Anda di halaman 1dari 20

SATUAN ACARA PENYULUHAN

STASE KEPERAWATAN MATERNITAS

PUSKESMAS SEGIRI SAMARINDA

“PENYAKIT HIV AIDS”

Disusun Oleh :

Kelompok 3

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

TAHUN 2019
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

PENYAKIT HIV AIDS

Topik Penyuluhan : Penyakit HIV AIDS

Pokok Bahasan : Pencegahan dan pengenalan penyakit HIV AIDS

Sasaran : Poli Umum di Wilayah Puskesmas Segiri

Tempat : PKM. Segiri Kelurahan Sidodadi Kecamatan Smd Ulu

Hari, Tanggal : Rabu, 24 Juli 2019

Waktu : 09.00 wita s/d selesai

Pelaksana : Titis Setia Rengganis

A. Latar Belakang

Trend kejadian Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immuno

Deficiency Syndrom (HIV/AIDS) didunia cenderung meningkat setiap

tahunnya. Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2017 di

dunia didapatkan 36.900.000 orang terinfeksi HIV/AIDS. Di Indonesia

menurut Dirjen PP dan PL Kemenkes RI (2017), ada sekitar 10.376 orang

terinfeksi HIV/AIDS. Bila dilihat keseluruhan provinsi di Indonesia, DKI

Jakarta menempati urutan pertama HIV/AIDS sebanyak 51.981/5257 orang

data tahun 2017, dan provinsi Kalimantan Timur penderita HIV/AIDS

sebanyak 813/51 orang. Jadi di Indonesia dan dunia memerlukan penangganan

HIV/AIDS yang sama sehingga dapat menekan peningkatan HIV/AIDS.

Pemerintah Indonesia telah mengupayakan penanggulangan HIV/AIDS

dengan berbagai macam cara. Menurut Permenkes RI (2013), penanggulangan

HIV/AIDS dilakukan melalui 5 (lima) kegiatan yaitu; 1) promosi kesehatan; 2)

pencegahan penularan HIV/AIDS; 3) pemeriksaan diagnosis HIV/AIDS; 4)

pengobatan, perawatan dan dukungan; serta 5) rehabilitasi. Menurut Kemenkes

2
RI (2014), layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan

HIV/AIDS diwujudkan melalui voluntary counseling and testing (VCT).

Infeksi HIV pada kelompok berisiko, populasi berisiko, yakni pengguna

narkoba suntik (penasun), pekerja seks wanita langsung, pekerja seks wanita

tidak langsung (terselubung menggunakan perantara), waria, dan Lelaki

Sesama Lelaki (LSL), hanya prevalensi HIV pada pekerja seks wanita

langsung dan tidak langsung yang tidak meningkat dalam kurun waktu 2003-

2017.

Trend prevalensi jumlah HIV dan AIDS yang dilaporkan per tahun

sampai dengan desember 2017, HIV 48.300 dan AID 9280. Kelompok umur

pada kelompok 25-49 menjadi kelompok tertinggi yaitu 69,2 %. Demikian

juga prevalensi HIV yang dilaporkan menurut jenis kelamin Oktober-

Desember 2017 tertinggi yaitu pada laki-laki sebesar 62%. Kebijakan

pemerintah pada kurun waktu 2013-2017 antara lain intervensi terhadap

populasi berisiko, seperti pengguna narkoba suntik, pekerja seksual, dan

pencegahan penularan dari ibu kepada bayinya. Sebagai contoh, periode 2013

hingga desember 2017, jumlah ibu hamil HIV positif yang mendapat obat

Antiretroviral (ARV) terus meningkat, secara berturut-turut 601 orang, 1.070

orang, 1.544 orang, dan 1.456 orang.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, epidemi HIV di indonesia

sebagian besar terkonsentrasi pada kelompok populasi kunci, dengan tren dan

tingkat pravalensi yang bervariasi antara satu provinsi dengan provinsi lain.

