Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Trofoblas Gestational

Hippocrates (400 BC) pertama kali mendeskripsikan penyakit

trofoblas gestational ini dengan “dropsy of the uterus”. Pengamatan lain

telah dilakukan oleh Marchand, pertama sekali mengenai molahidatidosa

pada tahun 1895. Jaringan trofoblas yang sehat secara agresif

menginvasi endometrium dan meningkatkan vaskularisasi uterus,

menghasilkan hubungan antara janin dan ibu yang biasa dikenal sebagai

plasenta. Invasi merupakan salah satu ciri khas dari suatu keganasan.

Untungnya prilaku ganas dapat dikontrol pada trofoblas yang sehat.

Namun, pada penyakit trofoblas ganas terjadi kegagalan mekanisme

regulasi, sehingga menghasilkan tumor yang sangat invasif, dapat

menyebar dan hipervaskular.9

Penyakit trofoblas gestasional terdiri dari kondisi premalignant

(molahidatidosa komplit dan parsial) dan kondisi malignant berupa mola

invasif, koriokarsinoma dan plasental site trophoblastic tumour(PSTT)

serta molahidatidosa dengan nilai β-hGC yang menetap atau meningkat

biasa disebut dengan Persisten Trophoblasic Disease (PTD). Bentuk

ganas ini biasa disebut dengan penyakit trofoblas ganas/PTG (Gestational

Trophoblastic Neoplasia/GTN). Molahidatidosa ini adalah bentuk

manifestasi yang paling sering, baik bentuk jinak maupun ganas. 10,11

6
2.2. Insidensi dan epidemiologi

Di Inggris, semua kasus penyakit trofoblas gestasional terdaftar

secara nasional, dengan data pusat patologi. Kejadian diperkirakan 1-3 :

1000 kehamilan untuk mola komplit dan 3 : 1000 kehamilan untuk mola

parsial, negara Barat lainnya melaporkan data yang sama. Penyakit

trofoblas gestasional ini lebih sering di Asia daripada di Amerika Utara

atau Eropa. Hal ini mungkin karena perbedaan antara populasi dan data

rumah sakit, ketersediaan data pusat patologis atau mungkin

mencerminkan diet dan pengaruh genetik.9

Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Aziz MF dkk di RS.

Cipto Mangunkusumo tahun 1977-1981. Melaporkan angka kejadian yang

tinggi dari molahidatidosa sebanyak 1:77 kehamilan dan insidensi

malignansi sebanyak 1:185 kehamilan. Dari 406 kasus molahidatidosa,

22,9% berlanjut menjadi keganasan.10

Peningkatan risiko kehamilan mola terlihat pada wanita muda (<16

tahun), tetapi sebagian besar dijumpai pada wanita usia lanjut (>45

tahun). Dengan riwayat kehamilan mola sebelumnya, risiko mola komplit

dan parsial meningkat 1%. Dengan riwayat dua kehamilan mola, risiko

mola ketiga adalah 15%-20% dan tidak menurun dengan mengubah

pasangan. Frekuensi koriokarsinoma dan PSTT masih kurang jelas, dan

dapat timbul setelah semua jenis kehamilan. Risiko berkembang menjadi

koriokarsinoma sekitar 1:50000 kehamilan, sedangkan data terakhir

menunjukkan bahwa PSTT menyumbang 0,2% dari PTG di UK. Risiko

PTG juga berhubungan dengan faktor hormonal karena wanita dengan

7
menarche setelah 12 tahun dan penggunaan kontrasepsi oral akan

meningkatkan risiko. Selain itu, risiko keganasan setelah mola hidatidosa

dikaitkan beberapa jenis kontrasepsi oral, jika dikonsumsi saat β-hCG

masih meningkat. Hormon ini sangat penting untuk diagnosis, manajemen

dan pengawasan PTG selanjutnya.9

2.3. Patofisiologi Penyakit Trofoblas Ganas

Kehamilan molahidatidosa dan penyakit trofoblas ganas berasal

dari trofoblas plasenta. Molahidatidosa merupakan lesi prekursor pada

beberapa keganasan trofoblas.12

Kajii et al dan Lawler dkk, menunjukkan bahwa pada kasus

molahidatidosa lebih banyak ditemukan kelainan keseimbangan

translokasi dibandingkan dengan populasi normal (4,6% dan 0,6%). Ada

kemungkinan pada wanita dengan kelainan sitogenetik seperti ini, lebih

banyak mengalami gangguan proses meiosis berupa nondysjunction,

sehingga lebih banyak terjadi ovum yang kosong atau yang intinya tidak

aktif.13

Banyak teori yang disebutkan tentang patogenesis molahidatidosa

komplit, yaitu:14

1. Hertig et al menganggap bahwa pada MH terjadi insufisiensi

peredaran darah akibat matinya embrio pada minggu ke 3-5 (missed

abortion), sehinggga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan

mesenkim vili dan terbentukah kista-kista yang makin lama makin

besar, sampai akhirnya terbentuklah gelembung mola, sedangkan

8
proliferasi trofoblas merupakan akibat dari tekanan vili yang

oedemateus tadi.

2. Park, mengatakan bahwa yang etiologi primer adalah adanya

jaringan trofoblas yang abnormal, baik berupa hiperplasi, displasi,

maupun neoplasi. Bentuk yang abnormal ini disertai pula dengan

fungsi yang abnormal. Keadaan ini menekan pembuluh darah, yang

akhirnya menyebabkan kematian embrio.

3. Teori yang sekarang dianut adalah teori sitogenetik. Secara

sitogenetik umumnya kehamilan molahidatidosa komplit terjadi

karena sebuah ovum yang tidak berinti (kosong) atau yang intinya

tidak berfungsi, dibuahi oleh sperma yang mengandung haploid 23

X, terjadilah hasil konsepsi dengan kromosom 23 X, yang kemudian

mengadakan duplikasi menjadi 46 XX. Jadi umumnya MHK bersifat

homozigot, wanita dan berasal dari bapak (androgenetik). Jadi tidak

ada unsur ibu sehingga disebut Diploid Androgenetik.

Teori Diploid Androgenetik

Seperti diketahui, kehamilan yang sempurna harus terdiri dari unsur

ibu yang akan membentuk bagian embrional (anak) dan unsur ayah yang

diperlukan untuk membentuk bagian ekstraembrional (plasenta, air

ketuban, dll) secara seimbang. Karena tidak ada unsur ibu, pada MHK

tidak ada bagian embrional (janin). Yang ada hanya bagian

ekstraembrional yang paologis berupa vili korialis yang mengalami

degenerasi hidropik seperti anggur. Ovum kosong bisa terjadi karena

9
gangguan pada proses meosis, yang seharusnya diploid 46 XX pecah

menjadi 2 haploid 23 X, terjadi peristiwa yang disebut nondysjunction,

dimana hasil pemecahannya adalah 0 dan 46 XX. Pada molahidatidosa

komplit ovum inilah yang dibuahi. Gangguan proses meosis ini, antara lain

terjadi pada kelainan struktural kromosom, berupa balance translocation.15

Molahidatidosa komplit dapat terjadi pula akibat pembuahan ovum

kosong oleh 2 sperma sekaligus (dispermi). Bisa oleh dua haploid 23X,

atau satu haploid 23 X dan atu haploid 23Y. Akibatnya bisa terjadi 46 XX

atau 46 XY, karena pada pembuahan dengan dispermi tidak terjadi

endoreduplikasi. Kromosom 46 XX hasil reduplikasi dan 46 XX hasil

pembuahan dispermi, walaupun tampak sama, namun sesungguhnya

berbeda, karena yang pertama berasal dari satu sperma (homozigot)

sedangkan yang kedua berasal dari dua sperma (heterozigot). Ada yang

menganggap bahwa 46XX heterozigot mempunyai potensi keganasan

lebih besar. Pembuahan dispermi dengan dua haploid 23 Y (46 YY)

dianggap tidak pernah bisa terjadi (nonviable).14

Pada molahidatidosa parsial, Secara sitogenetik MHP terjadi karena

ovum normal dari ibu (23 X) dibuahi secara dispermi. Bisa oleh dua

haploid 23 X, satu haploid 23 X san satu haploid 23Y atau dua haploid 2

Y. Hasil konsepsi bisa berupa 69 XXX, 69 XXY, 69 XYY. Kromosom 69

YYY tidak pernah ditemukan. Jadi MHP mempunyai satu haploid ibu dan

dua haploid ayah sehingga disebut Diandro Triploid. Karena disini ada

unsur ibu, ditemukan bayi. Tetapi komposisi unsur ibu dan unsur ayah

tidak seimbang, satu berbanding dua. Unsur ayah yang tidak normal itu

10
menyebabkan pembentukan plasenta yang tidak wajar, yang merupakan

gabungan dari vili korialis yang normal dan yang mengalami degenerasi

hidropik. Oleh karena itu fungsinya pun tidak bisa penuh sehingga janin

tidak bisa bertahan sampai besar. Biasanya kematian terjadi sangat dini. 13

Teori Diandro Triploid

Berbeda dengan molahidatidosa komplit, pada molahidatidosa

parsial sama sekali tidak ditemukan gejala maupun tanda-tanda yang

khas. Keluhannya pada permulaan sama seperti kehamilan biasa. Kalau

ada perdarahan sering dianggap seperti abortus biasa. Jarang sekali

ditemukan MHP dengan besar uterus yang melebihi tuanya kehamilan.

Biasanya sama atau lebih kecil. Dalam hal terakhir disebut Dying Mole.

Gambaran USG tidak selalu khas, tapi dapat didiagnosis bila ditemukan

hal-hal sebagai berikut. Pada jaringan plasenta tampak gambaran yang

menyerupai kista-kista kecil disertaipeningkatan diameter transversa dari

kantong janin.16

Trofoblas normal terdiri dari sitotrofoblas, sinsitiotrofoblas dan

trofoblas intermediet. Sinsitiotrofoblas menginvasi stroma endometrium

dengan implantasi blastokis dan merupakan jenis sel yang memproduksi

hCG. Fungsi sitotrofoblas untuk memasok syncytium dengan sel selain

membentuk bagian luar korion yang menjadi vili korionik yang menutupi

kantung korionik. Vili korionik berbatasan dengan endometrium dan

lapisan basal endometrium bersama-sama membentuk plasenta

fungsional untuk nutrisi ibu janin dan pertukaran sisa metabolisme.

11
Trofoblas intermediet terletak pada vili, tempat implantasi, dan kantung

korionik. Semua 3 jenis trofoblas dapat berkembang biak menjadi

Penyakit Trofoblas Ganas.12

Dasar molekuler dan seluler dalam pengembangan sebenarnya

dari penyakit trofoblas ganas ini masih kurang dipahami, penyakit

trofoblas ganas ini telah lama dianggap sebagai kelompok penyakit yang

timbul dari transformasi neoplastik sel trofoblas. Namun penelitian

klinikopatologi baru-baru ini menunjukkan bahwa analisis molekuler dari

kehamilan trofoblas ganas sebagian besar didasarkan pada karakteristik

profil ekspresi gen dari berbagai tipe keganasan dan pola dari ekspresi

gen yang unik dapat digunakan untuk membedakan populasi trofoblas

yang berbeda pada awal plasenta yang sehat. Setelah transformasi sel

induk trofoblas, yang kemungkinan adalah sititrofoblas, program

diferensiasi spesifik menentukan jenis tumor trofoblas yang berkembang. 12

12
Gambar 2.3.1 . Patogenesis penyakit trofoblas ganas (dikutip dari Shih IeM, 2007,
Gestational Trophoblastic Neoplasia-pathogenesis and potential therapeutic
12
targets)

Disamping studi tentang histogenesis dari kehamilan trofoblas

ganas, penelitian saat ini difokuskan pada faktor biologi dari keganasan

dengan menentukan karakteristik ekspresi gen yang penting dalam proses

tumorigenesis.12

2.4. Diagnosis dan Stadium PTG

Molahidatidosa (komplit dan parsial) paling sering datang dengan

keluhan perdarahan pervaginam pada trimester awal kehamilan. Sering

terdiagnosis pada pemeriksaan ultrasonografi trimester pertama

kehamilan dengan gambaran berupa massa heterogen menyerupai badai

salju (snowstorm) tanpa adanya gambaran janin pada mola komplit,

13
dijumpai juga kista ovarium teka lutein. Pada akhirnya harus dibuktikan

dengan pemeriksaan histopatologi.10

Pilihan metode yang paling aman untuk evakuasi adalah dilatasi

dan kuretase hisap dengan panduan ultrasonografi untuk memastikan

pengosongan yang memadai isi rahim dan untuk menghindari perforasi

uterus. Sebagian wanita yang mengalami keguguran atau yang menjalani

terminasi kehamilan dengan indikasi medis, dapat menjadi kasus PTG

yang tidak terduga jika tidak dilakukan pemeriksaan histopatologi jaringan

konsepsi rutin, terlambatnya diagnosis akan meningkatkan morbiditas.

Pemeriksaan histologis dari setiap pengakhiran kehamilan tidaklah praktis,

pengukuran sederhana β-hCG 3-4 minggu paska kuretase dapat

dilakukan untuk memastikan nilai β-hCG kembali normal. Semua wanita

dengan diagnosis kehamilan mola memerlukan pemantauan nilai hCG

untuk melihat kemungkinan kambuhnya penyakit, peningkatan dan

pendataran nilai β-hCG pada tiga dan dua pemeriksaan berturut.

Pengulangan biopsi untuk mengkonfirmasi perubahan ganas tidak

disarankan karena berisiko memicu perdarahan yang mengancam jiwa.10

Bentuk koriokarsinoma dan PSTT / ETT bisa jauh lebih sulit untuk

didiagnosis karena penyakit dapat berkembang dalam hitungan bulan atau

tahun setelah kehamilan sebelumnya. Oleh karena itu penting untuk

mengukur hCG pada wanita usia subur dengan penyakit metastasis yang

tidak dapat dijelaskan. Biopsi lesi tanpa kemampuan untuk mengendalikan

perdarahan sangat berisiko pada penyakit ini dan tidak diperlukan untuk

memulai kemoterapi. Namun, pengangkatan seluruh massa dapat

14
memberikan konfirmasi histologis untuk konfirmasi diagnostik atau analisis

genetik.10

Hampir keseluruhan pasien PTG paska molahidatidosa terdeteksi

melalui pemantauan hCG. Informasi yang diperlukan untuk menentukan

terapi dapat diperoleh dari riwayat klinis, pemeriksaan, pengukuran hCG

serum dan USG doppler pelvik untuk konfirmasi tidak adanya kehamilan,

untuk mengukur ukuran dan volume rahim, penyebaran penyakit pelvis

dan vaskularisasi. Penilaian pulsatility index dengan doppler nantinya

dapat menjadi faktor prognostik independen untuk resistensi terhadap

kemoterapi agen tunggal metotreksat (MTX) dan saat ini sedang

dievaluasi dalam penelitian prospektif. Metastasis paru adalah

penyebaran yang paling umum, sehingga rontgen dada sangat penting.10

Computed tomography (CT) dada tidak diperlukan jika rontgen

dada normal, karena penemuan mikrometastasis, yang didapati pada 40%

pasien, tidak mempengaruhi hasil akhir. Namun, jika dijumpai lesi pada

toraks, magnetic resonance imaging (MRI) otak dan CT tubuh diperlukan

untuk menyingkirkan penyebaran penyakit lainnya, seperti pada otak dan

hati yang secara signifikan akan mengubah penanganan. FIGO

melaporkan data pada penggunaan sistem skor prognostik dan sistem

stadium anatomis pada PTG. Sejak tahun 2002, semua penanganan PTG

harus menggunakan sistem ini untuk memungkinkan perbandingan data. 10

Skor prognostik digunakan untuk memprediksi kemungkinan

resistensi terhadap kemoterapi agen tunggal dengan MTX atau Act-D.

Skor 0-6 dan ≥7 menunjukkan risiko rendah dan tinggi terhadap resistensi.

15
Risiko tinggi hampir tidak memiliki kemungkinan sembuh dengan terapi

agen tunggal dan membutuhkan pemberian agen multiple. Stadium

anatomis tidak membantu penentuan terapi, tetapi memberikan informasi

tambahan untuk membantu klinisi yang membutuhkan perbandingan data

antar pusat PTG.11

Berdasarkan FIGO 2012, diagnosis PTG dibuat berdasarkan

peningkatan kadar hCG, jika memungkinkan diperlukan bukti histologis

atau radiologis. Kriteria diagnosis PTG meliputi:3

1. Sekurang-kurangnya 4 nilai plateu hCG yang meningkat secara

persisten (hari 1, 7, 14 dan 21) atau lebih lama, atau peningkatan hCG

secara sekuensial selama 2 minggu (hari 1, 7, 14) atau lebih lama.

2. Metastasis paru yang ditemukan pada X-Ray toraks.

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam diagnosis maupun

monitoring PTG adalah:3

1. Pemeriksaan klinis (menilai ada tidaknya metastasis vagina)

2. Pengukuran hCG serum serial mingguan

3. Pemeriksaan darah lengkap dan trombosit, PT, PTT, fibrinogen,

BUN, kreatinin, tes fungsi hati

4. Foto toraks

5. CT Scan atau MRI otak (menilai ada tidaknya metastasis otak)

6. CT Scan hati bila ada indikasi. CT Scan seluruh tubuh biasanya

dilakukan pada pasien yang memiliki metastasis paru

16
7. Kuretase harus dilakukan bila ada perdarahan uterus. Biopsi

dilakukan pada daerah yang memungkinkan. Ada risiko perdarahan

hebat pada tempat biopsi.

8. MRI bila diindikasikan.

9. T4, tes fungsi tiroid bila diindikasikan.

10. Scanning selektif dengan antibodi anti-hCG radioaktif iodin atau

indium bila ada resistensi terhadap kemoterapi.

Pada tahun 2000, FIGO merekomendasikan stadium klinis tumor

trofoblastik gestasional seperti di bawah ini:3

Stadium FIGO Deskripsi

I Tumor trofoblastik gestasional terbatas pada korpus

uterus

II Tumor trofoblastik gestasional meluas ke adneksa atau

ke vagina, tetapi terbatas pada struktur genitalia

III Tumor trofoblastik gestasional meluas ke paru, dengan

atau tanpa keterlibatan traktus genitalia

IV Adanya metastasis

Table 2.4.1. Stadium Klinis PTG, FIGO 2000 (dikutip dari Ngan HY, 2003, FIGO
Cancer Report 2012 : Trophoblastic Disease)

Molahidatidosa tidak boleh dikategorikan stadium 0 karena bila

hCG tetap meningkat dan pasien memerlukan kemoterapi, diperlukan

penilaian ulang stadium.3

17
Pada tahun 2000, FIGO menerima sistem skor WHO berdasarkan

faktor prognostik yang pertama kali dikenalkan oleh Bagshawe. Nilai untuk

faktor risiko adalah 1,2 dan 4. Ambang batas neoplasia risiko rendah dan

tinggi disepakati oleh FIGO pada angka 6. Skor ≤ 6 dikategorikan risiko

rendah dan skor ≥ 7 dikategorikan risiko tinggi. Kombinasi stadium FIGO

dan WHO telah disetujui sejak tahun 2002.3

Tabel 2.4.2. Sistem skoring FIGO/WHO berdasarkan faktor prognostik (dikutip dari
Ngan HY, 2003, FIGO Cancer Report 2012 : Trophoblastic Disease. Int J Gynecol
Obstetri)

2.5. Penatalaksaan PTG risiko rendah

PTG risiko rendah, di mana skor WHO kurang atau sama dengan 6

pada FIGO stadium I-III. Hampir seluruh pasien risiko rendah diterapi

dengan kemoterapi agen tunggal dengan MTX atau Act-D. Kemoterapi

agen tunggal menunjukkan 50-90% kasus remisi. Terdapat variasi dalam

dosis, frekuensi, dan rute pemberian kemoterapi. Pasien yang gagal pada

terapi lini pertama, biasanya disebabkan resistensi, dapat dilanjutkan

dengan lini kedua bahkan lini ketiga, dengan survival sampai 100%.17,18

18
Molahidatidosa komplit Koriokarsinoma
& parsial (hislopatologi)
(PersistenTrophoblastic
Disease/PTD)

Diagnosis PTG

Penjajakan, staging dan scoring faktor risiko

hCG, Darah rutin, RFT, LFT, HST, Foto toraks, USG pelvic (jika foto toraks
(+)  CT/USG abdomen, terutama hepar, CT & MRI otak (jika ada indikasi)

Stadium I, skor Stadium II, skor Stadium III, skor Stadium IV, skor

Kemoterapi agen Kemoterapi multi agen


tunggal

No Response
Resolus
i Ganti agen atau rejimen kemoterapi

Follow up (klinis & hCG 12


bulan sebelum No Response
diperbolehkan hamil)

Kemoterapi kombinasi
Kemoterapi multi agen No Response
(pertimbangan histerektomi)

Gambar 2.5.1. Panduan penatalaksanaan PTG risiko rendah (dikutip dari May T,
2011. Chemotherapy Research and Practice : Current Chemotherapeutic
Management of Patient with Gestational Trophoblastic Neoplasia )

2.5.1. Rejimen kemoterapi agen tunggal

Berikut ini berbagai macam rejimen pemberian kemoterapi agen

tunggal :3,9

19
a. Metotreksat 0,4 mg/kg intramuskular selama 5 hari, berulang setiap 2

minggu. Ini adalah satu dari protokol konvensional pada PTG dan

masih digunakan di Universitas Yale. Rejimen kemoterapi ini masih

merupakan protokol standar di Chicago, di mana obat ini digunakan

secara intravena. Angka kegagalan 11-15% untuk penyakit non

metastasis dan 27-33% untuk penyakit dengan metastasis (Level of

evidence C).

b. Metotreksat dengan selingan pemberian leukovorin. Metotreksat 50

mg secara intramuskular atau 1mg/kgBB 4 dosis diselingi leukovorin

15 mg atau 0,1 mg/kgBB 24-30 jam setelah setiap dosis metotreksat.

Protokol ini paling banyak dianut di Inggris dan Amerika dengan

angka kegagalan 20-25% (Level of evidence C).

c. Metotreksat 50mg/m2 intramuskular yang diberikan setiap minggu.

Regimen ini berhubungan dengan angka kegagalan sebanyak 30%.

Bila terjadi kegagalan, diberikan metotreksat 0,4 mg/kg intramuskular

untuk 5 hari. Rejimen ini dapat diganti dengan aktinomisin-D

12mikrogram/kg selama 5 hari (Level of evidence C).

d. Aktinomisin-D 1,25 mg/m2 secara intravena selama 2 minggu.

Protokol ini memiliki angka kegagalan sebesar 20%. Protokol ini

dapat menjadi alternatif mingguan dengan protokol metotreksat.

Aktinosmisin D dapat menyebabkan kulit terkelupas bila terinfiltrasi

ke kulit dan harus diinjeksi via infus intravena yang baru. Bila

terdapat ekstravasasi, area ini harus diinfiltrasi dengan hidrokortison

100 mg dan lidokain 2 mL.

20
e. Aktinomisin-D 12 mikrogram/kg yang diberikan secara intravena atau

0,5 mg secara intravena setiap hari selama 5 hari, diulangi setiap 2

minggu. Protokol ini adalah alternatif untuk protokol metotreksat

selama 5 hari. Protokol ini dapat digunakan pada pasien yang

memiliki gangguan hepatik. Angka kegagalan ditemukan sebesar

8%.

f. Metotreksat 250 mg drips selama 12 jam. Kemoterapi ini adalah

bagaian metotreksat pada protokol EMA-CO (etoposide, metotreksat

dengan leucovorin, aktimosiin D, yang diberikan pada hari 1 dan 2

serta siklofosfamid dan vinkristin (Oncovin) yang diberikan pada hari

8). Regimen ini memiliki angka kegagalan sebesar 30% (Level of

evidence C).

Bila regimen di atas tidak berespon, hal ini dikarenakan

ketidakcukupan pajanan sel selama siklus pemberian obat kemoterapi,

tidak mencapai kadar efektif obat di sirkulasi. Dapat digunakan

metotreksat 0,4 mg/kg setiap hari selama 4 hari atau aktinomisin D 12

mikrogram/kg selama 5 hari sebelum dijumpai indikasi kemoterapi

multiagen.6

Pada meta analisis Cochrane tahun 2009, ditunjukkan bahwa

aktinomisin D ditemukan lebih superior dibandingkan metotreksat (Level of

evidence A). RCT baru yang membandingkan metotreksat intramuskular

mingguan dan aktinomisin D intravena setiap 2 minggu menunjukkan

respon yang lebih baik dan toksisitas sedang pada grup aktinomisin D

21
(Level of evidence A). Beberapa pedoman juga telah meletakkan

aktinomisin D sebagai regimen lini pertama.19

Evakuasi sekunder sangatlah terbatas, hal ini dilakukan bila hCG

<5000 IU/L. Akan tetapi, bila kasus yang didapat adalah jaringan mola

parsial, dapat dipertimbangkan untuk histerektomi. Histerektomi akan

menurunkan durasi dan dosis kemoterapi.20,21

2.5.2. Kemoterapi Konsolidasi

Setelah nilai β-hCG mencapai normal, setidaknya dibutuhkan

tambahan 2 siklus kemoterapi lagi (3 siklus kemoterapi konsolidasi),

karena tidak terdeteksinya β-hCG di serum menunjukkan bahwa jumlah

sel ganas di dalam tubuh kurang dari 105, dan ini tidak berarti penyakit

sudah benar-benar hilang.3

Lybol dkk tahun 2012 mencoba membandingkan angka

kekambuhan antara pemberian kemoterapi konsolidasi di Belanda (2

siklus kemoterapi) dan Inggris (3 siklus kemoterapi), didapati angka

kekambuhan lebih tinggi pada pemberian 2 siklus kemoterapi konsolidasi

yaitu 8,3% berbanding 4%.20

2.6. Faktor Prognostik Keberhasilan Pemberian Kemoterapi MTX

Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan secara statistik terkait

dengan respon terhadap pemberian MTX tunggal pada PTG risiko rendah

adalah usia pasien, nilai hCG pra kemoterapi dan skor FIGO.22

22
Davis dkk tahun 2012 menganalisis faktor-faktor yang berhubungan

dengan resistensi terhadap pemberian MTX tunggal, didapati hubungan

yang signifikan resistensi terhadap faktor metastasis, penigkatan skor

FIGO, histopatologi (terutama koriokarsinoma) dan kadar b-hCG yang

lebih tinggi.23

1. Usia

Pada penelitian Chalouhi dkk (2009), pasien resisten MTX didapati

lebih tua (33,7 tahun, SD 7,81) dibandingkan dengan pasien remisi

komplit (31,7 tahun, SD 9,2).22 Nilai median (kelompok remisi komplit dan

resisten) yang sama (median : 30 tahun) dijumpai pada penelitian yang

dilakukan Trommel dkk (2006) di Belanda.8 Sementara Chan dkk (2006)

mendapat hasil sedikit lebih tinggi, yaitu median usia untuk kelompok

remisi komplit adalah 33,7 tahun dan kelompok resisten adalah 33,6

tahun.24

Penelitian-penelitian sebelumnya tidak semua sepakat mengenai

peran usia terhadap respon kemoterapi MTX ini, tanpa adanya perbedaan

yang signifikan antara kedua hasil, namun beberapa penulis menyatakan

usia yang lebih tua cenderung menjadi faktor resistensi, sementara

peneliti lain menyatakan bahwa usia tidak berpengaruh terhadap

resistensi.22,23,25,26

2. Hasil Patologi Anatomi

Mengingat angka kejadian molahidatidosa komplit adalah yang

terbanyak dari seluruh pasien penyakit trofoblas gestasional, beberapa

23
penelitian menunjukkan hasil yang serupa. Chan dkk (2006), mendapat

hasil terbanyak adalah molahidatidosa komplit (kelompok remisi komplit

30 pasien (83%) dan kelompok resisten 35 pasien (66%)). 24 Maesta dkk

(2003) dan Gillani dkk (2013) juga mendapat hasil yang tidak jauh

berbeda.6,27

Garrett dkk (2002), menyatakan bahwa hasil patologi anatomi

jaringan (molahidatidosa komplit atau parsial) merupakan faktor prediktor

independen atas kebutuhan 1 dosis kemoterapi lebih banyak. 28

Sebuah penelitian lain juga menyebutkan bahwa hasil histopatologi

koriokarsinoma meningkatkan risiko persisten dan resistensi kemoterapi.

David dkk (2012) menyebutkan diagnosis koriokarsinoma mengalami

resistensi terhadap MTX sebesar 31%, lebih besar dibandingkan dengan

PTG postmolar sebesar 17%.23,29

3. Nilai β-hCG pra Kemoterapi

Banyak studi yang menyatakan bahwa nilai hCG pra kemoterapi

yang tinggi secara signifikan meningkatkan risiko resisten MTX.1,22,30

Trommel dkk. (2006), mendapatkan nilai median kelompok resisten MTX

lebih tinggi dibanding kelompok remisi komplit (median 2098mcg/L (62-

12.000) dan 251mcg/L (6,2 – 12.000)).8 Sesuai dengan hasil penelitian

Davis dkk (2012) yang menyebutkan tingginya kadar hCG pra kemoterapi

memiliki ubungan yang bermakna dengan peningkatan risiko resistensi

(p=0,001).23

24
Hal ini didukung hasil penelitian Chan dkk, 2006, yang

mendapatkan hasil penurunan keberhasilan kemoterapi pada nilai b-hCG

yang semakin tinggi, dapat dilihat pada tabel di bawah ini. 24

Nilai b-hCG Keberhasilan,%


100 - 999 62.3 - 88.2
1000 - 2999 45.1 - 62.3
3000 - 5999 25.5 - 45.1
6000 - 9999 19.6 - 25.5
10,000 - 49,999 7.8 - 19.6
50,000 - 99,999 2.0 - 7.8
100,000 atau lebih 2.0 atau kurang
Tabel 2.6.1. persentase keberhasilan kemoterapi berdasarkan kadar b-hCG
prakemoterapi (dikutip dari Chan KL, 2006, Single-dose methotrexate Regimen in
the treatment of lowrisk gestational trophoblastic neoplasia).

4. Metastasis

Chan dkk (2006) mendapati persentase yang lebih tinggi untuk

metastasis pada kelompok resisten dibanding kelompok remisi komplit,

yaitu kelompok remisi komplit hanya 2%, sementara kelompok resisten

adalah 17,5%.24

Davis dkk (2012), pasien dengan metastasis memiliki persentase

resistensi yang lebih tinggi (31%) dibandingkan dengan pasien tanpa

metastasis (17%).23

25
5. Skor FIGO resiko rendah

Banyak penelitian melaporkan bahwa skor FIGO yang lebih tinggi

secara signifikan meningkatkan risiko resisten MTX.1,22,30 Davis dkk (2012)

mendapati peningkatan skor FIGO berhubungan dengan resistensi MTX

tunggal, yaitu 13% pada skor 0-2, 32% pada skor 3-4 dan 48% pada skor

5-6.23

6. Siklus kemoterapi

Trommel dkk (2006), mendapat hasil median jumlah siklus

kemoterapi MTX kelompok remisi komplit adalah 5 siklus (range 3-17

siklus), sementara pada kelompok resisten adalah 7 siklus (range 3-16

siklus).8

2.7. Resistensi MTX

MTX merupakan antagonis folat, mekanisme kerja MTX terhadap

keganasan adalah melalui penghambatan dihidrofolat reduktase (DHFR),

suatu enzim yang berpartisipasi dalam sintesis tetrahidrofolat. Afinitas

MTX terhadap DHFR sekitar seribu kali lipat daripada folat. Asam folat

diperlukan untuk sintesis denovo dari timidin nukleosida, yang dibutuhkan

dalam sintesis DNA. Juga folat sangat penting untuk purin dan pirimidin

sebagai dasar biosintesis, sehingga biosintesis DNA, RNA, thymidylates

dan protein akan terhambat, dan akan berakhir dengan kematian sel,

terutama sel yang aktif membelah.31,32

26
Gambar 2.7.1. Mekanisme kerja MTX sebagai antagonis folat (dikutip dari
Rajagopalan PT, 2002, Interaction of dihidrofolate reductase with Methotrexate:
Ensemble and Single-molecule kinetics)

Meskipun pengembangan rejimen kemoterapi yang efektif dari MTX

telah meningkatkan terapi sejumlah keganasan, untuk mencapai masa

bebas penyakit yang lama masih sangat sulit, bahkan pada keganasan

yang sensitif kemoterapi. Khasiat MTX seperti agen kemoterapi lainnya

akhirnya dibatasi oleh resistensi.18

Beberapa study mendapatkan angka resistensi MTX yang

bervariasi, tetapi masih dibawah 50%, seperti Lurain dkk (1995),

mendapat hasil resisten MTX sebesar 10,7% (27 pasien). 33 Chalouhi dkk

(2009) mendapatkan angka resistensi sebesar 22,5% (32 pasien). 22

Chan dkk, 2006, dalam jurnalnya mengatakan bahwa penggunaan

kemoterapi rejimen yang berbeda dari MTX tunggal seperti, MTX 5hari

27
ataupun MTX+FA 8hari dapat digunakan dengan angka remisi komplit

yang tinggi yaitu 60-90%.24

Tetapi sampai saat ini, belum ada kesepakatan internasional

mengenai definisi resisten terhadap kemoterapi lini pertama ini. Beberapa

klinisi mendefinisikan resistensi sebagai pendataran atau peningkatan nilai

hCG serum dan/atau adanya perkembangan metastasis baru. Sebagai

contoh, Mc.Neish dkk tahun 2002 mendefinisikan resistensi dengan

adanya peningkatan nilai β-hCG (tanpa disebutkan berapa persen

kenaikannya) atau jika dijumpai nilai yang tetap pada dua kali

pemeriksaan.18 Matsui H dkk tahun 2005 mendefinisikan resistensi

dengan adanya nilai tetap (kurang dari 50% penurunan hCG titer) atau

peningkatan nilai hCG pada dua siklus berturut.26

2.8. Pemantauan Paska Kemoterapi dan Pemeriksaan hCG

Risiko relaps setelah kemoterapi adalah sampai 3% dan diperlukan

monitoring hCG serial. Metode kontrasepsi apapun dapat digunakan

mencakup kontrasepsi oral. hCG dimonitor setiap minggu sampai 6

minggu post kemoterapi sebelum penggantian ke analisis urin. Penelitian

Pfeffer dkk. (2007) menunjukkan bahwa pada 15.279 pasien tidak ada

rekurensi yang signfikan setelah terapi MTX. Akan tetapi, pada peneltiian

Rustin dkk. (1996) pada 26 pasien yang menerima kemoterapi kombinasi,

ditunjukkan adanya metastasis.34,35

28
Tabel 2.8.1. Protokol follow up pasien PTG setelah kemoterapi (UK) (dikutip
dari Seckl MJ, 2013, Gestational Trophoblastic Disease: ESMO Clinical Practice
Guidelines for diagnosis, treatment and follow-up)

2.9. Evaluasi hormon human Chorionic Gonadotrophin (hCG)

Evaluasi hCG serial dapat digunakan untuk diagnosis kehamilan

normal dan abnormal. hCG adalah hormon glikoprotein yang memiliki 2

subunit, alfa dan β, dan merupakan indeks yang penting untuk penyakit

tropoblastik gestasional. hCG mencakup subunit alfa pada LH dan subunit

β pada TSH. Pemeriksaan untuk deteksi hCG menggunakan antibodi

yang langsung pada subunit β. Pada kehamilan, subunit ini biasanya intak

dan hiperglikosilasi selama trimester pertama. Di sisi lain, β-hCG yang

meningkat akibat kanker dapat tampak pada beberapa bentuk atau

fragmen yang berbeda meliputi β nicked bebas, peptida c terminal, β-hCG

hiperglikosilasi. Pada tahun 2011, SOCG menunjukkan bahwa level hCG

dapat memberikan hasil positif palsu sampai 800 mIU/mL. Hal ini

disebabkan antibodi antimencit, antibodi heterofil, dan interface protein

29
non spesifik. Lebih lanjut, hal ini disebabkan banyaknya variasi alat

pemeriksaan yang digunakan.36

Pemantauan β-hCG juga dilakukan sebagai monitor terapi pada

PTG, beberapa peneliti berupaya membuat kurva regresi β-hCG sebagai

alat untuk memantau keberhasilan pemberian kemoterapi ataupun

kecenderungan resistensi yang dapat dideteksi lebih dini.36

Seckl dkk. (2010) menggambarkan kurva regresi β-hCG pada PTG

risiko rendah yang diterapi dengan kemoterapi lini tunggal terhadap satu

pasien.9

Gambar 2.9.1. Grafik penanda pengobatan tumor (hCG) mendemonstrasikan


seorang pasien yang respon terhadap kemoterapi risiko rendah. Evakuasi
molahidatidosa komplit, nilai plateu hCG mengindikasikan PTG persisten, maka
pasien diberikan MTX dan folinic acid (MTX-FA). Terapi dilanjutkan sampai 6
minggu normal (<5 IU/l). (dikutip dari Seckl MJ, 2010, Gestational trophoblastic
disease)

Trommel dkk (2009), merancang suatu kurva regresi β-hCG selama

terapi PTG risiko rendah untuk identifikasi resistensi MTX secara dini. Dari

30
kurva tersebut didapat 2,5% pasien mencapai nilai β-hCG normal setelah

siklus pertama (minggu ke-2) dan 50% pasien mencapai nilai normal β-

hCG setelah mendapat kemoterapi siklus ke-4 (minggu ke-8). Sementara

pada persentil 97.5 normalisasi berakhir di kadar β-hCG 4,3 ᴫg/L (cut off 2

ᴫg/L) disebabkan kurva dihentikan pada siklus ke-8.8

Berdasarkan kurva resistensi yang dibandingkan dengan kurva

regresi normal, sebelum memulai siklus kemoterapi didapati 4 pasien

resisten MTX (13,8%) berada diatas garis p97.5 kurva remisi komplit.

Sebelum memasuki siklus ke-4, didapati 22 dari 29 pasien (76%) resisten

MTX berada di atas garis p97.5.8

Dengan analisis kurva ROC dapat diidentifikasi 14% pasien yang

membutuhkan terapi alternatif sebelum dimulai kemoterapi lini pertama

dengan spesifisitas 97.5% (cutoff 9.600ᴫg/L). Pengukuran hCG serum

sebelum kemoterapi MTX siklus ke-4 (minggu ke-7), dapat

mengidentifikasi 50% pasien yang tidak respon terhadap kemoterapi MTX

dengan spesifisitas 97.5% (cutoff 56 ᴫg/L). Pengukuran hCG serum

sebelum kemoterapi MTX siklus ke-6 (minggu ke-11), dapat diidentifikasi

60% pasien yang tidak respon terhadap kemoterapi MTX dengan

spesifisitas 97.5% (cutoff 24 ᴫg/L).8

31
Gambar 2.9.2. A. Kurva regresi hCG serum normal pasien yang mendapat
MTX (grup control, n=79) B. Kurva regresi hCG serum normal grup kontrol dengan
pengukuran individual pada grup kasus (n=29) (dikutip dari Trommel FC, 2005,
Diagnosis of hydatidiform mole and persistent trophoblastic disease: Diagnosis
accuracy of total human chorionic gonadotropin (hCG), free hCG α-and β-subunits,
and their ratios,” European Journal of Endocrinology)

Sebagai analogi, Lybol dkk (2012) membentuk dua kurva regresi

untuk memprediksi resistensi kemoterapi terhadap pemberian kemoterapi

EMA/CO. Konsentrasi hCG inisial pada kelompok PTG risiko tinggi lebih

tinggi dikarenakan load tumor yang lebih tinggi pada grup resisten MTX

32
yang telah mengalami regresi tumor dengan MTX (p<0,001). Tujuan

analisis kurva untuk menurunkan mortalitas dengan perubahan awal ke

regimen platinum (EMA-EP). Persentil 90 dipilih sebagai lini atas kurva

regresi. Kurva regresi pasien yang diterapi dengan EMA/CO untuk

penyakit resisten MTX ditunjukkan pada gambar di bawah. Konsentrasi

hCG median sebelum onset terapi adalah 21 ng/mL dan sebelum siklus

EMA/CO ketiga, hampir setengah pasien memiliki kadar hCG normal.

Persentil 90 adalah 148 ng/ml sebelum mulai terapi. Sebanyak 90 persen

pasien dengan resistensi MTX memiliki kadar hCG normal sebelum siklus

EMA/CO keempat mulai. Persentil 10 adalah kurang dari 3 ng/ml sebelum

dimulainya siklus pertama.37

Gambar 2.9.3. Kurva regresi pasien PTG resisten MTX yang diterapi dengan
EMA/CO (dikutip dari Lybol C. Westerdijk K. Sweep FC. Ottevanger PB. Massuger
LF. Thomas CM. Human chorionic gonadotropin (hCG) regression s for patients
with high-risk gestational trophoblastic neoplasia treated with EMA/CO (etoposide,
methotrexate, actinomycin D, cyclophosphamide and Vincristine) Chemotherapy)

33
Kurva regresi pasien yang diterapi dengan EMA/CO untuk PTG risiko

tinggi ditunjukkan pada gambar dibawah ini. Persentil 90 adalah di kadar

32.781 ng/ml. Pada 90% pasien, konsentrasi hCG mengalami regresi ke

normal sebelum siklus EMA/CO kedelapan. Level hCG median adalah

7059 ng/ml pada siklus pertama dan 50% setelah siklus kelima akan

memiliki konsentrasi hCG normal. Persentil kesepuluh dimulai dari

konsentrasi hCG 1520 ng/ml, dan 10% mengalami remisi sebelum siklus

keempat.37

Gambar 2.9.4. Kurva regresi pasien yang diterapi dengan EMA/CO pada PTG risiko
tinggi (dikutip dari Lybol C. Westerdijk K. Sweep FC. Ottevanger PB. Massuger LF.
Thomas CM. Human chorionic gonadotropin (hCG) regression s for patients with
high-risk gestational trophoblastic neoplasia treated with EMA/CO (etoposide,
methotrexate, actinomycin D, cyclophosphamide and Vincristine) Chemotherapy)

Kebanyakan pasien dapat mengharapkan fungsi reproduksi normal 6

bulan setelah terapi. Penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan antara

pasien yang diterapi dengan kemoterapi kombinasi dan yang diterapi

dengan kemoterapi agen tunggal. Pasien harus menunggu 12 bulan

34
setelah kemoterapi dihentikan sebelum merencanakan kehamilan (Level

of eveidence C).38,39

35
2.6. Kerangka Teori

Folic acid

DHFR

MTX Dihidrofolinic acid

DHFR

Tetrahidrofolic

Sintesis purin dan thymidilate

DNA & RNA biosinthesis damage (sincytiotrophoblast cell)

Sperma Empty
- 46XX oocyte /
Cell Death
- 46XY normal

Proliferasi trofoblas Pembelahan Sel sinsitiotrofoblas β-hCG

Edema villous stroma

Grape appearance

Keterangan gambar :

Variabel penelitian
Proses terhambat

36

Anda mungkin juga menyukai