Anda di halaman 1dari 87

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/324746673

Penyusunan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Bidang


Transportasi Udara

Book · April 2018

CITATIONS READS
0 3,590

2 authors, including:

Edvin Aldrian
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
91 PUBLICATIONS   1,320 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

PhD Thesis Project View project

Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF) View project

All content following this page was uploaded by Edvin Aldrian on 25 April 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


ISBN : 978-602-410-054-4

PENYUSUNAN STRATEGI ADAPTASI DAMPAK


PERUBAHAN IKLIM BIDANG
TRANSPORTASI UDARA

Penulis :
Dr. Ir. Wahyu Purwanta, MT.
Editor:
Prof. Dr. Edvin Aldrian, B Eng., MSc.

Diterbitkan oleh :
BPPT PRESS
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
Anggota IKAPI, No. 476/DKI/III/2014
Bidang transportasi udara sangat terkait erat dengan perubahan iklim. Aktivitas
penerbangan termasuk sebagai kontributor emisi karbon sebagai penyebab
pemanasan global, tetapi aktivitas penerbangan juga terdampak perubahan iklim
sebagai akibat pemanasan global. Kenaikan suhu atmosfer, perubahan intensitas
hujan, kenaikan muka laut dan kejadian cuaca ekstrim akan mempengaruhi aktivitas
penerbangan seperti terjadinya penundaan atau pembatalan, kerusakan infrastruktur
bahkan hingga terjadinya kecelakaan. Suatu strategi adaptasi terhadap dampak
perubahan iklim sangat diperlukan guna meminimalkan kerugian yang terjadi. Buku
ini mengupas langkah-langkah penyusunan strategi adaptasi perubahan iklim bidang
transportasi udara. Diawali dengan identifikasi terhadap komponen iklim yang
berubah di dunia dan juga Indonesia. Kemudian dilakukan analisis kapasitas adaptasi
guna menentukan indeks kapasitas adaptasi (ACI) untuk memperkirakan daya
adaptasi institusional. Hasil identifikasi komponen iklim yang berubah dapat
digunakan untuk memperkirakan dampak yang terjadi baik terhadap sarana,
prasarana dan operasional penerbangan melalui analisis risiko dan peluang. Hasil
analisis risiko dan peluang menjadi pertimbangan dalam penyusunan strategi
adaptasi perubahan iklim transportasi udara. Buku ini diharapkan bermanfaat bagi
pemangku kepentingan dan pelaku di bidang transportasi udara tanah air.

BPPT Press
Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi
Anggota IKAPI (No. 476/DKI/IV/2014)
Gedung BPPT II Lantai 4
Jl. M.H. Thamrin No. 8, Jakarta Pusat, 13340
PENYUSUNAN STRATEGI ADAPTASI DAMPAK
PERUBAHAN IKLIM BIDANG
TRANSPORTASI UDARA

Diterbitkan oleh :
BPPT PRESS
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
Anggota IKAPI,No. 476/DKI/III/2014
PENYUSUNAN STRATEGI ADAPTASI DAMPAK
PERUBAHAN IKLIM BIDANG
TRANSPORTASI UDARA

Penulis :
Dr. Ir. Wahyu Purwanta, MT.
Editor:
Prof. Dr. Edvin Aldrian, B Eng., MSc.
PENYUSUNAN STRATEGI ADAPTASI
DAMPAK PERUBAHAN IKLIMBIDANG
TRANSPORTASI UDARA

ISBN: 978-602-410-054-4
Cetakan Pertama: September 2016
Cetakan Kedua: November 2017

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang


Dilarang memperbanyak isi buku ini baik sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit

Diterbitkan oleh:

BPPT Press
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Anggota IKAPI (N0. 467/DKI/III/2014)

Disain sampul dan tata letak oleh : Alda T.Sandra

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang


Perubahan atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 Pasal 44
Tentang Hak Cipta
Pasal 72 :
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau
memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyerahkan, menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang
hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak terkait sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah).
ISBN: 978-602-410-054-4

Cetakan Kedua

November 2017

Diterbitkan Oleh:

BPPT PRESS
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
Anggota IKAPI No. 476/DKI/III/2014

Alamat:
Gedung BPPT II Lantai 4,
Jln. M.H. Thamrin No.8. Jakarta Pusat
Tel. (021)3169091, 31696067; Fax. (021)3101802
Email : bpptpress@bppt.go.id
KATA PENGANTAR

Salah satu permasalahan lingkungan hidup terbesar abad ini adalah


perubahan iklim, hal ini telah disampaikan dalam panel para ahli UNEP dalam
berbagai forum ilmiah internasional. Perubahan iklim berdampak pada berbagi
bidang kehidupan seperti pertanian, kesehatan, infrastruktur, maupun
perhubungan termasuk transportasi udara di dalamnya. Berbagai upaya dan
kebijakan sebagai hasil kesepatakan antar negara telah dilakukan sebagai bentuk
antisipasi perubahan iklim yang dapat dikelompokkan dalam upaya mitigasi dan
adaptasi.
Sebagai salah satu bidang yang akan terdampak akibat perubahan
iklim, transportasi udara juga telah, sedang dan akan terus mengembangkan
berbagai strategi mitigasi dan adaptasi. Jika sisi mitigasi telah banyak dikaji dan
ditulis, tidak demikian dengan sisi adaptasi. Buku ini memaparkan berbagai
langkah dalam penyusunan adaptasi perubahan iklim bidang transportasi udara.
Secara sistematika penyusunan, urutan penyampaian adalah, bab 1 berisi
uraian aspek ilmiah dan dampak akibat perubahan iklim, bab 2 berisi berbagai
kebijakan dalam menangani perubahan iklim baik kesepakatan yang bersifat
internasional maupun kebijakan skala nasional, bab 3 menitikberatkan pada
analisis dampak perubahan iklim pada sarana, prasarana serta operasional
penerbangan serta bab 4 berisi strategi adaptasi dampak perubahan iklim bidang
transportasi udara.
Buku ini diharapkan dapat menambah referensi dalam kajian terkait
strategi dampak perubahan iklim baik di bidang transportasi maupun bidang
lainnya. Terimakasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang membantu dalam
penerbitan buku ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi masyarakat serta pemangku
kepentingan sektor terkait.

November, 2017

Wahyu Purwanta

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR GAMBAR iii
DAFTAR TABEL v

BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Aspek Ilmiah Perubahan Iklim 3
1.3 Dampak Perubahan Iklim 7
BAB 2 KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM 9
2.1 Aksi Global Dalam Penanganan Perubahan Iklim 9
2.2 Kebijakan Tingkat Nasional 10
2.3 Rencana Aksi Nasional Penanganan Perubahan Iklim 12
2.4 Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca Nasional 13
2.5 Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim 16
BAB 3 BIDANG TRANSPORTASI UDARA DAN PERUBAHAN IKLIM 18
3.1 Cuaca Dan Dunia Penerbangan 18
3.2 Tantangan Sektor Transportasi Udara Terkait Perubahan Iklim 20
3.2.1 Dampak Pada Sarana Penerbangan 21
3.2.2 Dampak Pada Prasarana Penerbangan 25
3.2.3 Dampak Pada Operasional Penerbangan 32
3.3 Strategi Mitigasi Perubahan Iklim Bidang Trasportasi Udara 38
BAB 4 STRATEGI ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM BIDANG
TRANSPORTASI UDARA 42
4.1 Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Penerbangan Sipil 42
4.2 Pendekatan Penyusunan Strategi Adaptasi 45
4.3 Prakiraan Pola Perubahan Komponen Iklim di Indonesia 46
4.4 Analisis Kapasitas Adaptasi Perubahan Iklim 55
4.5 Analisis Risiko Dan Peluang 59
4.6 Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Sektoral 66

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Proses Terjadinya Efek Rumah Kaca 4


Gambar 1.2 Tren peningkatan suhu atmosfer (atas) identik dengan tren
kenaikan emisi CO2 (bawah) 5
Gambar 2.1 Alur Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia 13
Gambar 3.1 Cuaca sangat panas di Sky Harbor Airport, Arizona USA 22
Gambar 3.2 Contoh Kinerja Mesin Pesawat Udara 23
Gambar 3.3 Penumpukan es (icing) pada bagian sayap pesawat 24
Gambar 3.4 Pengaruh massa es (icing) pada performa pesawat 24
Gambar 3.5 Hasil simulasi dampak peningkatan muka laut di Bandara
LaGuardia tahun 2100 27
Gambar 3.6 Proyeksi peningkatan muka air laut di Indonesia 28
Gambar 3.7 Peningkatan Muka Air Laut Rata-Rata Periode 1984-2002 28
Gambar 3.8 Peningkatan Temperatur Global Periode Pantau 1993-2012 29
Gambar 3.9 Banjir di Bandara Don Mueang, Thailand (2011) 30
Gambar 3.10 Pengaruh wind shear pada pesawat terbang 34
Gambar 3.11 Microburst yang dapat berdampak pada pesawat terbang 34
Gambar 3.12 Pesawat yang terkena cross wind kencang saat mendarat 35
Gambar 3.13 Very Low Visibility akibat hujan salju lebat 36
Gambar 3.14 Pesawat Lion Air tergelincir di Bandara Sepinggan 37
Gambar 4.1 Emisi CO2 dari aktivitas penerbangan di dunia 2005-2040 42
Gambar 4.2 Kunci prioritas dalam membangun resiliensi perubahan iklim 44
Gambar 4.3 Tahapan dalam penyusunan strategi adaptasi 46
Gambar 4.4 Pola peningkatan konsentrasi CO2 global, dan hasil
pengukuran di Mauna Loa, Hawaii serta Bukit Kototabang,
Sumatera Barat 48
Gambar 4.5 Pola Kenaikan Suhu Permukaan di Bandara Hasanuddin ,
Makassar 48
Gambar 4.6 Pola Peningkatan Suhu Udara di Bandara Sentani, Jayapura 49
Gambar 4.7 Pola umum hujan di Indonesia periode 1971-2000 50

iii
Gambar 4.8 Tren Peningkatan Curah Hujan di Bandara Hasanuddin,
Makassar 51
Gambar 4.9 Tren Peningkatan Curah Hujan di Bandara Sepinggan 51
Gambar 4.10 Tinggi Muka Laut Rata-rata Global 53
Gambar 4.11 Variasi Anomali TML rata-rata di Indonesia (1860-2010)
dihitung dari SODA (Hijau), ROMS-SODA (Merah putus-putus)
dan Altimeter (Biru putus-putus) 53
Gambar 4.12 Pola spasial SLR di perairan Indonesia yang ditunjukkan oleh:
(a) tren kenaikan TML pada periode 1993–2011, dan (b)
selisih rata-rata TML periode 2005–2011 relatif terhadap
rata-rata TML periode 1993–2005 54
Gambar 4.13 (a) Kurva cumulative distribution function (CDF) dengan nilai
ambang untuk peluang curah hujan harian 1% tertinggi
berdasarkan data satelit TRMM selama periode 1998–2008.
(b) Sebaran nilai perubahan peluang curah hujan harian
ekstrem pada data TRMM periode 2003-2008 relatif terhadap
nilai peluang pada periode 1998–2002. 55
Gambar 4.14 Kerangka Analisis Kerentanan dan Dampak Perubahan Iklim 61

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Ringkasan Emisi GRK Indonesia Tahun 2000 (dalam Gg) 14
Tabel 2.2 Ringkasan Emisi GRK Seluruh Sektor Tahun 2000-2005
(dalam Gg) 15
Tabel 3.1 Potensi dampak perubahan iklim dari beberapa variabel
iklim pada stabilitas infrastruktur bandar udara 31
Tabel 3.2 Sensitivitas Cuaca Terhadap Operasi Penerbangan 38
Tabel 3.3 Rencana Aksi Mitigasi Perubahan Iklim 39
Tabel 4.1 Contoh Kuesioner Untuk Asesmen ACI 58
Tabel 4.2 Analisis Risiko Peluang 62

v
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada awal tahun 2000 guna menyambut abad 21, sekelompok ahli dalam suatu
panel dari United Nations Environment Progamme (UNEP) membuat daftar seratus
permasalahan yang dianggap berpotensi sebagai ancaman serius kehidupan di
bumi khususnya masalah lingkungan hidup. Dalam daftar tersebut, perubahan
iklim menempati urutan teratas sebagai kejadian yang paling berdampak pada
kehidupan atau sebagai masalah lingkungan hidup terbesar abad 21. Sudah
banyak hasil studi dan penelitian dari berbagai negara baik universitas maupun
lembaga riset bahwa perubahan iklim tidak saja memberi dampak kepada
lingkungan hidup tetapi juga pada sistem ekonomi, sosial, budaya dan juga bahkan
pertahanan keamanan suatu bangsa.
Berdasar laporan Working Group II dibawah Inter-Governmental Panel on
Climate Change (IPCC) mengenai dampak dan adaptasi perubahan iklim yang
diterbitkan pada April 2007 menyebutkan bahwa Indonesia akan mengalami
penurunan curah hujan di kawasan selatan, sebaliknya kawasan utara akan
mengalami peningkatan curah hujan. Artinya kawasan yang menurun curah
hujannya sangat berpotensi merusak sistem tanam pertanian, khususnya tanaman
yang tidak memiliki potensi resisten terhadap kekeringan, krisis dan kelangkaan air
bersih untuk menopang kehidupan dan air permukaan untuk pembangkit listrik
tenaga air. Di sisi lain, peningkatan curah hujan menjadi potensi ancaman banjir
yang merusak infrastruktur, sarana dan prasarana serta lahan-lahan basah seperti
persawahan produktif.
Di sisi lain, perubahan pola intensitas curah hujan lokal yang ekstrim juga akan
sering terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Perubahan pola curah hujan
tersebut semakin sulit diprediksi, sehingga sulit pula mengantisipasi dampak
perubahan cuaca dan iklim yang mungkin terjadi. Sedangkan dampak perubahan
iklim yang menjadi ancaman nyata apabila dikaitkan dengan kondisi geografis
Indonesia adalah naiknya permukaan air laut (sea level rise). Ancaman sebagai
akibat naiknya permukaan air laut adalah tenggelamnya pulau-pulau kecil. Selain
itu naiknya muka laut juga menyebabkan masalah sosial seperti perpindahan

1
permukiman nelayan dari tepi pantai semula menjadi lebih ke hulu yang mungkin
akan membawa dampak sosial.
Untuk mengantisipasi terkait dampak perubahan iklim sekaligus mengurangi
tingkat kerentanan, diperlukan kebijakan guna mengantisipasi potensi ancaman
dan sebagai bentuk rencana adaptasi dampak yang ditimbulkan oleh perubahan
iklim. Berbagai negara di dunia telah menyiapkan seperangkat strategi mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim sebagai bagian dari perencanaan nasionalnya. Khusus
adaptasi, kebijakan antisipasi tersebut bisa direfleksikan dalam bentuk strategi
rencana aksi adaptasi perubahan iklim. Pada tataran aksi inilah akan sangat
diperlukan kemampuan adaptasi sebagai fungsi dari sosial ekonomi, infrastruktur
dan juga teknologi.
Adaptasi perubahan iklim merupakan upaya mengurangi kerentanan atas
bahaya sekaligus meningkatkan kapasitas pada seluruh komponen dari aset
penghidupan (sunstainable livelihood/penthagon asset); human, social, physic,
nature and finance). Dari sisi kapasitas, pada tiga komponen utama; preparedness
(kesiapsiagaan), partisipasi (participatory) maupun kebijakan (policy), termasuk
kelembagaan yang lebih tangguh dalam menghadapi ancaman bencana yang
meningkat akibat perubahan iklim. Sementara dalam konteks adaptasi perubahan
iklim, integrasi pengurangan risiko bencana merupakan strategi atau pendekatan
dalam adaptasi, sehingga merupakan sebuah langkah yang efektif dalam
mengantisipasi dampak perubahan iklim.
Adaptasi iklim mengacu kepada kemampuan sistem untuk menyesuaikan diri
dengan perubahan iklim dengan mengelola konsekuensi dari dampak-dampak
yang tidak dapat dihindari. IPCC mendefinisikan adaptasi sebagai penyesuaian
alami pada manusia dalam menanggapi efek perubahan iklim, yang dapat
merugikan. Diharapkan keberhasilan adaptasi dengan memperkuat strategi yang
ada dapat mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim. Antisipasi dan
adaptasi terhadap dampak tersebut sangat penting untuk memastikan
pengurangan besarnya konsekuensi perubahan iklim.
Secara khusus, bidang transportasi udara juga akan terkena dampak dari
naiknya suhu permukaan, berubahnya curah hujan, bertambahnya kejadian iklim
ekstrim serta naiknya muka laut. Kejadian tersebut pasti akan berpengaruh pada
terganggunya jadwal penerbangan, peningkatan keamanan penerbangan,

2
terganggunya navigasi, tingkat kenyamanan bandara, sampai pada rusaknya
infrastruktur bandara. Buku ini akan berfokus pada berbagai strategi atau upaya
adaptasi yang mungkin dapat dilakukan dari bidang transportasi udara dengan
mempertimbangkan kapasitas adaptasi yang ada. Mengingat penyusunan strategi
adaptasi juga terkait erat dengan strategi mitigasi, maka ulasan khusus tentang
mitigasi juga akan diuraikan tersendiri.

1.2 Aspek Ilmiah Perubahan Iklim


Banyak bukti secara ilmiah bahwa perubahan iklim disebabkan oleh apa yang
dikenal sebagai pemanasan global (global warming) yang merupakan akibat
terjadinya efek rumah kaca pada atmosfer kita. Efek rumah kaca terjadi akibat
adanya gas-gas rumah kaca (GRK) yang memerangkap panas radiasi matahari yang
dipantulkan kembali ke angkasa oleh permukaan bumi seperti diilustrasikan dalam
Gambar 1.1. Pada dasarnya GRK ini dapat bersumber dari alam itu sendiri
(naturally) maupun dari aktivitas manusia (anthropogenic). Namun berbagai data
pengamatan dan pemodelan yang ada menunjukkan bahwa emisi GRK dari
aktivitas manusialah yang terus meningkat konsentrasinya di atmosfer.
Perubahan iklim dicirikan adanya beberapa fenomena seperti berubahnya nilai
rata-rata atau median dan keragaman unsur iklim. Dalam kasus ini misal telah
terjadi kenaikan dari data suhu dalam jangka panjang dan ada kecenderungan naik
dari waktu ke waktu, maka dapat dikatakan telah terjadi perubahan iklim. Cara lain
dalam pengamatan suhu ini juga dapat dilihat dari fenomena hilangnya lapisan es
di wilayah kutub. Selain suhu udara yang meningkat, ada dua indikator lain dari
perubahan iklim yakni perubahan pola curah hujan dan kenaikan paras muka air
laut.
Perubahan pola curah hujan ditandai dengan terlambatnya awal musim hujan
dan akhir musim hujan yang terjadi lebih cepat. Musim hujan menjadi lebih singkat
namun memiliki intensitas curah hujan yang tinggi. Perubahan pola curah hujan
semacam ini sudah terasa di pantai utara Jawa. Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika (BMKG) melaporkan ada beberapa wilayah yang musim hujannya lebih
lambat dan ada yang justru maju. Sedangkan indikator kenaikan paras muka laut
sampai saat ini masih ada perdebatan di kalangan para ahli perubahan iklim.
Memang sulit disimpulkan bahwa perubahan iklim merupakan penyebab satu-

3
satunya kenaikan muka laut. Berdasarkan hasil pengamatan, peningkatan paras
muka air laut akibat meningkatnya suhu adalah sekitar 1 mm/tahun di dekade
terakhir ini. Studi yang didasarkan pada pengamatan dan pemodelan hilangnya
massa glasier dan tutupan es menunjukkan kontribusinya terhadap naiknya mula
laut rata-rata 0,2 sampai 0,4 mm/tahun selama abad ke 20. IPCC (2007)
menyatakan bahwa sejak tahun 1961 sampai 1993, laut dunia telah mengalami
kenaikan dengan laju rata-rata 1,8 mm/tahun.
Saat ini telah tercapai kesepakatan oleh banyak ilmuwan dari berbagai negara,
bahwa efek rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim global adalah emisi
gas rumah kaca (GRK) yang berasal baik dari alam maupun kegiatan manusia
(anthropogenic). Adapun GRK yang disepakati hingga 2012 ada 6 (enam) jenis
yakni karbon dioksida (CO2), dinitroksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksafluorida
(SF6), perfluorkarbon (PFC5), dan hidrofluorokarbon (HFC5). Berdasar data yang
terangkum dalam Fourth Annual Report IPCC tahun 2007, keseluruhan GRK terus
mengalami peningkatan konsentrasi di atmosfer.

Gambar 1.1 Proses terjadinya Efek Rumah Kaca

Peningkatan konsentrasi GRK ini diikuti pula meningkatnya suhu atmosfer


bumi. Hasil kajian panel IPCC (2007) menunjukkan bahwa 11 dari 12 tahun
terpanas sejak tahun 1850 terjadi dalam kurun waktu 12 tahun terakhir. Kenaikan

4
temperatur total dari tahun 1850-1899 sampai dengan 2001-2005 adalah 0,760C.
Muka air laut rata-rata global telah meningkat dengan laju 1,8 mm per tahun. Jika
pada awalnya banyak ahli iklim yang skeptis terhadap laporan IPCC ini, namun kini
justru para ahli menjadi khawatir akan laju pemanasan global yang tidak terkendali
ini. Sejumlah bukti kuantitatif juga makin mempertegas andilnya GRK sebagai
biang pemanasan global. Kita simak sebagian data dari Working Group I to Fourth
Assessment Report of the IPCC (2007) berikut.

Gambar 1.2 Tren peningkatan suhu atmosfer (atas) identik dengan


tren kenaikan emisi CO2 (bawah)

Emisi gas karbon dioksida (CO2) – sebagai GRK terbesar secara persentase –
akibat aktivitas manusia terus meningkat dari tingkatan yang kurang signifikan
pada dua abad lalu hingga mencapai lebih dari 25 Milyar Ton di seluruh dunia saat
ini. Emisi GRK non-CO2 (methane, nitrous oxides dan fluorocarbon refrigerants) juga
terus meningkat mencapai 30 Milyar Ton di tahun 2004 lalu (CDIAC USA, 2004).
Jumlah GRK di atmosfer ini terbilang meningkat tajam jika dibandingkan dengan
level di masa pra-revolusi industri. Konsentrasi CO2 di atmosfer meningkat dari pra-

5
industri di 280 ppm menjadi 379 ppm tahun 2005. Laju peningkatan konsentrasi
CO2 selama masa 10 tahun (1995 – 2005) rata-rata 1,9 ppm/tahun.
Konsentrasi global metana (CH4) di atmosfer pada pra-industri sebesar 715 ppb
menjadi sekitar 1732 ppb di awal tahun 1900-an dan 1774 ppb di tahun 2005.
Konsentrasi CH4 di atmosfer pada 2005 jauh melebihi dari konsentrasi di alam pada
650.000 tahun yang lalu (320 sampai 790 ppb) sebagaimana terdeteksi dari inti es
(ice core). Sumber-sumber emisi CH4 dari aktivitas manusia antara lain dari
pertanian sawah yang tergenang air, peternakan (kotoran hewan), tempat
pembuangan akhir sampah maupun dari beberapa jenis industri.
Konsentrasi N2O global di atmosfer sebesar 270 ppb pada masa pra-indsutri
menjadi sekitar 319 ppb di tahun 2005. Pola peningkatannya relatif konstan sejak
1980. Lebih dari sepertiga emisi global N2O berasal dari aktivitas manusia. Sumber
emisi N2O ini antara lain dari perubahan fungsi lahan, deforestasi, pertanian,
penggunaan energi fosil untuk pembangkit listrik, transportasi maupun industri,
selain itu bidang limbah juga mulai diperhitungkan sebagai sumber emisi N2O.
Dalam kondisi normal radiasi matahari akan sampai ke bumi dan diserap bumi
serta menghangatkannya. Selanjutnya radiasi tadi oleh bumi diubah menjadi
gelombang panjang yang dipancarkan ke atmosfer. Namun dengan tingginya
konsentrasi GRK di atmosfer, maka gelombang panjang tadi malah balik
dipantulkan lagi ke bumi, sehingga permukaan bumi semakin bertambah hangat.
Inilah yang disebut efek rumah kaca. Sebagian besar ilmuwan percaya bahwa suhu
rata-rata global pada permukaan bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ±
0.32 °F) selama seratus tahun terakhir.
IPCC menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata
global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh
meningkatnya konsentrasi GRK akibat aktivitas manusia" melalui efek rumah kaca.
Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan
akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan
tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa
kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.

6
1.3 Dampak Perubahan Iklim
Bumi kita saat ini tengah dihadapkan pada tiga eksperimen besar dan masif
yang sebenarnya tidak terencanakan. Dalam eksperimen ini kita tidak dapat
meramalkan hasilnya. Pertama adalah eksperimen geofisik, kedua eksperimen
biologi dan ketiga eksperimen politik (Hempel, L.C, 1995). Pada eksperimen
geofisik, sedang diuji batas kemampuan atmosfer dalam menampung gas polutan,
peningkatan konsentrasi GRK penyebab pemanasan global serta menipisnya
lapisan ozon akibat penggunaan ODS (ozone-depleting substances), diantaranya
CFCs, HCFCs, halons, methyl bromide, carbon tetrachloride, dan methyl chloroform.
Pada eksperimen biologi, sedang diuji ‘daya lenting’ (resilience) spesies bumi
terhadap ancaman bertambahnya populasi manusia yang terus menekan jumlah
keanekaragaman hayati (biodiversity). Apa yang terjadi ke depan dengan spesies
yang terus punah? Sungguh tidak teramalkan.
Di sisi lain manusia yang dikaruniai kemampuan dalam mengelola bumi juga
sedang bereksperimen di bidang sosial politik. Eksperimen politik akan menguji
demokrasi dan kedaulatan nasional, dengan implikasi nyata pada kualitas
lingkungan masa depan. Melalui uji politik ini akan nampak apakah sains dan
politik dapat bersatu dalam pengelolaan lintas negara serta dalam situasi
technoscientific yang komplek dan terus meningkat. Pemanasan global yang
menyebabkan perubahan iklim merupakan fenomena multidimensi sebagai
peristiwa geofisik yang dipicu aktivitas ekonomi yang membawa dampak pada
kehidupan (biologis) serta upaya penanganannya perlu peran dan kemauan politik.
Laporan dari Stern Review (2006) memperingatkan kita bahwa jika pada akhir
abad ini tidak ada upaya serius untuk mengendalikan emisi GRK, maka suhu
atmosfer diprediksi mengalami kenaikan 6°C, padahal dampak suhu naik 3°C saja
berakibat pada turunnya hasil panen di Afrika dan Timur Tengah sebesar 35%. Ini
artinya sekitar 550 juta orang terancam kelaparan. Jika kenaikan suhu
diskenariokan naik 2°C, maka diramalkan 40% spesies dunia akan punah, 4 miliar
orang menderita kekurangan air. Di bagian lain 200 juta orang akan terkena
kelaparan dan 60 juta orang Afrika bakal terpapar malaria.
Perubahan iklim akan membawa dampak pada berbagai bidang pembangunan.
Dampak paling serius adalah pada bidang ketahanan pangan akibat berubahnya
atau bergesernya waktu tanam dan waktu panen, meningkatnya serangan hama

7
baru serta kelangkaan dan berlebihnya air yang menyebabkan genangan (banjir).
Sedangkan seperti diketahui bahwa Indonesia masih sangat bergantung pada
bidang pertanian. Faktor utama yang terkait dengan perubahan iklim yang
berdampak terhadap bidang pertanian adalah (KemenLH-RI, 2007); (a) perubahan
pola hujan dan iklim ekstrem yang mengakibatkan banjir dan kekeringan, (b)
peningkatan suhu udara yang menyebabkan naiknya respirasi tanaman, (c)
meningkatnya pola serangan hama dan penyakit tanaman dan (d) naiknya paras
muka air laut yang menekan luasan lahan pertanian di pesisir.
Selain bidang pangan, perubahan iklim juga berdampak pada kesehatan
manusia, perikanan dan pesisir, infrastruktur dan juga transportasi. Berdasarkan
data kejadian bencana yang dicatat dalam OFDA/CRED International Disaster
Database (2007), sepuluh kejadian bencana terbesar di Indonesia yang terjadi
dalam periode waktu antara 1907 dan 2007 terjadi setelah tahun 1990-an dan
sebagian besar merupakan bencana yang terkait dengan iklim, khususnya banjir,
kekeringan, kebakaran hutan dan ledakan penyakit. Di Indonesia, dalam periode
2003-2005 saja, terjadi 1.429 kejadian bencana. Sekitar 53,3% adalah bencana
terkait dengan hidro-meteorologi (Bappenas dan Bakornas PB, 2006). Banjir adalah
bencana yang paling sering terjadi (34%), diikuti oleh longsor (16%). Laporan
United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs
mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan salah satu Negara yang rentan
terhadap bencana terkait dengan iklim.

8
BAB II KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

2.1 Aksi Global Dalam Penanganan Perubahan Iklim


Pada dasarnya perubahan iklim adalah masalah global, bukan masalah
negara-negara tertentu saja. Oleh karenanya penanggulangannya pun harus
melibatkan semua negara. Kebijakan penanggulangan dampak perubahan iklim
yang disusun dan diimplementasikan juga bersifat global. Lebih rinci kebijakan ini
diturunkan ke tingkat negara yang mengatur peran pemangku kepentingan di
setiap bidang.
Adalah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)
yang disusun pada bulan Juni 1992 merupakan aksi gobal pertama. Sasaran dari
kesepakatan yang disusun pada Earth Summit di Rio De Janeiro ini adalah "stabilize
greenhouse gas concentrations in the atmosphere at a level that would prevent
dangerous anthropogenic interference with the climate system”. UNFCCC pada
dasarnya adalah kesepakatan negara-negara dalam upaya menekan emisi gas
buang, walaupun belum semua negara di dunia sepakat.
Guna mencapai tujuan dari Konvensi tersebut, pada tahun 1997 seluruh
negara peratifikasi UNFCCC menyepakati ditetapkannya peraturan pelaksana
Konvensi dalam wujud Protokol Kyoto yang merupakan amandemen terhadap
UNFCCC yang menyepakati pengikatan kewajiban negara-negara maju untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca mereka. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
menyatakan: "Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan di mana negara-negara
industri maju akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif
sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan
adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa
Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%).
Protokol menyebutkan bahwa seluruh negara maju peratifikasi Konvensi
wajib menurunkan emisi GRK mereka baik sendiri ataupun bersama-sama sebesar
5% dari angka emisi di tahun 1990 dalam kurun waktu 2008 sampai dengan 2012
(pasal 3 ayat (1) Kyoto Protocol, 1997). Target penurunan emisi GRK ini dikenal
dengan istilah 1st Commitment Period of Kyoto Protocol. Lebih lanjut, di tahun
2012, target penurunan emisi GRK dalam Protokol Kyoto di amandemen, dimana

9
seluruh negara maju peratifikasi Konvensi wajib menurunkan emisi GRK mereka
baik sendiri ataupun bersama-sama paling sedikit sebesar 18% dari angka emisi di
tahun 1990 dalam kurun waktu 2013 sampai dengan 2020 (UNFCCC, 2012). Target
penurunan emisi GRK ini dikenal dengan istilah 2nd Commitment Period of Kyoto
Protocol.
Target penurunan emisi GRK yang diatur dalam Protokol Kyoto ditujukan
kepada tujuh senyawa GRK utama yaitu: Karbondioksida (CO2), Metana (CH4),
Hidrofluorokarbon (HFCs), Perfluorokarbon (PFCs), Dinitrooksida (N2O), Sulfur
heksafluorida (SF6), dan Nitrogen Trifluorida (NF3) (UNFCCC, 2012). Hingga 3
Desember 2007, 174 negara telah meratifikasi protokol tersebut, termasuk
Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia dan 25 negara anggota Uni
Eropa, serta Rumania dan Bulgaria.
Rangkaian perundingan tentang kesepakatan penurunan emisi
diselenggarakan dalam Conference on Parties (COP) yang dimulai sejak COP-1 di
Berlin tahun 1995, COP-3 di Kyoto yang melahirkan Kyoto Protokol, COP-13 di Bali
(2007) yang melahirkan Bali Action Plan hingga COP-21 (2015) di Paris yang
melahirkan dokumen Intended Nationally Determine Contribution (INDC).
Selain itu masih pada tataran global, International Civil Aviation Organization
(ICAO), dalam pertemuan ke-37 tahun 2010 menyepakati pentingnya upaya
adaptasi pada transportasi udara, dimana dalam resolusinya meminta agar Dewan
ICAO bekerjasama dengan organisasi internasional dan industri terkait dalam
memonitor dan menyebarkan informasi mengenai potensi dampak perubahan
iklim terhadap penyelenggaraan penerbangan internasional dan infrastrukturnya
(ICAO, 2010). Hal ini menjadi penting bagi Indonesia, sebagai salah satu negara
anggota ICAO yang rentan terhadap dampak perubahan iklim untuk dapat berbagi
dan memanfaatkan informasi terkait dengan upaya adaptasi perubahan iklim yang
telah dilakukan negara anggota ICAO lainnya.

2.2 Kebijakan Tingkat Nasional


Pada tataran nasional serangkaian kebijakan dan regulasi terkait perubahan
iklim antara lain dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994
tentang Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim menunjukkan
kesungguhan Pemerintah RI dalam merespon UNFCCC pada dua tahun

10
sebelumnya. Kemudian tahun 1999 Pemerintah RI juga menerbitkan dua
Peraturan Pemerintah (PP) yakni PP nomor 27 tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan dan PP nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara.
Pada 2009 pula Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (UU MKG). Dalam UU MKG
tersebut diatur mengenai perubahan iklim dimana setiap instansi pemerintah
sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim. Dengan demikian, aktivitas mitigasi dan adaptasi merupakan
suatu upaya yang bersifat wajib untuk dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Pada
tahun yang sama, telah diterbitkan pula Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang juga
mengatur serangkaian kebijakan terkait perubahan iklim yang harus dilakukan oleh
pemerintah untuk selanjutnya diarus-utamakan ke dalam berbagai kebijakan
pembangunan nasional.
Pada tahun 2010, Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan mengeluarkan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Tata Cara
Pengurangan Emisi Dari Deforestasi Dan Degradasi Hutan (REDD) yang bertujuan
untuk menekan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan dalam rangka
mencapai pengelolaan hutan berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sehingga dapat menekan pelepasan emisi GRK dari bidang Kehutanan.
Pada tahun 2011, Pemerintah memperkuat pelaksanaan REDD ini dengan
menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Penundaan
Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan
Lahan Gambut, guna menyeimbangkan dan menselaraskan pembangunan
ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan serta upaya penurunan Emisi GRK yang
dilakukan melalui penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
Selanjutnya pada tahun 2011 Pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan
peraturan tentang lingkungan dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres), yakni
Keppres Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca (RAN-GRK); dan Keppres Nomor 71 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional. Keduanya ditujukan
sebagai dasar pelaksanaan upaya mitigasi perubahan iklim nasional sehingga

11
diharapkan Indonesia sebagai negara peratifikasi UNFCCC dapat berkontribusi
menurunkan emisi GRK sebesar 26% dengan biaya sendiri dan tambahan
penurunan emisi GRK sebesar 15% dengan bantuan asing dibandingkan dengan
kondisi emisi GRK nasional tanpa intervensi kebijakan mitigasi perubahan iklim
pada tahun 2020 (business as usual/BAU).
Selanjutnya, di tahun 2013, Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan
Hidup menerbitkan Peraturan Menteri LH Nomor 15 Tahun 2013 Tentang
Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim. Peraturan
Menteri tersebut ditujukan untuk menjamin capaian aksi mitigasi perubahan iklim
yang dilakukan dapat terlaporkan secara akurat, transparan dan dipertanggung-
jawabkan sesuai dengan metode pengukuran, pelaporan dan verifikasi yang dapat
diterima di tingkat nasional dan internasional.
Indonesia sendiri melalui RPJMN 2015-2019 menargetkan angka penurunan
emisi GRK sebesar 26% dengan pembiayaan sendiri, serta 41% jika mendapat
bantuan asing di than 2020. Sedangkan dalam COP-21 Paris, melalui INDC
Indonesia menetapkan target penurunan emisi karbon sebesar 29% serta 41%
pada tahun 2030.

2.3 Rencana Aksi Nasional Penanganan Perubahan Iklim


Sebagai hasil yang tangible dari KTT Bumi tahun 1992 adalah adanya
kesepakatan untuk menurunkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang
dikenal sebagai Protokol Kyoto. Walaupun Indonesia tidak termasuk yang dikenai
kewajiban menurunkan emisi, Desember 2004, Indonesia meratifikasi Protokol
Kyoto melalui UU no. 17 tahun 2004. Sebagai langkah awal dalam memberi arah
pembangunan yang berkelanjutan serta bervisi rendah emisi, maka Pemerintah RI
pada tahun 2007 melalui Kementerian Negara Lingkungan Hidup (kala itu)
meluncurkan dokumen Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim
(RAN-MAPI). Dokumen ini merupakan instrumen kebijakan yang melengkapi
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009.
RAN MAPI sudah berisi tentang rencana aksi baik mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim dari beberapa bidang walau belum terlalu detail targetnya. Upaya
mitigasi diuraikan seperti untuk bidang energi, perubahan lahan dan perubahan
lahan kehutanan (LULUCF), kelautan dan perikanan. Sedangkan upaya rencana

12
adaptasi meliputi bidang sumberdaya air, pertanian, kelautan dan perikanan,
infrastruktur, kesehatan dan kehutanan dan keanekaragaman hayati. RAN MAPI
bisa disebut sebagai dokumen tonggak awal kepedulian Pemerintah RI dalam hal
menyusun rencana dalam merespon perubahan iklim. Dalam perkembangannya
karena Presiden RI telah menetapkan angka penurunan emisi sebesar 26% dan
41% pada 2020, maka dasar inilah yang akan menjadi kebijakan utama pemerintah
dalam perubahan iklim.

BALI
• APBN
ACTION
PLAN
INDONESIA MITIGASI • Kerjasama
CLIMATE RAN-GRK bilateral/
CHANGE RAD –GRK multilateral
SECTORAL RAN-API
Komitmen ROADMAP ADAPTASI Inisiatif swasta
Presiden RI (ICCSR)
menurunkan
emisi GRK 26% ICCTF
dan 41% (G20,
Sept 2009)

Gambar 2.1 Alur Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia

Melalui Perpres no.61 tahun 2011 maka ditetapkanlah Rencana Aksi Nasional
penurunan emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Di dalamnya sudah terkandung pula
substansi untuk Rencana Aksi Daerah (RAD-GRK). Dengan demikian RAN-GRK dan
RAD-GRK menjadi semacam master plan bagi pembangunan berbasis perubahan
iklim di Indonesia. Dalam mencapai target yang ditetapkan dalam RAN GRK, tiap
bidang dapat membebankan anggarannya melalui APBN atau melakukan
kerjasama bilateral/multilateral, inisiatif swasta atau melalui Indonesia Climate
Change Trust Fund (ICCTF) bagi bidang pertanian. Secara diagramatis, Gambar 2.1
memperlihatkan pola kebijakan dalam penanganan perubahan iklim di Indonesia
yang bertumpu pada roadmap sektoral baik mitigasi maupun adaptasi. Namun
yang tidak kalah penting sebelum melakukan mitigasi dalam upaya pengurangan
emisi, Indonesia juga telah melakukan inventori emisi GRK pada beberapa bidang.

2.4 Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca Nasional


Salah satu faktor penting dalam negosiasi internasional terkait upaya
penurunan emisi GRK adalah keberadaan data emisi GRK tiap negara baik di masa

13
lalu, masa kini dan perkiraan masa datang. Untuk itu inventarisasi emisi GRK secara
nasional menjadi penting setidaknya untuk dapat diketahui posisi kita dalam daftar
emitor di dunia serta mempersiapkan target penurunan sesuai kemampuan. Data
emisi juga penting sebagai counter bagi kemungkinan tuduhan terkait urutan
negara pengemisi besar khususnya dari lahan gambut misalnya.
UNFCCC mewajibkan negara anggota untuk men-submit National
Communication (Natcomm) yang berisi besarnya emisi GRK dari berbagai sektor di
tiap negara. Pada tahun 1999, Indonesia pernah menyampaikan data emisi melalui
First National Communication. Seiring dengan perkembangan pembangunan dan
kemajuan perundingan iklim, maka dimulailah upaya meningkatkan kualitas data
emisi yang diperbaharui dengan Second National Communication (SNC). Sesuai
panduan UNFCCC, dokumen SNC merupakan sarana bagi negara untuk
menyampaikan informasi tentang emisi GRK serta berbagai potensi bagi
pengurangannya. Penyusunan SNC didasarkan pada The 2006 IPCC Reporting
Guideline.

Tabel 2.1 Ringkasan Emisi GRK Indonesia Tahun 2000 (dalam Gg)

CO2 CO2
Source/Sink CH4 N2O CO2e
(Emisi) (Diserap)
Energi 305,983 1,221 6 333,540
Industri 31,938 104 0 34,197
Pertanian 2,178 2,419 72 75,419
Perubahan Lahan 1,060,766 411,593 3 0 649,254
dan Hutan
Kebakaran Gambut 172,000 172,000
Limbah 1,662 7,020 8,05 151,578
TOTAL 1,415,988
Sumber : MoE, 2009

Dari data di SNC, total emisi GRK Indonesia tahun 2000 untuk CO2, CH4 dan N2O
diluar sektor LULUCF mencapai 594,738 Gg CO2e. Dengan memasukkan emisi dari
LULUCF maka terjadi kenaikan total emisi yang signifikan yakni menjadi 1.415.988
Gg CO2e, dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan Tabel 2.2.

14
Tabel 2.2 Ringkasan Emisi GRK Seluruh Sektor Tahun 2000-2005 (dalam Gg)
Sektor 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Energi 333,540 348,331 354,246 364,925 384,668 395,990
Industri 34,197 45,545 33,076 35,073 36,242 37,036
Pertanian 75,419 77,501 77,030 79,829 77,863 80,179
Limbah 151,578 153,299 154,334 154,874 155,390 155,609
Perubahan
Lahan dan
649,254 560,546 1,287,495 345,489 617,280 N.E.
Hutan
(LULUCF)
Kebakaran
172,000 194,000 678,000 246,000 440,000 451,000
Gambut
TOTAL + 1,451,98 1,119,81
1,379,222 2,584,181 1,226,191 1,711,443
LULUCF 8 4 + LUCF
TOTAL Tanpa 668,814
594,734 624,676 618,686 634,701 654,162
LULUCF - LUCF
Sumber : MoE, 2009

Keseluruhan emisi GRK tersebut (dalam CO2 equivalen), terdiri atas gas CO2
sebesar 1.162.935 Gg (80% dari total GRK), gas CH4 sebesar 226.104 Gg (15%) dan
N2O sebesar 26.948 Gg (2%). Emisi GRK tersebut dalam urutan tiga besar berasal
dari sektor kehutanan dan perubahan lahan diikuti energi dan emisi dari kebakaran
hutan. Total emisi GRK yang dilaporkan SNC di bawah angka yang disampaikan
lembaga PEACE tahun 2007, World Bank maupun studi Department for
International Development (DFID) Inggris, yang menempatkan Indonesia sebagai
negara pengemisi no.3 di dunia. Dalam SNC juga diuraikan lebih rinci emisi dari
tiap sektor seperti pembangkit dan pengguna energi, proses di industri, pertanian,
penggunaan lahan, perubahan guna lahan dan kehutanan (Land Use, Land-Use
Change and Forestry/LULUCF) serta limbah.
Sebagai hasil studi, SNC tidak saja menyampaikan hasil inventarisasi emisi GRK
tetapi juga berbagai data tentang dampak perubahan iklim seperti ketahanan
pangan, penyakit, energi serta dampak sosial ekonomi serta berbagai upaya yang
harus dilakukan melalui mitigasi dan adaptasi tiap sektor. Hal terpenting dalam
kaitan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim ini adalah bagaimana
mengintegrasikan setiap rencana tersebut ke dalam rencana besar pembangunan
nasional melalui sebuah roadmap.

15
2.5 Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim
Salah satu upaya dalam penanggulangan perubahan iklim nasional selain
menetapkan RAN-GRK, Pemerintah RI juga mengeluarkan Rencana Aksi Nasional
Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API). Maksud dari penyusunan RAN-API ini adalah
menghasilkan sebuah rencana aksi nasional untuk beradaptasi terhadap dampak
perubahan iklim, yang terkoordinasi secara terpadu dengan semua pemangku
kepentingan yang terlibat, baik dari pemerintah, organisasi kemasyarakatan,
masyarakat, swasta, dan lain lain. Tujuan utama dari adaptasi perubahan iklim
adalah terselenggaranya sistem pembangunan yang berkelanjutan dan memiliki
ketahanan (resiliensi) tinggi terhadap dampak perubahan iklim. Tujuan utama
tersebut akan dicapai dengan membangun ketahanan ekonomi, ketahanan
tatanan kehidupan, baik secara fisik, maupun ekonomi dan sosial, dan menjaga
ketahanan ekosistem serta ketahanan wilayah khusus seperti pulau-pulau kecil
untuk mendukung sistem kehidupan masyarakat yang tahan terhadap dampak
perubahan iklim.
Dengan demikian pengertian adaptasi perubahan iklim dapat dikatakan
sebagai upaya untuk meningkatkan ketahanan (resiliensi) suatu sistem terhadap
dampak perubahan iklim. Sehingga adaptasi perubahan iklim di Indonesia
diarahkan sebagai:
1. Upaya penyesuaian dalam bentuk strategi, kebijakan,
pengelolaan/manajemen, teknologi dan sikap agar dampak (negatif)
perubahan iklim dapat dikurangi seminimal mungkin, dan bahkan jika
memungkinkan dapat memanfaatkan dan memaksimalkan dampak
positifnya.
2. Upaya mengurangi dampak (akibat) yang disebabkan oleh perubahan
iklim, baik langsung maupun tidak langsung, baik kontinu maupun
diskontinu dan permanen serta dampak menurut tingkatnya.
Dengan memperhatikan sektor-sektor dan aspek pembangunan yang terkena
dampak perubahan iklim dapat dikatakan bahwa untuk memastikan pencapaian
sasaran pembangunan nasional dengan adanya dampak perubahan iklim
diperlukan ketahanan di bidang ekonomi, sosial dan lingkungan.
Selain itu, mengingat bahwa negara Indonesia merupakan negara kepulauan
yang rentan terhadap perubahan iklim diperlukan pula ketahanan di wilayah

16
khusus seperti pulau-pulau kecil, pesisir dan perkotaan. Untuk itu, dalam kaitan ini,
Sasaran Strategis RAN-API diarahkan untuk: (i) membangun ketahanan ekonomi,
(ii) membangun tatanan kehidupan (sosial) yang tangguh terhadap dampak
perubahan iklim (ketahanan sistem kehidupan), (iii) menjaga keberlanjutan
layanan jasa lingkungan ekosistem (ketahanan ekosistem) dan (iv) penguatan
ketahanan wilayah khusus di perkotaan, pesisir dan pulau-pulau kecil. Untuk
mendukung penguatan-penguatan di berbagai bidang tersebut, dibutuhkan sistem
pendukung penguatan ketahanan nasional menuju sistem pembangunan yang
berkelanjutan dan tangguh terhadap perubahan iklim.

17
BAB III BIDANG TRANSPORTASI UDARA DAN
PERUBAHAN IKLIM

3.1 Cuaca dan Dunia Penerbangan


I Dunia transportasi udara (penerbangan) sangat berhubungan erat dengan
keadaan cuaca. Dalam bahasan dunia penerbangan selanjutnya akan sangat akrab
dengan terminologi cuaca penerbangan. Cuaca dalam penerbangan adalah cuaca
yang diperuntukan khusus untuk dunia penerbangan, baik untuk saat lepas landas,
mendarat maupun selama penerbangan. Setiap akan memulai suatu penerbangan,
baik untuk rute yang panjang ataupun untuk rute yang pendek, pilot (penerbang)
akan mengadakan evaluasi tentang keadaan cuaca yang diperoleh dari Badan
Meteorologi setempat, bandar udara pemberangkatan (departure station)
sepanjang rute yang dilalui ataupun bandara tujuan penerbangan (destination
station) (Buck, 2013).
Adapun informasi cuaca yang diperoleh di bandar udara pemberangkatan,
selama perjalanan dan mendarat meliputi beberapa unsur cuaca, antara lain :
1. Angin
Unsur arah angin ini diperlukan untuk menentukan dari mana dan kemana
pesawat tersebut lepas landas maupun mendarat dengan
memperhitungkan kecepatan angin yang sedang terjadi, sedangkan selama
perjalanan dimanfaatkan untuk mempertahankan posisi pesawat saat di
udara.
2. Suhu
Suhu udara dalam penerbangan sangat erat kaitannya dengan pemuaian
udara dimana apabila suhu tinggi udara memuai, begitu pula sebaliknya
3. Tekanan
Tekanan merupakan salah satu unsur cuaca terpenting yang dibutuhkan
dalam penerbangan, tekanan tidak lepas kaitannya dengan suhu, dimana
tekanan berbanding terbalik dengan suhu. Hal ini jelas apaila suhu tinggi
maka tekanan rendah dan sebaliknya, apabila suhu rendah maka tekanan
tinggi

18
4. Jarak Pandang
Untuk pesawat yang tidak otomatis, informasi jarak pandang sangat
diperlukan dalam hal pendaratan, baik jarak pandang vertikal maupun
horizontal.
5. Jenis Awan
Ada bermacam-macam jenis awan berdasarkan level ketinggian, yaitu
awan rendah, menengah, dan tinggi. Dalam penerbangan awan yang harus
dilaporkan adalah jenis awan rendah yaitu awan Cumulonimbus(Cb) dan
awan Towering Cumulus (Tcu), namun pada umumnya awan Cb.
Informasi cuaca sangat penting bagi penerbang, dan ini termasuk bagian dari
informasi aeronautika. Di Indonesia untuk menjamin arus informasi aeronautika
untuk menunjang keselamatan, keteraturan, dan efisiensi navigasi penerbangan
diatur melalui Keputusan Menteri Perhubungan no.22 tahun 2009 tentang
peraturan keselamatan penerbangan sipil (PKPS) bagian 175 tentang pelayanan
informasi aeronautika.
Salah satu arus informasi yang penting adalah NOTAM (Notice to Airmen).
Mengacu pada KM 22 tahun 2009, NOTAM adalah pemberitahuan yang
disebarluaskan melalui peralatan telekomunikasi yang berisi informasi mengenai
penetapan, kondisi atau perubahan di setiap fasilitas aeronautika, pelayanan,
prosedur atau kondisi berbahaya, berjangka waktu pendek dan bersifat penting
untuk diketahui oleh personel operasi penerbangan. Tujuan penerbitan NOTAM
adalah untuk mencapai tujuan informasi penerbangan dalam upaya menjamin
kelancaran operasional, keamanan, keselamatan penerbangan, dan kegiatan
terkait lainnya.
Salah satu bentuk laporan cuaca penerbangan dikenal dengan istilah METAR,
ini sejenis laporan awal yang digunakan para pilot dalam briefing cuaca sebelum
terbang. Ahli meteorologi akan menggunakan sekumpulan METAR untuk
membantu dalam meramalkan cuaca penerbangan (WMO, 2013). Substansi dalam
METAR sudah baku untuk seluruh penerbangan sipil di dunia sebagaimana
distandarkan oleh organisasi penerbangan sipil dunia (ICAO). Secara sederhana
METAR adalah laporan cuaca rutin untuk penerbangan yang dibuat setiap jam atau
setengah jam sekali. Sementara Speci adalah nama sandi laporan cuaca khusus

19
terpilih untuk penerbangan yang dilaporkan setiap saat diantara interval waktu
pelaporan cuaca rutin, bila terjadi keadaan cuaca dengan kriteria tertentu.
Dalam dunia meteorologi penerbangan juga dikenal suatu format pelaporan
informasi peramalan cuaca yakni Terminal Aerodrome Forecast (TAF). TAF secara
umum dikeluarkan setiap enam jam pada berbagai penerbangan sipil. TAF
didasarkan pada peramalan oleh ahli meteorologi dari daratan (ground based). TAF
merupakan pelengkap yang juga menggunakan kode yang sama dengan METAR.
Dalam kasus tertentu, informasi penerbangan dapat berupa informasi spesifik
seperti masalah abu vulkanik yang berpotensi mengganggu penerbangan.
Informasi ini dapat dikirim antar negara yang dikenal dengan Significant
Meteorological Information (SIGMET). SIGMET yang dikeluarkan otoritas
meteorologi dapat mempengaruhi rute yang akan dilalui pesawat.
Sistem informasi cuaca bagi dunia penerbangan sangat penting, pilot dalam
menerbangkan pesawat di Indonesia maupun di negara lainnya pastinya
membutuhkan informasi yang lengkap serta akurat mengenai cuaca
penerbangan, namun dugaan kuat informasi cuaca dalam bentuk real time belum
sesuai harapan. Padahal informasi cuaca dalam dunia penerbangan memiliki
peranan yang besar. Informasi cuaca berfungsi salah satunya untuk peningkatan
efesiensi dan efektivitas penerbangan. Selain itu, informasi cuaca menjadi bahan
pertimbangan bagi pilot dalam menentukan potensi-potensi yang membahayakan,
baik saat take-off, cruising dan landing. Cuaca buruk dapat menyebabkan situasi
dan dampak buruk dalam penerbangan seperti terjadinya turbulensi, icing dan
kilat.
Indonesia termasuk negara berisiko tinggi gangguan cuaca pada penerbangan,
namun jumlah radar cuaca belum ideal untuk menjangkau seluruh wilayah. Saat ini
baru terdapat 40 radar cuaca, dari yang seharusnya 60 agar menjangkau seluruh
wilayah (Kompas, 27 September 2016). Untuk ke depan, sudah seharusnya
Indonesia dapat menerapkan system wide information management (SWIM) yang
mampu menjamin informasi terkait penerbangan yang tepat serta kualitas bagus.

3.2 Tantangan Bidang Transportasi Udara Terkait Perubahan Iklim


Perubahan iklim global yang telah berlangsung secara perlahan namun pasti
telah memberi dampak pada semua sektor kehidupan manusia. Perubahan iklim

20
pada dasarnya mempengaruhi semua sisi kehidupan makhluk hidup, namun
dampaknya dapat berbeda pada setiap komponen. Kenaikan permukaan air laut
misalnya, lebih berdampak pada infrastruktur dibandingkan dengan komponen
lain. Bidang transportasi termasuk di dalamnya transportasi udara (penerbangan)
juga tak luput dari dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim ini.
Pembahasan dampak perubahan iklim pada sektor transportasi udara dibedakan
dampaknya atas sarana, prasarana dan operasional penerbangan.

3.2.1 Dampak Pada Sarana Penerbangan


Operasi pesawat terbang terdampak langsung oleh terjadinya perubahan
iklim terutama berupa cuaca ekstrim yang meningkat baik kualitas maupun
kuantitasnya. Cuaca ekstrim tersebut dapat berupa temperatur udara yang tinggi,
temperatur udara yang ekstrim dingin, badai besar, angin kencang, hujan lebat,
dan peningkatan kelembaban udara, yang secara langsung mengganggu
penerbangan.
Ryan Schuchard dan Tiffany Finley (2011) dalam laporan penelitian bertajuk
Adapting to Climate Change: A Guide to the Transportation Industry melaporkan
bahwa beberapa maskapai penerbangan besar seperti Air Canada dan Cathay
Pacific berkesimpulan bahwa perubahan cuaca telah berdampak pada peningkatan
risiko kerusakan atau tak berfungsinya (malfunction) peralatan pesawat terbang
yang sensitif terhadap cuaca. Berikut ini adalah beberapa peristiwa alam terkait
perubahan iklim yang berdampak pada sarana penerbangan yakni pesawat udara.

a. Temperatur Udara yang semakin tinggi


Gelombang panas yang kerap melanda Eropa dan Amerika saat musim panas
sangat berdampak pada pesawat terbang sehingga mengganggu penerbangan.
Berikut adalah beberapa kasus terkait dampak kenaikan temperatur pada pesawat
udara di negara lain. Gelombang panas yang melanda Amerika Serikat bagian barat
pada Juli 2013 telah memecahkan rekor suhu, memicu kebakaran hutan yang
mematikan di Arizona Tengah, dan bahkan menyebabkan pembatalan beberapa
penerbangan. Menurut The Telegraph, 18 penerbangan oleh US Airways dari
Phoenix dibatalkan pada hari itu, setelah suhu mencapai 119°F (48,33°C) karena
pesawat disertifikasi untuk lepas landas dalam suhu hingga 118°F (47,77°C).

21
Gambar 3.1 Cuaca sangat panas di Sky Harbor Airport, Arizona USA

Pakar penerbangan Patrick Smith, airline pilot, blogger, dan pengarang buku
Cockpit Confidential, menyatakan bahwa suhu udara yang sangat panas dapat
merusak komponen dalam pesawat. Pesawat terbangpun akan lebih sulit untuk
dapat lepas landas. Smith menjelaskan bahwa udara panas kurang padat. Hal ini
mempengaruhi output dari mesin pesawat (engine performance) serta
kemampuan aerodinamis, sehingga memperpanjang jarak landasan pacu/air strip
yang dibutuhkan untuk take-off dan landing, dan mengurangi kinerja pendakian
(climb) pesawat. Oleh karena itu jumlah penumpang dan kargo pesawat yang
diangkut harus dibatasi ketika suhu sangat tinggi.
Di Indonesia, walaupun tidak mempunyai 4 musim, namun temperatur udara
mempunyai kecenderungan semakin meningkat. Bagaimanapun juga tingginya
temperatur udara di Indonesia akan mempengaruhi kinerja mesin pesawat udara.
Hal ini nantinya akan lebih dipertimbangkan lagi pada saat pemilihan mesin
pesawat udara dan juga dalam pengembangan ataupun pembangunan bandara
khususnya landasan pacu. Hawthorne dan Olson (1960) menyimpulkan bahwa
efisiensi berbanding terbalik dengan temperatur udara sekeliling (ambient
temperature). Jika temperatur udara sekeliling naik maka efisiensi mesin turbin
akan turun.
Perubahan cuaca menjadi panas juga secara langsung dapat mempengaruhi
fisik dan sistem elektronik pesawat terbang. Peningkatan temperatur udara dapat
menurunkan umur komponen pesawat udara, lebih khusus lagi bagi komponen-
komponen elektronik yang sangat vital dalam operasi penerbangan. Oleh

22
karenanya dikemudian hari dalam mendisain pesawat udara harus juga diberikan
perhatian yang lebih pada pendinginan ruang penyimpanan komponen elektronik
seperti avionic, dan pendinginan untuk kabin penumpang.

Gambar 3.2 Contoh Kinerja Mesin Pesawat Udara

b. Temperatur yang ekstrim dingin


Selain meningkatnya temperatur udara secara umum, perubahan iklim juga
menyebabkan terjadinya penurunan suhu di wilayah tertentu secara ekstrim.
Winter yang sangat dingin dapat secara langsung mempengaruhi performa
pesawat yang sedang terbang. Cuaca yang sangat dingin mempercepat
pembentukan lapisan es di beberapa bagian pesawat seperti body, sayap maupun
ekor pesawat yang disamping pesawat menjadi semakin berat juga mempengaruhi
aerodinamika pesawat.
Temperatur ekstrim dingin dapat menimbulkan penumpukan es (icing) pada
bagian depan sayap pesawat (leading edge) yang sedang terbang sangat
berbahaya karena dapat mengurangi gaya angkat (lift), sekaligus menambah berat
(weight) dan menambah gaya hambat (drag).
Smith (2014) menyatakan bahkan lapisan seperempat inchi tebal es di
pesawat dapat mengganggu aliran udara (airflow) di atas dan di sekitar kontur
sayap (airfoil) yang dapat merusak gaya angkat (lift) pesawat. Selain itu
pembentukan es dapat terjadi pula pada bagian engine air-intake, yaitu bagian
masuknya udara luar pada mesin pesawat udara. Terjadinya es pada daerah ini

23
dapat menyumbat masuknya udara ke dalam mesin, sehingga dapat menyebabkan
matinya mesin pada saat terbang. Apabila terjadi kecenderungan pembentukan es
yang lebih tinggi, maka hal ini akan menjadi pertimbangan pada saat
pengembangan desain pesawat selanjutnya.

Gambar 3.3 Penumpukan es (icing) pada bagian sayap pesawat

Gambar 3.4 Pengaruh massa es (icing) pada performa pesawat

c. Peningkatan kelembaban udara


Kelembaban udara di Indonesia relatif lebih tinggi dari pada negara lain. Hal
ini karena intensitas dan kuantitas penguapan air yang tinggi, mengingat Indonesia

24
merupakan negara kepulauan yang dikelilingi wilayah lautan yang luas dan terletak
di wilayah khatulistiwa yang panas. Dengan adanya kecenderungan kenaikan
temperatur udara, maka akan terjadi kecenderungan terjadinya penguapan yang
lebih tinggi dan menyebabkan pula naiknya tingkat kelembaban udara (sampai
kepada titik jenuhnya).
Kelembaban udara yang cukup tinggi akan berdampak kepada pesawat udara,
khususnya terhadap peralatan elektroniknya. Tingkat kelembaban yang tinggi akan
memungkinkan terbentuknya butiran-butiran air yang dapat menyebabkan
terjadinya hubungan pendek pada peralatan elektronik pesawat udara yang sangat
sensitif. Oleh karenanya keberadaan alat pengontrol kelembaban udara harus
lebih diperhatikan lagi pada ruang penyimpanan peralatan elektronik (avionic rack)

3.2.2 Dampak Pada Prasarana Penerbangan


Selain berdampak pada sarana penerbangan secara langsung dalam hal ini
pesawat udara, perubahan iklim juga berdampak pada prasarana pendukung
seperti infrastruktur kebandaraan. Dampak perubahan iklim pada infrastruktur
bandar udara tidak dapat dilihat sebagai fenomena tunggal, akan tetapi harus
dilihat keterkaitan antara berbagai aspek spesifik yang terkena dampak. Besaran
dampak perubahan iklim juga akan dipengaruhi dari sisi letak geografis suatu
wilayah dimana bandara berada. Tiga variabel iklim terkait dengan stabilitas
infrastruktur bandar udara antara lain peningkatan muka air laut, peningkatan
temperatur, perubahan curah hujan.
Peningkatan muka air laut, temperatur global, dan perubahan pola hujan
memiliki keterkaitan satu sama lain. Beberapa kajian yang dilakukan di Australia
(Hennessy et.al., 2007; Ash & Smith, 2013; Parry et.al., 2007) memperlihatkan
keterkaitan tersebut dimana wilayah pesisir sebagai salah satu sektor kunci di
Australia akan terganggu stabilitasnya ketika temperatur global meningkat sebesar
2°C yang memicu peningkatan muka air laut setinggi 0,2 – 0,5 meter di tahun 2050
sehingga berimplikasi pada infrastruktur di sekitar wilayah pesisir termasuk bandar
udara seperti banjir dan intrusi air laut ke air tawar. Besaran dampak tersebut
terkait pula dengan perubahan pola hujan, ketika pola hujan meningkat, akan
berpotensi untuk menambahkan kemungkinan terjadinya banjir.

25
a. Peningkatan Paras Muka Air Laut
Banyak negara seperti di Amerika Utara, Australia, Negara Kepulauan Kecil
(small island states), Selandia Baru, Singapura dan Indonesia memiliki bandar
udara yang berdekatan dengan wilayah pesisir. Kondisi tersebut membuat
infrastruktur bandar udara sangat berpotensi untuk terkena dampak dari
peningkatan muka air laut yaitu erosi di wilayah pesisir, banjir dan intrusi air laut.
Pada Juni 2013, bandar udara LaGuardia di New York mengalami banjir yang
disebabkan dari meningkatnya muka air laut. Peningkatan muka air laut diduga
berkaitan dengan terjadinya badai Sandy dan air pasang dimana tinggi muka air
laut di wilayah pesisir akan didorong lebih masuk ke dataran oleh badai. Akibat
peristiwa tersebut, landasan bandar udara LaGuardia menjadi tergenang dan
sempat menghentikan operasional kebandaraan. Dari hasil simulasi model yang
dilakukan, tinggi muka air laut pada wilayah pesisir disekitar bandar udara
LaGuardia diprakirakan akan terus meningkat. Dengan semakin meningkatnya
peluang terjadinya badai akan semakin mengancam untuk terjadinya banjir pada
wilayah bandar udara. Gambar 3.5 merupakan hasil proyeksi dan simulasi bandar
udara LaGuarda di tahun 2100 jika terjadi kenaikan muka laut (Climate Central,
2013).
Citra dari satelit milik NASA (USA) untuk wilayah Asia Tenggara,
menggambarkan terjadinya peningkatan muka air laut yang kemungkinan
dipengaruhi mencairnya es di kutub yang diakibatkan dari peningkatan
temperatur global. Dengan pendekatan tersebut, diproyeksikan beberapa wilayah
pesisir di Indonesia akan turut mengalami penggenangan wilayah daratan yang
diakibatkan intrusi air laut. Gambar 3.6 memperlihatkan hasil proyeksi peningkatan
muka air laut setinggi satu meter dan enam meter di beberapa wilayah di
Indonesia dari satelit.
Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia menyebutkan bahwa muka air
laut diproyeksikan akan meningkat sebesar 0,25 – 0,5 meter di tahun 2050 dan
2100 dan akan menggenangi banyak wilayah pesisir. Diproyeksikan pula sekitar
25% - 50% daerah-daerah di Semarang, Surabaya dan Jakarta akan tenggelam
permanen. Kajian lainnya memperlihatkan peningkatan muka air laut pada tiga
titik pantau di pantai utara yang meliputi Tanjung Priok, Semarang dan Jepara
dalam Gambar 3.7 (KLH-RI, 2010). Dari hasil observasi pada periode 1984 sampai

26
2002, tercatat peningkatan muka air laut meningkat secara permanen sebesar 8
milimeter setiap tahunnya.

Gambar 3.5 Hasil simulasi dampak peningkatan muka laut di Bandara LaGuardia
tahun 2100

Hasil kajian lain dari tim studi dampak perubahan iklim ITB memperkirakan
dalam 37 tahun mendatang bandar udara Soekarno-Hatta akan hilang (tenggelam)
jika tidak dilakukan pencegahan. Alasannya adalah karena kenaikan permukaan air
laut pesisir Jakarta rata-rata 0,57 cm per tahun disertai dengan permukaan tanah
yang terus menurun. Tim ITB mengumpulkan data ketinggian permukaan air laut
Jakarta dari 1925 hingga 2003. Sementara pengukuran permukaan tanah dilakukan
dari 1997 hingga 2007. Hasilnya, permukaan tanah pesisir utara Jakarta diketahui
turun antara 2 cm hingga 12 cm. Dari hasil proyeksi itu diilustrasikan bahwa
peningkatan muka air laut di pulau Jawa menyebabkan tenggelamnya bandar
udara Soekarno-Hatta.
Dalam banyak studi terkait perubahan iklim, disimpulkan bahwa jika tanpa
ada upaya mitigasi, jika diasumsikan terjadi kenaikan muka laut rata-rata global
25-123 cm maka banjir tahunan dapat mempengaruhi 0,2-4,6% dari populasi
global di tahun 2100. Hal ini menyebabkan kerugian tahunan sebesar 0,3 sampai
9,3% dari produk domestik bruto global. Gabungan kenaikan muka laut, curah
hujan meningkat dan badai dapat mengganggu kapasitas operasional penerbangan
serta meningkatnya penundaan penerbangan ( Sorokin & Mondello, 2015)

27
Gambar 3.6 Proyeksi peningkatan muka air laut di Indonesia

Gambar 3.7 Peningkatan Muka Air Laut Rata-Rata Periode 1984-2002

b. Peningkatan Temperatur Udara


Peningkatan temperatur udara akibat efek rumah kaca tidak hanya berdampak
pada pesawat udara saja tetapi juga kepada infrastruktur bandara. Terkait dengan
peningkatan temperatur, Chang et.al, (2004) melalui kajian di beberapa negara
memperlihatkan bahwa tingginya temperatur permukaan dapat memberikan
dampak negatif atau positif pada bangunan bandara berdasarkan letak geografis

28
suatu wilayah. Sebagai contoh, Australia, Selandia Baru, Inggris dan Switzerland
mendapatkan manfaat positif dengan peningkatan temperatur sehingga
kebutuhan akan energi di waktu musim dingin untuk penghangat ruangan (heater)
menjadi berkurang. Tetapi ketika memasuki musim panas, kebutuhan energi
meningkat untuk kerja pendingin ruangan (cooler), dimana biaya yang timbul dari
peningkatan energi tersebut melebihi biaya yang dapat ditekan ketika menghemat
energi di musim dingin.
Hasil dari citra satelit NASA (2014) mencatat bahwa temperatur global
meningkat signifikan. Gambar 3.8 memperlihatkan tren peningkatan temperatur
global pada periode pantau 1993 sampai dengan 2012 (20 tahun).

Gambar 3.8 Peningkatan Temperatur Global Periode Pantau 1993-2012

Hasil pemantauan tren peningkatan temperatur global tersebut sejalan dengan


hasil kajian yang dilakukan di Indonesia dimana temperatur di Indonesia meningkat
secara konsisten (KLH-RI, 2010). Peningkatan temperatur udara akan berimplikasi
pula pada peningkatan kebutuhan energi untuk kerja pendingin ruangan. Pada
beberapa wilayah di Indonesia tercatat telah terjadi peningkatan kebutuhan akan
pendingin ruangan seiring dengan peningkatan suhu udara. Surabaya di tahun
2006 mencatat permintaan akan pendingin udara meningkat dikarenakan suhu
udara yang diduga cenderung meningkat dibandingkan dengan kondisi normal.
Peningkatan akan kebutuhan pendingin ruangan di Surabaya meningkat sebanyak
dua hingga tiga kali lipat (Antaranews, 2006). Hal serupa juga terjadi di Medan dan
Purwokerto, dimana Pemerintah Kota Medan menyatakan bahwa telah terjadi
permintaan kebutuhan akan pendingin ruangan seiring dengan meningkatnya suhu

29
udara. Sementara itu di Purwokerto kebutuhan akan pendingin udara meningkat
sampai dengan tiga kali lipat.

c. Perubahan Curah Hujan


Perubahan curah hujan akibat dari perubahan iklim juga memberikan dampak
yang berbeda-beda pada bandar udara dilihat dari letak geografis bandar udara.
Pada suatu wilayah dengan curah hujan tinggi, akan berpotensi terjadi banjir.
Sementara itu pada wilayah dengan curah hujan rendah, akan berimplikasi pada
kekeringan dan menurunnya kedalaman air permukaan (Defra, 2011). Perubahan
kelembaban geografis disertai peningkatan curah hujan di kawasan Asia
berdampak pada kecepatan kerusakan landasan pacu yang berarti peningkatan
biaya perawatannya.
Beberapa negara di Asia telah mengalami dampak dari perubahan curah
hujan yang tinggi dan mengakibatkan banjir. Pada Oktober 2011, bandar udara
Don Mueang di Thailand mengalami bencana banjir yang disebabkan oleh curah
hujan yang tinggi sehingga daya tampung lingkungan tidak lagi memadai
(Dailymail, 2011; CNN, 2011). Akibat dari kejadian tersebut, aktivitas kebandaraan
menjadi terhenti total (Gambar 3.9).

Gambar 3.9 Banjir di Bandara Don Mueang, Thailand (2011)

Dampak dari meningkatnya curah hujan tinggi pada infrastruktur bandar udara di
Indonesia dapat dilihat dari terjadinya banjir. Pada Februari 2009, bandar udara
Adisucipto sempat ditutup karena banjir pada landasan pacu yang tidak

30
memungkinkan dilakukannya penerbangan. Dari hasil pemantauan oleh pihak
pelayanan bandara Adisucipto, tinggi genangan air akibat curah hujan yang tinggi
mencapai tiga sampai lima centimeter. Sementara itu, ketinggian air yang dapat
ditoleransi pada landasan pacu hanya sekitar empat milimeter (JPNN, 2009).
Hal serupa terjadi pula pada bandar udara Djuanda Surabaya, pada Juni 2014
terjadi banjir di sepanjang jalan menuju terminal 1 dan terminal 2. Banjir yang
terjadi disebabkan hujan lebat yang terjadi dua hari sehingga menyebabkan
terminal 2 terendam air setinggi ± 50 cm. Selain intensitas hujan yang tinggi,
sistem drainase yang berada di wilayah kebandaraan sudah melebihi daya
tampungnya sehingga tidak mampu lagi menampung air yang terus bertambah
akibat hujan. Kejadian ini menyebabkan akses jalan menuju ke terminal 1 dan
terminal 2 sempat mengalami kemacetan sehingga pihak bandar udara
mengalihkan arus pergerakan kendaraan ke jalan akses maskapai Merpati.
Di satu sisi, curah hujan di beberapa wilayah lainnya di Indonesia justru
diperkirakan akan menurun sehingga akan menyebabkan kekeringan. Hal ini akan
berimplikasi pula pada intensitas penggunaan air di bandar udara yang masih
banyak menggunakan sumber air yang dialirkan oleh pihak PDAM. Dengan
menurunnya tingkat curah hujan pada suatu daerah yang mengakibatkan
kekeringan, maka akan berdampak pula pada penurunan ketinggian muka air
permukaan dan air tanah, sehingga pasokan air dari PDAM pun akan berkurang.
Dapat disimpulkan beberapa dampak perubahan iklim pada prasarana transportasi
udara secara ringkas dalam Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Potensi dampak perubahan iklim dari beberapa variabel iklim pada stabilitas
infrastruktur bandar udara
Variabel
No Resiko
Iklim
Perubahan kedalaman air tanah akibat turunnya pola
curah hujan dapat mempengaruhi kekuatan aset bandar
1 Curah hujan
udara seperti tanah amblas dan masuknya air ke dalam
gedung dan penggenangan jalan.
Peningkatan temperatur udara menyebabkan
2 meningkatnya kebutuhan energi untuk keperluan Temperatur
pendingin kabin.
Peningkatan temperatur menyebabkan kerusakan pada
3 Temperatur
jalur lintas pesawat dan permukaan aspal.

31
Tabel 3.1 (Lanjutan)
Variabel
No Resiko
Iklim
Peningkatan temperatur pada bangunan utama di
4 wilayah bandar udara dapat mengganggu kinerja Temperatur
pegawai dan peralatan bandar udara.

Terjadi banjir ketika curah hujan tinggi yang


5 Curah hujan
menyebabkan sistem drainase melebihi daya tampung.
Kolam tampung air dapat melebihi daya tampung ketika
6 Curah hujan
curah hujan tinggi.

Peningkatan kebutuhan energi untuk pendingin ruangan.


7 Peningkatan temperatur juga dapat mengurangi fungsi Temperatur
dari beberapa jenis tanaman.

Kondisi kekeringan akan mempengaruhi ketersediaan air


8 sehingga akan menghambat aktivitas kebandaraan yang Curah hujan
berkaitan dengan penggunaan air secara intensif.

