Mengamuk PDF
Mengamuk PDF
MENGAMUK
Disusun Oleh :
Kelompok 11
Tutor:
Bulan Kakanita H, dr.
A. Latar Belakang
Sdr. A, 20 tahun, laki-laki, karyawan swasta, dibawa ke UGD Rumah Sakit Jiwa
oleh orang tua dan saudara-saudaranya karena mengamuk, merusak barang-barang di
rumah, dan mengancam akan membakar rumahnya. Pasien juga merasa dimusuhi
oleh orang tua dan saudara-saudaranya, bahkan khawatir makanan atau minumannya
diberi racun oleh mereka. Menurut orang tuanya, pasien mulai tampak perubahan
tingkah laku sejak 2 minggu sebelumnya karena merasa rekan-rekan kerjanya tidak suka
dan memusuhinya, sehingga pasien tidak mau masuk kerja. Orang tuanya menduga,
pasien mengalami stress yang berat setelah tidak bekerja. Dari riwayat keluarga
diketahui bahwa adik laki-laki ibunya juga pernah mengalami gangguan serupa.
Dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan. Pemeriksaan status mental pada pasien
didapatkan halusinasi auditorik dan thought insertion, insight (tilikan diri) derajat 1.
B. Rumusan Masalah
1. Mengetahui patofisiologi dari keluhan pasien.
2. Mengetahui interpretasi hasil pemeriksaan pada kasus dalam skenario.
3. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis pada kasus dalam skenario.
4. Mengetahui diagnosis banding dari keluhan pasien dalam skenario.
5. Mengetahui penatalaksanaan yang tepat untuk pasien pada kasus dalam skenario.
BAB II
DISKUSI DAN STUDI PUSTAKA
4. Bagaiman hubungan penyakit yang diderita pasien dengan riwayat keluarga? (belum
terjawab)
5. Apa saja jenis gangguan jiwa? Gangguan jiwa apa yang diderita pasien? (belum
terjawab)
6. Apa pengertian sehat secara mental?
Sehat atau normal adalah suatu keadaan berupa kesejahteraan fisik, mental, dan
sosial secara penuh dan bukan semata-mata berupa absennya penyakit atau
keadaan lemah tertentu. (Menurut WHO). Beberapa ciri orang yang Sehat-
Normal yakni Menurut Maramis, terdapat enam kelompok sifat yang dapat
dipakai untuk menentukan ciri-ciri pribadi yang Sehat-Normal, adalah sebagai
berikut :
a. Sikap terhadap diri sendiri : menerima dirinya sendiri, identitas diri yang
memadai, serta penilaian yang realistis terhadap kemampuannya.
b. Cerapan (persepsi) terhadap kenyataan : mempunyai pandangan yang realistis
tentang diri sendiri dan lingkungannya.
c. Integrasi: kesatuan kepribadian, bebas dari konflik pribadi yang melumpuhkan
dan memiliki daya tahan yang baik terhadap stres.
d. Kemampuan : memiliki kemampuan dasar secara fisik, intelektual, emosional,
dan social sehingga mampu mengatasi berbagai masalah.
e. Otonomi : memiliki kepercayaan pada diri sendiri yang memadai, bertanggung
jawab, mampu mengarahkan dirinya pada tujuan hidup.
f. Perkembangan dan perwujudan dirinya : kecenderungan pada kematangan yang
makin tinggi (Maramis, 2009).
1. Deskripsi Umum
a. Mood (emosi yang meresap dan terus- Menanyakan tentang suasana perasaan
menerus mewarnai persepsi seseorang pasien.
terhadap dunia. Digambarkan dengan
depresi, kecewa, mudah marah,
cemas, euforik, meluap-luap,
ketakutan, dsb.)
b. Afek (respon emosional pasien yang “Bagaimana perasaan Anda akhir-akhir
tampak, digambarkan sebagai ini?” (pertanyaan terbuka)
meningkat, normal, menyempit,
tumpul, dan datar)
“Apakah Anda merasa sedih?” (pertanyaan
tertutup)
c. Keserasian (serasi afek atau tidak Mengamati variasi ekspresi wajah, irama dan
serasi afek) nada suara, gerakan tangan, dan pergerakan
tubuh.
4. Gangguan Persepsi
(Halusinasi, ilusi, depersonalisasi,
Menanyakan tentang gangguan persepsi yang
derealisasi)
pernah atau sedang dirasakan oleh pasien.
5. Pikiran
a. Proses atau bentuk pikiran (termasuk Waham kejar: “Apakah Anda merasa
di sini realistik, nonrealistik, autistik, orang-orang memata-matai Anda?”
irasional, dll.)
b. Isi pikiran (waham, preokupasi,
obsesi, fobia, dsb.) Waham cemburu: “Apakah Anda takut
pasangan Anda tidak jujur? Bukti apa yang
Anda miliki?”
Waham bersalah: “Apakah Anda merasa
bahwa Anda telah melakukan kesalahan
yang berat? Apakah Anda merasa pantas
mendapat hukuman?”
c. Daya ingat (daya ingat jauh/ remote Menilai daya ingat dengan menanyakan data
memory, daya ingat masa lalu yang masa anak-anak, peristiwa penting yang
belum lama/ recent past memory, terjadi pada masa muda.
daya ingat yang baru saja/ recent
memory, serta penyimpanan dan daya
ingat segera/ immediate retention and Peristiwa beberapa bulan lalu.
recall memory).
e. Kapasitas membaca dan menulis Pasien diminta membaca dan mengikuti apa
yang diperintahkan serta menulis kalimat
sederhana tapi lengkap.
(Impuls seksual, agresif, atau lainnya) Menanyakan tentang riwayat pasien sekarang
dan mengamati perilaku pasien selama
wawancara
8. Apa saja faktor pemicu dan faktor pemberat stress? Bagaimana manajemen stress?
(belum terjawab)
9. Apa hubungan stress yang dialami pasien dengan gejala yang ditimbulkan? (belum
terjawab)
10. Apa saja diagnosis banding berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dari kasus pada
skenario? (belum terjawab)
11. Apa saja diagnosis banding berdasarkan onset dari kasus pada skenario? (belum
terjawab)
12. Apa saja pemeriksaan penunjang yang diperlukan? (belum terjawab)
13. Bagaimana cara menentukan diagnosis multiaksial? (belum terjawab)
14. Apa tatalaksana, komplikasi, dan prognosis dari kasus pada skenario? (belum
terjawab)
15. Bagaimana mekanisme stress?
TEKANAN FRUSTASI KONFLIK KRISIS
Stressor
Alarm Reaction
Exhaustion
Distress
Jump 4: Menginventarisasi secara sistematik berbagai penjelasan yang didapatkan
pada jump 3
Di
kantor:
merasa
rekan
kerja
Tak
mau
kerja
à
stress
tak
suka
dan
memusuhi
Insight
derajat
1
DD:
Skizofrenia
Terapi
biologis
à
obat
Gangguan
psikotik
akut
antipsikosis,
ECT
Gangguan
waham
Terapi
Psikososial
Gangguan
skizoafektif
Jump 5: Merumuskan tujuan pembelajaran
1. Bagaimana epidemiologi dan faktor risiko dari kasus pada skenario?
2. Apa etiologi kasus pada skenario?
3. Bagaiman hubungan penyakit yang diderita pasien dengan riwayat keluarga?
4. Apa saja jenis gangguan jiwa? Gangguan jiwa apa yang diderita pasien?
5. Apa saja faktor pemicu dan faktor pemberat stress? Bagaimana manajemen stress?
6. Apa hubungan stress yang dialami pasien dengan gejala yang ditimbulkan?
7. Apa saja diagnosis banding berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dari kasus pada
skenario?
8. Apa saja diagnosis banding berdasarkan onset dari kasus pada skenario?
9. Apa saja pemeriksaan penunjang yang diperlukan?
10. Bagaimana cara menentukan diagnosis multiaksial?
11. Apa tatalaksana, komplikasi, dan prognosis dari kasus pada skenario?
1. Kompos mentis: adalah suatu derajat optimal dari kesigapan mental individu dalam
menanggapi rangsang dari luar maupun dari dalam dirinya. Individu mampu memahami apa
yang terjadi pada diri dan lingkungannya serta bereaksi secara memadai.
2. Apatia: adalah suatu derajat penurunan kesadaran, yakni individu berespon lambat
terhadap stimulus dari luar. Orang dengan kesadaran apatis tampak tak acuh terhadap situasi
disekitarnya.
3. Somnolensi: adalah suatu keadaan kesadaran menurun yang cenderung tidur. Orang
dengan kesadaran somnolen tampak selalu mengantuk dan bereaksi lambat terhadap stimulus
dari luar.
4. Sopor: adalah derajat penurunan kesadaran berat. Orang dengan kesadaran sopor nyaris
tidak berespon terhadap stimulus dari luar, atau hanya memberikan respons minimal terhadap
perangsangan kuat.
5. Koma: adalah derajat kesadaran paling berat. Individu dalam keadaan koma tidak dapat
bereaksi terhadap rangsang dari luar, meskipun sekuat apapun perangsangan diberikan
padanya.
6. Kesadaran berkabut: suatu perubahan kualitas kesadaran yakni individu tidak mampu
berpikir jernih dan berespon secara memadai terhadap situasi di sekitarnya. Seringkali
individu tampak bingung, sulit memusatkan perhatian dan mengalami disorientasi.
7. Delirium: suatu perubahan kualitas kesadaran yang disertai gangguan fungsi kognitif yang
luas. Perilaku orang yang dalam keadaan delirium dapat sangat berfluktuasi, yaitu suatu saat
terlihat gaduh gelisah lain waktu nampak apatis. Keadaan delirium sering disertai gangguan
persepsi berupa halusinasi atau ilusi. Biasanya orang dengan delirium akan sulit untuk
memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian ( 3 P terganggu)
8. Kesadaran seperti mimpi (Dream like state): adalah gangguan kualitas kesadaran yang
terjadi pada serangan epilepsi psikomotor. Individu dalam keadaan ini tidak menyadari apa
yang dilakukannya meskipun tampak seperti melakukan aktivitas normal. Perlu dibedakan
dengan tidur berjalan (sleep walking) yang akan tersadar bila diberikan perangsangan
(dibangunkan), sementara pada dream like state penderita tidak bereaksi terhadap
perangsangan.
9. Twilight state: keadaan perubahan kualitas kesadaran yang disertai halusinasi. Seringkali
terjadi pada gangguan kesadaran oleh sebab gangguan otak organik. Penderita seperti berada
dalam keadaan separuh sadar, respons terhadap lingkungan terbatas, perilakunya impulsif,
emosinya labil dan tak terduga.
2. Inatensi selektif: adalah ketidakmampuan memusatkan perhatian pada obyek atau situasi
tertentu, biasanya situasi yang membangkitkan kecemasan. Misalnya seorang dengan fobia
tidak mampu memusatkan perhatian pada obyek atau situasi yang memicu fobianya.
2. Paramnesia: Sering disebut sebagai ingatan palsu, yakni terjadinya distorsi ingatan dari
informasi/pengalaman yang sesungguhnya. Dapat disebabkan oleh faktor organik di otak
misalnya pada demensia. Namun dapat juga disebabkan oleh faktor psikologis misalnya pada
gangguan disosiasi.
Berdasarkan rentang waktu individu kehilangan daya ingatnya, dibedakan menjadi:
1. Memori segera (immediate memory): adalah kemampuan mengingat peristiwa yang baru
saja terjadi, yakni rentang waktu beberapa detik sampai beberapa menit.
2. Memori baru (recent memory): adalah ingatan terhadap pengalaman/informasi yang terjadi
dalam beberapa hari terakhir.
3. Memori jangka menengah (recent past memory): adalah ingatan terhadap peristiwa yang
terjadi selama beberapa bulan yang lalu.
4. Memori jangka panjang: adalah ingatan terhadap peristiwa yang sudah lama terjadi
(bertahun tahun yang lalu)
1. Mood eutimia: adalah suasana perasaan dalam rentang normal, yakni individu mempunyai
penghayatan perasaan yang luas dan serasi dengan irama hidupnya.
2. Mood hipotimia: adalah suasana perasaan yang secara pervasif diwarnai dengan kesedihan
dan kemurungan. Individu secara subyektif mengeluhkan tentang kesedihan dan kehilangan
semangat. Secara obyektif tampak dari sikap murung dan perilakunya yang lamban.
3. Mood disforia: menggambarkan suasana perasaan yang tidak menyenangkan. Seringkali
diungkapkan sebagai perasaan jenuh, jengkel, atau bosan.
4. Mood hipertimia: suasana perasaan yang secara perfasif memperlihatkan semangat dan
kegairahan yang berlebihan terhadap berbagai aktivitas kehidupan. Perilakunya menjadi
hiperaktif dan tampak enerjik secara berlebihan.
6. Mood ekstasia: suasana perasaan yang diwarnai dengan kegairahan yang meluap luap.
Sering terjadi pada orang yang menggunakan zat psikostimulansia.
2. Afek menyempit: menggambarkan nuansa ekspresi emosi yang terbatas. Intensitas dan
keluasan dari ekspresi emosinya berkurang, yang dapat dilihat dari ekspresi wajah dan bahasa
tubuh yang kurang bervariasi.
3. Afek menumpul: merupakan penurunan serius dari kemampuan ekspresi emosi yang
tampak dari tatapan mata kosong, irama suara monoton dan bahasa tubuh yang sangat
kurang.
4. Afek mendatar: adalah suatu hendaya afektif berat lebih parah dari afek menumpul. Pada
keadaan ini dapat dikatakan individu kehilangan kemampuan ekspresi emosi. Ekspresi wajah
datar, pandangan mata kosong, sikap tubuh yang kaku, gerakan sangat minimal, dan irama
suara datar seperti ’robot’.
5. Afek serasi: menggambarkan keadaan normal dari ekspresi emosi yang terlihat dari
keserasian antara ekspresi emosi dan suasana yang dihayatinya.
6. Afek tidak serasi: kondisi sebaliknya yakni ekspresi emosi yang tidak cocok dengan
suasana yang dihayati. Misalnya seseorang yang menceritakan suasana duka cita tapi dengan
wajah riang dan tertawa tawa.
7. Afek labil: Menggambarkan perubahan irama perasaan yang cepat dan tiba tiba, yang tidak
berhubungan dengan stimulus eksternal.
2. Furor katatonia: suatu keadaan agitasi motorik yang ekstrim, kegaduhan motorik tak
bertujuan, tanpa motif yang jelas dan tidak dipengaruhi oleh stimulus eksternal. Dapat
ditemukan pada skizofrenia katatonik, seringkali silih berganti dengan gejala stupor
katatonik.
3. Katalepsia: adalah keadaan mempertahankan sikap tubuh dalam posisi tertentu dalam
waktu lama. Individu dengan katalepsi dapat berdiri di atas satu kaki selama berjam jam
tanpa bergerak. Merupakan salah satu gejala yang bisa ditemukan pada skizofrenia katatonik.
4. Flexibilitas cerea: keadaan sikap tubuh yang sedemikian rupa dapat diatur tanpa
perlawanan sehingga diistilahkan seluwes lilin.
5. Akinesia: menggambarkan suatu kondisi aktivitas motorik yang sangat terbatas, pada
keadaan berat menyerupai stupor pada skizofrenia katatonik.
6. Bradikinesia: perlambatan gerakan motorik yang biasa terjadi pada parkinsonisme atau
penyakit parkinson. Individu memperlihatkan gerakan yang kaku dan kehilangan respons
spontan.
1. Proses pikir primer: terminologi yang umum untuk pikiran yang dereistic, tidak logis,
magis; secara normal ditemukan pada mimpi, tidak normal seperti pada psikosis.
2. Gangguan bentuk pikir/arus pikir: asosiasi longgar: gangguan arus pikir dengan ideide
yang berpindah dari satu subyek ke subyek lain yang tidak berhubungan sama sekali; dalam
bentuk yang lebih parah disebut inkoherensia.
3. Inkoherensia: pikiran yang secara umum tidak dapat kita mengerti, pikiran atau kata keluar
bersama-sama tanpa hubungan yang logis atau tata bahasa tertentu hasil disorganisasi pikir.
4. Flight of Ideas / lommpat gagasan: pikiran yang sangat cepat, verbalisasi berlanjut atau
permainan kata yang menghasilkan perpindahan yang konstan dari satu ide ke ide lainnya;
ide biasanya berhubungan dan dalam bentuk yang tidak parah, pendengar mungkin dapat
mengikuti jalan pikirnya.
5. Sirkumstansial: pembicaraan yang tidak langsung sehingga lambat mencapai point yang
diharapkan, tetapi seringkali akhirnya mencapai point atau tujuan yang diharapkan, sering
diakibatkan keterpakuan yang berlebihan pada detail dan petunjuk-petunjuk.
6. Tangensial: ketidakmampuan untuk mencapai tujuan secara langsung dan seringkali pada
akhirnya tidak mencapai point atau tujuan yang diharapkan.
Kemiskinan Isi Pikir yaitu pikiran yang hanya menghasilkan sedkit informasi dikarenakan
ketidakjelasan, pengulangan yang kosong, atau frase yang tidak dikenal.
Waham atau Delusi yaitu satu perasaan keyakinan atau kepercayaan yang keliru,
berdasarkan simpulan yang keliru tentang kenyataan eksternal, tidak konsisten dengan
intelegensia dan latar belakang budaya pasien, dan tidak bisa diubah lewat penalaran atau
dengan jalan penyajian fakta. Jenis-jenis waham:
a. Waham bizarre: keyakinan yang keliru, mustahil dan aneh (contoh: makhluk angkasa luar
menanamkan elektroda di otak manusia)
b. Waham sistematik: keyakinan yang keliru atau keyakinan yang tergabung dengan satu
tema/kejadian (contoh: orang yang dikejar-kejar polisi atau mafia)
c. Waham nihilistik: perasaan yang keliru bahwa diri dan lingkungannya atau dunia tidak ada
atau menuju kiamat
d. Waham somatik: keyakinan yang keliru melibatkan fungsi tubuh (contoh: yakin otaknya
meleleh)
h· Waham rujukan (delusion of reference): satu kepercayaan keliru yang meyakini bahwa
tingkah laku orang lain itu pasti akan memfitnah, membahayakan, atau akan menjahati
dirinya.
i· Waham dikendalikan: keyakinan yang keliru bahwa keinginan, pikiran, atau perasaannya
dikendalikan oleh kekuatan dari luar. Termasuk di dalamnya:
1. thought withdrawal: waham bahwa pikirannya ditarik oleh orang lain atau kekuatan lain
2. thought insertion: waham bahwa pikirannya disisipi oleh orang lain atau kekuatan lain
3. thought broadcasting: waham bahwa pikirannya dapat diketahui oleh orang lain, tersiar di
udara
4. thought control: waham bahwa pikirannya dikendalikan oleh orang lain atau kekuatan lain
5. waham cemburu: keyakinan yang keliru yang berasal dari cemburu patologis tentang
pasangan yang tidak setia
6. erotomania: keyakinan yang keliru, biasanya pada wanita, merasa yakin bahwa seseorang
sangat mencintainya
Obsesi: satu ide yang tegar menetap dan seringkali tidak rasional, yang biasanya dibarengi
satu kompulsi untuk melakukan suatu perbuatan, tidak dapat dihilangkan dengan usaha yang
logis, berhubungan dengan kecemasan.
Kompulsi: kebutuhan dan tindakan patologis untuk melaksanakan suatu impuls, jika ditahan
akan menimbulkan kecemasan, perilaku berulang sebagai respons dari obsesi atau timbul
untuk memenuhi satu aturan tertentu.
Fobia: ketakutan patologis yang persisten, irasional, berlebihan, dan selalu terjadi
berhubungan dengan stimulus atau situasi spesifik yang mengakibatkan keinginan yang
memaksa untuk menghindari stimulus tersebut.
6. Gejala Gangguan Psikologis Pada PERSEPSI
Persepsi adalah sebuah proses mental yang merupakan pengiriman stimulus fisik
menjadi informasi psikologis sehingga stimulus sensorik dapat diterima secara sadar.
Beberapa contoh gangguan persepsi:
1. Depersonalisasi: satu kondisi patologis yang muncul sebagai akibat dari perasaan subyektif
dengan gambaran seseorang mengalami atau merasakan diri sendiri (atau tubuhnya) sebagai
tidak nyata atau khayali (asing, tidak dikenali)
2. Derealisasi: perasaan subyektif bahwa lingkungannya menjadi asing, tidak nyata
3. Ilusi: satu persepsi yang keliru atau menyimpang dari stimulus eksternal yang nyata
4. Halusinasi: persepsi atau tanggapan palsu, tidak berhubungan dengan stimulus eksternal
yang nyata; menghayati gejalagejala yang dikhayalkan sebagai hal yang nyata. Jenisjenis
halusinasi:
j. halusinasi hipnagogik: persepsi sensorik keliru yang terjadi ketika mulai jatuh tertidur,
secara umum bukan tergolong fenomena patologis
k. halusinasi hipnapompik: persepsi sensorik keliru yang terjadi ketika seseorang mulai
terbangun, secara umum bukan tergolong fenomena patologis
l. halusinasi auditorik: persepsi suara yang keliru, biasanya berupa suara orang meski
dapat saja berupa suara lain seperti musik, merupakan jenis halusinasi yang paling
sering ditemukan pada gangguan psikiatri
m. halusinasi visual: persepsi penglihatan keliru yang dapat berupa bentuk jelas (orang)
atau pun bentuk tidak jelas (kilatan cahaya), sering kali terjadi pada gangguan medis
umum
n.halusinasi penciuman: persepsi penghidu keliru yang seringkali terjadi pada gangguan
medis umum
o.halusinasi pengecapan: persepsi pengecapan keliru seperti rasa tidak enak sebagai
gejala awal kejang, seringkali terjadi pada gangguan medis umum
p.halusinasi taktil: persepsi perabaan keliru seperti phantom libs (sensasi anggota tubuh
teramputasi), atau formikasi (sensasi merayap di bawah kulit)
q.halusinasi somatik: sensasi keliru yang terjadi pada atau di dalam tubuhnya, lebih sering
menyangkut organ dalam (juga dikenal sebagai cenesthesic hallucination)
r. halusinasi liliput: persepsi keliru yang mengakibatkan obyek terlihat lebih kecil
(micropsia)
7. Gejala Gangguan Psikologis Pada TILIKAN
Tilikan adalah kemampuan seseorang untuk memahami sebab sesungguhnya dan arti dari
suatu situasi (termasuk di dalamnya dari gejala itu sendiri). Dalam arti luas, tilikan sering
disebut sebagai wawasan diri, yaitu pemahaman seseorang terhadap kondisi dan situasi
dirinya dalam konteks realitas sekitarnya. Dalam arti sempit merupakan pemahaman pasien
terhadap penyakitnya. Tilikan terganggu artinya kehilangan kemampuan untuk memahami
kenyataan obyektif akan kondisi dan situasi dirinya. Jenis-jenis
tilikan:
1. Tilikan derajat 1: penyangkalan total terhadap penyakitnya
2. Tilikan derajat 2: ambivalensi terhadap penyakitnya
3. Tilikan derajat 3: menyalahkan faktor lain sebagai penyebab penyakitnya
4. Tilikan derajat 4: menyadari dirinya sakit dan butuh bantuan namum tidak memahami
penyebab sakitnya
5. Tilikan derajat 5: menyadari penyakitnya dan faktorfaktor yang berhubungan dengan
penyakitnya namun tidak menerapkan dalam perilaku praktisnya
6. Tilikan derajat 6 (sehat): menyadari sepenuhnya tentang situasi dirinya disertai motivasi
untuk mencapai perbaikan. Itulah rangkuman gejala-gejala gangguan psikologis yang terjadi
pada manusia (Yager et al., 2000).
Jenis Gangguan
1. Amnesia, suatu gangguan daya ingat (bisa seluruhkanya, sebagian atau temporer)
yang manifestasinya dalam ketidakmampuan mengingat secara parsial maupun total
dari pengalaman masa lampau. Bisa diartikan pula sebagai kehilangan daya ingat
yang patologis, suatu fenomena di mana area pengalaman menjadi tidak bisa dicapai
alam sadar. Ada beberapa bentuk yaitu amnesia retrogard (amnesia untuk kejadian
yang terjadi sebelum waktu tertentu) dan amnesia anterograd (amnesia untuk kejadian
yang terjadi sesudah waktu tertentu); amnesia disosiatif yang gambaran untamanya
adalah kehilangan daya ingat biasanya terhadap kejadian yang baru sangat penting
yang tidak disebabkan oleh gangguan mental organic, dan sangat sukar diterangkan
oleh adanya kelelahan atau lupa yang biasa.
2. Hipamnesia, suatu penurunan derajat retensi dan recall.
3. Hiperamnesia, meningkatnya retensi dan recall.
4. Eidetic image, memori visual yang hamper seperti halusinasi yang menggembirakan
(riang).
5.Paramnesia, daya ingat yang palsu dengan adanya penyimpangan dari recall.
5. Apa saja faktor pemicu dan faktor pemberat stress? Bagaimana manajemen stress?
Stres dan penyesuaian diri
Stres adalah istilah dari ilmu kedokteran yang secara harfiah diartikan sebagai tekanan
atau ketegangan yang memiliki kecenderungan mengganggu tubuh. Dari sudut pandang
psikologi, stres dapat dikatakan sebagai segala sesuatu yang mengganggu kita untuk
beradaptasi atau mengatasi suatu masalah (Santrock, 2003).
Stres bisa datang dari lingkungan, tubuh atau pikiran kita sendiri. Stres dari
lingkungan mungkin disebabkan karena kebisingan, polusi, keramaian, situasi kacau, dan
segala macam ancaman lain. Stres dari tubuh disebabkan oleh kondisi sakit, luka, ketegangan
tubuh, atau penyakit-penyakit metabolik tertentu (Santrock, 2003).
Sumber atau pembangkit keadaan stress disebut stressor. Stressor dapat menimbulkan
beberapa keadaan yang dapat menjadi sumber stress, yaitu frustasi, konflik, tekanan atau
krisis.. Ini dapat dirasakan sebagai unsur dari luar. Oleh individu, stressor itu dipersepsikan
sebagai tanda ancaman atau kebutuhan; keadaan eksitasi itu sendiri dapat menjadi stressor
apabila melebihi batas intensitas tertentu. Kita dapat mengatakan, bahwa bagi pasien kita,
omongan yang tidak menyenangkan merupakan salah satu stressor, dan berbagai perasaan
kesal, sakit kepala dan mual merupakan manifestasi keadaan stress sebagai respons atas
stressor itu. Pada penelitian lebih lanjut atas pasien tersebut terungkap bahwa pendekatan
oleh teman-temannya juga merupakan stressor baginya, meskipun biasanya manusia
merasakan pendekatan oleh teman-teman sebagai hal yang menyenangkan. Nampak disini,
bahwa suatu rangsang dapat dirasakan sebagai hal yang menyenangkan pada orang satu, dan
sebagai stressor pada orang lain; bahkan pada waktu tertentu, sesuatu jenis rangsang tertentu
dapat menyenangkan pada waktu ini dan merupakan stressor di waktu lain. Ini
menggambarkan suatu kenyataan penting: bahwa sifat stressor bukan inherent terletak pada
jenis rangsangan, melainkan pada penanggapan rangsangan itu oleh organisme (Maramis,
2009).
(1) Frustasi
Timbul bila ada aral melintang (stresor) antara kita dan tujuan kita, misalnya bila kita mau
berpiknik lantas kemudian hujan deras atau mobil mogok, atau mangga di pohon keliatan
enak sekali bagi si anak, tetapi tiba-tiba keluar seekor anjing yang galak (Maramis, 2009).
(2) Tekanan
Juga dapat menimbulkan masalah penyesuaian. Tekanan sehari-hari biarpun kecil tetapi bila
di tumpuk-tumpuk dan berlangsung terus menerus (stresor jangka panjang), dapat
menimbulkan stress yang hebat. Tekanan, seperti juga frustasi dapat bersal dari dalam atau
luar individu (Maramis, 2009).
(3) Konflik
Terjadi apabila kita tidak bisa memilih antara dua atau lebih macam atau tujuan. Memilih
yang satu berarti tidak tercapai tujuan yang lain. Ibarat kita ada disimpang jalan tetapi kita
tidak dapat memilih ke kiri atau ke kanan, misalnya seorang pemuda ingin menjadi seorang
dokter, tetapi sekaligus takut akan tanggungjawab kelak bila sudah jadi ( konflik mau-tak-
mau atau pendekatan pengelakan). Atau jika kita harus memilih antara sekolah terus atau
menikah; mengurus rumah tangga atau terus aktif dalam organisasi; antara tugas dan ambisi
istri atau ibu kesenangan sekarang atau ideologi, orang tua atau panggilan (konflik
pendekatan ganda) (Maramis, 2009).
(4) Krisis
Adalah keadaan karena stresor mendadak dan besar sehingga menimbulkan stress pada
seorang individu atau kelompok, misalnya : kematian, kecelakaan, penyakit yang
memerlukan operasi, masuk sekolah untuk pertama kali. Terdapat banyak tempat dengan
banyak krisis (konsentrasi krisis), misalnya ruang gawat darurat di rumah sakit, kamar
bersalin, kamar bedah, taman kanak-kanak dan tingkat pertama pada suatu fakultas pada
minggu- minggu pertama tahun kuliah baru, desa yang kena bencana alam dan kekurangan
makanan sesudahnya, atau bila kemudian bantuan makanan datang (tadi krisis karena tidak
ada makanan, kemudian krisis karena tiba-tiba ada makanan) (Maramis, 2009).
Contoh lain lagi adalah konflik yang terjadi bila kita harus memilih antara beberapa hal yang
semuanya tidak kita inginkan, misalnya pekerjaan yang tidak menarik atau menganggur,
menikah dengan orang yang tidak simpatik atau kemungkinan tidak menikah sama sekali;
berbuat sesuatu yang berbahaya atau dicap sebagai pengecut (konflik pengelakan ganda)
(Lubis, B. 1989).
Konflik merupakan pertentangan dalam diri, dan dapat dilihat bahwa konflik meningkatkan
ketegangan – seringkali suatu ketegangan yang menganggu dan tidak menyenangkan,
sehingga berupa stress (Lubis, B. 1989).
Konflik intrapsikik yaitu konflik antara komponen-komponen jiwa itu sendiri, yang bukan
merupakan konflik yang disadari, bukan yang dihayati nyata sevagai pergumulan batin antara
dorongan, motif atau keinginan, melainkan konflik nirsadar (Lubis, B. 1989).
Manajemen Stres
Bila stres dirasakan sebagai permasalahan yang mengganggu aktivitas dan kualitas
kehidupan, maka penting dilakukan penanganan dengan segera terhadap stres tersebut dengan
manajemen pengelolaan yang baik dan pendekatan yang menyeluruh (holistic), yakni
mencakup pengelolaan secara fisik (organobiologik), psikologi-psikiatri, psikososial, dan
psikoreligious. Secara garis besar terdapat dua tahap, yaitu tahap pencegahan dan terapi
(Santrock, 2003).
Tahap pencegahan agar seseorang tidak jatuh ke dalam stres, maka diperlukan gaya
hidup yang sehat, hidup teratur, serasi, selaras, dan seimbang secara horizontal antara dirinya
dan sesama orang lain dan lingkungan sekitarnya, serta secara vertikal antara diriny dan
penciptanya Allah SWT, yang menciptakan alam semesta (Santrock, 2003).
Tahap terapi, meliputi terapi somatik dan intervensi psikososial. Terapi somatik
adalah penanganan gangguan stres dengan menggunakan obat-obatan (psikofarmaka) yang
berguna untuk memulihkan gangguan fungsi pada neurotransmitter (sinyal penghantar) di
susunan saraf pusat otak. Cara kerja psikofarmaka adalah jalan memutuskan jaringan atau
sirkuit psikoneuroimunologi, sehingga stresor psikososial yang mengenai seseorang tidak lagi
mempengaruhi fungsi kognitif, afektif, psikomotor dan organ-organ tubuh lainnya. Obat-
obatan yang sering digunakan dalam penanganan stres dan gangguan lain yang terkait
dengan stres adalah golongan psikotropika, seperti obat anti psikotik, obat anti anxieta, obat
anti depresan, dan lain-lain. Selain itu dapat juga dengan pendekatan somatik yang bisa
dilakukan dengan terapi elektrokonvulsi dan psikosurgeri (Santrock, 2003).
Pada seseorang yang mengalami stres, selain diberikan pengelolaan dengan terapi
somatik, seperti terapi psikofarmaka, terapi elektro konvulsi dan terapi psikosurgeri, juga
penting diberikan pendekatan dengan terapi psikososial termasuk psikoterapi keluarga
(Santrock, 2003).
Kehidupan yang seimbang adalah pertukaran antara melakukan segala sesuatu yang
ingin kita lakukan dan melakukan segala hal yang harus kita lakukan. Sering kali kita
menginginkan yang terbaik untuk kedua-duanya, tetapi kita tidak memahami bahwa kita
harus berusaha menyeimbangkan prioritas yang kadang saling bertentangan (Santrock, 2003).
Pentingnya agama dalam kesehatan juga dapat dilihat dari batasan Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO, 1984) yang menyatakan bahwa aspek agama (spiritual) merupakan
salah satu unsur penting dari pengertian sehat seutuhnya. Para peneliti seperti Harrington A
(1996) dan Monakow V. Goldstein (1997) mencoba mencari hubungan antara ilmu
pengetahuan (neuroscientific concepts) dengan dimensi spiritual yang masih dianggap belum
jelas, namun diyakini adanya hubungan tersebut dalam presentasinya yang berjudul Brain
and Religion diyakini adanya titik ketuhanan (God Spot) dalam susunan saraf pusat. Sebagai
contohnya adalah ketika orang yang stres dengan gangguan kecemasan yang kemudian diberi
obat anti cemas, maka yang bersangkutan akan menjadi tenang. Namun, pada orang yang
sama dengan berdo’a dan dzikir kepada Allah SWT juga akan memperoleh ketenangan dan
kesembuhan. Hal ini memperkuat prinsip bahwa terapi medis dan terapi agama adalah saling
menguatkan (Santrock, 2003).
6. Apa hubungan stress yang dialami pasien dengan gejala yang ditimbulkan?
Gejala yang ditimbulkan menunjukkan stressor telah melewati daya resistensi pasien
dan pasien mengalami exhaustion sehingga timbul gejala-gejala gangguan jiwa.
7. Apa saja diagnosis banding berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dari kasus pada
skenario? (Pada nomor 8)
8. Apa saja diagnosis banding berdasarkan onset dari kasus pada skenario?
DIAGNOSIS BANDING
1. PSIKOTIK AKUT
a. Epidemiologi
b. Etiologi
Penyebabnya belum diketahui secara pasti, tapi sebagian besar di jumpai pada
pasien dengan gangguan kepribadian mungkin memiliki kerentanan biologis atau
psikologis terhadap perkembangan gejala psikotik. Satu atau lebih faktor stres berat,
seperti peristiwa traumatis, konflik keluarga, masalah pekerjaan, kecelakaan, sakit
parah, kematian orang yang dicintai, dan status imigrasi tidak pasti, dapat memicu
psikosis reaktif singkat. Beberapa studi mendukung kerentanan genetik untuk
gangguan psikotik singkat.
c. Diagnosis
Pedoman diagnosis
Pedoman diagnosis
Pedoman diagnosis
d. Penatalaksanaan
• Menjaga keselamatan penderita dan orang yang merawatnya:
a. Keluarga atau teman harus menjaga penderita
b. Pastikan kebutuhan dasar terpenuhi
c. Jangan sampai mencederai penderita
• Mengurangi stres dan stimulasi:
a. Jangan mendebat pikiran psikotik
b. Hindari konfrontasi dan kritik, kecuali hal itu perlu untuk mencegah perilaku yang
membahayakan
• Agitasi yang membahayakan penderita dan keluarga atau masyarakat memerlukan
hospitalisasi atau pengamanan
• Medikasi:
a. Pemberian antipsikotik akan mengurangi gejala psikotik
- Haloperidol 2 – 5 mg, sampai 3 kali sehari
- Klorpromazin 100 – 200 mg, sampai 3 kali sehari
b. Gunakan dosis terendah yang dapat mengatasi
c. Obat antianxietas dapat digunakan bersama dengan antipsikotik untuk mengontrol
agitasi akut
- Lorazepam 1 – 2 mg, sampai 4 kali sehari
d. Lanjutkan pemberian antipsikotik setidaknya sampai 3 bulan setelah gejala mereda.
e. Monitor efek samping pengobatan
• Konsultasi:
a. Pada kasus efek samping yang berat atau ada demam, rigiditas dan hipertensi, stop
semua obat antipsikotik dan pertimbangkan
b. Jika mungkin pertimbangkan konsultasi untuk semua kasus baru gangguan psikotik
(Dharmono, 2001).
e. Prognosis
Pasien biasanya sembuh sempurna dalam beberapa hari, dan prognosis jangka
panjangnya baik, walaupun pasien berisiko untuk mengalami episode singkat di masa
mendatang bila mengalami stress yang cukup bermakna (Tomb, 2004).
2. SKIZOFRENIA
a. Epidemiologi
Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di berbagai
daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar hampir sama di seluruh
dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi dewasa dan biasanya onsetnya pada usia
remaja akhir atau awal masa dewasa.
Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25 tahun
sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden skizofrenia lebih
tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di daerah urban dibandingkan
daerah rural (Sadock, 2003).
Pasien skizofrenia beresiko meningkatkan risiko penyalahgunaan zat, terutama
ketergantungan nikotin. Hampir 90% pasien mengalami ketergantungan nikotin. Pasien
skizofrenia juga berisiko untuk bunuh diri dan perilaku menyerang. Bunuh diri merupakan
penyebab kematian pasien skizofrenia yang terbanyak, hampir 10% dari pasien skizofrenia
yang melakukan bunuh diri (Kazadi, 2008).
Menurut Howard, Castle, Wessely, dan Murray, 1993 di seluruh dunia prevalensi
seumur hidup skizofrenia kira-kira sama antara laki-laki dan perempuan diperkirakan sekitar
0,2%-1,5%. Meskipun ada beberapa ketidaksepakatan tentang distribusi skizofrenia di antara
laki-laki dan perempuan, perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal umur dan onset-
nya jelas. Onset untuk perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sampai umur 36
tahun, yang perbandingan risiko onsetnya menjadi terbalik, sehingga lebih banyak
perempuan yang mengalami skizofrenia pada usia yang lebih lanjut bila dibandingkan dengan
laki-laki (Durand & Barlow, 2007).
b. Etiologi
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab
skizofrenia, antara lain:
Faktor Genetik
Menurut Maramis (2009), faktor keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia.
Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia
terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%;
bagi saudara kandung 7 – 15%; bagi anak dengan salah satu orangtua yang menderita
skizofrenia 7 – 16%; bila kedua orangtua menderita skizofrenia 40 – 68%; bagi kembar dua
telur (heterozigot) 2 -15%; bagi kembar satu telur (monozigot) 61 – 86%.
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut
quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh
beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Ini juga
mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang
mengalami gangguan ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami
skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang
memiliki penyakit ini (Durand & Barlow, 2007).
Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang disebut
neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu
sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas
neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan
sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa
aktivitas dopamine yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa
neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga memainkan
peranan (Durand & Barlow, 2007).
Faktor Psikologis dan Sosial
Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin lama semakin
kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang tua-anak yang
patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga (Wiraminaradja & Sutardjo, 2005).
Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga
mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic mother kadang-
kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat dingin, dominan,
dan penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-anaknya (Durand &
Barlow, 2007).
Menurut Coleman dan Maramis (1994 dalam Baihaqi et al, 2005), keluarga pada
masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian. Orangtua
terkadang bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan anak untuk
berkembang, ada kalanya orangtua bertindak terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau
tidak memberi bimbingan dan anjuran yang dibutuhkannya.
c. Diagnosis
Kriteria diagnosis skizofrenia menurut PPDGJ-III
Persyaratan normal untuk diagnosis skizofrenia adalah:
• Dari gejala-gejala di bawah ini harus ada paling sedikit satu gejala yang sangat jelas
(dan biasanya dua gejala atau lebih apabila gejala-gejala itu kurang jelas) :
a) - thought echo : isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda; atau
- thought insertion or withdrawal : isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya
(withdrawal); dan
- thought broadcasting : isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum
mengetahuinya.
b) - delusion of control : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan
tetentu dari luar; atau
- delusion of influence : waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar; atau
- delusion of passivity : waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu
kekuatan dari luar;
(tentang dirinya : secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau
pikiran, tindakan, atau penginderan khusus);
- delusional perception : pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna sangat
khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
c) halusinasi auditorik :
- suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien,
atau
- mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang
berbicara), atau
- jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh
d) waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak
wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau poltik
tertentu, atau kekuatan dan kemampuan dia atas manusia biasa (misalnya mampu
mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).
• Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
e) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham
yang mengambang maupun yang setangah berbentuk tanpa kandungan afektif yang
jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau
apabila terjadi setiap hari selama bermunggu-minggu atau berbulan-bulan terus
menerus;
f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang
berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu
(posturing), atau fleksibilitas cerea (waxy flexibility), negativisme, mutisme, dan
stupor;
h) Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respon
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan
diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa
semua hal tersebut tidak dsebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
• Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nopsikotik prodromal);
• Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari beberapa aspek perilaku peribadi (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu,
sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri secara
social (Maslim, 2001).
d. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis, dan terapi
psikososial.
Terapi Biologis
Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi dengan
menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif, dan pembedahan bagian otak. Terapi
dengan penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan gejala-gejala skizofrenia. Obat yang
digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua
obat tersebut termasuk kelompok obat phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol
(haldol). Obat ini disebut obat penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa
kantuk dan kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang
sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini cukup tepat bagi
penderita skizofrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan
(Durand & Barlow, 2007).
Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock pada
penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir 1930-an, electroconvulsive therapy (ECT)
diperkenalkan sebagai penanganan untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah menjadi pokok
perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. ECT ini digunakan di
berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk skizofrenia.
Menurut Fink dan Sackeim (1996) antusiasme awal terhadap ECT semakin memudar
karena metode ini kemudian diketahui tidak menguntungkan bagi sebagian besar penderita
skizofrenia meskipun penggunaan terapi ini masih dilakukan hingga saat ini. Sebelum
prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang
sangat menakutkan pasien. Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan
ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita
kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas kekejangan otot
yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai cacat fisik (Durand & Barlow, 2007).
Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak Moniz (1935, dalam
Davison, et al., 1994) memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu proses operasi primitif
dengan cara membuang “stone of madness” atau disebut dengan batu gila yang dianggap
menjadi penyebab perilaku yang terganggu. Menurut Moniz, cara ini cukup berhasil dalam
proses penyembuhan yang dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku kasar.
Akan tetapi, pada tahun 1950-an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita
kehilangan kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.
Terapi Psikososial
Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan situasi pengobatan di
dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan menjemukan. Secara
historis, sejumlah penanganan psikososial telah diberikan pada pasien skizofrenia, yang
mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan ini merupakan akibat masalah adaptasi
terhadap dunia karena berbagai pengalaman yang dialami di usia dini. Pada terapi psikosial
terdapat dua bagian yaitu terapi kelompok dan terapi keluarga (Durand & Barlow, 2007).
Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi ini,
beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai fasilitator
dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Para peserta terapi saling memberikan feedback
tentang pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta diposisikan pada situasi sosial yang
mendorong peserta untuk berkomunikasi, sehingga dapat memperkaya pengalaman peserta
dalam kemampuan berkomunikasi.
Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok. Terapi ini
digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan tinggal bersama
keluarganya. Keluarga berusaha untuk menghindari ungkapan-ungkapan emosi yang bisa
mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali.
Dalam hal ini, keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan
perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan
untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan
tentang keadaan penderita dan cara-cara untuk menghadapinya. Dari beberapa penelitian,
seperti yang dilakukan oleh Fallon (Davison, et al., 1994; Rathus, et al., 1991) ternyata
campur tangan keluarga sangat membantu dalam proses penyembuhan, atau sekurang-
kurangnya mencegah kambuhnya penyakit penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi
secara individual.
e. Prognosis
Kekambuhan pasien skizofrenia adalah istilah yang secara relatif merefleksikan
perburukan gejala atau perilaku yang membahayakan pasien dan atau lingkungannya. Tingkat
kekambuhan sering di ukur dengan menilai waktu antara lepas rawat dari perawatan terakhir
sampai perawatan berikutnya dan jumlah rawat inap pada periode tertentu (Pratt, 2006).
Keputusan untuk melakukan rawat inap di rumah sakit pada pasien skizofrenia adalah
hal terutama yang dilakukan atas indikasi keamanan pasien karena adanya kekambuhan yang
tampak dengan tindakan seperti ide bunuh diri atau mencelakakan orang lain, dan bila
terdapat perilaku yang sangat terdisorganisasi atau tidak wajar termasuk bila pasien tidak
mampu memenuhi kebutuhan dasar berupa makan, perawatan diri dan tempat tinggalnya.
Selain itu rawat inap rumah sakit diperlukan untuk hal-hal yang berkaitan dengan diagnostik
dan stabilisasi pemberian medikasi (Durand & Barlow, 2007).
Perawatan pasien skizofrenia cenderung berulang (recurrent), apapun bentuk subtipe
penyakitnya. Tingkat kekambuhan lebih tinggi pada pasien skizofrenia yang hidup bersama
anggota keluarga yang penuh ketegangan, permusuhan dan keluarga yang memperlihatkan
kecemasan yang berlebihan. Tingkat kekambuhan dipengaruhi juga oleh stress dalam
kehidupan, seperti hal yang berkaitan dengan keuangan dan pekerjaan. Keluarga merupakan
bagian yang penting dalam proses pengobatan pasien dengan skizofrenia.
Keluarga berperan dalam deteksi dini, proses penyembuhan dan pencegahan
kekambuhan. Penelitian pada keluarga di Amerika, membuktikan bahwa peranan keluarga
yang baik akan mengurangi angka perawatan di rumah sakit, kekambuhan, dan
memperpanjang waktu antara kekambuhan.
Meskipun angka kekambuhan tidak secara otomatis dapat dijadikan sebagai kriteria
kesuksesan suatu pengobatan skizofrenia, tetapi parameter ini cukup signifikan dalam
beberapa aspek. Setiap kekambuhan berpotensi menimbulkan bahaya bagi pasien dan
keluarganya, yakni seringkali mengakibatkan perawatan kembali/rehospitalisasi dan
membengkaknya biaya pengobatan.
Komplikasi
Orang dengan gangguan jiwa khususnya depresi dan skizofrenia memiliki risiko
tinggi melakukan bunuh diri. Risiko bunuh diri pada penderita skizofrenia yaitu sebesar
46,3% sedangkan pada pasien depresi risiko bunuh diri sebesar 26,8 %
3. GANGGUAN WAHAM
a. Epidemiologi
b. Etiologi
a. Faktor biologi:
b. Factor psikodinamik:
• Isolasi sosial
c. Pedoman diagnosis
d. Penatalaksanaan
a Pemeriksaan medis dan neurologis yang lengkap poada penderita untuk menentukan
apakah terdapat kondisi medis nonpsikiatirik yang menyebabkan gangguan waham
b Kemampuan untuk pengandalian impuls kekerasan seperti bunuh diri dan membunuh
• Farmakoterapi
• Psikoterapi
e. Prognosis
• Tingkat pekerjaan
• Waham kejar, somatic dan erotic diperkirakan memiliki prognosi yang lebih baik
daripada pasien dengan wahan kebesaarn dan cemburu (Sadock et al., 2003).
4. GANGGUAN SKIZOAFEKTIF
a. Pedoman Diagnosis
Pedoman diagnosis
• Kategori ini digunakan baik untuk episode skizoafektik tipe manic yang tunggal maupun
untuk gangguan berulang dengan sebagian besar episode skizoafektif tipe manic
• Afek harus meningkat secara menonjol atau ada peningkatan afek yang tak begitu
menonjol dikombinasi dengan iritabilitas atau kegelisahan yang memuncak
• Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu atau lebih baik lagi dua, gejala
skizofrenia yang khas (Maslin, 2001).
Pedoman diagnosis
• Kategori ini digunakan baik untuk episode skizoafektik tipe depresif yang tunggal
maupun untuk gangguan berulang dengan sebagian besar episode skizoafektif tipe
depresif
• Afek depresif harus menonjol, disertai oleh sedikitnya dua gejala khas, baik depresif
maupun kelainan perilaku terkait seperti tercantum dalam uraian episode depresif
• Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu atau lebih baik lagi dua, gejala
skizofrenia yang khas (Maslim, 2001).
Terdapat 2 jenis psikosa afektif yaitu melankolia involusi dan sikosa manik-depresif.
1. Melankolia involusi
Prognosa
Prognosa penyakit ini tergantung pada lamayna penyakit dan waktu pengobatan
dimulai. Sebelum adanya terapi elektrokonvulsi, 40% sembuh sendiri, tetapi
rekonvalensi berlangsung lama sekali. Dengan terapi elektrokonvulsi 50% menjadi
sembuh dengan cepat. Makin berat gejala-gejalanya, makin jelek prognosanya.
Dengan adanya obat-obat antidepresi, prognosa menjadi lebih baik lagi dan TEK
diberi hanya bila betul-betul diperlukan, umpamanya bila sering terdapat pikiran-
pikiran bunuh diri.
2. Psikosa manik-depresif
Mungin ada faktor keturunan, karena 30% dari saudara penderita dengan psikosa
manik-depresof juga menderita penyakit ini, sedangka pada seluruh masyarakat
diperkirakan 5% (di Amerika Serikat; tetapi ada yang menduga sampai 15%).
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada kaum wanita dengan perbandingan 2:1. Juga
lebih banyak terdapat pada goongan sosio-ekonomi yang lebih tinggi. Terdapat lebih
banyak di negara-negara Eropa daripada di Indonesia, terutama di negara-negara
Skandinavia. Di Amerika Serikat sejak permulaan abad ini psikosa manik-depresif
tercatat berkurang.
Prognosa
Meskipun psikosa manik-depresif berjalan secara periodik, 25% dari para penderita
hanya mendapat satu kali serangan seumur hidup. Serangan ini biasanya berlangsung
tidak lama, tetapi gejala-gejalanya hebat, pada umumnya berupa suatu depresi dan
sering timbul setelah suatu penyakit badaniah atau stres psikologik.
Dalam hal ini prognosa berarti kemungkinan timbulnya lagi serangan yang lain.
Prognosa tergantung pada usia serangan pertama dan jenis serangan. Makin muda
orang itu mulai sakit, makin besar kemungkinan untuk mendapat serangan lagi. Bila
penderita mendaoar serangan mania, maka prognosanya lebih jelek, mungkin sekali ia
akan mendapat serangan lagi. Terdapatnya gejala yan tidak khas (atipia) seperti
hipokondirasis, depersonalisasi, gejala paranoid, juga mejelekkan prognosa. Adanya
gangguan peredaran darah takatau gejala fokal neurologik akan memberatkan
prognosa.
c. Penatalaksanaan
Apabila ada pikiran bunuh diri atau ide-ide membunuh diindikasikan untuk dirawat
inapkan dirumah sakit.
Aksis I mengandung gangguan klinis dan kondisi lain yang mungkin merupakan pusat
perhatian klinis.
Aksis III menuliskan tiap gangguan fisik atau kondisi medis umum yang ditemukan di
samping gangguan mental. Kondisi fisik mungkin merupakan penyebab, akibat dari
gangguan mental, atau gangguan medis yang tidak berhubungan. Jika suatu gangguan medis
adalah sebagai penyebab atau secara penyebab berhubungan dengan suatu gangguan mental,
gangguan mental karena kondisi umumn aksis III.
Aksis IV digunakan untuk memberi kode pada masalah psikologis dan lingkungan
yang secara bermakna berperan pada perkembangan atau eksaserbasi gangguan sekarang.
Aksis V adalah skala penilaian global terhadap fungsi (GAF; global assessment of
functioning) dimana dokter mempertimbangkan keseluruhan tingkat fungsional pasien selama
periode waktu tertentu. Fungsional dimengerti sebagai kesatuan dari tiga bidang utama:
fungsi social, fungsi pekerjaan, dan fungsi psikologis skala GAF, yang didasarkan pada
rangkaian kesatuan kesehatan mental dan penyakit mental, adalah skala dengan 100 poin, 100
mencerminkan tingkat fungsi tertinggi dalam semua bidang. Pasien yang memiliki tingkat
fungsional tertinggi sebelum suatu episode penyakit biasanya mempunyai prognosis yang
lebih baik dibandingkan mereka yang mempunyai tingkat fungsional yang rendah.
• Fungsional diartikan sebagai kesatuan dari 3 bidang utama yaitu fungsi sosial, fungsi
pekerjaan dan fungsi psikologis
• Fungsi berupa skala dengan 100 poin. 100 mencerminkan tingkat fungsi tertinggi
dalam semua bidang.
Antara aksis I, II, III, tidak selalu harus ada hubungan etiologi atau patogenesis.
Namun, hubungan antara aksis I-II-III dan aksis IV dapat timbal balik saling mempengaruhi.
Diagnosis Multiaksial memakai lima aksis, yaitu (Rusdi, M., 2001):
a. Aksis I:
• Gangguan Klinis Kondisi Lain yang Mungkin Merupakan Pusat Perhatian Klinis
e. Aksis V:
GAF Scale
100-91 gejala tidak ada, fungsi maksimal, tidak ada masalah yang tidak
tertanggulangi
90-81 gejala minimal, fungsi baik, cukup puas, tidak lebih dari masalah harian
biasa
80-71 gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan dalam sosial
70-61 beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam fungsi,
secara umum baik
60-51 gejala dan disabilitas sedang
50-41 gejala dan disabilitas berat
40-31 beberapa disabilitas dalam hubungan dengan realita dan komunikasi,
disabilitas berat dalam beberapa fungsi
30-21 disabilitas berat dalam komunikasi dan daya nilai, tidak mampu berfungsi
dalam hampir semua bidang
20-11 bahaya mencederai diri/orang lain, disabilitas sangat berat dalam
komunikasi dan mengurus diri
10-01 persisten dan lebih serius
0 informasi tidak adekuat
11. Apa tatalaksana, komplikasi, dan prognosis dari kasus pada skenario? (Pada nomor 8)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jenis gangguan jiwa yang dialami Sdr. A adalah gangguan jiwa Psikosis. gangguan
psikosis adalah merupakan gangguan tilikan pribadi yang menyebabkan
ketidakmampuan seseorang menilai realita dengan fantasi dirinya. Berdasarkan onset dan
gejala klinis yang muncul, gangguan psikosis dibagi menjadi skizofrenia, gangguan
psikotik akut, gangguan waham, dan skizoafektif. Karena onset gangguan yang dialami
penderita adalah 2 minggu, dan gejala klinis yang muncul merupakan gejala klinis yang
menyerupai skizofrenia serta riwayat keluarga yang sama maka diagnosis sementara
yang dapat disimpulkan adalah gangguan psikotik skizofrenia-like. Yang utama
dibutuhkan adalah farmakoterapi anti-psikosis. jika gejala menetap dalam waktu lebih
dari 1 bulan maka diagnosis harus diubah menjadi skizofrenia.
B. Saran
1. Dibutuhkan data mengenai riwayat pasien sebelumnya, baik keadaan medik umum
maupun adanya gangguan jiwa lainnya.
2. Terapi gangguan jiwa tidak hanya bertumpu pada farmakoterapi saja, namun terapi
sosial dan kerohanian juga dibutuhkan dalam upaya penyembuhan pasien.
3. Perlu dicari etiologi yang jelas dari gangguan jiwa pasien, dan berusaha menjauhkan
dari faktor etiologi dan keadaan stress terrsebut untuk mengurangi keadaan relaps.
4. Jika suatu saat keadaan pasien mengancam jiwa dirinya sendiri maupun orang lain,
segera dibawa atau dirujuk ke rumah sakit atau pelayanan kesehatan terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Baihaqi, Sunardi, Akhlan, R.N., dan Heryati, E. 2005. Psikiatri. Bandung: PT. Refika
Aditama.
Dharmono, S. Gangguan Mental Terkait Trauma.
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/suryo.dharmono/material/gangguanmentalterkaittrauma.
pdf (diakses 17 November 2013)
Durant, Vincent M. and David H. Barlow. 2007. Essentials of Abnormal Psychology. USA:
Cengage Learning.
Girdano, L A. 2005. Controlling Stress and Tension 7th edition. San Fransisco: Benjamin
Cumming.
Nurhriawangsa, Ibrahim. 2004. Simptomatologi Psikatri. Surakarta: FK UNS.
Kaplan, Harold I; Sadock, Benjamin J; Grebb, Jack A. 2010. Sinopsis Psikiatri, Jilid 1.
Binarupa Aksara:Tangerang
Lubis, B. 1989. Pengantar Psikiatri Klinik. Balai Penerbit FKUI: Jakarta
Maramis, W. F., 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Edisi 2. Airlangga University Press:
Surabaya
Maslim R. 2001. Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas PPDGJ-III. PT Nuh Jaya :
Jakarta
Sadock, Benjamin J. dan Virginia Alcott Sadock. 2003. Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiarty Behavioral Science/ Clinical Psyhiatry Tenth Edition. USA: Lippincott Williams
& Willkins.
Prihatini, Rahayu. 2008. Gangguan Skizoafektif. elib.fk.uwks.ac.id (diakses tanggal 17
November 2013)
Santrock, John W. 2003. Adolescence : Perkembangan Remaja Ed. 6. Jakarta : Erlangga.
Susilohati, Mardiatmi, et.al. 2013. Buku Pedoman Keterampilan Klinis untuk Semester 5:
Keterampilan Pemeriksaan Psikiatri. Surakarta: FK UNS.
Sutardjo A. Wiramihardja, 2005, Pengantar Psikologi Abnormal, Bandung : Refika Aditama
Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Edisi 6. Jakarta: EGC
Wiraminaradja dan Sutardjo. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: Refika
Aditama.
Yager. J. Gittin M.J. 2000. Clinical Manifestations of Psychiatric. Ed.S Sadock BJ, Sadock
VA. In Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry.7th Edition.
Philadelphia. Lippincott William & Wilkins. pp: 797-802.