Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala
bantuannya sehingga kemudian penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Dinamika Politik Negara Argentina Pada Masa Pemerintahan Juan
Peron 1946-1955” yang digunakan untuk memenuhi tugas akhir dari mata kuliah
Masyarakat Budaya Politik Amerika Latin. Tidak lupa, penulis juga mengucapkan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis sejak
proses perkuliahan dalam mata kuliah ini dimulai hingga akhir karena tanpa
bantuan yang diberikan, maka makalah ini pun tidak akan pernah terselesaikan.
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Bab I : Pendahuluan
Latar Belakang 1
Metode Penelitian 1
Rumusan Masalah 2
Bab II : Pembahasan 3
Referensi 13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Pasca berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945, dunia bisa dikatakan
mengalami kelumpuhan massal dimana hampir seluruh negara di dunia pada saat
itu mengalami instabilitas yang sangat tinggi dan diperparah dengan kekacauan
ekonomi pasca perang yang sukses untuk mengacaukan situasi dunia pada periode
tersebut. Kawasan Amerika Latin pun tidak luput dari kekacauan pasca Perang
Dunia II ini tetapi ada satu negara yang mampu untuk bangkit dengan tempo yang
bisa dikatakan relatif cepat dibandingkan dengan negara-negara lainnya di
kawasan Amerika Latin dan di dunia secara umumnya. Negara yang dimaksud di
sini adalah Argentina yang pada periode itu baru saja melantik Juan Peron sebagai
presiden Argentina pertama yang dipilih secara demokratis pasca Perang Dunia II.
Di bawah kepemimpinan Juan Peron inilah Argentina kemudian bangkit kembali
menjadi salah satu negara yang berkembang dari segi politik dan ekonomi.
2. METODE PENELITIAN
1
3. RUMUSAN MASALAH
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Peron naik menjadi Presiden Argentina pertama yang dipilih secara demokratis
oleh warga Argentina.
4
Selama periode masa jabatannya yang pertama dari tahun 1946 hingga 1952,
Juan Peron menggunakan kekuatan dari massa pendukungnya yang mayoritas
berasal dari kaum buruh untuk menjaga stabilitas kekuasannya. Kaum buruh dan
masyarakat kelas bawah yang mendukung Juan Peron ini kemudian dikenal
sebagai kaum Peronist dan ide-ide serta pemikiran Juan Peron yang menjadi
prinsip dasar yang dianut oleh kaum Peronist dikenal sebagai Peronisme. Paham
Peronisme ini kemudian menginfiltrasi dan mempengaruhi hampir seluruh
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Juan Peron selama periode
pemerintahannya (Anonim 2012). Peronisme sendiri pada dasarnya merupakan
“humanism in action”, mengutip salah satu pidato Juan Peron (1948 dalam
Anonim 2012). Peronisme mengambil prinsip-prinsip humanisme yang kemudian
dikombinasikan dengan beberapa nilai-nilai militerisme, katolikisme dan beberapa
perspektif kontemporer lainnya dan memiliki tujuan utama untuk membentuk
suatu masyarakat yang tidak terbatas oleh kelas atau struktur tertentu (Wolfenden
2013).
Dari segi kebijakan luar negeri, Juan Peron mengambil apa yang kemudian
dilabeli sebagai Third Position. Dijelaskan lebih lanjut oleh Ratliff & Calvino
(2007), pengambilan sikap netral oleh Argentina ini sedikit banyak dipengaruhi
oleh berbagai tuduhan bahwa Argentina merupakan negara fasis dan pendukung
NAZI Jerman sebagai akibat dari kedekatan Argentina dengan Jerman selama
periode Perang Dunia II. Selain itu, Argentina di bawah pemerintahan Juan Peron
juga memiliki pemikiran bahwa kedua ideologi yang ada di dunia pada saat itu
yaitu komunisme dan liberalisme tidak memiliki keuntungan apapun jika
diimplementasikan di Argentina sehingga kemudian Argentina memutuskan untuk
tidak berafiliasi dengan blok manapun, mendahului konsepsi Gerakan Non-Blok
yang berakar dari Konferensi Asia Afrika yang diadakan oleh negara-negara yang
berada dalam kawasan Asia dan Afrika di Bandung pada tahun 1955 (Ratliff &
Calvino 2007). Konsepsi netral inilah yang kemudian diterapkan oleh Argentina
dalam mengambil kebijakan luar negerinya selama masa pemerintahan dari Juan
Peron.
