Anda di halaman 1dari 23

AKUNTANSI MASJID DAN LEMBAGA AMIL ZAKAT

Makalah
Akuntansi Sektor Publik

Dosen Pengampu :
Yulinda Devi Pramita, SE.,M. Sc.

Disusun Oleh :

GATHFANY BURHANUDIN R 16.0102.0013


ANNISA SHABILLA 16.0102.0022
KURNIAWATI 16.0102.0064

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS PROGRAM STUDI AKUNTANSI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2018
BAB I

PENDAHULUAN

Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia sebelum era


reformasi dapat dinilai kurang pesat dan kurang diperhatikan. Orientasi
pembangunan pada akuntansi sektor publik lebih banyak diarahkan pada
sektor industri dan mengabaikan pembangunan sektor publik. Sebagai
akibatnya, sektor publik kurang efisien. Hal ini bisa jadi dikarenakan
organisasi sektor publik merupakan milik masyarakat umum atau
masyarakat di wilayah tertentu, sehingga kemajuan dan perkembangan
organisasi tergantung dari kesadaran dan perhatian masyarakat tersebut
terhadap manajemen organisasi termasuk praktik akuntansinya. Saat ini,
dengan adanya era reformasi, terdapat tuntutan agar sektor publik dapat
meningkatkan kinerja organisasi sektor publik agar lebih berorientasi pada
terciptanya good public and corporate governance.
Tempat ibadah sebenarnya tidak hanya bertujuan untuk tempat
beribadah ritual umat beragama namun juga dapat dikelola dengan
konsep organisasi modern. Keberadaan masjid tidak bisa dilepaskan dari
pengelolaan dana yang berasal dari amal atau sumbangan yang diperoleh
dari jamaah yang tidak menghatapkan imbalan apapun dari organisasi
tersebut. Namun bukan berarti masyarakat tidak mementingkan
pertanggungjawaban dari pengurus masjid terkait pengelolaan dana amal
masjid, karena itu akuntanbilitas tetap penting dalam organisasi
keagamaan.
Organisasi pengelola zakat saat ini sudah terstandarisasi oleh sistem akuntansi dan
audit, yang bertujuan untuk menciptakan transparansi keuangan sekaligus memperbaiki
kualitas pelayanan keuangan serta pendistribusian zakat kepada masyarakat. Kunci
kesuksesan suatu organisasi pengelola zakat ditentukan oleh tingkat kepercayaan publik atau
masyarakat terhadap kekuatan finansial untuk mendukung program-program kegiatan yang
dilaksanakan. Selain itu, tingkat kepercayaan masyarakat juga ditentukan oleh tingkat
kesesuaian operasional organisasi pengelola zakat dengan sistem syariah Islam. Kepercayaan
ini terutama kepercayaan yang diberikan oleh para muzakky dan mustahik, dimana keduanya
termasuk stakeholder utama sistem perzakatan saat ini.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Akuntansi Masjid

1. Tempat Ibadah Sebagai Entitas: Karakteristik dan Lingkungan

Organisasi tempat ibadah juga disebut oleh Bastian (2007)


dengan organisasi keagamaan. Secara etimologi, organisasi
keagamaan dapat diartikan sebagai organisasi yang fokus
gerakannya terkait dengan agama tertentu,yang menyangkut
permasalahan ibadah atau menjalankan segala kewajiban Tuhan
terkait agama atau kepercayaan tertentu. Jika didasarkan pada
definisi tersebut, organisasi keagamaan mengacu pada organisasi
dalam sebuah tempat peribadatan seperti Masjid, Mushola, Gereja,
Kapel, Kuil, Klenteng, Wihara maupun Pura. Organisasi peribadatan
tidak bermotif untuk mencari laba dan bertujuan untuk melayani
ritual ibadah umat,maka organisasi peribadatan termasuk dalam
kategori organisasi nirlaba.
2. Tujuan Organisasi Peribadatan

Meskipun tujuannya adalah untuk pelayanan umat,bukan


berarti organisasi keagamaan tidak memiliki tujuan keuangan
(Bastian, 2007). Tujuan keuangan ditujukan untuk mendukung
terlaksananya tujuan pelayanan peribadatan yang memadai yang
memenuhi standar sesuai dengan aturan dalam agama tersebut,
serta menunjang tujuan lainnya seperti tujuan sosial kemasyarakatan
dan pendidikan. Untuk mencapai tujuan keuangan ini juga tidak boleh
melanggar ketentuan-katentuan yang dilarang oleh ajaran agama,
atau justru keberadaan tempat ibadah tersebut memberatkan
masyarakat sekitarnya.
3. Fungsi dan Peran Organisasi Peribadatan

a. Tempat beribadat dan mendekatkan diri kepada Allah swt


b. Tempat pembinaan kesadaran dalam beragama bagi umat agama
c. Tempat bermusyawarah untuk memecahkan permasalahan umat
muslim
d. Tempat berkumpulnya umat muslimin
e. Tempat membina kerukunan dan gotong royong antar umat muslim
dengan memperkokoh ikatan batin dan rasa persaudaraan
sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan bersama
f. Pusat pendidikan dan pengajaran agama islam bagi umat muslim
di sekitarnya
4. Manajemen Organisasi Peribadatan

Struktur organisasi pada organisasi peribadatan, termasuk


masjid, tidak terlalu formal dan sederhana. Biasanya pada organisasi
masjid dikenal pengurusnya dengan sebutan ta’mir masjid yang
terdiri dari pelindung, ketua, wakil ketua, sekretaris dan wakilnya,
bendahara dan wakilnya, seksi-seksi, dan pembantu umum.
Pelindung biasanya dijabat oleh kepala desa atau dusun dan seorang
tokoh agama, ketua dan wakilnya biasanya dari kalangan tokoh
agama atau tokoh masyarakat setempat. Badan organisasi tersebut
biasanya disebut dengan “Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) “ atau
“Remaja Masjid” yang memiliki struktur organisasi sendiri, namun
masih menjadi bagian dari organisasi masjid secara keseluruhan.
5. Manajemen Keuangan Organisasi Peribadatan

Kedudukan Akuntansi dalam Manajemen Keuangan Organisasi


Masjid

Manajemen Keuangan Organisasi Masjid

Tata Usaha Keuangan Organisasi Masjid

Tata Usaha Umum atau


Tata Usaha Keuangan Organisasi
Administrasi Organisasi Masjid
Masjid

Akuntansi Organisasi Masjid


Manajemen keuangan terdapat dua fungsi, yaitu fungsi
pertama, fungsi mendapatkan dana adalah bagaimana cara
mengelola organisasi peribadatan dalam mendapatkan dana yang
sesuai dengan ajaran agama dan tidak memberatkan umat.
Sedangkan fungsi kedua, fungsi menggunakan dana adalah
bagaimana menggunakan dana secara efektif dan efisien juga
mencakup pertanggungjawaban pengelolaan dana.
Alat untuk melaksanakan manajemen keuangan adalah tata
usaha. Tata usaha dibagi menjadi dua kelompok, yaitu tata usaha
umum atau administrasi dan tata usaha keuangan. Akuntansi masjid
dapat diartikan sebagai tata buku atau rangkaian kegiatan yang
dilakukan secara sistematis dalam bidang keuangan, berdasarkan
prinsip, standardisasi, dan prosedur tertentu untuk menghasilkan
informasi aktual di bidang keuangan dalam organisasi masjid.
Akuntansi yang diterapkan pada organisasi kegamaan memiliki kaitan
yang erat dengan penerapan dan perlakuan akuntansi pada domain
publik. Domain publik yang dimaksud adalah para anggota, umat,
atau pengikut agama di organisasi keagamaan yang bersangkutan.
Sumber pendanaan organisasi keagamaan berasal dari umat dan
sumbangan pihak tertentu. Aliran dana dari umat ini dilakukan secara
sukarela atau bahkan dilakukan dalam rangka memenuhi
kewajibannya sebagai umat suatu agama. Karena yang sifatnya
sukarela, karakteristik dana yang diperolehnya sulit untuk diprediksi
perolehannya.
Organisasi masjid memiliki sumber dana dari umat yang bisa
dalam berbagai bentuk seperti infak, sedekah, zakat, fidyah dan lain-
lain sesuai ajaran islam. Sedangkan, alokasi dana masjid selain untuk
pemeliharaan bangunan beserta seluruh perlengkapannya secara
berkala, juga dialokasikan untuk berbagai kegiatan lainnya seperti
pengajian rutin atau yang bersifat insidental. Adapun dalam konteks
pola pertanggungjawaban, jika organisasi sektor swasta
bertanggungjawab kepada pemilik usaha atau krediturnya, maka
pertanggungjawaban organisasi keagamaan dilakukan kepada
seluruh umat yang telah memberikan amanahnya, dan merupakan
bagian penting dalam menciptakan kredibilitas pengelolaan yang
dijlalankan. Apabila elemen pertanggungjawaban ini tidak dapat
dipenuhi, maka implikasinya dapat berwujud ketidakpercayaan,
ketidakpuasan, atau bahkan fitnah.
6. Akuntabilitas pada Organisasi Peribadatan, Pentingkah?

Bagaimana pola akuntabilitas pada organisasi peribadatan? Pada organisasi


publik termasuk organisasi keagamaan, pengelola (pengurus dan pengawas) organisasi
bertanggung jawab kepada umat atau pengikut agama yang disampaikan dalam sebuah
pertemuan perwakilan umat/warga atau rapat dengan warga masyarakat yang
menggunakan organisasi keagamaan. Pertemuan ini diadakan secara berkala atau dalam
waktu tertentu.
Dalam konteks organisasi masjid, pengelolaan keuangan dan administrasi
merupakan hal yang penting dalam mengelola masjid (Ayub, 1996). Kalau pengelolaan
keuangan masjid dapat dilaksanakan dengan baik, itu pertanda pengurus masjid adalah
orang yang dapat dipercaya dan bertanggung jawab. Akan tetapi, kalau pengelolaan
keuangan dilaksanakan dengan tidak baik, maka akan berakibat timbulnya fitnah dan
pengurusnya akan dinilai sebagai orang yang tidak dapat dipercaya dan tidak
bertanggung jawab.
Pola pertanggungjawaban di organisasi keagamaan dapat bersifat vertikal
maupun horizontal. Pertanggungjawaban vertikal adalah pertanggungjawaban atas
pengelolaan dana kepada otoritas yang lebih tinggi, seperti kepada pembina apabila
organisasi keagamaan tersebut memakai sistem struktural. Dengan kata lain, dalam
konteks yang lebih jauh lagi, pertanggungjawaban secara vertikal dapat diartikan
sebagai pertanggungjawaban kepada Tuhan, meskipun tidak ada dalam bentuk materi
maupun fisik. Namun, agama mengajarkan bahwa setiap tindakan manusia nantinya
akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Hal ini dapat menimbulkan motivasi
intrinsik seseorang untuk menyusun laporan pertanggungjawaban secara jujur, benar,
objektif, dan adil. Dengan menyusun pertanggungjawaban yang baik akan memberikan
ketenangan batin pada pengurusnya
Sedangkan pertanggungjawaban horizontal adalah pertanggungjawaban kepada
masyarakat luas, khususnya pengguna atau penerima layanan organisasi keagamaan
yang bersangkutan. Apabila seseorang mengabaikan pola pertanggungjawaban
horizontal ini akan berdampak pada tidak percayanya masyarakat terhadap pengurus
dan timbul fitnah di masyarakat. Kedua pola pertanggungjawaban tersebut merupakan
elemen penting dari proses akuntabilitas publik. Pertanggungjawaban manajemen
merupakan bagian terpenting untuk menciptakan kredibilitas manajemen organisasi
keagamaan. Tidak dipenuhinya prinsip pertanggungjawaban dapat menimbulkan
implikasi yang luas.
Di beberapa masjid, kebiasaan menyusun dan membuat laporan
pertanggungjawaban yang tertib dan teratur berjalan dengan baik. Laporan
pertanggungjawaban itu biasanya berupa laporan keuangan sederhana dan laporan atas
suatu aktivitas atau kegiatan tertentu, seperti kegiatan penyembelihan dan
pendistribusian hewan kurban. Laporan itu biasanya dilaporkan sekali dalam sebulan
yang biasanya disampaikan pada waktu salat Jumat.
Pengurus masjid yang bertanggung jawab dan dapat dipercaya tentunya tidak
akan melalaikan tugasnya. Apalagi, jika diingat bahwa keuangan masjid diperoleh dari
sedekah jamaah. Tanpa pertanggungjawaban keuangan yang jelas dan rinci, otomatis
nama baik pengurus berhadapan dengan risiko yang tinggi. Selain itu, citra masjid bisa
saja ikut tercemar. Memelihara citra masjid memang tidak mudah, dan mengingat
manusia memiliki banyak kelemahan (khilaf dan salah), tak terkecuali jamaah dan para
pengurus masjid. Oleh karena itu, akuntabilitas penting dalam organisasi masjid dan
harus dijalankan dengan baik.
7. Peran Strategis Akuntansi dalam Organisasi Peribadatan

Akuntansi merupakan aktivitas mencatat, mengidentifikasi. mengklasifikasi,


dan mengolah transaksi dari suatu organisasi yang dapat menghasilkan informasi
keuangan yang menggambarkan kondisi organisasi tersebut. Sehingga untuk
menciptakan akuntabilitas yang baik diperlukan sistem akuntansi yang baik pula. Selain
untuk akuntabilitas, akuntansi juga bertujuan untuk pengendalian manajemen, dari
mulai tahap perencanaan sampai ke tahap pelaksanaan, serta bermanfaat untuk
penyediaan informasi yang andal dan relevan.
Seberapa berguna informasi akuntansi bagi pengelola atau pengurus masjid?
Manfaat yang dihasilkan oleh informasi akuntansi akan memengaruhi seberapa
strategisnya peranan akuntansi dalam pengelolaan organisasi masjid. Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya bahwa organisasi keagamaan selain bertujuan untuk
melayani peribadatan umat, juga memiliki tujuan keuangan. Tujuan keuangan ini akan
menjadi pendukung dan penunjang tercapainya tujuan utama organisasi keagamaan,
yaitu melayani ritual ibadah umat di dalam tempat ibadah, dan tujuan lainnya, seperti
tujuan untuk mencerdaskan umat. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut pasti
diperlukan pembiayaan atau pendanaan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang dapat
mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Tujuan utama didirikannya masjid adalah untuk menjadi pusat ritual ibadah
umat muslim seperti sholat berjamaah, sholat Jum'at, pengajian rutin dan berdzikir.
Untuk mendukung tujuan tersebut aspek kebersihan harus diperhatikan. Kebersihan
menurut Islam adalah yang suci dari najis dan bagi orang yang beribadah, selain suci
dari najis, juga suci dari hadats besar dan kecil. Setiap masjid pasti memiliki fasilitas
untuk bersuci, yaitu tempat wudlu dan kamar mandi yang antara pengunjung laki-laki
dan perempuan harus dipisah. Untuk menjamin kebersihan masjid dan fasilitas lainnya
yang juga memenuhi syariat Islam, perlu kiranya pengurus membuat Standar Pelayanan
(seperti halnya Standar Pelayanan Minimal atau SPM di pemerintah daerah) untuk
kebersihan dan kesucian masjid. Standar pelayanan tersebut mensyaratkan adanya
standar belanja atau standar biaya. Dengan adanya standar biaya dan standar pelayanan,
efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan masjid dapat diukur secara akurat dan
terpercaya. Dalam konteks ini, akuntansi dapat membantu dan mempermudah
pengelola atau pengurus masjid untuk menyusun laporan pertanggungjawaban yang
akurat dan dapat dipercaya. Apabila laporan yang dihasilkan akurat dan dapat
dipercaya, maka akan memberikan ketenangan batin bagi pengurusnya terkait
pertanggungjawabannya kelak, di hadapan Tuhan maupun kepada umat muslim.
Akuntansi dapat juga dijadikan sebagai alat untuk mengembangkan fungsi dan
peran masjid selain untuk tempat peribadatan. Misalnya, untuk peran mencerdaskan
umat. Pengurus masjid dapat menyelenggarakan pendidikan agama bagi masyarakat
sekitarnya. Untuk menarik minat masyarakat mau belajar agama ke masjid (atau untuk
mengaji ke masjid) perlu sumber daya pengajar yang berkualitas dan pengembangan
metode-metode pendidikan yang menarik dan modern, sehingga masjid menjadi pusat
pendidikan agama. Tentu untuk mewujudkan hal itu diperlukan dana yang tidak sedikit.
Dengan akuntansi, maka dapat ditentukan secara akurat berapa dana yang diperlukan
untuk membiayai kegiatan ibadah rutin masjid, dan berapa sisa dana yang dapat
dimanfaatkan untuk melaksanakan tujuan dan fungsi masjid selain ibdah ritual yang
rutin. Dengan informasi akuntansi dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan fungsi
masjid yang lainnya, seperti kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam konteks ini,
akuntansi bermanfaat untuk menyusun perencanaan yang baik. Perencanaan yang baik
akan mampu menyinergikan antara tujuan dengan sumber daya organisasi, sehingga
dapat disusun prioritas dan target kinerjanya
Dengan pengaturan yang cermat, dana masjid tidak terbuang-buang dengan
percuma. Bahkan, deposit dana yang ada sedapat mungkin diusahakan berkembang.
Dana itu dimanfaatkan sesuai dengan prioritas dan rencana yang disusun. Dari dana
yang tersedia kegiatan ibadah dapat disemarakkan dengan kegiatan memakmurkan
masjid dan muamalah lainnya, seperti mendirikan sekolah, klinik atau rumah sakit;
kegiatan sosial kemasyarakatan dengan mendirikan koperasi, baitul maal, pertokoan,
memberikan beasiswa kepada masyarakar miskin, dan lain sebagainya. Jika masjid
bergerak ke arah demikian berarti pengurus masjid mampu memperkaya dimensi fungsi
dan peran masjid menjadi pusat sosial, pusat budaya dan pusat pendidikan
Akuntansi juga dapat sebagai alat pengendalian manajemen. Pengendalian
manajemen dimaksudkan untuk menjamin aktivitas organisasi sesuai dengan tujuan
organisasi yang hendak dicapai. Maksudnya adalah, akuntansi tidak hanya sebagai
pengendalian dalam tahap perencanaan saja, melainkan juga pengendalian pada tahap
pelaksanaan.
Dengan menerapkan sistem akuntansi yang baik, diharapkan akan tercipta
pengendalian internal yang baik pula. Sehingga, pengurus masjid tidak mudah untuk
melakukan penyimpangan, dari tujuan organisasi maupun penyimpangan karena adanya
faktor moral hazard.
8. Implementasi Akuntansi pada Organisasi Tempat Ibadah

Untuk perlakuan akuntansinya dan pelaporan keuangannya mengacu pada


PSAK Nomor 45 tentang Standar Akuntansi untuk Entitas Nirlaba.
Ayub (1996) menyatakan bahwa faktanya laporan keuangan masjid masih
dibuat bentuk dua lajur, yaitu lajur pemasukan dan pengeluaran. Laporan keuangan
masjid memuat dari mana saja sumber dana diperoleh dan untuk apa saja dana tersebut
dikeluarkan. Pada setiap minggu atau akhir bulan kedua lajur tersebut kemudian
dijumlahkan dan ditandingkan sehingga menghasilkan selisih. Sering kali terjadi selisih
plus, dan jarang sekali yang minus. Namun, kenyataan yang ada saldo dana masjid
semakin besar dan sering kali masih banyak yang tidak dipergunakan. Padahal, apabila
dimanfaatkan dapat memberikan manfaat yang besar bagi kesejahteraan umat. Agar
pemanfaatannya benar, efektif dan efisien diperlukan alat untuk menghasilkan
informasi yang akurat dan relevan, yaitu sistem akuntansi.
Praktik pembukuan atau akuntansi yang ada masih menggunakan sistem tata
buku tunggal (single entry) dan berbasis kas. Ritonga (2010) menyebutkan single entry
memiliki kelemahan yaitu informasi yang dihasilkan tidak komprehensif dan tidak
integral. Sehingga, informasi yang parsial (sepotong-potong) tidak memadai untuk
pengambilan keputusan yang berguna. Sementara itu, basis kas memiliki kelemahan
antara lain:
a. Informasi yang lebih kompleks tidak dapat dihasilkan.
b. Hanya terfokus pada aliran kas dan mengabaikan aliran sumber daya lain
c. Pertanggungjawaban kepada umat jadi terbatas hanya pada penggunaan kas dan
tidak pada sumber daya yang lain.
Jika dengan kualitas informasi yang demikian, apakah mungkin
mengembangkan masjid menjadi lebih berperan dan berfungsi selain untuk pelayanan
ritual ibadah rutin umat muslim? Untuk itu, sistem pembukuan yang diterapkan selama
ini perlu diubah menjadi sistem akuntansi berbasis akrual dan menggunakan double
entry. Dengan begitu, informasi yang dihasilkan dapat lebih berguna bagi pengambilan
keputusan manajemen dan pertanggungjawaban manajemen
Apalagi, perbedaan utama yang mendasar dengan organisasi swasta atau bisnis
adalah pada cara organisasi memperoleh sumber daya yang dibutuhkan untuk
melakukan berbagai aktivitas operasionalnya. Organisasi yang memperoleh sumber
daya dari sumbangan para anggota dalam hal ini umat dan para penyumbang lainnya
yang tidak mengharapkan imbalan apapun dari organisasi tersebut. Menurut kondisi ini,
transaksi yang jarang atau tidak akan pernah terjadi dalam organisasi bisnis manapun,
akan muncul dalam organisasi nirlaba. Namun demikian, dalam praktik organisasi
nirlaba, transaksi tersebut sering tampil dalam berbagai bentuk.
Siklus akuntansi pada suatu entitas nirlaba dapat digambarkan pada Gambar 27.2

Laporan
Buku Besar Neraca Lajur
Jurnal Keuangan
Bukti-bukti
Transaksi
Bukti
Tambahan

Tahap Perencanaan Tahap Pengikhtisaran Tahap Pelaporan

Gambar 27.2. Siklus Akuntansi

Pada umumnya, siklus akuntansi pada organisasi nirlaba termasuk organisasi


masjid, dikelompokkan dalam tiga tahap, adalah sebagai berikut.
a. Tahap pencatatan, terdiri dari kegiatan pengidentifikasian dan pengukuran dalam
bentuk transaksi dan buku pencatatan, kegiatan pencatatan bukti transaksi ke dalam
buku jurnal, dan memindahbukukan (posting) dari jurnal berdasarkan kelompok atau
jenisnya ke dalam akun buku besar.
b. Tahap pengikhtisaran, terdiri dari penyusunan neraca saldo berdasarkan akun-akun
buku besar, pembuatan ayat jurnal penyesuaian, penyusunan kertas kerja, pembuatan
ayat jurnal penutup, membuat neraca saldo setelah penutupan, membuat ayat jurnal
pembalik.
c. Tahap pelaporan, yang terdiri dari Laporan Surplus-Defisit, Laporan Arus Kas,
Neraca,dan Catatan atas Laporan Keuangan.
Untuk dapat menjalankan siklus akuntansi tersebut dengan baik diperlukan
sumber daya manusia yang berkompeten dalam bidang akuntansi dan pengelolaan
keuangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Ayub (1996) bahwa untuk mengembalikan
peran masjid dalam masyarakat sebagaimana pada jaman Nabi Muhammad saw., maka
perlu ada perubahan dalam manajemen organisasi masjid, antara lain perlunya
spesialisasi peran dalam operasionalisasi organisasi masjid, dan perlu dijalankan oleh
sumber daya manusia yang berkompeten, terutama dalam bidang administrasi dan
keuangan.
B. Akuntansi Lembaga Amil Zakat

1. Pengertian Zakat

Dari segi Bahasa zakat berasal dari kata “zaka” yang berarti berkah, tumbuh,
suci, bersih dan baik. Sedangkan zakat secara terminology berarti aktivitas memberikan
harta tersebut sesuai perintah Allah yang sesuai dengan perhitungan tertentu untuk
diserahkan kepada yang berhak menerimanya.
Berdasarkan pengertian tersebut bahwasannya zakat itu tidak sama dengan
donasi, sumbangan dan shadaqah yang bersifat sukarela. Zakat suatu kewajiban bagi
umat muslim yang harus ditunaikan dan bukan merupakan hak, sehingga kita tidak bisa
memilih untuk membayar atau tidak. Zakat memiliki aturan yang jelas mengenai harta
apa yang harus dizakatkan, batas harta yang terkena zakat, dengan disertai cara
perhitungannya bahkan siapa saja yang menerima zakat pun telah diatur oleh Allah swt
dan Rasul Nya. Jadi, zakat adalah sesuatu yang sangat khusus karena memiliki aturan-
aturan dengan sedemikian rincinya yang telah ditentukan oleh syara.
2. Kelembagaan Pengelolaan Zakat

Zakat merupakan suatu kewajiban setiap individu yang telah memenuhi syarat-
syarat tertentu untuk mengeluarkan sebagian dari hartanya yang diatur berdasarkan
ketentuan syara.’ Agar zakat yang dikeluarkan oleh seseorang dapat mencapai sasaran
penerima yang berhak, maka diperlukan lembaga yang khusus menangani zakat.
Lembaga zakat pada dasarnya memiliki dua peran utama, yaitu: (1) memobilisasi zakat
dari masyarakat (ummat), dan (2) melakukan pendistribusian zakat kepada mereka yang
berhak menerima.
Kedudukan lembaga zakat dalam lingkungan yang semakin maju dan kompleks
sangat penting, karena kelemahan yang dijumpai selama ini adalah tidak adanya
manajemen zakat yang baik. Dengan semakin majunya ummat baik dari segi ekonomi,
ilmu pengetahuan maupun keyakinan beragama, maka jumlah Muzaki (pembayar
zakat) akan bertambah dan juga kuantitas zakat akan meningkat. Untuk mengantisipasi
keadaan tersebut perlu dibuat lembaga-lembaga zakat yang dikelola dengan manajemen
yang maju.
Manajemen zakat pada dasarnya bukan masalah yang sederhana.Manajemen
zakat membutuhkan dukungan politik (political will) dari umara (pemerintah). Selain
itu manajemen zakat juga membutuhkan dukungan sistem informasi akuntansi dan
sistem informasi manajemen yang baik. Tanpa dukungan tersebut pengelolaan zakat
tidak akan efektif dan efisien.
Saat ini, pemerintah telah mengeluarkan UU No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat. Hal ini merupakan langkah yang lebih maju dibandingkan masa
sebelumnya. Menurut Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan,
wajib pajak yang sudah membayar zakat kepada Lembaga atau Badan Amil Zakat yang
disyahkan pemerintah, maka pembayaran zakat tersebut dapat digunakan sebagai
pengurang penghasilan kena pajaknya (PKP). Muzaki (pembayar zakat) apabila
memiliki surat bukti (dokumen) pembayaran zakat dapat menggunakan dokumen
tersebut untuk keperluan pengurangan PKP-nya. Untuk itu diperlukan sistem
pencatatan yang baik bagi lembaga-lembaga zakat yang ada.
3. Standar Akuntansi Zakat di Indonesia

Standar akuntansi zakat di Indonesia (PSAK 109) mulai berlaku paling lambat 1
Januari 2012, sedangkan standarnya sendiri mulai diterbitkan sejak 6 April 2010.
Sebelum digunakan PSAK No. 109 akuntansi zakat dan infak/sedekah, Lembaga zakat
menggunakan PSAK No. 45 akuntansi nirlaba. Namun ada beberapa karakteristik
lembaga zakat yang tidak sesuai dengan PSAK No. 45 tersebut. Karakteristik tersebut
antara lain jenis dana yang digunakan, tujuan penyaluran dana, dan pengelolaan dana.
PSAK ini tidak lepas dari usulan Forum Zakat (FOZ) yang merupakan kumpulan
organisasi pengelola zakat. Pada awalnya, standar akuntansi yang digunakan adalah
pedoman akuntansi dan keuangan yang dikeluarkan oleh FOZ pada tahun 2005.

PSAK No. 109 sudah disahkan oleh Dewan Standar Akuntansi Syariah – Ikatan
Akuntan Indonesia (DSAS-IAI) pada 6 April 2010, untuk meminta fatwa DSAK-IAI
menulis surat ke Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) pada
4 Mei 2010 yang kemudian baru dikeluarkan fatwa pada 16 Agustus 2011. Maka sejak
tanggal tersebut PSAK No. 109 dapat diterapkan. Di dalam PSAK tersebut dijelaskan
bahwa penerapannya dimulai pada 1 Januari 2012.
4. Rerangka Dasar Standar Akuntansi Zakat

Rerangka dasar standar akuntansi zakat merujuk pada kerangka dasar penyusunan
dan penyajian laporan keuangan syariah (KDPPLKS). Tujuan laporan keuangan
Lembaga Zakat sesuai dengan KDPPLKS adalah:

1. Meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip syariah

2. Informasi aset, kewajiban, pendapatan, dan beban yang tidak sesuai dengan
prinsip syariah, bila ada dan bagaimana perolehan dan penggunaannya

3. Informasi untuk membantu mengevaluasi pemenuhan tanggung jawab entitas


syariah terhadap amanah

4. tercakup dalam Lembaga zakat itu sendiri sebagai fungsi sosial.

Asumsi dasar akuntansinya sebagai berikut:


1. Dasar akrual. Dasar akrual disini menggambarkan keadaan entitas. Berapa
besar aset dan kewajiban entitas. Sedangkan untuk pengakuan pendapatan atau
beban yang berbasis akrual mengindikasikan bahwa informasi dicatat tidak
hanya pada saat kas diterima, tetapi pada saat kejadian. Zakat harus diberikan
oleh muzakki secara tunai tidak boleh dalam bentuk piutang atau utang. Hal
ini disebabkan zakat harus dimiliki mutlak oleh muzakki.
2. Kelangsungan usaha. Lembaga zakat didasari atas usaha yang kontinyu. Tidak
ada niatan untuk melikuidasi atau beroperasi sebatas pada periode tertentu
saja.
5. Standar Akuntansi Lembaga Zakat

PSAK No. 109 secara umum hanya mengatur pengakuan dan pengukuran atas
zakat, infak dan sedekah, begitu juga dengan penyajian dan pengungkapan. Hal lain
yang diatur diluar PSAK dapat merujuk pada PSAK yang berlaku umum dan hal lain
yang terkait dengan perlakuan teknis yang belum diatur dapat dilakukan perlakuan
secara profesional. Untuk laporan keuangan merujuk pada PSAK No. 101 dan 109,
komponen laporan keuangan sebagai berikut:

1. Laporan Posisi Keuangan


2. Laporan Perubahan Dana
3. Perubahan Aset Kelolaan
4. Laporan Arus Kas
5. Catatan Atas Laporan Keuangan

6. Akuntansi Zakat

Lembaga zakat merupakan organisasi yang mendapat tanggung jawab (amanah)


dari para muzaki untuk menyalurkan zakat yang telah mereka bayarkan kepada
masyarakat yang membutuhkan secara efektif dan efisien. Penyaluran secara efektif
adalah penyaluran zakat yang sampai pada sasaran masyarakat dan mencapai tujuan.
Sementara itu, penyaluran zakat yang efisien adalah terdistribusikannya zakat dengan
baik.
Sebagai lembaga pemegang amanah, lembaga zakat berkewajiban untuk
mencatat setiap setoran zakat dari muzaki baik kuantitas maupun jenis zakat, kemudian
melaporkan pengelolaan zakat tersebut kepada masyarakat. Untuk melaksanakan fungsi
ini diperlukan akuntansi. Jadi secara sederhana akuntansi zakat berfungsi untuk
melakukan pencatatan dan pelaporan atas penerimaan dan pengalokasian zakat.
7. Tujuan Akuntansi Zakat

Tujuan akuntansi zakat adalah untuk:


a. Memberikan informasi yang diperlukan untuk mengelola secara tepat, efisien, dan
efektif atas zakat, infak, sodaqoh, hibah, dan wakaf yang dipercayakan kepada
organisasi atau lembaga pengelola zakat. Tujuan ini terkait dengan pengendalian
manajemen (management control) untuk kepentingan internal organisasi.
b. Memberikan informasi yang memungkinkan bagi lembaga pengelola zakat
(manajemen) untuk melaporkan pelaksanaan tanggung jawab dalam mengelola
secara tepat dan efektif program dan penggunaan zakat, infak, sodaqoh, hibah, dan
wakaf yang menjadi wewenangnya; dan memungkinkan bagi lembaga pengelola
zakat untuk melaporkan kepada publik (masyarakat) atas hasil operasi dan
penggunaan dana publik (dana ummat). Tujuan ini terkait dengan akuntabilitas
(accountability).
Akuntansi zakat terkait dengan tiga hal pokok, yaitu penyediaan informasi,
pengendalian manajemen, dan akuntabilitas. Akuntansi zakat merupakan alat informasi
antara lembaga pengelola zakat sebagai manajemen dengan pihak-pihak yang
berkepentingan dengan informasi tersebut. Bagi manajemen, informasi akuntansi zakat
digunakan dalam proses pengendalian manajemen mulai dari perencanaan, pembuatan
program, alokasi anggaran, evaluasi kinerja, dan pelaporan kinerja.
Informasi akuntansi bermanfaat untuk pengambilan keputusan, terutama untuk
membantu manajer dalam melakukan alokasi zakat. Selain itu, informasi akuntansi dapat
digunakan untuk membantu dalam pemilihan program yang efektif dan tepat sasaran.
Pemilihan program yang tepat sasaran, efektif, dan ekonomis akan sangat membantu
dalam proses alokasi dana zakat, infak, sodaqoh, hibah, dan wakaf yang diterima.
Informasi akuntansi zakat juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur
kinerja lembaga pengelola zakat. Akuntansi dalam hal ini diperlukan terutama untuk
menentukan indikator kinerja (performance indicator) sebagai dasar penilaian kinerja.
Manajemen akan kesulitan untuk melakukan pengukuran kinerja apabila tidak ada
indikator kinerja yang memadai. Indikator kinerja tersebut dapat bersifat finansial maupun
nonfinansial. Sebagai contoh indikator kinerja tersebut adalah:
a. Indikator Efisiensi
1) Persentase dana yang didistribusikan dibandingkan dengan total dana yang diterima
2) Persentase jumlah masyarakat miskin yang terbantu (terlayani) oleh pengelola zakat
dibandingkan dengan total jumlah masyarakat miskin di wilayah itu
b. Indikator Efektivitas
1) Persentase jumlah masyarakat miskin yang terentaskan dibandingkan dengan total
jumlah penduduk miskin di wilayah itu sebagai dampak dari penyaluran zakat
2) Persentase jumlah penduduk miskin dibandingkan dengan total penduduk di wilayah
itu
3) Indikator Penjelas Lainnya
4) Persentase kenaikan/penurunan jumlah pembayar zakat (muzakki)
5) Persentase kenaikan/penurunan jumlah dana zakat, infak, dan shodaqoh yang
terkumpul
6) Persentase jumlah dana zakat, infak, dan shodaqoh yang terhimpun dibandingkan
dengan potensi
7) Banyaknya produk jasa dan program yang dilakukan
8) Ketepatan waktu pelaksanaan program/kegiatan
Pada tahap akhir dari proses pengendalian manajemen, akuntansi zakat
dibutuhkan dalam pembuatan laporan keuangan yang dapat berupa laporan alokasi
zakat, laporan sumber dan penggunaan dana, laporan aktivitas, dan neraca. Laporan
keuangan zakat merupakan bagian penting dari proses akuntabilitas publik (konsep
amanah).
8. Teknik Akuntansi Zakat

Pada dasarnya terdapat beberapa teknik akuntansi yang biasa diadopsi oleh
organisasi baik yang bersifat mencari laba (profit motive) maupun lembaga nonprofit
seperti lembaga pengelola zakat, yayasan, LSM, partai politik, dan sebagainya. Teknik
akuntansi tersebut yaitu:
a. Akuntansi Anggaran
b. Akuntansi Komitmen
c. Akuntansi Dana
d. Akuntansi Kas
e. Akuntansi Akrual
Pada dasarnya kelima teknik akuntansi tersebut tidak bersifat mutually
exclusive. Artinya, penggunaan salah satu teknik akuntansi tersebut tidak berarti
menolak penggunaan teknik yang lain. Dengan demikian, suatu organisasi dapat
menggunakan teknik akuntansi yang berbeda-beda, bahkan dapat menggunakan kelima
teknik tersebut secara bersama-sama. Akuntansi kas, akuntansi akrual, dan akuntansi
komitmen berbeda satu dengan lainnya karena adanya perbedaan waktu pengakuan
pendapatan dan biaya (time of recognition). Dalam tulisan ini hanya akan dijelaskan
teknik akuntansi kas dan akuntansi dana.
Untuk kepentingan zakat penggunaan teknik akuntansi kas dan akuntansi dana
dapat digunakan dengan beberapa alasan. Pertama, pengelolaan zakat tidak melibatkan
rekening utang-piutang dan persediaan, sehingga penggunaan teknik akuntansi kas
sudah cukup memadai. Kedua, akuntansi dengan basis kas cukup sederhana dan mudah,
sehingga personel yang tidak berlatar belakang pendidikan tinggi akuntansi dapat
melakukannya. Namun bukan berarti tidak butuh seorang akuntan. Jika hendak
menciptakan lembaga pengelola zakat yang baik, maka perlu akuntan untuk mendesain
sistem akuntansi dan sistem informasi manajemen. Penjelasan mengenai konsep
akuntansi kas dan akuntansi dana adalah sebagai berikut:
9. Akuntansi Dana (Fund Accounting)

Akuntansi dana melihat bahwa unit pelaporan harus diperlakukan sebagai dana
(fund) dan organisasi harus dilihat sebagai satu dana atau satu rangkaian dana. Hal ini
berarti jika suatu organisasi dilihat sebagai suatu rangkaian dana (series of fund), maka
laporan keuangan organisasi tersebut merupakan penggabungan (konsolidasi) dari
laporan keuangan dana yang menjadi bagian organisasi.
General Fund atau dana umum merupakan jumlah total penerimaan zakat, infak,
sodaqoh, hibah, dan wakaf yang diterima oleh lembaga pengelola zakat. Total dana ini
akan dialokasikan ke beberapa kelompok penerima (dalam Al-Qur’an terdapat delapan
asnaf). Sistem akuntansi yang dilakukan dengan menggunakan konsep dana
memperlakukan suatu unit organisasi sebagai entitas akuntansi (accounting entity) dan
entitas anggaran (budget entity) yang berdiri sendiri. Penggunaan akuntansi dana
merupakan salah satu perbedaan utama antara untuk memastikan bahwa uang ummat
dialokasikan atau didistribusikan untuk tujuan yang telah ditetapkan. Sistem akuntansi
dana adalah metode akuntansi yang menekankan pada pelaporan pemanfaatan dana,
bukan pelaporan organisasi itu sendiri.
10. Akuntansi Kas

Penerapan akuntansi kas, pendapatan dicatat pada saat kas diterima, dan
pengeluaran dicatat ketika kas dikeluarkan. Banyak organisasai nonprofit menggunakan
akuntansi kas karena akuntansi kas relatif lebih sederhana dan tidak menyita banyak
waktu.
Kelebihan cash basis adalah mencerminkan pengeluaran yang aktual, riil dan
obyektif. Sedangkan kekurangannya adalah tidak dapat mencerminkan kinerja yang
sesungguhnya karena dengan cash basis tidak dapat diukur tingkat efisiensi dan
efektivitas suatu kegiatan, program, atau aktivitas dengan baik.
Secara sederhana akuntansi basis kas dapat dirumuskan sebagai berikut:
Basis Kas: Penerimaan kas – Pengeluaran kas = Perubahan kas
11. Perlakuan Akuntansi PSAK 109
Perlakuan akuntansi mengacu pada PSAK No. 109, ruang lingkupnya hanya
untuk amil yang menerima dan menyalurkan zakat daninfak/sedekah. PSAK ini wajib
diterapkan oleh amil yang mendapat izin dari regulator namun amil yang tidak
mendapat izin juga dapat menerapkan PSAK ini. PSAK 109 ini merujuk kepada
beberapa fatwa MUI, yaitu sebagai berikut:
a. Fatwa MUI No. 8/2011 tentang Amil Zakat
b. Fatwa MUI No. 13/2011 tentang Hukum Zakat atas Harta Haram
c. Fatwa MUI No. 14/2011 tentang Penyaluran Harta Zakat dalam bentuk Aset
Kelolaan.
d. Fatwa MUI No. 15/2011 tentang Penarikan. Pemeliharaan dan Penyaluran
Harta Zakat
12. Asas-asas Penghitungan Zakat
Penghitungan zakat tunduk ke beberapa asas yang diambil dari hukum dan dasar-
dasar fiqih yaitu:
a. Asas tahunan: zakat harta dihitung ketika telah melewati dua belas bulan
hijtiyah. Tahun zakat dimulai ketika harta tersebut mencapai niasab, selain
zakat harta pertanian yang dihitung zakatnya pada waktu panen dan jakat rikaz
yang wajib dikeluarkan zakatnya pada waktu menemukannya.
b. Asas independensi tahun zakat: setiap tahun zakat independen dari tahun-
tahun zakat lainnya (tahun sebelum dan sesudahnya), tidak boleh mewajibkan
dua zakat atas satu jenis harta dalam tahun yang sama, sebagimana satu jenis
harta tidak boleh tunduk kepada zakat dua kali dalam setahun.
c. Asas terealisasinya perkembangan dalam harta yang tunduk kepada zakat baik
secara riil maupun prediksi dan maknawi, artinya harta yang tunduk kepada
zakat haruslah harta yang berkembang seperti harta perdagangan dan binatang
ternak atau harta tersebut dihukumi sebagai harta berkembang seperti harta
tunai yang tidak diinvestasikan, yang mana ika harta tersebut diinvestasikan
akan berkembang.
d. Asas penghitungan zakat atas semua harta (Jumlah kotor) atau atas jumlah
bersih harta sesuai dengan jenis zakat. Misalnya zakat harta tunai dihitung atas
semua harta dan perkembangannya sedang zakat harta mustaghalat (harta yang
diliki untuk mendapat pemasukan) dan zakat gaji dihitung atas jumlah bersih
harta setelah dikurangi pembiayaan yang harus dikeluarkan.
e. Asas penghitungan nialai harta zakat berdasarkan nilai (harga) pasar yang
berlaku pada waktu pembayaran zakat. Misalnya harta perdagangan dihitung
nilainya berdasarkan harga grosir (partai) dipasar dan zakat piutang dihitung
berdasarkan nilai/umlah yang diharapkan pelunasannya.
f. Asas penggabungan harta-harta yang sejenis yang sama haul, nisab dan harga
zakatnya; seperti barang perdagangan digabungkan dengan harta tunai,
simpanan gaji dan pemberian.
g. Asas pengurangan harta yang wajib dizakati oleh tuntutan dan kewajiban
jangka pendek (kontan), sedang kewajiban jangka panjang yang mengurani
harta zakat adalah bagian yang harus dibayar pada tahun itu.
12. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membuat laporan akuntansi zakat adalah :
a. Setiap penerimaan dan pengeluaran harus di ketahui termasuk jenis dana apa.
b. Setiap penyaluran dana yang ada harus sesuai dengan ketentuan Syari’ah.
c. Setiap jenis dana yang ada harus dapat di ketahui saldonya.
d. Jika zakat di terima dalam bentuk barang maka prinsip akutansi menghendaki
barang tersebut di nilai dalam satuan moneter (dalam rupiah), sesuai dengan
nilai pasarnya (jika di ketahui) atau nilai taksirannya.
e. Aktiva tetap yang dimiliki boleh disusutkan ataupun tidak
BAB III

PENUTUP

Dalam konteks organisasi masjid, pengelolaan keuangan dan administrasi merupakan


hal yang penting dalam mengelola masjid (Ayub, 1996). Kalau pengelolaan keuangan masjid
dapat dilaksanakan dengan baik, itu pertanda pengurus masjid adalah orang yang dapat
dipercaya dan bertanggung jawab. Akan tetapi, kalau pengelolaan keuangan dilaksanakan
dengan tidak baik, maka akan berakibat timbulnya fitnah dan pengurusnya akan dinilai
sebagai orang yang tidak dapat dipercaya dan tidak bertanggung jawab. Pola
pertanggungjawaban di organisasi keagamaan dapat bersifat vertikal maupun horizontal.
Standar akuntansi zakat di Indonesia (PSAK 109) mulai berlaku paling lambat 1
Januari 2012, sedangkan standarnya sendiri mulai diterbitkan sejak 6 April 2010. Sebelum
digunakan PSAK No. 109 akuntansi zakat dan infak/sedekah, Lembaga zakat menggunakan
PSAK No. 45 akuntansi nirlaba. Namun ada beberapa karakteristik lembaga zakat yang tidak
sesuai dengan PSAK No. 45 tersebut. Karakteristik tersebut antara lain jenis dana yang
digunakan, tujuan penyaluran dana, dan pengelolaan dana. PSAK ini tidak lepas dari usulan
Forum Zakat (FOZ) yang merupakan kumpulan organisasi pengelola zakat. Pada awalnya,
standar akuntansi yang digunakan adalah pedoman akuntansi dan keuangan yang dikeluarkan
oleh FOZ pada tahun 2005. PSAK No. 109 sudah disahkan oleh Dewan Standar Akuntansi
Syariah – Ikatan Akuntan Indonesia (DSAS-IAI) pada 6 April 2010, untuk meminta fatwa
DSAK-IAI menulis surat ke Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
pada 4 Mei 2010 yang kemudian baru dikeluarkan fatwa pada 16 Agustus 2011. Maka sejak
tanggal tersebut PSAK No. 109 dapat diterapkan. Di dalam PSAK tersebut dijelaskan bahwa
penerapannya dimulai pada 1 Januari 2012.
DAFTAR PUSTAKA

Nurhayati, dan Wasilah. 2015. Akuntansi Syariah di Indonesia Edisi 4. Jakarta. Salemba
Empat.
Nurhayati, dan Siswantoro. 2015. Pedoman Akuntansi Lembaga Zakat. Jakarta. Dapur Buku.
Sitompul, Harahap, dan Harnain. 2015. Akuntansi Masjid. Sumatera Utara : FEBI UIN-SU
Press.
http://www.puskasbaznas.com/publications/officialnews/425-ketentuan-dan-tata-cara-
penghitungan-zakat-profesi-penghasilan

Anda mungkin juga menyukai