Anda di halaman 1dari 23

PENDAHULUAN

Perdarahan postpartum merupakan kegawatan obstetrik yang dapat


menyertai persalinan baik pervaginam maupun perabdominam, dan merupakan
penyebab utama kematian maternal di dunia. 1400 perempuan meninggal setiap
hari atau lebih dari 500.000 perempuan meninggal setiap tahun karena kehamilan
dan persalinan. Berdasarkan profil kesehatan Indonesia, angka kematian ibu
(AKI) di Indonesia masih berada pada angka 228 per 100.000 kelahiran hidup dan
dengan angka kelahiran 17 kelahiran per 1000 penduduk maka setiap jam terdapat
1 orang ibu bersalin meninggal dunia karena berbagai sebab.1
American College of Obstetricians and Gynecologists (2006)
mendefinisikan perdarahan post partum sekunder atau late HPP sebagai
perdarahan pervaginam yang terjadi pada 24 jam sampai 12 minggu pasca salin. 2
Tidak seperti perdarahan postpartum primer atau early HPP, pada late HPP, tidak
terdapat definisi yang jelas mengenai jumlah kehilangan darah. Oleh karena itu,
diagnosisnya sangat subjektif. Late HPP dapat disebabkan oleh atonia
uteri/subinvolusi, trauma jalan lahir, abnormalitas plasenta, khoriokarsinoma,
gangguan koagulasi, dan juga kelainan pada uterus seperti abnormalitas pembuluh
darah/ malformasi arteriovena uteri.3
Malformasi arteriovena uteri / uterine arterio-venous malformation (AVM)
merupakan kasus yang jarang yang menyebabkan late HPP namun dapat
menyebabkan perdarahan pervaginam yang masif dan tiba-tiba. Walaupun jarang,
malformasi arteriovena dapat terjadi setelah seksio sesaria. AVM uteri pertama
kali dikemukakan oleh Dubreuil dan Loubat pada tahun 1926. Insidensi pada
kasus ini tidak diketahui secara pasti dikarenakan sedikitnya pelaporan kasus.
Pasien yang mengalami malformasi arteriovena uteri umumnya memiliki gejala
menoragia atau metroragia setelah keguguran, operasi uterus termasuk tindakan
seksio sesaria, maupun kuretase. Manifestasi perdarahan bisa sedikit-sedikit atau
banyak. Pada kasus yang berat, malformasi ini dapat mengakibatkan kematian.4-6

1
LAPORAN KASUS

IDENTITAS
Nama : Ny. Suronoto Asny
Umur : 41 tahun
CM : 285248
Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SLTP
Alamat : Kairagi
Suku : Minahasa
Agama : Islam
Pasien MRS tanggal 15 Oktober 2019 jam 02.15 WITA

Keluhan Utama
Perdarahan dari jalan lahir sejak 2 jam SMRS

Anamnesis
- Pasien datang rujukan dari RS AURI dengan perdarahan dari jalan lahir sejak
2 jam SMRS
- Perdarahan begumpal-gumpal, kurang lebih sebanyak 2 pampers dewasa
- Pasien merasakan pusing dan lemas
- 2 hari SMRS, pasien juga mengalami perdarahan banyak dari jalan lahir dan
dirawat di RS AURI dari tanggal 12 Oktober hingga 14 Oktober 2019.
- Riwayat penyakit jantung, paru, ginjal, hati, kencing manis disangkal
- BAK sedikit
- BAB biasa
- Riwayat SCTP + sterilisasi pomeroy tanggal 28 September 2019
- P1 2000, aterm, spt lbk di RS di Malaysia, laki-laki, 2900 gram, hidup
- P2 2003, aterm, spt lbk di RS di Malaysia , laki-laki, 3300 gram, hidup
- P3 2006, aterm, spt lbk di RS Teling, perempuan, 2500 gram, †
- A1 2011, mola hidatidosa, dikuret

2
- A2 2018 blighted ovum
- P4 2019, aterm, SCTP di RS Permata Bunda, laki-laki, 3700 gram, hidup
- Riwayat pernikahan : menikah 1x selama 20 tahun
- Riwayat KB : sudah dilakukan sterilisasi pomeroy
- Menarche : 13 tahun
- Riwayat haid : teratur, tiap bulan, durasi 3-4 hari, 2-3x ganti pembalut/hari

Status Praesens
Keadaan Umum : Cukup Kesadaran : CM
Tekanan darah : 80/60 mmHg Nadi : 98 x/menit
Respirasi : 24 x/menit Suhu badan : 36,8° C
Konjungtiva : anemis (+/+) Sklera : ikterik (-)
C/P : dalam batas normal Edema : (-)/(-)
TB : 155 cm BB : 60 kg

Abdomen : teraba datar, lemas. TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi baik
tampak sikatrik luka operasi

Pemeriksaan Ginekologi :
Ins : fluksus (+), vulva T.A.K
Io : fluksus (+), vagina T.A.K, portio licin, OUE terbuka, tampak perdarahan
aktif keluar dari OUE (+)
VT : fluksus (+), vagina TAK, portio teraba licin, OUE terbuka, perdarahan
aktif dari OUE (+)
CUT : setinggi kehamilan 18-20 minggu
A/P bilateral : teraba lemas, massa (-)
CD : tidak menonjol

3
USG :
VU terisi cukup
Uterus antefleksi ukuran 12,67 x 6,8 cm, EL (+) 0,88cm
Kedua adnexa dalam batas normal
Kesan : ginekologi tak ada kelainan

EKG
Dalam batas normal

Laboratorium 15 Oktober 2019


Hb 5,4 gr/dL Leukosit 16.400 /mm3 Trombosit 402.000 /mm3

Diagnosis:
P4A2 41 tahun post SCTP + sterilisasi pomeroy H-17 dengan syok hipovolemik
ec late HPP + Anemia

Sikap :
 Stabilisasi hemodinamik
o Resusitasi cairan
o IVFD 2 line → RL bolus → ganti gelofusin
RL + oksitosin 20 IU 28tpm
 O2 6L sungkup
 DL cito, kimia darah, PT, APTT, crossmatch
 Sedia darah
 R/ transfusi PRC hingga Hb >8g/dl
 Terapi injeksi
 Balance cairan
 Observasi TNRS, perdarahan, kontraksi
 R/ Laparotomi Cito
 Konseling, Informed consent
 Lapor DPJP → Advis : Stabilisasi hemodinamik

4
R/transfusi PRC hingga Hb>8g/dl
Observasi TNRS, perdarahan, kontraksi
R/ laparotomi cito (Histerektomi)

Observasi :
02.30 – 03.30 : TD 80/60 N : 100x/menit RR : 24x/menit SpO2 : 98%
03.30 – 04.30 : TD 90/70 N : 96x/menit RR : 22x/menit SpO2 : 99%
04.30 – 05.30 : TD 90/60 N : 88x/menit RR : 22x/menit SpO2 : 97%
05.30 – 06.30 : TD 100/80 N : 88x/menit RR : 24x/menit SpO2 : 99%
Transfusi PCR Bag I
06.30 – 07.30 : TD 100/70 N : 88x/menit RR : 22x/menit SpO2 : 99%
07.30 – 08.30 : TD 110/60 N : 82x/menit RR : 22x/menit SpO2 : 97%
Transfusi PRC bag II
08.30 – 09.30 : TD 100/80 N : 88x/menit RR : 24x/menit SpO2 : 99%

Jam 09.30 : Pasien didorong ke OK CITO


Jam 10.00 : Operasi dimulai dilakukan laparotomi

Saat peritoneum dibuka, tampak perlengketan antara uterus anterior dan dinding
vesika urinaria, dilakukan adhesiolisis. Eksplorasi lanjut, tampak jaringan
nekrotik pada sisi kanan bawah uterus. Kemudian diputuskan untuk dilakukan
histerektomi totalis.

5
Jam 12.30 : Operasi selesai
Pasien dipindahkan ke HCU

Laboratorium post-operasi
Hb 8,3 gr/dL Leukosit 14.800 /mm3 Trombosit 203.000 /mm3

16 Oktober 2019 jam 08.00


S : nyeri luka operasi
O : KU: cukup Kes : CM
Tensi : 90/60 mmHg RR : 22x/menit
Nadi : 90 x/menit Suhu : 36,0 oC
Conj. Anemis +/+ Skl. Ikterik -/-
Abdomen : supel, NT (+), luka operasi tertutup kasa
A: P4A2 41 tahun post histerektomi totalis ai HPP (AVM) H1
P : Observasi TTV, perdarahan, urine output, produksi drain
Lanjut transfusi PRC hingga Hb >10g/dl
Terapi injeksi
Balance cairan

17 Oktober 2019 jam 08.00


S : nyeri luka operasi
O : KU: cukup Kes : CM
Tensi : 110/70 mmHg RR : 20x/menit
Nadi : 84 x/menit Suhu : 36,5 oC
Conj. Anemis -/- Skl. Ikterik -/-
Abdomen : supel, NT (+), luka operasi tertutup kasa
A: P4A2 41 tahun post histerektomi totalis ai HPP (AVM) H2
P : Observasi TTV, perdarahan, urine output

6
Lanjut transfusi PRC hingga Hb >10g/dl
Terapi injeksi
Balance cairan
Pindah ruangan

18 Oktober 2019 jam 08.00


S : nyeri luka operasi
O : KU: cukup Kes : CM
Tensi : 110/60 mmHg RR : 22x/menit
Nadi : 90x/menit Suhu : 36,0 oC
Conj. Anemis +/+ Skl. Ikterik -/-
Abdomen : supel, NT (+), luka operasi tertutup kasa
A: P4A2 41 tahun post histerektomi totalis ai HPP (AVM) H3
P : Observasi TTV, perdarahan, urine output
Lanjut transfusi PRC hingga Hb >10g/dl
Terapi oral
Rawat luka operasi

19 Oktober 2019 jam 08.00


S : nyeri luka operasi
O : KU: cukup Kes : CM
Tensi : 110/80 mmHg RR : 22x/menit
Nadi : 84x/menit Suhu : 36,0 oC
Conj. Anemis +/+ Skl. Ikterik -/-
Abdomen : supel, NT (+), luka operasi tertutup kasa
A: P4A2 41 tahun post histerektomi totalis ai HPP (AVM) H4
P : Observasi TTV, perdarahan, urine output
Lanjut transfusi PRC hingga Hb >10g/dl
Terapi oral
Mobilisasi bertahap

7
20 Oktober 2019 jam 08.00
S : nyeri luka operasi
O : KU: cukup Kes : CM
Tensi : 110/70 mmHg RR : 22x/menit
Nadi : 82x/menit Suhu : 36,0 oC
Conj. Anemis +/+ Skl. Ikterik -/-
Abdomen : supel, NT (+), luka operasi tertutup kasa
A: P4A2 41 tahun post histerektomi totalis ai HPP (AVM) H5
P : Observasi TTV, perdarahan, urine output
Lanjut transfusi PRC hingga Hb >10g/dl
Terapi oral
Mobilisasi bertahap

Laboratorium
Hb 8,9 gr/dL Leukosit 9.700 /mm3 Trombosit 318.000 /mm3

21 Oktober 2019 jam 08.00


S : nyeri luka operasi
O : KU: cukup Kes : CM
Tensi : 110/80 mmHg RR : 20x/menit
Nadi : 84x/menit Suhu : 36,5 oC
Conj. Anemis +/+ Skl. Ikterik -/-
Abdomen : supel, NT (+), luka operasi tertutup kasa
A: P4A2 41 tahun post histerektomi totalis ai HPP (AVM) H6
P : Observasi TTV, perdarahan, urine output
Lanjut transfusi PRC hingga Hb >10g/dl
Terapi oral
Mobilisasi bertahap

8
22 Oktober 2019 jam 08.00
S : nyeri luka operasi
O : KU: cukup Kes : CM
Tensi : 110/70 mmHg RR : 22x/menit
Nadi : 82x/menit Suhu : 36,0 oC
Conj. Anemis +/+ Skl. Ikterik -/-
Abdomen : supel, NT (+), luka operasi tertutup kasa
A: P4A2 41 tahun post histerektomi totalis ai HPP (AVM) H7
P : Terapi oral
Mobilisasi bertahap
Rawat Jalan

9
ARTERIOVENOUS MALFORMATION

Arteriovenous Malformation (AVM) adalah kondisi di mana terjadi


pertumbuhan yang tidak normal pada pembuluh darah arteri dan vena. AVM yang
terjadi di uterus merupakan kasus yang jarang yang menyebabkan perdarahan late
HPP. Kelainan ini dapat menyebabkan perdarahan pervaginam yang masif dan
tiba-tiba. Walaupun jarang, malformasi arteriovena dapat terjadi setelah seksio
sesaria.7
Insidensi pada kasus ini tidak diketahui secara pasti dikarenakan
sedikitnya pelaporan kasus. Pasien yang mengalami malformasi arteriovena uteri
umumnya memiliki gejala menoragia atau metroragia setelah keguguran, operasi
pada uterus termasuk tindakan seksio sesaria, maupun kuretase. Manifestasi
perdarahan bisa sedikit atau banyak. Pada kasus yang berat, malformasi ini dapat
mengakibatkan kematian.4-6
AVM yang menjadi perdarahan postpartum (HPP) jarang terjadi. Literatur
maupun laporan kasus atau kumpulan kasus pun jumlahnya kecil, dan sementara
angka kejadian yang sebenarnya tidak diketahui, dan kemungkinan hanya
mewakili proporsi yang sangat kecil dari penyebab HPP. AVM dapat terjadi
karena kongenital, namun pada kasus yang disertai late HPP biasanya karena
didapat. Sebagai aturan umum, early HPP yang terjadi dekat dengan waktu
persalinan mungkin adalah hasil dari malformasi arteri-vena yang sudah
ada/kongenital, sedangkan late HPP atau tersier lebih mungkin disebabkan oleh
AVM atau pseudoaneurisma yang didapat.
Late HPP terjadi pada sampai dengan 0,5-1,5% dari total kehamilan dan
sebagian besar perempuan yang hadir dengan late HPP menderita endometritis
dengan atau tanpa sisa hasil konsepsi. Manajemen biasanya terdiri dari antibiotik
spektrum luas dan, jika perlu, evakuasi sisa hasil konsepsi. Sebagian besar wanita
ini berhenti pendarahan setelah pengobatan.

10
Gambar 1. Ilustrasi Arteriovenous Malformation. Diunduh dari :
https://mbbch.com/health/arteriovenous-malformations/

MALFORMASI VASKULER
Malformasi vaskuler mungkin terjadi karena kongenital atau didapat dan
terdiri dari AVM, fistula arteriovenosa dan pseudoaneurisme.

 Malformasi arteri-vena kongenital


AVM kongenital adalah koneksi arteri-vena abnormal yang dapat
terjadi di mana saja di tubuh. Ini jarang terjadi dan tidak ada estimasi yang
pasti dari kejadiannya. Mayoritas biasanya ditemukan di kepala dan leher,
dan review 10 tahun di sebuah pusat vaskular rujukan tersier ditemukan
hanya satu kasus pada uterus dari 145 kasus AVM.8 AVM tersebut hasil
dari perkembangan abnormal pembuluh primitif yang menghubungkan
antara arteri panggul dan vena di uterus. Dicirikan dengan jalur pengisian
dan pengosongan yang saling terkoneksi dengan aliran yang turbulensi.9-10
Ketika terjadi di dalam uterus maka memiliki potensi untuk
menyebabkan perdarahan obstetri dan atau ginekologi. Mayoritas
perdarahan yang signifikan terjadi sebagai akibat dari salah satu intervensi
iatrogenik (instrumentasi uterus) atau implantasi plasenta yang melibatkan

11
AVM.11 AVM uterus sangat langka sehingga hanya memberikan kontribusi
kurang dari 1% dari HPP. Selain itu, diagnosis biasanya hanya dibuat dari
spesimen histerektomi atau dengan radiologi intervensi atas dasar suatu
arteriogram ketika ada pendarahan masif, dan pasien tetap cukup stabil
untuk kemungkinan embolisasi.
Dari sudut pandang klinis, HPP karena AVM dikelola seperti HPP
lainnya. Namun banyak tindakan konservatif gagal untuk bekerja. Karena
kelangkaan mereka, diagnosis dari AVM biasanya retrospektif.

 Acquired AVM
AVM yang didapat merupakan hasil dari cedera iatrogenik atau
traumatis pada vaskularisasi di uterus.12 Sebuah laporan kasus terbaru
menemukan dari 16 kasus yang AVM uterus yang ditemukan, 10 kasus
baru saja menjalani operasi caesar, 3 kasus baru menjalani prosedur
evakuasi uterus, dan 3 kasus post persalinan normal (dua di antaranya telah
menjalani operasi ginekologi sebelumnya).7 Sebuah pseudoaneurisma
ditandai oleh kurang lengkapnya lapisan pembuluh darah yang
berhubungan dengan arteri utama, dengan ‘batas’ dari aneurisma adalah
jaringan yang membungkus di sekitarnya.
Dalam hal etiologi, operasi caesar yang dilakukan pada masa
inpartu adalah penyebab yg paling umum, di mana trauma langsung dan
jahitan di sekitar arteri uterus penyebab koneksi vaskular yang abnormal.
Riwayat kuretase, terutama pada jaringan yang melengket juga dapat
menyebabkan trauma vaskular langsung. Ketika kelainan ini timbul setelah
persalinan pervaginam spontan, kemungkinan vaskularisasi miometrium
terganggu oleh mekanisme persalinan, atau terjadi pada AVM yang
memang sudah ada sebelumnya.

Karena koneksi vaskular yang abnormal, kontrol normal hemostasis gagal,


dan peningkatan tekanan darah akibat aktivitas menyebabkan pecahnya struktur
yang rapuh dengan darah mengalir dari lesi ke dalam rongga uterus. Hal ini sering

12
terjadi secara spontan tanpa provokasi yang jelas tetapi dapat diperburuk oleh
evakuasi uterus berulang. Perdarahan mungkin terjadi intermiten.7 Jika lesi lebih
dalam menembus miometrium dan tidak terhubung dengan rongga uterus, maka
hematoma panggul akan terjadi dan meski jarang dapat menyebabkan perdarahan
intraperitoneal. Hal ini sangat berbahaya, karena pendarahan tidak diketahui cepat
dan pasien mungkin menunda mencari bantuan medis.

KLINIS
Kapan seorang dokter menduga fenomena langka ini? Karakteristik berikut
yang paling mengindikasikan AVM/pseudoaneurisma sebagai penyebab HPP :
1. Biasanya ada pendarahan vagina (HPP) sekunder/ Late HPP yang berat.
2. Ada perdarahan berulang yang membutuhkan perhatian medis dengan late
HPP atau tersier.
3. Menerima transfusi darah setidaknya satu kali.
4. Perdarahan biasanya tidak menimbulkan rasa sakit.
5. Biasanya ada riwayat operasi caesar baru-baru ini (biasanya saat keadaan
inpartu) atau kuretase.
6. Gagal respon dengan pengobatan medis atau evakuasi uterus.
7. Tidak ada bukti dari penyebab alternatif seperti infeksi atau sisa jaringan
pada USG.

Telaah pada 16 kasus pseudoaneurisma yang diuraikan di atas, didiagnosis


pada rata-rata 18 hari postpartum, dengan gejala timbul antar 3 jam sampai 76 hari
postpartum.7 Dalam situasi klinis ditemukan perdarahan berat berulang yang telah
gagal untuk merespon manajemen pengobatan konservatif tanpa penyebab yang
mendasari jelas.

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan hanya jika kecurigaan klinis yang cukup ada, karena
pseudoaneurisma biasanya kecil dan gampang dilewatkan. Angiografi masih

13
dianggap sebagai pemeriksaan gold standard untuk kelainan pembuluh darah, tapi
dengan menggunakan USG dengan doppler yang memadai maka dapat
mendiagnosis AVM, terutama USG transvaginal.
Karakteristik sebagai berikut menegakkan diagnosis pseudoaneurisma di USG
transvaginal:
 Gambaran massa biasanya di kanan atau atau kiri paraservikal
 Aliran Doppler dalam massa menunjukkan pola 'to and fro’ campuran
diastol dan sistol
 Aliran Doppler dalam massa menunjukkan turbulensi campuran
 Tidak ada hasil konsepsi dalam rongga uterus

Gambar 2. USG dari AVM di Uterus5

Diferensial diagnosis termasuk fibroid, hematoma, atau abses. Gambaran


‘to and fro’13 hanya ditemukan pada pseudoaneurisma dan karena itu dapat
menjadi tanda yang membedakannya dengan diagnosis lain. Penting dilakukan
pemeriksaan di miometrium dan daerah paraservikal, karena pseudoaneurisma
juga dapat ditemukan di lokasi tersebut. Pola karakterisitik pada USG lainnya
adalah adanya aliran tinggi dengan resistensi rendah pada Doppler.14-15 Computed
tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) angiography semakin
digunakan dalam diagnosis pseudoaneurisma. Angiografi umumnya akan
digunakan sebagai uji konfirmasi untuk manajemen definitif dengan keuntungan
tambahan penggambaran pembuluh darah termasuk AVM.

14
PENATALAKSANAAN
Dalam situasi ini kebutuhan berikut harus dipertimbangkan:
 Lanjutkan stabilisasi hemodinamik jika diperlukan
 Jangan lakukan evakuasi uterus lebih lanjut kecuali ada bukti
meyakinkan dari USG
 Jika dicuarigai AVM/pseudoaneurisma, maka USG transvaginal
untuk memeriksa daerah paraservikal, adnexa sepanjang arteri
uterina, miometrium secara keseluruhan dan ligamen.
 Dalam teori, balon tamponade uterus mungkin efektif pada pasien
yang memang diketahui memiliki AVM kongenital. Hal ini hanya
akan bersifat sementara untuk menstabilkan pasien sebelum
pengobatan definitif
 Setelah didiagnosis, membahas kasus dengan radiologi -
arteriogram akan mengkonfirmasi temuan USG transvaginal
 Embolisasi selektif arteri uterus biasanya dilakukan pada saat ini
dan kemanjurannya dapat dilihat langsung dengan angiogram post
embolisasi.
 Jika masih perdarahan uterus setelah embolisasi selektif, maka
embolisasi arteri uterina bilateral atau iliac internal dapat dilakukan
 Perawatan Postprosedural harus rutin selama tidak ada perdarahan
yang signifikan dari uterus dan / atau situs tusukan femoralis
 Konseling mengenai kehamilan berikutnya penting – kesuburan
pada dasarnya tidak berubah dan tidak ada masalah kebidanan
utama mengenai antenatal dan persalinan.
 Pada akhirnya histerektomi adalah pilihan terakhir jika perdarahan
masih berlanjut meskipun sudah diberikan penanganan adekuat
atau jika keadaan pasien tidak memungkinkan tindakan radiologi.

15
Gambar 3. Angiografi dari AVM di uterus4

Selain embolisasi, penggunaan Nd-YAG atau holmium YAG laser fibers


yang dimasukkan ke dalam uterus lewat histeroskopi dapat dipertimbangkan.
Serat fiber akan didekatkan hingga beberapa milimeter diatas area AVM dan diisi
tenaga 50-60 watt sehingga laser tertembak tanpa mengenai AVM atau
endometrium secara langsung. Energi laser akan menyebabkan kolapsnya AVM
dan koagulasi, ditandai dengan permukaan berwarna putih pucat. Endometrium di
sekitarnya juga dilakukan laserisasi.16

PENCEGAHAN
AVM kongenital tidak dapat dicegah, tapi pseudoaneurisma hampir selalu
karena penyebab iatrogenik. Sebagian besar wanita dengan masalah ini telah
menjalani operasi obstetri atau ginekologi. Karena itu menekan jumlah tindakan
operasi obstetri atau ginekologi juga dapat menekan munculnya AVM yang
didapat.

16
PEMBAHASAN KASUS

Pada kasus ini ditemukan pasien wanita, usia 41 th datang ke rumah sakit
dengan keluhan perdarahan dari jalan lahir sejak 2 jam SMRS. Dari anamnesis
didapatkan, keluar darah dari jalan lahir sejak 2 jam sebelumnya dengan jumlah
sekitar 2 pampers dewasa. Keluhan seperti ini sudah dirasakan juga 3 hari
sebelumnya, dan pasien mendapat perawatan di RS AURI dari tanggal 12 hingga
14 Oktober 2019. Selama perawatan pasien mendapatkan transfusi darah, total
sebanyak 2 kantong.
Pasien baru mengalami operasi SCTP tanggal 28 September 2019 atas
indikasi HRP dan sterilisasi. Riwayat perdarahan uterus abnormal sebelum hamil
disangkal, riwayat perdarahan banyak saat haid disangkal. Saat datang pasien
masih dalam keadaan sadar, namun merasa lemas dan pusing. Tekanan darah
80/60 mmHg, Nadi 98x/menit, Pernapasan 24x/menit, Suhu 36,8C.
Dari status ginekologi didapatkan, abdomen tampak datar, sikatrik (+)
bekas SCTP, TFU teraba 3 jari bawah pusat, kontraksi uterus baik. Pemeriksaan
genitalia: tampak fluksus keluar dari OUE. Pemeriksaan USG menunjukkan,
Uterus bentuk dan ukuran normal (12,67 x 6,8 mm), kedua adneksa dalam batas
normal. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan, Hb : 5,4 g/dl, leukosit :
16.400 mm3, trombosit : 402.000mm3.
Pasien didiagnosis dengan P4A2 41 tahun post SCTP + sterilisasi pomeroy
H-17 dengan syok hipovolemik ec late HPP + Anemia. Kepada pasien dilakukan
resusitasi cairan adekuat dan transfusi darah, dan diputuskan untuk dilakukan
histerektomi. Pada pasien dilakukan laparatomi cito, saat peritoneum dibuka,
tampak adhesi dan dilakukan adhesiolisis, tampak uterus ukuran 12 x 7 cm,
tampak perdarahan dan jaringan nekrotik pada uterus sisi kanan pada SBR yang
dicurigai AVM. Dilakukan histerektomi total, perdarahan selama tindakan ± 1100
cc. Uterus dibawa untuk pemeriksaan PA.

17
Pada kasus ini dibahas:
1. Bagaimanakah diagnosis pasien ini?
2. Apakah penyebab terjadinya malformasi arteriovena uteri pada pasien ini?
3. Bagaimana penatalaksanaan pasien ini?

Pasien didiagnosis dengan P4A2 41 tahun post SCTP + sterilisasi pomeroy


H-17 dengan syok hipovolemik ec late HPP + Anemia.. Diagnosis late HPP
ditegakkan berdasarkan anamnesis, dimana terdapat riwayat perdarahan dari jalan
lahir yang berulang. Pasien mengeluhkan adanya keluar darah dari jalan lahir
sejak ±3 hari yang lalu, dimana keluhan perdarahan pervaginam tersebut berulang
hingga pasien pernah dirawat di rumah sakit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
adanya fluksus, baik pada vagina maupun portio, menunjukkan sumber
perdarahan berasal dari kavum uteri.
Seharusnya pasien didiagnosis dengan perdarahan postpartum
sekunder/Late HPP ec AVM. Hal ini merujuk pada literatur bahwa perdarahan
postpartum sekunder atau Late HPP adalah perdarahan postpartum yang terjadi
setelah 24 jam sampai 6 minggu pasca persalinan. Perdarahan tersebut jumlahnya
banyak dan menyebabkan gejala pada pasien (seperti pusing, letih, palpitasi, dan
berkeringat dingin) dan/atau terjadi gejala hipovolemia (hipotensi, takikardi,
oliguri, dan saturasi oksigen yang rendah). Pasien pertama kali mengalami
perdarahan dari jalan lahir 14 hari post SCTP, dan setelah itu terjadi perdarahan
pervaginam yang banyak dan berulang hingga pasien mendapatkan transfusi darah
sebanyak 2 kantong. Diagnosis AVM ditegakkan dari anamnesis dimana pasien
mengalami Late HPP yang berat dan berulang, tanpa disertai nyeri, adanya
riwayat kegagalan terapi medis dalam mengatasi perdarahan, serta adanya riwayat
seksio sesaria.
Harus dicurigai adanya kelainan malformasi arteriovena uteri apabila
ditemukan gejala-gejala: perdarahan postpartum sekunder yang berat, episode
perdarahan Late HPP berulang, adanya riwayat transfusi untuk mengatasi anemia
yang disebabkan oleh perdarahan postpartum, perdarahan yang terjadi umumnya
tanpa nyeri, adanya riwayat seksio sesaria (biasanya pada keadaan inpartu)

18
riwayat kegagalan terapi medis dalam mengatasi perdarahan yang terjadi, dan
penyebab lain perdarahan sudah disingkirkan.
Pada pemeriksaan sonografi, didapatkan gambaran uterus normal.
Sayangnya pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan aliran darah dengan color
Doppler. Pada pemeriksaan USG, malformasi arteriovena uteri akan memberikan
gambaran daerah hipoekhoik antara lapisan miometrium dan endometrium.
Kemudian dengan penggunaan USG color Doppler akan tampak gambaran
mosaik di dalam daerah hipoekhoik tersebut dengan pola arah aliran darah yang
multipel/turbulen (ditunjukkan oleh warna merah dan biru yang muncul silih
berganti) atau gambaran ‘to and fro’. Pada analisis spektrum USG Doppler akan
tampak aliran darah yang cepat disertai resistensi yang rendah.
Anemia pada pasien didasarkan pada pemeriksaan fisik dimana
konjungtiva pasien anemis. Kemudian dari pemeriksaan laboratorium didapatkan
kadar hemoglobin pada pasien adalah 5,4 g/dl
Malformasi arteriovena uteri pada pasien ini adalah tipe didapat. Pasien
tidak memiliki adanya riwayat keluar darah dari jalan lahir di luar siklus
menstruasi sebelum hamil dan riwayat keluar darah banyak saat menstruasi,
namun memiliki riwayat trauma pada uterus, yaitu saat menjalani seksio sesaria.
Pada malformasi arteriovena uteri didapat, malformasi berkembang dari adanya
trauma pada uterus, seperti pernah dilakukan seksio sesaria, kuretase, dan
prosedur pada uterus lainnya (seperti miomektomi). Kemungkinan malformasi
arteriovena pada pasien ini terjadi karena adanya kegagalan dalam mengamankan
sudut luka uterus saat dilakukan seksio sesaria. Oleh karena itu, untuk mencegah
terbentuknya malformasi arteriovena uteri, sangatlah penting memastikan sudut-
sudut luka terjahit dengan baik.
Pada kasus ini, dilakukan tindakan histerektomi dalam menangani
malformasi arteriovena uteri. Pasien sudah memiliki 2 orang anak hidup dan
sudah melakukan sterilisasi pada saat dilakukan seksio sesaria sebelumnya.
Karena itu tindakan histerektomi pada pasien ini tepat dan sesuai dengan
kebutuhan pasien yang sudah tidak menginginkan fungsi kesuburannya.

19
Penatalaksanaan malformasi arteriovena uteri tergantung pada status
hemodinamik, derajat perdarahan, usia pasien, dan keinginan pasien untuk
mempertahankan fertilitasnya. Pada pasien dengan kondisi stabil yang mau
menjalani kontrol ketat, terapi ekspektatif yang membutuhkan waktu lama dapat
dimungkinkan. Namun bagaimanapun juga, histerektomi tetap menjadi pilihan
pada pasien yang sudah tidak ingin memiliki anak, postmenopause, atau pada
pasien dengan kondisi gawat darurat yang mengancam jiwa.
Jika pasien masih menginginkan untuk hamil, maka terapi lain dapat
dilakukan. Selain embolisasi, penggunaan Nd-YAG atau holmium YAG laser
fibers yang dimasukkan ke dalam uterus lewat histeroskopi dapat
dipertimbangkan. Serat fiber akan didekatkan hingga beberapa milimeter diatas
area AVM dan diisi tenaga 50-60 watt sehingga laser tertembak tanpa mengenai
AVM atau endometrium secara langsung. Energi laser akan menyebabkan
kolapsnya AVM dan koagulasi, ditandai dengan permukaan berwarna putih pucat.
Endometrium di sekitarnya juga dilakukan laserisasi.16

20
KESIMPULAN

Telah dibacakan dan didiskusikan kasus perdarahan post partum sekunder


atau Late HPP yang disebabkan oleh Arteriovenous Malformation (AVM.). AVM
pada uterus adalah fenomena langka, dan masih tidak banyak ditemui. Banyak
yang mungkin tidak relevan secara klinis, dan memberikan kontribusi hanya
sebagian kecil dari patologi penyebab HPP. Namun ketika terjadi AVM cenderung
menyebabkan jumlah perdarahan yang tidak proporsional.
Sedikit atau tidak ada yang dapat dilakukan tentang AVM kongenital,
karena tidak dapat diprediksi. Bagaimanapun, pertimbangan serius diperlukan
ketika terjadi HPP pada pasien ini karena biasanya berakhir dengan embolisasi,
histeroskopi, atau histerektomi karena respon buruk terhadap pengobatan
konservatif.
AVM/Pseudoaneurisma didapat sebagian besar setelah operasi caesar, dan
lebih jarang setelah operasi ginekologi. Meskipun pencegahan adalah dalam teori
mungkin, lebih penting untuk memiliki kecurigaan yang tinggi ketika tiba-tiba
terjadi late HPP dengan sedikit bukti sisa jaringan, respon yang buruk terhadap
terapi konservatif dan riwayat operasi obstetri atau ginekologi. USG transvaginal
dengan doppler dapat mendeteksi pseudoaneurisma, yang dapat dikonfirmasi
lebih lanjut pada arteriografi.
Prosedur uterus lebih lanjut harus dihindari karena ini akan memperburuk
masalah. Embolisasi selektif arteri uterus adalah pengobatan yang sangat efektif
dengan sedikit efek samping, dan laserisasi dengan histeroskopi juga dapat
dilakukan. Jika dideteksi tepat waktu, kebutuhan untuk histerektomi biasanya
dapat dihindari dengan pertimbangan mempertahankan fertilitas wanita.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes. PROFIL KESEHATAN INDONESIA TAHUN 2013. Diakses


tanggal 27 Februari 2015 dari http://www.depkes.go.id.
2. Cunningham FG, e. a. (2015). Williams Obstetric (24rd Edition ed.). (e. a.
Cunningham FG, Ed.) New York: The McGraw-Hill Company.
3. Groom, K., & Jacobson, T. (2006). The Management of Secondary
Postpartum Hemorrhage. In A Textbook of Postpartum Hemorrhage (Vol.
7, pp. 316-324). Duncow: Sapiens Publishing.
4. Patel, S., Potti, S., & Jaspan, D. (2009). Embolization of Uterine
Arteriovenous Malformation for Treatment of Menorrhagia. In Arch
Gynecol Obstet (Vol. 279, pp. 229- 232). Philadelphia: Springer-Verlag.
5. Jeve, Y., Janjua, A., & Qureshi, N. (2013). Secondary Post-Partum
Hemorrhage Due to Secondary Uterine Arterio-venous Malformation
following Caesarean Section. In Journal of Pharmaceutical and
Biomedical Sciences (Vol. 28, pp. 643-645). Birmingham: Birmingham
Women’s NHS Foundation Trust.
6. Kelly, S., Belli, A., & Campbell, S. (2003). Arteriovenous Malformation of
The Uterus Associated with Secondary Postpartum Hemorrhage. In
Ultrasound Obstet Gynecol. London: John Wiley & Sons, Ltd. 7. Castillo,
M. S., Borge, M. A., & Pierce, K. L. (2007). Embolization of a Traumatic
Uterine Arteriovenous Malformation. In Seminars in Interventional
Radiology (Vol. 24, pp. 296- 299). New York: Thieme Medical Publisher
7. Abu-Ghazza O, Hayes K, Chandraharan E, Belli AM. Vascular
malformations in relation to obstetrics and gynaecology: diagnosis and
treatment. The Obstetrician Gynaecologist 2010;12:87–93
8. Kim JY, Kim DI, Do YS, et al. Surgical treatment for
congenitalarteriovenous malformation: 10 years’ experience. Eur J Vasc
Endovasc Surg 2006;32:101–6
9. Cura M, Martinez N, Cura A, Dalsaso TJ, Elmerhi F. Arteriovenous
malformations of the uterus. Acta Radiol 2009;50:823–9
10. Tanaka R, Miyasaka Y, Fujii K, Kan S, Yagashita S. Vascular structure of
arteriovenous malformations. J Clin Neurosci 2000;7:24–8
11. Grivell RM, Reid KM, Mellor A. Uterine arteriovenous malformations: a
review of the current literature. Obstet Gynecol Surv 2005;60:761–7
12. Kwon JH, Kim GS. Obstetric iatrogenic arterial injuries of the uterus:
diagnosis with US and treatment with transcatheter arterial embolization.
Radiographics 2002;22:35–46

22
13. Abu-Yousef M, Wiese J, Shamma A. The “to and fro” sign: duplex
Doppler evidence of femoral artery pseudoaneurysm. AJR Am J
Roentgenol 1988;150:632
14. Kelly SM, Belli AM, Campbell S. Arteriovenous malformation of the
uterus associated with secondary postpartum hemorrhage. Ultrasound
Obstet Gynecol 2003;21:602–5
15. Müngen E, Yergök YZ, Ertekin AA, Ergür AR, Uçmakli E, Aytaçlar S.
Color Doppler sonographic features of uterine arteriovenous
malformations: report of two cases. Ultrasound Obstet Gynecol
1997;10:215–9
16. Baggish, MS. Operative Hysteroscopy. Te Linde’s Operative Gynecology
(10th Edition, p.365). 2008. Lippincott Williams & Wilkins.

23

Anda mungkin juga menyukai