Fidelis Dagu PDF
Fidelis Dagu PDF
SKRIPSI
Di Susun Oleh :
FIDELIS DAGU
NIM : B1736915101
SKRIPSI
Untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana (S.Kep)
Di Susun Oleh :
FIDELIS DAGU
NIM : B1736915101
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat
rahmat, kemurahan dan petunjuk-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
Laporan Tugas Akhir ini dengan judul “Pengalaman Orang Tua dalam Mengatasi
Reaksi Sibling anak Terhadap Saudara yang Sedang Menjalani Hospitalisasi”.
Laporan Tugas Akhir ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Keperawatan (S. Kep) pada program studi Ilmu Keperawatan di STIKES
Wiyata Husada Samarinda.
Bersama dengan ini perkenankan saya mengucapkan terimakasih dengan
hati yang tulus kepada Kedua orang tua saya yang memberikan dukungan moral
dan materi serta doa yang tak pernah terhitung untuk kesuksesan dan keberhasilan
saya selama ini. Untuk keluarga dan saudara-saudari saya yang turut ambil adil
dalam memberikan dukungan serta doa dalam kehidupan saya. Saya juga ingin
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Mujito Hadi, MM selaku ketua yayasan STIKES Wiyata Husada
Samarinda.
2. Bapak Ns. Edy Mulyono, S. Pd., S. Kep., M. Kep., Selaku ketua STIKES
Wiyata Husada Samarinda.
3. Bapak Ns. Rusdi, S. Kep., M. Kep., selaku ketua program studi Ilmu
Keperawatan STIKES Wiyata Husada Samarinda.
4. Direktur Rumah Sakit Dirgahayu Samarinda yang telah mengijinkan peneliti
untuk melakukan kegiatan penelitian di Rumah Sakit Dirgahayu Samarinda.
5. Bapak Ns. Aries Abiyoga, S.Kep., M.Kep., selaku penguji utama yang selalu
memberikan masukan demi perbaikan terhadap penulisan penelitian saya baik
proposal maupun skripsi.
6. Ibu Ns. Siti Mukaromah, S. Kep., M. Kep., S. Kom., selaku pembimbing I
yang sudah meluangkan banyak waktu di sela-sela kesibukannya untuk
mengarahkan dan memberikan masukan kepada saya selama proses
penyusunan proposal maupun skripsi
7. Ibu Ns. Sumiati Sinaga, S. Kep., M. Kep., selaku pembimbing II yang juga
sudah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing dan memotivasi
saya selama penyusunan proposal dan skripsi.
8. Seluruh staff pengajar dan karyawan Program Studi Ilmu Keperawatan
STIKES Wiyata Husada Samarinda.
9. Teman-teman saya baik sekelas maupun diluar institusi yang rasanya tak
cukup untuk saya sebutkan namanya satu-persatu dalam tulisan ini karena
telah memberikan banyak memberikan kekuatan dan dukungan yang positif
kepada saya.
Semoga saran, kritik, motivasi, dan bantuan yang telah diberikan selama ini
kepada saya dapat menjadi amal ibadah yang terus mengalir pahalanya untuk
keluarga, bapak, ibu dan teman-teman semua serta memperoleh balasan yang
lebih baik dari Tuhan Yang Maha Esa. Saya menyadari bahwa tulisan ini masih
cukup jauh dari kata sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran yang
membangun saya harapkan dapat menjadikan kesempurnaan untuk skripsi atau
tulisan saya selanjutnya.
Samarinda, 2018
Peneliti
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
LEMBAR PENGESAHAN iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR SKEMA vi
DAFTAR BAGAN vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
ABSTRAK ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang 1
B. Rumusan masalah 7
C. Tujuan penelitian 7
D. Manfaat penelitian 7
E. Penelitian terkait 8
BAB V PENUTUP
A. Lokasi dan waktu penelitian 67
B. Subjek penelitian dan unit anlisis 68
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR SKEMA
Skema 2.1 Kerangka teori Kathryn E. Barnard 23
Skema 2.2 Konsep Child Health Assessment Interaction Theory 23
Skema 2.3 Penerapan konsep teori Kathryn E. Barnard dalam penelitian 27
Skema 3.1 Alur penelitian 35
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 : Tema 1 41
Bagan 2 : Tema 2 44
Bagan 3 : Tema 3 46
Bagan 4 : Tema 4 48
Bagan 5 : Tema 5 50
DAFTAR LAMPIRAN
NIM : B1736915101
Menjalani Hospitalisasi
Dengan ini menyatakan, bahwa Skripsi ini merupakan hasil karya saya sendiri dan
semua sumber, baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan
dengan benar.
Fidelis Dagu
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
NIM : B1736915101
Dengan ini menyetuji dan memberikan hak kepada STIKES Wiyata Husada
Samarinda atas karya ilmuah saya yang berjudul :
Pengalaman Orang Tua Dalam Mengatasi Reaksi Sibling Anak Usia Todler
Terhadap Saudara Yang Sedang Menjalani Hospitalisasi
Beserta perangkat yang ada (Jika diperlukan). Dengan hak ini, STIKES Wiyata
Husada Samarinda berhak menyimpan, mengalih media/memformat, mengelola
dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan Skripsi
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan pemilik hak
cipta.
Yang menyatakan
Fidelis Dagu
PENGALAMAN ORANG TUA DALAM MENGATASI REAKSI SIBLING
ANAK USIA TODLER TERHADAP SAUDARA YANG SEDANG
MENJALANI HOSPITALISASI
ABSTRAK
Latar Belakang : Kondisi anak sakit akan menyita perhatian juga waktu dari orang tua,
hal ini akan menimbulkan reaksi dari sibling yang berupaya untuk mendapatkan kembali
perhatian dan waktu dari orang tua yang telah lebih memprioritaskan pada saudaranya
yang sakit yang disebut dengan sibling rivalry. Sibling rivalry adalah kompetisi antara
saudara kandung untuk mendapatkan cinta kasih, afeksi dan perhatian dari satu atau dari
kedua orang tua, atau untuk mendapatkan pengakuan atau suatu yang lebih. Dalam hal ini
peran orang tua sangat krusial dalam mengatasi reaksi pada sibling yang muncul untuk
menghindari konflik dan masalah lain yang dapat timbul pada perkembangan emosional
dan kepribadian juga interaksi anak dimasa yang akan datang.
Tujuan Penelitian : Mendeskripsikan pengalaman orang tua dalam mengatasi reaksi
sibling anak usia todler terhadap saudara yang sedang menjalani hospitalisasi.
Metode : Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi dengan jumlah partisipan sebanyak 5 orang yang memenuhi kriteria.
Informan dalam penelitian ini diambil dengan teknik purposive sampling.
Hasil : Penelitian ini menghasilkan lima tema, yaitu Perubahan perilaku sibling sebagai
respon terhadap proses hospitalisasi pada saudaranya, upaya orang tua untuk
mengendalikan reaksi sibling, kesulitan orang tua dalam mengatasi reaksi sibling, cara
orang tua mengatasi hambatan dan harapan orang tua terhadap sikap sibling.
Simpulan : Pengalaman orang tua dalam mengatasi reaksi sibling anak usia todler
terhadap saudara yang sedang menjalani hospitalisasi adalah sama, anak memberikan
respon kepada orang tua dengan berperilaku agresif dan mencari perhatian dan untuk
mengontrol perilaku sibling orang tua berusaha memenuhi permintaan, memberi
penjelasan dan bahkan memberi sanksi. Kesulitan yang ditemui orang tua tentang usia
anak yang terlalu kecil untuk memahami informasi sehingga orang tua mengatasinya
dengan mencoba memberikan perhatian, pengertian dan berusaha mengendalikan emosi
kepada anak. Orang tua berharap agar sibling dapat memahami kondisi yang sedang
dihadapi orang tua sehingga peran orang tua dapat optimal.
1
Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Wiyata Husada
Samarinda
2
Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Wiayata Husada
Samarinda
3
Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Wiayata Husada
Samarinda
ABSTRACT
Background: The condition of sick children will also draw attention from parents, this
will cause a reaction from siblings who try to regain attention and time from parents who
have prioritized their sick siblings which is called sibling rivalry. Sibling rivalry is a
competition between siblings to get love, affection and attention from one or both
parents, or to get recognition or something more. In this case the role of parents is very
crucial in overcoming reactions to sibling that arise to avoid conflicts and other problems
that can arise in the development of emotional and personality as well as future
interactions of children.
Result: This study produced five themes, namely changes in sibling behavior as a
response to the process of hospitalization to his siblings, parents’ efforts to control sibling
reactions, parental difficulties in overcoming sibling reactions, the way parents overcome
obstacles and parents' expectations of sibling attitudes.
1
Student of Nursing Program, Institute of Health Science Wiyata Husada Samarinda.
2
Lecturer of Nursing Program, Institute of Health Science Wiyata Husada
Samarinda. 3Lecturer of Nursing Program, Institute of Health Science Wiyata
Husada Samarinda.
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Orang tua akan selalu dihadapkan dengan masalah dalam kehidupan
sehari-hari dan ini adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari dan yang
penting adalah bagaimana cara orang tua menyikapinya secara positif.
Kemampuan koping yang positif sangat diperlukan dan dapat dilatih dan
dibiasakan pada anggota keluarga, yaitu kemampuan strategi kepada
pemecahan masalah dan bukan menggunakan strategi koping yang negatif,
seperti mengingkari, marah dan menyalahkan orang lain, walaupun untuk
sementara strategi koping tersebut dapat digunakan untuk mengatasi ancaman
psikologis. Anggota keluarga dapat belajar menggunakan koping yang positif
sebagai strategi koping yang baik untuk dipertahankan khususnya ketika
menghadapi masalah sehat-sakit dalam keluarga seperti hospitalisasi pada
anak (Supartini, 2004).
Hospitalisasi pada anak merupakan perasaan sakit karena perlukaan
atau pembedahan menimbulkan respon anak bertanya-tanya, menarik diri dari
lingkungan, dan/atau menolak kehadiran orang lain. Hospitalisasi akan
menimbulkan stresor pada anak yang dirawat di rumah sakit seperti cemas
karena perpisahan, kehilangan kendali dan luka pada tubuh dan rasa sakit
(rasa nyeri). Dampak hospitalisasi pada anak akan tergantung dari reaksi
keluarga terhadap anak yang sakit dan dirawat dirumah sakit khususnya dari
orang tua dan saudara kandung (sibling) (Asmadi, 2008).
Hospitalisasi dapat memberi dampak pada anak, mencakup ansietas
serta ketakutan yang berhubungan dengan keseluruhan proses dan
kemungkinan cedera tubuh, bahaya fisik dan nyeri. Selain itu, anak
dipisahkan dari rumah, keluarga, dan teman mereka serta berbagai hal yang
sudah familiar bagi mereka sehingga terjadi kehilangan kontrol secara umum
terhadap kehidupan dan terkadang emosi serta perilaku mereka, hasilnya
dapat berupa perasaan marah dan bersalah, regresi, bertingkah rewel, dan
jenis pertahanan diri yang lain untuk mengatasi efek ini. Reaksi anak terhadap
hospitalisasi juga sangat dipengaruhi oleh tahap perkembangan yang sedang
dialami anak (Carson, Gravley, dan Council, 1992; Clatworthy, Simon, dan
Tiedeman, 1999; Wong, 2003 dalam Yuli Utami, 2014).
Salah satu tahap penting dalam masa perkembangan anak adalah
ketika anak sedang dalam masa todler, pada masa todler anak sering kali
mengalami ambivalensi tentang perpindahan dari kemandirian ke otonomi,
dan ini menghasilkan labilitas emosional. Perilaku agresif biasanya
ditunjukan pada masa todler seperti tempramen yang mempengaruhi
bagaimana anak berinteraksi dengan lingkungan. Anak dapat menggigit,
memukul anak lain dan mengambil mainan. Anak juga akan mengalami
ansietas akibat perpisahan dengan orang tua ketika mereka menyadari bahwa
mereka memiliki kemampuan untuk pergi, begitu juga dengan orang tua
seiring dengan peningkatan keterampilan dalam mobilisasi. Anak cenderung
sangat malu untuk mendekatkan diri kepada orang lain yang tidak mereka
kenal, dan akan mengalami regresi selama peristiwa penuh stres seperti
hospitalisasi (Terry Kyle & Susan Carman, 2014).
Kondisi sakit pada anak sangat memungkinkan membutuhkan
pelayanan kesehatan di rumah sakit (RS), di Amerika Serikat, diperkirakan
lebih dari 5 juta anak menjalani hospitalisasi (2006 dalam Tini Ingriani,
2016). Menurut Sumaryako (2008 dalam Purwandari, 2009), di Indonesia,
diperkirakan 35 per 1000 anak menjalani hospitalisasi. Selama masa anak-
anak sekitar 30% anak pernah mengalami perawatan di rumah sakit,
sementara itu sekitar 5% pernah dirawat beberapa kali di rumah sakit menurut
Kzemi, Ghazimoghaddam, Besharat, Kashani (2012 dalam Winarsih2012), di
Rumah Sakit Dirgahayu Samarinda jumlah pasien anak pada tiga bulan
terakhir sejak juli hingga september 2018, berjumlah 1.448 anak yang
menjanali hospitalisasi. Anak-anak dapat bereaksi terhadap stres hospitalisasi
sebelum mereka masuk, selama hospitalisasi, dan setelah pemulangan (Tini
Inggriani, 2016).
Ketika mengalami hospitalisasi, anak sering kali merasa takut
terhadap orang asing dan dapat mengingat peristiwa traumatik. Ansietas
akibat perpisahan akan muncul, ketika anak dipisahkan dari orang tua atau
pengasuhnya dalam lingkungan yang tidak familiar, ansietas perpisahan
menjadi bertambah. Sebagai respon terhadap ansietas ini, anak dapat
memperlihatkan perilaku seperti memohon kepada orang tuanya untuk tetap
tinggal, secara fisik berupaya untuk mengejar orang tua, memunculkan
tempertantrum dan menolak melakukan rutinitas yang biasa dilakukan
ataupun prosedur pengobatan yang dilakukan di rumah sakit. Akibatnya, akan
terjadi hambatan dalam pengobatan dan pemulihan, juga regresi dan
penolakan untuk makan adalah reaksi yang umum dilakukan anak sehingga
anak akan sangat bergantung pada orang tuanya (Terry Kyle & Susan
Carman, 2014).