Situasi yang berbeda terdapat di tanah papua yang memiliki epidemi meluas

tingkat rendah dan jumlah Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) perempuan

melebihi jumlah ODHA laki-laki. Angka kasus HIV terbesar terdapat di DKI

jakarta, provinsi padat penduduk lainnya di pulau Jawa, Papua Barat dan

Papua. Dalam periode terdahulu epidemi HIV dipicu oleh perilaku berbagai

3
alat suntik di kelompok penasun, dan saat ini penularan seksual menjadi mode

utama HIV dengan dampak besar pada kelompok Lelaki Sesama Lelaki (LSL)

Indonesia telah membuat kemajuan yang luar biasa dalam meningkatkan

angka pemeriksaan HIV. Secara bersamaan jumlah ODHA yang menjalani

pengobatan ARV telah meningkat menjadi lebih dari 60.000 pada tahun 2015

dari hanya beberapa ribu saja di tahun 2011. Meskipun demikian, tingkat

cakupan ini tidak cukup mencapai tujuan 2020. Peran tenaga kesehatan seperti

dokter, perawat dan seluruh tim sangatlah penting untuk tahu tentang trend

perilaku yang berisiko tertular dan menular kan HIV/AIDS.

B. Tujuan
1. Tujuan Instruksional Umum (TIU)
Setelah diberikan penyuluhan diharapkan masyarakat dapat mengerti

tentang proses penyakit, cara penularan, serta dampak dari HIV AIDS.
2. Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Setelah mendapatkan penjelasan tentang penyakit HIV AIDS,

diharapkan masyarakat mampu:

a. Menjelaskan pengertian pengertian penyakit HIV AIDS.

b. Menyebutkan dampak dan gejala dari penyakit HIV AIDS.

c. Menyebutkan cara pencegahan penykit HIV AIDSl.

C. Analisa situasi
1. Peseta penyuluhan adalah pasien dan keluarga.
a. Klien dan keluarga siap mengikuti penyuluhan kesehatan dari

mahasiswa tentang konsep penyakit HIV AIDSl.


b. Klien dan keluarga sangat antusias dalam mengikuti penyuluhan

terbukti dengan adanya beberapa pertanyaan yang disampaikan.


c. Penyuluhan dikatakan berhasil karna saat dievaluasi klien dan keluarga

mampu mengulang kembali penjelasan yang diberikan oleh mahasiswa

yang menyuluh.
2. Penyuluh Mahasiswa NERS Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan

Kalimantan Timur.
a. Mahasiswa menguasai materi yang disampaikan.
b. Mahasiswa mampu membuat suasana menarik saat penyuluhan

berlangsung.
D. Materi

4
1. Apa pengertian penyakit HIV AIDS.
2. Bagaimana cara penularan HIV AIDS
3. Apa tanda gejala HIV AIDS.
4. Bagaimana pencegahan HIV AIDS.
E. Metode
1. Ceramah
2. Tanya jawab
F. Media
Leaflet dan Video.
G. Setting Tempat
Klien duduk berhadapan dengan penceramah/penyuluh

Keterangan:

- Penyuluh - Peserta

H. Struktur Organisasi
1. Muhammad Ridho : Moderator
2. Khalid Mustofa : MC
3. Titis Setia Rengganis : Presentator
4. Indah Nur Imamah : Fasilitator 1
5. Wawan Wijanarko : Fasilitator 2
6. Saipul Bahri Bakran : Observer
I. Kegiatan penyuluh

No Tahap Waktu Kegiatan Penyuluh Kegiatan Peserta

1. Pembukaan 3 menit  Mengucapkan salam  Menjawab salam


 Menyampaikan topik  Mendegarkan/mem
dan tujuan yang akan perhatikan
dicapai
2. Pengembangan 15 menit  Menanyakan  Menjawab/
pendapat peserta merespon
 Menjelaskan  Mendengar/
pengertian HIV AIDS memperhatikan.
 Menjelaskan cara
penularan HIV AIDS  Mendengar
Memberi kesempatan
kepada peserta untuk  Merespon/
menjelaskan materi mengulang
yang telah di
sampaikan
 Memberikan reward

5
No Tahap Waktu Kegiatan Penyuluh Kegiatan Peserta

positif
 Memberikan
 Memperhatikan
kesempatan kepada
peserta untuk
bertanya  Mendengar/
 Menjelaskan tanda memperhatikan
gejala HIV AIDS  Merespon/bertanya
 Menanyakan kembali
kepada peserta
 Memberi reward
 Menjelaskan cara
pencegahan penyakit
 Mendengar
HIV AIDS
/memperhatikan

3. Penutup 12 menit  Merangkum metari  Merangkum metari


yang dijelaskan bersama penyuluh
bersama peserta
penyuluhan
 Bertanya
 Memberikan
kesempatan kembali
kepada peserta untuk
bertanya
 Merespon
 Memberikan reward
 Menjawab
 Menutup dengan
mengucapkan terima
kasih.  Merespon
 Memberi salam.

J. Evaluasi
1. Evaluasi struktur/persiapan
Penyuluh menguasai materi serta leflet sudah dipersiapkan
2. Standar proses
a. Peserta mengikuti kegiatan pendidikan kesehatan dengan baik sampai

selesai
b. Peserta memberikan respon dengan bertanya dan menjawab

pertanyaan
3. Evaluasi hasil
a. Peserta mampu menjelaskan tentang penyakit HIV AIDS.

6
b. Peserta mampu menjelaskan cara-cara penularan HIV AIDS.
c. Peserta mampu menjelaskan tanda gejala HIV AIDS.
d. Peserta mampu menjelaskan cara pencegahan penyakit HIV AIDS.

BAB II

PENYAKIT HIV/AIDS

A. Pengertian
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit

kekurangan sistem imun yang disebabkan oleh retrovirus HIV tipe 1 atau

HIV tipe 2 (Copstead dan Banasik, 2012). Infeksi HIV adalah infeksi virus

yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih infeksi oleh HIV

biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara progresif,

menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik dan kanker tertentu (terutama

pada orang dewasa) (Bararah dan Jauhar. 2013). Acquired Immune

Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu

yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV (Sylvia & Lorraine, 2012).
Definisi Kasus Surveilans untuk infeksi HIV dari CDC menurut Sylvia

dan Lorraine (2012) yaitu: kriteria yang direvisi pada tahun 2000 untuk

pelaporan tingkat nasional, mengombinasikan infeksi HIV dan AIDS dalam

satu definisi kasus. Pada orang dewasa , remaja, atau anak berusia 18 bulan

atau lebih, definisi kasus surveilans infeksi HIV dipenuhi apabila salah satu

kriteria laboratorium positif atau dijumpai bukti klinis yang secara spesifik

menunjukkan infeksi HIV dan penyakit HIV berat (AIDS).


Bukti laboratorium untuk infeksi HIV mencangkup reaksi positif

berulang terhadap uji-uji penapisan antibodi yang dikonfirmasi dengan uji

7
suplementer (misal, ELISA, dikonfirmasi dengan uji Western blot) atau hasil

positif atau laporan terdeteksinya salah satu uji nonantibodi atau virologi

HIV: uji antigen p24 HIV dengan pemeriksaan netralisis, biakan virus HIV,

deteksi asam nukleat (RNA atau DNA) HIV (misalnya, reaksi berantai

polimerase atau RNA HIV-1 plasma, yang berinteraksi akibat terpajan pada

masa perinatal).
Kriteria klinis mencangkup suatu diagnosa infeksi HIV yang didasarkan

pada daftar kriteria laboratorium yang tercatat dalam rekam medis oleh

dokter atau penyakit-penyakit yang memenuhi kriteria yang tercakup dalam

definisi kasus untuk AIDS. Kriteria untuk definisi kasus AIDS adalah :
a. Semua pasien yang terinfeksi oleh HIV dengan :
1) Hitungan sel T CD4+ <200/μI atau
2) Hitungan sel T CD4+ <14% sel T total, tanpa memandang

kategori klinis, simtomatik atau asimtomatik


b. Adanya infeksi-infeksi oportunistik terkait HIV, seperti :
1) Kondidiasis bronkus, trakea, atau paru
2) Kondidiasis esofagus
3) Kanker serviks, invasive
4) Koksidioidomikosis, diseminata atau ekstraparu
5) Kriptokokus, ekstraparu
6) Kriptosporidiosis, usus kronik (lama sakit lebih dari 1 bulan)
7) Penyakit sitomegalovirus (selain di hati,limpa, atau kelenjer

getah bening)
8) Retnitis sitomegalovirus (disertai hilangnya penglihatan)\
9) Ensafalopati, terkait HIV
10) Harpes simpleks; ulkus (-ulkus kronik lebijh dari 1 bulan; atau

bronkitis, pneumonitis, esophagitis


11) Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
12) Isosporiasis, usus kronik (lama sakit lebih dari 1 bulan)
13) Sarkoma Kaposi (SK)
14) Limfoma, Burkitt (atau ekivalen)
15) Limfoma, imunoblastik (atau yang ekivalen)
16) Limfoma, primer, otak
17) Mycobacterium avium complex atau Mycobacterium kansasi,

diseminata atau ektra paru


18) Mycobacterium tuberkulosis, semua tempat, paru-paru atau

ekstraparu
19) Mycobacterium, spesies lain atau spesies yang belum

teridentifikasi, diseminata atau ekstraparu


20) Pneumonia Pneumicytis carinii (PPC)
21) Pneumonia, rekuren
22) Leukoensefalopati multifokus progresif

8
23) Septikemia salmonela, rekuren
24) Toksoplasmosis otak
25) Sindrom pengurusan yang disebabkan oleh HIV
B. Penyebab
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human

Immunodeficiency Virus (HIV), suatu retrovirus pada manusia yang termasuk

dalam keluarga lentivirus (termasuk pula virus imunodefisinsi pada kucing,

virus imunodefisiensi pada kera, visna virus pada domba, dan virus anemia

infeksiosa pada kuda). Dua bentuk HIV yang berbeda secara genetik, tetapi

berhubungan secara antigen, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang telah berhasil

diisolasi dari penderita AIDS. Sebagian besar retrovirus, viron HIV-1

berbentuk sferis dan mengandung inti berbentuk kerucut yang padat elektron

dan dikelilingi oleh selubung lipid yang berasal dari membran se penjamu.

Inti virus tersebut mengandung kapsid utama protein p24, nukleokapsid

protein p7 atau p9, dua sirina RNA genom, dan ketiga enzim virus (protease,

reserve trancriptase, dan integrase). Selain ketiga gen retrovirus yang baku

ini, HIV mengandung beberapa gen lain (diberi nama dengan tiga huruf,

misalnya tat, rev, vif, nef, vpr dan vpu) yang mengatur sintetis serta perakitan

partikel virus yang infeksius (Robbins dkk, 2011). Menurut Nursalam dan

Kurniawati (2011) virus HIV menular melalui enam cara penularan, yaitu :
a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan sesual secara vaginal, anal dan oral dengan penderita HIV

tanpa perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual

berlangsusng, air mani, cairan vagina, dan darah yang dapat mengenai

selaput lendir, penis, dubur, atau muluh sehingga HIV yang tedapa dalam

cairan tersebut masuk ke aliran darah (PELEKSI, 1995 dalam Nursalam,

2007). Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding

vagina, dubur dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke

aliran darah pasangan seksual.


b. Ibu pada bayinya
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero).

Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu

9
ke bayi adalah 0.01% sampai 7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum

ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai

35%, sedangkan gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinan

mencapai 50% (PELKESI, 1995 dalam Nursalam, 2007). Penularan juga

terjadi selama proses persalinan melalui tranfusi fetomaternal atau kontak

antara kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi

maternal saat melahirkan (Lili V, 2004 dalam Nursalam, 2007). Semakin

lam proses melahirkan, semakin besar resiko penularan. Oleh karena itu,

lama persalinan bisa dipersingkat dengan operasi sectio caesaria (HIS

dan STB, 2000 dalam Nursalam, 2007). Transmisi lain terjadi selam

periode post partum melaui ASI. Resiko bayi tertular melalui ASI dai Ibu

yang positif sekitar 10%.


c. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Sangat cepat menular HIV karena virus langsung masuk ke

pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh.


d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat-

alat lain yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang

terinveksi HIV, dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak

terinfeksi HIV, dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak

terinfeksi HIV bisa menular HIV


e. Alat-alat untuk menoreh kulit
Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat

seseorang, membuat tato, memotong rambut, dan sebagainya bisa

menularkan HIV sebab alat tersebut mungkin dipakai tanpa disterilkan

terlebih dahulu.
f. Menggunakan jarum suntik secara bergantian
Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang

digunakan oleh para pengguna narkoba (Injecting Drug User-IDU)

sangat berpotensi menularkan HIV. Selain jarun suntik, pada para

pemakai IDU secara bersama-sama juga menggunakan tempat

10
penyampur, pengaduk, dan gelas pengoplos obat, sehingga berpotensi

tinggi untuk menularkan HIV.


HIV tidak menular melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu

tangan, hidup serumah dengan penderita HIV/AIDS, gigitan nyamuk,

dan hubungan sosial yang lain.


C. Tanda dan Gejala
Penyakit ini disertai kumpulan gejala (syndrome) antara lain gejala

infeksi dan penyakit oportunistik yang timbul akibat menurunnya daya tahan

tubuh penderita. Menurunnya kekebalan menjadikan penderita rentan

terhadap infeksi oportunistik dimana infeksi mikroorganisme yang dalam

keadaan normal bersifat apatogen. Pada penderita AIDS mikroorganisme

yang bersifat apatogen dapat menjadi patogen (Kadiandagho, 2015). Adapun

yang termasuk gejala mayor yaitu:


1) Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
2) Diare kronik berlangsung lebih dari 1 bulan
3) Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
4) Penurunan kesadaran dan gangguan Neorologis
5) Demensia atau HIV ensepalopati
Gejala minor :
1) Batuk menetap lebih dari 1 bulan
2) Dermatitis generalisata yang gatal
3) Adanya Herpes Zoster Multisegmental dan atau berulang
4) Kandidiasis orofariengeas 15
5) Herpes Simpleks kronik progresif
6) Limfadenopati Generalisata (pembesaran kelenjar getah bening)
7) Infeksi jamur berulang pada alat kelamin.
D. Cara Pencegahan
1. Ruang Lingkup Pelayanan
a. Voluntary Counseling and Testing (VCT)
VCT merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan

sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV AIDS

berkelanjutan. Pelayanan VCT berkualitas bukan hanya membuat

orang mempunyai akses terhadap pelayanan namun juga efektif dalam

pencegahan terhadap HIV. Layanan VCT dapat digunakan untuk

mengubah perilaku berisiko dan memberikan informasi tentang

pencegahan HIV AIDS.

b. Care, Support and Treatment (CST)

11
Layanan perawatan yang tersedia meliputi konseling dan tes HIV

untuk tujuan screening dan diagnostik. Antiretroviral therapy

merupakan komitmen jangka panjang dan kepatuhan terapi adalah hal

yang paling penting dalam menekan replikasi HIV dan menghindari

terjadinya resistensi. Pasien dianjurkan untuk melakukan konseling

antiretroviral (ARV). Konseling ini yang terpenting adalah factor

adheren atau kepatuhan untuk minum obat. Isi dari konseling ini

tentang minum obat tepat awaktu, tepat dosis dan tepat penggunaan

obat. Pasien diajarkan membuat pengingat untuk minum obat misalnya

alamdi telpon selluler. Pasien yang terbuka kepada keluarga tentang

statusnya, maka keluarga yang menjadi pendamping minum obat

(PMO) untuk mendukung kepatuhan minum obat.


c. Infeksi Menular Seksual (IMS)
Tatalaksana IMS di klinik kulit dan kelamin, pengobatan paliatif,

akses kepada obat-obat HIV termasuk obat untuk infeksi

opportunistic, antiretroviral, intervensi terhadap Prevention Of Mother

To Child HIV Transmission (PMTCT) yang fokus di klinik kebidanan

dan anak, dukungan gizi, serta mengurangi stigma dan diskriminassi

dengan mangadakan sosialisasi dan training tentang pelayanan

HIV/AIDS kepada petugas kesehatan.


Pemilihan obat untul IMS harus sesuai dengan pedoman

penatalaksanaan IMS yang diterbitkan oleh Kemenkes RI tentang

kriteria yang digunakan dalam pemilihan obat untuk IMS yaitu angka

kesembuhan yang tinggi, harga murah, toksisitas dan toleransi yang

masih dapat diterima, diberikan dosis tunggal, cara pemberian peroral

dan tidak merupakan kontra indikasi pada ibu hamil atau ibu

menyusui.
d. Prevention of Mother to Child HIV Transmission (PMTCT)
Pelayanan PMTCT merupakan salah satu pelayanan tersedia

untuk klien yang berusia produktif, mempunyai istri atau suami.

12
Dalam sebuah penelitian terdapat sebuah kejadian yang unik

dimana penelitian ini dilakukan pada pencangkokan organ liver pada

anak yang non-HIV dari ibu yang positif HIV, dari penelian itu di

dapatkan bahwa tidak terdapat tanda HIV pada penemeriksaan setelah

pencangkokan tersebut, walau hal ini menunjukkan bahwa sanya tidak

terjadi pernyebaran HIV melalui pencangkokan organ tersebut, namun

hal ini masih harus di awasi dan di lakukan penelitian lebih lanjut

(Botha et al. 2018).


2. Batasan Operasional
a. Pelayanan VCT
1) Penerimaan klien
2) Konseling pra testing HIV AIDS
3) Konseling Pra testing HIV AIDS dalam keadaan khusus
4) Informed consent
5) Testing HIV dalam VCT
3. Landasan Hukum
a. Undang-undang Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit

Menular
b. Undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
c. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1285/Menkes/SK/X/2002

tentang pedoman penanggulangan HIV/AIDS dan Penyakit

Menular Seksual
d. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1278/Menkes/SK/XII/2009

tentang Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit

TB dan HIV.
e. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tenagh Nomor 5 Tahun 2009

tentang Penangggulangan HIV dan AIDS.


4. Tata Laksana Pelayanan
a. Konseling Pre testing
1) Penerimaan klien :
a) Informasikan kepada klien tentang pelayanan tanpa nama,

sehingga nama tidak ditanyakan


b) Pastikan klien tepat waktu dan tidak menunggu
c) Buat catatan rekam medic klien dan pastikan setiap klien

mempunyai kodenya sendiri

Kartu periksa konseling dan testing dengan nomor kode dan

ditulis oleh konselor. Tanggung jawab klien dalam konselor:

13
a) Bersama konselor mendiskusikan hal-hal terkait tentang

HIV AIDS, perilaku beresiko, testing HIV dan

pertimbangan yang terkait dengan hasil negative atau positif


b) Sesudah melaksanakan konseling lanjutan diharapkan dapat

melindungi diri dan keluarganya dari penyebaran infeksi


c) Untuk klien yang dengan HIV positif memberitahu

pasangan atau keluarganya akan status dirinya dan rencana

kehidupan lebih lanjut


2) Konseling Pre testing
a) Periksa ulang nomor kode dalam formulir
b) Perkenalan dan arahan
c) Menciptakan kepercayaan klien pada konselor, sehingga

terjalin hubungan baik dan terbina saling memahami


d) Alasan kunjungan
e) Penilaian resiko agar klien mengetahui factor resikodan

menyiapkan diri untuk pre test


f) Memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau

tidak terinfeksi
g) Konselor membuat keseimbangan antara pemberian

informasi, penilaian resiko dan merespon kebutuhan emosi

klien
h) Konselor VCT membuat penilaian system dukungan
i) Klien memberikan persetujuan tertulis sebelum tes HIV

dilakukan
b. Informed consent
1) Semua klien sebelum menjalani tes HIV harus memberikan

persetujuan tertulis
Aspek penting dalam persetujuan tertulis adalah :
a) Klien diberi penjelasan tentang resiko dan dampak sebagai

akibat tindakan dan klien menyetujuinya


b) Klien mempunyai kemampuan mengerti/memahami dan

menyatakan persetujuannya
c) Klien tidak dalam terpaksa memberikan persetujuannya
d) Untuk klien yang tidak mampu mengambil keputusan

karena keterbatasan dalam memahami, maka konselor

berlaku jujur dan obyektif dalam menyampaikan informasi


2) Informed consent pada anak
Bahwa anak memiliki keterbatasan kemampuan berfikir

dan menimbang ketika dihadapkan dengan HIV AIDS. Jika

14
mungkin anak didorong untuk menyertakan orang tua atau wali,

namun apabila anak tidak menghendaki, maka layanan VCT

disesuaikan dengan kemaampuan anak untuk menerima dan

memproses serta memahami informasi hasil testing HIV AIDS.

Dalam melakukan testing HIV pada anak dibutuhkan

persetujuan orang tua / wali.


3) Batasan umur untuk persetujuan
Anak berumur dibawah 12 tahun orang tua / wali yang

menandatangani informed consent, jika tak mempunyai orang

tua / wali maka kepala institusi, kepala puskesmas, kepala

rumah sakit, kepala klinik atau siapa yang bertanggungjawab

atas diri anak harus menandatangani informed consent. Jika

anak dibawah umur 12 tahun memerlukan testing HIV maka

orangtua atau wali harus mendampingi secara penuh


4) Persetujuan orang tua untuk anak
Orang tua dapat memberikan persetujuan konseling dan

testing HIV AIDS untuk anaknya. Namun sebelum meminta

persetujuan, konselor melakukan penilaian akan situasi anak,

apakah melakukan tes HIV lebih baik atau tidak. Jika orang tua

bersikeras ingin mengetahui status anak, maka konselor

melakukan konseling dahulu dan apakan orang tua akan

menempatkan pengetahuan atan status HIV anak untuk

kebaikan atau merugikan anak. Jika konselor ragu maka

bimbinglah anak untuk didampingi tenaga ahli. Anak

senantiasa dibeitahu betapa penting hadir nya seseorang yang

bermakna dalam kehidupannua untuk mengetahui kesehatan

dirinya.
c. Testing HIV dalam VCT
Prinsip testing HIV adalah terjaga kerahasiaannya. Testing

dimaksudkan untuk menegakkan diagnose. Penggunaan testing

15
cepat (rapid testing) memungkinkan klien mendapatkan hasil testing

pada hari yang sama. Tujuan testing adalah :


1) Untuk menegakkan diagnosis
2) Pengamanan darah donor (skrining)
3) Untuk surveilans
4) Untuk penelitian

Petugas laboratorium harus menjaga mutu dan konfidensialitas,

hindari terjadinya kesalahan baik teknis (technical error), manusia

(human error) dan administratif (administrative error). Bagi

pengambil sampel darah harus memperhatikan hal-hal berikut:

1) Sebelum testing dilakukan harus didahului dengan konseling

dan informed consent


2) Hasil testing diverifikasi oleh dokter patologi klinis
3) Hasil diberikan dalam amplop tertutup
4) Dalam laporan pemeriksaan ditulis kode register
5) Jangan memberi tanda menyolok terhadap hasil positif atau

negatif.
6) Meski sampel berasal dari sarana kesehatan yang berbeda tetap

dipastikan telah mendapat konseling dan menandatangani

informed consent
d. Konseling pasca testing
Kunci utama dalam menyampaikan hasil testing:
1) Periksa ulang seluruh hasil klien dalam rekam medic. Lakukan

sebelum bertemu klien


2) Sampaikan kepada klien secara tatap muka
3) Berhati-hati memanggil klien dari ruang tunggu
4) Seorang konselor tidak diperkenankan menyampaikan hasil tes

dengan cara verbal maupun non verbal di ruang tunggu


5) Hasil test harus tertulis
Tahapan penatalaksanaan konseling pasca testing
1) Penerimaan klien
- Memanggil klien dengan kode register
- Pastikan klien hadir tepat waktu dan usahakan tidak

menunggu
- Ingat akan semua kunci utama dalam penyampaian hasil

testing
2) Pedoman penyampaian hasil negative
- Periksa kemungkinan terpapar dalam periode jendela
- Gali lebih lanjut berbagai hambatan untuk seks yang aman
- Kembali periksa reaksi emosi yang ada
- Buat rencana tindak lanjut

16
3) Pedoman penyampaian hasil positif
- Perhatikan komunikasi non verbal saat klien memasuki

ruang konseling
- Pastikan klien siap menerima hasil
- Tekankan kerahasiaan
- Lakukan penyampaian secara jelas dan langsung
- Sediakan waktu cukup untuk menyerap informasi tentang

hasil
- Periksa apa yang diketahui klien tentang hasil
- Dengan tenang bicarakan apa arti hasil pemeriksaan
- Ventilasikan emosi klien
4) Konfidensialitas
Penjelasan secara rinci pada saat konseling pretes dan

persetujuan dituliskan dan dicantumkan dalam catatan medic.

Berbagi konfidensialitas adalah rahasia diperluas kepada orang

lain, terlebih dahulu dibicarakan kepada klien. Orang lain yang

dimaksud adalah anggota keluarga, orang yang dicintai, orang

yang merawat, teman yang dipercaya atau rujukan pelayanan

lainnya ke pelayanan medik dan keselamatan klien. Selain itu

juga disampaikan jika dibutuhkan untuk kepentingan hukum.


5) VCT dan etik pemberitahuan kepada pasangan
Dalam konteks HIV AIDS, WHO mendorong

pengungkapan status HIV AIDS. Pengungkapan bersifat

sukarela, menghargai otonomi dan martabat individu yang

terinfeksi, pertahankan kerahasiaan sejauh mungkin menuju

kepada hasil yang lebih menguntungkan individu, pasangan

seksual dan keluarga, membawa keterbukaan lebih besar kepada

masyarakat tentang HIV AIDS dan memenuhi etik sehingga

memaksimalkan hubungan baik antara mereka yang terinfeksi

dan tidak.
e. Pelayanan Dukungan Berkelanjutan
1) Konseling Lanjutan
Salah satu layanan yang ditawarkankepada klien adalah

konseling lanjutan sebagai bagian layanan VCT apapun hasil

testing yang diterima klien. Namun karena persepsi klien

berbeda-beda terhadap hasil testing maka konseling lanjutan ini

17
seebagai pilihan jika dibutuhkan klien untuk menyesuaikan diri

dengan status HIV


2) Kelompok Dukungan VCT
Layanan ini dapat ditempat layanan klinik VCT dan di

Masyarakat. Konselor atau kelompok ODHA akan membantu

klien baik dengan hasil positif maupun negative untuk

bergabung dalam kelompok ini. Kelompok ini dapat diikuti

oleh pasangan dan keluarga.


3) Pelayanan Penanganan Manajemen Kasus
Tahapan dalam manajemen kasus, adalah identifikasi,

penilaian kebutuuhan pengembangan rencana tidak individu,

rujukan sesuai kebutuhan dan tepat serta koordinasi tindak

lanjut.
4) Perawatan dan Dukungan
Setelah diagnosis ditegakkan dengan HIV positif maka

klien dirujuk dengan pertimbangan akan kebutuhan rawatan

dan dukungan. Kesempatan ini digunakan klien dan klinisi

untuk menyusun rencana dan jadwal pertemuan konseling

selanjutnya dimana membutuhkan tindakan medic lebih lanjut,

seperti terapi profilaksis dan akses ke ART.


5) Layanan Psikiatrik
Banyak pengguna Zat psikoaktif saat menerima hasil

positif testing HIV, meskipun dudah dipersiapkan terlebih

dahulu, klien dapat mengalami goncangan yang berat, seperti

depresi, panic, kecemasan yang hebat, agresif bahkan bunuh

diri. Bila terjadi hal demikian maka perlu dirujuk ke fasilitas

layanan psikiatrik.
6) Konseling Kepatuhan Berobat
Dibutuhkan waktu untuk memberikan edukasi dan

persiapan guna meningkatkan kepatuha sebelum dimulai terapi

ARV. Sekali dimulai harus dilakukan monitoring terus menerus

yang dinilai oleh dokter, jumlah obat dan divalidasi dengan

daftar pertanyaan kepada pasien.konseling ini membantu klien

18
mencari jalan keluar dari kesulitan yang mungkin timbul dari

pemberian terapi dan mempengaruhi kepatuhan.


7) Rujukan
Pelayanan VCT bekerja dengan membangun hubungan

antara masyarakat dan rujukan yang sesuai dengan

kebutuhannya serta memastikan rujukan dari masyarakat ke

pusat VCT. Sistem rujukan dan alur :


a) Rujukan klien dalam lingkungan sarana kesehatan.
b) Jika dokter mencurigai seseorang menderita HIV, maka

dokter merekomendasikan klien dirujuk ke konselor

yang ada di RS
c) Rujukan antar sarana kesehatan
d) Rujukan klien dari sarana kesehatan ke sarana kesehatan

lainnya
e) Rujukan ini dilakukan secara timbale balik dan berulang

sesuai dengan kebutuhan klien.


Rujukan klien dari sarana kesehatan lainnya ke sarana

kesehatan rujukan. Dari sarana kesehatan lainnya kesarana

kesehatan dapat berupa rujukan medic klien, rujukan specimen,

rujukan tindakan medic lanjut atau spesialistik.

DAFTAR PUSTAKA

Brooker, Chris. 2005. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC.

Carpenito, Lynda Juall. 2006. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC

Katiandagho, Desmon, 2015, Epidemiologi HIV-AIDS, In Media, Bogor.

Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama. Buku Pegangan Paliatif Care HIV-AIDS.

19
Prince, Sylvia dan Lorraine. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit, Volume 1. Jakarta: EGC.

Seymour Jane. 2004. Paliative Care Nursing. New York: Two Pen Plaza.

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:

EGC.

Sudoyo AW, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Pusat

Penerbitan.

Weller, Barbara. 2005. Kamus Saku Perawat. Jakarata: EGC

Yuswana, TA. 2004. Perawatan Penderita Terminal. Surabaya: Psychiatry

Update.

Ngala, Consolata Oloo. 2017. “Microfinance and Income Levels of AIDS

Affected Households : A Quasi-Experimental Survey.” (January).

Shaluhiyah, Zahroh, Syamsulhuda Budi Musthofa, and Bagoes Widjanarko. 2015.

“Stigma Masyarakat Terhadap Orang Dengan HIV / AIDS Public Stigma to

People Living with HIV / AIDS.” (3):333–39.

20

Anda mungkin juga menyukai