Pada pemilihan umum tahun 1952, Juan Peron kembali terpilih sebagai
Presiden Argentina berkat dukungan yang massif dari para pendukungnya. Tetapi
5
periode masa jabatannya yang kedua ini tidak berjalan semulus periode jabatan
pertamanya, bahkan pada periode ini kekuasaannya berakhir dengan kudeta
militer di tahun 1955. Dijabarkan oleh Marshall (2014), indikasi pertama dari
kejatuhan Juan Peron dimulai ketika istrinya Evita jatuh sakit dan kemudian
meninggal dunia pada tanggal 26 Juli 1952. Kematian Evita Peron yang
merupakan panutan bagi kaum wanita dan masyarakat kelas bawah di Argentina
seolah menjadi salah satu titik awal kejatuhan Juan Peron. Pasca kematian sang
istri yang dielu-elukan oleh mayoritas masyarakat Argentina, Juan Peron seolah
kehilangan mayoritas massa pendukungnya dan kekuasaannya pun mulai goyah.
Hodges (1976 dalam Marshall 2014) menambahkan, kondisi ekonomi Argentina
yang pada saat itu tengah menurun juga menyebabkan dukungan masyarakat
terhadap Peron semakin menurun.
Kematian Evita Peron ini seolah menjadi penanda awal dari kejatuhan Juan
Peron dari tampuk kekuasaan Argentina. Hal ini saling berkaitan karena walaupun
Juan Peron merupakan presiden Argentina, Evita Peron yang kemudian bertindak
menjadi perpanjangan tangan Peron dalam melakukan diplomasi dengan berbagai
negara di kawasan Eropa. Dijelaskan lebih lanjut oleh Marshall (2014), Evita
Peron kemudian membantu memperkenalkan berbagai kebijakan-kebijakan Peron
melalui apa yang kemudian dikenal sebagai Rainbow Tour pada tahun 1947.
Rainbow Tour ini merupakan serangkaian kunjungan-kunjungan kenegaraan yang
dilakukan oleh Evita Peron ke beberapa negara di kawasan Eropa Barat.
Kunjungan ini menimbulkan beberapa kontroversi di antara petinggi-petinggi
negara di Eropa karena mereka mencurigai kedekatan Peron dan Evita dengan
pimpinan NAZI Jerman pada masa Perang Dunia II (Deiner 1973). Terlepas dari
berbagai kontroversi yang mengikuti rangkaian kunjungan kenegaraan Evita,
kunjungan Evita ini sukses untuk membangun citra Peron di mata internasional.
Di tahun 1953, hubungan Peron dengan Gereja Katolik mulai memburuk dan
menyebabkan Peron semakin kehilangan pendukungnya. Dijelaskan oleh Marshall
(2014), pada awalnya Gereja Katolik di Argentina mendukung naiknya Juan
Peron sebagai presiden karena janji Peron untuk lebih memperhatikan dan
menginklusikan pandangan Gereja Katolik di dalam pemerintahannya. Salah satu
bentuk usaha yang dilakukan oleh Peron untuk menggalang dukungan dari Gereja
6
Katolik adalah memasukkan pendidikan Agama Katolik di dalam kurikulum
pembelajaran untuk sekolah-sekolah di Argentina. Namun, seiring dengan
semakin otoriternya pemerintahan Peron, Gereja Katolik pun mulai menarik
dukungan mereka dari Peron. Hal ini diperparah dengan adanya restriksi-restriksi
yang dibentuk oleh Peron untuk menekan pengaruh dari Gereja Katolik sehingga
kemudian semakin mendorong Gereja Katolik untuk menarik dukungan mereka
dari Juan Peron dan menyebabkan Juan Peron semakin kehilangan kekuasaan atas
Argentina (Marshall 2014).