Reaksi orang tua melihat anak dihospitalisasi dan kesakitan adalah hal
yang sulit. Orang tua dapat merasa bersalah karena tidak mencari perawatan
lebih dini. Orang tua juga dapat memperlihatkan perasaan lain seperti
penyangkalan, marah, depresi, dan kebingungan. Orang tua dapat
menyangkal bahwa anak mereka sakit. Mereka dapat mengekspresikan rasa
marah, terutama diarahkan kepada staf keperawatan, anggota keluarga lain,
atau bahkan pada Tuhan, karena mereka kehilangan kontrol dalam merawat
anak mereka. Depresi dapat timbul karena kelelahan fisik dan psikologis,
kebingungan juga dapat terjadi karena lingkungan yang tidak familiar,
sehingga orang tua akan berusaha untuk meluangkan lebih banyak waktu dan
perhatian untuk memenuhi kebutuhan anak yang sedang dihospitalisasi demi
kesembuhan anak, hal ini akan berdampak dan mempengaruhi respon saudara
kandung dari anak yang menjalani hospitalisasi karena berubahnya rutinitas,
waktu, dan sikap orang tua (Terry Kyle & Susan Carman, 2014).
Saudara kandung dari anak yang di hospitalisasi akan mengalami
kesulitan dalam memahami mengapa saudara kandung mereka sakit atau
mendapatkan seluruh perhatian dan menyisakan sedikit perhatian untuk
mereka. Mereka akan bertanya-tanya apakah saudara kandung mereka akan
meninggal atau akan pulang kembali kerumah. Mereka akan khawatir bahwa
penyakit saudara kandung mereka akan terjadi juga pada mereka. Sedikit
informasi atau pemahaman tentang apa yang terjadi, dikombinasikan dengan
pemikiran magis dan egosentrik mereka, berkontribusi pada ketakutan bahwa
mereka telah menyebabkan penyakit atau cidera akibat pikiran, harapan, atau
perilaku mereka. Jika peran keluarga atau rutinitas beruba secara signifikan,
saudara kandung dapat merasa cemas dan mengalami perubahan kinerja
sekolah atau perubahan perilaku. Saudara kandung dari anak yang di
hospitalisasi juga dapat mengalami ketidakamanan, penolakan, kebingungan,
ansietas, tempramen dan bahkan regresi untuk mendapatkan perhatian orang
tua yang dikenal dengan Sibling Rivalry (Terry Kyle & Susan Carman, 2014).
Sibling rivalry adalah kompetisi antara saudara kandung untuk
mendapatkan cinta kasih, afeksi dan perhatian dari satu atau dari kedua orang
tua, atau untuk mendapatkan pengakuan atau suatu yang lebih. Faktor yang
menyebabkan sibling rivalry, antara lain ingin menunjukan kepada
saudaranya bagaimana pribadinya masing-masing, kurang mendapatkan
perhatian dan waktu orang tua, merasa hubungannya dengan orang tua
terancam karena adanya saudara yang dihospitalisasi, tahap perkembangan
anak dan faktor lainnya. Hal ini akan menimbulkan perubahan sikap dan
perilaku pada anak terhadap orang tua terutama kepada saudaranya yang
sedang dirawat, baik ketika masih di rumah sakit maupun ketika telah
kembali kerumah. Hal-hal seperti memukul, mendorong saudara dari
pangkuan orang tua, menjauhkan saudara dari orang tua, secara verbal
menginginkan saudaranya kembali kedalam perut ibu, ngompol lagi, kembali
tergantung pada susu botol dan bertingkah agresif karena persaingan dan
perasaan takut kehilangan kasih sayang orang tua. Tingkah laku negatif dapat
muncul dan merupakan petunjuk derajad stres pada anak. Oleh karena itu,
orang tua harus bisa menempatkan diri sebagai fasilitator yang baik
(Elisabeth & Endang, 2015).
Dalam mengatasi reaksi Sibling Orang tua perlu menjelaskan dan
memberi pengertian pada anak agar memahami keadaan yang sedang dialami
oleh saudaranya di rumah sakit dan tetap mempertahankan hubungan baik
antara anak dengan saudaranya yang sedang dihospitalisasi dan
mempertahankan pembagian waktu dan juga perhatian yang sesuai pada anak
sesuai dengan kebutuhan pada tahap perkembangan anak (Terry Kyle &
Susan Carman, 2014).
Teori keperawatan yang menerapkan interaksi orangtua/pemberi
asuhan-anak dalam asuhan keperawatan yaitu model interaksi orangtua/
pemberi asuhan- anak (Parent-Child Interaction ) menurut Kathryn E.
Barnard. Fokus teori Barnard adalah perkembangan instrumen pengkajian
untuk mengevaluasi kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak
disamping memandang orangtua/pemberi asuhan dan anak sebagai sebuah
sistem interaktif. Sistem orangtua/ pemberi asuhan-anak dipengaruhi oleh
karakteristik individu setiap anggota dan karakteristik individu
tersebut dimodifikasi untuk memenuhi kebutuhan sistem yang
diharapkan dapat memunculkan perilaku adaptif. Karateristik
orangtua/pemberi asuhan berupa sensitivity to cues, alleviation of distress,
providing growth social, emotional, and cognitive fostering situation.
Sementara karakteristik anak atau bayi berupa clarity to cues, dan
responsiveness to caregiver (Tomey & Aligood, 2010).
Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti diruang anak Rumah Sakit
Dirgahayu Samarinda pada 24 oktober 2018 pada dua partisipan orang tua,
orang tua pertama menyatakan tidak ada masalah kecemburuan, regresi, atau
tingkah laku anak yang memusuhi saudaranya. Semua anak dari yang sulung
hingga yang bungsu memiliki hubungan dan interaksi yang baik termasuk
ketika ada saudaranya yang sedang di hospitalisasi. Sedangkan pada orang tua
yang kedua menyatakan, ada salah satu anaknya yang menunjukan perilaku
cemburu pada saudaranya. Anak menunjukan sikap acuh pada saudaranya,
lebih manja dari adiknya dan sangat bergantung pada orang tuanya. Orang tua
mengatakan ketika saudaranya dihospitalisasi anak terus meminta orang
tuanya untuk segera pulang, dan ketika orang tua membawa anak ke rumah
sakit untuk menjenguk saudaranya, anak langsung meminta untuk pulang
padahal baru sampai di rumah sakit tidak lebih dari 10 menit. Orang tua
berusaha berusaha menjelaskan kepada anak bahwa saudaranya sedang sakit
dan orang tua harus menemani adiknya di rumah sakit, namun anak malah
menangis dan meminta segera pulang. Jika di rumah anak yang mengalami
Sibling Rivalry berkelahi dengan saudaranya maka orang tua biasanya
menyuruh anak untuk pergi bermain di luar rumah atau memberikan anak
uang agar mau berdamai dengan saudaranya, karena jika tidak, maka anak
tidak akan mau berdamai dengan saudaranya, atau mengancam akan
mengadukan anak pada ayahnya. Orang tua juga berusaha membuat anak
tidak merasa berbeda dengan saudara-saudaranya, dengan tindakan membagi
rata semua hal yang diberikan kepada anak dan saudaranya seperti uang jajan,
mainan, hingga jumlah lauk ketika makan sehari-hari.
Penelitian yang dilakukan oleh Ervina Erawati (2014) mengenai
faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya sibling rivalry pada balita
menunjukan bahwa ada hubungan sikap orang tua dengan kejadian Sibling
Rivalry pada balita. Orang tua berbagi perhatian kepada adik atau kepada
saudara kandung yang lain yang sedang sakit, dipersepsikan oleh anak
sebagai perhatian yang berlebihan. Perasaan iri sebagai perasaan terancam.
Menganggap adik atau saudaranya sebagai penyebab hilangnya kenikmatan
yang selama ini dirasakan. Ada hubungan jenis kelamin dengan kejadian
Sibling Rivalry pada balita. Anak laki-laki dan perempuan memiliki reaksi
yang sangat berbeda terhadap saudara kandungnya. Anak perempuan dengan
saudara kandung perempuan akan terjadi iri hati yang lebih besar dari pada
antara anak perempuan dengan saudara laki-laki atau anak laki-laki dengan
saudara laki-laki. Jenis kelamin juga membuat anak merasa dibedakan karena
pembagian tugas yang berbeda, seperti halnya anak laki-laki selalu
dimintakan tolong untuk membantu adiknya membawa sesuatu atau
mengerjakan sesuatu yang lebih berat. Kemudian ada hubungan antara
perbedaan usia dengan kejadian Sibling Rivalry pada balita. Jarak usia yang
terlalu dekat pada anak yang membuat orang tua cenderung mengasuh anak
dengan cara yang sama meskipun usia yang berbeda sehingga menimbulkan
rasa bersaing untuk mendapatkan perhatian.
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Ayu Citra Triana Putri et. all
(2013) mengenai dampak sibling rivalry pada anak usia dini (1-8 tahun)
menunjukan bahwa sibling rivalry berdampak tidak hanya pada diri sendiri,
namun juga pada orang lain. Sibling rivalry dapat memunculkan regresi pada
diri sendiri dan agresi terhadap saudara. Sibling rivalry juga membuat
seorang anak berperilaku buruk pada orang lain sehingga sedikit memiliki
teman. Pemicu munculnya sibling rivalry adalah perbedaan usia dengan adik
yang terlalu dekat serta pemutusan pemberian ASI pada anak pertama.
Melihat fenomena diatas maka perlu adanya penelitian untuk
mengetahui sikap orang tua terhadap sibling. Peneliti mengangkat masalah
tersebut sebagai penelitian dengan judul Pengalaman Orang Tua Dalam
Mengatasi Reaksi Sibling Anak Usia Todler Terhadap Saudara Yang Sedang
Menjalani Hospitalisasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka peneliti
merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: Apa makna pengalaman
orang tua dalam mengatasi reaksi sibling anak usia todler terhadap saudara
yang menjalani hospitalisasi.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan diatas, maka tujuan
penelitian ini adalah Mendeskripsikan pengalaman orang tua dalam
mengatasi reaksi sibling anak usia todler terhadap saudara yang sedang
menjalani hospitalisasi.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian tentang
pengalaman orang tua dalam mengatasi reaksi sibling anak terhadap
saudara yang seang menjalani hospitalisasi
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru serta
dijadikan bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.
Memberikan sumbangan teoritis terutama mengenai kemampuan orang
tua dalam merespon reaksi anak dengan sibling rivalry.
2. Manfaat Praktis
a. Orang tua dan masyarakat
Penelitian ini diharapkan menambah pemahaman bagi orang tua dan
masyarakat dalam mengatasi reaksi sibling anak terhadap
saudaranya yang sedang menjalani hospitalisasi
b. Institusi pendidikan kesehatan STIKES Wiyata Husada Samarinda
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk
kalangan lembaga pendidikan dibidang kesehatan sehingga dapat
memberikan pengetahuan bagi mahasiswa dalam memberikan
edukasi kepada orang tua tentang reaksi orang tua dalam mengatasi
reaksi sibling anak terhadap saudara yang sedang di hospitalisasi.
c. Keperawatan: Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan perawat dalam memberikan edukasi terhadap orang
tua tentang cara merespon anak dengan sibling rivalry.
d. Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data, gagasan dan informasi
bagi peneliti lainnya yang berkaitan dengan pengalaman orang tua
dalam mengatasi reaksi sibling anak terhadap saudara yang sedang
menjalani hospitalisasi.
E. Penelitian Terkait
Ada beberapa penelitian yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan
yaitu:
1. Nago Tejena dan Tience Debora Valentina (2015) dengan judul Sibling
Rivalry antara anak dengan Mild Intellectual Diability dan saudara
kandung. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive
sampling. Subjek penelitian ini adalah seorang anak berusia 11 tahun
dengan Mild Intellectual Disability, dan memiliki dua saudara kandung.
Jenis penelitian ini kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Teknik
pengambilan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, catatan
lapangan dan rekaman audio visual. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui dinamika Sibling Rivalry pada anak dengan Mild
Intellectual Disability. Hasil penelitian ini ditemukan 33 kategori yang
dikelompokan menjadi 6 pola yaitu faktor-faktor Sibling Rivalry, pemicu
pertengkaran, Sibling Rivalry, cara penyelesaian masalah ketika terjadi
konflik, setelah pertengkaran selesai dan sudut pandang antara subjek
dan saudaranya.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan
penelitian Nago Tejena dan Tience Debora Valentina adalah
menggunakan objek orang tua yang memiliki anak dengan sibling
rivalry. Perbedaannya adalah penelitian yang akan dilakukan ingin
mengetahui pengalaman orang tua dalam mengatasi reaksi sibling anak
terhadap saudara yang sedang menjalani hospitalisasi, sedangkan
penelitian yang telah dilakukan oleh Nago Tejena dan Tience Debora
Valentina adalah ingin mengetahui dinamika Sibling Rivalry pada anak
dengan Mild Intellectual Disability.
