Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN KRISIS TIROID

1. Anatomi dan Fisiologis Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid terletak tepat dibawah kedua sisi laring dan terletak disebelah anterior
trakea. Kelenjar tiroid mensekresi dua macam hormon yaitu hormon tiroid dan kalsitonin.
Setiap menitnya jumlah aliran darah di dalam kelenjar tiroid kira-kira lima kali lebih besar
daripada berat kelenjar tiroid itu sendiri (Guyton, 1997). Kira-kira 93 persen hormon-hormon
aktif metabolism yang disekresikan oleh kelenjar tiroid adalah tiroksin (t4) dan triiodotironin
(T3). Namun, hampir semua tiroksin akhirmya akan diubah menjadi triioditironin di dalam
jaringan, sehingga secara fungsional keduanya penting (Guyton, 1997) .

Sekitar 75% dari T4 dan 70% dari T3 berikatan dengan tiroid binding globulin (TBG).
hanya sejumlah kecil dari hormon T3 (0.3%) dan T4 (0.03%) yang tidak berikatan dan berdifusi
ke jaringan perifer. Hormon T3 dan T4 yang tidak terikat inilah yang akhirnya akan menjadi
hormon yang aktif di dalam tubuh.
Hormon tiroid memiliki efek terhadap mayoritas organ dan jaringan di dalam tubuh,
kecuali organ otak pada orang dewasa, limpa, testis, uterus, dan kelenjar tiroid itu sendiri.
Hormon tiroid berperan besar. dalam pertumbuhan dan metabolisme yang terjadi di dalam
tubuh.

2. Definisi
Migneco et al (2005) menyatakan bahwa krisis tiroid merupakan suatu keadaan
eksaserbasi lanjut dari kondisi hipertiroid dengan karakteristik kegagalan organ pada satu
atau lebih sistem organ. Senada dengan pernyataan di atas, Hudak & Galo (2010)
menyatakan bahwa krisis tiroid merupakan keadaan krisis terburuk dari status tirotoksik.
Penurunan kondisi yang sangat cepat dan kematian dapat terjadi jika tidak segera tertangani.
Dari pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa krisis tiroid merupakan suatu
bentuk kegawatdaruratan yang merupakan suatu keadaan eksaserbasi lanjut dari
tirotoksikosis dengan karakteristik dekompensasi organ yang dapat dengan segera
menimbulkan kematian jika pasien tidak mendapatkan penangan segera dan adekuat.