Kejatuhan dari Juan Peron sendiri dimulai dengan adanya kudeta militer pada
tanggal 16 Juni 1955 yang kemudian menyebabkan Juan Peron jatuh dari kursi
kepresidenan dan melarikan diri dari Argentina pada bulan September 1955
(Ratliff & Calvino 2007). Kejatuhan Juan Peron ini kemudian menjadi awal mula
terjadinya kekacauan di Argentina dimana para pendukung setia Peron merasa
bahwa kejatuhan Peron ini merupakan tindakan curang dan kemudian mendoorng
mereka untuk menolak pemerintahan baru. Dijelaskan lebih lanjut oleh Horowitz
(1963), jatuhnya Juan Peron dari tampuk kekuasaan di Argentina ini kemudian
mendorong para Peronist untuk menngacaukan pemerintahan yang ada dengan
harapan agar Peron kembali ke Argentina dan menjadi pemimpin mereka lagi.
Salah satu usaha mereka untuk mengacaukan perpolitikan di Argentina adalah
dengan memasukkan balot kosong ke dalam kotak suara ketika diadakan kembali
pemilihan umum di Argentina pada tahun 1958. Hal ini terus berlangsung hingga
Arturo Illia terpilih sebagai presiden Argentina pada tahun 1963. Setelah Illia
terpilih, para Peronist menyadari bahwa kemungkinan Peron untuk kembali ke
tampuk kekuasaan pun telah tertutup.
Jika ditinjau dari segi politik, masa pemerintahan Juan Peron ini bisa
dikatakan sebagai pemerintahan yang bersifat populis, diktator, dan otoritarian.
Hal ini bisa dilihat pada tulisan dari Morris A. Horowitz (1963) yang berjudul The
Legacy of Juan Peron yang secara garis besar menyatakan bahwa Juan Peron
merupakan seorang pemimpin yang mampu untuk mengacaukan proses demokrasi
di Argentina pasca kejatuhannya di tahun 1955. Sebagaimana telah dijeaskan
sebelumnya, para Peronist ini menggunakan berbagai strategi untuk
menggagalkan proses demokrasi di Argentina dengan segala kemampuan yang
7
masih tersisa pada mereka pasca tersingkirkannya Juan Peron dari kursi
kepresidenan dan kemudian dari Argentina. Hoffman (1956) menjelaskan lebih
lanjut, kekacauan perpolitikan di Argentina pasca kudeta militer yang
menjatuhkan Peron dari tampuk kekuasaan ini semakin memperburuk situasi
Argentina secara umum yang pada saat itu juga tengah dilanda oleh krisis
ekonomi berkepanjangan yang disebabkan oleh menurunnya pasar ekspor-impor
Argentina.
Situasi yang kacau ini kemudian dipantau oleh Peron yang pasca
kejatuhannya kemudian mengasingkan diri ke Spanyol dan berada di sana hingga
tahun 1972 ketika Partai Peronist kembali memenangkan pemilihan umum di
Argentina (Donghi 1998). Ketika kemudian Hector Jose Campora yang
merupakan representasi dari Partai Peronist memenangkan pemiliha umum dan
menjadi Presiden Argentina, Juan Peron memutuskan untuk kembali ke Argentina
dan kembali kepada pendukungnya yang telah lama menantikan kepulangan
pemimpinnya tersebut. Satu tahun kemudian, Campora mengundurkan diri dari
jabatannya dan Juan Peron kembali menjadi Presiden Argentina (Marshall 2014).
Situasi politik seperti inilah yang kemudian sukses untuk mengacaukan kembali
segala bentuk usaha untuk membangun Argentina yang demokratis dan
kembalinya Argentina pada pemerintahan yang bersifat otoriter dan militeristik
hingga awal dekade 1980-an.
Warisan utama dari masa pemerintahan Juan Peron sendiri adalah konsep
yang kemudian dikenal sebagai konsep Peronisme yang menjadi salah satu prinsip
yang prominen pengaruhnya di dalam sistem politik Argentina. Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya oleh Anonim (2012), Peronisme menggunakan
prinsip-prinsip dasar dari perspektif militer, agama Katolik, dan perspektif-
perspektif kontemporer seperti fasisme dan mengimplementasikannya ke dalam
bentuk pemerintahan yang ototitarian dan populis. Elias (2017) menjabarkan lebih
lanjut, otoritarianisme di Argentina pada masa pemerintahan Juan Peron ini
mengakar pada sistem otoritarian yang telah berlaku di Argentina pada masa
pemeritahan sebelumnya. Hal inilah yang kemudian menjadi justifikasi bagi Juan
Peron untuk melaksanakan pemerintahannya secara otoriter. Salah satu bentuk
nyata dari bagaimana Juan Peron merupakan seorang pemimpin yang otoriter bisa
8
dilihat dari bagaimana Peron berusaha untuk mengontrol media massa dan
membungkam media massa milik oposisinya.
Kontrol media massa yang ketat selama masa pemerintahan Juan Peron ini
dijelaskan oleh Widener (2014) sebagai salah satu strategi yang digunakan oleh
Peron untuk melegitimasi kekuasaannya sehingga mampu untuk bertahan selama
setidaknya hampir satu dekade. Selain itu, pernikahannya dengan Eva Duarte
yang merupakan seorang aktris radio seolah membuka jalan bagi Peron untuk
menggunakan radio sebagai salah satu alat propagandanya demi melanggengkan
kekuasaannya. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana Peron sering menggunakan
radio sebagai sarana untuk berpidato dan secara tidak langsung menjadi sarana
yang tepat untuk mempropagandakan Juan Peron sebagai seorang tokoh yang
berpengaruh di Argentina (Widener 2014). Masyarakat Argentina pun kemudian
semakin mempercayai segala pernyataan yang dilontarkan oleh Peron karena para
oposisi Peron dibungkam ketika mencoba untuk mengimbangi berbagai
propaganda yang disebarkan oleh Peron dan Peronist. Tindakan kontrol ketat atas
media massa yang dimiliki oposisi ini lah yang kemudian disebut sebagai
tindakan yang otoriter oleh Elias (2017).
9
Sebagai penutup, ketika kemudian Juan Peron kembali menjadi presiden di
Argentina pada tahun 1973 setelah menghabiskan sekitar 17 tahun di pengasingan
setelah ia dikudeta tahun 1955, ia mencoba untuk membangkitkan kembali
Peronisme yang ampuh untuk melegitimasi dan melancarkan masa jabatannya dua
dekade yang lalu. Tetapi sebagaimana tercatat dalam sejarah, Juan Peron yang
menghembuskan napas terakhirnya pada tahun 1974 dan kemudian digantikan
oleh istri ketiganya Isabel Peron yang pada akhirnya dijatuhkan melalui kudeta
militer pada tahun 1976 (Marshall 2014). Jatuhnya Isabel Peron ini seolah
menjadi lembar penutup dari dinamika politik Juan Peron yang penuh dengan
intrik dan usaha-usaha legitimasi kekuasaan yang bersifat represif dan otoriter dan
juga menjadi akhir dari konsepsi Peronisme yang sukses untuk melanggengkan
kekuasaan Juan Peron pada masa kejayaannya di akhir dekade 1940-an hingga
awal 1950-an.
