Demikianlah atman itu menghidupkan sarwa prani (makhluk di alam semesta ini).
Indria tak dapat bekerja bila tak ada atman. Misalnya telinga tak dapat mendengar bila
tak ada atman, mata tak dapat melihat bila tak ada atman, kulit tak dapat merasakan
bila tak ada atman. Atman itu berasal dari Sang Hyang Widhi Wasa, bagaikan
matahari dengan sinarnya. Sang Hyang Widhi Wasa sebagai matahari dan atma- atma
sebagai sinar- Nya yang terpencar memasuki dalam hidup semua makhluk.
Nitya abadi
Awikara tak berubah dan sempurna tidak laki- laki ataupun perempuan.
Sloka Artinya:
Perkataan Dia dan Nya dalam sloka ini sama dengan atma. Jadi atma itu dikatakan
mengatasi segala elemen materi, kekal abadi, dan tidak terpikirkan. Oleh karenanya
atma itu tidak dapat menjadi subyek maupun obyek dan tindakan atau pekerjaan.
Dengan perkataan lain atma itu tidak terkena oleh akibat perubahan- perubahan yang
dialami pikiran, hidup, dan badan jasmani. Semua bentuk ini bisa berubah, datang,
dan pergi, tetapi atma itu tetap langgeng untuk selamanya.
Sifat-sifat Atman[sunting | sunting sumber]
Berikut adalah beberapa kutipan sloka yang memuat sifat-sifat Atman dalam Bhagavad Gita:
Sloka“
nai'nam
chhindanti sastrani
na chai'nam kledayanty apo
na soshayati marutah
Atman tidak dapat menjadi subyek atau objek dan tindakan atau pekerjaan.[2] Atman tidak
terpengaruh akan perubahan-perubahan yang dijalani maupun dialami pikiran, hidup dan
jasad atau badan jasmani.[2] Badan jasmani bisa berubah, lahir, mati, datang dan pergi, namun
Atman tetap langgeng untuk selamanya.[2]
Untuk menemukan Atman yang tersembunyi di dalam diri manusia, manusia harus
melakukan Yoga.[4] Jika telah menemukan dan bersatu dengan Atman, maka barulah manusia
mencapai kebahagiaan sempurna.[4] Yoga berfungsi menyatukan jiwa manusia dengan
Atman, yang tersembunyi di dalam lubuk hati yang paling dalam.[4] "Karena semua latihan
rohani India (yang dibedakan dengan latihan jasmani) sungguh dimaksudkan untuk mencapai
tujuan praktis ini...bagaimana caranya mencapai Brahman dan hidup seperti Brahman."[5]
Ada empat jalan (yoga) untuk menemukan Atman, namun empat jalan tersebut membawa
kepada tujuan yang satu.[4]Manusia dapat memilih salah satu dari empat jalan tersebut
berdasarkan pribadi orang tersebut.[4] Menurut analisis Hindu, pada umumnya ada empat tipe
pribadi manusia yaitu suka merenung, aktif, emosional, dan empiris (menekankan
pengalaman).[4]
Keempat jalan tersebut dimulai dari beberapa petunjuk penting mengenai
kesusilaan.[4] Karena tujuan akhir dari masing-masing jalan adalah untuk menjernihkan
permukaan diri kita agar dapat terlihat unsur keilahian yang dibawahnya, maka tentu saja
pribadi itu harus dibersihkan dari kotoran moral yang besar.[4] Orang yang ingin melakukan
yoga harus memulai kebiasaan serta praktik hidup yang bermoral.[4]
Jalan melalui pengetahuan atau jnana yoga diperuntukkan bagi orang-orang yang mempunyai
kecenderungan intelektual yang kuat.[4] Bagi orang seperti itu, Hindu menawarkan
serangkaian semadi dan pembuktian logis yang dimaksudkan untuk meyakinkan si pemikir
bahwa ada hal yang lebih dari dirinya yang berhingga itu.[4]
Jalan untuk memperoleh pengetahuan ini terdiri dari tiga langkah yaitu mendengar, berpikir,
dan pengalihan.[4] Pertama adalah mendengar, yakni mendengar ucapan dari orang-orang
bijaksana, dan kitab-kitab suci.[4] Tujuannya agar orang yang bersangkutan berkenalan
dengan hipotesis pokok bahwa di pusat jati dirinya terdapat sumber kehidupan yang tak
berhingga yang tidak dapat dipadamkan.[4] Langkah kedua adalah berpikir, yaitu Atman yang
tadinya berupa konsep kosong, diubah menjadi kenyataan penting.[4] Langkah ketiga adalah
pengalihan identifikasi dirinya dengan roh abadi dengan mencoba membayangkan dirinya
sebagai roh abadi itu.[4] Ia harus melihat dirinya dari sudut pandang yang berbeda seolah-olah
ia adalah pribadi yang berbeda, karena memang dirinya adalah fana dan hanya atman yang
nyata.[4]
Jalan melalui cinta atau bhakti yoga berbeda dengan jnana yoga.[4] Dalam jnana yoga
gambaran tentang Tuhan bagaikan suatu samudera yang tak berhingga dan berada di dasar
diri kita.[4] Tuhan dibayangkan sebagai Diri yang merembesi segala sesuatu yang sepenuhnya
berada di dalam manusia ataupun di luar manusia.[4] Tugas manusia adalah mengenal
persatuan diri dengan Tuhan, dan Tuhan bukan dipahami sebagai pribadi.[4] Akan tetapi, bagi
seseorang yang lebih mengutamakan cinta daripada pikiran, Tuhan pastilah kelihatan berbeda
dengan hal-hal tersebut.[4] Pertama, bhakti akan menolak semua pandangan yang menyatakan
Tuhan adalah diri pribadinya, bahkan dirinya yang paling dalam, dan berkeras bahwa Tuhan
lain dari dirinya.[4] Alasannya, karena cinta merupakan perasaan yang dicurahkan
keluar.[4] Kedua, tujuan jnana berbeda dengan bhakti.[4] Tujuannya bukanlah melihat kesatuan
dirinya dengan Tuhan, melainkan untuk memuja Tuhan dengan segenap kemampuan yang
ada pada dirinya.[4] Apa yang harus dilakukan adalah mencintai Tuhan dengan setulus hati,
mencintai dalam kehidupan, mencintai hal lain karena Dia, dan mencintai-Nya tanpa pamrih
apapun.[4]
Jalan melalui kerja atau karma yoga ditujukan secara khusus bagi orang yang berwatak
aktif.[4] Kerja adalah pokok kehidupan manusia. Dorongan bekerja bukanlah motivasi
ekonomis, melainkan motivasi psikologis.[4] Manusia akan merasa gelisah atau kehilangan
semangat saat tidak bekerja.[4] Jalan ini ditujukan secara khusus bagi orang yang berwatak
aktif. Jalan ini menggunakan kerja sebagai sarana untuk menuju Tuhan.[4]
Karma yoga mempunyai rute-rute alternatif tergantung pada pendekatan kita, apakah dengan
filosofis atau dengan sikap cinta.[4] Jadi karma yoga dapat dipraktikkan dengan gaya jnana
yoga (pengetahuan) atau bhakti yoga (cinta).[4] Pekerjaan dapat menjadi wahana menuju
Tuhan melalui kedua hal tersebut, karena agama Hindu mengajarkan bahwa setiap tindakan
yang dilakukan pada dunia di luar kita mempunyai reaksi yang sepadan di dalam diri
pelakunya.[4] Setiap perbuatan yang manusia lakukan untuk kepentingan kesejahteraan diri
manusia akan menambah satu lapisan ego yang semakin mempertebal jarak antara dirinya
dan Tuhan, baik yang dipahami di dalam diri maupun di luar diri.[4] Demikian pula setiap
tindakan yang dilakukan tanpa mengingat kepentingan diri sendiri, akan mengurangi
hambatan untuk mencapai Atman di dalam diri, hingga akhirnya tidak ada hambatan yang
mengaburkan hubungan seseorang dengan Tuhan.[4]
Seorang yang menganut jalan karma yoga akan berusaha melakukan setiap hal yang
dihadapinya seakan-akan hal itu merupakan satu-satunya tugas yang harus
dikerjakannya.[4] Ia akan berusaha memusatkan perhatiannya secara utuh dan mantap
terhadap setiap tugas, dengan menjauhkan segala bentuk ketidaksabaran, kegembiraan,
ataupun usaha yang sia-sia untuk melakukan atau mengingat berbagai hal lainnya dalam
waktu yang sama.[4] Ia akan berusaha sekuat tenaga, karena jika tidak berarti ia telah
menyerah kepada kemalasan yang merupakan sifat mementingkan diri.[4]
Jalan melalui latihan psikologis disebut juga raja yoga karena jenis yoga ini mampu
membawa orang ke taraf yang tinggi.[4]Satu-satunya syarat yang diperlukan untuk menempuh
raja yoga ini adalah dimilikinya suatu dugaan kuat bahwa diri manusia sebenarnya jauh lebih
mengagumkan dari yang kita sadari saat ini.[4] Orang yang melakukan raja yoga akan
melakukan percobaan terhadap rohaninya sendiri dengan hipotesis bahwa Atman ada di
dalam lapisan-lapisan diri manusia.[4] Tujuan raja yoga adalah untuk membuktikan keabsahan
dari pandangan tentang lapisan-lapisan ini.[4]
Tahap-tahap dari raja yoga ada delapan tingkat, namun dapat dibagi menjadi empat bagian,
yaitu:[6] a. Persiapan etis atau persiapan di bidang kesusilaan, yaitu tidak membunuh atau
membenci apapun juga, tidak mencuri, tidak berbuat mesum, tidak berbuat curang, dan harus
murni secara batin.[6] b. Persiapan badani, yaitu orang harus menguasai gerak-gerik, napas
tubuh, serta perasaannya.[6] c. Merenung, yaitu orang harus dapat memusatkan perhatiannya
kepada sesuatu supaya menjadi tenang. Setelah tenang orang harus merenungkan
sesuatu.[6] d. Samadhi, yang menghapuskan perasaan adanya identitas. Tubuh dan pikiran
menjadi mati terhadap segala perangsang dari luar. Hanya sasaran yang direnungkan itulah
yang tinggal bersinar-sinar.[6]
Jika telah dapat mencapai tahap ini, maka ia telah mencapai tingkatan moksa, yaitu kesadaran
bahwa segala sesuatu adalah satu dan dengan pengalamannya ia merealisasikan kesatuan
itu.[6] Baginya hanya Atman/Brahman saja yang kekal, sedangkan segala yang lain di dalam
dunia ini adalah maya atau tidak nyata