“Thyroid Storm”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners
Departemen Medikal di R. 26 IPD RSUD dr. Saiful Anwar Malang
Oleh :
ZIADAH NIKMATUR RIZQIYAH
NIM.190070300111025
KELOMPOK 3A
2. Etiologi
Sebelum penggunaan preoperatif iodida dan obat anti-tiroid
propylthiouracil (PTU) dan methimazole (MMI; Tapazole), krisis tiroid yang
paling sering terlihat selama dan setelah tiroidektomi subtotal. Karena agen
ini digunakan untuk mengembalikan euthyroidism sebelum operas, krisis
tiroid jarang terlihat dalam konteks ini (Irwin and Rippe’s, 2008).
Krisis tiroid terjadi paling sering pada pasien dengan tirotoksikosis yang
berat, sering tidak terdiagnosis, atau karena alasan lain, seperti infeksi,
trauma, ketoasidosis diabetikum, atau gangguan paru dan kardiovaskuler.
Krisis tiroid juga telah dilaporkan terjadi setelah konsumsi obat
simpatomimetik (seperti pseudoephedrine) pada pasien thyrotoxic (Irwin and
Rippe’s, 2008).
3. Patofisiologi
Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing
hormone (TRH) yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk
menyekresikan thyroid-stimulating hormone (TSH) dan hormon inilah yang
memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid. Tepatnya, kelenjar ini
menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi
terutama oleh hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine
(T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang bebas tidak terikat
dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat pada thyroid-binding
globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi
dengan gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon
tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar
pituitari anterior.
Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya
tirotoksikosis ini melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang
diarahkan pada 4 antigen dari kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase,
simporter natrium-iodida, dan reseptor TSH. Reseptor TSH inilah yang
merupakan autoantigen utama pada patofisiologi penyakit ini. Kelenjar tiroid
dirangsang terus-menerus oleh autoantibodi terhadap reseptor TSH dan
berikutnya sekresi TSH ditekan karena peningkatan produksi hormon tiroid.
Autoantibodi tersebut paling banyak ditemukan dari subkelas imunoglobulin
(Ig)-G1. Antibodi ini menyebabkan pelepasan hormon tiroid dan TBG yang
diperantarai oleh 3,’5′-cyclic adenosine monophosphate (cyclic AMP). Selain
itu, antibodi ini juga merangsang uptake iodium, sintesis protein, dan
pertumbuhan kelenjar tiroid.
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam
merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang
melibatkan banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari
tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid
yang semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid
(dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon
tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon
ini sudah terlalu tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan
kematian. Diduga bahwa hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan
reseptor beta, cyclic adenosine monophosphate, dan penurunan kepadatan
reseptor alfa. Kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun
norepinefrin normal pada pasien tirotoksikosis.
Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori
berikut ini telah diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid
dilaporkan memiliki kadar hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien
dengan tirotoksikosis tanpa komplikasi meskipun kadar hormon tiroid total
tidak meningkat. pengaktifan reseptor adrenergik adalah hipotesis lain yang
muncul. Saraf simpatik menginervasi kelenjar tiroid dan katekolamin
merangsang sintesis hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan hormon tiroid
meningkatkan kepadatan reseptor beta-adrenergik sehingga menamnah efek
katekolamin. Respon dramatis krisis tiroid terhadap beta-blockers dan
munculnya krisis tiroid setelah tertelan obat adrenergik, seperti
pseudoefedrin, mendukung teori ini. Teori ini juga menjelaskan rendah atau
normalnya kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin katekolamin. Namun,
teori ini tidak menjelaskan mengapa beta-blockers gagal menurunkan kadar
hormon tiroid pada tirotoksikosis.
Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat
patogenik dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang
dapat terjadi pasca operasi mungkin menyebabkan peningkatan mendadak
kadar hormon tiroid bebas. Sebagai tambahan, kadar hormon dapat
meningkat cepat ketika kelenjar dimanipulasi selama operasi, selama palpasi
saat pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah terapi radioactive
iodine (RAI). Teori lainnya yang pernah diajukan termasuk perubahan
toleransi jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip katekolamin yang
unik pada keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung dari hormon
tiroid sebagai akibat kemiripan strukturnya dengan katekolamin.
4. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala menurut Urden dan Stacy (2010), adalah:
a) Sistem Kardiovaskular
Takikardi, sistolik murmur, peningkatan stroke volume, peningkatan
cardiac output, peningkatan tekanan sistolik, penurunan tekanan diastolik,
adanya gambaran ekstrasistol, paroxysmal atrial takikardi, dada berdebar-
debar, nyeri dada, peningkatan kontraktilitas jantung, CHF, edema pulmo
dan syok kardiogenik.
b) Sistem Syaraf Pusat
Hiperkinesis, kelemahan otot, konfusi, kunfulsi, tremor, emosional yang
labil, apatis, stupor, diaphoresis.
c) Sistem Gastrointestinal
Mual dan muntah, diare, pembesaran hati, nyeri perut, kehilangan berat
badan, penurunan nafsu makan.
d) Sistem integumen
Pruritus, hiperpigmentasi pada kulit, kebotakan.
e) Sistem Termoregulator
Hipertermia, penguapan tubuh, diaforesis.
f) Sistem Perkemihan dan serum
Hiperkalsemia, hiperglikemia, hipoalbumin
5. Tes Diagnostik
6. Penatalaksanaan
Menurut Urden dan Stacy (2010) tujuan manajemen medis krisis tiroid
adalah untuk mengurangi efek klinis hormon tiroid secepat mungkin,
termasuk mencegah dekompensasi jantung, mengurangi hypertermia, dan
mengembalikan dehidrasi yang disebabkan oleh demam atau kerugian
gastrointestinal.
Mencegah kolaps jantung
Meningkatnya sensitivitas tubuh terhadap peningkatan adrenergik dan
reseptor katekolamin harus ditekan. Penyimpangan jantung harus dikontrol
dan perkembangan gagal jantung dihentikan . Pemberian beta – blocker
adalah terapi utama untuk perlindungan jantung
Mengurangi hipertermi
Penurunan suhu tubuh dicapai (36,5C- 37,5C) dengan menggunakan selimut
dan obat antipiretik. Salisilat (aspirin) merupakan kontraindikasi karena
salisilat mencegah protein yang mengikat dari T 4 ke T3 dan meningkatkan
hormon tiroid.
Mengembalikan hidrasi
Penggantian dengan cairan vigrous harus sesuai dengan institusi untuk
mengobati atau mencegah dehidrasi. terapi antibiotik bisa digunakan di pada
infeksi sistemik. Kondisi patologis lainnya yang ada diperlakukan dengan
tepat. Jika dehidrasi dan asidosis metabolik yang datang, mereka
dipergunakan dengan volume besar untuk solusi glukosa dan natrium untuk
mengganti kehilangan cairan beredar dan natrium akibat hipermetabolisme
C. Intervensi Keperawatan
1. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, suhu tubuh normal
dengan kriteria hasil suhu dalam batas normal 36,5°C-37,5°C
Intervensi :
a) Pantau tanda vital (suhu) tiap 15 menit
R: Menilai peningkatan dan penurunan suhu tubuh
b) Berikan tambahan lapisan pakaian atau tambahan selimut
R: Meminimalkan kehilangan panas
c) Hindari dan cegah penggunaan sumber panas dari luar
R: Mengurangi vasodilatasi perifer dan kolaps vaskuler
d) Lindungi terhadap pajanan hawa dingin dan hembusan angin
R: Meningkatkan tingkat kenyamanan pasien dan menurunkan lebih
lanjut kehilangan panas
e) Kolaborasi pemberian obat antipiretik
R: Obat antipiretik dapat mempercepat turunnya suhu tubuh
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan berlebihan
melalui rute normal
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, cairan tubuh
seimbang dengan kriteria hasil: volume cairan tetap adekuat, pasien
memproduksi volume urine yang adekuat, pasien mempunyai turgor kulit
normal dan membrane mukosa lembab, volume cairan kembali normal
Intervensi :
a) Pantau tanda-tanda vital setiap 15 menit atau sesering mungkin
sesuai keperluan sampai stabil
R: Takikardia, dispnea, atau hipotensi dapat mengindikasikan
kekurangan volume cairan dan ketidakseimbangan elektrolit
b) Kaji turgor kulit dan membrane mukosa mulut
R: Untuk memeriksa dehidrasi dan menghindari dehidrasi membrane
mukosa
c) Ukur asupan dan haluaran cairan. Catat dan laporkan perubahan
yang signifikan termasuk urine.
R: Haluaran urin yang rendah mengindikasikan hipovolemi
d) Berikan cairan IV sesuai instruksi.
R: Untuk mengganti cairan yang hilang
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan
penurunan suplai O2 ke otak
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, perfusi jaringan
cerebral efektif dengan kriteria hasil: kesadaran compos mentis, tekanan
darah sistolik dan diastolik satabil, terbebas dari PTIK
Intervensi :
a) Lakukan pengkajian neurologis setiap 1 sampai 2 jam pada awalnya
selanjutnya setiap 4 jam bila pasien sudah stabil.
R: Untuk menskrining perubahan tingkat kesadaran dan status
neurologis
b) Ukur tanda-tanda vital setiap 15 menit kemudian setiap 4 jam jika
pasien sudah stabil
R: Untuk mendeteksi secara dini tanda-tanda penurunan perfusi
jaringan serebral atau peningkatan TIK
c) Tinggikan kepela tempat tidur pasien 30 derajat
R: Untuk mencegah peningkatan tekanan intraserebral dan untuk
memfsilitasi drainase vena sehingga menurunkan edema serebral
d) Pertahankan kepala pasien dalam posisi netral
R: Untuk mempertahankan arteri karotis tanpa halangan sehingga
dapat memfasilitasi perfusi
4. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipertiroid tidak
terkontrol, keadaan hipermetabolisme, peningkatan beban kerja jantung
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, curah jantung
yang adekuat sesuai dengan kebutuhan tubuh, dengan kriteria hasil
efektifitas status sirkulasi, perfusi jaringan (organ abdomen, jantung,
serebela, perifer dan pulmonal) dan perfusi jaringan perifer, tidak terjadi
kejang dan CVP normal
Intervensi :
a) Pantau tekanan darah
R: Hipotensi umum atau ortostatik dapat terjadi sebagai akibat dari
vasodilatasi perifer yang berlebihan dan penurunan volume sirkulasi
b) Periksa kemungkinan adanya nyeri dada atau angina yang dikeluhkan
pasien.
R: Merupakan tanda adanya peningkatan kebutuhan oksigen oleh otot
jantung atau iskemia
c) Auskultasi suara jantung. Perhatikan adanya suara yang tidak normal
(seperti murmur).
R: Murmur dan S1 yang menonjol berhubungan dengan curah jantung
meningkat pada keadaan hipermetabolik (meingkatnya kalsitonin)
d) Pantau tanda-tanda kejang
R: Kejang terjadi karena peningkatan kalsium dalam darah, evaporasi
tinggi, kekurangan cairan)
e) Kolaborasi untuk memberikan obat sesuai dengan indikasi : Beta
blocker seperti: propranolol, atenolol, nadolol (R: diberikan untuk
mengendalikan pengaruh tirotoksikosis terhadap takikardi, tremor dan
gugup serta obat pilihan pertama pada krisis tiroid akut.
f) Kolaborasi untuk memantau hasil pemeriksaan laboratorium sesuai
indikasi: Kalium serum (R: berikan pengganti sesuai indikasi)
(hipokalemi sebagai akibat dari kehilangan melalui evaporasi);
Kalsium serum (R: terjadi peningkatan dapat mengubah kontraksi
jantung).
DAFTAR PUSTAKA
Irwin and Ripe’s. 2008. Intensive Care Medicine Sixth Edition. Philadelphia:
Lippincot William & Wilkins.
Lanken, Paul., et.all. 2013. The Intensive Care Unit Manual Second Edition.
Philadelphia: Elsevier Sounders