Peningkatan
Terganggunya suplai kebandaraan akibat penggenangan
9 muka air
lajur transportasi darat di wilayah bandar udara
laut
(Sumber: Defra 2011; Mission Climate of Ceisse des Depots, after CSIRO 2007,
Natural Resources Canada 2008)

3.2.3 Dampak Pada Operasional Penerbangan


Operasional penerbangan merupakan salah satu aspek dalam sektor
transportasi udara selain sarana dan prasarana penerbangan. Dampak perubahan
iklim pada operasional penerbangan diantaranya adalah penundaan jadwal
penerbangan akibat dari terjadinya banjir di landasan pacu yang disebabkan hujan
deras atau naik permukaan air laut, adanya badai angin yang kencang dan hujan
lebat disertai badai angin di lingkungan bandar udara.
Perubahan iklim dianggap sebagai salah satu ancaman lingkungan yang paling
serius khususnya dalam proses pembangunan bidang infrastruktur fisik,
diantaranya akibat kejadian iklim ekstrim seperti badai dan intensitas curah hujan
ekstrim. Dampak nyata akan semakin terlihat di wilayah dataran rendah atau
pesisir pantai yang sering mengalami adanya badai, yang terjadi pada kondisi

32
infrastruktur bandar udara seperti landasan pacu, bangunan terminal dan fasilitas
lainnya terganggu karena naiknya permukaan air laut.
Banjir dan badai juga dapat mempengaruhi aktivitas pergerakan pesawat
terbang akibat kerusakan infrastruktur. Tantangan perubahan iklim terhadap
industri penerbangan adalah adanya akibat langsung terhadap peningkatan risiko
gangguan dalam operasi penerbangan. Peningkatan frekuensi kejadian cuaca
ekstrim telah menurunkan tingkat ketepatan waktu keberangkatan (on-time
departure) pesawat dan bahkan pembatalan penerbangan. Cuaca ekstrim juga
dapat berupa angin kencang dan rendahnya visibility yang keduanya dapat
berdampak pada dispatch reliability berupa penundaan penerbangan dan bahkan
berisiko pada keselamatan (safety) operasi penerbangan.
Dampak perubahan iklim pada operasi penerbangan ini akan secara langsung
dirasakan oleh para pelaku industri penerbangan yang meliputi maskapai
penerbangan (airlines), otoritas bandar udara (airport authority) dan penyedia jasa
pemeliharaan pesawat terbang (aircraft maintenance service provider). Tantangan
perubahan iklim terhadap industri penerbangan adalah adanya akibat langsung
terhadap peningkatan risiko gangguan terhadap operasi penerbangan. Berikut ini
adalah beberapa peristiwa alam terkait perubahan iklim yang berdampak pada
operasi penerbangan.

a) Wind shear
Wind shear mengacu pada perubahan kecepatan angin dan atau arah dengan
ketinggian di atmosfer. Jika wind shear ini dialami oleh pesawat yang sedang
terbang, maka akan menyebabkan perubahan pada gaya angkat (lift) pesawat dan
pada akhirnya berpengaruh pada ketinggian pesawat yang dapat turun dengan
cepat. Dampaknya akan lebih berbahaya jika peristiwa ini terjadi pada saat
pesawat sedang hendak mendarat. Wind shear dalam skala kecil atau lemah selalu
ada di atmosfer, tetapi jarang terjadi yang berskala besar tetapi wind shear yang
kencang berperan penting dalam pembentukan tornado dan hujan es. Wind shear
dalam atmosfer tidak tampak oleh mata tetapi menyebabkan udara sekitar tidak
stabil dan berakibat terjadi turbulensi udara yang membahayakan penerbangan.

33
Gambar 3.10 Pengaruh wind shear pada pesawat terbang

b) Microburst
Microburst adalah aliran udara cepat dari atas ke bawah dalam kolom yang
terjadi di atmosfer hingga menyentuh tanah lalu menyebar dan biasa terjadi pada
saat badai (Gambar 3.11). Aliran udara ini tidak berputar seperti pada topan dan
tornado. Skala dan kejadian yang tiba-tiba dari microburst yang membuatnya
menjadi berbahaya bagi pesawat terbang karena menyebabkan terjadinya wind
shear pada ketinggian rendah. Beberapa kecelakaan fatal dikaitkan dengan
fenomena seperti itu selama beberapa dekade terakhir.
Microburst sering memiliki angin kencang bahkan dapat merobohkan pohon
besar. Peristiwa ini biasanya berlangsung selama beberapa detik hingga beberapa
menit. Dalam suatu kejadian badai, terdapat dua jenis microbrust yakni microbrust
kering dan microbrust basah. Siklus hidup microbrust terjadi melalui tiga tahapan;
downbrust, ledakan (outbrust) dan pembentukan bantalan (cushion stages).

Gambar 3.11 Microburst yang dapat berdampak pada pesawat terbang

34
c) Cross Wind (angin samping)
Angin samping (cross wind) kencang yang terjadi di atmosfer yang tinggi tidak
begitu berdampak pada pesawat yang sedang terbang. Tetapi akan sangat
berbahaya jika terjadi pada ketinggian rendah pada saat bersamaan dengan
pesawat sedang melakukan pendaratan. Pada kondisi ini pesawat dapat terlempar
atau terhempas ke luar landasan.
Secara teknis, pesawat yang mendarat (landing) mapupun take off harus
terbebas dari angin yang arahya tegak lurus pesawat. Secara teoritis dapat
menerima crosswind tidak lebih besar dari 20 knots. Bahkan bila didapati
crosswind sebesar 30 knots saja diperbolehkan untuk manuver menjauh.
Perubahan iklim dikhawatirkan akan meningkatkan peluang terjadinya angin
samping yang mengganggu penerbangan.

Gambar 3.12 Pesawat yang terkena cross wind kencang saat mendarat

d) Cuaca buruk (bad weather): salju dan hujan lebat


Kasus cuaca ekstrim pernah terjadi di belahan bumi utara (northern
hemisphere) seperti Eropa dan Amerika Utara dan berakibat pada pembatalan
sejumlah penerbangan. Cuaca ekstrim berupa badai salju yang sangat tebal dengan
suhu di bawah -20°C yang melanda Amerika Serikat dan Kanada pada awal Januari
2014 telah menyebabkan gangguan serius pada penerbangan. Di Amerika Serikat
saja dilaporkan lebih dari 2500 penerbangan dibatalkan dan lebih dari 7000
penerbangan ditunda (Republika, 2014).

35
Pesawat terbang sebenarnya biasa dengan suhu dingin yang ekstrim bila
terbang di atas 30.000 kaki, udara pada ketinggian itu jauh lebih dingin daripada di
daratan dan kondisi itu tidak menghentikan penerbangan. Tetapi berbeda bila
cuaca ekstrim dingin terjadi di darat yang dapat memperlambat operasional
bandar udara. Salju turun dengan lebat dapat mengurangi visibilitas sampai suatu
batas di mana otoritas bandar udara memutuskan hal itu tidak aman bagi pesawat
terbang untuk lepas landas atau mendarat.

Gambar 3.13 Very Low Visibility akibat hujan salju lebat

Dalam kasus badai salju, es yang terbentuk di permukaan landasan juga


menganggu penerbangan, Bandar udara JFK di New York City pernah ditutup
selama beberapa jam pada Januari 2014 setelah pesawat milik Delta Airlines
tergelincir keluar dari landasan pacu ke dalam salju. Penundaan ini mengakibatkan
banyak penumpang yang terpaksa harus bermalam di terminal bandar udara.
Dampak cuaca buruk terhadap operasi penerbangan yang terjadi di kawasan
ASEAN adalah saat sebuah pesawat milik maskapai Singapore Airlines tergelincir
dari landasan saat mendarat di Bandara Internasional Yangon, Myanmar. Tak ada
korban luka dalam insiden yang terjadi saat hujan deras tersebut. Pesawat Airbus
A330 tersebut dihantam hujan lebat dan tergelincir dari landasan saat pendaratan
pada Mei 2014.
Di wilayah Indonesia cuaca ekstrim yang terjadi antara lain berupa curah hujan
yang sangat tinggi di beberapa daerah sehingga menyebabkan banjir besar bahkan
banjir bandang. Banjir besar yang terjadi di wilayah utara kota Jakarta telah
berdampak pada tertutupnya jalan tol dan akses lain menuju bandar udara
Soekarno-Hatta.

36
Gambar 3.14 Pesawat Lion Air tergelincir di Bandara Sepinggan

Keterlambatan kedatangan crew dan atau penumpang pesawat di bandar


udara berdampak pada penundaan sejumlah penerbangan dari bandar udara ini.
Akibat hujan dengan intensitas tinggi juga pernah menyebabkan tergelincirnya
pesawat Boeing 737-900 PK-LHO Lion Air JT673 di Bandar udara Sepinggan
Balikpapan pada Oktober 2011. Masih di bandar udara yang sama, pesawat Boeing
737-200 PK-CJM Sriwijaya Air dari Makassar juga tergelincir akibat cuaca buruk
pada Januari 2012.
Di wilayah pedalaman Papua seringkali terjadi pembatalan jadwal
penerbangan akibat cuaca yang sering kali mengalami perubahan secara
mendadak. Bandar udara di wilayah pedalaman dengan fasilitas terbatas baik dari
sisi udara maupun fasilitas navigasi serta kontur wilayah berupa pegunungan
sehingga operasi penerbangan di daerah tersebut perlu kematangan para kru
pesawat karena tidak hanya kesulitan medan operasi tapi juga perubahan cuaca
yang sering mengalami perubahan secara mendadak. Secara umum peningkatan
kejadian cuaca ekstrim telah menurunkan tingkat ketepatan waktu keberangkatan
(on-time departure) pesawat dan bahkan pembatalan penerbangan. Tabel 3.2
berikut ini memperlihatkan dampak-dampak perubahan cuaca terhadap operasi
penerbangan secara ringkas.

37
Tabel 3.2 Sensitivitas Cuaca Terhadap Operasi Penerbangan
No. Komponen cuaca Dampak yang ditimbulkan
1 Peningkatan Peningkatan lapisan es di pantai dan
tempertur darat pada wilayah dekat kutub; biaya
perawatan jalan; kebutuhan AC di
mobil.
2 Peningkatan curah Dampak salju dan es di jalan dan
hujan dan salju landasan.
3 Peningkatan kejadian Keselamatan dan ketepatan waktu
cuaca ektrim operasi (keberangkatan pesawat)
4 Lainnya Dampak dari kabut, salju, hujan dan es
pada operasi dan keselamatan
transportasi.
Sumber: IPCC (1995)

Dalam bentuk lain, cuaca ekstrim juga dapat berupa angin kencang dan
rendahnya visibility yang keduanya dapat berdampak pada dispatch reliability
berupa penundaan penerbangan dan bahkan berisiko pada keselamatan (safety)
operasi penerbangan. Dampak perubahan iklim pada operasi penerbangan ini akan
secara langsung dirasakan oleh para pelaku industri penerbangan yang meliputi
maskapai penerbangan (airlines), otoritas bandar udara (airport authority) dan
penyedia jasa pemeliharaan pesawat terbang (aircraft maintenance service
provider).

3.3 Strategi Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Trasportasi Udara


Komitmen Pemerintah RI untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% dengan
swadana dan 41% jika dengan bantuan asing pada 2020 merupakan puncak aksi
nasional dalam menangani perubahan iklim. Komitmen ini ditindaklanjuti dengan
keluarnya PP no.61 tahun 2011 berupa Rencana Aksi Nasional penurunan emisi
Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Dengan demikian setiap sektor pembangunan harus
menyusun juga rencana aksi mendukung pencapaian target dalam RAN GRK
nasional. Selanjutnya melalui dokumen INDC, Pemerintah RI telah menetapkan
target penurunan emisi GRK pada tahun 2030 sebesar 29% (swadana) dan 41%
(dengan bantuan luar negeri).
Semua sektor yang mendukung pencapaian target tersebut telah menetapkan
berbagai langkah dan strategi termasuk perhubungan. Rencana aksi mitigasi emisi
GRK sektor perhubungan ditetapkan melalui Keputusan Menteri Perhubungan No.

38
KP 201 tahun 2013. Tinjauan terhadap strategi mitigasi sektor transportasi udara
adalah untuk mengetahui apakah ada implikasi pada perlunya stratgei adaptasi
tertentu sebagai akibat dari aksi mitigasi yang ada. Jika dicermati ada beberapa
rencana aksi mitigasi yang juga membawa implikasi pada pola adaptasi yang harus
dilakukan. Rencana aksi konservasi energi bahan bakar fosil, penggunaan energi
baru dan terbarukan serta penghematan energi selain akan menurunkan emisi
CO2, pada satu sisi juga dapat dipandang sebagai bentuk adaptasi sebagai akibat
makin mahalnya bahan bakar fosil dan tekanan untuk menurunkan emisi karbon.
Pada rencana aksi penyempurnaan sistem dan prosedur pengoperasian serta
perawatan pesawat selain dapat menurunkan emisi CO2 juga merupakan langkah
yang adaptif terhadap perubahan cuaca atau iklim yang ada. Beberapa perubahan
komponen iklim yang berubah seperti kejadian cuaca dan iklim ekstrim dapat
meningkatkan penundaan pesawat sehingga perlu penyesuaian dalam pola
pengeoperasian dan perawatan pesawat. Penerapan prosedur pelayanan navigasi
pemberangkatan (departures) langsung ke ketinggian jelajah dan prosedur
kedatangan (arrival) langsung turun ke fase pendekatan (approach altitude) dapat
dianggap juga sebagai langkah adaptasi dalam mensiasati kondisi bandara yang
ada.
Penerapan instrument approach procedure berbasis PBN (performance based
navigation) untuk menambah aksesabilitas dalam pendaratan juga turut
menyumbang penurunan emisi CO2 namun juga dapat dipandang sebagai langkah
adaptasi dalam keselamatan penerbangan ke depan akibat berubahnya kondisi
cuaca dan iklim. Langkah mitigasi GRK bidang transportasi udara sebagaimana
tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. KP 201 tahun 2013 dapat
dilihat pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Rencana Aksi Mitigasi Perubahan Iklim


Indikasi Penurunan
Rencana Aksi Kegiatan Emisi GRK
No
(Juta Ton CO2e)
1 Peremajaan armada Melanjutkan implementasi KM. No. 4.478
angkutan udara 05/2006 tentang peremajaan armada
pesawat udara kategori transport
untuk angkutan udara penumpang.

39
Tabel 3.3 (Lanjutan)
Indikasi Penurunan
Rencana Aksi Kegiatan Emisi GRK
No
(Juta Ton CO2e)
2 Konservasi energi Inisiatif penggunaan biofuel untuk 2.527
bahan bakar fosil pesawat udara kategori transport
dengan bahan bakar untuk angkutan udara penumpang
terbarukan untuk sesuai dengan ICAO Guideline.
pesawat udara
Melakukan studi dan riset biofuel
dalam hal kemampuan produksi,
distribusi, suplai, berkelanjutan,
keselamatan, keamanan penerbangan
dan manajemen resiko.

3 Penyempurnaan Mengadopsi penyempurnaan sistem, 2.978


sistem dan prosedur prosedur operasi dan perawatan
pengope rasian serta pesawat udara kategori transport
perawatan pesawat untuk angkutan udara penumpang
udara kategori untuk penghematan pemakaian bahan
transport untuk bakar dan suku
angkutan udara
penumpang
4 Pembuatan Procedur Penerapan instrument approach Terhitung di STAR-SID
RNP Approach ( RNP procedure berbasis PBN untuk
0.3, RNP 0.1) menambah aksesbilitas dalam
pendaratan.
5 Pembuatan Prosedur Penerapan prosedur pelayanan 1,241
Pelayanan Navigasi navigasi pemberangkatan pesawat
Continous Climb and (aircraft departures) langsung terbang
Descent Operation ke ketinggian jelajah.
(STAR-SID-RNAVI)
Penerapan prosedur pelayanan
navigasi kedatangan pesawat (aircraft
arrival) langsung turun ke fase
pendekatan (approach altitude).
6 Membuat dan Membuat jalur penerbangan langsung 1,269
mengimplementasika untuk mempersingkat jarak terbang.
n jalur penerbagan
Restrukturisasi ATS Routes berbasis
langsung ( Direct
fasilitas navigasi darat (ground bases)
Routes, RNAV5, RNP
menjadi berbasis kemapuan navigasi
10)
pesawat udara (Performance
Based Navigation/ PBN)
7 Pemanfatan Energi Pemasangan sumber energi alternatif 0.511
Baru dan Terbarukan (solar cell, energy hybrid, hidro+, dll)
untuk operasional Bandar udara.
Pemasangan solar cell secara bertahap
pada 5 bandar udara UPT dan 5
bandar udara PT. Angkasa Pura I dan
PT. Angkasa Pura II setiap tahun.

40
Tabel 3.3 (Lanjutan)
Indikasi Penurunan
Rencana Aksi Kegiatan Emisi GRK
No
(Juta Ton CO2e)
8 Penghijauan Penanaman pohon (trembesi) di area 2.726
Lingkungan Bandar Bandar udara dilakukan secara
Udara bertahap dengan penanaman 300
pohon per Bandar Udara.
9 Konservasi energy Perencanaan dan implementasi secara 0.199
bahan bakar fosil bertahap penggunaan bahan bakar
dengan bahan bakar terbarukan pada alat bantu servis
terbarukan untuk darat (Ground Support Equipment)
GSE dan kendaraan dan kendaraan operasional di dalam
di Bandar udara sisi udara Bandar udara (Airside).
10 Penggunaan lampu Penggantian lampu teknologi 0.016
tipe Light Emitting konvensional dengan lampu LED yang
Diode (LED) untuk lebih hemat energi pada terminal dan
penerangan Bandar area bandara lainnya termasuk lampu
udara dan rambu untuk rambu navigasi penerbagan
navigasi secara bertahap.
penerbangan
Sumber : Keputusan Menteri Perhubungan No. KP 201 tahun 2013

41
BAB IV STRATEGI ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM BIDANG
TRANSPORTASI UDARA

4.1 Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Penerbangan Sipil Internasional


Dalam dunia penerbangan sipil internasional tidak terlepas dari peran dan
keberadaan International Civil Aviation Organization (ICAO). ICAO adalah badan
dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kegiatannya menyiapkan
peraturan penerbangan sipil internasional, melakukan distribusi dan melakukan
pemantauan serta evaluasi terhadap penerapannya. Sebagai negara anggota PBB,
Indonesia merupakan peserta konvensi atas dasar “adhere” (penundukan diri),
dan tanggal 27 April 1950, secara resmi tercatat sebagai tanggal masuknya
Indonesia menjadi anggota ICAO. Kepentingan dan tujuan utama ICAO adalah
Kamanan & Keselamatan, Efisiensi dan Keteraturan (Security & Safety, Efficiency,
Regularity) pada penerbangan sipil dunia (ICAO, 2010). Komunitas penerbangan
sipil internasional melalui ICAO juga menyadari bahwa aktivitas penerbangan juga
turut menyumbang pada total emisi GRK ke atmosfer yang turut berperan dalam
terjadinya efek pemanasan global.

Gambar 4.1 Emisi CO2 dari aktivitas penerbangan di dunia 2005-2040

42
Gambar 4.1 memperlihatkan pola perkembangan jumlah emisi CO2 dari
penerbangan dunia untuk 2005-2040, dan kemudian diekstrapolasi ke 2050.
Angka ini hanya mempertimbangkan emisi CO2 yang terkait dengan pembakaran
bahan bakar jet, dengan asumsi bahwa 1 kg bahan bakar jet terbakar
menghasilkan 3.16 kg CO2. Dalam analisis untuk proyeksi emisi telah
diperhitungkan perbaikan teknologi pesawat, perbaikan manajemen lalu lintas
udara, maupun perbaikan operasional penerbangan (ICAO, 2016).
Seiring dengan tumbuhnya ‘environmentally based society’ dengan munculnya
isu lingkungan hidup di berbagai bidang kehidupan, dunia penerbangan juga turut
serta terlibat dan peduli dengan pembentukan komite di ICAO, yakni Committee
on Aviation Environmental Protection (CAEP). Komite ini aktif dalam menggalang
upaya mitigasi perubahan iklim seperti merancang persetujuan soal standard emisi
CO2 dari pesawat, standard emisi non-volatile Particulate Matter (nvPM) dari
mesin, serta keterlibatan masyarakat pada pengelolaan lingkungan. Setiap tiga
tahun CAEP juga mengeluarkan analisis kecenderungan/tren lingkungan dalam
penerbangan meliputi emisi GRK, tingkat kebisingan (aircraft noise) serta emisi
mesin pesawat (aircraft emission) terhadap kualitas udara lokal.
ICAO sendiri sejak 20 tahun lalu telah melengkapi laporan tahunannya dengan
berbagai kajian ilmiah terkait masalah lingkungan hidup terkait dunia penerbangan
sipil. Dalam ICAO Environmental Report 2016 telah dimasukkan hal adaptasi
perubahan iklim dan resiliensi (Chapter 7. Climate Change Adaptation and
Resilience). Berdasarkan kajian ahli ICAO, beberapa fenomena perubahan iklim
yang dapat berdampak bagi dunia penerbangan, dapat dikelompokkan dalam
large-scale phenomena dan small-scale phenomena.
Termasuk dalam kategori large-scale phenomena antara lain timbulnya higher
temperature maximum (HTM) di daratan yang bisa berakibat pada penurunan
secara signifikan kerapatan udara. Menurunnya kerapatan udara berdampak pada
daya angkat di sayap pesawat, ini membawa konsekuensi pada operasi take off
bila landasan pacu pendek, masalah kapasitas angkut dan kapasitas bahan bakar.
Fenomena lain yang termasuk large-scale adalah sea level rise (SLR). Peningkatan
taraf muka laut dibarengi dengan peningkatan ekspansi termal lautan dan kejadian
badai dan siklon tropis dapat mengancam kelangsungan bandara yang berada di
dataran rendah, sebagaimana kejaian di Myanmar tahun 2008 akibat kejadian

43
topan Nargis. Dalam kategori ini juga terjadinya perubahan aliran udara cepat (jet
stream change) yang bisa berdampak pada stabilitas atmosfer termasuk kejadian
turbulensi udara yang meningkat sehingga membawa konsekuensi pada
perubahan rute, waktu/lama perjalanan dan konsumsi bahan bakar.
Termasuk dalam kategori small-scale phenomena antara lain low-level wind
shear, hail and lightning strikes, clean-air-turbulence, mountain-wave-turbulence,
airframe icing serta low visibility. Baik large-scale dan small-scale phenomena
beserta dampaknya sudah dibahas dalam bab terdahulu. Dalam laporan kinerja
lingkungan ICAO tersebut juga diuraikan langkah adaptasi perubahan iklim sebagai
hasil dari workshop yang diadakan EUROCONTROL tahun 2015, yang mana
terdapat 4 prioritas langkah sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar 4.2.

Memahami Mengkaji
permasalahan permasalahan
(understanding (assesing the
the problem) problem)

Aksi untuk Komunikasi &


adaptasi kolaborasi
(actions to (communication
adapt) & collaboration)

Gambar 4.2 Prioritas kunci dalam membangun resiliensi perubahan iklim

Adapun ke 4 (empat) prioritas langkah dalam adaptasi perubahan iklim bidang


penerbangan sipil adalah;
Prioritas 1: Memahami masalah
 Melakukan review serta membingkai masalah dalam suatu perspektif
sektoral yang holistik: mengidentifikasi potensi dampak utama untuk
setiap stakeholder dan jaringan secara keseluruhan.
 Mengidentifikasi pengetahuan terkait dampak yang sudah ada dandimana
kesenjangannya: mengidentifikasi prioritas penelitian.

44
Prioritas 2: Menilai masalah
 Mengembangkan matriks dampak generik dari kejadian umum misal
kenaikan suhu 3 °C akan menyebabkan kenaikan permukaan laut X meter:
menarik, tetapi penting untuk memastikan bahwa tindakan adaptasi
dikoordinasikan dan efektif dalam pelaksanaan.
 Menggunakan metodologi penilaian risiko kompatibel untuk memfasilitasi
pengembangan harmonis ketahanan lokal dan jaringan langkah-langkah.
Prioritas 3: Tindakan adaptasi
 Mengidentifikasi langkah-langkah operasional dan infrastruktur untuk
membangun ketahanan (resiliensi) dari peningkatan gangguan dan
perubahan kondisi dasar (baseline).
 Mengidentifikasi tindakan yang tepat dan win-win (misalnya menentapkan
aksi atas isu lain yang juga mempromosikan ketahanan).
Mempertimbangkan trade-off, terutama di mana upaya perbaikan
lingkungan dapat membawa kerentanan.
Prioritas 4: Berkomunikasi dan berkolaborasi
 Berkomunikasi dan berkolaborasi baik regional dan global.
 Kolaborasi dan koordinasi dalam peningkatan pengetahuan dan penelitian
dari daerah lain dan juga sektor lainnya.
 Meningkatkan kesadaran dan menyebarluaskan praktik terbaik.

4.2 Pendekatan Penyusunan Strategi Adaptasi


Penyusunan rencana strategi adaptasi perubahan iklim pada dasarnya adalah
suatu pendekatan kuantitatif khususnya pada analisis awal besarnya perubahan
angka pada beberapa komponen iklim. Dari analisis besaran komponen iklim ini
barulah dapat ditentukan dampak potensial apa yang mungkin timbul bagi bidang
transportasi udara. Dari berbagai studi yang ada, beberapa komponen iklim yang
mungkin membawa dampak bagi transportasi udara antara lain;
1. Kenaikan suhu permukaan
2. Kenaikan suhu permukaan laut
3. Perubahan pola curah hujan
4. Kenaikan muka air laut
5. Tren kejadian cuaca dan iklim ekstrim

45
Berbagai data komponen iklim dan tren ke depan, pada umumnya sudah
dimodelkan melalui berbagai perangkat lunak dalam bentuk hasil studi oleh para
peneliti bidang iklim maupun lembaga riset, sehingga apa yang sudah banyak
dicantumkan dalam dokumen resmi Pemerintah RI, dapat langsung kita jadikan
rujukan.
Tahap selanjutnya adalah dilakukan analisis terhadap kapasitas adaptasi, hal
ini akan di bahas dalam sub bab tersendiri. Berdasar pada hasil analisis kapasitas
maka selajutnya dapat disusun analisis risiko dan peluang, disini semua dampak
yang mungkin timbul dilihat dampak negatif dan positifnya. Upaya yang dilakukan
dalam pengembangan strategi adaptasi adalah mengatasi dampak negatif dan
mengoptimalkan dampak positif. Gambar 4.3 memperlihatkan tahapan dari
pendekatan umum suatu penyusunan strategi adaptasi perubahan iklim yang
diadopsi dan dimodifikasi dari UNEP (1998).

Kajian Risiko &


Peluang
• Penyusunan Strategi
Analisis Scoping Evaluasi Prioritasi Risiko & Adaptasi
Komponen dampak Kapasitas Peluang • Prioritasi aksi &
Iklim yang potensial Adaptasi kebijakan, pendanaan
berubah Keterpaduan
dengan sektor
lain

Gambar 4.3 Tahapan dalam penyusunan strategi adaptasi

4.3 Prakiraan Pola Perubahan Komponen Iklim di Indonesia


a. Tren dan Proyeksi Perubahan Suhu Permukaan
Salah satu komponen iklim yang menjadi perhatian global terkait perubahan
iklim adalah naiknya suhu permukaan. Pada tahun 2007 dengan menggunakan
data hasil observasi dan hasil pemodelan iklim global didapati bahwa kontribusi
aktivitas manusia (anthropogenic), telah mempercepat meningkatnya konsentrasi
GRK di atmosfer serta menaikkan suhu rata-rata permukaan global sebesar 0,74°C
± 0,18°C selama rentang waktu 1906 – 2005 (IPCC, 2007). Peningkatan konsentrasi
GRK tercermin dari hasil pengukuran konsentrasi CO2 di Stasiun Mauna Loa, Hawaii
maupun Bukit Kototabang, Sumbar yang merupakan stasiun pemantauan global

46
sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 4.4. Kesimpulan dasar ini telah
dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua
akademi sains nasional dari negara-negara G8. Selain itu melalui model proyeksi
iklim yang dijadikan acuan oleh IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan
meningkat 1,1 hingga 6,4 °C (2,0 hingga 11,5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.
Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario
berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca pada masa mendatang, serta model-
model sensitivitas iklim yang berbeda.
Hasil proyeksi iklim sangat bergantung kepada skenario peningkatan
konsentrasi GRK di atmosfer yang didasarkan pada asumsi perkembangan keadaan
sosio-ekonomi global serta teknologi utama pendukungnya. Dalam model AR4-
IPCC, skenario yang dijalankan adalah berdasarkan The Special Report Emission
Scenarios (SRES). Pengaruh pemanasan global dalam kenaikan suhu permukaan di
wilayah Indonesia dapat diperkirakan tidak lebih besar dari 10C sepanjang abad ke-
20 (Bappenas, 2013). Nilai yang lebih pasti agak sulit diperoleh mengingat
kurangnya rekaman data yang konsisten di Indonesia. Secara proyeksi, mengingat
model-model AR4-IPCC mengasumsikan bahwa kenaikan suhu disebabkan
dominan oleh pengaruh konsentrasi GRK yang tersebar di atmosfer secara merata
maka berdasarkan kesepakatan para ahli iklim di Indonesia, kenaikan suhu di
wilayah Malang dapat mewakili Indonesia. Dapat disimpulkan proyeksi kenaikan
rata-rata suhu permukaan di seluruh Indonesia akibat GRK sampai dengan periode
2020 – 2050 adalah sekitar 0,8 – 10C relatif terhadap periode iklim terakhir di abad
ke-20 (Bappenas, 2009).
Apa yang tergambar dari kondisi global dan nasional, di tataran lokal
khususnya seperti lingkungan bandara juga menunjukkan fenomena yang sama.
Gambar 4.5 memperlihatkan pola peningkatan suhu permukaan di bandara
Hasanuddin-Makassar untuk bulan Maret dan Oktober sedangkan Gambar 4.6
adalah tren suhu untuk bandara Sentani-Jayapura untuk bulan Februari dan
Nopember. Keduanya dibandingkan data suhu untuk bulan-bulan yang sama dari
tahun 2004 hingga 2013. Walau kenaikan temperatur tidak terlihat drastis, tetapi
secara perlahan ada kenaikan yang dalam jangka panjang dibanding tahun-tahun
lampau.

47
Gambar 4.4 Pola peningkatan konsentrasi CO2 global, dan hasil pengukuran
di Mauna Loa, Hawaii serta Bukit Kototabang, Sumatera Barat
(Aldrian dkk.,2011)

Gambar 4.5 Pola Kenaikan Suhu Permukaan di Bandara Hasanuddin

48
Gambar 4.6 Pola Peningkatan Suhu Udara di Bandara Sentani, Jayapura

b. Tren dan Proyeksi Perubahan Curah Hujan


Perubahan suhu atmosfer turut mempengaruhi perubahan curah hujan di
berbagai wilayah di Indonesia. Curah hujan di Indonesia sangat bervariasi secara
spasial dan temporal. Secara umum terdapat siklus tahunan dan setengah tahunan
di dalam pola musiman curah hujan di Indonesia (Bappenas, 2009). Beberapa
kajian mencoba menggolongkan pola musiman curah hujan di berbagai wilayah di
Indonesia berdasarkan tiga tipe hujan, yakni monsunal, ekuatorial, dan lokal
(Boerema, 1938; Aldrian and Susanto, 2003). Hingga kini pembagian ini juga dianut
oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) seperti terlihat dalam
Gambar 4.7.
Berdasarkan analisis curah hujan musiman di wilayah Indonesia dalam laporan
Indonesia Second National Communication (KLH-RI, 2010), kenaikan curah hujan
untuk Desember–Januari–Februari (DJF) terjadi di hampir seluruh Pulau Jawa dan
Indonesia bagian timur, seperti Bali, NTB, dan NTT. Untuk curah hujan Juni–Juli–
Agustus (JJA), tren penurunan yang signifikan dapat ditemui di hampir seluruh
wilayah Indonesia, kecuali Pandeglang (Jawa Barat), Makassar (Sulawesi Selatan),
Manokwari, Sorong (Papua), dan Maluku.

49
Gambar 4.7 Pola umum hujan di Indonesia periode 1971-2000

Menurut berbagai kajian yang membandingkan curah hujan Januari periode


1980-2010 dengan periode 1961-1990 (data dasar), telah terjadi perubahan nilai
curah hujan rata-rata yang tidak seragam untuk wilayah Indonesia. Curah hujan
rata-rata periode 1961-1990 untuk sebagian besar Pulau Sumatera berubah
menjadi rata-rata 10 – 50 mm pada periode 1980-2010. Sedangkan untuk wilayah
lainnya terdapat daerah yang curah hujan rata-ratanya naik, tetapi ada pula yang
turun.
Analisis proyeksi berdasar keluaran tujuh Global Climate Model (GCM) secara
rata-rata tidak menunjukkan perubahan yang signifikan untuk periode 2020-2050
(Bappenas, 2009). Hal ini mengindikasikan bahwa sampai periode 2020-2050,
keragaman iklim alami masih lebih berperan dibanding dengan pengaruh GRK
dalam menentukan perubahan curah hujan.
Berdasarkan laporan SNC memperlihatkan kecenderungan 14 model GCM
terhadap perubahan curah hujan musiman di Indonesia berdasarkan dua skenario
emisi, yaitu SRES A2 dan B1 untuk tahun 2025 dan 2050. Ke empat belas model
iklim yang menjadi bagian dari dua skenario tersebut disepakati bahwa, terdapat
kecenderungan akan berkurangnya curah hujan pada JJA dan pada peralihan ke
bulan SON di Pulau Jawa dan Kepulauan Nusa Tenggara.

50
Gambar 4.8 Tren Peningkatan Curah Hujan di Bandara Hasanuddin, Makassar

Gambar 4.9 Tren Peningkatan Curah Hujan di Bandara Sepinggan, Balikpapan

c. Tren dan Proyeksi Perubahan Suhu Permukaan Laut (SPL)


Salah satu efek pemanasan global adalah terjadinya penghangatan perairan
khususnya lautan. Hasil rekonstruksi data dari National Oceanic and Atmospheric

51
Agency (NOAA) memperlihatkan suhu permukaan laut (SPL) wilayah tropis dan
perairan laut Indonesia, dari tahun 1854 - 2010 memiliki laju kenaikan rata-rata
0,7°C/100 tahun (Smith dan Reynolds, 2004). Dari berbagai penelitian dan
pengamatan, diketahui SPL tropis Indonesia sangat dinamis berkisar 26,0°C dan
31,5°C. Suhu muka laut di perairan sebelah barat Bengkulu-Lampung, selatan Jawa,
Bali, NTB, NTT dan Merauke mempunyai rentang perubahan yang besar. Pada
tingkat minimum berkisar 26,0°C terjadi bulan Agustus, sedangkan maksimum
31,5°C terjadi pada Februari hingga Maret. Pada wilayah perairan lain mempunyai
rentang perubahan lebih kecil yaitu 29,0°C hingga 31,5°C.

d. Tren dan Proyeksi Perubahan Tinggi Muka Laut (TML)


Berdasar hasil penelitian dan pengamatan telah terjadi peningkatan tinggi
muka laut (TML) di wilayah Indonesia dengan laju kenaikan rata-rata 6 mm/tahun
(Hendiarti, Sadly, dan Agustan, 2011). Sedangkan data yang dikeluarkan Bappenas
melalui RAN-API 2014 memperlihatkan dari tahun 1960 sampai 2008, berdasarkan
data Simple Ocean Data Assimilation (SODA), maka perubahan TML di Indonesia
sebesar 0,8 mm/tahun, kemudian meningkat menjadi 1,6 mm/tahun sejak tahun
1960 dan melonjak menjadi 7 mm/tahun dari tahun 1993. Dari data berbagai
sumber, karakteristik tinggi muka laut di Indonesia, terlihat pola 30 sampai 50
tahunan (1860–1910, 1910–1950, 1950–1990) atau variasi multi dasawarsa
(decadal), meskipun variabilitas ini tidak terlihat secara jelas sejak tahun 1990.
Perubahan TML secara garis besar disebabkan oleh perubahan sirkulasi air
laut dan perubahan geoid atau gaya potensial bumi (Earth’s gravitational field)
terkait dengan sistem tektonik bumi. Kondisi inilah yang menyebabkan
ketidakpastian yang cukup besar dalam memproyeksikan perubahan tinggi muka
laut khususnya di wilayah dengan sistem tektonik yang aktif seperti di Indonesia.
Pola spasial perubahan TML di perairan global ditunjukkan pada Gambar 4.10,
yang dihitung berdasarkan data altimeter. Sedangkan Gambar 4.11 (a) terlihat
bahwa peningkatan TML tertinggi terjadi di utara Pulau Papua, Laut Jawa, Laut
Banda, Samudera Hindia, dan sebagian besar wilayah perairan di Indonesia bagian
timur, dengan TML tertinggi mencapai 2.5 cm/tahun.

52
Gambar 4.10 Tinggi Muka Laut Rata-rata Global

Gambar 4.11 Variasi Anomali TML rata-rata di Indonesia (1860-2010) dihitung dari SODA
(Hijau), ROMS-SODA (Merah putus-putus) dan Altimeter (Biru putus-putus)

53
Gambar 4.12 Pola spasial SLR di perairan Indonesia yang ditunjukkan oleh: (a) tren
kenaikan TML pada periode 1993–2011, dan (b) selisih rata-rata TML periode 2005–2011
relatif terhadap rata-rata TML periode 1993–2005

Adapun pada Gambar 4.12 (b) memperlihatkan bahwa TML mengalami


peningkatan secara signifikan pada 2005–2011 relatif terhadap TML tahun 1993–
2004. Secara umum, data altimeter menunjukkan kenaikan TML tertinggi terjadi di
bagian barat Samudera Pasifik lebih dari 12 cm, sedangkan kenaikan terendah
terjadi di Samudera Hindia selatan Pulau Jawa dan Sumatera, Laut Cina Selatan,
dan utara Sumatera.
Secara umum, perbedaan tingkat kenaikan TML antara Samudera Pasifik dan
Samudera Hindia dapat menyebabkan perubahan karakteristik arus geostrofik dari
Pasifik ke Samudera Hindia. Ini pada akhirnya, mungkin dapat menyebabkan
perubahan TML secara regional, karena peningkatan intensitas transport air
hangat dari Pasifik ke Samudera Hindia, yang dapat memicu perubahan pola hujan
lokal di seluruh Indonesia.
Ancaman nyata kenaikan TML adalah pada kota-kota pesisir, sebagai contoh
kasus adalah Jakarta dan Semarang. Kenaikan muka laut pesisir Jakarta dan
Semarang terpantau 4 hingga 4,5 mm/tahun. Selain itu terpantau juga adanya
penurunan daratan yang cukup signifikan yaitu antara 5 hingga 17 cm dalam
setahun terakhir, pada kurun waktu 2010-2011. Di Jakarta penurunan terlihat jelas
di daerah Cengkareng, Jakarta Barat dan di Jakarta Utara seperti pelabuhan
Tanjung Priok, yang mengalami penurunan antara 5-17 cm.

54
E . Tren Kejadian Cuaca dan Iklim Ekstrim
Kejadian iklim ekstrem merupakan salah satu dampak perubahan iklim yang
dapat juga mengganggu kegiatan diberbagai sektor termasuk sektor transportasi
udara. Kejadian cuaca dan iklim ekstrim adalah bagian intrinsik dari sistem iklim
yang bersifat kaotik (chaotic). Namun demikian, perubahan iklim yang tengah
terjadi saat ini ditengarai berpotensi meningkatkan frekuensi kejadian ekstrem di
berbagai wilayah di dunia.
Secara singkat, kejadian cuaca dan iklim ekstrim disebut sebagai “kejadian
ekstrem” saja. Jadi, pendefinisian kejadian ekstrem tergantung dari suatu nilai
ambang yang ditentukan dari statistik data pengamatan dan mungkin bersifat
relatif terhadap tempat, waktu, maupun keperluan. Gambar 4.13 memperlihatkan
tren perubahan peluang curah hujan ekstrem harian berdasarkan analisis
cumulative distribution function (CDF) dari data satelit TRMM. Hasil ini
mengindikasikan adanya peningkatan peluang curah hujan ekstrem harian di
sebagian wilayah Indonesia, kecuali beberapa wilayah di Maluku, dalam kurun
waktu kurang lebih selama 10 tahun selama 1998–2008.

Gambar 4.13 (a) Kurva cumulative distribution function (CDF) dengan nilai ambang untuk peluang
curah hujan harian 1% tertinggi berdasarkan data satelit TRMM selama periode 1998–2008. (b)
Sebaran nilai perubahan peluang curah hujan harian ekstrem pada data TRMM periode 2003-2008
relatif terhadap nilai peluang pada periode 1998–2002.

4.4 Analisis Kapasitas Adaptasi Perubahan Iklim


Sesuai alur pendekatan penyusunan strategi yang telah disampaikan, setelah
dilakukan analisis terhadap basis ilmiah seperti berubahnya komponen iklim (suhu
udara, suhu permukaan laut, curah hujan dan tinggi muka laut), langkah

55
selanjutnya adalah analisis tingkat kerentanan yang meliputi uji sensitivitas,
keterpaparan dan kapasitas adaptasi. Kerentanan menggambarkan derajat atau
tingkat kemudahan terkena atau ketidakmampuan untuk menghadapi dampak
buruk dari perubahan iklim, termasuk keragaman iklim dan iklim ekstrim. Tinggi
rendahnya tingkat kerentanan ditentukan tingkat sensitivitas, tingkat keterpaparan
dan kemampuan adaptasi. Tingkat sensitivitas merupakan kondisi internal dari
sistem yang menunjukkan derajat kerawanannya terhadap gangguan.
Masalahnya adalah hingga saat ini belum didapatkan metode pengukuran
tingkat kerentanan dan sensitivitas untuk suatu sektor pembangunan katakanlah
seperti transportasi udara. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang
mengembangkan metode pengukuran indeks kerentanan dan sensitivitas, namun
hanya sesuai untuk suatu wilayah seperti desa atau suatu Daerah Aliran Sungai
(DAS). Secara faktual, sektor transportasi udara sangat rentan dan sensitif
terhadap perubahan cuaca. Dengan demikian pengukuran ketahanan sistem
internal lebih diperlukan atau dengan kata lain pengukuran Indeks Kapasitas
Adaptasi lebih diperlukan untuk mengetahui ‘daya adaptasi’ sektor ini.
Dalam Climate Change 2007: Working Group II; Impacts, Adaptation and
Vulnerability, pengertian kapasitas adaptasi disebutkan sebagai “…the ability or
potential of a system to respond successfully to climate variability and change, and
includes adjustments in both behaviour and in resourcess and technologies. The
presence of adaptive capacity has been shown to be necessary condition for the
design and implementation of effective adaptation strategies so as to reduce the
likelihood and the magnitude of harmful outcomes resulting from climate change..”
Tujuan analisis kapasitas adalah melakukan penilaian atas potensi, kompetensi
dan kapasitas dari sektor dan pelaku transportasi udara dalam mengantisipasi
dampak perubahan iklim. Data awal kapasitas adaptasi didapatkan dari masukan
stakeholder. Kapasitas adaptasi dapat merupakan fungsi dari kondisi ekonomi,
teknologi, infrastruktur dan kebijakan/peraturan. Fungsi-fungsi atau komponen
yang menyusun Adaptive Capacity Index (ACI) ini dapat berubah bila ada
kesepakatan lain dalam kasus atau wilayah tertentu yang melibatkan stakeholder
dan para pakar.

56
Sietchiping (2006) dalam Applying An Index of Adaptive Capacity to Climate
Change in North-Western Victoria, Australia, memformulasikan ACI sebagai
berikut;

ACI = (E.Ew) + (T.Tw) + (I.Iw) + (K.Kw)

ACI = indeks kapasitas adaptif keseluruhan (skala 0 – 100);


E = nilai untuk komponen ekonomi
Ew = bobot komponen ekonomi
T = nilai untuk komponen teknologi
Tw = bobot komponen teknologi
I = nilai untuk komponen infrastruktur
Iw = bobot komponen insfrastruktur
K = nilai untuk komponen kebijakan
Kw = bobot untuk komponen kebijakan

Pada dasarnya setiap komponen kapasitas adaptasi juga merupakan kumpulan dari
sub komponen seperti komponen teknologi merupakan fungsi dari sub komponen
software (standard & prosedur), hardware (peralatan), brainware (sumberdaya
manusia) dan orgaware (organisasi bagi berfungsinya teknologi). Demikian juga
komponen ekonomi bisa merupakan fungsi dari sub komponen kemampuan
pembiayaan, asuransi dan lain-lain.
Tujuan akhir analisis kapasitas adaptasi adalah untuk mengukur sistem atau
sektor apakah memiliki kapasitas adaptasi dalam kategori;
 Low Adaptive Capacity (misal skor 0 – 30)
 Moderate Adaptive Capacity (misal skor 31 – 70)
 High Adaptive Capacity (misal skor 71 – 100)
Suatu sistem dengan ACI yang rendah akan cenderung sangat rentan
(vulnerable) terhadap dampak perubahan iklim, dan ini memerlukan strategi
adaptasi yang juga memerlukan usaha dan biaya yang besar. Sebaliknya bila suatu
sistem memiliki ACI yang besar, maka sistem ini sangat adaptif terhadap
perubahan iklim sehingga cenderung memiliki tingkat resiliensi yang tinggi. Tabel
4.1 memperlihatkan contoh variabel dalam penentuan nilai ACI dengan pola
kuesioner untuk para stakeholder dan otoritas bandara.

57
Tabel 4.1 Contoh Kuesioner Untuk Asesmen ACI
No Pernyataan variabel Nilai (0 – 100)
1 EKONOMI
A Dilihat dari sisi anggaran selama ini, sektor transportasi
udara akan mampu melaksanakan seluruh program
adaptasi dampak perubahan iklim
B Melihat perkembangan pelayanan transportasi udara,
kontribusi PDB (Pendapatan Domestik Bruto) sektor ini
ke negara akan terus meningkat
C Kapasitas layanan bandara di tempat saudara, ke depan
akan selalu mampu mengatasi meningkatnya
permintaan penerbangan (jumlah penumpang)
2 TEKNOLOGI
A Kemampuan perangkat lunak (software) di bandara di
tempat saudara saat ini sudah cukup mampu merespon
berbagai dampak perubahan iklim
B Kemampuan peralatan (hardware) di bandara di
tempat saudara saat ini sudah cukup mampu merespon
berbagai dampak perubahan iklim
C Kemampuan personil (SDM) di bandara di tempat
saudara saat ini sudah cukup mampu mengoperasikan
semua hardaware dan software untuk mengantisipasi
dampak perubahan iklim
D Standard Operating Procedure (SOP) yang ada di
bandara di tempat saudara sudah cukup mampu
mengantisipasi semua dampak perubahan iklim
3 INFRASTRUKTUR (Sarana dan Prasarana)
A Suplai energi listrik di bandara di tempat saudara tidak
akan mengalami masalah setidaknya 20 (dua puluh)
tahun ke depan jika terjadi lonjakan kebutuhan di
bandara.
B Suplai air bersih di bandara di tempat saudara akan
mencukupi setidaknya hingga 20 (dua puluh) tahun ke
depan.
C Akses jalan darat ke bandara di tempat saudara akan
mampu terhindar dari bencana banjir setidaknya
hingga 20 (dua puluh) tahun ke depan.
D Drainase yang ada di sekitar dan di landasan pacu di
bandara, masih mampu menampung limpasan air
hujan bahkan jika terjadi kenaikan curah hujan hingga
100% dari saat ini.

58
Tabel 4.1 (Lanjutan)
No Pernyataan variabel Nilai (0 – 100)
E Fasilitas telekomunikasi dan IT di bandara di tempat
saudara mampu mengantisipasi jika terjadi cuaca
ekstrim (badai dll) untuk meningkatkan keselamatan
penerbangan dan kenyamanan penumpang
4 KEBIJAKAN
A Perangkat peraturan dan kebijakan dari Pemerintah
maupun di internal Kemenhub sendiri saat ini menurut
saudara sudah cukup mendukung berbagai langkah
adaptasi perubahan iklim di bandara yang ada.
B Proses penyusunan kebijakan di instansi saudara
termasuk cepat apabila itu terakait isu lingkungan
termasuk perubahan iklim.
C Penerapan peraturan dan kebijakan terkait isu
lingkungan di instansi saudara tergolong ketat.
Sumber: Sietchiping(2006) dengan modifikasi

4.5 Analisis Risiko Dan Peluang


Tindakan adaptasi adalah penyesuaian dalam sistem ekologi, sosial dan
ekonomi dalam merespon dampak perubahan iklim yang sudah terjadi atau yang
diramalkan akan terjadi. Ini mengacu pada proses, praktek, dan struktur untuk
mengurangi potensi kerugian serta mengambil keuntungan dari perubahan yang
diakibatkan oleh perubahan iklim. Pada dasarnya, upaya adaptasi untuk merespon
perubahan iklim seringkali berkaitan dengan pengurangan kerentanan. Tingkat
kerentanan suatu sistem terhadap dampak perubahan iklim ditentukan oleh tiga
faktor, yaitu tingkat keterpaparan (level of exposure), tingkat kepekaan (level of
sensitivity), dan kapasitas adaptif (adaptive capacity).
Tingkat keterpaparan menunjukkan derajat, lama dan atau besarnya peluang
suatu sistem untuk kontak dengan guncangan atau gangguan (Adger 2006 dan
Kasperson et al. 2005 dalam Gallopin 2006). Tingkat kepekaan merupakan kondisi
internal dari sistem yang sangat dipengaruhi oleh kondisi manusia dan
lingkungannya. Kondisi manusia dapat dilihat dari tingkatan sosial dan manusianya
sendiri seperti populasi, lembaga, struktur ekonomi dan yang lainnya. Sedangkan
kondisi lingkungan merupakan perpaduan dari kondisi biofisik dan alam seperti
tanah, air, iklim, mineral dan struktur serta fungsi ekosistem.

59
Kondisi manusia dan lingkungan menentukan kemampuan adaptif suatu sistem
yang juga sangat dipengaruhi oleh keragaman iklim. Kapasitas adaptif
menunjukkan kemampuan dari suatu sistem untuk melakukan penyesuaian
(adjustment) terhadap perubahan iklim sehingga potensi dampak negatif dapat
dikurangi dan dampak positif dapat dimaksimalkan atau dengan kata lain
kemampuan untuk mengatasi konsekuensi dari perubahan iklim (to cope with the
consequences; IPCC 2007). Jadi upaya adaptasi perubahan iklim dapat dikatakan
sebagai upaya untuk meningkatkan ketahanan atau resiliensi suatu sistem,
terhadap dampak dari perubahan iklim.
Tingkat keterpaparan beberapa komponen iklim yang berubah pada sektor
transportasi udara bisa dibilang akan berlangsung selama periode perubahan iklim
itu sendiri berlangsung sehingga tidak ada alat ukur seberapa lama dan bagaimana
tingkat paparan pada sektor transportasi udara. Demikian halnya dengan tingkat
kerentanan atau sensitivitas juga belum ada instrumen yang bisa digunakan untuk
mengukur pada suatu sektor tertentu termasuk transportasi udara. Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat ini sedang mengembangkan metode
untuk mengukur tingkat kerentanaan suatu wilayah misal desa atau kecamatan,
atau suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Berdasar kajian tim studi ini, metode yang
dikembangkan KLHK ini kurang sesuai untuk mengukur tingkat kerentanan
sektoral.
Berdasarkan hasil permodelan dan analisis pada berbagai komponen iklim
didapati hasil bahwa untuk wilayah Indonesia tidak bebas pengaruh dari
perubahan ikim. Perubahan dalam wujud kenaikan suhu permukaan atmosfer akan
berdampak pada berbagai sektor kehidupan. Dalam bahasan ini tahap yang
menghubungkan antara komponen iklim yang berubah dengan dampak yang
ditimbulkan serta risiko dan peluang yang muncul merupakan tahapan analisis
risiko dan peluang digambarkan sebagaimana Gambar 4.14.
Tahapan analisis risiko dan peluang berangkat dari kondisi komponen iklim
yang berubah semisal kenaikan suhu atmosfer. Bagi sektor transportasi udara,
risiko atas kenaikan suhu bisa berdampak pada prasarana seperti menurunnya
daya tahan konstruksi seperti runway, taxiway dan apron. Bukan itu saja, kenaikan
suhu juga akan mengurangi kenyamanan ruang perkantoran di bandara serta
terminal tunggu penumpang. Khusus bagi pesawat udara, fenomena ini dapat

60
meningkatkan suhu dalam kabin pesawat sehingga dapat menganggu kinerja alat
elektronik dan sistem proteksi. Bagi operasional penerbangan, peningakatan suhu
di luar juga berdampak pada kinerja engine pesawat seperti terjadinya
keterbatasan daya angkut (lift off limit) sehingga memerlukan waktu take off lebih
lama yang berarti juga pemborosan energi.

Keragaman Iklim dan


Perubahan Iklim

Pelaksanaan
Upaya Adaptasi
Tingkat Keterpaparan Tingkat Sensitivitas Kemampuan Adaptasi (Kelembagaan,
(Level of Exposure) (Level of Sensitivity) (Adaptive Capacity) strategi, program,
dan Aksi Adaptasi)

Menentukan besarnya tingkat


kerentanan atau selang
toleransi

Besarnya dampak yang


ditimbulkan akibat keragaman
dan perubahan iklim

Gambar 4.14 Kerangka Analisis Kerentanan dan Dampak


Perubahan Iklim

Tahapan analisis risiko dan peluang berangkat dari kondisi komponen iklim
yang berubah semisal kenaikan suhu atmosfer. Bagi sektor transportasi udara,
risiko atas kenaikan suhu bisa berdampak pada prasarana seperti menurunnya
daya tahan konstruksi seperti runway, taxiway dan apron. Bukan itu saja, kenaikan
suhu juga akan mengurangi kenyamanan ruang perkantoran di bandara serta
terminal tunggu penumpang. Khusus bagi pesawat udara, fenomena ini dapat
meningkatkan suhu dalam kabin pesawat sehingga dapat menganggu kinerja alat
elektronik dan sistem proteksi. Bagi operasional penerbangan, peningakatan suhu
di luar juga berdampak pada kinerja engine pesawat seperti terjadinya
keterbatasan daya angkut (lift off limit) sehingga memerlukan waktu take off lebih
lama yang berarti juga pemborosan energi.
Dari dampak yang ditimbulkan akibat kenaikan suhu, maka risiko yang timbul
untuk prasarana antara lain terjadinya runway buckling, sedangkan kenaikan suhu

61
di ruangan berakibat pada meningkatnya konsumsi energi untuk sistem pendingin.
Bagi pesawat dampak kenaikan suhu pada cabin juga membawa risiko
menurunnya kinerja sistem elektronik serta penurunan umur komponen pesawat.
Bagi operasional penerbangan dampak penurunan kinerja engine antara lain pada
pembatasan kapasitas angkut kargo dan meningkatnya emisi gas buang serta
penggunaan energi bahan bakar pesawat yang meningkat.
Terjadinya kenaikan suhu lingkungan juga memberi peluang misal kita menjadi
lebih intensif untuk memanfaatkan material alternatif untuk konstruksi runway,
taxiway, apron maupun jalan akses ke bandara. Meningkatnya beban sistem
pendingin, memberi peluang pada pemanfaatan energi surya untuk suplai
energinya. Peluang pada dasarnya adalah suatu dampak positif yang timbul akibat
perubahan komponen iklim.

Tabel 4.2 Analisis Risiko Peluang


A Dampak Kenaikan Suhu Udara
1 Prasarana Risiko Peluang Keterangan
Daya tahan Terjadinya Pemanfaatan Bandara
konstruksi runway material Guangzhou di
runway, taxiway buckling. alternatif untuk Tiongkok
& apron Penggunaan runway, merupakan
menurun energi unt uk taxiway & contoh bandara
Kenyamanan pendinginan apron. ramah
ruang (AC) meningkat Pemanfaatan lingkungan
perkantoran dan energi alternatif dengan
terminal seperti panel mengoptimalkan
penumpang surya. sinar matahari
menurun dan ventilasi
untuk
mempertahankan
suhu dan
pencahayaan dan
hemat energi.

2 Sarana Risiko Peluang Keterangan


Peningkatan Kinerja & Pemanfaatan
suhu dalam sistem proteksi teknologi
cabin pesawat alat elektronik ramah
 menurun lingkungan
Penurunan
umur
komponen
pesawat

62
Tabel 4.2 (Lanjutan)
3 Operasi Risiko Peluang Keterangan
penerbangan:
Penurunan Konsumsi Pemanfaatan
kinerja engine
energi energi ramah
(Lift off load
meningkat. lingkungan
limit). Emisi gas
Waktu take off
buang pesawat
lebih lama. meningkat.
Suhu dalam Kapasitas
cabin angkut cargo
penumpang menurun.
bertambah Beban
panas. pendinginan
meningkat.
B Dampak Kenaikan Curah Hujan
1  Prasarana Risiko Peluang Keterangan
Jumlah hari Banjir dan Pemanfaatan Bandara
hujan dan genangan air hujan untuk Heathrow,
volume air hujan runway, air bersih/ London dan
meningkat taxiway, apron cadangan. Frankfurt di
 & jalan akses Penurunan Jerman adalah
ke bandara suhu bandara yang
Kerusakan lingkungan menerapkan
infrastruktur secara alamiah sistem drainase
kebandaraan “Channel” untuk
(landasan, mengendalikan
bangunan) air hujan.

2 Sarana Risiko Peluang Keterangan


Meningkatnya Peningkatan Pemanfaatan
pengoperasian turbulensi material
pesawat saat berdampak composite
cuaca buruk pada fluter dan
fatigue struktur
pesawat
Ketahanan
material frame
dan skin
pesawat udara
3 Operasional Risiko Peluang Keterangan
penerbangan
Peluang Delay /cancel Penurunan
meningkatnya flight suhu
kejadian banjir meningkat. lingkungan
di bandara dan Kerugian secara alami.
sekitarnya. maskapai dan Penurunan
 pengelola konsentrasi
bandara. Karbondioksida
Meningkatnya di lingkungan
peluang bandara.

63
Tabel 4.2 (Lanjutan)
terjadinya
kecelakaan
pada waktu
landing.
3 Operasional Risiko Peluang Keterangan
penerbangan
Peluang Delay /cancel Penurunan
meningkatnyaflight suhu
kejadian banjir
meningkat. lingkungan
di bandara dan
Kerugian secara alami.
sekitarnya. maskapai dan Penurunan
 pengelola konsentrasi
bandara. Karbondioksida
Meningkatnya di lingkungan
peluang bandara.
terjadinya
kecelakaan
pada waktu
landing.
C Dampak Penurunan Curah Hujan
1  Prasarana Risiko Peluang Keterangan
Menurunnya Gangguan
volume air hujan penyediaan air
dan hari hujan bersih
2 Operasional Risiko Peluang Keterangan
penerbangan
Frekuensi Gangguan Delay/cancel
terjadinya penerbangan/ penerbangan
kebakaran hutan visiability di akibat cuaca
meningkat jalur (awan & hujan)
penerbangan. menurun.
D Dampak Kenaikan Suhu Permukaan Laut
1 Prasarana Risiko Peluang Keterangan
Bandara pesisir: Penurunan Material
Daya tahan kekuatan dan alternatif untuk
konstruksi usia runway runway
runway
menurun untuk
runway yang
bersentuhan
langsung dengan
laut.

E Dampak Kenaikan Tinggi Muka Laut
1 Prasarana: Risiko Peluang Keterangan
Terjadinya Kerusakan Meningkatnya Bandara Ahmad
genangan/rob infrastruktur pemanfaatan Yani Semarang
pada bandara di seperti jalan Reverse menerapkan
tepi pantai. dan runway Osmosis (RO) disain bangunan
Meningkatnya Intrusi air laut untuk sistem panggung

64
Tabel 4.2 (Lanjutan)
hantaman ke air tawar di pengolahan air untuk
gelombang pada daratan bersih. menghindari
pondasi runway. genangan air laut
Terjadinya Kerusakan Meningkatnya Bandara Ahmad
genangan atau infrastruktur pemanfaatan Yani Semarang
rob pada seperti jalan Reverse menerapkan
bandara di tepi dan runway Osmosis (RO) disain bangunan
pantai. Intrusi air laut untuk sistem panggung
Meningkatnya ke air tawar di pengolahan air untuk
hantaman daratan bersih. menghindari
gelombang pada genangan air
pondasi runway. laut.

Arlanda Airport di
Stockholm
Swedia
memanfaatkan
air laut dengan
RO untuk
refrigerator.

Santa Barbara
Airport di USA
merupakan
bandara telah
memiliki program
monitoring rutin
terhadap
kenaikan TML.

F Dampak Akibat Kejadian Cuaca/Iklim Ekstrim


1 Prasarana Risiko Peluang Keterangan
Peluang Kerusakan Peninjauan
terjadinya petir infrastruktur terhadap
dan badai bangunan material dan
meningkat bandara bahan
Peluang bangunan
terjadinya curah alternatif
hujan ekstrim
meningkat
Peluang
kejadian El Nino
dan La Nina
meningkat

65
Tabel 4.2 {Lanjutan)
2  Sarana Risiko Peluang Keterangan
Petir dan badai Gangguan alat Peremajaan dan
sering terjadi elektronik dan modernisasi
Curah hujan sistem peralatan
ekstrim komunikasi elektronik
meningkat pesawat
Penurunan
umur material
pesawat dan
strukturnya
karena frekuensi
hantaman cuaca
buruk.
3  Operasional Risiko Peluang Keterangan
penerbangan
Curah hujan Delay/cancelpen Peninjauan
ekstrim. erbangan semua prosedur
Potensi meningkat operasional
badai/putting Potensi penerbangan
beliung kecelakaan menjadi adaptif
meningkat. pesawat iklim dan
Potensi meningkat memenuhi
windshear, Kerugian kaidah
windcross dan maskapai keselamatan
microburst
meningkat

Analisis risiko dan peluang sebagaimana uraian di atas dilakukan juga terhadap
komponen perubahan iklim lainnya seperti naiknya muka air laut, perubahan
intensitas curah hujan maupun kejadian iklim ektrim. Tabel 4.2 adalah contoh
analisis risiko peluang untuk sektor transportasi udara secara ringkas.

4.6 Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Sektoral


Setelah mempertimbangkan hasil analisis risiko Dan peluang serta kapasitas
adaptasi sektor transportasi udara selanjutnya dapat disusun strategi maupun
kebijakan yang mendukung pelaksanaan strategi adaptasi terhadap dampak
perubahan iklim. Apa yang akan diuraikan berikut adalah sebagai contoh atau
gambaran strategi adaptasi dalam jangka pendek, menengah dan panjang baik
untuk sarana, prasarana dan operasional penerbangan.

66
a) Aksi adaptasi terkait prasarana penerbangan antara lain;
Jangka Pendek (2-3 tahun)
1. Pengkajian standard disain, konstruksi dan operasi runway, taxiway dan
apron yang mempertimbangkan kenaikan suhu dan peningkatan curah
hujan.
2. Pembuatan peraturan standard perawatan runway, termasuk penjadwalan
dan persyaratan kualifikasi pelaksana perawatan runway.
3. Pengkajian standard disain, konstruksi dan operasi runway, yang
bersinggungan dengan air laut/tepi pantai untuk mengantisipasi kenaikan
muka air laut
4. Penerbitan peraturan terkait perawatan runway yang berdekatan pantai
terkait kenaikan suhu muka laut dan tinggi muka laut
5. Untuk mengantisipasi dampak bandara yang justru mengalami penurunan
curah hujan, dilakukan aksi pemanfaatan air pada waterpond dan wadah
tadah hujan untuk memenuhi kebutuhan air bersih setelah mengalami
daur ulang.
6. Aplikasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) untuk pemanfaatan daur
ulang air limbah untuk penyiraman jalan dan tanaman

Jangka Menengah (~ 5 tahun )


1. Mengantisipasi peningkatan suhu atmosfer yang terus meningkat perlu
disain bandara baru atau disain revitalisasi bandara yang ada menjadi ramah
lingkungan meliputi antara lain;
a. Penerapan eco-office pada bangunan perkantoran di bandara dan tata
letak yang efisien.
b. Penggunaan bahan material yang memiliki koefisien ekspansi termal
rendah.
c. Penggunaan solar panel sebagai substitusi kebutuhan listrik.
d. Penggunaan refrigerator dengan Sistem Solar Thermal Cooling.
e. Pemasangan kanopi buatan atau alami untuk menahan panas.
f. Penanaman pohon di sekitar bangunan bandara
g. Optimalisasi efisiensi jarak dari konter check-in, ruang tunggu, dan lajur
boarding, untuk mengurangi kebutuhan akan pendingin ruangan.

67
h. Pembuatan SOP untuk efisiensi pengaturan waktu check in, masuk ruang
tunggu, dan boarding, untuk mengurangi jumlah penumpang dalam satu
ruangan di waktu yang lama yang berimplikasi pada penambahan beban
AC dan energi.
2. Untuk mengantisipasi peningkatan curah hujan, perlu dilakukan peningkatan
kapasitas tampung dan kapasitas alir sistem drainase di bandara dan
sekitarnya meliputi aksi;
a. Peningkatan kapasitas tampung dan alir sistem drainase di bandara dan
sekitarnya
b. Penambahan wadah penampung air hujan yang terintegrasi dengan
water pond;
c. Optimalisasi penggunaan air water pond untuk kebutuhan air baku di
wilayah kebandaraan,
d. Pembuatan sodetan air di pinggir landasan
e. Pembuatan sumur resapan di sekitar bandara
f. Peremajaan sistem pemompaan air hujan
g. Peninjauan kembali kapasitas sistem drainase yang ada
h. Perawatan sistem drainase lebih terprogram
3. Guna mengantisipasi kenaikan suhu permukaan laut dan terutama kenaikan
tinggi muka laut, dilakukan aksi sebagai berikut;
a. Peningkatan elevasi atau pemindahan posisi runway
b. Desain bangunan terminal sistem panggung
c. Pemanfaatan air laut dengan sistem Reverse Osmosis (RO) untuk
refrigerator.
4. Mengantisipasi meningkatnya kejadian cuaca/iklim ekstrim perlu dilakukan
peningkatan spesifikasi material bangunan bandara serta teknik
perawatannya.

Jangka Panjang (~10 tahun)


1. Mengantisipasi kejadian genangan akibat naiknya tinggi muka laut, perlu
dilakukan aksi pembuatan bangunan pelindung jalan dan runway termasuk
diantaranya dengan;
a. Revetment, seawall; bulkhead, groins dan geotextile

68
b. Bangunan pemecah gelombang
c. Reklamasi dengan menambah suplai sedimen ke pantai
2. Membangun sistem monitoring untuk tinggi muka laut dan cuaca pantai
a. Membuat program monitoring rutin tinggi muka laut
b. Monitoring erosi/abrasi sisi pantai

b) Aksi adaptasi terkait sarana penerbangan antara lain;


Dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim khususnya terhadap pesawat,
semua rencana aksi umumnya sudah dilakukan oleh pihak perusahaan pembuat
pesawat dan vendor, sehingga tidak menjadi tanggungjawab otoritas bandara.
Beberapa aksi adaptasi untuk sarana penerbangan antara lain;
Jangka Pendek (2-3 tahun)
1. Mendorong peningkatan aktivitas riset bidang material pesawat
Jangka Menengah (~5 tahun)
1. Peningkatan kinerja sistem elektronik dan proteksinya terkait peningkatan
suhu udara
2. Penggunaan material untuk struktur pesawat yang lebih mempertimbang-
kan kondisi cuaca ekstrim
3. Peningkatan daya tahan (umur) alat elektronik pesawat (avionic)
Jangka Panjang (~10 tahun)
1. Pesawat dengan kemampuan terbang di atas lapisan GRK di atmosfer serta
kecepatan yang lebih tinggi.

c) Aksi adaptasi terkait operasional penerbangan antara lain;


Jangka Pendek (2-3 tahun)
1. Mengantisipasi kenaikan suhu udara dan terjadinya off load limit, perlu aksi
substitusi bertahap ke energi a lternatif/biofuel serta penghematan energi,
meliputi;
a. Pemanfaatan bioavtur untuk pesawat dan biosolar atau mobil listrik
untuk kendaraan operasional di bandara.
b. Menyusun SOP: optimalisasi efisiensi waktu untuk boarding dan take off

69
c. Menyusun SOP: Menurunkan penutup jendela ketika akan meninggalkan
pesawat, untuk menghalangi panas matahari ke dalam kabin, sehingga
mengurangi konsumsi energi AC.

Jangka Menengah (~5 tahun)


1. Mengantisipasi turunnya kinerja engine pesawat akibat kenaikan suhu, perlu
dilakukan peninjauan kembali panjang landasan meliputi;
 Pengkajian panjang runway dan retrofitting
 Penyesuaian/retrofit panjang dan posisi runway jika diperlukan
2. Mengantisipasi kejadian cuaca dan iklim ekstrim perlu peningkatan
kemampuan radar termasuk sistem peringatan dini, antara lain;
 Pengintegrasian radar navigasi yang disatukan dengan radar cuaca
 Pengadaan alat pengukur level air di permukaan landasan pacu di Bandar
udara
3. Peningkatan bandwidth untuk komunikasi udara
4. Penerapan system wide information management (SWIM) untuk
peningkatan sistem informasi cuaca penerbangan

Jangka Panjang (~10 tahun)


 Peningkatan kemampuan deteksi dini dan peramalan kejadian cuaca
ekstrim untuk menekan angka kecelakaan.
 Peningkatan kemampuan Air Traffic Control (ATC)
 Penataan kembali rute penerbangan (re-routing) akibat naiknya awan
konvektif yang berakibat meningginya jalur penerbangan.

70
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian, E., R.D. Susanto.2003. Identification of three dominant rainfall regions
within Indonesia and their relationship to sea surface temperature.
International Journal of Climatology. 23, 1435-1452.
Aldrian, E., M. Karmini, Budiman. 2011. Adaptasi Dan Mitigasi Perubahan Iklim di
Indonesia., Pusat Perubahan Iklim Dan Kualitas Udara, Badan Meteorologi,
Klimatologi Dan Geofisika (BMKG), Jakarta.
Antaranews. 2006. Pemanasan Udara di Surabaya Tingkatkan Penjualan Air
Condition (AC). http://www.antaranews.com/beri- ta. 16 Januari 2014, pk.
13.21 WIB
Ash, A.J., J.B. Smith. 2013. Adaptation research:Community Science or Dicipline? In
Climate Adaptation Futures. John Willey and Sons. Oxford.
BAPPENAS dan BAKORNAS PB, 2006, Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko
Bencana tahun 2006 – 2009, BAKORNAS PB.
Bappenas. 2009. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR). Synthetic
Report
Boerema, J. 1938. Rainfall Types in Netherlands Indie. Verhandelingen no.18.
Jakarta, Koninklijk Magnetisch en Meteorologisch Observatorium te Batavia.
Buck, R., N., Robert O. Buck, Weather Flying. MacGrawhill education, 5th edition,
2013
CDIAC USA. 2004. Fossil Fuel CO2 Emission by Nation. 29 April 2011.
http://co2now.org/Know-GHGs/Emissions. 29 April 2011, pk. 20.30 WIB.
Chang CP, Wang Z, Ju J, and Li T. 2004. On the relationship between western
maritime continent monsoon rainfall and ENSO during northern winter. J.
Climate, 17, 665–672.
Climate Central. 2013. U.S. Airports Face Increasing Threat From Rising Seas.
http://www.climatecentral.org/news/coastal-us-airports-face-increasing-
threat-from-sea-level-rise-16126. 16 Mei 2016, pk. 10.06 WIB.
CNN. 2011.Floods reach Bangkok airport, force evacuations.
http://edition.cnn.com/2011/10/24/ world/asia/ thailand-flood, 13 Mei 2015,
pk.8.58 WIB.
Dailymail.2011. In the event of a water landing… flooded airport pictures show
extent of Thai crisis which is worst in over half a century.
http://www.dailymail.co.uk/news/article-2055644
/Thailand-floods-Bangkok-Don-Mueang-Airport-pictures-extent-crisis, 14 Mei
2015,pk.9.58 WIB
Defra. 2011. Water for Life. www.defra.gov.uk, diakses 13 Februari 2016, pk. 11.35
WIB.
Gallopin, G.C. 2006. Linkages between vulnerability, resilience, and adaptive
capacity. Global Environmental Change, Volume 16, Issue 3, Pages 293–303.
Hawthorne, W.R., W.T. Olson. 1960. Design and Performance of Gas Turbine
Power Plants. Princeton University Press.

71
Hempel, L.C. 1995. Environmental Governance: The Global Challenge. Island Press.
Hendiarti, N., M. Sadly, Agustan. 2011. Teknologi Adaptasi Perubahan Iklim Untuk
Bidang Kelautan, Deputi Pendayagunaan Iptek – Kemenristek.
Hennessy, et.al.2007. Australian and New Zealand,In: Climate Change 2007;
Impact, Adaptation, and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the
Fourth Assessment Report of IPCC. Cambridge University Press.
ICAO. 2010. ICAO Environmental Report. Aviation and Climate Change
ICAO. 2016. On Board a Sustainable Future- Aviation and Climate Change. ICAO
Environment Report 2016
IPCC. 1995. Climate Change 1995: Impacts, Adaptations and Mitigation of Climate
Change: Scientific-Technical Analyses - Contribution of Working Group II to the
Second Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change.
Cambridge: Cambridge University Press.
IPCC. 2007. Climate Change 2007 – The Physical Science Basics, Summary for
Policymakers, by UNEP & WMO, Technical Summary and FAQ, 2007
JPNN.2009. Banjir Besar, Bandara Lumpuh Lagi. http://jpnn.com/berita.detail-
17024. 13 Juni 2016, pk. 11.45 WIB.
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (KLH-RI). 2007. Rencana Aksi
Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI).
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (KLH-RI). 2010. Status
Linkungan Hidup Indonesia 2010.
Ministry of Environment (MoE), Republic of Indonesia. 2009. Indonesia Second
National Communication (SNC) Under the United Nation Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC) – Final Report.
Numberi, F. 2011. Transportasi Dan Perubahan Iklim, PT. Bhuana Ilmu Populer,
Jakarta.
OFDA/CRED International Disaster Database (2007), http://www.emdat.be/
country_profile/ index.html, diakses 11 Mei 2016, pk. 15.30, WIB.
Parry, M.L. et.al. 2007. Climate Change 2007; Impact , Adaptation, and
Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment
Report of IPCC. Cambridge. CUP.
Republika. 2014. Badai Salju AS, 2.500 Penerbangan Batal.
http://www.republika.co.id/berita/ internasional/ global/ 14/01/03/mytfvr-
badai-salju-as-2500-penerbangan-batal. 28 Maret 2014, pk.11.30 WIB.
Schuchard, R., Tiffany Finley. 2011. Adapting to Climate Change: A Guide to the
Transportation Industry. BSR. http://www.bsr.org/reports/ BSR_Climate_
Adaptation_Issue_Brief. 12 Mei 2016, pk. 8.56 WIB.
Sietchiping, R.2006. Applying An Index of Adaptive Capacity to Climate Change in
North-Western Victoria, Australia. Applied GIS. Monash University EPRESS, 2.
Smith, M. 2014. Airfoil Contamination. Retrieved October 2, 2014, from Wings of
the World: http://www.pilotwings.org/airfoil-contamination.html, 21 Mei 2016,
pk.9.57 WIB.

72
Smith, T.M., and R.W. Reynolds, 2004: Improved Extended Reconstruction of SST
1854-1997. Journal of Climate, 17, 2466–2477.
Sorokin, L., G. Mondello. 2015. Sea Level Rise, Radical Uncertainties and decision-
maker’s LiabiLity: the European Coastal Airports case. GREDEG Working Paper
No. 2015-46. http://www.gredeg.cnrs.fr/working-papers.html, 26 September
2016, pk. 12.05
Stern, N., 2006, The Stern Review on the Economics of Climate Change UNFCCC,
2012, 2nd Commitment Period of Kyoto Protocol,
http://unfccc.int/kyoto_protocol/doha amendment/items/7362.php.11 Mei
2016, pk. 21.25 WIB.
WMO, 2014. Aerodrome Reports and forecast: A User’s Handbook to the Codes,
6th edition.

73
INDEKS

Adaptasi, 2, 3, 4, 22, 54, 66 Microbrust, 42, 79


Anthropogenic, 4, 5, 46, 54 Mitigasi, 16
Apron, 74,75,76, 80 Nitrogen trifluorida, 13
Atmosfer, 6, 8 NOTAM, 19
Buckling, 74, 75, 76 ODS, 9
Carbon tetrachloride, 9 Participatory, 3
CFCs, 9 Perfluorkarbon, 5, 13
COP, 14 Preparedness, 3
Cross wind, 43,44,79 Risiko bencana, 3
Curah hujan, 1, 2, 5 Protokol Kyoto, 17
Dinitrosida, 5, 13, 20 Radiasi, 8
Eco-office, 81 REDD, 15
Emisi, 7, 8, 12, 13 Resilience, 9, 22
Global warming, 4 Resisten, 1
GRK, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 13, 16, 48, 55 Retrofitting, 84
Halons, 9 Road map, 18
HCFCs, 9 Runway, 74, 75, 76, 78, 80, 82, 83, 84
Hidrofluorokarbon, 6 Sea level rise, 2, 43
ICAO, 14, 50 Sensitivitas, 66, 72
Icing, 28, 29 SIGMET, 20
Iklim ekstrim, 3, 11 SNC, 19, 21
Infrastruktur, 2, 3 SWIM, 20
Intrusi, 31, 32 Sulfur heksafluorida, 13
IPCC, 1, 3, 6, 9 TAF, 20
Kapasitas adaptasi, 71 Take-off, 26, 74
Karbondioksida, 5, 13, 20 Taxiway, 74, 75, 76, 80
Kepekaan, 71 Tektonik, 62
Kerentanan, 2, 66, 72 UNFCCC, 12, 13, 14, 16, 19
Keterpaparan, 71 Visiabilitiy, 40, 47
Landing, 26 Vulnerable, 69
LULUCF, 17, 20 Wind shear, 41, 79
Metana, 5, 13, 20
Methyl bromide, 9
Methyl chloroform, 9

74
75

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai