REFERAT Nanda
REFERAT Nanda
Oleh:
Nanda Dian Ningsih, S.Ked.
712015041
Pembimbing:
dr. H. M. Nazir. H.Z, Sp.A, (K)
i
HALAMAN PENGESAHAN
Referat berjudul
ABSES PERITONSILAR & PSEUDO CROUP ACUTE
EPIGLOTITIS
Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang.
Puji Syukur kehadirat Allah swt, zat Yang Maha Indah dengan segala
keindahan-Nya, zat Yang Maha Pengasih dengan segala kasih sayang-Nya, yang
terlepas dari segala sifat lemah semua makhluk.
Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Nya penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Abses Peritonsilar & Pseudo Croup Acute
Epiglotitis” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan
Klinik Senior Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.
Dalam penyelesaian referat ini, penulis mendapat bantuan, bimbingan dan
arahan maka dari itu kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada
dr.H.M. Nazir. H.Z, Sp.A, (K). selaku dosen pembimbing.
Semoga Allah swt membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Penulis
menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, karena kesempurnaan itu
hanya milik Allah. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa mendatang.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ..………………………..….…………….... i
KATA PENGANTAR …………………..….……………………..………. ii
DAFTAR ISI ...…………………………………………………....………. iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………………………..……………………. 1
1.2 Maksud dan Tujuan …………………..……………………. 3
1.3 Manfaat ……...…...………………………………..……….. 3
1.3.1 Manfaat Teoritis …………..………………………... 3
1.3.2 Manfaat Praktis …………..……….………………... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Abses Peritonsilar………………………………………….. 5
2.1.1 Anatomi Tonsil……………………………………... 5
2.1.2 Fisiologi Tonsil……………………………………... 9
2.1.3 Definisi Abses Peritonsilar…………………………. 11
2.1.4 Epidemiologi……………………………………….. 11
2.1.5 Etiologi………………………………………........... 12
2.1.6 Patologi……………………………………………... 12
2.1.7 Manifestasi Klinik………………………………….. 13
2.1.8 Diagnosis…………………………………………… 14
2.1.9 Diagnosis Banding…………………………………. 17
2.1.10 Tatalaksana…………………………………………. 17
2.1.11 Komplikasi…………………………………………. 20
2.1.12 Prognosis…………………………………………… 20
2.2 Pseudo-Croup Acute Epiglotitis…………………………… 21
2.2.1 Definisi ………………….…………………………. 21
2.2.2 Epidemiologi……………………………………….. 22
2.2.3 Etiologi………………………………………........... 22
2.2.4 Patogenesis......……………………………………... 23
2.2.5 Manifestasi Klinik………………………………….. 23
2.2.6 Diagnosis…………………………………………… 24
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang…………………………….. 24
2.2.8 Tatalaksana…………………………………………. 26
2.2.9 Komplikasi…………………………………………. 27
2.2.10 Prognosis………………………………………… 27
2.2.11 Beda Pseudocroup dengan croup...………………… 27
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan ……………………………………………....... 28
3.2 Saran ……………………………………………………….. 29
DAFTAR PUSTAKA ………………………………..……………….….. 30
1
BAB I
PENDAHULUAN
kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, kemungkinan hampir
45.000 kasus setiap tahun.3
Abses peritonsil biasanya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut.
Edema akibat inflamasi dapat mengakibatkan kesulitan menelan. Dehidrasi
sekunder sering terjadi akibat pasien menghindari menelan makanan dan cairan.
Perluasan abses dapat menyebabkan peradangan ke dalam kompartemen fasia
yang berdekatan dengan kepala dan leher, sehingga berpotensi menyebabkan
obstruksi jalan napas.2
Sindroma ´croup´ merupakan kumpulan gejala klinik yang ditandai
dengan adanya batuk, suara parau, stridor inspiratoir yang disebabkan obstruksi
saluran napas atas/laring. Pseudocroup adalah penyakit pernapasan akut pada
sistem yang mukosa yang meradang dan bengkak di daerah laring dan pita
suara, kadang-kadang juga trachea dan tabung bronchial. Ungkapan "Pseudo"
croup berarti “menyerupai” croup dan harus dibedakan dengan croup yang
sebenarnya yang merupakan suatu gejala pada diphtheria.1
Croup adalah suatu infeksi laring yang berkembang cepat, menimbulkan
stridor dan obstruksi jalan napas. Walaupun dapat terjadi pada usia berapapun,
bahkan pada dewasa, croup terutama menyerang pada anak di bawah usia enam
tahun.1
Permukaan laringeal dari epiglotis dan daerah tepat di bawah korda
vokalis pada laring mengandung jaringan areolar longgar yang cenderung
membengkak bila meradang. Maka, croup dapat dibedakan menjadi supraglotis
(epiglotitis) akut dan laringitis subglotis akut (pseudo croup). Meskipun
keduanya bersifat akut dan berat, namun epiglotitis cenderung lebih hebat,
seringkali berakibat fatal dalam beberapa jam tanpa terapi. Secara klinis, kedua
penyakitnya tampak serupa dimana pasien gelisah, cemas, stridor, retraksi dan
sianosis. Namun terdapat beberapa perbedaan ringan. Anak dengan epiglotis
cenderung duduk dengan mulut terbuka dan dagu mengarah ke depan, tidak
serak dan cenderung tidak disertai batuk croupy, namun kemungkinan besar
mengalami disfagia. Karena nyeri menelan maka anak cenderung mengiler.1
3
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
a. Bagi institusi, diharapkan referat ini dapat menambah bahan
referensi dan studi kepustakaan dalam bidang ilmu kesehatan anak
terutama tentang abses peritonsilar & pseudo croup acute
epiglotitis.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di
dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar
anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus).
Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil
mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil
tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya
dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring.
Dibatasi oleh: 4
Lateral Muskulus konstriktor faring superior
Anterior Muskulus palatoglosus
Posterior Muskulus palatofaringeus
Superior Palatum mole
Inferior Tonsil lingual
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga
melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di
bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam
di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus.
Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh
yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli
sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat germinal.4
B. Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior
adalah otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan
batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior.
Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding
faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus glosofaringeal.4
C. Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis
eksterna, yaitu
1. Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya
arteritonsilaris dan arteri palatina asenden
2. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden
3. Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal
4. Arteri faringeal asenden
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis
dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua
daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil
diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden.
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus
dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena
lidah dan pleksus faringeal.4
E. Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke
IX (nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine
nerves.4
F. munologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit.
Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan
limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang
matang.7 Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin
(IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan
sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar.7 Sel limfoid yang immunoreaktif
9
pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area
ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada
folikel ilmfoid.7 Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang
diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah
disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu 1) menangkap dan
mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama
produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. 7
Gambar 7. Dari kiri ke kanan : Abses peritonsil dextra, Abses peritonsil sinistra
2.1.4 Epidemiologi
Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi
pada bagian kepala dan leher. Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-
60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40. Pada anak-anak
jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi
12
infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan nafas yang signifikan pada anak-
anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan
perempuan. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus
per 100.000 orang per tahun, kemungkinan hampir 45.000 kasus setiap
tahun.3
2.1.5 Etiologi
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat dari komplikasi tonsilitis akut
atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas
tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab
tonsilitis.11 Abses peritonsil disebabkan oleh organisme yang bersifat
aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering
menyebabkan abses peritonsil adalah Streptococcus pyogenes (Group A
Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus
influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah
Fusobacterium, Prevotella, Porphyromonas, dan Peptostreptococcus sp.
Untuk kebanyakan abses peritonsil diduga disebabkan karena kombinasi
antara organisme aerobik dan anaerobik.2 Sedangkan virus yang dapat
menyebabkan abses peritonsil antara lain Epstein-Barr, adenovirus,
influenza A dan B, herpes simplex, dan parainfluenza.
2.1.6 Patologi
Patologi abses peritonsil belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori
yang paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode
tonsilitis eksudatif pertama menjadi peritonsilitis dan kemudian terjadi
pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess formation).3
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat
longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil
tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole
membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior,
namun jarang. Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain
13
2.1.8 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan
diagnosis abses peritonsil. Adanya riwayat pasien mengalami nyeri
pada tenggorokan adalah salah satu yang mendukung terjadinya abses
peritonsil. Riwayat adanya faringitis akut yang disertai tonsilitis dan
rasa kurang nyaman pada pharingeal unilateral.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri
faring. Inspeksi terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit
karena ketidakmampuan pasien membuka mulut. Didapatkan
pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan
kavum oral didapatkan hiperemis. Tonsil hiperemis, eksudasi, mungkin
banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan, dan bawah. Uvula
bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Abses peritonsil biasanya
unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil yang terkena, di fossa
supratonsiler. Mukosa di lipatan supratonsiler tampak pucat dan bahkan
seperti bintil-bintil kecil. Diagnosis jarang diragukan jika pemeriksa
melihat pembengkakan peritonsilaris yang luas, mendorong uvula
melewati garis tengah, dengan edema dari palatum mole dan
penonjolan jaringan dari garis tengah.2 Asimetri palatum mole, tampak
15
80% dan spesifisitas 92,8 %. merupakan teknik yang simple dan noninvasif
dan dapat membantu dalam membedakan antara selulitis dan awal dari
abses. Pemeriksaan ini juga bias menentukan pilihan yang lebih terarah
sebelum melakukan operasi dan drainase secara pasti.
2.1.10 Tatalaksana
Beberapa macam terapi yang selama ini dikenal adalah :
a) Pemberian antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
b) Pungsi dan aspirasi disertai antibiotik parenteral.
18
2.1.11 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah: 9
Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru, atau
piemia.
Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum
menimbulkan mediastinitis.
Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan
thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.
Sekuele post streptokokus seperti glomerulonefritis dan demam
rheumatik apabila bakteri penyebab infeksi adalah Streptococcus Group
A.
Kematian walaupun jarang dapat terjadi akibat perdarahan atau nekrosis
septik ke selubung karotis atau carotid sheath.
Peritonsilitis kronis dengan aliran pus yang berjeda.
Akibat tindakan insisi pada abses, terjadi perdarahan pada arteri
supratonsilar.
Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis abses
peritonsil diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan
progresi penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak
dini.
2.1.12 Prognosis
Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan
kematian kecuali jika terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan
menyebabkan aspirasi ke paru. Selain itu komplikasi ke intrakranial juga
dapat membahayakan nyawa pasien. 13
21
2.2.2 Epidemiologi
Pseudo Croup biasanya terjadi pada anak usia 6 bulan-6 tahun, dengan
puncaknya pada usia 1-2 tahun. Akan tetapi, croup juga dapat terjadi pada
anak berusia 3 bulan dan di atas 15 tahun meskipun angka prevalensi untuk
kejadian ini cukup kecil. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki
daripada anak perempuan, dengan rasio 3:2. Angka kejadiannya meningkat
pada musim dingin dan musim gugur pada negara-negara sub-tropis
sedangkan pada negara tropis seperti Indonesia angka kejadian cukup tinggi
pada musim hujan, tetapi penyakit ini tetap dapat terjadi sepanjang tahun.
Pasien croup merupakan 15% dari seluruh pasien dengan infeksi respiratori yang
berkunjung ke dokter. Kekambuhan sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan
berkurang sejalan dengan pematangan struktur anatomi saluran pernapasan
atas. Hampir 15% pasien pseudo croup mempunyai keluarga dengan riwayat
penyakit yang sama.10
2.2.3 Etiologi
Virus adalah penyebab tersering pseudo croup (sekitar 60% kasus)
adalah Human Parainfluenza virus type 1 (HPIV-1), HPIV- 2,3, dan 4, virus
influenza A dan B, Adenovirus, Respiratory Synctial virus (RSV), dan virus
campak. Meskipun jarang, pernah juga ditemukan Mycoplasma
pneumonia.10
23
2.2.4 Patogenesis
Seperti infeksi respiratori pada umumnya, infeksi virus pada
laringotrakeitis, laringotrakeobronkitis, dan laringotrakeobronkopneumonia
dimulai dari nasofaring dan menyebar ke epitelium trakea dan laring.
Peradangan difus, eritema, dan edema yang terjadi pada dinding trakea
menyebabkan terganggunya mobilitas pita suara serta area subglotis
mengalami iritasi. Hal ini menyebabkan suara pasien menjadi serak (parau).
Aliran udara yang melewati saluran respiratori atas mengalami turbulensi
sehingga menimbulkan stridor, diikuti dengan retraksi dinding dada (selama
inspirasi). Pergerakan dinding dada dan abdomen yang tidak teratur
menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea.
Pada keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan henti napas.14
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul.
Pada pemeriksaan fisis ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan
faring, dan frekuensi napas yang sedikit meningkat. Kondisi pasien
bervariasi sesuai dengan derajat stress pernapasan yang diderita.
Pemeriksaan langsung area laring pada pasien croup tidak terlalu
diperlukan. Akan tetapi, bila diduga terdapat epiglotis (serangan akut, gawat
napas/respiratory distress, disfagia, drooling), maka pemeriksaan tersebut
sangat diperlukan.11
Selain itu, pemeriksaan ini juga dilakukan bila pada gambaran radiologis
dicurigai adanya massa.1
2.2.8 Tatalaksana
Tatalaksana utama bagi pasien croup adalah mengatasi obstruksi
jalan napas.
1. Terapi inhalasi
2. Epinephrin
Nebulisasi epinephrin sebaiknya diberikan kepada anak dengan
sindrom croup sedang – berat yang disertai dengan stridor saat istirahat
dan membutuhkan intubasi, serta pada anak dengan retraksi dan stridor
yang tidak mengalami perbaikan setelah diberikan terapi uap dingin.
Efek terapi nebulisasi epinephrin ini timbul dalam waktu 30 menit dan
bertahan selama 2 jam.10
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema pada mukosa laring melalui
mekanisme antiradang.
Deksametason diberikan dengan dosis 0,6 mg/kgBB per
oral/intramuskular sebanyak satu kali, dan dapat dihitung dalam 6 – 24
jam. Selain deksametason dapat juga diberikan prednison atau
prednisolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB.10
4. Intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakeal dilakukan pada pasien sindrom croup yang berat,
yang tidak responsif terhadap terapi lain. Intubasi endotrakeal
merupakan terapi alternatif selain trakeostomi untuk mengatasi
obstruksi jalan napas.10
27
2.2.9 Komplikasi
Pada 15% kasus dilaporkan terjadi komplikasi, misalnya otitis media,
dehidrasi, dan pneumonia (jarang terjadi). Sebagian kecil pasien
memerlukan tindakan intubasi. Gagal jantung dan gagal napas dapat terjadi
pada pasien yang perawatan dan pengobatannya tidak adekuat.1
2.2.10 Prognosis
Pseudo croup biasanya bersifat self limited dengan prognosis yang
baik.12
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada
bagian kepala dan leher akibat dari kolonisasi bakteri aerob dan anaerob di
daerah peritonsiler. Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi
tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di
kutub atas tonsil.
2. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah
Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus),
Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme
anaerob yang berperan adalah Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium,
dan Peptostreptococcus sp.
3. Penelitian yang dilakukan merekomendasikan penisilin sebagai agen lini
pertama. Semua specimen harus diperiksa untuk kultur sensitifitas terhadap
antibiotik. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan
obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres
dingin pada leher. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah
abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Indikasi-indikasi
untuk tonsilektomi segera diantaranya adalah obstruksi jalan napas atas,
sepsis dengan adenitis servikalis atau abses leher bagian dalam, riwayat
abses peritonsil sebelumnya, riwayat faringitis eksudatif yang berulang.
4. Pseudo croup adalah penyakit sistemik respiratorik acute yang menyerang
mukosa dan menyebabkan inflamasi dan edema pada daerah larynx dan
vocal cord, terkadang juga mengenai trachea dan cabang bronkus.
5. Pada pseudo croup ini terdapat suatu kondisi pernafasan yang biasanya
dipicu oleh infeksi virus akut saluran napas bagian atas
29
3.2 Saran
Saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut:
1. Diagnosis dini sangat penting mengingat dapat terjadi beberapa komplikasi
yang mengancam jiwa. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan
progresi penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak
dini.
2. Bagi dokter muda, aplikasikan pemahaman mengenai abses peritonsilar dan
pseudo-croup acute epiglotitis ini agar ketika menemukan kasus tersebut
pada pelayanan kesehatan tingkat pertama dapat mendiagnosis dan
melakukan rujukan kepada dokter spesialis yang berkompeten.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Roni N., Rina T., dan Amalia S. 2013. Infeksi Respiratori Akut. Dalam: Nastiri
NR. dkk. (Editor), Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
2. Fachruddin, Darnila. 2008. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi III Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
3. Behrman, Kliegman dan Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak: Abses peritonsil
(edisi ke-15 volume 2). Terjemahkan oleh: Samik Wahab. EGC, Jakarta,
Indonesia.
8. Sherwood Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Jakarta: EGC
10. Wiatrak, B.J., Woolley, A.L. 2005. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease
dalam Cummings Otolaryngology – Head & Neck Surgery. 4th Edition. Elsevier
Mosby Inc.
11. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan:
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi IV. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
31
12. Eibling, D.E. 2003. The Oral Cavity, Pharynx and Esophagus dalam Essential
Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8th Edition. New York: McGraw Hill
Medical Publishing Division.
13. Hermani, B., Fachrudin, D., Hutauruk, S.M., Riyanto, B.U., Susilo, Nazar, H.N.
2004. Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Jakarta: Health Technology
Assessment (HTA) Indonesia.
14. Adams GL, Boies LR, Higler PA. 2012. BOIES: Buku Ajar Penyakit THT.
Edisi IV. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
15. Kartosoediro S, Rusmarjono. 2007. Abses Leher Dalam. Edisi VI. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.