Proses Perumusan Implementasi Dan Evaluasi Kebijakan Publik
Proses Perumusan Implementasi Dan Evaluasi Kebijakan Publik
Proses perumusan kebijakan adalah salah satu alat penting dalam tahapan kebijakan
yang berkaitan dengan pengelolaan kebijakan, baik pemerintah maupun non-pemerintah.
Banyak faktor yang perlu dipertimbangkam dalam proses perumusan kebijakan. Selain itu,
para ahli harus menguasai makna kebijakan dan perumusan kebijakan, perumusan kebijakan
dalam siklus kebijakan, lingkungan kebijakan dan prosedur perumusan kebijakan, serta
faktor-faktor lainnya.
Hal itu terkait dengan kenyataan sebagaimana diungkapkan oleh Gerston bahwa
kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan pada semua tingkatan pemerintahan, karenanya
tanggung jawab para pembuat kebijakan akan berbeda pada setiap tingkatan sesuai dengan
kewenangannya. Selain itu, menurut Gerston hal yang penting lainnya adalah bagaimana
memberikan pemahaman mengenai akuntabilitas dari semua pembuat kebijakan kepada
masyarakat yang dilayaninya. Dengan pemahaman yang seperti itu dapat memastikan
pembuatan kebijakan publik yang mempertimbangkan berbagai aspek dan dimensi yang
terkait, sehingga pada akhirnya sebuah kebijakan publik dapat dipertanggungjawabkan secara
memadai.
Mengingat peran penting dari kebijakan publik dan dampaknya terhadap masyarakat,
maka para ahli juga menawarkan sejumlah teori yang dapat digunakan dalam proses
perumusan kebijakan serta kriteria yang dapat digunakan untuk mempengaruhi pemilihan
terhadap suatu kebijakan tertentu. Teori dan kriteria tersebut dapat ditemukan dalam buku
Anderson tahun 2006 yang berjudul Public Policy Making: An Introduction. Menurut
Anderson, terdapat tiga teori utama yang dapat digunakan dalam proses pembuatan sebuah
kebijakan yaitu:
a. Teori rasional-komprehensif; adalah teori yang intinya mengarahkan agar pembuatan
sebuah kebijakan publik dilakukan secara rasional-komprehensif dengan mempelajari
permasalahan dan alternatif kebijakan secara memadai.
b. Teori incremental; adalah teori yang intinya tidak melakukan perbandingan terhadap
permasalahan dan alternatif serta lebih memberikan deskripsi mengenai cara yang
dapat diambil dalam membuat kebijakan.
c. Teori mixed scanning; adalah teori yang intinya menggabungkan antara teori rasional-
komprehensif dengan teori inkremental.
Selain itu, Anderson juga mengemukakan enam kriteria yang harus dipertimbangkan
dalam memilih kebijakan, yaitu: nilai-nilai yang dianut baik oleh organisasi, profesi,
individu, kebijakan maupun ideologi; afiliasi partai politik; kepentingan konstituen; opini
publik; penghormatan terhadap pihak lain; serta aturan kebijakan.
Pembuat kebijakan resmi adalah mereka yang memiliki kewenangan legal untuk
terlibat dalam perumusan kebijakan publik. Mereka terdiri atas legislatif, eksekutif, badan
administratif, serta pengadilan. Legislatif merujuk kepada anggota kongres/dewan yang
seringkali dibantu oleh para stafnya. Eksekutif merujuk kepada Presiden dan jajaran
kabinetnya. Administratif menurut merujuk kepada lembaga-lembaga pelaksana kebijakan.
Di lain pihak, pengadilan juga merupakan aktor yang memainkan peran besar dalam
perumusan kebijakan melalui kewenangan mereka untuk mereview kebijakan serta
penafsiran mereka terhadap undang-undang dasar. Dengan kewenangan ini, keputusan
pengadilan bisa mempengaruhi isi dan bentuk dari sebuah kebijakan publik.
Selain pembuat kebijakan resmi, terdapat pula peserta lain yang terlibat dalam proses
kebijakan yang meliputi di antaranya kelompok kepentingan; partai politik; organisasi
penelitian; media komunikasi; serta individu masyarakat. Mereka ini disebut sebagai peserta
non-pemerintahan (nongovernmental participants) karena penting atau dominannya peran
mereka dalam sejumlah situasi kebijakan, tetapi mereka tidak memiliki kewenangan legal
untuk membuat kebijakan yang mengikat. Peranan mereka biasanya adalah dalam
menyediakan informasi; memberikan tekanan; serta mencoba untuk mempengaruhi. Mereka
juga dapat menawarkan proposal kebijakan yang telah mereka siapkan.
Terkait keterlibatan peserta dalam pembuatan kebijakan ini, khususya dalam tahapan
perumusan kebijakan, maka tahap perumusan kebijakan diharapkan melibatkan peserta yang
lebih sedikit dibandingkan dalam tahapan penetapan agenda. Dalam tahapan ini yang lebih
banyak diharapkan adalah kerja dalam merumusakan alternatif kebijakan yang mengambil
tempat diluar mata/ perhatian publik. Dalam sejumlah teks standar kebijakan, tahap
perumusan disebut sebagai sebuah fungsi ruang belakang. Detail dari kebijakan biasanya
dirumuskan oleh staff dari birokrasi pemerintah, komite legislatif, serta komisi khusus. Proses
perumusan ini biasanya dilakukan di ruang kerja dari para aktor perumus tersebut.
Tahapan perumusan kebijakan merupakan tahap kritis dari sebuah proses kebijakan.
Hal ini terkait dengan proses pemilihan alternatif kebijakan oleh pembuat kebijakan yang
biasanya mempertimbangkan pengaruh langsung yang dapat dihasilkan dari pilihan alternatif
utama tersebut. Proses ini biasanya akan mengekspresikan dan mengalokasikan kekuatan dan
tarik-menarik di antara berbagai kepentingan sosial, politik, dan ekonomi. Tahap perumusan
kebijakan melibatkan aktivitas identifikasi dan atau merajut seperangkat alternatif kebijakan
untuk mengatasi sebuah permasalahan serta mempersempit seperangkat solusi tersebut
sebagai persiapan dalam penentuan kebijakan akhir.
Dengan mengutip pendapat dari Cochran dan Malone, menurut Sidney perumusan
kebijakan mencoba menjawab sejumlah pertanyaan, yaitu: apa rencana untuk menyelesaikan
masalah? Apa yang menjadi tujuan dan prioritas? Pilihan apa yang tersedia untuk mencapai
tujuan tersebut? Apa saja keuntungan dan kerugian dari setiap pilihan? Eksternalitas apa, baik
positif maupun negatif yang terkait dengan setiap alternatif?
Perumusan seperangkat alternatif akan melibatkan proses identifikasi terhadap
berbagai pendekatan untuk menyelesaikan masalah; serta kemudian mengidentifikasi dan
mendesain seperangkat perangkat kebijakan spesifik yang dapat mewakili setiap pendekatan.
Tahap perumusan juga melibatkan proses penyusunan draft peraturan untuk setiap
alternatif yang isinya mendeskripsikan mengenai sanksi, hibah, larangan, hak, serta
mengartikulasikan kepada siapa atau kepada apa ketentuan tersebut akan berlaku dan
memiliki dampak, dan lain-lain. Pernyataan itu juga didukung oleh pernyataan Jann dan
Wegrich serta Anderson. Menurut Jann dan Wegrich, di dalam tahap perumusan kebijakan,
permasalahan kebijakan, usulan proposal, dan tuntutan masyarakat ditransformasikan
ke dalam sejumlah program pemerintah. Perumusan kebijakan dan juga adopsi kebijakan
akan meliputi definisi sasaran, yaitu apa yang akan dicapai melalui kebijakan serta
pertimbangan-pertimbangan terhadap sejumlah alternatif yang berbeda.
Jann dan Wegrich mengemukakan dua faktor utama yang menentukan alternatif
kebijakan akan diadopsi menjadi kebijakan, yaitu:
Selain itu, akademis juga memiliki peran penting sebagai penasehat kebijakan atau
pemikir (think tanks). Pengetahun dari para penasehat ini seringkali berpengaruh dalam
proses perumusan kebijakan.
B. PROSES IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK
Dari berbagai pandangan dan pendapat tentang konsep implementasi yang telah
disebutkan terdahulu, maka untuk menganalisis bagaimana proses implementasi kebijakan itu
berlangsung, terdapat berbagai pandangan tentang teori implementasi kebijakan yang
berusaha menggambarkan agar proses implementasi kebijakan dapat dilaksanakan secara
efektif:
Model ini dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier, disebut “A
frame work for implementation analysis” dalam Solichin,1997,Wasiti). Model ini berusaha
untuk mendefinisikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal
keseluruhan proses implementasi.
Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Hom (dalam P. Sabatier dan D. Mazmanian,
1979) menyatakan bahwa implementasi meliputi suatu proses linier yang terdiri dari 6 (enam)
variebel yang menghubungkan antara kebijakan dan kerja variabel tersebut adalah: standar
dan tujuan-tujuan, sumber-sumber, komunikasi antar organisasi aktivitas pemberdayaan,
karakteristik dari agen/actor pelaksanaan implementasi, kondisi sosial, ekonomi dan politik,
disponsi agen pelaksana implementasi. Hubungan atau perubahan pada setiap
variabel tersebut dapat mempengaruhi kinerja.
Selain dari lima model tersebut sebenarnya masih banyak lagi pandangan atau teori
tentang model implementasi kebijakan. Tetapi dari banyaknya model, tidak dapat dinilai,
model mana yang paling baik atau lebih baik. Sebab penggunaan model untuk keperluan
penelitian/analisis, tergantung pada kompleksitas permasalahan kebijakan yang dikaji serta
tujuan analisis itu sendiri. Semakin kompleks permasalaha kebijaksanaan dan semakin
mendalam analisis yang dilakukan, semakin diperlukan teori atau model yang relatif
operasional yaitu model yang mampu menjelaskan hubungan kausalitas antara variabel yang
menjadi fokus analisis.
Oleh karena itu, implikasi sebuah kebijakan merupakan tindakan sistematis dari
pengorganisasian, penerjemahan dan aplikasi.
Berikut ini merupakan tahapan-tahapan operasional implementasi sebuah kebijakan:
Kebijakan manajerial biasanya tertuang dalam bentuk keputusan eksekutif yang bisa
berupa peraturan presiden maupun keputusan kepala daerah, sedangkan kebijakan
operasional berupa keputusan pejabat pemerintahan bisa berupa keputusan/peraturan menteri
ataupun keputusan kepala dinas terkait. Kegiatan dalam tahap ini tidak hanya berupa proses
penjabaran dari kebijakan abstrak ke petunjuk pelaksanaan/teknis namun juga berupa proses
komunikasi dan sosialisasi kebijakan tersebut – baik yang berbentuk abstrak maupun
operasional – kepada para pemangku kepentingan.
Evaluasi kebijakan publik dalam studi kebijakan publik merupakan salah satu tahapan
dari proses kebijakan publik. Evaluasi kebijakan publik dimaksudkan untuk melihat atau
mengukur kinerja pelaksanaan suatu kebijakan. Selain itu evaluasi kebijakan juga dapat
digunakan untuk melihat apakah sebuah kebijakan telah dilaksanakan sesuai dengan petunjuk
teknis dan petunjuk pelaksanaan yang telah ditentukan.
Pendekatan berdasarkan sistem nilai yang diacu ada tiga jenis, yaitu evaluasi semu,
evaluasi teori keputusan dan evaluasi formal.
Sifat dari Evaluasi semu ini adalah melakukan penilaian berdasarkan parameter
tertentu yang secara umum disepakati (self evident) dan tidak kontroversial
(uncontroversial). Hasil evaluasinya mudah diterima oleh publik dan tidak terlalu
rumit (complicated). Penilaiannya berkisar antara gagal atau berhasil. Pseudo
evaluation ini seringkali dijadikan sebagai salah satu metode monitoring.
Sifat dari evaluasi formal adalah melakukan penilaian berdasarkan parameter yang
ada pada dokumen formal seperti tujuan dan sasaran yang tercantum dalam dokumen
kebijakan rencana tata ruang, peraturan perundang-undangan dan sebagainya.
Dalam evaluasi formal, metode yang ditempuh untuk menghasilkan informasi yang
valid dan reliable ditempuh dengan beberapa cara antara lain:
Merunut kesesuaian dengan kebijakan yang tercantum pada dokumen formal yang
memiliki hierarki diatasnya;
Merunut dokumen formal (kesesuaian dengan hasil yang diharapkan /tujuan dan
sasaran); dan
Evaluasi formal terbagi atas 2 jenis, yaitu summative evaluation dan formative
evaluation. Summative evaluation adalah upaya untuk mengevaluasi program/kegiatan
yang telah dilakukan dalam kurun waktu tertentu, umumnya dilakukan untuk
mengetahui/mengevaluasi program/kegiatan yang relatif sering dilakukan dan karena
indikatornya tetap/baku. Formative evaluation adalah upaya untuk mengevaluasi
pelaksanaan program/kegiatan secara kontinyu, karena merupakan program/kegiatan
yang relatif baru dan indikatornya dapat berubah-rubah.
Karakteristik dari pendekatan jenis ini antara lain hanya berlaku untuk lebih dari satu
komunitas (>1) dengan membandingkan antara komunitas yang diberi intervensi
dengan komunitas yang tidak diberi intervensi dalam waktu yang bersamaan.
Karakteristik dari pendekatan jenis ini antara lain membandingkan antara rencana
dengan kenyataan di lapangan (sesuai atau tidak).
Cost Oriented Approach terbagi tiga yaitu ex-ante evaluation, on-going evaluation
dan ex-post evaluation. Ex-ante evaluation adalah evaluasi yang dilakukan sebelum
kegiatan tersebut dilaksanakan. On-going Evaluation adalah evaluasi yang dilakukan
saat kegiatan tersebut sedang berjalan. Ex-post evaluation adalah evaluasi yang
dilakukan setelah kegiatan tersebut selesai.
a. Efektivitas
b. Efisiensi
Penilaian terhadap adequacy ditujukan untuk melihat sejauh mana tingkat pencapaian
hasil dapat memecahkan masalah.
d. Equity (pemerataan)
Penilaian terhadap equity ditujukan untuk melihat manfaat dan biaya dari kegiatan
terdistribusi secara proporsional untuk aktor-aktor yang terlibat.
e. Responsiveness
f. Appropriateness (ketepatgunaan)
Secara umum, pendekatan yang dipakai untuk melaksanakan studi evaluasi ini adalah
pendekatan evaluatif empiris. Empiris, yaitu melihat apa dan bagaimana konsep dan
framework pelaksanaan mitigasi bencana di provinsi dan kabupaten. Pendekatan empiris
merupakan pendekatan yang dapat digunakan untuk memperoleh data lapangan dan
memetakan strategi mitigasi bencana di beberapa tingkatan pemerintahan yang berlaku
selama ini. Hasil pemetaan ini juga akan menjadi dasar untuk memilah dan menganalisa
kegiatan mitigasi bencana di sejumlah departemen/lembaga dan pemerintah daerah.
Evaluatif, yaitu menilai keefektifan pelaksanaan kebijakan, strategi dan operasional mitigasi
bencana dan normatif dengan mengusulkan konsep dan framework pelaksanaan mitigasi
bencana sebagai masukan untuk penyempurnaan kebijakan, strategi dan operasional yang
sudah ada.
Kebijakan Publik