2. Esty Aryani Safithry (2016) dengan judul terapi perilaku untuk
mengurangi dampak Sibling Rivalry pada anak. Jenis penelitian yang
digunakan adalah studi kasus dengan subjek penelitian anak berusia 3
tahun. Pengambilan data dengan menggunakan wawancara dan
observasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana
reaksi anak terhadap saudaranya setelah diberikan terapi perilaku. Hasil
penelitian ini menyatakan bahwa penerapan terapi perilaku yang tepat
dapat mengurangi perilaku Sibing Rivalry pada anak.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Esty Aryani Safithry
dengan penelitian yang akan dilakukan dalam peneliti yaitu
menggunakan objek orang tua yang memiliki anak dengan sibling
rivalry. Perbedaannya adalah penelitian yang dilakukan oleh Esty Aryani
Safithry untuk melihat bagaimana reaksi anak terhadap saudaranya
setelah diberikan terapi perilaku, sedangkan penelitian yang akan
dilakukan ingin mengetahui pengalaman orang tua dalam mengatasi
reaksi sibling anak terhadap saudara yang sedang menjalani hospitalisasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Konsep Horpitalisasi
a. Pengertian Hospitalisasi
Hospitalisasi merupakan suatu proses yang mengharuskan
anak berada di rumah sakit untuk menjalani terapi dan perawatan
yang sampai pemulangannya kembali kerumah (Supartini, 2004,
dalam Tini Inggriani, 2016). Hospitalisasi adalah bentuk stressor
individu yang berlangsung selama individu tersebut dirawat di
rumah sakit (Wong, 2003 dalam Yuli Utami, 2014). menurut WHO,
hospitalisasi merupakan pengalaman yang mengancam ketika anak
menjalani hospitalisasi karena stressor yang dihadapi dapat
menimbulkan perasaan tidak aman.
b. Hospitalisasi pada Anak Usia Todler
Sesuai dengan teori Ericson dalam Price & Gwin (2005),
bahwa pada fase ini anak sedang mengembangkan kemampuan
otonominya. Akibat sakit dan dirawat di rumah sakit, anak akan
kehilangan kebebasan dalam mengembangkan otonominya.
Keterbatasan aktifitas, kurangnya kemampuan untuk memilih dan
perubahan rutinitas dan ritual akan menyebabkan anak merasa tidak
berdaya. Toddler bergantung pada konsistensi dan familiaritas ritual
harian guna memberikan stabilitas dan kendali selama masa
pertumbuhan dan perkembangan. Area todler dalam hal kebiasaan
mencakup makan, tidur, mandi, toileting dan bermain. Jika rutinitas
tersebut terganggu, maka dapat terjadi kemunduran terhadap
kemampuan yang sudah dicapai atau disebut dengan regresi
(Wong,2003 dalam Yuli Utami 2014).
Pemahaman todler tentang citra tubuh, terutama definisi
batasan tubuh, perkembangannya masih sangat buruk. Pengalaman
intrusif seperti pemeriksaan telinga atau mulut atau pemeriksaan
suhu rektal merupakan prosedur yang sangat mencemaskan dan
todler bereaksi sama kerasnya dengan prosedur yang menyakitkan.
Secara umum, anak dalam kelompok usia ini terus bereaksi dengan
kemarahan emosional yang kuat dan resistensi fisik terhadap
pengalaman nyeri baik yang aktual maupun yang dirasakan. Perilaku
yang mengindikasikan nyeri antara lain, meringis kesakitan,
mengatupkan gigi dan atau bibir, membuka mata lebar-lebar,
mengguncang-guncang, menggosok-gosok, dan bertindak agresif,
seperti menggigit, menendang, memukul, atau melarikan diri. Tidak
seperti orang dewasa yang biasanya mengurangi aktifitasnya pada
saat nyeri, anak-anak cenderung lebih gelisah dan sangat aktif,
seringkali respon ini tidak diketahui sebagai akibat dari nyeri. Di
akhir periode ini, toddler biasanya mampu mengkomunikasikan
nyeri dengan cara menunjuk area spesifik nyeri yang mereka
rasakan, meskipun begitu anak belum mampu menggambarkan jenis
dan intensitas nyeri.
c. Dampak Hospitalisasi pada Anak
Anak-anak dapat bereaksi terhadap stres hospitalisasi
sebelum mereka masuk, selama hospitalisasi, dan setelah
pemulangan. Konsep sakit yang dimiliki anak bahkan lebih penting
dibandingkan usia dan kematangan intelektual dalam
memperkirakan tingkat kecemasan sebelum hospitalisasi (Carson,
Gravley, dan Council,1992; Clatworthy, Simon, dan Tiedeman,1999;
Wong,2003 dalam Yuli Utami, 2014).
Sejumlah faktor resiko membuat anak-anak tertentu lebih
rentan terhadap stres hospitalisasi dibandingkan dengan lainnya.
Dapat karena perpisahan yang merupakan masalah penting seputar
hospitalisasi bagi anak-anak yang lebih muda, anak yang aktif dan
berkeinginan kuat, cenderung lebih baik ketika hospitalisasi
dibandingkan anak yang pasif. Hal ini mengharuskan perawat harus
mewaspadai anak-anak yg pasif karena membutuhkan dukungan
yang lebih banyak daripada anak yang aktif. Berkembangnya
gangguan emosional jangka panjang dapat merupakan dampak dari
hospitalisasi. Gangguan emosional tersebut terkait dengan lama dan
jumlah masuk rumah sakit, dan jenis prosedur yang dijalani di rumah
sakit. Hospitalisasi berulang dan lama rawat lebih dari 4 minggu
dapat berakibat gangguan dimasa yang akan datang. Gangguan
perkembangan juga merupakan dampak negatif lain dari
hospitalisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Lilis Murtutik dan
Wahyuni (2013) pada anak preschool penderita leukemia di RSUD
Dr. Moewardi menunjukkan bahwa semakin sering anak menjalani
hospitalisasi beresiko tinggi mengalami gangguan pada
perkembangan motorik kasar.
d. Keluarga dengan anak yang menjalani Hospitalisasi
Hospitalisasi merupakan perasaan sakit karena perlukaan atau
pembedahan menimbulkan respon anak bertanya-tanya, menarik diri
dari lingkungan, dan/atau menolak kehadiran orang lain.
1) Stresos pada Anak yang Dirawat di Rumah Sakit
a) Cemas Karena Perpisahan
Sebagian besar stres yang terjadi pada bayi di usia
pertengahan sampai anak peride prasekolah, hubungan anak
dengan ibu adalah sangat dekat, akibatnya perpisahan
dengan ibu akan menimbulkan rasa kehilangan pada anak
akan orang yang terdekat bagi dirinya dan akan lingkungan
yang dikenal olehnya yang menimbulkan rasa tidak nyaman
dan cemas.
Respon perilaku anak akibat perpisahan dibagi dalam 3
tahap, yaitu :
i Tahap protes (Phase of Protest)
Tahap ini dimanifestasikan dengan menangis kuat,
menjerit dan memanggil ibunya atau menggunakan
tingkah laku agresif, seperti menendang, mengigit,
memukul, mencubit, mencoba untuk membuat orang
tuanya untuk tinggal, dan menolak perhatian orang lain.
Secara verbal, anak meyerang dengan rasa marah,
sepeti mengatakan “pergi”.
ii Tahap Putus Asa (Phase of Despair)
Pada tahap ini, anak tampak tegang, tangisnya
berkurang, tidak aktif, kurang berminat untuk bermain,
tidak ada nafsu makan, menarik diri, tidak mau
berkomunikasi, sedih, apatis dan agresif (misalnya:
mengompol atau mengisap jari). Pada tahap ini, kondisi
anak mengkhawatirkan karena anak menolak untuk
makan, minum dan bergerak.
iii Tahap Menolak (Phase of Denial)
Pada tahap ini, secara samar-samar anak menerima
perpisahan, mulai tertarik dengan apa yang ada di
sekitarnya, dan membina hubungan dangkal dengan
orang lain. Anak mulai kelihatan gembira. Fase ini
biasanya terjadi setelah perpisahan yang lama dengan
orang tua.
b) Kehilangan Kendali
Akibat sakit dan dirawat di rumah sakit, anak akan
kehilangan kebebasan pandangan egosentris dalam
mengembangkan otonominya. Hal ini akan menimbulkan
regresi. Ketergantungan merupakan karakteristik dari peran
sakit. Anak akan bereaksi terhadap ketergantungan dengan
negativistis, terutama anak akan menjadi cepat marah dan
agresif. Jika terjadi ketergantungan dalam waktu lama
(karena penyakit kronis), maka anak akan kehilangan
otonominya dan pada akhirnya akan menarik diri dari
hubungan interpersonal.
c) Luka pada Tubuh dan Rasa Sakit (Rasa Nyeri)
Reaksi balita terhadap rasa nyeri sama seperti sewaktu
masih bayi, namun jumlah variabel yang mempengaruhi
responya lebih kompleks dan bermacam-macam. Anak akan
bereaksi terhadap rasa nyeri dengan menyeringaikan wajah,
menangis, mengatupkan gigi, menggigit bibir, membuka
mata dengan lebar, atau melakukan tindakan yang agresif
seperti menggigit, menendang, memuluk, atau berlari
keluar.
Pada akhir periode balita, anak biasanya sudah
mampu mengkomunikasikan rasa nyeri yang mereka alami
dan menunjukan lokasi nyeri. Namun demikian,
kemampuan mereka dalam menggambarkan bentuk dan
intensitas dari nyeri belum berkembang.
2) Reaksi Keluarga Terhadap Anak yang Sakit dan Dirawat di
Rumah Sakit
a) Reaksi orang tua
Reaksi orang tua terhadap anaknya yang sakit dan dirawat
di rumah sakit dipengaruhi oleh berbagai macam faktor
antara lain :
Tingkat keseriusan penyakit anak
Pengalaman sebelumnya terhadap sakit dan dirawat di
rumah sakit
Prosedur pengobatan
Sistem pendukung yang tersedia
Kekuatan ego individu
Kemampuan dalam menggunakan koping
Dukungan dari keluarga
Kebudayaan dan kepercayaan
Komunikasi dalam keluarga
Reaksi orang tua yang dapat timbul yaitu :
i Penolakan/ketidakpercayaan (denial/disbelif)
Yaitu menolak atau tidak percaya. Hal ini terjadi
terutama bila anak tiba-tiba sakit serius.
ii Marah atau merasa bersalah atau keduanya
Setelah mengetahui bahwa anaknya sakit, maka reaksi
orang tua adalah marah dan menyalahkan dirinya
sendiri. Mereka merasa tidak merawat anaknya dengan
benar, mereka mengingat-ingat kembali mengenai hal-
hal yang telah mereka lakukan yang kemungkinan
dapat mencegah anaknya agar tidak jatuh sakit., atau
mengingat kembali hal-hal yang menyebabkan anaknya
sakit. Jika anaknya dirawat di rumah sakit, orang tua
menyalahkan dirinya sendiri karena tidak dapat
menolong mengurangi rasa sakit yang dialami oleh
anaknya.
iii Ketakutan, cemas dan frustasi
Ketakutan dan cemas dihubungkan dengan seriusnya
penyakit dan tipe prosedur medis. Frustasi dihubungkan
dengan kurangnya informasi mengenai prosedur dan
pengobatan, atau tidak familiar dengan peraturan rumah
sakit.
iv Depresi
Biasnya depresi ini terjadi setelah masa krisis anak
berlalu. Orang tua biasnya sering mengeluh merasa
lelah baik secara fisif maupun mental. Orang tua mulai
merasa khawatir terhadap anak-anak mereka yang lain,
yang dirawat oleh anggota keluarga lainnya, oleh teman
atau tetangga. Hal lain yang dapat membuat orang tua
merasa depresi adalah kesehatan anaknya di masa-masa
yang akan datang, misalnya efek dari prosedur
pengobatan dan juga biaya pengobatan.
b) Reaksi saudara kandung (sibling)
Reaksi saudara kandung terhadap anak yang sakit dan
dirawat di rumah sakit adalah kesepian, ketakutan, khawatir,
marah, cemburu, benci dan merasa bersalah. Orang tua
sering kali mencurahkan perhatian yang lebih besar
terhadap anak yang sakit dibandingkan dengan anak yang
sehat. Hal ini akan menimbulkan rasa cemburu pada anak
yang sehat dan anak merasa ditolak.
c) Penurunan peran anggota keluarga
Dampak dari perpisahan terhadap peran keluarga
adalah kehilangan peran orang tua, saudara, dan anak cucu.
Perhatian orang tua hanya tertuju pada anak yang sakit.
Akibatnya, saudara-saudaranya yang lain menganggap
bahwa hal tersebut adalah tidak adil. Respon tersebut
biasanya tidak disadari dan tidak disengaja. Orang tua
sering menyalahkan perilaku saudara kandung tersebut
sebagai perilaku antisosial.
Sakit akan membuat anak kehilangan kebersamaan
mereka dengan anggota keluarga yang lain atau teman
sekelompok.
2. Konsep Sibling Rivalry
a. Pengertian Sibling Rivalry
Menurut kamus kedokteran dorland (Su herni, 2008): sibling
(aglo-saxon sib dan ling bentuk kecil) anak-anak dari orang tua
yang sama, seorang saudara laki-laki atau perempuan. Disebut juga
sib. Rivalry keadaan kompetisi atau antagonisme. Sibling rivalry
adalah kompetisi antara saudara kandung untuk mendapatkan
cintakasih, afeksi dan perhatian dari satu atau kedua orang tuanya,
atau untuk mendapatkan pengakuan atau satu yang lebih.
Sibling rivalry adalah kecemburuan, persaingan dan
pertngkaran antara saudara laki-laki dan/atau saudara perempuan.
Hal ini terjadi pada semua orang tua yang mempunyai dua anak atau
lebih. Sibling rivalry atau perselisihan yang terjadi pada anak-anak
tersebut adalah hal yang biasa bagi anak-anak usia antara 5-11 tahun.
Bahkan kurang dari 5 tahunpun sudah sangat mudah terjadi sibling
rivalry itu. Istilah ahli psikologi hubungan antara anak-anak seusia
seperti itu bersifat ambivalent dengan love heart relationship.
Perubahan sikap dan perilaku dengan kehadiran sibling rivalry yang
dapat ditunjukan oleh anak, antara lain:
1) Memukul bayi
2) Mendorong bayi dari pangkuan ibu
3) Menjauhkan puting susu dari mulut bayi
4) Secara verbal menginginkan bayi kembali keperut ibu
5) Ngompol lagi
6) Kembali tergantung pada susu botol
7) Bertingkah agresif
Antisipasi terhadap sikap dan perilaku dengan menyiapkan secara
dini untuk kelahiran bayi beberapa hal, diantaranya :
1) Mulai kenalkan dengan organ reproduksi dan seksual
2) Beri penjelasan yang konkret tentang petumbuhan bayi dalam
rahim dengan menunjukan gambar sederhana tentang uterus dan
perkembangan vetus
3) Beri kesempatan anak untuk ikut gerakan janin
4) Libatkan anak dalam perawatan bayi
5) Beri pengertian mendasar tentang perubahan suasana rumah,
seperti alasan pindah kamar
6) Lakukan aktivitas yang biasa dan lakukan dengan anak seperi
mendongeng sebelum tidur atau piknik bersama.
b. Penyebab Sibling Rivalry
Banyak faktor yang menyebabkan sibing rivalry antara lain :
1) Masing-masing anak bersaing untuk menentukan pribadi
mereka, sehingga ingin menunjukan pada saudara mereka.
2) Anak merasa kurang mendapatkan perhatian.
3) Anak-anak merasa hubungan dengan orang tua mereka terancam
oleh kedatangan anggota keluarga baru / bayi.
4) Tahap perkembangan anak baik fisik maupun emosi yang dapat
mempengaruhi proses kedewasan dan perhatian terhadap satu
sama lain.
5) Anak tidak tahu cara untuk mendapatkan perhatian atau
memulai permainan dengan saudra mereka.
6) Perbedaan usia 2-4 tahun
7) Jenis kelamin yang sama
8) Sosial budaya
9) Dinamika keluarga dalam memainkan peran
10) Pemikiran orang tua tentang agresi dan pertengkaran anak yang
berlebihan dalam keluarga adalah normal
11) Tidak memiliki waktu untuk berbagi, berkumpul bersama
dengan angota keluarga.
12) Orang tua mengalami stres dalam menjalani kehidupannya.
13) Anak-anak mengalami stres dalam kehidupannya
14) Cara orang tua dalam memeperlakukan anak dan menangani
konflik yang terjadi pada mereka
c. Sibling Rivalry pada Anak Usia Todler
Usia toddler merupakan usia emas dalam tahap
perkembangan anak. Anak di usia toddler ini mengalami
pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat. Perkembangan
anak usia 1-3 tahun meliputi perkembangan kemampuan bahasa,
kreativitas, kesadaran sosial, dan emosional. Salah Satu tahapan
dalam perkembangan toddler yang harus diantisipasi orang tua
adalah respon terhadap kehadiran anggota keluarga baru. Semua
anak memiliki peran menurut urutan kelahirannya. Jika anak tersebut
menyukai perannya masing-masing, tentunya semuanya akan
berjalan dengan baik, tetapi sebaliknya jika peran yang
didapatkan anak bukan peran yang diinginkan dan disukainya,
memungkinkan terjadinya perselisihan antar saudara. Hal inilah yang
menyebabkan memburuknya hubungan anak dengan orang tua
maupun hubungan anak dengan saudara kandungnya, ditambah
dengan beberapa faktor lain seperti jarak usia anak yang sangat
dekat, jenis kelamin yang sama, pembagian tugas yang
memberatkan anak yang lebih tua dan menganak emaskan salah
satu anak (dalam Indanah dan Dewi Hartinah 2017).
d. Segi Positif Sibling Rivalry
Meskipun sibling rivalry mempunyai pengertian yag negatif tetapi
ada segi positifnya, antara lain :
1) Mendorong anak untuk mengatasi perbedaan dengan
mengembangkan beberapa keterampilan penting yaitu
keterampilan sosial dan bersosialisasi
2) Anak dapat belajar untuk berkompromi dan bernegosiasi
3) Mengontrol dorongan untuk bertindak agresif
Oleh karena itu, agar segi positif tersebut dapat tercapai, maka orang
tua harus menjadi fasilitator yang baik.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan orang tua untuk mengatasi
sibling rivalry, sehingga anak dapat bergaul dengan baik, antara lain
:
a. Tidak membandingkan antara anak satu sama lain
b. Membiarkan anak menjadi diri mereka sendiri
c. Menyukai bakat dan keberhasilan anak-anak
d. Membuat anak-anak mampu bekerja sama dari pada bersaing
antara satu sama lain
e. Memberikan perhatian setiap waktu atau pola lain ketika konflik
biasa terjadi
f. Mengajarkan anak-anak tengtang cara-cara positif untuk
mendapatkan perhatian dari satu sama lain
g. Bersikap adil sangat penting, tetapi disesuaikan dengan
kebutuhan anak. Sehinga adil bagi anak satu dengan yangi lain
berbeda
h. Merencanakan kegiatan keluarga yang menyenangkan bagi
semua orang
i. Meyakinkan setiap anak mendapatkan waktu yang cukup dan
kebebasan mereka sendiri
j. Orang tua tidak perlu langsung campur tangan kecuali saat ada
tanda-tanda akan kekerasan fisik
k. Orang tua harus dapat berperan memberikan otoritas kepada
anak-anak
l. Orang tua dalam memisahkan anak-anak dari konflik tidak
menyalahkan satu sama lain
m. Jangan memberi tuduhan tertentu tentang negatifnya sifat anak
n. Kesabaran dan keuletan serta contoh-contoh yang baik dari
perilaku orang tua sehari-hari adalah cara pendidikan anak-anak
untuk menghindari sibling rivalry yang paling bagus.
e. Adaptasi Kakak Sesuai Tahap Perkembangan
Respon kanak-kanak atas kelahiran seorang bayi laki-laki atau
perempuan bergantung pada umur dan tingkat perkembangan.
Biasanya anak-anak kurang sadar akan kehadiran anggota baru,
sehingga menimbulkan persaingan dan perasaan takut kehilangan
kasih sayang orang tua. Tingkah laku negatif dapat muncul dan
merupakan petunjuk derajad stres pada anak-anak ini. Tingkahlaku
ini antara lain berupa :
1) Masalah tidur
2) Peningkatan upaya menarik perhatian orang tua maupun anggota
keluarga lain
3) Kembali kepola tingkah laku kekanak-kanakan seperti :
ngompol dan menghisap jempol
Batita (Bawah Tiga Tahun)
Pada tahapan perkembangan ini, yang termasuk batita (bawah tiga
tahun) ini adalah usia 1-2 tahun. Cara beradaptasi pada
perkembangan ini antara lain :
1) Mengubah pola tidur bersama dengan anak-anak pada beberapa
minggu sebelum kelahiran.
2) Mempersiapkan keluarga dan kawan-kawan anak batitannya
dengan menanyakan perasaannya terhadap kehadiran anggota
baru.
3) Mengajarkan pada orang tua untuk menerima perasaan yang
ditunjukan oleh anaknya
4) Memperkuat kasih sayang terhadap anaknya
Anak Yang Lebih Tua
Tahap perkembangan pada anak yang lebih tua, dikategorikan pada
umur 3-12 tahun. Pada anak seusia ini jauh lebih sadar akan
perubahan-perubahan tubuh ibunya dan mungkin menyadari akan
kelahiran bayi. Anak akan memberikan perhatian terhadap
perkembangan adiknya. Terdapat pula, kelas-kelas yang
mempersiapkan mereka sebagai kakak sehingga dapat mengasuh
adiknya
f. Peran Orang Tua Dalam Meminimalkan Dampak Hospitalisasi
Mempersiapkan anak menghadapi pengalaman rumah sakit
dan prosedur merupakan hal yang dilakukan untuk meminimalkan
dampak negatif yang ditimbulkan karena hospitalisasi. Semua
tindakan atau prosedur di rumah sakit dilakukan berdasarkan prinsip
bahwa ketakutan akan ketidaktahuan (fantasi) lebih besar dari pada
ketakutan yang diketahui. Oleh karena itu, mengurangi unsur
ketidaktahuan dapat mengurangi ketakutan tersebut.
Perawat memiliki peranan penting dalam memberikan
dukungan bagi anak dan keluarga guna mengurangi respon stres
anak terhadap hospitalisasi. Intervensi untuk meminimalkan respon
stres terhadap hospitalisasi menurut Hockenberry dan Wilson
(2007), dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1) Meminimalkan pengaruh perpisahan
2) Meminimalkan kehilangan kontrol dan otonomi
3) Mencegah atau meminimalkan cedera fisik
4) Mempertahankan aktivitas yang menunjang perkembangan
5) Bermain
6) Memaksimalkan manfaat hospitalisasi anak
7) Mendukung anggota keluarga
8) Mempersiapkan anak untuk dirawat di rumah sakit
g. Peran Orang Tua Dalam Menghadapi Sibling Rivalry Saat
Hospitalisasi
Untuk mengatasi hal ini, perawat dapat membantu orang tua
mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan sibling antara lain:
1) Memberikan informasi tentang kondisi penyakit saudara
kandung dan sejauh mana perkembangannya
2) Membiarkan sibling untuk mengunjungi saudaranya yang
dirawat
3) Anjuran untuk memberikan perhatian seperti membuatkan
gambar atau kartu serta,
4) Menelepon saudaranya yang dirawat, membiarkan sibling untuk
terlibat dalam perawatan saudara kandung semampunya (Price
& Gwin,2005 dalam Yuli Utami, 2014).
h. Mekanisme Koping
Orang tua yang memilki anak dengan sibling rivalry
cenderung akan mengalami stres, jika tidak dapat menangani dengan
baik konflik yang terjadi pada anak, hal ini akan berdampak pada
bagaimana orang tua memberi respon kepada anak atas semua
stimulus yang muncul, orang tua harus mengetahui stategi koping
yang tepat.
Menurut Stuat dan Sundeen (1995), mekanisme koping
digolongkan menjadi dua yaitu :
1) Mekanisme koping adaptif
Yaitu mekanisme koping yang mendukung sistem integrasi,
pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah
berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara
efektif tehnik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas
konstruktif.
2) Mekanisme koping maladaptif
Yaitu mekanisme koping yang menghambat sistem integrasi
pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai
lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebih atau tidak
makan, bekerja berlebih, menghindar.
Koping dapat dikaji melalui berbagai aspek, salah satunya adalah
aspek sosial (Lazarus dan Folkman, 1985: Stuart dan Sundeen, 1995;
Townsend, 1995; Herawati, 1991; Keliat, 1999) yaitu :
1) Reaksi orientasi tugas
Berorientasi terhadap tindakan untuk memenuhi tuntutan dari
situasi stres secara realistis, dapat berupa konstruktif dan
deduktif.
2) Mekanisme pertahanan diri
Serafino (dalam Smet 1994) menyatakan bahwa dalam
menghadapi stressor ada dua jenis koping yang digunakan:
a) Emotional focus coping, digunakan untuk mengatur respon
emosional terhadap stres. Pengaturan ini melalui perilaku
individu.
b) Problem focus coping, digunakan untuk mengurangi stresor,
individu akan mengatasi dengan mempelajari cara-cara atau
keterampilan yang baru. Individu akan cenderung
menggunakan strategi ini, bila yakin akan mengubah situasi.
i. Model Parent Child Interaction Kathryn E. Barnard
Berbagai teori keperawatan diperkenalkan oleh para ahli
keperawatan. Salah satunya adalah teori Kathryn E. Barnard. Fokus
teori Barnard adalah perkembangan alat pengkajian untuk
mengevaluasi kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak
disamping memandang orangtua dan anak sebagai sebuah sistem
interaktif. Sistem orangtua-anak dipengaruhi oleh karakteristik
individu setiap anggota dan karakteristik individu tersebut yang
dimodifikasi untuk memenuhi kebutuhan sistem dan Barnard
mendefinisikan modifikasi sebagai perilaku adaptif.
Care giver-parent Infant Characteristics:
Characteristics: Sensitivity Clarity to cues
to cues Alleviation of Responsiveness to
distress, Providing growth-
fostering situation caregiver
Parent: Environment:
Psichological asset People
Concern Object
Expectation Place
Amount of life Sound
changes Visual
Parenting style tactil
Adaptation skill
Child:
Temperament
Adaptation
Interaction Sleeping patern
Fisical
appearance
Orang tua:
Aset psikologi: stres Anak : Lingkungan:
dan tekanan Tempramen: agresif, Orang: saudara yang
pengasuhan kasar, manja sedang di
Perhatian: anak yang Adaptasi: tidak hospitalisasi
sakit dan saudaranya mandiri Objek: anak melihat
yang cemburu Pola tidur: gelisah orangtua lain dengan
Harapan: anak tidak Fisik: murung, kurang anaknya
cemburu pada aktif dan tidak ceria Tempat: anak
saudaranya dan anak Penampilan: tidak terpisah dari
yang sakit segera bersemangat orangtuanya
pulih Suara: anak tidak
Pengalaman: mendengar suara
kemampuan orangtua orangtuanya
menangani distres Gambar: anak tidak
Pola asuh: kebiasaan melihat orangtuanya
orangtua mendidik Reflek: menangis,
anak malas, regresi
Kemampuan
adaptasi: cara orang
tua menyesuaikan diri
I. ETIKA PENELITIAN
Etika berasal dari bahsa yunani “ethos”. Istilah etika bila ditinjau dari
aspek etimologis memiliki makna kebiasaan dan peraturan perilaku yang
berlaku dalam masyarakat. Prinsip dasar etik merupakan landasan untuk
mengatur kegiatan suatu penelitian. Pengaturan ini dilakukan untuk mencapai
kesepakatan sesuai kaidah penelitian antara peneliti dan subjek penelitian.
Subjek pada penelitian kualitatif adalah manusia dan peneliti wajib mengikuti
seluruh prinsip etik penelitian selama melakukan penelitian.
Pertimbangan etik dalam studi kualitatif berkenaan dengan hak-hak
partsipan. Mauthner, Birch, Jessop, dan Miller (2005) menyatakan bahwa
pemenuhan hak-hak tersebut minimal memiliki prinsip sebagai berikut:
1. Prinsip Menghargai Harkat dan Martabat Partisipan
Peneliti perlu mempertimbangkan hak-hak subjek untuk mendapatkan
informasi yang terbuka berkaitan dengan jalannya penelitian serta
memiliki kebebasan menentukan pilihan dan bebas dari paksaan untuk
berparisipasi dalam kegiatan penelitian (autonomy). Beberapa tindakan
yang terkait dengan prinsip menghormati harkat dan matabat manusia
adalah peneliti mempersiapkan formulir persetujuan subjek (informed
consent) yang terdiri dari:
a. Penjelasan manfaat penelitian
b. Penjelasan risiko atau ketidaknyamanan yang dapat ditimbulkan
c. Penjelasan manfaat yang akan didapat
d. Persetujuan peneliti dapat menjawab semua pertanyaan yang diajukan
subjek berkaitan dengan prosedur penelitian
e. Persetujuan subjek dapat mengundurkan diri kapan saja
f. Jaminan anonimitas dan kerahasiaan
Dalam penelitian ini, ketika peneliti melakukan bina hubungan saling
percaya (BHSP) peneliti menjelaskan kembali mengenai penelitian yang
akan dilakukan, bahwa peneliti ini ingin menggali pengalaman orang tua
dalam mengatasi reaksi sibling anak usia todler terhadap saudara yang
sedang menjalani hospitalisasi. Ketika partisipan melakukan kontrak
waktu peneliti memberikan kesempatan pada partisipan untuk menentukan
tempat dan waktu dilakukannya wawancara, sekali lagi hal ini dilakukan
untuk memberikan rasa nyaman dan bebas dari kerugian fisik, psikologis,
sosial, maupun finansial.
2. Prinsip Menghormati Privasi dan Kerahasiaan Subjek penelitian
Setiap manusia memiliki hak-hak dasar individu termasuk privasi dan
kebebasan individu. Pada dasarnya penelitian akan memberikan akibat
terbukannya informasi partisipan termasuk informsinya diketahui oleh
orang lain, sehingga peneliti memperhatikan hak-hak dasar individu dari
partisipan. Dalam aplikasinya peneliti tidak boleh menampilkan informasi
mengenai identitas baik nama maupun alamat asal subjek dalam kuisioner
atau alat ukur apapun untuk menjaga anonimitas dan kerahasiaan identitas
subjek. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan koding (insial atau
identification number) sebagai pengganti identitas responden.
3. Prinsip Keadilan dan Inklusivitas
Hak ini memberikan semua partisipan hak yang sama untuk dipilih dan
berkontribusi dalam penelitian tanpa diskriminasi. Semua partisipan
memperoleh perlakuan dan kesempatan yang sama dengan menghormati
seluruh persetujuan yang disepakati. Prinsip ini menyatakan bahwa semua
partisipan penelitian memiliki hak untuk diperlakukan adil dan tidak
dibeda-bedakan diantara mereka selama kegiatan riset dilakukan. Dalam
prinsip ini partisipan diperlakukan sama, tanpa membedakan satu dengan
yang lainnya, baik strata sosial, etnis, budaya, suku dan agama. Partisipan
harus diperlakukan adil baik sebelum, selama, dan sesudah
keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi apabila
mereka tidak bersedia atau dikeluarkan dari proses penelitian.
Pengumpulan data
Transkrip wawancara
Hasil penelitian
B. Hasil Penelitian
1. Gambaran Karakteristik Informan Penelitian
Gambaran karakteristik informan ini adalah orang tua yang berstatus
sebagai ayah atau ibu dari anak yang dirawat di ruang anak St.
Theresia lantai II dan lantai III RS. Dirgahayu Samarinda yang
bersedia menjadi informan. Adapun karakteristik informan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Umur informan
Karakteristik informan berdasarkan umur diketahui bahwa
informan berumur 31 tahun satu orang, 32 tahun tiga orang dan
38 tahun satu orang.
b. Pekerjaan informan
Berdasarkan jenis pekerjaan informan diketahui bahwa empat
orang berkerja sebagai ibu rumah tangga, satu orang sebagai
fulltimer disuatu tempat ibadah.
2. Profil Informan
a. Informan 1
Seorang ibu dengan tinggi 155 cm, berwajah tirus, kulit
sawo matang, dan rambut lurus diurai berwana hitam sepanjang
bahu. Berumur 31 tahun, dengan pendidikan SLTA. Informan
sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga. Informan
mempunyai tiga orang anak, dengan anak pertama berumur 7,2
tahun, yang kedua berumur 3,5 tahun dan yang ketiga berumur
1,5 tahun. Suami sehari-hari bekerja sebagai karyawan swasta.
Pada tanggal 19 Desember 2018 pukul 08.30 wita, peneliti
mendatangi ruangan partisipan dimana anak partisipan dirawat
untuk melakukan wawancara sesuai janji yang telah dibuat
sebelumnya pada pagi pukul 07.40 wita. Informan menyambut
peneliti dengan sikap yang ramah dan menawarkan kursi untuk
duduk. Wawancara dilakukan diluar kamar dimana anak dirawat
dan anak dijaga sementara oleh suaminya. Sebelum melakukan
wawancara peneliti menjelaskan kembali secara singkat tujuan,
maksud dan kesiapan informan untuk diwawancara. Proses
wawancara berjalan lancer meskipun ada beberapa anak
diruangan lain yang menangis dan ada petugas diruangan itu yang
melintas.
b. Informan 2
Seorang ibu dengan tinggi 160 cm, berwajah bulat, kulit
sawo matang, rambut lurus sepanjang baju dan diikat, berumur 32
tahun. Informan sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Informan mempunyai dua anak berumur 3 tahun 5 tahun. Suami
sehari-hari bekerja sebagai karyawan swasta.
Pada tanggal 25 desember 2018 pukul 13.50 wita, peneliti
mendatangi ruangan partisipan dimana anak partisipan dirawat
setelah melakukan janji sebelumnya pada pukul 07.20 wita.
Informan menyambut baik peneliti dan bersikap sangat ramah
ketika diwawancara. Sebelum melakukan wawancara, peneliti
menjelaskan kembali secara sigkat tujuan, kesiapan partisipan
untuk diwawancara. Proses wawancara berlangsung dikoridor
ruangan kamar dimana anak partisipan dirawat dengan
menggunakan kursi, proses wawancara berjalan lancer meskipun
anak petugas yang lewat untuk operan jaga.
c. Informan 3
Seorang ibu dengan tinggi 165 cm, berwajah oval, kulit
putih, dan rambut lurus diikat sepanjang bahu. Berumur 38 tahun,
dengan pendidikan Sarjana. Informan sehari-hari bekerja sebagai
ibu rumah tangga. Informan mempunyai empat orang anak,
dengan anak pertama berumur 7 tahun, yang kedua dan yang
ketiga kembar berumur 2,9 tahun dan yang keempat berumur 2
bulan. Suami sehari-hari bekerja sebagai rohaniawan.
Pada tanggal 29 Desember 2018 pukul 20.10 wita, peneliti
mendatangi ruangan partisipan dimana anak partisipan dirawat
untuk melakukan wawancara sesuai dengan kontrak waktu yang
telah dibuat sebelumnya. Informan menyambut peneliti dengan
sikap yang ramah dan menawarkan kursi untuk duduk.
Wawancara dilakukan diluar dalam kamar dimana anak dirawat
dan anak dijaga sementara oleh keluarga pasien disebelahnya.
Sebelum melakukan wawancara peneliti menjelaskan kembali
secara singkat tujuan, maksud dan kesiapan informan untuk
diwawancara. Proses wawancara berjalan lancar meskipun ada
anak diruangan yang menangis.
d. Informan 4
Seorang ibu dengan tinggi 155 cm, berwajah bulat, kulit
sawo matang, dan rambut lurus diikat sepanjang bahu. Berumur
32 tahun, dengan pendidikan Sarjana. Informan sehari-hari
bekerja sebagai fulltimer disuatu tempat ibadah. Informan
mempunyai dua orang anak, dengan anak pertama berumur 2,9
tahun, yang kedua berumur 9 bulan. Suami sehari-hari bekerja
sebagai karyawan tambang.
Pada tanggal 29 Desember 2018 pukul 20.50 wita, peneliti
mendatangi ruangan partisipan dimana anak partisipan dirawat
untuk melakukan wawancara sesuai dengan kontrak waktu yang
telah dibuat sebelumnya. Informan menyambut peneliti dengan
sikap yang ramah dan menanyakan tempat yang nyaman untuk
berwawancara Wawancara dilakukan diluar kamar dimana anak
dirawat dan anak dijaga sementara oleh neneknya. Sebelum
melakukan wawancara peneliti menjelaskan kembali secara
singkat tujuan, maksud dan kesiapan informan untuk
diwawancara. Proses wawancara berjalan lancar meskipun anak
dari partisipan yang pertama menangis meminta susu.
e. Informan 5
Seorang ibu dengan tinggi 165 cm, berwajah bulat, kulit
putih, dan rambut lurus sedikit pirang dan diikat, sepanjang bahu.
Berumur 32 tahun, dengan pendidikan Diploma. Informan sehari-
hari bekerja sebagai ibu rumah tangga. Informan mempunyai dua
orang anak, dengan anak pertama berumur 5 tahun, yang kedua
berumur 3 tahun. Suami sehari-hari bekerja sebagai karyawan
tambang.
Pada tanggal 03 Januari 2019 pukul 16.30 wita, peneliti
mendatangi ruangan partisipan dimana anak partisipan dirawat
untuk melakukan wawancara sesuai dengan kontrak waktu yang
telah dibuat sebelumnya. Informan menyambut peneliti dengan
sikap yang ramah. Wawancara dilakukan diluar kamar dimana
anak dirawat dan anak dijaga sementara oleh tantenya. Sebelum
melakukan wawancara peneliti menjelaskan kembali secara
singkat tujuan, maksud dan kesiapan informan untuk
diwawancara. Proses wawancara berjalan lancar meskipun di luar
ruangan.
3. Tema Hasil Analisis Penelitian
Penelitian ini akan menggambarkan keseluruhan tema yang terbentuk
berdasarkan jawaban informan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang
mengacu pada tujuan khusus peneliti. Lima pertanyaan khusus peneliti
terjawab dalam lima tema hasil penelitian sehingga narasi penjelasan
sesuai tujuan khusus. Adapaun tema yang telah didapat dari hasil
analisis peneliti digambarkan dalam skema sebagai berikut :
Tema 1: Perubahan perilaku Sibling sebagai respon terhadap proses
hospitalisasi pada saudaranya
Perubahan perilaku sibling sebagai respon terhadap proses hospitalisasi
pada saudaranya merupakan suatu kesatuan dari ungkapan yang diperoleh dari
partisipan meliputi reaksi emosional sibling yang dingkapkan mulai dari reaksi
secara halus hingga reaksi secara kasar diperlihatkan terhadap proses hospitalisasi
pada saudaranya.
Tema ini muncul dari dua kategori yaitu : (1) perilaku agresif; (2) perilaku
mencari perhatian. Pernyataan kategori-kategori ini diperoleh dari pertanyaan
“Bagaimana reaksi sibling terhadap saudaranya yang sedang menjalani
hospitalisasi?” yang digambarkan secara rinci untuk memperoleh tema pada bagan
4.1.
Ada tiga partisipan yang mengatakan bahwa perubahan perilaku Sibling
sebagai respon terhadap proses hospitalisasi pada saudaranya yaitu dengan
menarik tangan ibu ketika menggendong saudaranya yang sakit, menangis dan
berteriak-teriak hinggan memukul saudaranya yang lain dan secara umum semua
partisipan mengatakan ada juga perilaku manja, cemburu dan ingin selalu dekat
dengan orang tuanya yang ditunjukan oleh sibling..
Kata kunci Kategori Tema
“Narikin”
(tangan ibu).
“Nangis
teriak-teriak”
Perilaku agresif
“Memukul
saudara”
“Berteriak-
teriak”
Perubahan
“Lebih perilaku Sibling
manja” sebagai respon
terhadap proses
hospitalisasi
Pura-pura
pada saudaranya
kesakitan
“Naro kepala
dipaha”
“Tangan saya
diambil trus Perilaku mencari
ditaro perhatian
dikepalanya”
Cemburu
“Juga pingin
digendong”
“Mau nempel
terus” (dekat
dengan ibu)
Bagan 4.1 Tema 1
Peneliti akan menampilkan beberapa hasil wawancara dari partisipan seperti
dibawah ini
Kata kunci terkait perilaku agresif:
“Ia ada, kalo misal kakaknya digendong itu dia narikin (tangan ibu).
Pokoknya kaya dia ini sakit juga sudah rasanya haha.” (P1)
“Kalo menangis. Nangisnya kalo misalnya tadi saya tolak gitu. Dia
nangis teriak, teriak, teriak.”
“Yang lain... yang lain dia pukul saudara kembarnya.” (P3)
“Trus itu kalo waktunya dia (kakaknya) mau tidur trus saya masih
ngurusin dia (adiknya) nah dia itu teriak-teriak.” (P4)
“Ya dia diam aja, cuma lebih manja aja dia ini. ” (P2)
“Itu jelas pasti, ada rasa kecemburuan, apa lagi ee... apa, jarak
mereka kan dekat bedakan cuma dua tahun kan.”
“Kalo pas ini sakit ya, datang juga. Mamanya datang gini, datang-
datang udah naro kepalanya di paha.”
“Biasanya sih kaya kalo saya lagi gendong dia (adenya) dia
(kakaknya) juga pingin digendong nah itu.” (P4)
“Nah dia itu gimana ya, kadang ada cemburunya, kadang dia
nanya-nanya kakaknya.” (P5)
“Kadang saya mau nemani kakaknya itu suka dilarang sama dia trus
mulai mau nempel terus (dekat dengan ibu) kan jadi susah.” (P5)
“Berdiri dipojokan”
Memberi sanksi
“Suruh peluk, peluk
kembarannya”
“Nanti ya, ini adenya lagi sakit”. Kadang dia ngerti kadang engga.”
(P4)
“Kalo saya selalu saya coba kasih tau dia (sibling), “ini kakakmu,
kalian berdua itu anak mama, jadi ngga boleh pelit sama kaka” (P5)
“Tapi kadang saya langsung ambil sikap tegas, nada tinggi “diam,
ade lagi sakit” nah tapi baru dia pergi baru dia baring tapi sedikit dia
nangis tapi nda lama kelamaan dia diam.” (P4)
“umurnyakan
masih kecil”
“masih kecil
juga kan” Kesulitan orang
Usia anak tua dalam
“Dia (sibling) menangani reaksi
masih kecil kan” sibling
“Apa karna masih kecil juga kan ngga bisa juga terlalu dipaksa.”
(P3)
“Dia masih kecilkan jadi ya itu aja paling susahnya kalo dikasih tau
ya lama ngertinya, itu aja sih haha.” (P4)
“Gendong dia
(sibling) dulu”
Memberi
“Saya ikutin aja perhatian
sih maunya
(sibling)”
Nanti malah
bikin kita emosi
(jika memaksa
anak untuk
segera paham)
Usaha orang tua
Mangendali
“dari pada saya dalam mengatasi
kan emosii hambatan
mukul (sibling)
“masuk kedalam
kamar”
(menyuruh
sibling)
Bagan 4. 4 Tema 4
Kata kunci terkait memberi perhatian :
“Ya saya gendong dia (sibling) dulu, soalnya dia (sibling) kalo
nangis kaya berontak, ribut sekali saya kan ngga enak disini kan
rame.” (P1)
“Kalo sekarang ya saya ikutin aja sih maunya (sibling) atau ngga
saya coba kasih tau pelan-pelan itu aja.” (P2)
“... sudah suntuk kepala saya dengan ini sakit, ini kan nangis trus lagi
suntuk seringkali kendalanya ya emosi, dari pada saya mukul
“masuk kedalam kamar” itu aja sih....” (P3)
“ya kadang saya kasih tau juga sih kalo kakaknya itu lagi sakit..”
(P2)
“Apa ya, paling saya gitu aja sih sambil saya kasih tau nanti lama-
lama kan dia pelan-pelan pasti ngerti juga nanti.” (P4)
“Tetap sih saya coba kasih tau, mungkin kalo dia sering dengar nanti
lama-lama dia ingat kan, trus kan lama-lama tambah besar biar dia
mikir juga.” (P5)
“Dia (sibling)
bisa main
sendiri”
“Harapannya sih, dia lebih ngerti. Dia ngerti kalo dia sudah punya
adik, (P4)
“Ya pasti mau dia ngerti lah, mau dikasih tau.” (P5)
“Ngga manja dulu biar kakaknya mudah diurus, kan dikasih apa-apa
kakaknya juga biar cepat sembuh biar mau makan, mau minum obat
paling gitu sih.” (P5)
C. Pembahasan
1. Perubahan perilaku Sibling sebagai respon terhadap proses
hospitalisasi pada saudaranya
Perubahan perilaku sibling sebagai respon terhadap proses
hospitalisasi pada saudaranya merupakan akumulasi emosional yang
dialami sibling dan diungkapkan melalui berbagai bentuk aktivitas
dan juga perilaku untuk mendapatkan perhatian orang tua yang secara
umum telah lebih besar diberikan kepada saudaranya yang sedang
menjalani hospitalisasi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
peneliti pada partisipan yang bersedia menjadi partisipan, maka
diperoleh hasil bahwa munculnya perilaku sibling rivalry sebagai
respon terhadap proses hospitalisasi yang dijalani saudaranya yang
mengakibatkan berubahnya porsi waktu dan perhatian orang tua yang
diberikan terhadap sibling yang terbagi atas dua kategori yaitu
perilaku agresif dan perilaku mencari perhatian.
Jhonson mendefinisikan perilaku seperti yang disepakati oleh
para ahli biologi dan perilaku, yaitu suatu keluaran dari struktur
intraorganisma dan proses yang terkoordinasi didalamnya serta
dimunculkan dan direspon untuk mengubah stimulasi sensori. Jhonson
(1980) menitik beratkan pada perilaku yang dipengaruhi secara aktual
atau potensial terhadap segala sesuatu yang membutuhkan adaptasi
atau penyesuaian keadaan yang bermakna. Perubahan perilaku yang
terjadi pada sibling tidak selalu dimulai ketika sibling memiliki
saudara yang menjalani hospitalisasi, namun dapat muncul sejak
sebelum saudaranya menjalani hospitalisasai. Kondisi saudara yang
menjalani hospitalisasi akan meningkatkan reaksi sibling yang
berupaya mempertahankan intensitas interaksi dengan orang tua dan
mendapatkan kembali perhatian yang mulai berkurang dari orang tua.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ervina Erawati, (2014)
menunjukan bahwa ada hubungan sikap orang tua dengan kejadian
sibling rivalry pada balita. Orang tua berbagi perhatian kepada adik
atau kepada saudara kandung yang lain yang sedang sakit,
dipersepsikan oleh anak sebagai perhatian yang berlebihan. Perasaan
iri sebagai perasaan terancam. Menganggap adik atau saudaranya
sebagai penyebab hilangnya kenikmatan yang selama ini dirasakan.
Menurut Elisabeth & Purwoastuti, (2015) anak dikatakan
mengalami sibling rivalry terhadap saudara yang sakit dan dirawat di
rumah sakit ketika merasa kesepian, ketakutan, khawatir, marah,
cemburu, benci dan merasa bersalah. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan peneliti pada partisipan yang bersedia menjadi
partisipan dalam penelitian ini, maka diperoleh hasil bahwa ada tiga
partisipan yang mengatakan bahwa sibling memberikan reaksi yang
agresif, yaitu dengan menarik tangan ibunya ketika menggendong
saudaranya, menangis, berteriak-teriak dan memukul saudaranya.
Berkaitan dengan perilaku agresif, menurut Anantasari, (2006)
perilaku agresif merupakan segala bentuk perilaku yang dimaksudkan
untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun mental. Daniel
bernstein & Steven P. Shelow, (2016) menyatakan temper tantrum,
khususnya pada anak usia 1 sampai 3 tahun, sering terjadi. Pada masa
perkembangan ini, temper tantrum biasanya mencerminkan rasa
frustasi dengan kemunculan independensi psikologi akibat
dikuasainya keterampilan bahasa dan motorik baru. Berteriak,
memukul, dan mengatakan “Tidak” adalah gejala umum.
Seperti yang dikatakan Armini, NW. Sriasih, NGK. Marhaeni,
GA (2017) bahwa perubahan sikap dan perilaku dengan kehadiran
sibling rivalry yang dapat ditunjukan oleh anak, antara lain memukul
bayi, mendorong bayi dari pangkuan ibu, menjauhkan puting susu dari
mulut bayi, secara verbal menginginkan bayi kembali keperut ibu,
ngompol lagi, kembali tergantung pada susu botol, bertingkah agresif
merupakan usaha yang dilakukan anak untuk mendapatkan perhatian
orang tua, perilaku ini jika tidak ditangani dengan positif perilaku ini
dapat menyebabkan risiko tambahan yang dapat terbawa ketika anak
memasuki lingkungan sosial yang lebih besar seperti sekolah. Perilaku
agresif disekolah dapat menyebabkan penolakan dari kelompok,
hukuman oleh guru dan kegagalan dalam pembelajaran.
Perilaku agresif pada anak bukan hanya dapat merugikan pihak
lain diluar anak yang ada disekitarnya namun juga dapat
menyebabkan kerugian pada anak itu sendiri. Sikap agresif yang
berlangsung terus menerus akan menyebabkan anak akan dipandang
sebagai pembawa kekacauan bahkan oleh lingkungan, hal ini akan
menyebabkan anak akan sulit untuk mendapatkan teman. Dalam hal
yang lebih ekstrim perilaku agresif jangka panjang akan merubah
karakter anak dan menjadikan anak antisosial dan akan cenderung
mudah untuk melakukan kekerasan. Perilaku agresif harus dipandang
orang tua sebagai suatu stimulus yang perlu ditanggapi dengan serius.
Sehingga orang tua dapat melakukan upaya-upaya untuk
menanganinya secara benar dan menghindarkan anak pada proses
perkembangan yang salah dan juga memberi pemahaman yang benar
terkait cara untuk mendapatkan hal yang diinginkan.
Selain reaksi agresif, ada lima partisipan yang menyatakan
sibling juga memberi reaksi lain yang lebih halus, hal ini sesuai
dengan perilaku mencari perhatian, menurut syamsul bahri, (2018)
mencari perhatian adalah perasaan yang timbul secara psikologis
ketika anak-anak bosan, stres, marah, lelah dan jenuh beraktivitas
akan mencari perhatian dan kasih sayang agar mereka kembali
bersemangat.
Perilaku sibling mencari perhatian orang tua bertujuan untuk
mendapatkan kembali perhatian dan cinta kasih dari orang tua yang
dipandang anak telah berkurang atau bahkan hilang kepada dirinya.
Untuk mendapatkan perhatian dari orang tua anak akan berusaha
melakukan hal-hal yang dianggap dapat menarik perhatian orang
tuanya seperti pada masa sebelumnya sehingga akan mendorong anak
untuk bersikap regresi sehingga akan cenderung melakukan hal-hal
sebenarnya telah dilalui anak pada masa perkembangan sebelumya.
Perilaku mencari perhatian yang menyebabkan regresi pada
anak harus disikapi dengan cepat dan cermat oleh orang tua, hal ini
dikarenakan regresi yang berkepanjangan dan diabaikan akan
membuat anak merasa bahwa perilaku itu adalah benar dan harus
mempertahankan sikap itu untuk tetap mendapatkan perhatian dari
orang tua. Sikap regresi sebagai akibat untuk mendapatan perhatian
orang tua yang berkepanjangan juga akan mengganggu perkembangan
anak baik motorik kasar dan motorik halusnya dimasa mendatang.
Jika orang tua dapat mengatasinya dengan tepat dan segera maka
perkembangan anak akan berjalan sebagaimana mestinya dan anak
akan memahaminya sebagai suatu proses pembelajaran tentang mana
yang masih boleh untuk dilakukan dan mana yang sudah tidak boleh
untuk dilakukan pada usianya.
2. Upaya orang tua untuk mengendalikan reaksi sibling
Upaya orang tua untuk mengendalikan reaksi sibling adalah
gambaran dari keinginan orang tua agar hubungan dan interaksi
sibling dengan saudaranya terjalin dengan baik termasuk dalam
keadaan ketika saudaranya sedang menjalani hospitalisasi. Dalam
proses pelaksanaannya orang tua yang menjadi partisipan mengatakan
akan berusaha untuk memenuhi permintaan sibling sambil mencoba
untuk memberi penjelasan dan bahkan memberikan sanksi kepada
anak untuk mengandalikan sikap dan respon anak yang berlebihan.
Partisipan dalam penelitian ini memenuhi permintaan sibling
dengan memberikan apa yang diminta oleh anak termasuk barang,
perlakuan berupa sentuhan, waktu dan perhatian. Memenuhi
permintaan sibling dapat membuat anak tidak merasakan perbedaan
kondisi yang sedang terjadi, baik ketika ada saudaranya yang
dihospitalisasi maupun tidak. Dalam prosesnya disaat bersamaan
orang tua juga diharuskan untuk dapat memberi perhatian yang lebih
pada anak yang sakit. Kondisi hospitalisasi juga memungkinkan
sibling akan terpisah dengan saudara dan orang tuanya untuk beberapa
saat yang menyebabkan orang tua tidak dapat selalu memenuhi
keinginan sibling. Menurut Wong, (2009) menyatakan bahwa pemberi
asuhan harus mendengarkan anak sehingga mereka menyadari rasa
takut dan kekhawatiran anak dan harus memberi tahu betapa
pentingnya mereka, begitu juga dengan hal-hal yang mereka anggap
sebagai masalah. Kontak fisik menyamankan dan menenangkan anak.
Menyentuh atau menggendong anak akan menimbulkan relaksasi dan
kenyamanan serta memfasilitasi komunikasi. Meluangkan waktu yang
tidak tergesa-gesa bersama anak, jalan-jalan kelarga, liburan dan
pemajanan anak terhadap pengaruh positif membantu kekuatan dan
keamanan anak. Hubungan interpersonal yang mendukung penting
untuk kesejahteraan psikologi anak. Hal ini berbanding terbalik
dengan apa yang disampaikan oleh Vera Itabiliana, psikolog dari
Universitas Indonesia, anak yang kemauannya selalu dituruti oleh
orang tuanya akan merasa hidupnya serba mudah, padahal lingkungan
di luar rumah belum tentu seindah di dalam rumah. Ini membuatnya
tumbuh menjadi seorang yang tidak mandiri.
Orang tua dalam memenuhi permintaan anak juga perlu
memperhatikan intensitas dan hal apa yang diminta oleh anak untuk
mengindari pemahaman anak yang berbeda dengan tujuan dari
perlakuan orang tua. Memenuhi permintaan anak akan membuat anak
akan merasa dicintai dan diinginkan, hal ini akan sangat berpengaruh
pada perkembangan emosional anak dan kepercayaan diri anak.
keinginan anak yang tidak terpenuhi tanpa penjelasan akan membuat
anak menerima dan memahaminya sebagai peasaan diabaikan oleh
orang tua. Pengabaian dari orang tua akan membuat anak akan terus
mencari cara lain sebagai pembuktian bahwa dirinya juga memerlukan
perhatian dan pengakuan dari orang tua sebagai pihak yang penting,
dalam usaha untuk mencapainya, anak bisa salah dalam memilih cara
untuk mendapatkan perhatian dari orang tua. Pengabaian juga dapat
membuat anak akan merasa rendah diri dan sulit untuk bersosialisai
karena kurangnya dukungan fisik dan moral dari orang tua.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa partisipan selain
berupaya untuk memenuhi kemauan sibling juga mencoba memberi
pemahaman pada anak. Menurut KBBI pemahaman adalah gambaran
atau pengetahuan tentang sesuatu di dalam pikiran. Perlunya orang tua
memberi pemahaman pada anak terkait saudaranya yang sedang
menjalani hospitalisasi tidak semata-mata karena orang tua
menginginkan agar anak paham akan kondisi yang sedang terjadi,
tetapi juga sebagai bentuk gambaran yang diberikan kepada anak
dalam penjelasan oleh orang tua terkait kondisi yang sedang terjadi.
Alasan melibatkan penjelasan tentang mengapa suatu tindakan salah
dan biasanya tepat untuk anak yang lebih besar, terutama jika
melibatkan masalah moral. Namun, anak yang lebih kecil tidak dapat
diharapkan untuk “melihat sisi yang lain” karena sifat egosentris
mereka. Anak dalam tahap perkembangan kognitif praoperatif (todler
dan prasekolah) memiliki keterbatasan kemampuan untuk
membedakan pandangan mereka dan pandangan orang lain (Blum
dkk, 1995) dalam Wong, 2008.
Memberikan penjelasan pada anak dapat membantu anak
untuk pelan-pelan memahami apa yang dimaksud oleh orang tua
sehingga dapat mencegah interpretasi anak yang salah dalam
memahami kondisi yang terjadi dan dapat menghindari reaksi yang
negatif dari anak. Jika orang tua tidak memberikan penjelasan pada
anak maka anak akan mencari pemahamananya sendiri dan melakukan
apapun sesuai dengan apa yang dia pahami baik yang positif maupun
negatif.
Partisipan juga mengatakan sebagai orang tua akan
memberikan sanksi kepada anak untuk mengontrol sikap dan perilaku
anak yang telah berlebihan agar tetap memiliki sikap disiplin. Dalam
penelitian ini partisipan memberikan sanksi fisik dan moral kepada
anak. Menurut Gunarsa, (2007) maksud dari sanksi atau hukuman
adalah mencegah timbulnya tingkah laku yang tidak baik dan
mengingatkan anak untuk tidak melakukan apa yang tidak boleh.
Memberi sanksi bermaksud untuk mendisiplinkan anak dan
mengatur perilaku. Kebebasan anak dalam mengekspresikan emosi
yang tidak terbatas merupakan ancaman besar bagi keselamatan dan
keamanan mereka. Sehingga orang tua perlu untuk mendisiplinkan
anak dalam memberi reaksi dan bahkan memberi sanksi kepada anak
untuk meminimalkan kesalahan. Anak dapat berperilaku salah karena
peraturan yang tidak jelas dan tidak secara konsisten diterapkan.
Penundaan sanksi pada anak dapat melemahkan tujuannya yaitu untuk
memberi penegasan dan aturan yang jelas pada anak.
Memberikan sanksi pada anak juga memiliki dampak positif
dan negatif pada anak, dampak positifnya yaitu anak dapat belajar
untuk menahan diri, mengingat dan mengetahui reaksi mana yang
dapat diberikan anak ketika anak ingin mengekspresikan emosisnya
terhadap suatu keadaan. Dampak negatifnya adalah jika orang tua
memberi sanksi pada anak dengan melibatkan ancaman kepada anak
dapat memberi konotasi yang buruk terhadap orang tuanya. Sikap
orang tua dalam memberi sanksi kepada anak juga harus berfokus
hanya pada kesalahan yang dilakukan anak dan tidak memojokan anak
atau memberi sanksi yang berbeda jauh dari kesalahan yang
dilakukannya untuk tetap menjalin hubungan interpersonal yang baik
antara orang tua dan anak.
3. Kesulitan orang tua dalam mengatasi reaksi sibling
Kesulitan orang tua dalam mengatasi reaksi sibling merupakan
kendala yang dihadapi oleh orang tua ketika ingin menyelesaikan
persoalan yang timbul termasuk ketika ada anak yang menjalani
hospitalisasi. Dalam penelitian ini, kendala utama yang dimiliki oleh
partisipan dalam mengatasi reaksi sibling adalah usia anak. Menurut
kamus besar bahasa indonesia usia adalah lama waktu hidup atau ada
(sejak dilahirkan atau diadakan). Usia anak yang masih sangat kecil
sangat berpengaruh pada proses penyerapan informasi, pemahaman
dan tidak dapat dipaksakan secara cepat untuk dapat segera
menyesuaikan dengan apa yang menjadi harapan oleh orang tua.
Dengan mengasimilasi informasi melalui indra, memprosesnya
dan melakukannya anak semakin memahami hubungan antar-objek
dan antara diri mereka dan dunia. Dengan perkembangan kognitif,
anak-anak membutuhkan kemampuan untuk berpikir secara abstrak,
untuk berpikir secara logis, dan untuk mengatur fungsi intelektual atau
kinerja kedalam susunan struktur yang lebih tinggi. Perkembangan
bahasa, moral, dan spiritual muncul saat kemampuan kognitif telah
meningkat. Piaget, mengemukakan tiga tahap berpikir yaitu intuisi,
operasional konkret, dan operasional formal. Ketika mereka
memasuki tahap berpikir konkret pada usia 7 tahun, anak-anak mampu
membuat keputusan logis, mengklasifikasi dan menghadapi
banyaknya hubungan mengenai hal-hal konkret. Piaget dalam Wong,
(2003) juga membagi tahap perkembangan kognitif anak berdasarkan
usia menjadi beberapa kategori yaitu sensorimotor (lahir sampai 2
tahun), praoperasional (2 sampai 7 tahun), operasional konkret (7
sampai 11 tahun) dan operasional formal (11 sampai 15 tahun).
Efektifitas kesiapan anak untuk menerima stimulus sangat dipengaruhi
oleh tingkat usia yang sedang berlangsung pada anak.
4. Usaha orang tua dalam mengatasi hambatan
Usaha orang tua mengatasi hambatan merupakan apa yang
dilakukan oleh orang tua ketika menemukan hambatan yang
mempersulit dalam usaha untuk memberi jalan keluar atas berbagai
reaksi sibling yang muncul. Penelitian ini menjelaskan bagaimana
cara partisipan dalam mengatasi kendala yang terjadi dalam mengatasi
hambatan yaitu dengan memberi perhatian, mengendalikan emosi dan
memberi pengertian, dimana partisipan menegaskan pada anak apa
yang baik dan yang tidak baik untuk dilakukan. Sejalan dengan Rimm,
(2003) yang menyebutkan bahwa tidak ada pola asuh yang sempurna
yang dapat diterapkan pada anak dan juga barangkali tidak baik pada
anak. Hal yang paling berguna dalam mendidik anak adalah kasih
sayang, rasa antusias, rasa humor,kesabaran, keberanian, bersikap
tegas tepat pada waktunya dan konsisten.
Tingkah laku negatif dapat muncul dan merupakan petunjuk
derajad stres pada anak-anak ini. Tingkah laku ini antara lain berupa
masalah tidur, peningkatan upaya menarik perhatian orang tua
maupun anggota keluarga lain, kembali kepola tingkah laku kekanak-
kanakan seperti ngompol dan menghisap jempol. Armini, NW.
Sriasih, NGK. Marhaeni, GA (2017).
Orang tua sebagai partisipan dalam penelitian ini
mengungkapkan bahwa salah satu cara untuk mengatasi kendala
dalam menangani reaksi sibling yakni dengan tetap berupaya untuk
memberikan perhatian pada sibling. Sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti usia sibling termasuk dalam usia todler, hal ini
juga sesuai dengan teori perkembangan psikosisial menurut Erikson,
dimana pembelajaran yang mereka peroleh sebagian besar didapat dari
meniru aktivitas dan perilaku orang lain. Perasaan negatif seperti ragu
dan malu muncul ketika anak-anak diremehkan, ketika pilihan-pilihan
mereka membahayakan atau ketika mereka dipaksa untuk bergantung
dalam beberapa hal yang sebenarnya mereka mampu melakukannya.
Hasil yang diharapkan adalah kontrol diri dan ketekunan. Untuk
mencapai hal itu tentu orang tua perlu memberikan perhatian pada
anak untuk memastikan bahwa perasaan negatif tidak muncul dalam
diri anak.
Perhatian yang kurang atau bahkan tidak didapatkan
khususnya pada usia todler beresiko membuat anak salah dalam
menerjemahkan perubahan perilaku orang tua. Perhatian dari orang
tua sangat dibutuhkan anak untuk meningkatkan kepercaan diri dan
perasaan menerima sayang dari oleh tuanya. Perhatian dari orang tua
juga memberikan dampak yang baik pada interaksi dan relasi antara
anak dan orang tua serta mempertahankan hubungan antara orang tua
dan anak.
Partisipan juga mengatakan bahwa memberikan pengertian
pada anak merupakan upaya yang tetap perlu dilakukan untuk
memberikan stimulus positif dan pandangan yang benar pada anak
untuk melihat suatu kondisi. Meskipun anak masih dan memiliki
kerbatasan dalam memahami hal-hal yang kompleks, tetapi anak
sudah mampu untuk menerima dan menerjemahkan informasi-
informasi yang lebih sederhana. Menurut KBBI pemahaman adalah
gambaran atau pengetahuan tentang sesuatu di dalam pikiran. Peran
orang tua dalam memberikan pemahaman pada anak tentu sangat
berbeda dengan yang dilakukan pada orang dewasa. Anak dengan usia
dini akan bisa memahami informasi dengan cara penyampaian yang
perlahan dan singkat, dan disampaikan berulang-ulang, meskipun
tidak memahami secara keseluruhan tetapi sudah cukup untuk
membuat mereka tidak bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya
terjadi dan berasumsi untuk mendapatkan jawaban tentang apa reaksi
yang dapat mereka berikan.
Pemahaman yang diberikan orang tua kepada anak tidaklah
berbeda dengan apa yang diberikan pada orang yang lebih dewasa,
hanya saja cara penyampaian dan bagaimana cara mereka memberi
respon atas apa yang mereka mengerti yang akan membedakannya.
Perlunya orang tua untuk memberikan pemahaman pada anak selain
mencoba untuk membuat anak mengerti akan situasi yang sedang
dihadapi oleh keluarga juga akan mengajarkan anak bagaimana cara
berpikir kritis akan suatu hal dengan benar. Meskipun kecil dampak
dari keberhasilan dalam membuat anak memahami apa yang
dimaksudkan oleh orang tua adalah kontribusi yang diberikan anak
yang secara tidak langsung juga akan meringankan beban dari orang
tua. Pemahaman anak akan menghasilkan reaksi yang berbeda jika
dibandinghkan dengan anak yang tidak diberi penjelasan.
Pengendalian emosi orang tua juga merupakan hal yang sangat
penting untuk menjalin hubungan interpersonal yang positif dengan
anak. seperti yang diungkapkan oleh Beck, (1993) dalam Wong
(2008) seseorang yang mengalami emosi yang labil merasa emosinya
tidak stabil dan tidak dapat ia kendalikan. Biasanya ditandai dengan
menangis tanpa alasan, mudah marah dan amarah yang meledak-
ledak. Perilaku menyuruh anak berdiri dipojokan, menyuruh anak
masuk kedalam kamar dan meminta maaf ketika anak melakukan
kesalahan merupakan bentuk tindakan time-out yang sebenarnya
bentuk tindakan yang biasa dilakukan dan merupakan tipe
konsekuensi yang tidak berhubungan. Ketika anak ditempatkan
disuatu tempat yang tidak menstimulasi dan terisolasi, anak menjadi
bosan dan akhirnya setuju untuk berperilaku yang sesuai untuk
memasuki kelompok keluarga.
Time-out menghindari banyak masalah dari pendekatan
disiplin yang lain, karena tidak ada hukuman fisik yang dilakukan,
tidak ada alasan atau memarahi. Hal tersebut juga memberi waktu
“pendinginan” pada orang tua dan anak, sehingga membantu dalam
pengendalian emosi dan situasi yang sebelumnya kurang kondusif
antara sikap anak dan respon orang tua yang keduanya sama-sama
negatif. Sedangkan dampak buruk emosi orang tua yang tidak
dikendalikan dengan benar akan membuat orang tua berperilaku
berdasarkan amarahnya dimana saat bersaman juga dapat menjadikan
anak sebagai sasaran untuk meluapkan emosi dari berbagai masalah
lain yang dihadapi oleh orang tua dan terakumulasi menjadi satu.
Luapan emosi akan sangat mudah disalurkan pada objek jauh lebih
lemah dan tidak dapat melawan, dimana anak adalah sasaran yang
sangat rentan untuk menerima reaksi itu.
Ekspresi emosi dapat berupa fisik dan psikis yang keduanya
memiliki dampak traumatik pada anak, dimana secara fisik perilaku
emosi dapat menyakiti anak. jika orang tua tidak dapat mengendalikan
emosi dengan baik dan meluapkannya pada anak akan memberi
pengajaran yang berbeda pada anak yakni anak akan merasa bahwa
perilaku kekerasan baik fisik maupun psikis adalah perilaku yang
wajar dapat diterima dan membuat anak menjadi terbiasa untuk
menerima perlakuan itu dari orang tua dan juga dapat mengakibatkan
cedera fisik pada anak, dengan sifat anak pada usia todler yang
mempelajari sesuatu dengan menduplikasi apa yang dilakukan orang
lain disekitarnya akan beresiko pada perubahan pola pemahaman dan
perilaku anak yang cenderung akan mudah untuk menyakiti orang lain
baik secara verbal maupun nonverbal nantinya. Pengendalian emosi
memiliki dampak yang sangat baik jika dapat dilakukan dengan benar
oleh orang tua. Selain melatih kesabaran yang bedampak langsung
bagi kesehatan, ketenangan dan koping orang tua juga dapat
mengajarkan kepada anak tentang bagaimana mereka harus bersikap
ketika menghadapi dan menyelesaikan masalah dikemudian hari.
5. Harapan orang tua terhadap sikap sibling
Pada penelitian ini partisipan mengungkapkan harapannya agar
sibling dapat memahami keadaan bahwa saudaranya sedang menjalani
hospitalisasi sehingga otang tua akan memberikan waktu dan
perlakuan yang berbeda kepada saudaranya untuk mencapai
kesembuhan yang lebih cepat. Harapan adalah keadaan yang ingin
diperoleh atau diwujudkan dimasa yang akan datang, sedangkan
masalah atau kendala yang ada merupakan jarak antara harapan
dengan kenyataan yang ada (Ahmad Subagyo, 2008). Menurut Ahmad
Jauhar Tauhid, (2007) harapan adalah aspek dalam diri manusia untuk
hidup dan tumbuh, harapan adalah unsur terdalam kehidupan,
dinamika spirit manusia. Perlunya orang tua memiliki harapan yaitu
untuk memunculkan ide atau gagasan yang bisa digunakan untuk
menyelesaikan masalah dengan mengambil jalan keluar yang bertuju
pada harapan yang telah dibangun sebelumnya, seperti halnya harapan
partisipan dalam penelitian ini yaitu agar anaknya dapat memahami
keadaan saudaranya yang sakit dan akan optimalnya orang tua dalam
menjalankan perannya. Ketika ada anak yang menjalani hospitalisasi
fokus utama dari orang tua adalah kesembuhan pada anak yang sakit.
Harapan akan kesembuhan anak dapat memberikan motivasi orang tua
dalam merawat anak yang sakit dengan berupaya mengatasi segala
kendala yang ada untuk mengoptimalkan perannya sebagai orang tua.
Pemahaman merupakan dasar yang baik dalam membangun
komunikasi dan interaksi yang ramah. Pemahaman mampu
menghasilkan perubahan sikap, perilaku dan reaksi yang sangat
berbeda kepada orang lain yang dapat terlihat dalam proses interaksi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pemahaman adalah suatu hal
yang kita pahami dan kita mengerti dengan benar. Pemahaman adalah
kemampuan seseorang untuk mengartikan, menafsirkan,
menerjemahkan atau menyatakan sesuatu dengan carannya sendiri
dengan pengetahuan yang pernah diterimanya. Pemahaman dapat
diperoleh setelah mendapatkan penjelasan atau informasi. Pemahaman
dapat ditunjukan melalui perubahan perilaku dan reaksi yang
ditunjukan.
Dalam penelitian ini partisipan mengharapkan pemahaman
juga dapat tumbuh dalam anaknya khususnya pada sibling ketika ada
saudaranya sedang menjalani hospitalisasi, hal ini dikarenakan adanya
perubahan pada sikap dan peran orang tua pada saat itu. Pemahaman
pada sibling akan berdampak baik pada motivasi dan sikap yang
ditunjukan oleh orang tua yang secara tidak langsung juga akan
membawa pengaruh yang positif baik pada sibling dan pada anak
yang sakit. Orang tua akan lebih tenang dalam menyelesaikan masalah
dan tidak perlu khawatir akan hal-hal lain. Anak yang paham juga
akan meringankan beban orang tua dalam membagi waktu antara
kebutuhan anak yang sakit, anak yang sehat, urusan lain dalam
keluarga, pekerjaan dan bahkan urusan pribadinya sendiri. Anak yang
yang tidak paham akan kondisi yang sedang dihadapi oleh orang
tuanya akan menambah beban orang tua dan menyulitkan orang tua
dalam menyusun prioritas dalam penyelesaian masalah.
Partisipan juga mengatakan harapannya akan kemampuannya
dalam menjalankan perannya sebagai orang tua ketika anaknya sakit
bisa tetap optimal. Menurut Wong, (2008) bila ikatan keluarga kuat,
kontrol sosial lebih efektif dan sebagian besar anggota keluarga dapat
menjalankan perannya masing-masing dengan tulus dan penuh
komitmen. Konflik timbul ketika orang tidak dapat memenuhi peran
mereka sesuai dengan yang diharapkan oleh anggota keluarga lainnya,
dan juga karena mereka tidak menyadai harapan tersebut atau karena
mereka memilih untuk tidak memenuhi harapan tersebut. Dalam
penelitian ini, harapan orang tua adalah ingin memenuhi apa yang
menjadi harapan untuk dapat mengurus dan merawat anak yang sakit
dengan baik untuk mempercepat proses pemulihan. Pemenuhan
harapan ini juga bergantung pada reaksi yang diberikan oleh sibling.
Reaksi positif yang diberikan sibling terhadap orang tua dapat menjadi
kekuatan bagi orang tua upaya merawat anak yang sakit dan
meningkatkan kepercayaan diri orang tua dalam mengurus anaknya
baik sehat maupun sakit.
D. Keterbatasan Penelitian
1. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan kesulitan dalam hal posisi
informan yang juga merupakan orang tua anak yang sedang menjalani
hospitalisasi sehingga perlu menyesuaikan waktu dengan kondisi anak
atau menunggu keluarga untuk menjaga anak yang sakit.
2. Suasana tempat wawancara yang terkadang ribut, sehingga menggangu
proses dan hasi wawancara.
3. Dalam menjawab pertanyaan, partisipan masih tampak kaku.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian pengalaman orang tua dalam mengatasi reaksi
sibling anak terhadap saudara yang sedang menjalani hospitalisasi,
dihasilkan lima tema, yaitu : Perubahan perilaku sibling sebagai respon
terhadap proses hospitalisasi pada saudaranya, upaya orang tua untuk
mengendalikan reaksi sibling, kesulitan orang tua dalam mengatasi reaksi
sibling, cara orang tua mengatasi hambatan dan harapan orang tua
terhadap sikap sibling. Dimana tema-tema ini memberikan gambaran
tentang pengalaman orang tua dalam mengatasi reaksi sibling anak.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Perubahan perilaku sibling sebagai respon terhadap proses
hospitalisasi pada saudaranya adalah dengan menunjukan perilaku
agresif dan perilaku mencari perhatian.
2. Upaya orang tua untuk mengendalikan reaksi sibling adalah dengan
memenuhi permintaan sibling, sambil juga memberi penjelasan hingga
memberikan sanksi kepada anak untuk mengontrol sikap sibling agar
tidak menjadi kebiasaan.
3. Kesulitan orang tua dalam mengatasi reaksi sibling sangat dipengaruhi
oleh satu faktor yaitu usia anak, dimana usia anak mempengaruhi
kemampuan anak untuk berpikir logis dan mudah menerima
pemahaman.
4. Cara orang tua mengatasi hambatan dalam mengatasi reaksi sibling
anak adalah dengan cara memberi perhatian, memberi pengertian dan
mengendalikan emosi untuk tidak melakukan kekerasan fisik pada
anak.
5. Harapan orang tua terhadap sikap sibling adalah agar sibling bisa lebih
mengerti keadaan yang sedang dihadapi orang tua dan agar orang tua
dapat lebih mengoptimalkan peran sebagai orang tua dalam merawat
anak yang sakit.
B. Saran
1. Institusi Pendidikan Keperawatan
Institusi pendidikan keperawatan diharapkan dapat berkontribusi
dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat khususnya bagi orang
tua untuk lebih memperhatikan reaksi sibling dengan edukasi terhadap
orang tua melalui praktik klinik, komunitas dan kegiatan penyuluhan
kesehatan.
2. Orang Tua
Orang tua diharapkan dapat menangani reaksi yang diberikan anak
sesuai dengan usia dan tahap perkembangan anak serta
memperhatikan kebutuhan sibling disamping kebutuhan anak yang
sakit akan kasih sayang dan perhatian dari orang tua terutama ketika
anak sudah menunjukan reaksi kekerasan verbal dan nonverbal.
3. Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan agar memperluas topik dan
fokus penelitian pada cara penanganan dan pola asuh orang tua, serta
memperkaya teori-teori pendukung yang dapat menunjang keakuratan
penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Bahri, Samsul (2018). Akar karakter Anak Saleh. Yogyakarta : Diandra Kreatif
Elisabeth & Purwoastuti, E. 2015. Asuhan Kebidanan: Masa Nifas & Menyusui,
Yogakarta: PUSTAKABARUPRESS.
Safithry E.A (2006) Terapi Perilaku Untuk Mengurangi Perilaku Sibling Rivalry
Pada Anak (internet), diambil dari
jurnal.umpalangkaraya.ac.id/libs/download.php?file=FKIP_Vol2_No1_part2
16> (diakses pada 25 oktober 2018)
Subagyo, Ahmad (2008) Studi kelayakan : Teori dan aplikasi. Jakarta : Gramedia
Supartini (2014) Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC
Tejena, N & Valentina, T. D (2015) Sibling rivalry antara anak dengan mild
intellectual disability dan saudara kandung. (internet), diambil dari:
https://www.e-jurnal.com/2017/03/sibling-rivalry-antara-anak-dengan-
mild.html> (diakses pada 30 Oktober 2018)
Terry, K. & Susan, C. (2015) Buku Ajar Keperawatan Pediatri: Edisi 2, Vol 1.
Jakarta: EGC
Terry, K. & Susan, C. (2015) Buku Ajar Keperawatan Pediatri: Edisi 2, Vol 2.
Jakarta: EGC
Kepada Yth,
Calon Partisipan
Di-Tempat
Dengan Hormat
NIM : B1736915101
Peneliti
Fidelis Dagu
PERNYATAAN PERSETUJUAN MENJADI PARTISIPAN
Nama :
Alamat :
Memahami bahwa penelitian ini tidak akan merugikan saya dan keluarga
saya serta informasi yang saya berikan dijamin kerahasiaannya. Saya juga
memahami bahwa hasil penelitian ini akan menjadi bahan masukan bagi
peningkatan kualitas pelayanan kesehatan karena itu jawaban yang saya berikan
adalah yang sebenarnya.
Partisipan
…………………
PEDOMAN PERTANYAAN WAWANCARA
Waktu Pelaksanaan :
Hari/Tanggal :
Jam :
Identitas Informan
Nama (Inisial) :
Umur :
Pendidikan :
PERTANYAAN PENELITIAN
ABSTRAK
Latar Belakang : Kondisi anak sakit akan menyita perhatian juga waktu dari orang tua,
hal ini akan menimbulkan reaksi dari sibling yang berupaya untuk mendapatkan kembali
perhatian dan waktu dari orang tua yang telah lebih memprioritaskan pada saudaranya
yang sakit yang disebut dengan sibling rivalry. Sibling rivalry adalah kompetisi antara
saudara kandung untuk mendapatkan cinta kasih, afeksi dan perhatian dari satu atau dari
kedua orang tua, atau untuk mendapatkan pengakuan atau suatu yang lebih. Dalam hal ini
peran orang tua sangat krusial dalam mengatasi reaksi pada sibling yang muncul untuk
menghindari konflik dan masalah lain yang dapat timbul pada perkembangan emosional
dan kepribadian juga interaksi anak dimasa yang akan datang. Tujuan Penelitian :
Mendeskripsikan pengalaman orang tua dalam mengatasi reaksi sibling anak usia todler
terhadap saudara yang sedang menjalani hospitalisasi.Metode : Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dengan
jumlah partisipan sebanyak 5 orang yang memenuhi kriteria. Informan dalam penelitian
ini diambil dengan teknik purposive sampling. Hasil : Penelitian ini menghasilkan lima
tema, yaitu Perubahan perilaku sibling sebagai respon terhadap proses hospitalisasi pada
saudaranya, upaya orang tua untuk mengendalikan reaksi sibling, kesulitan orang tua
dalam mengatasi reaksi sibling, cara orang tua mengatasi hambatan dan harapan orang tua
terhadap sikap sibling. Simpulan : Pengalaman orang tua sangat mempengaruhi
bagaimana perilaku sibling nantinya, baik kepada saudranya maupun kepada orang
tuanya. Kemampuan orang tua dalam memahami, merespon, dan menangani reaksi
sibling akan mempengaruhi sejauh mana sibling memberikan reaksi.
ABSTRACT
Background: The condition of sick children will also draw attention from parents, this
will cause a reaction from siblings who try to regain attention and time from parents
who have prioritized their sick siblings which is called sibling rivalry. Sibling rivalry
is a competition between siblings to get love, affection and attention from one or both
parents, or to get recognition or something more. In this case the role of parents is very
crucial in overcoming reactions to sibling that arise to avoid conflicts and other
problems that can arise in the development of emotional and personality as well as
future interactions of children. Research Objective: Describe the experience of
parents in overcomingreactions of sibling toddler-age children to siblings who are
undergoing hospitalization.Method: This study used a qualitative research method
with a phenomenological approach with 5 participants fulfilling the criteria.
Informants in this study were taken by purposive sampling technique. Results: This
study produced five themes, namely changes inbehavior sibling as a response to the
process of hospitalization to his siblings, parents 'efforts to controlreactions sibling,
parental difficulties in overcomingreactions sibling, the way parents overcome
obstacles and parents' expectations ofattitudes sibling. Conclusion: Parents'
experience greatly influences howbehavior sibling later, both to their siblings and to
their parents. The ability of parents to understand, respond to, and handlereactions
sibling will influence the extent to which sibling reacts.
BIODATA PENELITI
A. Biodata Pribadi
1. Nama : Fidelis Dagu
2. Jenis kelamin : Laki-Laki
3. Tempat & Tangal Lahir: Paga, Flores 11 November 1992
4. Agama : Katolik
5. Alamat : Jl. Adonara RT. 001 Desa Loa Janan Ulu
Kecamatan Loa Janan Kabupaten Kutai
Kartanegara
6. Email : fidelisdagu@gmail.com
7. No. Hp : 0858-2084-6353
8. NIM : B1736915101
9. Program Studi : S1 - Ilmu Keperawatan
10. Judul Skripsi : Pengalaman Orang Tua Dalam Mengatasi
Reaksi Sibling Anak Usia Todler Terhadap
Saudara Yang Sedang Menjalani Hospitalisasi
11. Dosen Pembimbing : 1. Ns. Siti Mukaromah, S. Kep., M. Kep.,
S. Kom
2. Ns. Sumiati Sinaga, S. Kep., M. Kep
B. Riwayat pendidikan
1. SD : SD Negeri 2 Desa Sukamandang G-II
2. SMP : SMP Negeri 2 Desa Sukamandang G-I
3. SMA : SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda
4. DIPLOMA : AKPER Dirgahayu Samarinda
C. Riwayat Bekerja
RS. PKT Bontang : Januari 2015 – September 2017