10
BAB III
KESIMPULAN
Juan Peron sendiri kemudian dikenang sebagai salah satu negarawan dengan
segala kebaikan dan keburukannya oleh masyarakat Argentina dan menjadi salah
satu tokoh historis yang cukup signifikan dalam dinamika sejarah Argentina.
Berbagai kebijakannya yang pada dasarnya memiliki tujuan utama untuk
menyejahterakan masyarakat Argentina pun kemudian dikenang sebagai
kebijakan-kebijakan yang kemudian mampu untuk mempertahankan Argentina
dari pusaran krisis yang terjadi pasca berakhirnya Perang Dunia II.
Dari segi politik sendiri, Juan Peron meninggalkan warisan yang cukup dalam
dimana banyak perubahan yang ia bawa selama kurun waktu pemerintahannya
yang berlangsung sekitar satu dekade lamanya yang kemudian dapat dinikmati
oleh seluruh masyarakat Argentina. Perubahan-perubahan tersebut diantaranya
adalah diizinkannya wanita untuk menggunakan hak pilihnya yang pada periode
tersebut merupakan suatu hal yang sangat lumrah di beberapa negara Dunia
Ketiga bagi kaum wanita untuk tidak memiliki hal pilih dalam pemilihan umum.
Selain itu, atas usaha yang dilakukan oleh istrinya Evita, Juan Peron juga
dikenang sebagai pemimpin yang dekat dengan masyarakat kelas bawah dan
benar-benar memiliki intensi yang baik untuk kesejahteraan masyarakat kelas
bawah di Argentina.
Terlepas dari segala kesalahannya, Juan Peron tidak dapat dipungkiri lagi
telah melukiskan sebuah dinamika yang progresif bagi masyarakat Argentina
11
secara spesifik dan bagi dunia secara umum dimana ia berusaha untuk membawa
Argentina menuju kebaikan walaupun di dalam perjalanannya ia menggunakan
metode-metode yang di kemudian hari terkategorikan sebagai metode yang
otoriter, represif, dan menekan kebebasan berpendapat dari masyarakat Argentina.
Dengan demikian, warisan utama yang sesungguhnya ditinggalakan oleh Juan
Peron adalah apa yang kemudian mampu untuk dimanfaatkan oleh masyarakat
Argentina pada masa kini yaitu kemajuan-kemajuan yang jelas akan membawa
Argentina pada kebaikan-kebaikan di masa depan.
12
REFERENSI
Deiner, John T. 1973. “Eva Peron and The Roots of Political Instability in
Argentina” dalam Civilisations vol. 23/24 no. 3/4
Donghi, Tulio Halperin. 1998. “The Peronist Revolution and its Ambiguous
Legacy” dalam Occasional Paper No. 17. London: Institute of Latin
American Studies, University of London
Hoffman, Fritz L. 1956. “Peron and After: A Review Article” dalam The Hispanic
American Historical Review vol. 36 no. 4
Horowitz, Morris A. 1963. “The Legacy of Juan Peron” dalam Challenge vol. 12
no. 1
Marshall, Annelise N. 2014. “Peron: the Ascent and Decline to Power” dalam
Honors Senior Thesis/ Project 17. Oregon: Western Oregon University
13
Ratliff, William & Calvino, Luis Fernando. 2007. 20th Century Argentina in the
Hoover Institution Archives [online]. Tersedia pada
https://www.hoover.org/sites/default/files/library/docs/hoover_argentina_guid
e_eng.pdf (Diakses pada 7 Juni 2019)
Spruk, Rok. 2018. “The Rise and Fall of Argentina” dalam Mercatus Working
Paper. Virginia: Mercatus Center at George Mason University
Widener, Nathan. 2014. Peron’s Political Radio Melodrama: Peronism and Radio
Culture 1920-1955. North Carolina: Department of History, Appalachian
State University
14
MAKALAH
MASYARAKAT BUDAYA POLITIK AMERIKA
LATIN
Disusun Oleh: