu diperlukan analisis radiografi abdominal yang baik.
Pada makalah ini akan dibahas penyebab akut abdomen yang paling banyak yaitu
apendisitis akut, kolik renal dan kolesistitis serta laporan kasus mengenai ruptur limpa spontan
idiopatik.

1
I.1 Rumusan Masalah
1. Apa saja penyebab kolik abdomen pada kedaruratan medis?
2. Bagaimana peranan radiologi pada penatalaksanaan awal kolik abdomen?
3. Pemeriksaan radiologi apa saja yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis penyebab
kolik abdomen?

I.2 Tujuan Pembuatan Makalah


1. Mengetahui penyebab kolik abdomen yang menjadi kasus kedaruratn medis.
2. Mengetahui peranan pemeriksaan radiologi pada penatalaksanaan awal kolik andomen.
3. Mengetahui pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis penyebab
kolik abdomen.

I.3 Manfaat Pembuatan Makalah


1. Untuk Ilmu Pengetahuan
Menjadi tinjauan pustaka dalam mengetahui peranan pemeriksaan radiologi pada
penatalaksanaan kolik abdomen.
2. Untuk Pembaca
Memberikan tinjauan kepustakaan terkini mengenai peranan pemeriksaan radiologi
pada penatalaksanaan kolik abdomen.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 FOTO POLOS ABDOMEN


Analisis foto polos abdomen hampir selalu dievalusi bersamaan dengan foto polos thoraks
dikarenakan foto polos thoraks dikarenakan pada radiografi thoranks, bagian subdiafragma
abdomen dapat dilihat dengan jelas karena parameter paparan yang optimal pada foto polos
thoraks dilakukan pada era ini, serta apabila didapatkan udara pada intra-abdominal maka
keberadaaan udara dapat dilihat dengan mudah pada bagian subdiafragma. Oleh sebab itu
pada pengambilan foto polos abdomen, sebisa mungkin dilakukan pada pasien dengan posisi
berdiri atau jika tidak memungkinkan maka pemeriksaan dilakukan pada posisi supinasi dan
lateral dekubitus dengan sinar rontgen diarahkan melalui pasien secara hoizontal (paralel
pada meja) (Eastman, et al., 2006)

Gambar 1. Foto Polos Abdomen Normal Pada Pasien Dengan Posisi Berdiri

3
Gambar 2. Foto Polos Abdomen Normal pasien dalam posisi lateral dekubitus

Gambar 3. Foto Polos Abdomen Normal paseind alam posisi supinasi

Pada foto polos abdomen, bayangan hepar meliputi kuadran atas kanan abdomen, margin
inferiornya dapat diperkirakan pada foto. Tampak adanya bayangan lemak abdominal pada
bagian lateral dinding abdomen. Limpa tampak pada kuadaran kiri atas, terkadang
tersamarkan oleh kolon. Hampir seluruh kolon dipenuhi udara. Tampak adanya feses pada
sekum, kolon desendens dan kolon sigmoid. Usus kecil tidak tampak. Tampak adanya

4
gelembung pada bagian lambung, di sisi medial dari fleksura splenik. Kontur ginjal dan otot
iliopsoas dapat telrihat, begitu jgua dengan parenkim pankreas. Vesica urinaria dapat telrihat
pada bagian bawah pelvis, apabila dalam keadaan penuh maka duodenum tapak seolah-olah
terangkat (Eastman, et al., 2006)
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan pada pemeriksaan foto polos abdomen adalah
sebagai berikut :
a. Kalsifikasi
Kalsifikasi kadang tampak pada bagian dinding vaskular, khususnya pada aorta, arteri
seliaka dan arteri iliaka. Kalsifikasi juga dapat ditemukan pada organ parenkimal
seperti ginjal (batu ginjal), uterus 9fibroid), hepar dan limpa (setelah ifneksi
granulomatus seperti histoplasmoid), pankreas (pankreatitis akut). Kalsifikasi pada
organ berongga seperti lumen empedu (batu empedu) atau dindingnya (kandung
empedu porselen). Nodus limfe dapat juga didapatkan kalsifikasi, khususnya pada
mesenterika.
b. Distribusi Udara
Adanya udara di luar lumen usus merupakan keadaan yang tidak normal dan harus
dikaitkan dengan riwayat medis pasien. Apabila terdapat riwayat operasi di bagian
abdomen maka harus dicurigai adanya hubungan udar abebas dengan prosedur.
Perbandingan yang hati-hati dengan hasil epmeriksaan sebelumnya (jika ada) dapat
menunjukkan apakah temuan ini merupakan perurukan atau baru.
c. Ketebalan dinding abdomen
Dievaluasi dengan melihat jarak antara dua lipatan yang berdekatan. Ada kasus
inflamasi dan iskemi pada abdomen, penebalan pada dinding meningkat. Jika terdapat
danya gas intramural dengan penampilan ‘mutiara’ khususnya pada bagian yang lebih
rendah maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih jauh karena keadaan ini dapat
dicurigai sebagai adanya infark usus atau inflamasi berat usus yang memerlukan
penanganan khusus.

5
d
Gambar 4. Gambaran ‘mutiara’ / string of pearl pada abdomen

d. Distribusi feses
Pasien dengan konstipasi berat dapat mengalami nyeri kolik abdomen yang berat.

Gambar 5. Gambaran feses yang disertai dengan gas usus pada pasien dengan
konstipasi

Foto polos abdomen dilakukan untuk mengeksklusi kemungkinan terjadinya


pneumoperitoneum. Foto polos abdomen merupakan pemeriksaan yang paling banyak diminta
oleh dokter di Instalasi Gawat Darurat (43%) dalam menangani pasien dnegan kolik abdomen.
Adanya obstruksi dapat dideteksi dengan foto polos abdomen, akan tetapi penyebab pastinya

6
hanya dapat ditentukan menggunakan CT Scan kontras. 38% dari pasien yang menjalani
pemeriksaan foto polos abdomen memerlukan pemeriksaan lanjutan berupa CT Scan. (El Bagi,
et al., 2016)
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Abdullah dan Firmansyah, penyebab terbanyak
kolik abdomen adalah apendisitis. Pemeriksaan radiologi abdomen yang rutin dilakukan
lainnya adalah pemeriksaan USG abdomen. USG abdomend apat menunjukkan adanya
gangguan hepatobilier, traktur urinarius dan ginekologik serta apendisitis akut.Sementara itu
pemeriksaan CT Scan, MRI dan CT arteriografi tidak rutin dilakukan dan hanya diminta pada
kondisi tertentu saja karena memperitmbangkan biaya pemeriksaan yang lebih tinggi dibanidng
peneriksaan lain (Abdullah & Firmansyah, 2012).

II.2 PENYEBAB KOLIK ABDOMEN


II.2.1 APENDISITIS AKUT
Apendisitis akut merupakan penyakit dnegan prevalensi yang tinggi serta memerlukan
diagnosis yang cepat dan akurat untuk menginformasi atau mengeksklusi adanya perforasi.
Gejala dan tanda yang ditemukan pada apendisitis seringkali tidak spesifik pada anak-anak
maupun dewasa. Walaupun adanya peningkatan pada diagnosis klinis dan laboratoris serta
banyaknya publikasi mengenai sistem skoring untuk menuntun pengambilan keputusan klinis
pada apendisitis, menentukan perlu tidaknya operasi masih menemui banyak sekali kesulitan.
Setelah dilakukan apendektomi, 15% didapatkan hasil yang negatif (Mostbeck, et al., 2016)
Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriksaan cepat yang paling banyak
dilakukan untuk dapat mendiagnosis adanya apendisitis dengan segera. Walaupun pemeriksaan
MRI dan MDCT dapat memberikan hasil yang lebih spesifik, pemeriksaan USG menjadi
pilihan karena ketersediaannya yang luas serta biayanya yang rendah. Pemeriksaan radiologi
untuk apendisitis akut dilakukan untuk menghindari dua hal yaitu adanya penundaan diangosis
dan apendektoi yang seharusnya tidak perlu dilakukan (Mostbeck, et al., 2016).
Pada pemeriksaan USG pada apendisitis akut, diameter apendiks normal (rata-rata
diameter anteroposteriorn 4.4 ± 0.9 mm dan diameter transversal 5.1 ± 1 mm) tidak berubah
seiring usia dan distribusinya normal pada anak-anak. Penelitian menunjukkan diameter
apendiks yang lebih dari 8 mm 96% didapatkan adanya apendisitis akut. Tanda-tanda yangd
dapat ditemukan pada USG abdomen untuk apendisitis akut adalah sebagai berikut (Mostbeck,
et al., 2016) :

7
Tanda Langsung Tanda Tidak Langsung
 Kompresibel pada perforasi Adanya cairan bebas mengelilingi apendiks
 Diameter apendiks > 6 mm
 Ketebalan dinding ≥ 3 mm Terbentuknya abses lokal
Tanda target:  Peningkatan ekogenitas dari lemak
 Lumen yang berisi cairan dan mesenterika
hipoekoik  Pembesaran nodus limfe mesenterika
 Mukosa / submukosa hiperekoik
 Lapisan muskuler yang hipoekoik Penebalan peritoneum

 Apendikolit : hiperekoik dengan Tanda sekunder obstruksi usus halus


bayangan pada posterior
 Pada pemeriksaan USG dopler dan
kontras “
o Hipervaskularisasi pada
apendisitis akut stadium awal
o Hipo atau avaskularisasi pada
abses dan nekrosis

Gambar 6. Gambaran apendiks normal, diameter 0.3 mm. Tmapak **otot psoas, x sekum, +
ileum terminal

8
Gambar 7. Gambaran (a) longitudinal dan (b) transversal pada apendisitis akut dengan
penebalan dinding. Tampak target sign (+) yang mengelilingi apendiks dan adanya cairan
bebas.

Pemeriksaan CT Scan hampir tidak pernah dilakukan pada kasus apendisitis akut dikarenakan
biayanya yang lebih tinggi serta waktu pemeriksaan yang lebih lama. Walau demikian, CT
Scan pada apendisitis akut memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi. Pemeriksaan CT
Scan hanya dilakukan apabila hasil pemeriksaan USG untuk mendiagnosis apendisitis tidak
dapat dinilai (Chin & Lim, 2015)

Gambar 8. Tampilan CT Scan pada apendisitis akut. Tampak adanya apendiks yang menebal,
infiltrasi mesenterika di sekitar apendiks dan penebalan inflamatorik dari kolom sigmoid.

9
Pemeriksaan MRI juga memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Akan tetapi sama
halnya dengan CT Scan, pemeriksaan ini hanya dilakukan jika pemeriksaan USG tidak dapat
menyimpulkan diagnosis (Mostbeck, et al., 2016) :

Gambar 9. Tampilan MRI pada apendisitis akut. Tampak adnaya penebalan apendiks.

Pada pemeriksaan apendisitis akut, USG merupakan metode pemeriksaan penunjang pilihan.
Akan tetapi pemeriksaan USG tidak selalu dapat mendeteksi adanya apendisitis. Apabila
temuan pada USG tidak spesifik maka dapat dilakukan pemeriksaan CT Scan atau MRI. Pada
pemeriksaan CT Scan kadang didapatkan temuan yang atpikal seperti amyand hernia dan
stump appendicitis (Chin & Lim, 2015)

10
Gambar 10. Amyand hernia. Lokasi apendisitis yang atipikal. Tampak apendiks berisi cairan
dan berdilatasi sampai 9 mm, menekan cincin hernia.

Gambar 11. Stump appendictis yang ditemukan pada pasien yang sudah melakukan
apendektomi 2 tahun sebelumnya. Tampak sisa apendiks yang menunjukkan peradangan.

11
II.2.2 KOLIK RENAL
Kolik renal merupakan penyakit yang umum terjadi di Eropa. Kolik renal disebabkan oleh
batu pada ginjal dengan prevalensi 2% sampai 8%. Multdetector computed tomography
(MDCT) dianggap sebagai baku emas pemeriksaan penunjang untuk mengevaluasi kolik
renal. MDCT juga banyak digunakan seuntuk mengukur ukuran batu pada ginjal untuk
selanjutnya menentukan tata laksana. Akan tetapi dikarenakan pada sebagian besar batu
ginjal dapat melewati saluran kemih secara spontan, maka pemeriksaan CT Scan tidak
mempengaruhi keputusan menentukan tindakan (Nicolau, et al., 2015)
Diagnosis kolik renal dilakukan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan radiologi
yang darurat tidak selalu diperlukan. Akan tetapi untuk mencegah adanya kesalahan diagnosis
pada nyeri kolik abdomen, sebagai contoh adanya torsio ovarium, ruptur aneurisma aorta dan
apendisitis maka diperlukan adanya pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan dengan cepat
dan akurat. Pemeriksaan CT Scan memiliki akurasi lebih dari 95% dan masih merupakan baku
emas pemeriksaan kolik renal. Akan teatpi tidak semua rumah sakit memiliki fasilitas CT Scan,
selain itu pembiayaan dan tingginya paparan radiasi menjadi pertimbangan dalam mengambil
keputusan apakah pasien dengan kolik renal perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan, khususnya
jika kolik renal terjadi berulang (Nicolau, et al., 2015).
Oleh sebab itu pemeriksaan ultrasonografi menjadi pilihan dalam mendiagnosis kolik
renal. Teknik ini juga merupakan teknik yang akukrat dalam mendiagnosis permasalahan renal
lainnya. Adanya batu ginjal tampak dari gambaran hipereokoik dengan bayangan posterior.
Ukuran batu yang dapat dideteksi menggunakan USG minimal 5 mm. Batu berukuran kurang
dari 5 mm sulit didiagnosis karena tidak adanya bayangan pada bagian posterior dan dapat
ditutupi oleh kumparan usus dan gas pada usus, khususnya pada pasien obesitas. Gambaran
hiperekoik dapat rancu dengan adanya kalsifikasi parenkimal atau bekuan darah (Nicolau, et
al., 2015).

12
Gambar 12. Batu uretra pada bagian kiri proksimal, menyebabkan hidronefrosis.

Dalam mendiagnosis kolik renal, perlu dilakukan pengamatan seksama pada uterovesical joint
(UVJ) dan ureter. Edema pada UVJ mengindikasikan evakuasi batu yang baru terjadi dan dapat
membantu mengonfirmasi diagnosis kolik renal (Nicolau, et al., 2015).

13
Gambar13. Gambaran edema pada UVJ. Tampak adanya batu kecil yang bergerak seiring
dengan posisi pasien pada vesika urinaria.

Gambaran ureter medial dapat diperbaiki dengan melakukan kompresi menggunakan


transducet atau mengganti posisi pasien. Bagian distal ureter sulit untuk diidentifikasi dan pada
beberapa pasien dapat dilakukan USG transrektal atau transvaginal untuk memperlihatkan
bagian uretral pelvis (Nicolau, et al., 2015).

14
Gambar 14. Hidronefrosis pada ginjal sisi kanan dengan dilatasi uretra. Interposisi lipatan
usus besar dapat mengganggu identifikasi ureter. Adanya batu pada miduretral diambil
setelah menekan dan mengganti posisi lipatan usus besar.

Selain itu pada kasus batu ginjal yang kecil, dilatasi dapat minimal. Dilatasi juga dapat tidak
ditemukan pada pasien dengan dehidrasi. Oleh sebab itu pemeriksaan USG harus dilakukan
dalam keadaan terhidrasi untuk memastikan adanya vesika urinaria yang membesar
(memperlihatkan jendela akustik pada ureter terminal) serta gambaran uretra yang jelas
(disebabkan oleh urin dari ureter ke vesika urinaria). Adanya aliran cairan dari uretra ke vesika
urinaria tidak kemudian mengeksklusi kemungkinan batu ginjal, karena kadang batu ginjal
hanya menyumbat sebagian (Nicolau, et al., 2015).
Penggunaan USG dalam mendiagnosis kolik renal merupakan pilihan yang relatif aman
walaupun sensitivitas serta spesifisitasnya lebih rendah dibandingkan CT Scan. Negatif palsu
pada pemeriksaan USG sering disebabkan ukuran batu yang kurang dari 3 mm dan dapat keluar
secara spontan melalui traktus urinarius. Pemeriksaan CT Scan dilakukan pada pasien yang
tidak membaik saat menjalani terapi menggunakan terapi konservatif atau adanya kecurigaan
proses nonurologis (Nicolau, et al., 2015).

II.2.3 KOLESTISTITIS
Kolestistitis adalah peradangan kandung empedu akut, 95% disebabkan oleh batu empedu
pada bagian leher atau duktus. Obstruksi pada duktus menyebabkan overdistensi kandung
empedu dan peningkatan tekanan intraluminal. Peningkatan tekanan ini yang menyebabkan
respons inflamasi akut (Chawla, et al., 2015).
Pemeriksaan CT Scan merupakan pilihan utama untuk mendiagnosis kolestistitis.
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) merupakan pemeriksaan pilihan apabila CT Scan tidak
tersedia, karena biaya pemeriksaan yang lebih rendah, akses yang mudah, durasi pemeriksaan
yang lebih pendek dan lebih sedikit radiasi. Selain itu pemeriksaan USG dapat mendeteksi
adanya ‘Murphy’s Sign’ pada pemeriksaan (Chawla, et al., 2015).
Gambaran CT Scan pada kolestistitis mencakup kandung empedu yang membengkak,
penebalan mural, cairan perikolestistitik dan lemak perikolestistitik. Ada gambaran bingkai
pada hepar yang berada di dekat kandung empedu. Kadang tampak adanya kalkulus pada
leher kandung empedu atau duktus kistik (Chawla, et al., 2015). .

15
Gambar 15. (a) Gambaran kandung empedu normal dan (b) penebalan dinding kandung
empedu dan cairan perikolesistik tipis dengan adanya kalkulus pada leher kandung empedu.

Gambar 16. Gambaran CT Scan kolestistitis (a) tampak penebalan dinding kandung pemedu,
lemak perikolestitis (panah warna putih) dan hiperemia pada hepar (panah hitam) (b) kalkulus
besar pada leher kandung empedu (Panah putih) dan hiperemia reaktif (panah hitam) pada
struktur hepar di dekatnya.

Kolestistitis gangren merupakan hasil dari perburukan kolestistitis. Kolestistitis gangren


rentan terjadi pada pasien dengan usia lebih tua dan memiliki penyakit diabetes melitus.
Gambaran CT Scan pada kolestistitis gangren menunjukkan dinding kandung empedu yang
berbatas tidak tegas, membran intraliminal, penebalan mural, defek fokal mural dan abses
pada perikolestitis (Chawla, et al., 2015).

16
Gambar 17. Kolestistitis gangren yang menunjukkan (a) dinding kandung empedu yang
berbatas tidak tegas serta gambaran stirae pada dinding medial (panah putih) dan (b) dinding
kandung empedu yang berbatas tidak egas tercetak pada leher kandung empedu.

Gambar 18. Gambaran kolestistitis gangren yang mengalami perburukan. Pada gambar (c)
tampak adanya abses intramural yang merupakan gambaran khas kolestistitis gangren.

Gambar 19. Kolestistitis gangren yang mengalami perburukan. Pada gambar (c) tampak
adanya tonjolan yang makin membesar, menandakan peradangan yang semakin buruk.

17
Kolestistitis emfisema menunjukan gambaran gas pada dinding kandung empedu dan
disebabkan oleh bakteri Clostridium welci. (Chawla, et al., 2015).

Gambar 20. Kolestistitis emfisema. Tmapk gambaran udara pada dinding kandung empedu
(panah putih) dan adanya batu pada leher kandung empedu (panah hitam).

Sindrom Mirizzi merupakan hasil dari kompresi pada duktus hepatikus ekstrinsik akibat
adanya batu empedu. Hasilnya merupakan sumbatan pada empedu dnegan dilatasi duktus
empedu. Dapat terbentuk fistula akibat inflamasi berulang di sekitar batu empedu pada
duktus kistik. Pasien dengan sindrom Mirizzi akan mengalami nyeri perut, demam dan
jaundis tanpa adanya tanda patognomonik. CT Scan hanya menunjukan duktus empedu
intrahepatik yang berdilatasi dengan duktus utama berkuran normal (Chawla, et al., 2015). .

Gambar 21. Sindrom Mirizzi menunjukan adanya ekspansi leher saluran empedu akibat batu
radiolusen menekan duktus hepatis proksimal dnegan hasil dilatasi duktus intrahepatik tapi
dnegan duktus distal yang normal.

18
Ileus merupakan komplikasi akibat adanya batu empedu. Keadaan ini ditandai dengan pasien
yang datang dengan keluhan dan gejala menyerupai obstruksi usus. Obstruksi usus
merupakan hasil dari batu empedu ektopik, biasanya pada ileum distal. Ukuran batu melebihi
2.5 cm dan memasuki traktus gastrointeestinal melalui fistula. Gambaran CT Scan
menunjukan ‘trias Rigler’ (obstruksi usus, pneumobilia dan batu empedu ektopik pada bagian
transisi) (Chawla, et al., 2015). .

Gambar21. Contoh kasus kolestistitis dengan komplikasi berupa ielus. Pada gambar (a)
tampak adanya dilatasi usus pada abdomen sentral, (c) menunjukan adanya penembalan
kandung empedu dengan udara pada lumen (panah putih) (c) CT Scan oblik koronal
menunjukan dilatasi usus halus dengan gambaran batu empedu yang mengalami kalsifikasi
pada ileum distal (panah putih). Tampak kolaps pada distal ileum dan adanya gambaran udara
bebas pada duodenum proksimal (panah hitam)

Pasien dengan kolestistitis datang dengan keluhan nyeri pada kuadran kanan atas perut.
Beratnya gejala klinis tidak menunjukan adanya komplikasi. Pemeriksaan USG dapat
dilakukan sebagai pemeriksaan penyaring untuk mengetahui abnormalitas pada kandung
empedu, sedangkan komplikasi pada kolestistitis lebih mendetail dilihat dengan pemeriksaan
CT Scan (Chawla, et al., 2015).

II.2.4 CONTOH KASUS KOLIK ABDOMEN ATIPIKAL


Kasus I
Seorang perempuan 54 tahun datang dengan keluhan nyeri perut yang memburuk pada 12
jam terakhir. Nyeri perut terasa pada bagia epigastrik dan menjalar ke kuadran kanan atas
hingga punggung. Pasien memiliki riwayat sklerosis multipel dan mendapatkan terapi berupa
teriflunomid dan baclofen. Pasien memiliki riwayat tinakan ligasi tubal, tonsilektomi dan
19
artorskopi lutut. Pasien merokok 3-4 batang per hari namun riwayat penggunaan alkohol
kronis disangkal. Pasien menyangkal adanya mual, muntah, demam atau perubahan pola
buang air besar. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tensi 90/ 80 mmHg dan adanya nyeri
tekan pada kuadran kanan atas perut, nyeri lepas dan tanda peritoneal. Pemeriksaan
laboratorium didapaktan penurunan Hb 11.2 g/dL dan kenaikan leukosit 11.100 sel / mm3
(Gonnela, 2016)
Pemeriksaan CT Scan abdomen menunjukan adanya cairan bebas pada rongga
abdomen dengan limpa yang heterogen. Angiogram CT Scan tidak menunjukan adanya
aneurisma. Pasien didagnosis dengan ulkus peptik perforatif, laserasi limpa spontan dan
divertikulitis dengan perforasi (Gonnela, 2016)

Gambar 22. Gambaran CT Scan

Pada saat dirujuk ke bagian bedah, pasien mengalami syok hemoragik akibat laserasi limpa
spontan. Laserasi limpa spontan jarang terjadi tanpa adanya riwayat trauma. Adanya ulkuls
peptik perforatif dengan divertikultis memiliki gejala yang sama dnegan laserasi limpa spontan.
Laserasi limpa spontan yang merupakan kedaruratan medis pada pasien ini ditetapkan sebagai
idiopatik karena gejala klinis, serta riwayat penyakit terdahulu yang tidak khas (Gonnela,
2016).

20
BAB III
KESIMPULAN

Analisis raidologi pada kasus kolik abdomen dapat menurunkan angka kesalahan diagnosis
dengan signifikan. Walau demikian pemeriksaan radiologi tidak dapat berdiri sendiri.
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang juga harus dilakukan dengan cermat
agar pemeriksaan radiologi dapat dilakukan dengan lebih terarah. Penyebab kolik abdomen
banyak disebabkan oleh gangguan pada organ dalam abdomen, oleh sebab itu peeriskaan CT
Scan masih merupakan baku emas pemeriksaan dalam kasus kolik abdomen. Akan tetapi,
pemeriksaan USG banyak menjadi pilihan oleh penyedia layanan kesehatan dikarenakan
biayanya yang lebih rendah dan waktu pemeriksaan yang lebih singkat. Pemeriksaan radiologik
seperti CT Scan atau MRI dilakukan apabila temuan USG abdomen tidak menunjukkan tadna-
tanda khas.

21
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. & Firmansyah, M. A., 2012. Diagnostic approach and management of acute
abdominal pain. Acta medica Indonesiana, 44(4), pp. 344-50..
Chanana, L. et al., 2015. Clinical profile of non-traumatic acute abdominal pain presenting to
an adult emergency departement. Journal Family Medicine and Primary Care, 4(3), pp. 422-
425.
Chawla, A. et al., 2015. Imaging of acute cholecystitis and cholecystitis-associated
complications in the emergency setting. Singapore medical journal, 56(8), pp. 438-444.
Chin, C. M. & Lim, K. L., 2015. Appendicitis : atypical and challenging CT appearances.
Gastrointestinal imaging, Volume 35, pp. 123-124.
Dombal, F. T. & Margulies, M., 1996. Acute Abdominal Pain. British Medical Journal.
Eastman, G. W., Wald, C. & Crossin, J., 2006. Gastrointestinal radiology. Dalam: Getting
started in clinical radiology. Stuttgart: Georg Thieme Verlag, pp. 115-167.
El Bagi, M. E. A., Almutairi, B. M. & Alsolamy, S. J., 2016. Managing of non traumatic
abdominal pain in adults presenting to the emergency department. Saudi Medical Journal,
37(3).
Gonnela, A., 2016. A rare cause of acute abdominal pain. Journal of american academy of
physician assistants, 29(4), pp. 55-56.
Mostbeck, G. et al., 2016. How to diagnose acute apendicitis : ultrasound first. Insights
imaging, Volume 7, pp. 255-263.
Nicolau, C. et al., 2015. Managing patients with renal colic - consider ultrasound first.
Insights imaging, Volume 6, pp. 441-447.
Schiefeling, C. H. & Williams, D. A., 2017. Appropriate use of imaging for acute abdominal
pain. JAMA Internal Medicine, 177(12).

22

Anda mungkin juga menyukai