Anda di halaman 1dari 47

WRAP UP SKENARIO 2

BLOK PANCA INDERA


TELINGA SAKIT

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK A-2

Ketua : Firdaus Pratama (1102014101)

Sekertaris : Annisa Amalia Damiri (1102014028)

Anggota : Ayu Aprilita B. (1102014052)


Desy Indriani (1102014069)
Ayu Suci N. (1102015041)
Deybi Eri Cahyani R. (1102015058)
Dinera Anjani A. (1102015062)
Fathir Rizki Suwandi (1102015076)
Iqbal Musyaffa (1102015100)
Mahek Munawar Patel (1102015125)

FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM

UNIVERSITAS YARSI

2017/2018

JL.Letjend Suprapto, Cempaka Putih Jakarta 10510

Telp (021) 4244574 Fax (021) 4244574


SKENARIO 2

TELINGA SAKIT

Seorang anak usia 3 tahun pilek batuk dan demam sudah 3 hari yang lalu. Keluhan telinga
kanannya sakit, mengeluarkan sedikit cairan seperti air susu dan bercampur sedikit warna merah
seperti darah. Lalu dibawa ibunya ke UGD. Setelah liang telinga dibersihkan, diperiksa kendang
telinganya tampak merah dan mengeluarkan cairan. Ibu pasien bertanya pada dokter, apakah
penyakit anaknya bisa sembuh.
PERTANYAAN

1. Mengapa telinga mengeluarkan cairan seperti air susu dan darah?


2. Mengapa telinga terasa sakit?
3. Pemeriksaan yang dilakukan pada kasus ini?
4. Diagnosis?
5. Adakah hubungan antara usia dengan kasus ini?
6. Faktor resiko penyakit ini?
7. Mengapa hanya terjadi pada salah satu telinga saja? Bisakah terkena pada kedua sisi?
8. Adakah hubungan pilek batuk dan demam dengan sakit telinga ini?
9. Pencegahan penyakit ini?
10. Mengapa kendang telinga berwarna merah dan mengeluarkan cairan?
11. Tatalaksana penyakit ini?
12. Bagaimana cara menjaga kebersihan telinga menurut pandangan Islam?

JAWABAN
1 dan 10.
- Karena adanya inflamasi menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga terjadi hiperemis
- Karena adanya tekanan dari tuba auditiva sehingga menekan kendang telinga dan secret
peradangan keluar dari telinga
2. Karena adanya inflamasi sehingga mengeluarkan mediator inflamasi dan terasa nyeri
3. Pemeriksaan THT (otoskopi)
4. Otitis Media Akut Stadium Supuratif
5. Ada, bentuk tuba Eustachii pada anak-anak belum matur (lebih landai), faktor hygiene yang
lebih rendah sehingga mudah terinfeksi
6. Faktor resiko:
Intrinsik berupa usia, jenis kelamin (laki-laki lebih banyak)
Ekstrinsik berupa Hygiene, riwayat ISPA
7. Karena ada dua saluran OPTA yang berbeda antara kanan dan kiri, tergantung dari perjalanan
kuman apakah melalui kanan atau kiri. Bisa terjadi pada kedua sisi tapi jarang
8. Ada, karena pengobatan pilek batuk demam yang tidak adekuat dapat menyebabkan komplikasi
ascendens ke tuba auditiva melalui OPTA
9. Wudhu, jangan membersihkan telinga dengan”cotton bud”, rutin periksa kedokter
11. Pemberian analgesic, antibiotic, antipiretik dan anti inflamasi serta obat tetes telinga
12. Menjaga pendengaran, Wudhu, Berdoa untuk diberi kesehatan

HIPOTESIS

ISPA yang tidak diobati dengan adekuat dapat menyebabkan komplikasi berupa gangguan
pendengaran seperti Otitis Media Akut. Faktor resiko penyakit ini adalah usia, jenis kelamin,
hygiene yang kurang dan riwayat penyakit ISPA. Otitis media akut dapat menimbulkan gejala
seperti telinga merah dan keluarnya cairan dari telinga yang disebabkan karena adanya inflamasi.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik seperti Otoskopi.
Tatalaksana yang dapat diberikan berupa pemberian analgesic, antibiotic, antipiretik dan anti
inflamasi serta obat tetes telinga. Penyakit ini dapat dicegah dengan berwudhu, jangan
membersihkan telinga dengan”cotton bud” serta rutin periksa kedokter. Menurut pandangan Islam
menjaga kebersihan telinga dapat dilakukan dengan tetap menjaga pendengaran, wudhu, dan selalu
berdoa untuk diberi kesehatan kepada Allah SWT.
SASARAN BELAJAR

1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Telinga


1.1. Makroskopis
1.2. Mikroskopis

2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Pendengaran

3. Memahami dan Menjelaskan Otitis Media


3.1. Definisi
3.2. Etiologi
3.3. Epidemiologi
3.4. Klasifikasi
3.5. Patofisiologi dan Patogenesis
3.6. Manifestasi Klinis
3.7. Diagnosis dan Diagosis Banding
3.8. Tatalaksana
3.9. Komplikasi
3.10. Pencegahan
3.11. Prognosis

4. Memahami dan Menjelaskan Cara menjaga Telinga dan Pendengaran dalam Tuntunan Islam
1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Telinga
1.1. Makroskopis

1. Telinga luar

Telinga luar terdiri atas:


 Auricular (daun telinga)
- Auricular terdiri atas lempeng tulang rawan elastis tipis yang ditutupi kulit.
- Diinervasi oleh cabang N.auricoltemporalis dan N.vagus
- Diperdarahi oleh a.carotis eksterna yang bercabang menjadi a.temporalis
superficialis dan a.auricularis posterior
- Memiliki otot ekstrinsik yaitu m.auricularis anterior dan posterior yang dipersarafi
oleh N.facialis
- Berfungsi untuk menangkap gelombang suara

 Meatus acusticus externus


- Terletak pada Os.zygomaticus
- Memiliki glandula seruminosa untuk mengeluarkan serumen
- Pada orang dewasa panjangnya lebih kurang 1 inci (2,5 cm). Rangka 1/3 bagian
luar meatus adalah cartilage elastic dan 2/3 bagian dalam adalah tulang yang
dibentuk oleh lempeng timpani.
- Batas antara pars cartilaginea dengan pars osseus (menyempit)
- Diinervasi oleh N.auricularis temporalis dan ramus auricularis N.vagus
- Berfungsi sebagai proteksi dan memperbesar tekanan gelombang suara

 Membrana timpani (Gendang Telinga)


- Merupakan batas antara meatus acusticus eksternus dan cavum tympani
- Lapisan fibrosa pars tensa melekat lamina tympanica ossis temporalis
- Pars flaccida (anterosuperior) lebih tipis
- Dataran lateral cekung, pada bagian tengah terdapat umbu membrane tympanica,
diinervasi oleh cabang N.auriculotempralis dan cabang N.vagus, dan diperdarahi
oleh r.auricularis profundus (a.maxillaris)
- Dataran medial melekat manubrium dan processus lateralis mallei, diinervasi oleh
cabang N.glossopharyngeus, dan diperdarahi oleh a.tympanica posterior
(a.styloidea) dan a.tympanica anterior (a.maxillaris)
2. Telinga tengah
Ruang berisi udara didalam pars petrosa ossis temporalis yang dilapisi oleh
membrane mucosa. Ruang ini berisi tulang-tulang pendengaran yang berfungsi
meneruskan getaran membrane timpani ke perilympha telinga dalam. Telinga tengah
mempunyai atap, lantai, dinding anterior, dinding posterior, dinding lateral dan
dinding medial.
Atap dibentuk oleh lempeng tipis tulang yang disebut tegmen timpani yang
merupakan bagian dari pars petrosa ossis temporalis. Lempeng ini memisahkan cavum
timpani dari meniges dan lobus temporalis otak di dalam fossa crania media. Lantai
dibentuk oleh lempeng tipis tulang. Lempeng ini memisahkan cavum timpani dari
bulbus superior vena jugularis interna.
Bagian bawah dinding anterior dibentuk oleh lempeng tipis tulang yang
memisahkan cavum timpani dari arteri carotis interna. Pada bagian atas dinding
anterior terdapat muara dari dua buah saluran. Dibagian atas dinding posterior terdapat
aditus ad antrum. Dibawah ini terdapat penonjolan yang berbentuk kerucut, sempit,
kecil disebut pyramis. Dari puncak pyramis ini dibetuk tendo muskulus stapedius.
Sebagian besar dinding lateral dibentuk oleh membrane timpani. Dinding medial
dibentuk oleh dinding lateral telinga dala. Bagian terbesar dari dinding terdapat
penonjolan bulat (promontorium) yang disebabkan oleh lengkung pertama cochlea
yang ada dibawahnya.

Ossicula Auditiva
a. Malleus
Pendengaran terbesar dan terdiri dari caput, collum dan processus longum/
manubrium, sebuah processus anterior dan processus lateralis.
b. Incus
Mempunyai corpus yang besar dan 2 crus yaitu crus longum, yang berjalan ke bawah
di belakang dan sejajar dengan manubrium mallei; dan crus breve, menonjol ke
belakang dan dilekatkan pada dinding posterior cavum timpani oleh sebuah
ligamentum.
c. Stapes
Mempunyai caput, 2 buah crus yaitu crus anterior dan crus posterior dan sebuah basis.

Perbatasan antara tulang malleus dengan incus terdapat articularis incudomallearis dan
antara tulang incus dengan stapes terdapat articulation incudostapedia.

Otot-otot Ossicula
a. Muskulus Tensor Tympani
- Origo = cartilago tuba auditiva dan dinding tulang salurannya sendiri.
- Insertio = pada manubrium mallei.
- Persarafan = sebuah cabang dari nervus yang menuju M. pterygoideus medialis (cabang
dari divisi mandibularis nervus trigeminus).
- Fungsi = secara refeleks meredam getaran malleus dengan lebih menegangkan
membrane tympani.
b. Muskulus Stapedius
- Origo = dnding dalam pyramis yang berongga.
- Insertio = pada bagian belakang collum stapedis.
- Persarafan = nervus fasialis yang terletak dibelakang pyramis.
- Fungsi = secara reflex meredam getaran stapes dengan menaikkan collumnya.

Tuba Auditiva
Terbentang dari dinding anterior cavum tympani ke bawah, depan dan medial sampai
nasopharing. 1/3 bagian posterior adalah tulang dan 2/3 bagian anterior adalah cartilage.
Tuba berhubungan dengan nasopharing dengan bejalan melalui pinggir atas M. constrictor
pharinges superior. Tuba berfungsi menyeimbangkan tekanan udara di dalam cavum
tympani dngan nasopharing.

Antrum Mastoideum
Terletak dibelakang cavum tympani di dalam pars petrosa ossis temporalis dan
berhubungan dengan telinga tengah melalui aditus.
- Dinding anterior berhubungan dengan telinga tengah dan berisi aditus ad antrum.
- Dinding posterior memisahkan antrum dari sinus sigmoideus dan cerebellum.
- Dinding lateral tebalnya 1,5 cm dan membentuk dasar trigonum suprameatus.
- Dinding medial berhubungan dengan canalis semisirkularis posterior.
- Dinding superior berhubungan dengan meninges pada f ossa crania media dan lobus
temporalis cerebri.
- Dinding inferior berlubang-lubang, menghubungkan antrum dengan cellulae
mastodeae.

Cellulae Mastoideae
Suatu seri rongga yang saling berhubungan di dalam processus mastoideus, yang diatas
berhubungan dengan antrum dan cavum tympani. Rongga ini dilapisi oleh membrane
mucosa.

Nervus fasialis
Pada dinding medial telinga tengah membesar membentuk ganglion geniculatum. Cabang-
cabang penting pars intrapetrosa nervus fasialis yaitu nervus petrosus major, saraf ke M.
stapedius dan chorda tympani.

Nervus Tympanicus
Berasal dari nervus glossopharingeus dan berjalan melalui dasar cavum tympani dan pada
permukaan promontorium. Lalu bercabang-cabang membentuk plexus tympanicus
(mempersarafi lapisan cavum tympani dan mempercabangkan nervus petrosus minor).

3. Telinga dalam

Labyrinthus Osseus
Terdiri dari 3 bagian yaitu:
1. Vestibulum
- Bagian tengah labyrinthus osseus, terletak posterior terhadap cochlea dan
anterior terhadap canalis semisirkularis.
- Di dalam vestibulum terdapat sacculus dan utriculus labyrintus membranaceus.
2. Canalis semisirkularis
- Ketiga canalis semisirkularis superior, posterior dan lateral bermuara ke bagian
posterior vestibulum.
- Didalam canalis terdapat ductus semisirkularis.
3. Cochlea
- Berbentuk seperti rumah siput dan bermuara ke dalam bagian anterior
vestibulum.
- Umumnya terdiri dari 1 pilar sentral, modiolus cochlea dan modiolus ini
dikelilingi tabung tulang yang sempit sebanyak 2 ½ putaran.
- Modiolus mempunyai basis yang lebar, terletak pada dasar meatus acusticus
internus.
Labyrinthus Membranaceus
Terletak didalam labyrinthus osseus dan berisi endolympha dan dikelilingi oleh
perilympha. Labyrinthus ini terdiri atas utriculus dan sacculus, yang terdapat didalam
vestibulum osseus; 3 ductus semisirkularis, yang teletak didalam canalis semisirkularis
osseus; dan ductus cochlearis, yang terletak didalam cochlea.
1. Utriculus
Bagian terbesar dari dua buah saccus vestibuli yang ada dan dihubungkan tidak
langsung dengan sacculus dan ductus endolymphaticus oleh ductus utriculosaccularis.
2. Sacculus
Berbentuk bulat dan berhubungan dengan uticulus. Ductus endolymphaticus setelah
bergabung dengan ductus utriculosaccularis akan berakhir didalam kantung buntu kecil
yaitu saccus endolymphaticus.
3. Ductus Semisirkularis
Diameternya lebih kecil dari canalisnya. Ketiganya tersusun tegak lurus satu dengan
lainnya.
4. Ductus Cochlearis
Berbentuk segitiga pada potongan melintang dan berhubungan dengan sacculus
melalui ductus reunions.
Perdarahan
Telinga dalam memperoleh perdarahan dari a. auditori interna (a. labirintin) yang berasal
dari a. serebelli inferior anterior atau langsung dari a. basilaris. Setelah memasuki meatus
akustikus internus, arteri ini bercabang 3 yaitu :

1. Arteri vestibularis anterior yang mendarahi makula utrikuli, sebagian makula sakuli,
krista ampularis, kanalis semisirkularis superior dan lateral serta sebagian dari utrikulus
dan sakulus.
2. Arteri vestibulokoklearis, mendarahi makula sakuli, kanalis semisirkularis posterior,
bagian inferior utrikulus dan sakulus serta putaran basal dari koklea.
3. Arteri koklearis yang memasuki modiolus dan menjadi pembuluh-pembuluh arteri
spiral yang mendarahi organ Corti, skala vestibuli, skala timpani sebelum berakhir pada
stria vaskularis.

Aliran vena pada telinga dalam melalui 3 jalur utama. Vena auditori interna mendarahi
putaran tengah dan apikal koklea. Vena akuaduktus koklearis mendarahi putaran basiler
koklea, sakulus dan utrikulus dan berakhir pada sinus petrosus inferior. Vena akuaduktus
vestibularis mendarahi kanalis semisirkularis sampai utrikulus. Vena ini mengikuti
duktus endolimfatikus dan masuk ke sinus

Persarafan
N.Vestibulocochlearis (N.acusticus) yang dibentuk oleh bagian kohlear dan vestibular,
didalam meatus akustikus internus bersatu pada sisi lateral akar N.Fasialis dan masuk
batang otak antara pons dan medula. Sel-sel sensoris vestibularis dipersarafi oleh
N.cochlearis dengan ganglion vestibularis (scarpa) terletak didasar dari meatus akustikus
internus. Sel-sel sensoris pendengaran dipersarafi N.cochlearis dengan ganglion spiralis
corti terletak di modiolus.

1.2. Mikroskopis

a. Daun Telinga
- Kerangka terdiri dari tulang rawan elastis dan bentuk tak teratur.
- Perikondrium mengandung banyak serat elastis.
- Kulit yang menutupi tulang rawan tipis.
- Jaringan subkutan tipis.
- Didalam kulit terdapat rambut halus, kelenjar sebasea, kelenjar keringat sedikit dan
jaringan lemak pada lobules auricular.
b. Meatus Acusticus Externus
- Berupa berupa saluran ± 25 cm, arah medioinferior.
- Bagian luar kerangka dinding terdiri dari tulang rawan elastin.
- Bagian dalam berkerangka os temporal.
- Dilapisi kulit tipis, tanpa subkutis dan berhubungan erat dengan perichondrium/
periosteum yang ada dibawahnya.
- Kulit mengandung folikel rambut, kelenjar sebasea dan modifikasi kelenjar keringat
yang dikenal sebagai kelenjar serumen. Sekret kelenjar sebacea bersama sekret
kelenjar serumen merupakan komponen penyusun serumen. Serumen merupakan
materi bewarna coklat seperti lilin dengan rasa pahit dan berfungsi sebagai pelindung.

c. Membran Tympani
- Bentuk oval, semi transparan.
- Terdiri dari 2 lapisan jaringan penyambung:
1. Lapisan luar, mengandung serat-serat kolagen tersusun radial.
2. Lapisan dalam, mengandung serat-serat kolagen tersusun sirkular.
- Serat elastin terutama dibagian sentral dan perifer.
- Permukaan luat diliputi kulit, tanpa rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat.
- Permukaan dalam dilapisi mucosa yang terdiri dari epitel selapis cuboid dan lamina
propia yang tipis.
d. Cavum Tympani
- Berisi udara
- Posterior, berhubungan dengan ruang-ruang dalam processus mastoideus.
- Anterior, berhubungan dengan tuba faringotympani.
- Lateral, dibatasi oleh membrane tympani.
- Medial, dipisahkan dari telinga dalam oleh tulang.
- Cavum tympani, tulang-tulang pendengaran, nervus dan musculi dilapisi mucosa
yang terdiri dari epitel selapis cuboid dan lamina propia tipis.
- Epitel cavum tympani sekitar muara tuba faringotympani terdiri dari selapis cuboid/
silindris dengan silia.

e. Tuba Faringotympani
- Lumen sempit, gepeng dalam bidang vertical.
- Mucosa membentuk rugae terdiri dari epitel selapis/ bertingkat silindris dengan silis
dan lamina propia tipis.
- Sepanjang mucosa terdapat limfosit

f. Telinga Dalam/ Labyrinth


Telinga dalam adalah suatu sistem saluran dan rongga di dalam pars petrosum
tulang temporalis. Telinga tengah di bentuk oleh labirin tulang (labirin oseosa) yang
di dalamnya terdapat labirin membranasea. Labirin tulang berisi cairan perilimf
sedangkan labirin membranasea berisi cairan endolimf.
Labirin tulang terdiri atas 3 komponen yaitu kanalis semisirkularis, vestibulum, dan
koklea tulang. Labirin tulang ini di sebelah luar berbatasan dengan endosteum,
sedangkan di bagian dalam dipisahkan dari labirin membranasea yang terdapat di dalam
labirin tulang oleh ruang perilimf yang berisi cairan endolimf.
Vestibulum merupakan bagian tengah labirin tulang, yang berhubungan dengan
rongga timpani melalui suatu membran yang dikenal sebagai tingkap oval (fenestra
ovale). Ke dalam vestibulum bermuara 3 buah kanalis semisirkularis yaitu kanalis
semisirkularis anterior, posterior dan lateral yang masing-masing saling tegak lurus.
Setiap saluran semisirkularis mempunyai pelebaran atau ampula. Walaupun ada 3
saluran tetapi muaranya hanya lima dan bukan enam, karena ujung posterior saluran
posterior yang tidak berampula menyatu dengan ujung medial saluran anterior yang
tidak berampula dan bermuara ke dalam bagian medial vestibulum oleh krus
kommune.Ke arah anterior rongga vestibulum berhubungan dengan koklea tulang dan
tingkap bulat (fenestra rotundum).
Cochlea merupakan tabung berpilin mirip rumah siput. Bentuk keseluruhannya
mirip kerucut dengan dua tiga-perempat putaran. Sumbu koklea tulang di sebut
mediolus. Tonjolan tulang yang terjulur dari modiolus membentuk rabung spiral dengan
suatu tumpukan tulang yang disebut lamina spiralis. Lamina spiralis ini terdapat
pembuluh darah dan ganglion spiralis, yang merupakan bagian koklear nervus
akustikus.

LABIRIN MEMBRANASEA
Labirin membransea terletak di dalam labirin tulang, merupakan suatu sistem saluran
yang saling berhubungan dilapisi epitel dan mengandung endolimf. Labirin ini
dipisahkan dari labirin tulang oleh ruang perilimf yang berisi cairan perilimf. Pada
beberapa tempat terdapat lembaran-lembaran jaringan ikat yang mengandung pembuluh
darah melintasi ruang perilimf untuk menggantung labirin membranasea.
Labirin membranasea terdiri atas:
1. Kanalis semisirkularis membranasea
2. Ultrikulus
3. Sakulus
4. Duktus endolimfatikus merupakan saluran penghubung duktus ultrikularis dan
duktus sakularis.
5. Sakus endolimfatikus merupakan ujung buntu duktus endolimfatikus
6. Duktus reuniens, saluran kecil penghubung antara sakulus dengan duktus
koklearis
7. Duktus koklearis mengandung organ Corti yang merupakan organ pendengaran.
Terdapat badan-badan akhir saraf sensorik dalam ampula kanalis semisirkularis pada
bangunan yang dikenal sebagai krista ampularis). Pada ultrikulus dan sakulus juga
terdapat badan-badan akhir saraf yang terdapat pada bangunan yang dikenal sebagai
makula sakuli dan ultrikuli yang berfungsi sebagai indera statik dan kinetik.

SAKULUS DAN ULTRIKULUS


Dinding sakulus dan ultrikulus dibentuk oleh lapisan jaringan ikat tebal yang
mengandung pembuluh darah, sedangkan lapisan dalamnya dilapisi epitel selapis
gepeng sampai selapis kuboid rendah. Pada sakulus dan ultrikulus terdapat reseptor
sensorik yang disebut makula sakuli dan makula ultrikuli. Makula sakuli terletak
paling banyak pada dinding sehingga berfungsi untuk mendeteksi percepatan vertikal
lurus sementara makula ultrikuli terletak kebanyakan di lantai /dasar sehingga
berfungsi untuk mendeteksi percepatan horizontal lurus.
Makula disusun oleh 2 jenis sel neuroepitel (disebut sel rambut) yaitu tipe I dan
II serta yang duduk di lamina basal. Serat-serat saraf dari bagian vestibular nervus
vestibulo-akustikus (N.VIII) akan menerima impuls saraf dari sel-sel neuroepitel ini.
Sel rambut I berbentuk seperti kerucut dengan bagian dasar yang membulat berisi inti
dan leher yang pendek. Sel ini dikelilingi suatu jala terdiri atas badan akhir saraf
dengan beberapa serat saraf eferen, mungkin bersifat penghambat/ inhibitorik. Sel
rambut tipe II berbentuk silindris dengan badan akhir saraf aferen maupun eferen
menempel pada bagian bawahnya. Kedua sel ini mengandung stereosilia pada apikal,
sedangkan pada bagian tepi stereosilia terdapat kinosilia. Sel penyokong
(sustentakular) merupakan sel berbentuk silindris tinggi, terletak pada lamina basal
dan mempunyai mikrovili pada permukaan apikal dengan beberapa granul sekretoris.
Pada permukaan makula terdapat suatu lapisan gelatin dengan ketebalan 22
mikrometer yang dikenal sebagai membran otolitik. Membran ini mengandung
banyak badan-badan kristal yang kecil yang disebut otokonia atau otolit yang
mengandung kalsium karbonat dan suatu protein. Mikrovili pada sel penyokong dan
stereosilia serta kinosilia sel rambut terbenam dalam membran otolitik. Perubahan
posisi kepala mengakibatkan perubahan dalam tekanan atau tegangan dalam
membran otolitik dengan akibat terjadi rangsangan pada sel rambut. Rangsangan
ini diterima oleh badan akhir saraf yang terletak di antara sel-sel rambut.

KANALIS SEMISIRKULARIS
Kanalis semisirkularis membranasea mempunyai penampang yang oval. Pada
permukaan luarnya terdapat suatu ruang perilimf yang lebar dilalui oleh trabekula.
Pada setiap kanalis semisirkularis ditemukan sebuah krista ampularis, yaitu badan
akhir saraf sensorik yang terdapat di dalam ampula (bagian yang melebar) dari
kanalis semisirkularis. Tiap krista ampularis di bentuk oleh sel-sel penyokong dan
dua tipe sel rambut yang serupa dengan sel rambut pada makula. Mikrovili, stereosilia
dan kinosilianya terbenam dalam suatu massa gelatinosa yang disebut kupula serupa
dengan membran otolitik tetapi tanpa otokonia.
Dalam krista ampularis, sel-sel rambutnya di rangsang oleh gerakan endolimf
akibat percepatan sudut kepala. Gerakan endolimf ini mengakibatkan tergeraknya
stereosilia dan kinosilia. Dalam makula sel-sel rambut juga terangsang tetapi
perubahan posisi kepala dalam ruang mengakibatkan suatu peningkatan atau
penurunan tekanan pada sel-sel rambut oleh membran otolitik.
KOKLEA
Koklea tulang berjalan spiral dengan 23/4 putaran sekiitar modiolus yang juga
merupakan tempat keluarnya lamina spiralis. Dari lamina spiralis menjulur ke dinding
luar koklea suatu membran basilaris. Pada tempat perlekatan membran basilaris ke
dinding luar koklea terdapat penebalan periosteum yang dikenal sebagai ligamentum
spiralis. Di samping itu juga terdapat membran vestibularis (Reissner) yang
membentang sepanjang koklea dari lamina spiralis ke dinding luar. Kedua membran
ini akan membagi saluran koklea tulang menjadi tiga bagian yaitu
1. Ruangan atas (skala vestibuli)
2. Ruangan tengah (duktus koklearis)
3. Ruang bawah (skala timpani).
Antara skala vestibuli dengan duktus koklearis dipisahkan oleh membran
vestibularis (Reissner). Antara duktus koklearis dengan skala timpani dipisahkan oleh
membran basilaris. Skala vesibularis dan skala timpani mengandung perilimf dan di
dindingnya terdiri atas jaringan ikat yang dilapisi oleh selapis sel gepeng yaitu sel
mesenkim, yang menyatu dengan periosteum disebelah luarnya. Skala vestibularis
berhubungan dengan ruang perilimf vestibularis dan akan mencapai permukaan dalam
fenestra ovalis. Skala timpani menjulur ke lateral fenestra rotundum yang
memisahkannya dengan ruang timpani. Pada apeks koklea skala vestibuli dan timpani
akan bertemu melalui suatu saluran sempit yang disebut helikotrema.
Duktus koklearis berhubungan dengan sakulus melalui duktus reuniens tetapi
berakhir buntu dekat helikotrema pada sekum kupulare.
Pada pertemuan antara lamina spiralis tulang dengan modiolus terdapat
ganglion spiralis yang sebagian diliputi tulang. Dari ganglion keluar berkas-berkas
serat saraf yang menembus tulang lamina spiralis untuk mencapai organ Corti.
Periosteum di atas lamina spiralis menebal dan menonjol ke dalam duktus koklearis
sebagai limbus spiralis. Pada bagian bawahnya menyatu dengan membran basilaris.
Membran basilaris yang merupakan landasan organ Corti dibentuk oleh serat-
serat kolagen. Permukaan bawah yang menghadap ke skala timpani diliputi oleh
jaringan ikat fibrosa yang mengandung pembuluh darah dan sel mesotel.
Membran vestibularis merupakan suatu lembaran jaringan ikat tipis yang
diliputi oleh epitel selapis gepeng pada bagian yang menghadap skala vestibuli.

DUKTUS KOKLEARIS (SKALA MEDIA)


Epitel yang melapisi duktus koklearis beragam jenisnya tergantung pada
lokasinya, diatas membran vestibularis epitelnya gepeng dan mungkin mengandung
pigmen, di atas limbus epitelnya lebih tinggi dan tak beraturan. Di lateral epitelnya
selapis silindris rendah dan di bawahnya mengandung jaringan ikat yang banyak
mengandung kapiler. Daerah ini disebut stria vaskularis dan diduga tempat sekresi
endolimf.

ORGAN CORTI
Organ Corti terdiri atas sel-sel penyokong dan sel-sel rambut. Sel-sel yang
terdapat di organ Corti adalah
1. Sel tiang dalam merupakan sel berbentuk kerucut yang ramping dengan bagian
basal yang lebar mengandung inti, berdiri di atas membran basilaris serta bagian leher
yang sempit dan agak melebar di bagian apeks.
2. Sel tiang luar mempunyai bentuk yang serupa dengan sel tiang dalam hanya lebih
panjang. Di antara sel tiang dalam dan luar terdapat terowongan dalam (Terowongan
Corti)
3. Sel falangs luar merupakan sel berbentuk silindris yang melekat pada membrana
basilaris. Bagian puncaknya berbentuk mangkuk untuk menopang bagaian basal sel
rambut luar yang mengandung serat-serat saraf aferen dan eferen pada bagian basalnya
yang melintas di antara sel-sel falangs dalam untuk menuju ke sel-sel rambut luar. Sel-
sel falangs luar dan sel rambut luar terdapat dalam suatu ruang yaitu terowongan Nuel.
Ruang ini akan berhubungan dengan terowongan dalam.
4. Sel falangs dalam terletak berdampingan dengan sel tiang dalam. Seperti sel falangs
luar sel ini juga menyanggah sel rambut dalam.
5. Sel batas membatasi sisi dalam organ corti
6. Sel Hansen membatasi sisi luar organ Corti. Sel ini berbentuk silindris terletak antara
sel falangs luar dengan sel-sel Claudius yang berbentuk kuboid. Sel-sel Claudius
terletak di atas sel-sel Boettcher yang berbentuk kuboid rendah.
Permukaan organ Corti diliputi oleh suatu membran yaitu membrana tektoria
yang merupakan suatu lembaran pita materi gelatinosa. Dalam keadaan hidup membran
ini menyandar di atas stereosilia sel-sel rambut.
GANGLION SPIRALIS
Ganglion spiralis merupakan neuron bipolar dengan akson yang bermielin dan
berjalan bersama membentuk nervus akustikus. Dendrit yang bermielin berjalan dalam
saluran-saluran dalam tulang yang mengitari ganglion, kehilangan mielinnya dan
berakhir dengan memasuki organ Corti untuk selanjutnya berada di antara sel rambut.
Bagian vestibular N VIII memberi persarafan bagian lain labirin. Ganglionnya terletak
dalam meatus akustikus internus tulang temporal dan aksonnya berjalan bersama
dengan akson dari yang berasal dari ganglion spiralis. Dendrit-dendritnya berjalan ke
ketiga kanalikulus semisirkularis dan ke makula sakuli dan ultrikuli.
Telinga luar menangkap gelombang bunyi yang akan diubah menjadi getaran-
getaran oleh membran timpani. Getaran-getaran ini kemudian diteruskan oleh
rangkaian tulang –tulang pendengaran dalam telinga tengah ke perilimf dalam
vestibulum, menimbulkan gelombang tekanan dalam perilimf dengan pergerakan
cairan dalam skala vestibuli dan skala timpani. Membran timpani kedua pada tingkap
bundar (fenestra rotundum) bergerak bebas sebagai katup pengaman dalam pergerakan
cairan ini, yang juga agak menggerakan duktus koklearis dengan membran basilarisnya.
Pergerakan ini kemudian menyebabkan tenaga penggunting terjadi antara stereosilia
sel-sel rambut dengan membran tektoria, sehingga terjadi stimulasi sel-sel rambut.
Tampaknya membran basilaris pada basis koklea peka terhadap bunyi berfrekuensi
tinggi , sedangkan bunyi berfrekuensi rendah lebih diterima pada bagian lain duktus
koklearis.
2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Pendengaran

Proses pendengaran
Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Gelombang suara adalah getaran
udara yang merambat dan terdiri dari daerah-daerah nertekanan tinggi karena komporesi
(pemampatan) molekul-molukel udara yang berselang-seling dengan daerah-daerah bertekanan
rendah karena penjarangan molekul tersebut. Setiap alat yang ammapu menghasilkan pola
gangguan molekul udara seperti itu adalah sumber suara.
Gelombang suara juga dapat berjalan melalui medium selain udara, misalnya air. Namun,
perjalan gelombang suara dalam media tersebut kurang efisien, diperlukan tekanan yang lebih
besar untuk menimbulkan pergerakan cairan udara karena resistensi terhadap perubahan cairan
yang lebih besar.
Suara ditandai oleh nada (tone, tinggi rendahnya suara), intensitas (kekuatan, kepekakan,
loudness, dan timbre (kualitas, warna nada).
o Nada suatu suara ditentukan oleh frekuensi getaran. Semakin tinggi frekuensi getaran ,
semakin tinggi nada. Telinga manusia dapat mendeteksi gelombang suara dengan
frekuensi dari 20-20.000 siklus per detik, tetapi paling peka terhadap frekuensi antara
1000 dan 4000 siklus per detik.
o Intensitas atau kepekakan (kekuatan) suatu suara bergantung pada amplitudo
gelombang suara, atau perbedaan tekanan anatar daerha pemampatan yang bertekanan
tinggi dan daerah penjarangan yang bertekanan tinggi. Dalam rentang pendengaran,
semakin besar amplitudo, semakin keras (pekak) suara. Kepekakan dinyatan dalam
desibel (dB), yaitu ukuran logaritmik intensitas dibandungkan dengan suara teredam
(terhalus) yang dapat terdengar –ambang pendengaran-. Karena hubungan yang bersifat
logaritmik, setiap 10 dB menandakan peningkatan kepekakan 10 kali lipat.
o Kualitas atau warna nada (timbre) bergantung pada nada tambahan, yaitu frekuensi
tambahan yang menimpa nada dasar.

Telinga luar dan tengah mengubah gelombang suara dari hantaran udara menjadi
getaran cairan di telinga dalam.
Reseptor-reseptor khusus untuk suara terletak di telinga dalam yang berisi cairan. Dengan
demikian, gelombang suara hantaran udara yang harus disalurkan ke arah dan dipindahkan ke
telinga dalam, dan dalam prosesnya melakuakan kompensai terhadap berkurangnya energi
suara terjadi secara alamiah sewaktu gelombang suara berpindah dari udara ke air. Fungsi ini
dilakukan oleh telinga liar dan telinga tengah.

Telinga luar terdiri dari pinna (bagian daun telinga, auricula), meatus auditorius eksternus
(saluran telinga), dan memebran timpani (gendnag telinga). Pinna, suatu lempeng tulang rawan
terbungkus kulit, mengumpulkan gelombang suara dan menyalurkannya ke slauran telinga luar.
Karena bentuknya, daun telinga secra parsial menahan gelombang suara yang mendekati telinga
dari arah belakang, dan dengan demikian, membantu seseorang membedakan apakah suara
datang dari arah depan atau belakang.

Lokalisasi suara untuk menentukan apakah suara datang sari kanan atau kiri ditentukan
berdasarkan dua petunjuk. Pertama, gelombang suara mencapai telinga yang terletak lebih
dekat ke sumber suara sedikit lebih cepat daripada gelombang tersebut mencapai telinga
satunya. Kedua, sura terdengar kurang kuat sewaktu mencapai telinga yang terletak lebih jauh,
krena kepala berfungsi sebagai sawar suara yang secara parsial mengganggu perambatan
gelombang suara.

Pintu masuk ke kanalis telinga (saluran telinga) dijaga oleh rambut-rambut halus. Kulit yang
melapisi saluran telinga mengandung kelenjar-kelenjar keringat termodifikasi yang
menghasilkan serumen (kotoran telinga), suatu sekersi lengket yang menangkap partikel-
partikel asing yang halus. Rambut halus dan serumen tersebut membantu mencegah partikel-
partikel dari udara masuk ke bagian dalam saluran telinga, tempat mereka dapat menumpuk
atau mencederai membrana timpani dan menggangu pendengaran.
Membrani timpani, yang teregang menutupi pintu masuk ke telinga tengah, bergetar sewaktu
terkena gelombang suara. Daerah-daerah gelombang suara yang bertekanan tinggi dan rendah
berselang-seling menyebabkan gendang telinga yang sangat peka tersebut menekuk keluar
masuk seirama dengan frekuensi gelombang suara.

Tekanan udara istirahat di kedua sisi membran timpani harus setara agar membrana dapat
bergerak bebas sewaktu gelombang suara mengenainya. Bagian luar gendang telinga terpajan
ke tekanna atmosfer yang mencapainya melalui saluran telinga. Bagian dalam gendang telinga
yang berhadapan dengan rongga telinga tengah juga terpajan ke tekanan atmosfer melalui tuba
eustachius (auditoria) yang menghubungkan telinga tengah ke faring. Tuba eustakius dalam
keadaan normal tertutup, tetapi dapat dibuat terbuka dengan gerakan menguap, mengunyah,
atau menelan. Pembukaan tersebut memeungkinkan tekanan udara di dalam telinga tengah
menyamakan diri dengan tekanan atmosfer, sehingga tekanan di kedua sisi membran setara.

Selama perubahan tekanan eksternal yang berlangsung cepat (contohnya sewaktu pesawat lepas
landas), kedua gendang telinga menonjol ke luar dan menimbulkan nyeri karena tekanan di luar
telinga berubah sedangkan tekanan di telinga tengah tidak berubah. Membuka tuba eustakius
dengan menguap memungkinkan tekanan di kedua sisi membrana timpani seimbang, sehingga
menghilangkan distorsi tekanan dan gendang telinga kembali ke posisinya semula. Infeksi yang
berasal dari tenggorokan kadang-kadang menyebar melalui tuba eustakius ke telinga tenagah.
Penimbunan cairan yang terjadi di telinga tengah tidak saja menimbulkan nyeri tetapi juga
menganggu hantaran suara melintasi telinga tengah.

Telinga tengah memindahkan gerakan bergetar memebrana timpani ke cairan di telinga dalam.
Pemindahan ini dipermudah oleh adanya rantai yang terdiri dari tiga tulang yang dapat beregrak
atau osikula (maleus, inkus, dan stapes) yang berjalan melintasi telinga tengah. Tulang
pertama maleus melekat ke membrana timpani, dan tulang terakhir stapes melekat ke jendela
oval, pintu masuk ke koklea yang berisi cairan. Ketika membrana timpani bergetar sebagai
respons terhadap gelombang suara, rantai tulang-tulang tersebut juga bergerak dengan frekuensi
yang sama, memindahkan frekuensi gerakan tersebut dari membrana timpani ke jendela oval.
Tekanan di jendela oval akibat setiap getaran yang dihasilkan menimbulkan gerakan seperti
gelombang pada cairan telinga dalam dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi gelombang
suara semula.

Namun, seperti dinyatakan sebelumnya, diperlukan tekanan yang lebih besar untuk
menggerakan cairan. Terdapat dua mekanisme yang berkaiatan dengan sistem osikuler yang
memperkuat tekanan gelombang suara daru udara untuk menggetarkan cairan di koklea.
Pertama, karena luas permukaan membran timpani jauh lebih besar daripada luas permukaan
jendela oval, terjadi peningktan tekanan ketika gaya yang bekerja di membrana timpani
disalurkan ke jendela oval (tekanan= gaya/satuan luas). Kedua, efek pengungkit tulang-tulang
pendnegaran menghasilkan keuntungan mekanis tambahan. Kedua mekanisme ini bersama-
sama meningkatkan gaya yang timbul pada jendela oval sebesar 20 kali lipat dari gelombang
suara yang langsung mengenai jendela oval. Tekanan tambahan ini cukup untuk menyebabkan
peregrakan cairan koklea.
Beberapa otot halus di telinga tengah berkontraksi secara refleks sebgai respons terhadap suara
keras (> 70 dB), menyebabkan membrana timpani menegang dan pergerakan tulang-tulang di
telinga tengah dibatasi. Pengurangan pergerakan struktur-struktur telinga tengah ini
menghilangkan transmisi gelombang suara keras ke telinga dalam untuk melindungi perangkat
sensorik yang sangat peka dari kerusakan. Namun, respons refleks ini relatif lambat, timbul
plaing sedikit 40 mdet setelah pajanan suatu sura keras. Dengan demekian, refleks ini hanya
memberikan perlindungan terhadap suara keras yang berkepankangan, bukan terhadap suara
keras yang timbul mendadak, misalnya suara ledakan.
Sel rambut di organ corti mengubah gerakan cairan menjadi sinyal saraf.
Gerakan stapes yang menyerupai piston terhadap jendela oval menyebabkan timbulnya
gelombang tekanan di kompartemen atas. Karena cairan tidak dapat ditekan, tekanan
dihamburkan melalui dua cara sewaktu stapes menyebabkan jendela oval menonjol ke dalam:
1. Perubahan posisi jendela bundar
2. Defleksi membran basilaris.

Pada jalur pertama, gelombang tekanan mendorong perilimfe ke depan di kompartemen atas,
kemudian mengelilingi helikotrema, dan ke kompartemen bawah, tempat gelombang tersebut
menyebabkan jendela bundar menonjol ke luar ke dalam rongga telinga tengah untuk
mengkompensasi peningkatan tekanan. Ketika stapes beregerak mundur dan menarik jendela
oval ke luar ke arah telinga tengah, perilimfe mengalir dalam arah berlawanan, mengubah posisi
jendela bundar ke arah dalam. Jalur ini tidak menyebabkan timbulnya persepsi suara, tetapi
hanay menghamburkan tekanan.

Gelombang tekanan frekuensi yang berkaitan dengan penerimaan suara mengambil “jalan
pintas”. Gelombang tekanan di kompartemen atas dipindahkan melalui membrana vestibular
yang tipis, ke dalam duktus koklearis, dan kemudian melalui membrana basilaris ke
kompartemen bawah, tempat gelombang tersebut menyebabkan jendela bundar menonjol ke
luar masuk bergantian. Perbedaan utama pada jalur ini adalah bahwa transmisi gelombang
tekanan melalui membrana basilaris menyebabkan membran ini bergerak ke atas dan ke bawah,
atau bergetar secara sinkron dengan gelombang tekanan. Karena organ corti menumpang pada
membrana basilaris, sel-sel rambut juga bergerak naik turun sewaktu membrana basilaris
bergetar. Karena rambut-rambut dari sel reseptor terbeanam di dalam membrana tektorial yang
kaku dan stasioner, rambut-rambut tersebut akan membengkok ke depan dan belakang sewaktu
membrana basilaris menggeser posisinya terhadap membrana tektorial.

Perubahan bentuk mekanis rambut yang maju mundur ini menyebabkan sluran-saluran ion
gerbang mekanis di sel-sel rambut terbuka dan tertutup secara bergantian. Hal ini menyebabkan
perubahan potensial depolarisasi dan hiperpolarisasi yang bergantian.
Sel-sel rambut adalah sel reseptor khusus yang berkomunikasi melalui sinaps kimiawi dengan
ujung-ujung serat saraf aferen yang membentuk saraf auditorius (koklearis). Depolarisasi sel-
sel rambut (sewaktu membrana basilaris bergerak ke atas) meningkatkan kecepatan
pengeluaran zat perantara mereka, yang menaikkan kecepatan potensial aksi di serat-serta
aferen. Sebaliknya, kecepatan pembentukan potensial aksi berkurang ketika sel-sel rambut
mengeluarkan sedikit zat perantara karena mengalami hiperpolarisasi (sewaktu membrana
basilaris bergerak ke bawah).
Dengan demikian, telinga mengubha gelombang suara di udara menjadi gerakan-gerakan
berosilasi membrana basilaris yang membengkokkan pergerakan maju mundur rambut-rambut
di sel reseptor. Perubahan bentuk mekanis rambut-rambut tersebut menyebabkan pembukaan
dan penutupan (secara bergantian) saluran di sel reseptor, yang menimbulkan perubahan
potensial berjenjang di reseptor, sehingga mengakibatkan perubahan kecepatan pembentykan
potensial aksi yang merambat ke otak. Dengan cara ini, gelombang suara diterjemahkan
menjadi sinyal saraf yang dapat dipersepsikan oleh otak sebagai sensasi suara.

Diskriminasi nada bergantung pada daerah membrana basilaris yang bergetar,


diksriminasi kepekakan suara bergantung pada amplitudo getaran.
Diskriminasi nada (yaitu, kemampuan membedakan berbagai frekuensi gelombang suara yang
datang) bergantung pada bentuk dan sifat membrana basilaris, yang menyempit dan kaku di
ujung helikotremanya.

Berbagai daerah di membrana basilaris secra alamiah bergetar secara maksimum pada frekuensi
yang berbeda, yaitu setiap frekuensi memperlihatkan getaran puncak di titik-titik tertentu
sepanjang membrana. Ujung sempit paling dekat jendela oval bergetar maksimum pada nada-
nada tinggi, sedangkan ujung lebar paling dekat dengan helikotrema bergetar maksimum pada
nada-nada rendah. Nada-nada antara berada di sepanjang membrana basilaris dari frekuensi
tinggi ke rendah.

Korteks pendengaran dipetakan berdasarkan nada


Neuron-neuron aferen yang menangkap sinyal auditorius dari sel-sel rambut keluar dari koklea
melalui saraf auditorius. Jalur saraf antara organ corti dan korteks pendengaran melibatkan
beberapa sinaps di batang otak dan nukleus genikulatus medialis talamus. Batang otak
menggunakan masukan pendangaran untuk kewaspadaan. Talamus menyortir dan
memancarkan sinyal ke atas. Tidak seperti jalur penglihatan, sinyal pendengaran dari kedua
telinga disalurkan ke kedua lobus temporalis karena serat-sertanya bersilangan secara parsial di
batang otak. Karena itu, gangguan di jalur pendengaran tidak mengganggu pendengaran di
kedua telinga.

3. Memahami dan Menjelaskan Otitis Media


3.1. Definisi
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.

3.2. Etiologi
Telinga bagian tengah terhubung ke bagian belakang hidung melalui kanal kecil
yang disebut saluran eustachius. Bakteri dapat menyusup ke dalam telinga bagian tengah
melalui kanal ini, di mana bakteri tersebut biasanya didorong keluar melalui saluran
eustachius. Bakteri dan virus dapat menginfeksi telinga bagian tengah.
Faktor resiko meliputi umur, jenis kelamin, ras, faktor genetic, status sosioekonomi
serta lingkungan asupan air susu ibu (ASI) atau susu formula, lingkungan merokok, kontak
dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital, status imunologi, infeksi bakteri
atau virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba Eustachius, inmatur tuba Eustachius
dan lain-lain.
Anak-anak cenderung menderita otitis media akut (OMA), karena anatomi telinga,
fungsi telinga serta saluran eustachius, sistem imunitas yang masih rendah. Insidens
terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan.
Anak-anak pada ras Native American, Inuit, dan Indigenous Australian menunjukkan
prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan ras lain. Faktor genetik juga berpengaruh.
Status sosioekonomi juga berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas
higiene yang terbatas, status nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga
mendorong terjadinya OMA pada anak-anak. ASI dapat membantu dalam pertahanan
tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya asupan ASI banyak menderita OMA.
Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang lebih signifikan
dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak yang sering dengan anak-
anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak, insidens OMA juga meningkat. Anak
dengan adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA karena fungsi
tuba Eustachius turut terganggu, anak mudah menderita penyakit telinga tengah. Otitis
media merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik
bakteri atau virus.

Bakteri Virus Lain-lain

 Streptococcus pneumoniae (hingga  Respiratory  Chlamydia


40 %) syncytial virus  Mycoplasma
 Haemophillus influenza (25-30%)  (RSV)
terutama pada anak dibawah 5 tahun  Mononucleosis
 Streptococcus haemolyticus  Campak
 Staphylococcus aureus
 Streptococcus anhemolyticus
 Moraxellla cararrhalis (10-20%)
 Eschericia coli
 Proteus vulgaris
 Pseudomonas aeruginosa

3.3. Epidemiologi
Otitis media lebih sering timbul di musim dingin daripada musim semi. Di beberapa
penelitian disebutkan penyakit ini banyak diderita laki-laki, sementara diantara anak-anak
Amerika kulit putih dan kulit hitam tidak ada perbedaan. Insidens tertinggi otitis media
akut (OMA) pada kelompok umur 6-11 bulan dan 75% anak mengalami episode ini dalam
umur 12 bulan. Anak-anak yang menderita pertama sekali episode OMA kurang dari umur
12 bulan secara signifikan akan lebih mudah mendapatkan OMA rekuren.
Data epidemiologi OMSK bervariasi, prevalensi tertinggi didapatkan pada
anakanak Eskimo, Indian Amerika, dan Aborigin Australia (7-46%). Negara industri
seperti Amerika Serikat dan Inggris prevalensinya kurang 1% (Chole dan Nason, 2009).
Secara umum, prevalensi OMSK di Indonesia adalah 3,8% dan pasien OMSK merupakan
25% dari pasien-pasien yang berobat di poliklinik THT rumah sakit di Indonesia (Aboet,
2007). Tahun 2008 kunjungan baru penderita OMSK sebanyak 208 dengan perbandingan
laki-laki dan perempuan hampir sama.

3.4. Klasifikasi
Otitis media berdasarkan gejalanya dibagi atas otitis media supuratif dan otitis
media non supuratif, di mana masing-masing memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain
itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa, otitis media
sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis media adhesiva.
Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi secara lengkap atau
sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila
telah terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi
telinga tengah. Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai
dengan membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas yang terhad pada
membran timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore.
Otitis Media

Otitis Media
Otitis Media Supuratif Nonsupuratif Otitis Media Spesifik
(serosa/sekretorik/musi Lainnya
nosa/efusi)

1. Otitis Media Akut (0-


3 minggu) 1. Otitis Media Serosa
2. Otitis Media Rekuren Akut Otitis Media
(barotrauma/aerotitis) Tuberculosis
2. Otitis Media Rekuren

Otitis Media Supuratif


subakut (3-12 minggu)
Otitis Media Serosa
Otitis Media Sifilitika
Subakut

Otitis Media Supuratif


Kronik (>12 minggu)
Otitis Media Serosa
Otitis Media Adhesiva
Kronik
3.5. Patofisiologi dan Patogenesis
3.6. Manifestasi Klinis
OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung
pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius,
stadium hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan
stadium resolusi.

Membran Timpani Normal

1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius


Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi membran
timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam telinga tengah, dengan
adanya absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi dan posisi malleus menjadi lebih
horizontal, refleks cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada tuba Eustachius juga
menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi, membran timpani kadang-kadang tetap
normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah
terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis
media serosa yang disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini.

2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi


Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang ditandai
oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat
serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan
sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di
telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan tanda
infeksi bakteri yang menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan
demam. Pendengaran mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari
cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat
di kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari.
Membran Timpani Hiperemis

3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah di
telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga tengah
menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat yang
purulen di kavum timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah
liang telinga luar. Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu
meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat
tidur nyenyak. Dapat disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam
tinggi dapat disertai muntah dan kejang.

Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran
timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat
tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu
menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau
yellow spot.

Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah kecil
ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah akan
keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani
akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih
sulit menutup kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali jikanya tidak
utuh lagi.

Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen


4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah
yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-
kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh
terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar,
anak berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak. Jika
mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap berlangsung
melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua
keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan,
maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik.

Membran Timpani Peforasi


5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya dan
berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga
perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan
akhirnya kering. Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun tanpa
pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman
rendah.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif
kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap, dengan sekret
yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul.
Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media serosa. Otitis
media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami perforasi
membran timpani.

Gejala Klinis
Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak yang
sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di samping suhu
tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak
yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan pendengaran
berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala
khas OMA adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5°C (pada stadium supurasi), anak
gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-
kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret
mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang (Djaafar, 2007).
Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya suatu penyakit.
Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang tua pasien tentang anak
yang gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta membran timpani yang kemerahan dan
membengkak atau bulging. Menurut Dagan (2003) dalam Titisari (2005), skor OMA adalah
seperti berikut:

Tabel 2.1. Suhu (°C) Gelisah Tarik telinga Kemerahan Bengkak


Skor OMA pada pada
Skor membran membran
timpani timpani
(bulging)

0 <38,0 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

1 38,0- 38,5 Ringan Ringan Ringan Ringan

2 38,6- 39,0 Sedang Sedang Sedang Sedang

3 >39,0 Berat Berat Berat Berat,


termasuk
otore

Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan angka 0 hingga 3, berarti
OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti OMA berat.
Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat otalgia berat atau sedang, suhu
lebih atau sama dengan 39°C oral atau 39,5°C rektal. OMA ringan bila nyeri telinga tidak
hebat dan demam kurang dari 39°C oral atau 39,5°C rektal.

3.7. Diagnosis dan Diagosis Banding


Diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut.
1. Penyakitnya muncul mendadak (akut)
2. Ditemukannya tanda efusi (efusi: pengumpulan cairan di suatu rongga tubuh) di telinga
tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut:
a. menggembungnya gendang telinga
b. terbatas/tidak adanya gerakan gendang telinga
c. adanya bayangan cairan di belakang gendang telinga
d. cairan yang keluar dari telinga
3. Adanya tanda/gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan adanya salah
satu di antara tanda berikut:
a. kemerahan pada gendang telinga
b. nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas normal

Anak dengan OMA dapat mengalami nyeri telinga atau riwayat menarik-narik daun
telinga pada bayi, keluarnya cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran, demam, sulit
makan, mual dan muntah, serta rewel. Namun gejala-gejala ini (kecuali keluarnya cairan
dari telinga) tidak spesifik untuk OMA sehingga diagnosis OMA tidak dapat didasarkan
pada riwayat semata.
Efusi telinga tengah diperiksa dengan otoskop (alat untuk memeriksa liang dan
gendang telinga dengan jelas). Dengan otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga yang
menggembung, perubahan warna gendang telinga menjadi kemerahan atau agak kuning
dan suram, serta cairan di liang telinga.
Jika konfirmasi diperlukan, umumnya dilakukan dengan otoskopi pneumatik
(pemeriksaan telinga dengan otoskop untuk melihat gendang telinga yang dilengkapi
dengan pompa udara kecil untuk menilai respon gendang telinga terhadap perubahan
tekanan udara). Gerakan gendang telinga yang berkurang atau tidak ada sama sekali dapat
dilihat dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan ini meningkatkan sensitivitas diagnosis
OMA. Namun umumnya diagnosis OMA dapat ditegakkan dengan otoskop biasa. Efusi
telinga tengah juga dapat dibuktikan dengan timpanosentesis (penusukan terhadap gendang
telinga). Namun timpanosentesis tidak dilakukan pada sembarang anak. Indikasi perlunya
timpanosentesis antara lain adalah OMA pada bayi di bawah usia enam minggu dengan
riwayat perawatan intensif di rumah sakit, anak dengan gangguan kekebalan tubuh, anak
yang tidak memberi respon pada beberapa pemberian antibiotik, atau dengan gejala sangat
berat dan komplikasi.
OMA harus dibedakan dari otitis media dengan efusi yang dapat menyerupai OMA.
Untuk membedakannya dapat diperhatikan hal-hal berikut.

Gejala dan tanda OMA Otitis media dengan efusi


Nyeri telinga, demam, rewel + -
Efusi telinga tengah + +
Gendang telinga suram + +/-
Gendang yang menggembung +/- -
Gerakan gendang berkurang + +
Berkurangnya pendengaran + +

Tes pendengaran yang dapat dilakukan secara sederhana adalah:


I. Tes bisik
II. Tes garpu tala (biasa disingkat TGT)
III. Tes Audiometri

I. Tes Bisik
A. Syarat:
- Tempat : ruangan sunyi dan tidak ada echo (dinding dibuat rata atau dilapisi ”soft
board” / gorden) serta ada ajarak sepanjang 6 meter
- Penderita (yang diperiksa)
o Mata ditutup atau dihalangi agar tidak membaca gerak bibir
o Telinga yang diperiksa dihadapkan ke arah pemeriksa
o Telinga yang tidak diperiksa ditutup (bisa ditutupi kapas yang dibasahi gliserin)
o Mengulang dengan keras dan jelas kata-kata yang dibisikkan
- Pemeriksa
o Kata-kata dibisikkan dengan udara cadangan paru-paru, sesudah ekspirasi biasa
o Kata-kata yang dibisikkan terdiri dari 1 atau 2 suku kata yang dikenal penderita,
biasanya kata-kata benda yang ada di sekeliling kita.
B. Teknik Pemeriksaan
- Mula-mula penderita pada jarak 6 m dibisiki beberapa kata. Bila tidak menyahut
pemeriksa maju 1 m (5 m dari penderita) dan tes ini dimulai lagi. Bila masih belum
menyahut pemeriksa maju 1 m, demikian seterusnya sampai penderita dapat
mengulangi 8 kata-kata dari 10 kata-kata yang dibisikkan. Jarak dimana penderita
dapat menyahut 8 dari 10 kata disebut sebagai jarak pendengaran.
- Cara pemeriksaan yang sama dilakukan untuk telinga yang lain sampai ditemukan satu
jarak pendengaran.
C. Hasil tes
Pendengaran dapat dinilai secara kuantitatif (tajam pendengaran) dan secara kualitatif
(jenis ketulian)

KUANTITATIF KUALITATIF
FUNGSI SUARA
PENDENGARAN BISIK
Normal 6m TULI SENSORINEURAL
Dalam batas normal 5m Sukar mendengar huruf desis
Tuli ringan 4m (frekuensi tinggi), seperti huruf s – sy
Tuli sedang 3-2m –c
Tuli berat ≤ 1m TULI KONDUKTIF
Sukar mendengar huruf lunak
(frekuensi rendah), seperti huruf m –
n–w

II. TES GARPU TALA (TGT)


Ada 4 jenis tes garpu tala yang sering dilakkukan:
1. Tes batas atas dan batas bawah
2. Tes Rinne
3. Tes Weber
4. Tes Scwabach

1. TES BATAS ATAS DAN BATAS BAWAH


- Tujuan:
Menentukan frekuensi garpu tala yang dapat didengar penderita melalui hantaran
udara bila dibunyikan pada intensitas normal.
- Cara:
Semua garpu tala (128 Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz, 2048 Hz), dapat dimulai dari
frekuensi terendah berurutan sampai frekuensi tertinggi atau sebaliknya, dibunyikan satu
persatu, dengan cara dipegang tangkainya kemudian kedua ujung kakinya dibunyikan
dengan lunak (dipetik dengan jari/kuku, didengarkan lebih dulu oleh pemeriksa sampai
bunyi hampir hilang untuk mencapai intrensitas bunyi yang terendah bagi orang normal /
nilai ambang normal), kemudian diperdengarkan pada penderita dengan meletakkan garpu
tala di dekat MAE pada jarak 1 – 2 cm dalam posisi tegak dan 2 kaki pada garis yang
menghubungkan MAE kanan dan kiri.
- Interpretasi:
o Normal : mendengar garpu tala pada semua frekuensi
o Tuli konduksi : batas bawah naik (frekuensi rendah tak terdengar)
o Tuli sensori neural : batas atas turun (frekuensi tinggi tak terdengar)
o Kesalahan : garpu tala dibunyikan terlalu keras sehingga tidak dapat mendeteksi
pada frekuensi mana penderita tidak mendengar

2. TES RINNE
- Tujuan:
Membandingkan hantaran udara dan hantaran tulang pada satu telinga penderita.
- Cara:
Bunyikan garpu tala frekuensi 512 Hz, letakkan tangkainya tegak lurus pada
planum mastoid penderita (posterior dari MAE) sampai penderita tak mendengar,
kemudian cepat pindahkan ke depan MAE penderita. Apabila penderita masih mendengar
garpu tala di depan MAE disebut Rinne positif, bila tidak mendengar disebut Rinne negatif.
- Interpretasi:
o Normal : Rinne positif
o Tuli konduksi : Rinne negatif
o Tuli sendori neural : Rinne positif

3. TES WEBER
- Tujuan:
Membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga penderita.
- Cara:
o Garpu tala frekuensi 512 Hz dibunyikan, kemudian tangkainya diletakkan tegak
lurus di garis median, biasanya di dahi (dapat pula pada vertex, dagu, atau pada gigi
insisivus) dengan kedua kaki pada garis horisontal.
o Penderita diminta untuk menunjukkan telinga mana yg mendengar atau mendengar
lebih keras.
o Bila mendengar pada satu telinga disebut lateralisasi ke sisi tellinga tersebut. Bila
kedua telinga tak mendengar atau sama-sama mendengar berarti tak ada
lateralisasi.

- Interpretasi:
o Normal : tidak ada lateralisasi
o Tuli konduksi : mendengar lebih keras di telinga yang sakit
o Tuli sensori neural : mendengar lebih keras pada telinga yang sehat
Karena menilai kedua telinga sekaligus maka kemungkinannya dapat lebih dari satu.
Contoh lateralisasi ke kanan dapat diinterpretasikan:
o Tuli konduksi kanan, telinga kiri normal
o Tuli konduksi kanan dan kiri, tetapi kanan lebih berat
o Tuli sensori neural kiri, telinga kanan normal
o Tuli sensori neural kanan dan kiri, tetapi kiri lebih berat
o Tuli konduksi kanan dan sensori neural kiri
4. TES SCHWABACH
- Tujuan:
Membandingkan hantaran lewat tulang antara penderita dengan pemeriksa
- Cara:
Garpu tala frekuensi 512 Hz dibunyikan kemudian tangkainya diletakkan tegak
lurus pada mastoid pemeriksa, bila pemeriksa sudah tidak mendengar, secepatnya garpu
tala dipindahkan ke mastoid penderita. Bila penderita masih mendengar maka Schwabach
memanjang, tetapi bila penderita tidak mendengar, terdapat dua kemungkinan yaitu
Scwabach memendek atau normal.
Untuk membedakan kedua kemungkinan ini maka tes dibalik, yaitu tes pada penderita dulu
baru ke pemeriksa. Garpu tala 512 Hz dibunyikan kemudian diletakkan tegak lurus pada
mastoid penderita, bila penderita sudah tidak mendengar maka seceptnya garpu tala
dipindahkan pada mastoid pemeriksa, bila pemeriksa tidak mendengar berarti sama-sama
normal, bila pemeriksa masih mendengar berarti Schwabach penderita memendek.
- Interpretasi:
o Normal : Schwabach normal
o Tuli konduksi : Schwabach memanjang
o Tuli sensori neural : Schwabach memendek

Contoh Kasus (penulisan hasil tes pendengaran) :


Kanan Kiri
Tes bisik 5m 4m
Tes garpu tala Batas bawah naik Batas atas
turun
+ 4096 -
+ 2048 -
+ 1024 -
+ 512 +
- 256 +
- 128 +

Tes Rinne (R) negatif positif


Tes Weber (W) lateralisasi kanan
Tes Schwabach (S) memanjang memendek

Kesimpulan : Tuli konduksi kanan, tuli perseptif (tuli sensori neural) kiri

III. Tes Audiometri


Pemeriksaan audiometri
Ketajaman pendengaran sering diukur dengan suatu audiometri. Alat ini
menghasilkan nada-nada murni dengan frekuensi melalui aerphon. Pada sestiap frekuensi
ditentukan intensitas ambang dan diplotkan pada sebuah grafik sebagai prsentasi dari
pendengaran normal. Hal ini menghasilkan pengukuran obyektif derajat ketulian dan
gambaran mengenai rentang nada yang paling terpengaruh.
a. Definisi
Audiometri berasal dari kata audir dan metrios yang berarti mendengar dan
mengukur (uji pendengaran). Audiometri tidak saja dipergunakan untuk mengukur
ketajaman pendengaran, tetapi juga dapat dipergunakan untuk menentukan lokalisasi
kerusakan anatomis yang menimbulkan gangguan pendengaran.
Audiometri adalah subuah alat yang digunakan untuk mengtahui level pendengaran
seseorang. Dengan bantuan sebuah alat yang disebut dengan audiometri, maka derajat
ketajaman pendengaran seseorang da[at dinilai. Tes audiometri diperlukan bagi seseorang
yang merasa memiliki gangguan pendengeran atau seseorang yag akan bekerja pada suatu
bidang yang memerlukan ketajaman pendngaran.
Pemeriksaan audiometri memerlukan audiometri ruang kedap suara, audiologis dan
pasien yang kooperatif. Pemeriksaan standar yang dilakukan adalah :

1) Audiometri nada murni


Suatu sisitem uji pendengaran dengan menggunakan alat listrik yang dapat
menghasilkan bunyi nada-nada murni dari berbagai frekuensi 250-500, 1000-2000, 4000-
8000 dan dapat diatur intensitasnya dalam satuan (dB). Bunyi yang dihasilkan disalurkan
melalui telepon kepala dan vibrator tulang ketelinga orang yang diperiksa pendengarannya.
Masing-masing untuk menukur ketajaman pendengaran melalui hntaran udara dan hantran
tulang pada tingkat intensitas nilai ambang, sehingga akan didapatkankurva hantaran
tulang dan hantaran udara. Dengan membaca audiogram ini kita dapat mengtahui jenis dan
derajat kurang pendengaran seseorang. Gambaran audiogram rata-rata sejumlah orang
yang berpendengaran normal dan berusia sekitar 20-29 tahun merupakan nilai ambang
baku pendengaran untuk nada muri.
Telinga manusia normal mampu mendengar suara dengan kisaran frekwuensi 20-
20.000 Hz. Frekwensi dari 500-2000 Hz yang paling penting untuk memahami percakapan
sehari-hari.

Tabel berikut memperlihatkan klasifikasi kehilangan pendengaran


Kehilangan dalam Klasifikasi
Desibel

0-15 Pendengaran normal


>15-25 Kehilangan pendengaran kecil
>25-40 Kehilangan pendengaran ringan
>40-55 Kehilangan pendengaran sedang
>55-70 Kehilangan pendenngaran sedang sampai
berat
>70-90 Kehilangan pendengaran berat
>90 Kehilangan pendengaran berat sekali

Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran psien pada


stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekuensi yang berbeda-beda. Secara
kasar bahwa pendengaran yang normal grafik berada diatas. Grafiknya terdiri dari skala
decibel, suara dipresentasikan dengan aerphon (air kondution) dan skala skull vibrator
(bone conduction). Bila terjadi air bone gap maka mengindikasikan adanya CHL. Turunnya
nilai ambang pendengaran oleh bone conduction menggambarkan SNHL.

2) Audiometri tutur
Audiometri tutur adalah system uji pendengaran yang menggunakan kata-kata
terpilih yang telah dibakukan, dituturkan melalui suatu alat yang telah dikaliberasi, untuk
mrngukur beberapa aspek kemampuan pendengaran. Prinsip audiometri tutur hampir sama
dengan audiometri nada murni, hanya disni sebagai alat uji pendengaran digunakan daftar
kata terpuilih yang dituturkan pada penderita. Kata-kata tersebut dapat dituturkan langsung
oleh pemeriksa melalui mikropon yang dihubungkan dengan audiometri tutur, kemudian
disalurkan melalui telepon kepala ke telinga yang diperiksa pendengarannya, atau kata-
kata rekam lebih dahulu pada piringan hitam atau pita rekaman, kemudian baru diputar
kembali dan disalurkan melalui audiometer tutur. Penderita diminta untuk menirukan
dengan jelas setip kata yang didengar, dan apabila kata-kata yang didengar makin tidak
jelas karena intensitasnya makin dilemahkan, pendengar diminta untuk mnebaknya.
Pemeriksa mencatata presentase kata-kata yang ditirukan dengan benar dari tiap denah
pada tiap intensitas. Hasil ini dapat digambarkan pada suatu diagram yang absisnya adalah
intensitas suara kata-kata yang didengar, sedangkan ordinatnya adalah presentasi kata-kata
yanag diturunkan dengan benar. Dari audiogram tutur dapat diketahui dua dimensi
kemampuan pendengaran yaitu :

a. Kemampuan pendengaran dalam menangkap 50% dari sejumlah kata-kata yang dituturkan
pada suatu intensitas minimal dengan benar, yang lazimnya disebut persepsi tutur atau
NPT, dan dinyatakan dengan satuan de-sibel (dB).
b. Kemamuan maksimal perndengaran untuk mendiskriminasikan tiap satuan bunyi (fonem)
dalam kata-kata yang dituturkan yang dinyatakan dengan nilai diskriminasi tutur atau
NDT. Satuan pengukuran NDT itu adalah persentasi maksimal kata-kata yang ditirukan
dengan benar, sedangkan intensitas suara barapa saja. Dengan demikian, berbeda dengan
audiometri nada murni pada audiometri tutur intensitas pengukuran pendengaran tidak saja
pada tingkat nilai ambang (NPT), tetapi juga jauh diatasnya.

Audiometri tutur pada prinsipnya pasien disuruh mendengar kata-kata yang jelas
artinya pada intensitas mana mulai terjadi gangguan sampai 50% tidak dapat menirukan
kata-kata dengan tepat.
Kriteria orang tuli :
 ü Ringan masih bisa mendengar pada intensitas 20-40 dB
 ü Sedang masih bisa mendengar pada intensitas 40-60 dB
 ü Berat sudah tidak dapat mendengar pada intensitas 60-80 dB
 ü Berat sekali tidak dapat mendengar pada intensitas >80 dB

Pada dasarnya tuli mengakibatkan gangguan komunikasi, apabila seseorang masih


memiliki sisa pendengaran diharapkan dengan bantuan alat bantu dengar (ABD/hearing
AID) suara yang ada diamplifikasi, dikeraskan oleh ABD sehingga bisa terdengar.
Prinsipnya semua tes pendengaran agar akurat hasilnya, tetap harus pada ruang kedap suara
minimal sunyi. Karena kita memberikan tes paa frekuensi tertetu dengan intensitas lemah,
kalau ada gangguan suara pasti akan mengganggu penilaian. Pada audiometri tutur, memng
kata-kata tertentu dengan vocal dan konsonan tertentu yang dipaparkan kependrita.
Intensitas pad pemerriksaan audiomatri bisa dimulai dari 20 dB bila tidak mendengar 40
dB dan seterusnya, bila mendengar intensitas bisa diturunkan 0 dB, berarti pendengaran
baik. Tes sebelum dilakukan audiometri tentu saja perlu pemeriksaan telinga : apakah
congok atau tidak (ada cairan dalam telinga), apakah ada kotoran telinga (serumen), apakah
ada lubang gendang telinga, untuk menentukan penyabab kurang pendengaran.

VI. Tes Otoskopia


Tujuan:Memeriksa Meatus Akustikus Externus dan Membran Timpani dengan
meneranginya memakai cahaya lampu.
Alat:
1.Lampu kepala Van Hasselt (dengan listrik)
2. Otoskop (dengan baterai)
3. Speculum telinga
4.Alat penghisap
5.Hak tajam
6.Pemilin kapas
7.Forsep telinga
8.Balon politzer
9. Semprit telinga

Pelaksanaan
a. cara memakai lampu kepala

 pasang lampu kepala sehingga tabung lampu berada diantara kedua mata
 letakkan telapak tangan kanan pada jarak 30 cm di depan mata kanan
 mata kiri ditutup
 proyeksi tabung harus tampak terletak medial dari proyeksi cahaya dan saling
bersinggungan
 diameter proyeksi cahaya kurang lebih 1 cm

b. cara duduk

 penderita duduk di depan pemeriksa


 lutut kiri pemeriksa berdempetan dengan lutut kiri pemeriksa
 kepala dipegang dengan ujung jari
 waktu memeriksa telinga yang kontra lateral, hanya posisi kepala penderita yang
diubah
 kaki, lutut penderita dan pemeriksa tetap pada keadaan semula
c.cara memegang telinga

 kanan:
aurikulum dipegang dengan jari I dan II, sedangkan jari III,IV,V pada planum mastoid
aurikulum ditarik kea rah posterosuperior untuk meluruskan Meatus Akustikus
Externus

 kiri:
aurikulum dipegang dengan jari I dan II.
Jari III,IV dan V di depan aurikulum. Aurikulum ditarik kea rah posterosuperior

d.cara memegang otoskop

 pilih speculum telinga yang sesuai dengan besar lumen Meatus Akustikus Externus
 nyalakan lampu otoskop
 masukkan speculum telinga pada MAE

e.cara memilin kapas


 ambil kapas sedikit, letakkan pada pemilin kapas dengan ujung pemilin berada di
dalam tepi kapas
 pilin perlahan-lahan searah dengan jarum jam
 untuk melepasnya, ambil sedikit kapas, putar berlawanan dengan arah jarum jam

Perbedaan OMA dan Otitis Media dengan Efusi


OMA dapat dibedakan dari otitis media dengan efusi yang dapat menyerupai OMA.
Efusi telinga tengah (middle ear effusion) merupakan tanda yang ada pada OMA
dan otitis media dengan efusi. Efusi telinga tengah dapat menimbulkan gangguan
pendengaran dengan 0-50 decibels hearing loss.

Diagnosis Banding
1. Otitis media externa : infeksi pada telinga luar.
 Etiologi : terpapar bakteri/jamur.
 Manifestasi : sama seperti OMA dan OMK (gatal, nyeri, keluar cairan busuk dan ditemukan
spora hitam seperti rambut.
1. Otitis media serousa : terdapat cairan di dalam telinga tengah tanpa tanda dan gejala infeksi.
2. Otitis media kronik

3.8. Tatalaksana
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada
stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian
antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis
media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin
terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi
membran timpani, dan memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik.
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba
Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung
HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl
efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang
dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotik.
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik.
Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi,
dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal
diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga
tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan
kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap
penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang
terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari
yang terbagi dalam 3 dosis.
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk
melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang
dan tidak terjadi ruptur.
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara
berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai
dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang
dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari.
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak
ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di liang
telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3
minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis.
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik.
Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam dua
sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang segera
dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif seterusnya. Masalah
yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik
meningkat. Yang dapat diobservasi dan yang harus segera diterapi dengan antibiotik
sebagai berikut.

Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut, terdapat efusi
telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga tengah. Gejala ringan
adalah nyeri telinga ringan dan demam kurang dari 39°C dalam 24 jam terakhir. Sedangkan
gejala berat adalah nyeri telinga sedang-berat atau demam 39°C. Pilihan observasi selama
48-72 jam hanya dapat dilakukan pada anak usia enam bulan sampai dengan dua tahun,
dengan gejala ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua
tahun. Follow-up dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti asetaminofen dan
ibuprofen tetap diberikan pada masa observasi.

Amoksisilin merupakan first-line terapi dengan pemberian 80mg/kgBB/hari


sebagai terapi antibiotik awal selama lima hari. Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus
penumoniae. Jika pasien alergi ringan terhadap amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin
seperti cefdinir. Second-line terapi seperti amoksisilin-klavulanat efektif terhadap
Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis, termasuk Streptococcus penumoniae.
Pneumococcal 7-valent conjugate vaccine dapat dianjurkan untuk menurunkan prevalensi
otitis media.

Pembedahan

Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren, seperti
miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi.

1. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi
drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan
secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat
dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang
diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di
telinga tengah. Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam,
komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem
saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami
kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu tindakan
miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang
memuaskan terhadap terapi second-line, untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui
kultur.

2. Timpanosintesis
Timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya
mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi
antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien
yang sistem imun tubuh rendah, pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA
seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran secara signifikan dibanding
dengan plasebo dalam tiga penelitian prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.

3. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan efusi dan
OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba
timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA
rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi,
kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren.

3.9. Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari abses
subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi tersebut
biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik. Komplikasi OMA terbagi kepada
komplikasi intratemporal (perforasi membran timpani, mastoiditis akut, paresis nervus
fasialis, labirinitis, petrositis), ekstratemporal (abses subperiosteal), dan intracranial (abses
otak, tromboflebitis).

3.10. Pencegahan
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah ISPA pada bayi
dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat, menganjurkan pemberian
ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan terhadap lingkungan merokok, dan
lain-lain

3.11. Prognosis
Pada komplikasi otitis media bisa menyebabkan kematian ketika tidak ditangani dengan
maksimal. Gejala sisa seringkali muncul pada pasien yang pernah mengalami komplikasi
intrakranial. Penanganan yang adekuat terhadap penyakit primer juga sangat
mempengaruhi prognosis pengobatan.

5. Memahami dan Menjelaskan Cara Menjaga Telinga dan Pendengaran dalam Tuntunan
Islam

Pendengaran, dalam al-Qur’an selalu disebut pertama kali sebelum penglihatan. Salah
satu sebabnya adalah, bahwa organ pendengaran (telinga) merupakan panca indera yang
pertama kali berfungsi sejak bayi dilahirkan. Itulah sebab sebagian ulama berpendapat
disunahkannya mengumandangkan azan di telinga kanan bayi yang baru lahir, agar suara yang
ia dengar pertama kali di alam fana adalah lafadz-lafadz illahiyah. Penjagaan dan perawatan
telinga di dalam Islam tak hanya secara fisik semata.
Secara ruhiyah pun menjadi bagian yang tak boleh dinomorduakan, bahkan harus
diutamakan. Imam al-Ghazali bernasihat, “Hendaknya engkau menjaga telinga. Jangan
dengarkan perkara bid’ah (fitnah), pembahasan hal ikhwal orang lain yang negatif, kata-kata
jelek, perbincangan batil, atau bahasan tentang kejelekan-kejelekan orang lain.”Sebagaimana
mata, telinga merupakan organ tubuh yang amat vital. Ilmu dan kabar dapat kita peroleh dengan
mudah bila telinga normal. Maka hendaklah bagi siapa saja yang Allah SWT mengaruniainya,
ia bersyukur sesuai kemampuannya. Pelaksanaan adab-adab seperti dinasihatkan al-Ghazali di
atas merupakan ekspresi syukur yang nyata, yang sekaligus sebagai wujud penjagaan dan
perawatan telinga.
Pendengaran adalah benteng pertahanan kedua dari segi bahayanya setelah lisan.
Yaitu,yang kedua dalam mempengaruhi hati dan menguasainya. Oleh karena itu,Al-Haris Al-
Muhasibi berkata,"tidak ada luka yang lebih berbahaya bagi seorang hamba setelah lisannya
selain pendengarannya,karena pendengaran itu utusan yang lebih cepat pada hati dan lebih
mudah jatuh kedalam fitnah.
Pendengan hati terhadap kebenaran itu ada 3 macam, ketiganya ada dalam Al-Quran :
 MENDENGARKAN UNTUK MENGETAHUI.
Derajat ini muncul ketika seseorang hanya menggunakan indera pendengaran. Sebagaimana
yang diberitakan oleh Al-Qur'an ketika menceritakan tentang jin-jin yang beriman, mereka
berkata,"Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur'an yang menakjubkan". (QS.Al-Jin
[72]:1)
 MEMPERDENGARKAN UNTUK MEMAHAMI.
Adapun memperdengarkan untuk memahami dalam menafikan orang yang suka berpaling dan
lalai, sebagaimana firman Allah, "Maka sungguh,engkau tidak akan sanggup menjadikan orang-
orang yang mati itu dapat mendengar dan menjadikan orang-orang yang tuli dapat mendengar
seruan, apabila mereka berpaling kebelakang”. (Ar-Rum [20]:52).
Demikian juga firman Allah,"Sungguh Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dia
kehendaki dan engkau (Muhammad) tidak akan sanggup menjadikan orang yang didalam kubur
dapat mendengar". (Al-Fathir [35]:22)
Kekhususan ini adalah untuk memperdengarkan pemahaman dan pengetahuan. Demikian juga
firman Allah,"Dan sekiranya Allah mengetahui ada kebaikan pada mereka,tentu dia jadikan
mereka dapat mendengar. Dan jika Allah menjadikan mereka dapat mendengar,niscaya mereka
berpaling,sedang mereka memalingkan diri".(Al-Anfal [8]:23)
Dengan kata lain,jika seandainya Allah mengetahui orang-orang kafir itu terdapat penerimaan
dan ketundukan,tentu Allah akan menjadikan mereka dapat memahami.
Jika tidak,berarti mereka telah mendengar dengan pendengaran pengetahuan. Seandainya Allah
menjadikan mereka dapat memahami,niscaya mereka tidak akan tunduk dan tidak mengambil
manfaat dari apa yang dipahaminya. Karena didalam hati mereka terdapat faktor yang menolak
dan menghalang-halangi mereka untuk mengambil manfaat dari apa yang mereka dengar
 MENDENGARKAN UNTUK MENERIMA DAN MEMENUHI PANGGILAN.
Adapun mendengarkan untuk menerima dan memenuhi panggilan,dalam firman Allah yang
menceritakan tentang hamba-hamba-Nya yang beriman,mereka berkata, "kami mendengar, dan
kami taat". (QS.An-Nur [24]:51)
Inilah bentuk mendengarkan untuk menerima dan memenuhi panggilan yang berbuah
ketaatan. Mendengarkan untuk menerima dan memenuhi panggilan ini mencakup 2 macam
sebelumnya,yaitu mendengarkan untuk mengetahui dan memperdengarkan untuk memahami.
Mendengarkan untuk mengetahui sedikitpun tidak berguna,karena binatang juga mendengar
sebagaimana orang kafir dapat mendengar. Mendengarkan untuk memahami juga,sedikitpun
tidak berguna,karena orang-orang yang hatinya membatu juga dapat memahami,tapi mereka
tidak mengamalkan.
Adapun mendengarkan untuk menerima dan memenuhi panggilan saja yang dapat
memberatkan timbangan amal kebaikan anda dan menunjukkan pada kehidupan hati anda serta
beredarnya denyutan didalamnya. Mendengarkan untuk menerima dan memenuhi panggilan ini
akan hadir ketika perkataan yang didengar itu bertemu dengan sekejap kekhusyukan,atau ketika
dalam kondisi bertaubat, atau ketika merasa terpukul dengan dosanya,atau hanya dengan
pertolongan Allah yang tersembunyi, atau juga dengan kelembutan yang jelas,dengan sebab
ataupun tanpa sebab. Ketika itulah,anda akan dapati pori-pori hati terbuka,sehingga terjadilah
pengaruh yang luar biasa dan kondisi hati menjadi berubah seluruhnya,dari hati yang mati
menuju hati yang hidup, dari hati yang rapuh menuju hati yang kuat.

Daftar Pustaka

 Anthony L. M. 2017. Histologi Dasar Junqueira, Teks dan Atlas. Edisi 12. Jakarta. EGC.

 Bickley S. Lymm, Szilagyi G. Peter. 2015. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat

Kesehatan. Edisi 11. Jakarta. EGC.

 Guyton & John E. H. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Singapore. Elsevier.

 Paulsen F. & J. Waschke. 2011. Sobotta Atlas of Human Anatomy : Head, Neck, and

Neuroanatomy. 15th edition. Munich. Elsevier GmbH.

 Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta. EGC.

 Snell, Richard S. 2014. Anatomi Klinis “Berdasarkan Regio”. Edisi 9. Jakarta. EGC.

 Soepardi, Efiaty Arsyad et al. 2016. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,

Tenggorok. Edisi 7, cetakan ke 5. Jakarta. Badan Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai