Anda di halaman 1dari 14

A.

PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK

Proses perumusan kebijakan adalah salah satu alat penting dalam tahapan kebijakan
yang berkaitan dengan pengelolaan kebijakan, baik pemerintah maupun non-pemerintah.
Banyak faktor yang perlu dipertimbangkam dalam proses perumusan kebijakan. Selain itu,
para ahli harus menguasai makna kebijakan dan perumusan kebijakan, perumusan kebijakan
dalam siklus kebijakan, lingkungan kebijakan dan prosedur perumusan kebijakan, serta
faktor-faktor lainnya.

Pembuatan kebijakan publik merupakan fungsi penting dari sebuah


pemerintahan. Oleh karena itu, kemampuan dan pemahaman yang memadai dari pembuat
kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan menjadi sangat penting bagi terwujudnya
kebijakan publik yang cepat, tepat, dan memadai. Kemampuan dan pemahaman terhadap
prosedur pembuatan kebijakan tersebut juga harus diimbangi dengan pemahaman dari
pembuat kebijakan publik terhadap kewenangan yang dimiliki.

Hal itu terkait dengan kenyataan sebagaimana diungkapkan oleh Gerston bahwa
kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan pada semua tingkatan pemerintahan, karenanya
tanggung jawab para pembuat kebijakan akan berbeda pada setiap tingkatan sesuai dengan
kewenangannya. Selain itu, menurut Gerston hal yang penting lainnya adalah bagaimana
memberikan pemahaman mengenai akuntabilitas dari semua pembuat kebijakan kepada
masyarakat yang dilayaninya. Dengan pemahaman yang seperti itu dapat memastikan
pembuatan kebijakan publik yang mempertimbangkan berbagai aspek dan dimensi yang
terkait, sehingga pada akhirnya sebuah kebijakan publik dapat dipertanggungjawabkan secara
memadai.

Mengingat peran penting dari kebijakan publik dan dampaknya terhadap masyarakat,
maka para ahli juga menawarkan sejumlah teori yang dapat digunakan dalam proses
perumusan kebijakan serta kriteria yang dapat digunakan untuk mempengaruhi pemilihan
terhadap suatu kebijakan tertentu. Teori dan kriteria tersebut dapat ditemukan dalam buku
Anderson tahun 2006 yang berjudul Public Policy Making: An Introduction. Menurut
Anderson, terdapat tiga teori utama yang dapat digunakan dalam proses pembuatan sebuah
kebijakan yaitu:
a. Teori rasional-komprehensif; adalah teori yang intinya mengarahkan agar pembuatan
sebuah kebijakan publik dilakukan secara rasional-komprehensif dengan mempelajari
permasalahan dan alternatif kebijakan secara memadai.
b. Teori incremental; adalah teori yang intinya tidak melakukan perbandingan terhadap
permasalahan dan alternatif serta lebih memberikan deskripsi mengenai cara yang
dapat diambil dalam membuat kebijakan.
c. Teori mixed scanning; adalah teori yang intinya menggabungkan antara teori rasional-
komprehensif dengan teori inkremental.

Selain itu, Anderson juga mengemukakan enam kriteria yang harus dipertimbangkan
dalam memilih kebijakan, yaitu: nilai-nilai yang dianut baik oleh organisasi, profesi,
individu, kebijakan maupun ideologi; afiliasi partai politik; kepentingan konstituen; opini
publik; penghormatan terhadap pihak lain; serta aturan kebijakan.

Berangkat dari gambaran kondisi tersebut, ini memberikan pemahaman mengenai


proses pembuatan kebijakan dan berbagai pertimbangan yang meliputinya, khususnya yang
terkait dengan tahapan perumusan kebijakan (policy formulation). Terdapat sejumlah hal
yang akan menjadi fokus pembahasan dari tulisan ini yaitumakna kebijakan dan perumusan
kebijakan, perumusan kebijakan dalam siklus kebijakan,lingkungan kebijakan, serta prosedur
perumusan kebijakan. Menurut Jann dan Wegrich, di dalam tahap perumusan kebijakan,
permasalahan kebijakan, usulan proposal, dan tuntutan masyarakat ditransformasikan
kedalam sejumlah program pemerintah.

Perumusan kebijakan dan juga adopsi kebijakan akan meliputi definisi


sasaran, yaituapa yang akan dicapai melalui kebijakan serta pertimbangan-pertimbangan
terhadap sejumlah alternatif yang berbeda. Perumusan kebijakan dalam prakteknya akan
melibatkan berbagai aktor, baik yang berasal dari aktor negara maupun aktor non-negara atau
yang disebut sebagai pembuat kebijakan resmi (official policy-makers) dan peserta non-
pemerintahan (non-governmental participants).

Pembuat kebijakan resmi adalah mereka yang memiliki kewenangan legal untuk
terlibat dalam perumusan kebijakan publik. Mereka terdiri atas legislatif, eksekutif, badan
administratif, serta pengadilan. Legislatif merujuk kepada anggota kongres/dewan yang
seringkali dibantu oleh para stafnya. Eksekutif merujuk kepada Presiden dan jajaran
kabinetnya. Administratif menurut merujuk kepada lembaga-lembaga pelaksana kebijakan.
Di lain pihak, pengadilan juga merupakan aktor yang memainkan peran besar dalam
perumusan kebijakan melalui kewenangan mereka untuk mereview kebijakan serta
penafsiran mereka terhadap undang-undang dasar. Dengan kewenangan ini, keputusan
pengadilan bisa mempengaruhi isi dan bentuk dari sebuah kebijakan publik.

Selain pembuat kebijakan resmi, terdapat pula peserta lain yang terlibat dalam proses
kebijakan yang meliputi di antaranya kelompok kepentingan; partai politik; organisasi
penelitian; media komunikasi; serta individu masyarakat. Mereka ini disebut sebagai peserta
non-pemerintahan (nongovernmental participants) karena penting atau dominannya peran
mereka dalam sejumlah situasi kebijakan, tetapi mereka tidak memiliki kewenangan legal
untuk membuat kebijakan yang mengikat. Peranan mereka biasanya adalah dalam
menyediakan informasi; memberikan tekanan; serta mencoba untuk mempengaruhi. Mereka
juga dapat menawarkan proposal kebijakan yang telah mereka siapkan.

Terkait keterlibatan peserta dalam pembuatan kebijakan ini, khususya dalam tahapan
perumusan kebijakan, maka tahap perumusan kebijakan diharapkan melibatkan peserta yang
lebih sedikit dibandingkan dalam tahapan penetapan agenda. Dalam tahapan ini yang lebih
banyak diharapkan adalah kerja dalam merumusakan alternatif kebijakan yang mengambil
tempat diluar mata/ perhatian publik. Dalam sejumlah teks standar kebijakan, tahap
perumusan disebut sebagai sebuah fungsi ruang belakang. Detail dari kebijakan biasanya
dirumuskan oleh staff dari birokrasi pemerintah, komite legislatif, serta komisi khusus. Proses
perumusan ini biasanya dilakukan di ruang kerja dari para aktor perumus tersebut.

Tahapan perumusan kebijakan merupakan tahap kritis dari sebuah proses kebijakan.
Hal ini terkait dengan proses pemilihan alternatif kebijakan oleh pembuat kebijakan yang
biasanya mempertimbangkan pengaruh langsung yang dapat dihasilkan dari pilihan alternatif
utama tersebut. Proses ini biasanya akan mengekspresikan dan mengalokasikan kekuatan dan
tarik-menarik di antara berbagai kepentingan sosial, politik, dan ekonomi. Tahap perumusan
kebijakan melibatkan aktivitas identifikasi dan atau merajut seperangkat alternatif kebijakan
untuk mengatasi sebuah permasalahan serta mempersempit seperangkat solusi tersebut
sebagai persiapan dalam penentuan kebijakan akhir.

Dengan mengutip pendapat dari Cochran dan Malone, menurut Sidney perumusan
kebijakan mencoba menjawab sejumlah pertanyaan, yaitu: apa rencana untuk menyelesaikan
masalah? Apa yang menjadi tujuan dan prioritas? Pilihan apa yang tersedia untuk mencapai
tujuan tersebut? Apa saja keuntungan dan kerugian dari setiap pilihan? Eksternalitas apa, baik
positif maupun negatif yang terkait dengan setiap alternatif?
Perumusan seperangkat alternatif akan melibatkan proses identifikasi terhadap
berbagai pendekatan untuk menyelesaikan masalah; serta kemudian mengidentifikasi dan
mendesain seperangkat perangkat kebijakan spesifik yang dapat mewakili setiap pendekatan.
Tahap perumusan juga melibatkan proses penyusunan draft peraturan untuk setiap
alternatif yang isinya mendeskripsikan mengenai sanksi, hibah, larangan, hak, serta
mengartikulasikan kepada siapa atau kepada apa ketentuan tersebut akan berlaku dan
memiliki dampak, dan lain-lain. Pernyataan itu juga didukung oleh pernyataan Jann dan
Wegrich serta Anderson. Menurut Jann dan Wegrich, di dalam tahap perumusan kebijakan,
permasalahan kebijakan, usulan proposal, dan tuntutan masyarakat ditransformasikan
ke dalam sejumlah program pemerintah. Perumusan kebijakan dan juga adopsi kebijakan
akan meliputi definisi sasaran, yaitu apa yang akan dicapai melalui kebijakan serta
pertimbangan-pertimbangan terhadap sejumlah alternatif yang berbeda.

Perumusan kebijakan melibatkan proses pengembangan usulan akan tindakan yang


terkait dan dapat diterima (biasa disebut dengan alternatif, proposal, atau pilihan) untuk
menangani permasalahan publik. Perumusan kebijakan menurut Anderson tidak selamanya
akan berakhir dengan dikeluarkannya sebagai sebuah produk peraturan perundang-undangan.
Namun, pada umumnya sebuah proposal kebijakan biasanya ditujukan untuk membawa
perubahan mendasar terhadap kebijakan yang ada saat ini. Terkait permasalahan itu, terdapat
sejumlah kriteria yang membantu dalam menentukan pemilihan terhadap alternatif kebijakan
untuk dijadikan sebuah kebijakan, misalnya: kelayakannya, penerimaan secara politis, biaya,
manfaat, dan lain sebagainya.

Jann dan Wegrich mengemukakan dua faktor utama yang menentukan alternatif
kebijakan akan diadopsi menjadi kebijakan, yaitu:

a. Penghilangan alternatif kebijakan akan ditentukan oleh sejumlah parameter


susbtansial dasar, misalnya kelangkaan sumberdaya untuk dapat melaksanakan
alternatif kebijakan. Sumberdaya ini dapat berupa sumberdaya ekonomi maupun
dukungan politik yang didapat dalam proses pembuatan kebijakan.
b. Alokasi kompetensi yang dimiliki oleh berbagai aktor juga memainkan peranan
penting dalam penentuan kebijakan.

Selain itu, akademis juga memiliki peran penting sebagai penasehat kebijakan atau
pemikir (think tanks). Pengetahun dari para penasehat ini seringkali berpengaruh dalam
proses perumusan kebijakan.
B. PROSES IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK

Dari berbagai pandangan dan pendapat tentang konsep implementasi yang telah
disebutkan terdahulu, maka untuk menganalisis bagaimana proses implementasi kebijakan itu
berlangsung, terdapat berbagai pandangan tentang teori implementasi kebijakan yang
berusaha menggambarkan agar proses implementasi kebijakan dapat dilaksanakan secara
efektif:

Hood memandang implementasi sebagai administrasi yang sempurna (implementation


as perfect administration). Hood menggambarkan bahwa administrasi sempurna merupakan
sistem admistrasi tunggal, dimana setiap kebijakan dilaksanakan seolah-olah sebagai proses
administrasi yang berjalan lurus dan lancar. Sehingga terdapat pemaksaan yang bersifat
uniform, dengan aturan-aturan, kaidah atau prinsip tunggal agar tujuan dapat tercapai dengan
tersedianya sumber-sumber yang terbatas.

Implementasi model ini menggunakan pendekatan secara mekanistis (top-down), yang


kenyataannya sering menimbulkan kesulitan karena tidak terbentuknya suasana atau
mekanisme pertukaran dan tawar menawar.

Model kerangka analisis implementasi.

Model ini dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier, disebut “A
frame work for implementation analysis” dalam Solichin,1997,Wasiti). Model ini berusaha
untuk mendefinisikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal
keseluruhan proses implementasi.

Variabel-variabel tersebut antara lain: variabel bebas (independent variable) yang


mencakup: mudah atau tidaknya masalah dikendalikan, meliputi: kesukaan-kesukaan teknis,
keragaman perilaku kelompok sasaran, prosentase totalitas penduduk yang tercakup dalam
kelompok sasaran, ruang lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki. Kemampuan
kebijaksanaan menstruktur proses implementasi, meliputi: kejelasan dan konsistensi tujuan,
penggunaan teori kausal yang memada, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan antara
lembaga pelaksana, aturan keputusan dari badan pelaksana, aksi formal pihak luar, kondisi
sosial ekonomi dan tehnologi, sikap dan kemampuan yang memiliki kelompok, dukungan
pejabat atasan, kemitraan dan kemampuan kepemimpinan pejabat pelaksana. Variabel
tergantung (dependent variable), yaitu tahap-tahap dalam proses implementasi yang
mencakup: output kebijakan badan-badan pelaksana, ketersediaan kelompok sasaran
mematuhi output kebijaksanaan, dampak nyata, dampak output kebijaksanaan sebagai
persepsi, perbaikan mendasar dalam undang-undang.

Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Hom (dalam P. Sabatier dan D. Mazmanian,
1979) menyatakan bahwa implementasi meliputi suatu proses linier yang terdiri dari 6 (enam)
variebel yang menghubungkan antara kebijakan dan kerja variabel tersebut adalah: standar
dan tujuan-tujuan, sumber-sumber, komunikasi antar organisasi aktivitas pemberdayaan,
karakteristik dari agen/actor pelaksanaan implementasi, kondisi sosial, ekonomi dan politik,
disponsi agen pelaksana implementasi. Hubungan atau perubahan pada setiap
variabel tersebut dapat mempengaruhi kinerja.

Model Implementasi sebagai politik adaptasi saling menguntungkan (implementation


as politics of adaption) yang dikemukakan oleh Milbrey Mc.Laughlin, beliau menyimpulkan
bahwa sejumlah kepentingan, komitmen dan dukungan yang ditunjukkan oleh para aktor
utama pelaksana mempunyai pengaruh yang penting bagi proyek keberhasilan suatu
kebijakan. Atau, dukungan politik dari pihak atasan merupakan kunci keberhasilan atau
kegagalan implementasi program. Jadi model ini lebih menekankan pada keberadaan atau
eksistensi pelaksana sebagai aktor. Kepentingan dari aktor pelaksana dimaksudkan bahwa
pelaksana tersebut maka derajat keberhasilan implementasi akan semakin rendah. Komitmen
merupakan kesanggupan dari para agen pelaksana untuk melaksanakan kebijakan. Sedangkan
dukungan yang dimaksudkan bahwa semakin besar dukungan politik terhadap implementasi
kebijakan, maka akan semakin dapat mencapai sasarannya.

Model implementasi sebagai proses Circular Policy Leadership, dikemukakan oleh


Robert T. Nakamura dan Frak Smallwood. Model ini menekankan pada keterkaitan terhadap
kebijaksanaan umum dalam tahap formulasi implementasi dan evaluasi kebijakan.
Keterkaitan koordinasi di antara tahap-tahap tersebut akan berpengaruh terhadap keberhasilan
implementasi sebagai suatu proses sirkulasi yang berlangsung dalam keseluruhan proses
pengambilan dari proses kebijakan dan sangat berkaitan (saling tergantung) dengan bagian-
bagian lain (formulasi dan evaluasi). Elemen kritis yang menghubungkan implemetasi
dengan proses kebijakan adalah kepemimpinan (leadership) yang berfungsi melakukan
koordinasi terhadap aktivitas dalam ketiga tahapan (formulasi, implementasi, dan evaluasi)
guna mencapai tujuan-tujuan program.

Selain dari lima model tersebut sebenarnya masih banyak lagi pandangan atau teori
tentang model implementasi kebijakan. Tetapi dari banyaknya model, tidak dapat dinilai,
model mana yang paling baik atau lebih baik. Sebab penggunaan model untuk keperluan
penelitian/analisis, tergantung pada kompleksitas permasalahan kebijakan yang dikaji serta
tujuan analisis itu sendiri. Semakin kompleks permasalaha kebijaksanaan dan semakin
mendalam analisis yang dilakukan, semakin diperlukan teori atau model yang relatif
operasional yaitu model yang mampu menjelaskan hubungan kausalitas antara variabel yang
menjadi fokus analisis.

Implementasi mengacu pada tindakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah


ditetapkan dalam suatu keputusan, tindakan ini berusaha untuk mengubah keputusan-
keputusan tersebut menjadi pola-pola operasional serta berusaha mencapai perubahan-
perubahan besar atau kecil sebagaimana yang telah diputuskan sebelumnya. Implementasi
pada hakikatnya juga upaya pemahaman apa yang seharusnya terjadi setelah sebuah program
dilaksanakan. Implementasi kebijakan tidak hanya melibatkan instansi yang
bertanggungjawab untuk pelaksanaan kebijakan tersebut, namun juga menyangkut jaringan
kekuatan politik, ekonomi, dan sosial. Dalam tataran praktis, implementasi adalah proses
pelaksanaan keputusan dasar. Proses tersebut terdiri atas beberapa tahapan yakni:

1. Tahapan pengesahan peraturan perundangan;


2. Pelaksanaan keputusan oleh instansi pelaksana;
3. Kesediaan kelompok sasaran untuk menjalankan keputusan;
4. Dampak nyata keputusan baik yang dikehendaki atau tidak;
5. Dampak keputusan sebagaimana yang diharapkan instansi pelaksana;
6. Upaya perbaikan atas kebijakan atau peraturan perundangan.

Proses persiapan implementasi setidaknya menyangkut beberapa hal penting yakni:

1. Penyiapan sumber daya, unit dan metode;


2. Penerjemahan kebijakan menjadi rencana dan arahan yang dapat diterima dan
dijalankan;
3. Penyediaan layanan, pembayaran dan hal lain secara rutin.

Oleh karena itu, implikasi sebuah kebijakan merupakan tindakan sistematis dari
pengorganisasian, penerjemahan dan aplikasi.
Berikut ini merupakan tahapan-tahapan operasional implementasi sebuah kebijakan:

Tahapan intepretasi. Tahapan ini merupakan tahapan penjabaran sebuah kebijakan


yang bersifat abstrak dan sangat umum ke dalam kebijakan atau tindakan yang lebih bersifat
manajerial dan operasional. Kebijakan abstrak biasanya tertuang dalam bentuk peraturan
perundangan yang dibuat oleh lembaga eksekutif dan legislatif, bisa berbentuk perda ataupun
undang-undang.

Kebijakan manajerial biasanya tertuang dalam bentuk keputusan eksekutif yang bisa
berupa peraturan presiden maupun keputusan kepala daerah, sedangkan kebijakan
operasional berupa keputusan pejabat pemerintahan bisa berupa keputusan/peraturan menteri
ataupun keputusan kepala dinas terkait. Kegiatan dalam tahap ini tidak hanya berupa proses
penjabaran dari kebijakan abstrak ke petunjuk pelaksanaan/teknis namun juga berupa proses
komunikasi dan sosialisasi kebijakan tersebut – baik yang berbentuk abstrak maupun
operasional – kepada para pemangku kepentingan.

Tahapan pengorganisasian. Kegiatan pertama tahap ini adalah penentuan pelaksana


kebijakan (policy implementor) – yang setidaknya dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
instansi pemerintah (baik pusat maupun daerah); sektor swasta; LSM maupun komponen
masyarakat.

Setelah pelaksana kebijakan ditetapkan; maka dilakukan penentuan prosedur tetap


kebijakan yang berfungsi sebagai pedoman, petunjuk dan referensi bagi pelaksana dan
sebagai pencegah terjadinya kesalahpahaman saat para pelaksana tersebut menghadapi
masalah. Prosedur tetap tersebut terdiri atas prosedur operasi standar (SOP) atau standar
pelayanan minimal (SPM).

Langkah berikutnya adalah penentuan besaran anggaran biaya dan sumber


pembiayaan. Sumber pembiayaan bisa diperoleh dari sektor pemerintah (APBN/APBD)
maupun sektor lain (swasta atau masyarakat). Selain itu juga diperlukan penentuan peralatan
dan fasilitas yang diperlukan, sebab peralatan tersebut akan berperan penting dalam
menentukan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan kebijakan.

Langkah selanjutnya – penetapan manajemen pelaksana kebijakan – diwujudkan


dalam penentuan pola kepemimpinan dan koordinasi pelaksanaan, dalam hal ini penentuan
focal point pelaksana kebijakan. Setelah itu, jadwal pelaksanaan implementasi kebijakan
segera disusun untuk memperjelas hitungan waktu dan sebagai salah satu alat penentu
efisiensi implementasi sebuah kebijakan.

Tahapan implikasi. Tindakan dalam tahap ini adalah perwujudan masing-masing


tahapan yang telah dilaksanakan sebelumnya.

C. PROSES EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK

Evaluasi kebijakan publik dalam studi kebijakan publik merupakan salah satu tahapan
dari proses kebijakan publik. Evaluasi kebijakan publik dimaksudkan untuk melihat atau
mengukur kinerja pelaksanaan suatu kebijakan. Selain itu evaluasi kebijakan juga dapat
digunakan untuk melihat apakah sebuah kebijakan telah dilaksanakan sesuai dengan petunjuk
teknis dan petunjuk pelaksanaan yang telah ditentukan.

Di dalam melakukan evaluasi terhadap suatu program/kebijakan, dapat digunakan


sejumlah pendekatan yang berbeda yang tentunya akan mempengaruhi indikator yang
digunakan, antara lain:

1. Pendekatan berdasarkan sistem nilai yang diacu.


2. Pendekatan berdasarkan dasar evaluasi.
3. Pendekatan berdasarkan kriteria evaluasi.

Pendekatan Berdasarkan Sistem Nilai yang Diacu

Pendekatan berdasarkan sistem nilai yang diacu ada tiga jenis, yaitu evaluasi semu,
evaluasi teori keputusan dan evaluasi formal.

a. Evaluasi Semu (Pseudo Evaluation)

Sifat dari Evaluasi semu ini adalah melakukan penilaian berdasarkan parameter
tertentu yang secara umum disepakati (self evident) dan tidak kontroversial
(uncontroversial). Hasil evaluasinya mudah diterima oleh publik dan tidak terlalu
rumit (complicated). Penilaiannya berkisar antara gagal atau berhasil. Pseudo
evaluation ini seringkali dijadikan sebagai salah satu metode monitoring.

b. Evaluasi Teori Keputusan (Decision Theoretic Evaluation/ DTE)


Sifat dari DTE adalah melakukan penilaian berdasarkan parameter yang disepakati
oleh pihak-pihak yang terkait secara langsung/pihak yang bersitegang. Sistem nilainya
juga berdasarkan kesepakatan antara pihak yang bersitegang. Biasanya berkisar antara
benar atau salah.

c. Evaluasi Formal (Formal Evaluation)

Sifat dari evaluasi formal adalah melakukan penilaian berdasarkan parameter yang
ada pada dokumen formal seperti tujuan dan sasaran yang tercantum dalam dokumen
kebijakan rencana tata ruang, peraturan perundang-undangan dan sebagainya.

Dalam evaluasi formal, metode yang ditempuh untuk menghasilkan informasi yang
valid dan reliable ditempuh dengan beberapa cara antara lain:

 Merunut legislasi (peraturan perundang-undangan);

 Merunut kesesuaian dengan kebijakan yang tercantum pada dokumen formal yang
memiliki hierarki diatasnya;

 Merunut dokumen formal (kesesuaian dengan hasil yang diharapkan /tujuan dan
sasaran); dan

 Interview dengan penyusun kebijakan atau administrator program.

Evaluasi formal terbagi atas 2 jenis, yaitu summative evaluation dan formative
evaluation. Summative evaluation adalah upaya untuk mengevaluasi program/kegiatan
yang telah dilakukan dalam kurun waktu tertentu, umumnya dilakukan untuk
mengetahui/mengevaluasi program/kegiatan yang relatif sering dilakukan dan karena
indikatornya tetap/baku. Formative evaluation adalah upaya untuk mengevaluasi
pelaksanaan program/kegiatan secara kontinyu, karena merupakan program/kegiatan
yang relatif baru dan indikatornya dapat berubah-rubah.

Pendekatan Berdasarkan Dasar Evaluasi

Pendekatan berdasarkan dasar evaluasi ada 6 jenis yaitu:

a. Before vs after comparison (pembandingan antara sebelum dan sesudah)


Karakteristik dari pendekatan jenis ini antara lain hanya berlaku untuk satu komunitas
yang sama dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah adanya intervensi.

b. With vs without comparisons (pembandingan antara dengan atau tanpa intervensi)

Karakteristik dari pendekatan jenis ini antara lain hanya berlaku untuk lebih dari satu
komunitas (>1) dengan membandingkan antara komunitas yang diberi intervensi
dengan komunitas yang tidak diberi intervensi dalam waktu yang bersamaan.

c. Actual vs planned performance comparisons (pembandingan antara kenyataan dengan


rencana)

Karakteristik dari pendekatan jenis ini antara lain membandingkan antara rencana
dengan kenyataan di lapangan (sesuai atau tidak).

d. Experimental (controlled) models

Karakteristik dari pendekatan ini adalah melihat dampak dari perubahan


kebijakan/policy terhadap suatu kegiatan yang memiliki standar ketat. Dampaknya
dilihat dari proses dan hasil kegiatan tersebut.

e. Quasi experimental (uncontrolled) models

Karakteristik dari pendekatan ini adalah melihat dampak dari perubahan


kebijakan/policy terhadap suatu kegiatan yang tidak memiliki standar tidak memiliki
standar. Dampaknya dilihat hanya berdasarkan hasilnya saja, sedangkan prosesnya
diabaikan.

f. Efisiensi penggunaan dana (Cost Oriented Approach)

Cost Oriented Approach terbagi tiga yaitu ex-ante evaluation, on-going evaluation
dan ex-post evaluation. Ex-ante evaluation adalah evaluasi yang dilakukan sebelum
kegiatan tersebut dilaksanakan. On-going Evaluation adalah evaluasi yang dilakukan
saat kegiatan tersebut sedang berjalan. Ex-post evaluation adalah evaluasi yang
dilakukan setelah kegiatan tersebut selesai.

Pendekatan Berdasarkan Kriteria Evaluasi


Pendekatan berdasarkan kriteria evaluasi terbagi atas 6 indikator, yaitu:

a. Efektivitas

Penilaian terhadap efektivitas ditujukan untuk menjawab ketepatan waktu pencapaian


hasil/ tujuan. Parameternya adalah ketepatan waktu.

b. Efisiensi

Penilaian terhadap efisiensi ditujukan untuk menjawab pengorbanan yang minim


(usaha minimal) untuk mencapai hasil maksimal. Parameternya adalah biaya, rasio,
keuntungan dan manfaat.

c. Adequacy (ketepatan dalam menjawab masalah)

Penilaian terhadap adequacy ditujukan untuk melihat sejauh mana tingkat pencapaian
hasil dapat memecahkan masalah.

d. Equity (pemerataan)

Penilaian terhadap equity ditujukan untuk melihat manfaat dan biaya dari kegiatan
terdistribusi secara proporsional untuk aktor-aktor yang terlibat.

e. Responsiveness

Penilaian terhadap responsiveness ditujukan untuk mengetahui hasil


rencana/kegiatan/kebijaksanaan sesuai dengan preferensi/keinginan dari target grup.

f. Appropriateness (ketepatgunaan)

Penilaian terhadap ketepatgunaan ditujukan untuk mengetahui


kegiatan/rencana/kebijaksanaan tersebut memberikan hasil/keuntungan dan manfaat
kepada target grup. Standar tingkat keuntungan dan manfaat sangat relatif sesuai
dengan sistem nilai yang berlaku pada target grup tersebut.

Secara umum, pendekatan yang dipakai untuk melaksanakan studi evaluasi ini adalah
pendekatan evaluatif empiris. Empiris, yaitu melihat apa dan bagaimana konsep dan
framework pelaksanaan mitigasi bencana di provinsi dan kabupaten. Pendekatan empiris
merupakan pendekatan yang dapat digunakan untuk memperoleh data lapangan dan
memetakan strategi mitigasi bencana di beberapa tingkatan pemerintahan yang berlaku
selama ini. Hasil pemetaan ini juga akan menjadi dasar untuk memilah dan menganalisa
kegiatan mitigasi bencana di sejumlah departemen/lembaga dan pemerintah daerah.
Evaluatif, yaitu menilai keefektifan pelaksanaan kebijakan, strategi dan operasional mitigasi
bencana dan normatif dengan mengusulkan konsep dan framework pelaksanaan mitigasi
bencana sebagai masukan untuk penyempurnaan kebijakan, strategi dan operasional yang
sudah ada.
Kebijakan Publik

Proses Perumusan, Implementasi, dan Evaluasi Kebijakan Publik

M. Ninja Jaka Putra 070913006


Sitta Aulia 070913007
Finta Nurhadiyanti 070913012
Titis Sari Eryadini 070913013
Rizkal Ula 070913014
Novitasari Putri Priyanto 070913027
Meyrza Ashrie Tristyana 070913042
Anggun Dewi Rahmawati 070913045
M. Ridho Hernanto 070913080
Febi Firahdini Prasetya 070913103

Program Studi Ilmu Politik


Departemen Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Anda mungkin juga menyukai