3. Etiologi
Penyebab paling sering terjadinya krisis tiroid adalah penyakit grave. Penyakit grave
merupakan penyakit autoimun yang dimediasi oleh antibodi reseptor tirotropin yang
menstimulasi sintesis hormon tiroid menjadi berlebihan dan tidak terkendali (Nayak, 2010).
Selain itu penyebab lainnya yang terjadi berupa hipertiroidisme eksogen, tiroiditis, goiter
nodular toksik, dan kanker tiroid. Obat-obat tertentu seperti prosedur radiografi atau
amiodaron (obat antidisritmia) juga dapat mencetuskan terjadinya status tirotoksik karena
mengandung iodin yang tinggi (Hudak & Galo, 2010).
Krisis tiroid juga dapat dicetuskan oleh suatu kondisi tertentu. Menurut Hudak & Galo
(2010) faktor pencetus terjadinya kritis tiroid terbagi menjadi dua yaitu pertama, pasien yang
beresiko terhadap terjadinya krisis endokrin pada mereka yang telah mengetahui adanya
gangguan endokrin seperti infeksi, trauma, penyakit medical yang bersamaan (infark miokard,
penyakit paru), kehamilan, dan pengobatan (terapi steroid, β-blocker, narkotik, alkohohol,
terapi glukokortikoid, terapi insulin, diuretik tiasin, fenitoin, agen-agen kemoterapi, dan agen-
agen inflamasi nonsteroid). Faktor pencetus yang kedua yaitu pasien yang beresiko terkena
krisis endokrin, yang sebelumnya belum mengetahui adanya gangguan endokrin. Faktor
pencetus kedua ini meliputi tumor pituitary, terapi radiasi pada leher dan kepala, penyakit
autoimun, prosedur pembahasan neurologi, metastasis malignasi, pembedahan, penyakit
yang berkepanjangan, syok, postpartum, dan trauma.
Kritis tiroid dilaporkan terjadi pada pasien dengan trauma. Seorang pria berusia 40
tahun mengalami kecelakaan lalu lintas. Pria tersebut mengalami kontusio multiple dan abrasi
pada semua ekstremitas. Tidak terdapat obvious cedera kepala dengan gcs 15. Kondisi
hemodinamik pasien stabil dan hasil laboratorium darah lengkap, glukosa darah, fungsi renal
dan elektrolit dalam batas normal. Namun, setelah beberapa jam kondisi sensoris pasien
semakin menurun dan pasien mengalami bingung dan stupotubuh. Suhu tubuh meningkat
mencapai 38.4o C dan nadi mencapai 140/menit. T3 pasien 7pg/ml (1.4-4.4), T4 = 2.2 (0.8-2)
dan TSH <0.01 (0.35-4.94). Kasus ini mewakili kejadian krisis tiroid yang disebabkan oleh
kondisi yang berhubungan dengan penyakit akut/sub akut dimana sebelumnya pasien tidak
mengalami gangguan endokrin.
4. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari kritis tiroid merupakan suatu kondisi ekstrem dari keadaan
tirotoksikosis. Semakin parahnya, gejala dari tirotoksikosis patut diwaspadai, karena kondisi
seperti ini akan jatuh pada tahap krisis tiroid. Migneco (2005) menjelaskan bahwa gambaran
klinis dari krisis tiroid terbagi menjadi 4 hal utama, yaitu : 1) demam tinggi, 2) gangguan
kardiovaskuler seperti sinus takikardi atau variasi aritmia supraventrikuler(takikardi atrial
paroksisimal, atral fibrilasi, atrial flutter), dan dapat dijumpai gagal jantung kongestif, 3)
gangguan sistem saraf pusat (agitasi, kegelisahan, kebingungan, delirium, dan koma), 4)
gangguan gastrointestinal seperti muntah dan diare.
Senada dengan yang diungkapakan oleh Migneco, Nayak (2010) menyatakan bahwa
manifestasi klinis dari krisis tiroid meliputi :
1. Gangguan Konstitusional
Salah satu kondisi yang dapat ditemukan pada pasien dengan krisis tiroid adalah
kehilangan berat badan. Hal ini dapat disebabkan kondisi hipermetabolik yang terjadi, dimana
sejumlah energi dihasilkan namun pada kondisi ini penggunaan energi terjadi secara
berlebihan. selanjutnya, hal ini akan menyebabkan peningkatan produksi panas dan
pembuangan panas secara berlebihan. gejala konstitusional lain yang dapat ditemukan
adalah kelelahan dan kelemahan otot
2. Gangguan Neuropsikiatri
Gangguan neuropsikiatri pada pasien dengan krisis trioid dapat ditemukan kondisi
seperti labilitas, gelisah, cemas, agitasi, bingung, psikosis, bahkan koma. Sebuah studi
perilaku menunjukkan bahwa kinerja memori dan konsentrasi yang buruk berbanding dengan
derajat keparahan tirotoksikosis itu sendiri.
3. Gangguan Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal meliputi peningkatan frekuensi motilitas usus yang disebabkan
peningkatan kontraksi motor usus kecil. Hal ini akan menyebabkan pembuangan isi usus lebih
cepat
4. Gangguan Kardiorespiratori
Gejala kardiorespiratori pada pasien tirotoksikosis meliputi palpitasi dan dispnea.
Sesak nafas dapat disebabkan multifaktorial dikarenakan penurunan komplians paru dan
gagal jantung kiri. Selian itu, nyeri dapat ditemukan pada pasien dengan tirotoksikosis seperti
halnya nyeri pada angina pectoris. Nyeri ini dapat disebabkan oleh peningkatan kebutuhan
penggunaan oksigen dan spasme arteri koroner. Gejala lainnya pada pasien dengan krisis
tiroid dapat ditemukan kondisi seperti takikardi, peningkatan nadi, pleuropericardial, dan
takiaritmia.
Sebuah studi retrospektif yang dilakukan oleh Swee (2013) di Rumah Sakit Umum
Singapura bertujuan untuk menggambarkan keadaan klinis dan epidemiologis pasien dengan
krisis tiroid serta mengidentifikasi determinan spesifik dalam memprediksi mortalitas. Sampel
merupakan pasien dengan krisis tiroid yang dirawat dari 2006-2011 dengan menggunakan
data sekunder yang berjumlah 28 orang (rekam medis tertulis dan elektronik). Kesemua data
tersebut dinilai dengan menggunakan Burch Wartofsky (BW) skor. Hasil penelitian didapatkan
hubungan yang signifikan antara tingkatan sedang gangguan pada sistem saraf pusat
(Moderate CNS) meliputi delirium, psikosis, dan lethargi dengan kejadian mortalitas
(P=0.008). Sedangkan total skor BW, usia, dan kadar hormon T4 dan respon sistemik lainnya
(termoregulatori, kardiovaskuler, dan GI-hepatic) tidak ditemukan sebagai prediksi mortalitas.

5. PATOFISIOLOGI
Patogenesis kriris tiroid pada dasarnya belum diketahui secara pasti. Namun,dapat
dipastikan bahwa kadar hormon tiroid yang beredar dalam darah menjadi jauh lebih tinggi.
Menurut Hudak & Galo (2010) terdapat tiga mekanisme fisiologis yang dapat
meningkatkan krisis tiroid:
1. Pelepasan seketika hormon tiroid dalam jumlah yang besar
Pelepasan tiba-tiba hormon tiroid dalam jumlah besar diduga menyebabkan
manifestasi hipermetabolik yang terjadi selama krisis tiroid. Pelepasan tiba-tiba hormon tiroid
ini dapat disebabkan pemberian yodium radioaktif, pembedahan tiroid, atau dosis berlebihan
pemberian hormon tiroid.
2. Hiperaktivitas adrenergik
Hiperaktivitas adrenergik dapat dipandang sebagai kemungkinan penghubung pada
krisis tiroid. Hal ini dapat dilihat dari pemberian penghambat beta adrenergic memberikan
respon yang dramatis pada pasien dengan krisis tiroid (Bakta, M, Suartika, K, 1999)
Hormon tiroid dan katekolamin saling mempengaruhi satu sama lain. Namun, masih
belum pasti apakah efek hipersekresi hormon tiroid atau peningkatan kadar katekolamin
menyebabkan peningkatan sensitivitas dan fungsi organ efektor, Interaksi tiroid katekolamin
menyebabkan peningkatan kecepatan reaksi kimia, meningkatkan konsumsi nutrient dan
oksigen, meningkatkan produksi panas, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit dan
status katabolik.
3. Lipolisis dan pembentukan asam lemak yang berlebihan
Dengan lipolisis yang berlebihan terjadi peningkatan jumlah asam lemak bebas.
Okisdasi dan asam lemak bebas ini menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen, kalori,
dan hipertermi dengan menghasilkan produksi panas yang berlimpah yang sulit untuk
dihilangkan melalui proses vasodilatasi.
Sedangakan menurut Urden (2010), proses patofisiologis pada krisis tiroid dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Pada hipertiroidisme hormon tiroid yang berlebih menyebabkan peningkatan aktiivitas
metabolik dan merangsang reseptor β-adrenegic, yang akan menyebabkan peningkatan
respon SNS. Terdapat hiperaktivitas dari jaringan syaraf, jaringan cardiac, jaringan otot polos,
dan produksi panas yang berlebih.
Peningkatan hormon tiroid juga akan menyebabkan pemakaian oksigen seluler di
hampir seluruh proses metabolik sel di dalam tubuh. Metabolisme yang berlebih akan
menghasilkan panas , dan suhu tubuh dapat mencapai 41o C atau (106.80 F). Respon dari
cardiac adalah dengan cara meningkatkan CO dan memompa darah lebih banyak untuk
mengirimkan oksigen secara cepat dan membawa karbondioksida. Sehingga akan
mengakibatkan takikardi dan hipertensi. Pada akhirnya, permintaan oksigen dalam keadaan
hipermetabolik yang begitu besar mengakibatkan jantung tidak dapat berkompensasi secara
adekuat.
Guyton (1997) memiliki pandangan lain terkait peningkatan aktivitas metabolik seluler
di dalam tubuh. Menurut Guyton, peningkatan aktivitas metabolik berhubungan dengan
meningkatnya transport aktif ion-ion melalui mebran sel. Salah satu enzim yang meningkat
sebagai respon hormon tiroid adalah Na, K-ATPase. Na, K-ATPase ini selanjutnya
meningkatkan kecepatan transport baik natrium maupun kalium melalui membran-membran
sel dari berbagai jaringan. Proses ini menggunakan energi dan meningkatkan jumlah panas
yang dibentuk dalam tubuh. Pada akhirnya proses ini diduga sebagai salah satu mekanisme
peningkatan kecepatan metabolik dalm tubuh.
Peningkatan aktivitas metabolik yang terjadi menyebabkan peningkatan kebutuhan
oksigen dan sumber energi. Hal ini berpotensi terjadinya asidosis metabolik. Peningkatan
peristaltik usus akan menyebabkan terjadinya diare, mual, dan muntah. Gejala ini akan
menyebabkan terjadinya dehidrasi dan malnutrisi serta kehilangan BB pada pasien (Urder,
2010).
Kontraksi dan relaksasi otot dapat meningkat secara cepat. Keadaan ini disebut juga
dengan hiperrefleksia hipertiroidisme. Kelemahan otot terjadi disebabkan oleh katabolisme
protein yang berlebihan.
Hiperaktivitas adrenergic akan menyebabkan respon kardiovaskuler dan respon
sistem syaraf terhadap kondisi hipermetabolik. Atrial fibrilasi atau atrial flutter dilaporkan
terjadi 8.3% pada pasien dengan keadaan hipertiroidisme (Frost L et al, 2004: Urden et al,
2010). Edema pulmoner dan gagal jantung akut juga dapat terjadi pada krisis tiroid. Selain itu,
peningkatan β- adrenegic juga akan menyebabkan keadaan labilitas emosional, tremor,
agitasi, bahkan delirium.
Berdasarkan teori-teori di atas, jika digambarkan secara skematik patofisiologi dari krisis tiroid seperti di bawah ini :

Berbagai Faktor Pencetus

Peningkatan kadar T3 dan T4 Takikardi,


Hiperaktivita Peningkata aritmia
s n
Meningkatkan Vasodilatasi Peningkatan Adrenergik Katekolami
Na, K-ATP ase aliran darah n

Takikardi
Peningkatan transpor
natrium dan kalium di Hipermetabolik Peningkatan CO
menbran sel Pemakaian Meningkat
O2 Seluler
Peningkatan
Kontraktilitas
Asidosis S.saraf
Metabolik
Peningkatan TD

Peningkatan Ansetas, gelisah


Jumlah Panas
dalam tubuh Penurunan CO

Peningkatan
Motilitas
Usus

Diare
6. DIAGNOSIS
Diagnosis dari krisis tiroid ditegakkan melalui temuan-temuan klinis. Burch &
Watorfsky (1993) mengembangkan suatu skoring yang disebut dengan APACHE (Acute
Phisiology, Age, and Chronic Health Evaluation) dengan kriteria yang terdiri dari suhu, sistem
saraf pusat, gastrointestinal, kardiovaskuler, dan sejarah presipitasi untuk penegakkan
diagnosis dari krisis tiroid.

Tabel 1.1

Kriteri Poin
a
Gangguan
Termoregulasi
Temperature 0F 99.0– 5
99.9 10
100.0–100.9 15
101.0–101.9 20
102.0–102.9 25
103.0–103.9 30
≥104.0 30
Kardiovaskuler
Takikardia (beats per
minute) 100–109 5
110–119 10
120–129 15
130–139 20
≥140 25

Atrial Fibrilasi
Absent 0
Presen 10
t
Congestive Heart Failure
Absent 0
Mild 5
Moderat 10
e 20
Severe
Disfungsi Gastrointestinal-Hepatic
Manifestatio
Absent 0
Mild 10
Sever 20
Gangguan
CNS
Manifestasi 0
Absen 10
Mild (agitation) 20
Moderate (delirium, psikosis, ekstreme 30
lethargy) Severe (Seizure, coma)
Sejarah Pencetus (Precipitant History)
Status Positif 0

Negatif 10
Scores totaled
>45 Thyroid storm
25-44 Impending
Storm
< 25 Storm Unlikely

Sumber : (Burch and Wartofsky, 1993 (21) dalam ATA & AACE, 2011)

Adapun kesimpulan dari scoring ini adalah jika skor pasien > 45 maka pasien
didiagnosis mengalami krisis tiroid. Skor 25-44 menunjukkan kondisi ini segera terjadi krisis
tiroid dan jika skor < 25 menunjukkan tidak terjadi krisis tiroid.
Selain Burch and Wartofsky (BW) scoring sebagai alat untuk menilai kriteria diagnosis
krisis tiroid, Japan Thyroid Association dan Japan Endocrine Society (JTA/JCE) juga memiliki
kriteria diagnosis krisis tiroid. Kriteria diagnosis yang dirumuskan oleh JTA/JCE ini jauh lebih
mudah dan sederhana jika dibandingkan dengan BW scoring. Dibawah ini merupakan kriteria
diagnostic krisis tiroid menurut JTA/JCE :

Tabel 1.2
Diagnostic Criteria For Thyroid Storm of Japan Thyroid Association and Japan
Endocrine Society

Essential criterion Presenece of thyrotoxicosis (elevation of free


T3 and/or T4)

symptoms : Symptoms : 1. Symptoms involving the central


nervous system
2. Fever (≥ 38oC)
3. Tachycardia (≥ 130/min)
4. Symptoms of heart failure
5. Gastrointestinal system

Cases definitely diagnosed as having thyroid storm :

Satisfaction of the essential criterion and at least one of the following criteria
a. Central nervous system symptoms + one more of the symptoms, or
b. 3 or more symptoms other than those of central nervous system

Cases suspected of having thyroid storm :


a. Satisfaction of essential criterion + 2 symptoms other than those of central nervous
system,
or
b. Satisfaction of essential criterion is not confirmed, but positive history of thyroid
disease + exopthalmos + goiter are present and criterion a or b for definite case is
satified

Sumber : Journal Thyroid Research (2011)

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Seperti yang telah dijelaskan di atas penegakkan diagnosa krisis tiroid berdasarkan
temuan- temuan klinis, bukan berdasarkan hasil laboratorium. Hasil laboratorium dapat
berguna untuk mengidentifikasi faktor pencetus.
Pemeriksaan laboratorium yang ditemukan seperti peningkatan kadar serum total dan
konsentrasi T3 bebas, peningkatan T4, dan penekan level TSH. Gambaran laboratorium lain
berupa leukositosis, abnormalitas enzim liver, hiperglikemia, hiperkalsemia, dan peningkatan
glikogenolisis. Hiperkalsemia dapat ditemukan karena hormon tiroid dapat menstimulasi
resorpsi tulang (misra; 2012, nayak; 2010)
2. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah dengan penggunaan ultratiroid scan.
Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan keadaan dari hipertiroidisme yang ditunjukkan dengan
gambaran khas dari basedow’s disease atau nodular goiter dengan karakteristik warna-pola
Doppler dari hiperaktivitas kelenjar tiroid. Sehingga, hal ini dapat membedakan kelenjar
normal dengan mudah (Migneco et al, 2005).

Gambar 1
Penyakit Graves : transverse Gambar 2
sonogram dari lobus kiri Toxic Nodular Goiter : transverse
menunjukkan pembesaran secara sonogram dari lobus kanan
difusi, heterogen, dan hypoechoic menunjukkan adanya massa yang
parenkim. Gambaran power berisi darah
Doppler menunjukkan pola
hipervaskuler
Gambar 3
Normal
Thyroid

Studi pencitraan lain yang dapat dilakukan adalah radiografi dada. Radiografi dada
berguna untuk menunjukkan adanya pembesaran jantung dan menunjukkan adanya oedema
paru yang disebabkan karna adanya pembesaran jatung ataupun infeksi paru. Selain itu,
dapat dilakukan CT scan untuk menilai fungsi neurologis pasien (Misra, 2010).
3. Pemeriksaan Lainnya
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah ECG. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
memonitor cardiac aritmia, dimana kasus atrial fibrilasi paling banyak ditemukan pada pasien
dengan krisis tiroid. Aritmia yang lain seperti halnya flutter, ventrikular takikardi juga dapat
terjadi pada kasus ini (Misra, 2010).

8. Manajemen Farmakologis
Menurut Urden (2010), pada dasarnya manajemen farmakologis pada krisis tiroid
terbagi menjadi tiga, yaitu memblok sintesis dan pengeluaran hormon tiroid, memblok dan
menghambat konversi dari T4 menjadi T3, dan Menurunkan sensiitivitas seluler peripheral
terhadap katekolamin
Pengobatan yang pertama menggunakan Prophyltiouracil (PTU) atau methimazole
yang akan memblok sintesis dari hormone tiroid dan menghambat konversi dari T4 menjadi
T3. Dosis PTU 200-250 mg setiap 4 jam secara oral atau melalui NGT. Perawat harus
memonitor tanda dari perdarahan dan penurunan jumlah platelet (Dahlen, 2002; Dulak,
Kaplow & Hardin, 2007)
Satu sampai dua jam kemudian diberikan iodine solution (lugol) yang bertujuan untuk
mencegah pengeluaran dari penyimpanan hormon tiroid ke seluruh tubuh. Dosis ini diberikan
8 tetes setiap 6 jam secara oral atau melalui ngt (Dahlen, 2002; Dulak, Kaplow & Hardin, 2007
dalam Bray, 2010).
Untuk melawan efek beta adrenergic dari krisis tiroid seperti takikardi, tremor, dan
gelisah dapat diberikan beta blocker. Perawat dapat memberikan propanolol 60-120 mg IV
setiap 6 jam. Fungsi cardiac pasien harus senantiasa dimonitor. Propanolol merupkan drug of
choice karena tidak hanya sebagai beta blocking tetapi juga dapat mengurangi HR, dan
memblok konversi dari T4 menjadi T3. Propanolol sebaiknya tidak digunakan pada pasien
dengan PPOK karena berpotensi terjadi bronkospasme. Pada kasus ini beta 1 selective
blocker dapat menjadi pilihan (Dahlen, 2002; Dulak, Kaplow & Hardin, 2007 dalam Bray, 2010)
Menurut Urden (2010), beberapa pasien dengan krisis tiroid mengalami insufisiensi
adrenal. Sehingga perlu diberikan deksametason ataupun hidrokortison. Hidrokortison
berguna untuk menekan kortisol dari kelenjar adrenal. Perawat dapat memberikan 100 mg iv
setiap 8 jam dan memonitor glukosa dan elektrolit (Dahlen, 2002; Dulak, Kaplow & Hardin,
2007 dalam Bray, 2010)
Dibawah ini merupakan manajemen farmakologis yang direkomendasikan oleh
American Thyroid Associaton (ATA)/American Associations of Clinical Endocrinologists
(2011) pada pasien dengan krisis tiroid :
Tabel 1.3
Thyroid Storm : Drugs & Doses

Dru Dosin Comment


g g
Prophyltiouracil 500-1000 mg load,then 250 Block new hormone synthesis
mg Blocks T4-to-T3 conversion
setiap 4 jam
Methimazole 60-80 mg/day Blocks new hormone
synthesis
Propanolol 60-80 mg every 4 hour Consider invasive monitoring
in congestive heart failure
Blocks T4 to T3 conversion
in high doses
Alternate drugs :
esmolol infusion
Iodine (Saturated solution of 5 drops (0.25mL or 250 mg) Do not start until 1 hour after
potassium iodide) orally every 6 hours antithyroid drugs
Blocks new hormone
synthesis
Blocks thyroid hormone
release
Hidrokortison 300 mg iv load, then 100 mg Block T4 to T3 conversion
setiap 8 jam Prophylaxis against
relative adrenal
insufficiency Alternative
drug :
dexamethasone
Sumber : Bahn et al (2011)

Esmolol merupakan salah satu alternatif obat beta blocker yang direkomendasikan
oleh ATA/AACE untuk mengatasi takikardi sebagai respon dari hiperaktivtias adrenergik pada
pasien dengan krisis tiroid. Namun, terdapat sebuah studi yang mengungkapkan kegagalan
esmolol dalam menangani takikardi pada pasien dengan krisis tiroid pasca sub-tiroidektomi.
Kasus ini dialami seorang wanita berusia 33 tahun dengan berat 56 kg di China. Wanita ini
mengalami pembengkakkan di lehernya`secara progresif dalm kurun waktu 7 tahun.
Sebelumnya, 4 tahun yang lalu wanita ini pernah didiagnosa mengalmi hipertiroidisme.
Dikarenakan kegagalan dari pengobatan, akhirnya dilakukan operasi subtotal tiroidektomi
dengan menggunakan propofol dan infuse sufentanil sebagai anestesi umum. Setelah 30
menit, wanita ini sadar dan kemampuan nafas dinyatakan adekuat. Namun demikian, wanita
ini mengalami febris (38.6°C), gelisah, dan keringat berlebihan. Selain itu, arterial pressure
156/107 mm Hg dan ECG menunjukkan terjadi sinus takikardi (154x/m). pasien ini diduga
mengalami krisis tiroid sehingga diberikan esmolol 30 mg melalui intravena dan midazolam 5
mg. ice packs dan alcohol sponging digunakan untuk menurunkan suhu tubuh, methimazole
20 mg diberikan melalui ngt, dan hydrocortisone 100 mg dan nicardipine 0.25 mg diberikan
melalui i.v. setelah 20 menit suhu tubuh pasien menurun. Namun masih terrdapat takikardi
dan hipertensi. Selanjutnya esmolol kembali diberikan namun ternyata hipertensi dan takikardi
masih menetap. Tes fungsi tiroid yerjadi kenaikan T# dan T4 serta penurunan TSH. Akhirnya
pasien dbawa ke ICU dan pemberian esmolol dihentikan dan pemberian diltiazem dilanjutkan.
Pasien juga diberikan perngobatan yang sama seperti sebelumnya yaitu hidrokortison, PTU,
dan iodine, setelah 10 jam pengobatan, kondisi pasien stabil dan nadi pasien menurun
menjadi 92x/m.
Zhong, HJ dan Yang, T.D (2012) mengungkapkan bahwa pada pasien ini
kemungkinan besar mengalami insensitivitas terhadap beta-blocker. Hal ini mungkin
disebabkan oleh abnormalitas sifat dan jumlah beta adrenergic reseptor di jantung.
Peningkatan dosis pemberian beta blocker mungkin diperlukan untuk mengatasinya.
Pada kasus di atas ditemukan buruknya respon terhadap obat beta bloker yang
diberikan. Respon yang cepat dibutuhkan terhadap pengobatan yang tidak sesuai agar tidak
terjadi dampak yang lebih buruk.
Apabila dengan pengobatan konvensional seperti di atas tidak berhasil, maka untuk
menurunkan kadar hormon secara langsung dapat menggunakan plasmaferesis, tukar
plasma, dialysis peritoneal, tranfusi tukar, dan charcoal plasma perfusion (Bakta, M, Suastika
K,1999).
Penelitian yang dilakukan oleh Muller et al (2011) bertujuan untuk mengetahui peran
pertukaran plasma pada krisis tiroid. Penelitian ini merupakan sebuah laporan kasus dimana
theurapetic plasma exchange (TPE) diberikan kepada 3 pasien lansia yang dirawat karena
mengalami krisis tiroid. Hasil menunjukkan setelah pemberian TPE terdapat peningkatan
kondisi klinis dan biologis pasien. TPE memberikan efek membuang sitokin, putatives
antibodies, hormon tiroid dan ikatannya terhadap protein.
9. Manajemen Perioperatif
Riwayat pembedahan tiroid ataupun pembedahan tiroid dalam keadaan tiroksikosis
memiliki mortalitas yang tinggi pada akhir abad ke 19. Hal ini disebabkan oleh krisis tiroid yang
terjadi pasca operasi. Pada tahun 1923, penggunaan iodine inorganik dapat menurunkan
mortalitas sampai kurang dari 1%. Kemudian, pada awal tahun 1940 thionamide mulai
digunakan untuk persiapan pre- operasi.
Manajemen pre-operasi dari pasien tirotoksikosis dapat dibagi menjadi 2 : persiapan
elektif atau prosedur non urgen dan persiapan prosedur emergensi. Pada keadaan non-urgen,
terapi thionamide sangat direkomendasikan dan akan menyebabkan keadaan eutiroidime
dalam beberapa minggu. Penggunaan iodine sebelum pre-operasi dapat menurunkan
vaskularitas kelenjar tiroid dan menurunkan aliran darah. Namun, penggunaan iodine
diindikasikan hanya jika penggunaan thionamide tidak dapat ditoleransi.
Pada persiapan preoperasi dari pasien tirotoksikosis untuk prosedur emergensi, waktu
merupakan hal yang paling penting, Penurunan secara cepat level hormone tiroid, kontrol
pengeluaran hormon tiroid, dan kontrol dari manifestasi perifer. Pada kondisi ini, regimen
pengobatan sama dengan krisis tiroid
Sebuah studi yang dilakukan Erbil et al (2007) tentang efek lugol terhadap aliran darah
pada kelenjar tiroid dan kepadatan pembuluh darah mikro. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh lugol dalam menurunkan vaskularitas pada kelenjar tiroid, karena
selama ini keefektivititasan dari pemberian lugol masih menjadi perdebatan. Penelitian ini
menggunakan desain uji klinis prospektif. 36 pasien dipilih secara acak untuk diberikan cairan
lugol sebagai preoperative treatement. Pada penelitian ini 17 pasien mendapatkan cairan
lugol dan sisanya 19 pasien sebagai kelompok kontrol. Penilaian dilakukan menggunakan
USG pewarnaan Dopler. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian cairan lugol pre
operasi dapat menurunkan aliran darah, vaskularitas tiroid, dan kehilangan darah pada saat
proses tiroidektomi.
Setelah dilakukan tiroidektomi, tionamide dapat dihentikan 1 sampai 3 hari setelah
operasi. Namun, terapi dengan reseptor β-adrenegik masih dibutuhkan dalam jangka waktu
pendek, sekitar 7-8 hari dikarena waktu paruh dari T4.
10. Manajemen Keperawatan
Menurut Urden (2010), pada kasus emergensi krisis tiroid ini perawat berperan dalam
pemberian obat secara aman dan mengawasi timbulnya efek samping obat, normalisasi suhu
tubuh, rehidrasi dan koreksi metabolik, serta dalam memberikan pendidikan kesehatan
terhadap klien.
1. Medication Adminstration
Pemberian obat harus dilakukan secara aman dan sesuai dengan prosedur. Perawat
juga harus memahami efek yang ditimbulkan dari obat-obatan yang diberikan. Seperti
penggunaan beta blocker, perhatikan efek samping apakah setelah diberikan obat terjadi
penurunan nadi dan tekanan darah secara cepat, bahkan timbul cardiac arrest.
2. Normalisasi suhu tubuh
Pada pasien dengan krisis tiroid memiliki suhu tubuh yang sangat tinggi (hiperpiretik)
berkaitan dengan kondisi hipermetabolik yang dialami pasien. Perawat dapat mengurangi
demam dengan penggunaan ice packs. Selain itu, perawat dapat memberikan kompres pada
aksila, kepala, dan lipatan paha pasien. Asetaminopen (antipiretik) dapat diberikan. Namun
untuk aspirin dan salisilat tidak dapat diberikan karena dapat meningkatkan level sirkulasi
hormon tiroid (Dahlen, 2002: Dulak, 2005 dalam Bray, 2010).
Selain dengan pemberian asetaminofen, Carrol dan Matflin (2011) mengungkapkan
bahwa chlorpromazin 50-100 mg setiap 6 jam sekali dapat diberikan baik secara oral ataupun
melalui intramuscular (IM). CPZ dapat mengurangi hipertermi , karena efeknya langsung pada
termoregulasi sentral.
3. Rehidrasi dan Koreksi Perubahan Metabolik
Hipertermi, takipnea, diaphoresis, muntah, diare menyebabkan pasien mengalami
kekurangan cairan. Penggantian cairan dan elektrolit perlu dilakukan secara cepat. Glukosa
dapat diberikan untuk menggantikan cadangan glikogen yang menurun, pemberian insulin
dapat dilakukan apabila terdapat kondisi hipeglikemi yang dapat disebabkan oleh mobilisasi
dari nutrisi maupun glukokortikoid. Pengukuran kadar glukosa perlu diperlukan secara berkala
untuk mengetahui dosis insulin yang perlu diberikan, Hiponatremia yang bisa disebabkan oleh
muntah dapat dipantau melalui hasil laboratorium serum. Pemberian cairan isotonis
diperlukan dalam kondisi ini. selain itu pemantaun kelembaban mukosa, berat badan, dan
intake output cairan perlu dipantau secara berkala.
4. Pendidikan Kesehatan
Pasien maupun keluarga pasien perlu mendapatkan penjelasan yang adekuat terkait
kondisi krisis yang dialami pasien. Penjelesan yang diberikan merujuk pada kondisi emosional
dan tingkat kognitif pasien. Penyebab dari demam tinggi, ansietas, dan disritmia cardiac perlu
dijelaskan dengan
bahasa yang dapat dipahami oleh keluarga pasien maupun pasien itu sendiri. Sehingga,
pasien maupun keluarga memahami bahwa kondisi-kondisi tersebut merupakan hasil sirkulasi
kimia dalam tubuh dan untuk penangan awal dapat diatasi segera dengan pengobatan secara
konservatif.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Pemeriksaan Fisik
Penegakkan diagnosa krisis tiroid berdasarkan temuan-temuan klinis. Seperti yang
telah dijelaskan di atas penegakkan diagnosis dapat menggunakan penilaian skor
Burch & Wartofsky. Hasil pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda dan gejala
sebagai berikut hipertemi, ,palpitasi, nyeri dada, agitasi, delirium, dispnea,
oedema, diare, peningkatan produksi keringat, nyeri abdominal, takikardi,
dehidrasi, atrial fibrilasi, gagal jantung kongestif, tremor, dan koma.
b. Pemeriksaan Laboratorium
 Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan T3 dan T4
 Hematologi : leukositosis
 Fungsi hati : peningkatan ALT, AST, LDH, CK, alkalin pospatase, dan
bilirubin serum
 asidosis metabolic
 Hiperkalsemia
 Hiperglikemia
c. Pemeriksaan Radiologis
 ECG : atrial fibrilasi, artimia
 Ultrascan tiroid : gambaran klinis basedow’s disease atau nodular goiter
dengan karakteristik warna tertentu.
2. Rencana Keperawatan

Diagnosa Keperawatan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan


Penurunan curah jantung b.d Pasien akan tetap stabil NIC: Cardiac care
gagal jantung dan status secara haemodinamik  Berikan cairan iv sesuai
hipermetabolik NOC: Cardiac pump  Berikan pengobatan i
effectiveness beta blocker
 TTV dalam  Berikan oksigen
rentang normal sesuai indikasi
 Nadi perifer teraba  Lakukan pemeriksaan
 Disritmia (-) ECG secara teratur
 Pengisian kapiler (+)  Monitor tekanan
darah, cvp
 Dengarkan
suara jantung,
perhatikan apakah
ada suara jantung
abnormal seperti
gallops ataupun
murmur
 Awasi apakah pasien
mengeluhkan nyeri
pada dada
 Kaji nadi pasien
 Auskultasi suara
nafas, catat adanya
bunyi nafas tambahan
Defisit volume cairan b.d Pasien akan normovolemik NIC: Fluid management
status hipermetabolik NOC: Fluid Balance  Kaji status volume
 Balance input dan cairan setap 1 jam
output cairan  Berikan cairan IV
 Tidak terjadi tanda- sesuai indikasi
tanda dehidrasi (dapat diberikan
(mucus lembab, crt < dekstrose)
2’. Nadi dalam  Observasi
rentang normal tanda/gejala seperti
(N=60-100 x/m) membran mucus
kering, nadi lemah,
kapiler,
pengisian
kapiler
, penurunan urin
output, dan hipotensi.
 Monitor input dan
output cairan
 Berikan obat dan
elektrolit sesuai
indikasi
 Kaji semua data
laboratorium.
Laporkan nilai
elektrolit yang
abnormal
Hipertermi hipermetabolik Suhu tubuh rentang suhu NIC: manajemen hipertermi
b.d status Pasien kembali tubuh sesuai  Pantau suhu tubuh
normal setiap 1 jam
NOC: Thermoregulation Lakukan tindakan
status yang dapat
 Suhu normal 36.5-37.5 menurunkan status
 Nadi dan pernapasan tubuh pasien (cooling
dalam rentanng pad, ice pack.
norma (N = 60- Kompres dengan air
100x/m, RR = 16-20 biasa pada aksila,
x/m) kening. Leher, dan
 Keletihan tidak lipatan paha)
nampak  Turunkan suhu tubuh
pasien
(berikan
asetaminofen)
 Pantau hidrasi secara
teratur (turgor kulit,
dan kelembaban
membrane mukosa)
DAFTAR PUSTAKA

Akamizu, et al. 2012. Novel Diagnostic Criteria and Clinico-Epidemiological Features of


Thyroid Storm Based on a Japanese Nationwide Survey. Jurnal of Endocrine. Vol.33.
Abstract. Diakses melalui
http://edrv.endojournals.org/cgi/content/meeting_abstract/33/03_MeetingAbstracts/SUN-
407 pada tanggal 2 Oktober 2013.

Bahn et al. 2011. Hyperthyroidism and Other Causes of Thyrotoxicosis : Management


Guidelines of The American Thyroid Association and American Association of Clinical
Endocrinologists. Diakses melalui https://www.aace.com/files/hyper-guidelines-2011.pdf
pada tanggal 3 September 2013.

Bakta M, Suastika, K. 1999. Gawat Darurat di Penyakit Dalam. Jakarta : EGC

Bray, D. L. 2010. Thyroid Storm and The AACN Synergy Model In The Eye of The Storm.
Journal of Nursing. Retrieved September 3, 2013 from http://rnjournal.com/journal-of-
nursing/thyroid- strom-and-the-aacn-synergy -model

Dahlen, R. 2002. Managing Patients with Acute Thyrotoxicosis. Critical Care Nurse, 22, 62-69.

Dulak, S.B. 2005. Thyroid Storm : a medical emergency. Modern Medicine. Retrieved
November 7, 2009 from
http://rn.modernmedicine.com/rnweb/article/articleDetail.jsp?id=153278

Erbil et al. 2007. Effect of Lugol Solution on Thyroid Gland Blood Flow and Microvessel Density
in the Patients with Grave’s Disease. The Jorunal of Endocrinology & Metabolism Vol 92
(6) : 2182- 2189

Fink et al. 2005 Textbook of Critical Care 5th Edition. USA : Elsevier

Frost L et al. 2004. Hyperthiroidism and risk of atrial fibrillation or flutter : a population based
study.
Arch Intern Med 164(15) : 1675-1678

Guyton A, J., Hall J, E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC

Hudak & Galo.2010. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik Vol.2 Ed. 6. Jakarta : EGC

Kobal et al. 2010. Treatement of Thyrotoxic Crisis With Plasmapheresis and Single Pass
Albumin Dialysiis : A Case Report. Journal Artificial Organ Vol.34 (2) pp : 55-58

Maafin, carrol. 2010. ENdocrin and Metabolic Emergencies : Thyroid Storm. Theraupetic
advance in endocrinology and Metabolism. 113, pp : 139-145

Migneco et al. 2005. Management of Thyrotoxic Crisis. European Review for Medical and
Pharmaloical Sciences.Vol . 69-74

Misra et al. 2012. Thyroid Storm. Diakses melalui emedicine.medscape.com/article/925147


pada tanggal 18 September 2013
Mistovich et al. 2007. Beyond the basics :Endocrine Emergencies Part 1 : Hyperthyroidism
and Thyroid Storm. EMG Magazines.

Muller et al. 2011. Review Article : Role of Plasma Exchange in The Thyroid Storm. Journal of
Theraupetic Apheresis and Dialysis Vol 15 (6) : 522-531

Nadkarni PJ et al. 2008. Thyrotoxicosis-induced ventricular arythmias. Thyroid. 18(10) :1111-

1114. Nayak Bindu MD, Burman Kenneth MD. 2006. Thyrotoxicosis and Thyroid Storm.

Elsevier Journal.
Available from : Endocrionlogy and Metabolism Clinics of North America 663-686.
Swee Du Soon et al. (2013). Neurological Manifestations Predict Mortality In Thyroid Storm.
Vol.34.Diakses
melalu
i
http://edrv.endojournals.org/cgi/content/meeting_abstract/34/03_MeetingAbstracts/M
ON- 451 pada tanggal 18 September 2013.

Urden, et al. 2010. Critcal Care Nursing : Diagnosis and Management. Canada : Mosby

Young, J.1999. Actionstat. Thyroid Storm. Endocr Rev. Vol 29 (8) : 33. Diakses melalui
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10504975?report=abstract pada tanggal 18
September 2013

Zhong, H.J, Yong, T.D.2012. Failure of esmolol to control tachycardia associated with thyroid
storm after subtotal thyroidectomy. Oxford Journals, Vol.19, 466-467. Diakses melalui
http://bja.oxfordjournals.org/content/109/3/466.2.full pada tanggal 3 Oktober 2013.

Anda mungkin juga menyukai