Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

ABSES PERITONSILAR & PSEUDO CROUP


ACUTE EPIGLOTITIS

Oleh:
Nanda Dian Ningsih, S.Ked.
712015041

Pembimbing:
dr. H. M. Nazir. H.Z, Sp.A, (K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2016

i
HALAMAN PENGESAHAN

Referat berjudul
ABSES PERITONSILAR & PSEUDO CROUP ACUTE
EPIGLOTITIS

Dipersiapkan dan disusun oleh


Nanda Dian Ningsih, S.Ked.
NIM. 712015041

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang.

Palembang, Oktober 2016


Dosen Pembimbing

dr. H. M. Nazir. H.Z, Sp.A, (K)


Spesialis Anak
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah swt, zat Yang Maha Indah dengan segala
keindahan-Nya, zat Yang Maha Pengasih dengan segala kasih sayang-Nya, yang
terlepas dari segala sifat lemah semua makhluk.
Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Nya penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Abses Peritonsilar & Pseudo Croup Acute
Epiglotitis” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan
Klinik Senior Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.
Dalam penyelesaian referat ini, penulis mendapat bantuan, bimbingan dan
arahan maka dari itu kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada
dr.H.M. Nazir. H.Z, Sp.A, (K). selaku dosen pembimbing.
Semoga Allah swt membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Penulis
menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, karena kesempurnaan itu
hanya milik Allah. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa mendatang.

Palembang, Oktober 2016

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ..………………………..….…………….... i
KATA PENGANTAR …………………..….……………………..………. ii
DAFTAR ISI ...…………………………………………………....………. iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………………………..……………………. 1
1.2 Maksud dan Tujuan …………………..……………………. 3
1.3 Manfaat ……...…...………………………………..……….. 3
1.3.1 Manfaat Teoritis …………..………………………... 3
1.3.2 Manfaat Praktis …………..……….………………... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Abses Peritonsilar………………………………………….. 5
2.1.1 Anatomi Tonsil……………………………………... 5
2.1.2 Fisiologi Tonsil……………………………………... 9
2.1.3 Definisi Abses Peritonsilar…………………………. 11
2.1.4 Epidemiologi……………………………………….. 11
2.1.5 Etiologi………………………………………........... 12
2.1.6 Patologi……………………………………………... 12
2.1.7 Manifestasi Klinik………………………………….. 13
2.1.8 Diagnosis…………………………………………… 14
2.1.9 Diagnosis Banding…………………………………. 17
2.1.10 Tatalaksana…………………………………………. 17
2.1.11 Komplikasi…………………………………………. 20
2.1.12 Prognosis…………………………………………… 20
2.2 Pseudo-Croup Acute Epiglotitis…………………………… 21
2.2.1 Definisi ………………….…………………………. 21
2.2.2 Epidemiologi……………………………………….. 22
2.2.3 Etiologi………………………………………........... 22
2.2.4 Patogenesis......……………………………………... 23
2.2.5 Manifestasi Klinik………………………………….. 23
2.2.6 Diagnosis…………………………………………… 24
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang…………………………….. 24
2.2.8 Tatalaksana…………………………………………. 26
2.2.9 Komplikasi…………………………………………. 27
2.2.10 Prognosis………………………………………… 27
2.2.11 Beda Pseudocroup dengan croup...………………… 27
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan ……………………………………………....... 28
3.2 Saran ……………………………………………………….. 29
DAFTAR PUSTAKA ………………………………..……………….….. 30
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi respiratori akut (IRA) merupakan penyebab terpenting morbiditas
dan mortalitas pada anak. Yang dimaksud infeksi respiratori adalah mulai dari
infeksi respiratori atas dan adneksanya hingga parenkim paru. pengertian akut
adalah infeksi yang berlangsung kurang dari 14 hari. Infeksi respiratori atas
adalah infeksi primer respiratori di atas laring, sedangkan infeksi laring
kebawah disebut infeksi respiratori bawah.1
Infeksi respiratori atas terdiri dari rhinitis, faringitis, tonsillitis,
rinosinusitis, dan otitis media. Sedangkan infeksi respiratori bawah terdiri atas
epiglottitis, croup (laringotrakeobronkitis), bronchitis, bronkiolitis, dan
pneumonia. Sebagian besar IRA biasanya terbatas pada IRA atas saja, tapi
sekitar 5%-nya melibatkan laring dan respiratori bawah berikutnya, sehingga
berpotensi menjadi serius. 1
Abses peritonsil adalah akumulasi pus lokal di jaringan peritonsil yang
terbentuk sebagai akibat dari tonsilitis supuratif. Abses terbentuk pada
kelompok kelenjar ludah di fosa supratonsilar, yang dikenal sebagai kelenjar
Weber. Sarang akumulasi pus terletak antara kapsul tonsil palatina dan otot-otot
konstriktor faring. Pilar anterior dan posterior, torus tubarius superior, dan sinus
piriformis inferior membentuk ruang potensial peritonsil. Karena terdiri dari
jaringan ikat longgar, infeksi parah pada daerah ini dapat mengakibatkan
pembentukan materi purulen. Peradangan progresif dan pus dapat secara
langsung mengenai palatum, dinding faring lateral, dan, dasar lidah.2
Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling
sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali
pada mereka yang menurun system immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan
obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki
proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan.2 Angka kejadian abses
peritonsil juga tidak dipengaruhi oleh ras. Di Amerika insiden tersebut kadang-
2

kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, kemungkinan hampir
45.000 kasus setiap tahun.3
Abses peritonsil biasanya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut.
Edema akibat inflamasi dapat mengakibatkan kesulitan menelan. Dehidrasi
sekunder sering terjadi akibat pasien menghindari menelan makanan dan cairan.
Perluasan abses dapat menyebabkan peradangan ke dalam kompartemen fasia
yang berdekatan dengan kepala dan leher, sehingga berpotensi menyebabkan
obstruksi jalan napas.2
Sindroma ´croup´ merupakan kumpulan gejala klinik yang ditandai
dengan adanya batuk, suara parau, stridor inspiratoir yang disebabkan obstruksi
saluran napas atas/laring. Pseudocroup adalah penyakit pernapasan akut pada
sistem yang mukosa yang meradang dan bengkak di daerah laring dan pita
suara, kadang-kadang juga trachea dan tabung bronchial. Ungkapan "Pseudo"
croup berarti “menyerupai” croup dan harus dibedakan dengan croup yang
sebenarnya yang merupakan suatu gejala pada diphtheria.1
Croup adalah suatu infeksi laring yang berkembang cepat, menimbulkan
stridor dan obstruksi jalan napas. Walaupun dapat terjadi pada usia berapapun,
bahkan pada dewasa, croup terutama menyerang pada anak di bawah usia enam
tahun.1
Permukaan laringeal dari epiglotis dan daerah tepat di bawah korda
vokalis pada laring mengandung jaringan areolar longgar yang cenderung
membengkak bila meradang. Maka, croup dapat dibedakan menjadi supraglotis
(epiglotitis) akut dan laringitis subglotis akut (pseudo croup). Meskipun
keduanya bersifat akut dan berat, namun epiglotitis cenderung lebih hebat,
seringkali berakibat fatal dalam beberapa jam tanpa terapi. Secara klinis, kedua
penyakitnya tampak serupa dimana pasien gelisah, cemas, stridor, retraksi dan
sianosis. Namun terdapat beberapa perbedaan ringan. Anak dengan epiglotis
cenderung duduk dengan mulut terbuka dan dagu mengarah ke depan, tidak
serak dan cenderung tidak disertai batuk croupy, namun kemungkinan besar
mengalami disfagia. Karena nyeri menelan maka anak cenderung mengiler.1
3

Anak dengan laringitis subglotis akut biasanya serak dengan


batuk croupy yang sangat dan biasanya ingin berbaring.1
Di Indonesia, kasus IRA menempati urutan pertama dalam jumlah pasien
rawat jalan terbanyak. Hal ini menunjukkan angka kesakitan akibat IRA masih
tinggi. Mengingat hal tersebut, maka penulis tertarik untuk menulis referat
tentang abses peritonsilar & pseudo croup acute epiglotitis, yang diharapkan
dari referat ini semua dokter muda yang nantinya akan memegang peranan di
layanan primer sebagai dokter umum mampu untuk memberikan
penatalaksanaan yang efektif dan efisien sehingga angka mortalitas dapat terus
ditekan, selain itu juga diharapkan mampu melakukan upaya pencegahan
sehingga angka morbiditasnya pun bisa menurun.

1.2 Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari referat ini adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan bagi semua dokter muda agar dapat memahami kasus abses
peritonsilar & pseudo croup acute epiglotitis.
2. Diharapkan munculnya pola berpikir kritis bagi semua dokter muda setelah
dilakukan diskusi dengan dosen pembimbing klinik tentang kasus abses
peritonsilar & pseudo croup acute epiglotitis.
3. Diharapkan bagi semua dokter muda agar dapat mengaplikasikan
pemahaman yang didapatkan dalam kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) terutama untuk kasus abses peritonsilar & pseudo croup acute
epiglotitis.

1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
a. Bagi institusi, diharapkan referat ini dapat menambah bahan
referensi dan studi kepustakaan dalam bidang ilmu kesehatan anak
terutama tentang abses peritonsilar & pseudo croup acute
epiglotitis.
4

b. Bagi penulis selanjutnya, diharapkan referat ini dapat dijadikan


landasan untuk penulisan referat selanjutnya.

1.3.2 Manfaat Praktis


a. Bagi dokter muda, diharapkan referat ini dapat membantu dalam
mendiagnosis dan memberikan penatalaksanaan awal kasus abses
peritonsilar & pseudo croup acute epiglotitis pada kegiatan
kepaniteraan klinik senior (KKS).
b. Bagi tenaga kesehatan lainnya, diharapkan referat ini dapat menjadi
bahan masukan untuk lebih meningkatkan mutu pelayanan
terutama dalam memberikan informasi atau edukasi kesehatan
berupa upaya pencegahan kepada pasien dan keluarga terutama
untuk kasus abses peritonsilar & pseudo croup acute epiglotitis
sehingga angka morbiditasnya dapat berkurang.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Abses Peritonsilar


2.1.1 Anatomi Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan
ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya Terdapat tiga
macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil
lingual yang ketiga- tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin
Waldeyer.4

Gambar 1. Anatomi Tonsil

Gambar 2. Cincin Waldeyer 5


6

A. Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di
dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar
anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus).
Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil
mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil
tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya
dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring.
Dibatasi oleh: 4
 Lateral  Muskulus konstriktor faring superior
 Anterior  Muskulus palatoglosus
 Posterior  Muskulus palatofaringeus
 Superior  Palatum mole
 Inferior  Tonsil lingual
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga
melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di
bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam
di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus.
Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh
yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli
sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat germinal.4

Gambar 3. Tonsilla Palatina


7

B. Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior
adalah otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan
batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior.
Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding
faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus glosofaringeal.4

C. Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis
eksterna, yaitu
1. Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya
arteritonsilaris dan arteri palatina asenden
2. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden
3. Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal
4. Arteri faringeal asenden
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis
dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua
daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil
diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden.
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus
dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena
lidah dan pleksus faringeal.4

Gambar 4. Vaskularisasi Tonsil


8

D. Aliran Getah Bening


Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah
muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan
akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh
getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.4

Gambar 5. Aliran limfe kepala dan leher Gambar 6. Persarafan Tonsil

E. Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke
IX (nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine
nerves.4
F. munologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit.
Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan
limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang
matang.7 Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin
(IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan
sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar.7 Sel limfoid yang immunoreaktif
9

pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area
ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada
folikel ilmfoid.7 Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang
diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah
disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu 1) menangkap dan
mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama
produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. 7

2.1.2 Fisiologi Tonsil


Peran imunitas tonsil adalah sebagai pertahanan primer untuk
menginduksi sekresi bahan imun dan mengatur produksi dari
imunoglobulin sekretoris. Peran tonsil mulai aktif antara umur 4-10 tahun
dan akan menurun setelah masa pubertas. Hal ini menjadi alasan fungsi
pertahanan dari tonsil lebih besar pada anak-anak daripada orang dewasa.
Anak-anak mengalami perkembangan daya tahan tubuhnya terhadap
infeksi terjadi pada umur 7 hingga 8 tahun dan tonsil merupakan salah satu
organ imunitas pada anak yang memiliki fungsi imunitas yang luas.8
Berdasarkan penelitian, tonsil mempunyai peranan penting dalam
fase-fase awal kehidupan, terhadap infeksi mukosa nasofaring dari udara
pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bagian bawah. Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa parenkim tonsil mempu
menghasilkan antibodi. Tonsil memegang peranan dalam menghasilkan
IgA, yang menyebabkan jaringan jaringan lokal resisten terhadap
organisme patogen. Sewaktu baru lahir, tonsil secara histologi tidak
mempunyai sentrum germinativum, biasanya ukurannya kecil. Setelah
antibodi dari ibu habis, barulah mulai terjadi pembesaran tonsil dan
adenoid, yang pada permulaan kehidupan masa anak-anak dianggap
normal dan dapat dipakai sebagai indeks aktifitas sistem imun. Pada waktu
pubertas atau sebelum masa pubertas, terjadi kemunduran fungsi tonsil
yang disertai proses involusi. Terdapat dua mekanisme pertahanan, yaitu
spesifik dan non spesifik.8
10

A. Mekanisme Pertahanan Non Spesifik


Mekanisme pertahanan non spesifik berupa lapisan mukosa tonsil
dan kemampuan limfoid untuk menghancurkan mikroorganisme. Pada
beberapa tempat lapisan mukosa ini sangat tipis, sehingga menjadi tempat
yang lemah dalam pertahanan dari masuknya kman ke dalam jaringan
tonsil. Jika kuman dapat masuk ke dalam lapisan mukosa, maka kuman ini
dapat ditangkap oleh sel fagosit. Sebelumnya kuman akan mengalami
opsonisasi sehingga menimbulkan kepekaan bakteri terhadap fagosit.
Setelah terjadi proses opsonisasi maka sel fagosit akan bergerak
mengelilingi bakteri dan memakannya dengan cara memasukkannya ke
dalam kantong yang disebut fagosom. Proses selanjutnya adalah digesti
dan mematikan bakteri. Mekanismenya belum diketahui pasti, tetapi
diduga terjadi peningkatan konsumsi oksigen yang diperlukan untuk
pembentukan superoksidase yang akan membentuk H2O2 yang bersifat
bakterisidal. H2O2 yang terbentuk akan masuk ke dalam fagosom atau
berdifusi di sekitarnya, kemudian membunuh bakteri dengan proses
oksidasi. Di dalam sel fagosit terdapat granula lisosom. Bila fagosit kontak
dengan bakteri maka membran lisosom akan mengalami ruptur dan enzim
hidrolitiknya mengalir dalam fagosom membentuk rongga digestif, yang
selanjutnya akan menghancurkan bakteri dengan proses digestif. 8

B. Mekanisme Pertahanan Spesifik


Merupakan mekanisme pertahanan yang terpenting dalam
pertahanan tubuh terhadap udara pernafasan sebelum masuk ke dalam
saluran nafas bawah. Tonsil dapat memproduksi IgA yang akan
menyebabkan resistensi jaringan lokal terhadap organisme patogen. Di
samping itu tonsil dan adenoid juga dapat menghasilkan IgE yang
berfungsi untuk mengikat sel basofil dan sel mastosit, dimana sel-sel
tersebut mengandung granula yang berisi mediator vasoaktif, yaitu
histamin. Bila ada alergen maka alergen itu akan bereaksi dengan IgE,
11

sehingga permukaan sel membrannya akan terangsang dan terjadilah


proses degranulasi. Proses ini menyebabkan keluarnya histamin, sehingga
timbul reaksi hipersensitifitas tipe 1, yaitu atopi, anafilaksis, urtikaria, dan
angioedema. Dengan teknik immunoperoksidase, dapat diketahui bahwa
IgE dihasilkan dari plasma sel, terutama dari epitel yang menutupi
permukaan tonsil, adenoid, dan kripta tonsil. Mekanisme kerja IgA adalah
mencegah substansi masuk ke dalam proses immunologi, sehingga dalam
proses neutralisasi dari infeksi virus, IgA mencegah terjadinya penyakit
autoimun. Oleh karena itu IgA merupakan barrier untuk mencegah reaksi
imunologi serta untuk menghambat proses bakteriolisis.8

2.1.3 Definisi Abses Peritonsilar


Abses peritonsil sering disebut sebagai Peritonsillar Abscess (PTA)
atau Quinsy adalah suatu rongga yang berisi nanah didalam jaringan
peritonsil yang terbentuk sebagai hasil dari tonsillitis supuratif.2

Gambar 7. Dari kiri ke kanan : Abses peritonsil dextra, Abses peritonsil sinistra

2.1.4 Epidemiologi
Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi
pada bagian kepala dan leher. Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-
60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40. Pada anak-anak
jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi
12

infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan nafas yang signifikan pada anak-
anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan
perempuan. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus
per 100.000 orang per tahun, kemungkinan hampir 45.000 kasus setiap
tahun.3

2.1.5 Etiologi
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat dari komplikasi tonsilitis akut
atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas
tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab
tonsilitis.11 Abses peritonsil disebabkan oleh organisme yang bersifat
aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering
menyebabkan abses peritonsil adalah Streptococcus pyogenes (Group A
Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus
influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah
Fusobacterium, Prevotella, Porphyromonas, dan Peptostreptococcus sp.
Untuk kebanyakan abses peritonsil diduga disebabkan karena kombinasi
antara organisme aerobik dan anaerobik.2 Sedangkan virus yang dapat
menyebabkan abses peritonsil antara lain Epstein-Barr, adenovirus,
influenza A dan B, herpes simplex, dan parainfluenza.

2.1.6 Patologi
Patologi abses peritonsil belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori
yang paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode
tonsilitis eksudatif pertama menjadi peritonsilitis dan kemudian terjadi
pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess formation).3
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat
longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil
tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole
membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior,
namun jarang. Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain
13

pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses


berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak dan
berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil akan mendorong
tonsil ke tengah, depan, bawah, dan uvula bengkak terdorong ke sisi kontra
lateral.11
Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada m. pterigoid interna, sehingga timbul trismus.
Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.11
Selain itu, abses peritonsil terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat
tonsilitis kronis atau berulang (recurrent) sebelumnya. Abses peritonsil
dapat juga merupakan suatu gambaran (presentation) dari infeksi virus
Epstein-Barr (mononucleosis).14

2.1.7 Manifestasi Klinik


Gejala klasik dimulai 3-5 hari, waktu dari onset gejala sampai
terjadinya abses sekitar 2-8 hari. Abses peritonsil akan menggeser kutub
superior tonsil ke arah garis tengah dan dapat diketahui derajat
pembengkakan yang ditimbulkan di palatum mole. Terdapat riwayat
faringitis akut, tonsilitis, dan rasa tidak nyaman pada tenggorokan atau
faring unilateral yang semakin memburuk. Kebanyakan pasien menderita
nyeri hebat.15
Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain demam, disfagia, dan
odinofagia yang menyolok dan spontan. Hot potato voice, mengunyah
terasa sakit karena m. Masseter menekan tonsil yang meradang, sakit
kepala, rasa lemah, dehidrasi, nyeri telinga (otalgia) ipsilateral, mulut
berbau (foetor ex orae), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore),
banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia) karena oedem
palatum molle yang terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan
epiglotis atau oedem perifokalis, dan kadang-kadang sukar membuka
mulut (trismus) yang bervariasi, trismus menandakan adanya inflamasi
dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna, sehingga menimbulkan
14

spasme muskulus tersebut. Keparahan dan progresivitasnya ditunjukkan


dari trismus. Pernafasan terganggu biasanya akibat pembengkakan
mukosa dan submukosa faring. Sesak akibat perluasan edema ke jaringan
laring jarang terjadi. Bila kedua tonsil terinfeksi maka gejala sesak nafas
lebih berat dan lebih menakutkan. Akibat limfadenopati dan inflamasi otot,
pasien sering mengeluhkan nyeri leher dan terbatasnya gerakan leher
(torticolis). 15

2.1.8 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan
diagnosis abses peritonsil. Adanya riwayat pasien mengalami nyeri
pada tenggorokan adalah salah satu yang mendukung terjadinya abses
peritonsil. Riwayat adanya faringitis akut yang disertai tonsilitis dan
rasa kurang nyaman pada pharingeal unilateral.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri
faring. Inspeksi terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit
karena ketidakmampuan pasien membuka mulut. Didapatkan
pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan
kavum oral didapatkan hiperemis. Tonsil hiperemis, eksudasi, mungkin
banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan, dan bawah. Uvula
bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Abses peritonsil biasanya
unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil yang terkena, di fossa
supratonsiler. Mukosa di lipatan supratonsiler tampak pucat dan bahkan
seperti bintil-bintil kecil. Diagnosis jarang diragukan jika pemeriksa
melihat pembengkakan peritonsilaris yang luas, mendorong uvula
melewati garis tengah, dengan edema dari palatum mole dan
penonjolan jaringan dari garis tengah.2 Asimetri palatum mole, tampak
15

membengkak dan menonjol ke depan, serta pada palpasi palatum mole


teraba fluktuasi.
3. Pemeriksaan Penunjang 6
Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan
untuk penderita yang mengalami gangguan pernafasan. Gold standart
pemeriksaan yaitu dengan melakukan aspirasi jarum (needle
aspration). Tempat yang akan dilakukan aspirasi di anestesi dengan
menggunakan lidokain atau epinefrin dengan menggunakan jarum
berukuran 16-18 yang biasa menempel pada syringe berukuran 10 cc.
Aspirasi material yang purulen merupakan tanda khas, dan material
dapat dikirim untuk dibuat biakannya sehingga dapat diketahui
organisme penyebab infeksi demi kepentingan terapi antibiotika. Pada
penderita abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan:
 Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar
elektrolit (electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood
cultures).
 Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien
dengan tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika
hasilnya positif, penderita memerlukan evaluasi/penilaian
hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada
penderita dengan hepatomegaly.
 Throat culture atau throat swab and culture diperlukan untuk
identifikasi organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan
untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah
timbulnya resistensi antibiotik.
 Plain radiographs adalah foto pandangan jaringan lunak lateral
(Lateral soft tissue views) dari nasopharyng dan oropharyng dapat
membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis abses
retropharyngeal.
16

Gambar 8. Foto lateral soft tissue dengan gambaran abses peritonsil

 Computerized tomography (CT scan) biasanya tampak kumpulan


cairan hypodense di apex tonsil yang terinfeksi menandakan adanya
cairan pada tonsil yang terkena disamping itu juga dapat dilihat
pembesaran yang asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini dapat
membantu untuk rencana operasi.

Gambar 9. CT Scan dari Abses peritonsil dextra

 Peripheral Rim Enhancement Ultrasound, contohnya: intraoral


ultrasonography. Intraoral ultrasonografi mempunyai sensifitas 95,2 % dan
spesifitas 78,5 %. Transcutaneous ultrasonografi mempunyai sensifitas
17

80% dan spesifisitas 92,8 %. merupakan teknik yang simple dan noninvasif
dan dapat membantu dalam membedakan antara selulitis dan awal dari
abses. Pemeriksaan ini juga bias menentukan pilihan yang lebih terarah
sebelum melakukan operasi dan drainase secara pasti.

Gambar 10. Ultrasonografi dari abses peritonsil

2.1.9 Diagnosis Banding


1. Abses retrofaring
2. Abses parafaring
3. Abses submandibula
4. Angina ludovici
Abses peritonsil dapat di diagnosis banding dengan penyakit-penyakit
abses leher dalam lainnya yang disebutkan diatas. Hal ini karena pada semua
penyakit abses leher dalam, nyeri tenggorok, demam, serta terbatasnya
gerakan membuka mulut merupakan keluhan yang paling umum. Untuk
membedakan abses peritonsil dengan penyakit leher dalam lainnya,
diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat.11

2.1.10 Tatalaksana
Beberapa macam terapi yang selama ini dikenal adalah :
a) Pemberian antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
b) Pungsi dan aspirasi disertai antibiotik parenteral.
18

c) Insisi dan mengeluarkan nanah disertai pemberian antibiotika secara


parenteral atau peroral.
d) Segera tonsilektomi disertai pemberian antibiotika parenteral.
e) Pemberian steroid.
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat
simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres
dingin pada leher. Pemilihan antibiotik yang tepat tergantung dari hasil
kultur mikroorganisme pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan drug of
chioce pada abses peritonsil dan efektif pada 98% kasus jika
dikombinasikan dengan metronidazole. Dosis untuk penisilin pada dewasa
adalah 600 mg IV tiap 6 jam selama 12-24 jam, dan anak 12.500-25.000
U/Kg tiap 6 jam. Metronidazole dosis awal untuk dewasa 15 mg/kg dan
dosis penjagaan 6 jam setelah dosis awal dengan infus 7,5 mg/kg selama 1
jam diberikan selama 6-8 jam dan tidak boleh lebih dari 4 gr/hari.
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses,
kemudian di insisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah
yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang
menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral
incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses,
biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang
sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien.

Gambar 11. Insisi Abses Peritonsil


19

Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan


analgesia lokal di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan untuk
operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah
drainase abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-6
minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada
umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu
sesudah drainase abses. 13
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita
abses peritonsil berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan
sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk
kambuh. Angka kekambuhan yang mengikuti episode pertama abses
peritonsiler berkisar antara 0% sampai 22%. Sampai saat ini belum
ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil.
Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian
mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian
lagi menganjurkan tonsilektomi segera.9

Gambar 12. Tonsilektomi

Penggunaan steroid masih kontroversial. Penelitian terbaru yang


dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal
intravenous dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara
signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours hospitalized),
20

nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan


kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral. 15

2.1.11 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah: 9
 Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru, atau
piemia.
 Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum
menimbulkan mediastinitis.
 Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan
thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.
 Sekuele post streptokokus seperti glomerulonefritis dan demam
rheumatik apabila bakteri penyebab infeksi adalah Streptococcus Group
A.
 Kematian walaupun jarang dapat terjadi akibat perdarahan atau nekrosis
septik ke selubung karotis atau carotid sheath.
 Peritonsilitis kronis dengan aliran pus yang berjeda.
 Akibat tindakan insisi pada abses, terjadi perdarahan pada arteri
supratonsilar.
Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis abses
peritonsil diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan
progresi penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak
dini.

2.1.12 Prognosis
Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan
kematian kecuali jika terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan
menyebabkan aspirasi ke paru. Selain itu komplikasi ke intrakranial juga
dapat membahayakan nyawa pasien. 13
21

Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan


tonsilektomi, maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut
peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi
pada saat operasi.13

2.2 Pseudo Croup Acute Epiglotitis


2.2.1 Definisi
Pseudo croup adalah penyakit sistemik respiratorik acute yang
menyerang mukosa dan menyebabkan inflamasi dan edema pada daerah
larynx dan vocal cord, terkadang juga mengenai trachea dan cabang
bronkus. Terbentuknya “Pseudo” croup yang artinya Kruup “sangat
berbahaya” dan ini membedakannya dengan “real” croup seperti yang
terjadi pada penyakit diphteria. Saluran larynx menjadi sempit akibat
edema, dyspneu bisa muncul cepat dengan typical suara serak, kasar, seperti
batuk croup dan bisa saja mengancam jiwa terutama pada anak – anak.15
Karakteristik pseudo croup adalah batuk yang mengonggong, suara
serak, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas.
Pada pseudo croup ini terdapat suatu kondisi pernafasan yang
biasanya dipicu oleh infeksi virus akut saluran napas bagian atas. Infeksi
menyebabkan pembengkakan di dalam tenggorokan, yang mengganggu pernapasan
normal. Selain itu juga terjadi suatu pembengkakan di sekitar pita suara,
terjadi biasanya secara umum pada bayi dan anak-anak dan dapat memiliki
berbagai penyebab.15
Berdasarkan derajat kegawatan, dibagi menjadi 4 kategori:
1. Ringan: ditandai dengan adanya batukkeras menggonggong yang kadang
– kadang muncul, stridor yang tidak terdengar ketika pasien beristirahat/
tidak beraktivitas, dan retraksi ringan dinding dada
2. Sedang: ditandai dengan batuk yang mengonggong yang sering timbul,
stridor yang mudah didengar ketika pasien beristirahat/tidak beraktivitas,
retraksi dinding dada yang sedikit terlihat, tetapi tidak ada gawat napas.
22

3. Berat: ditandai dengan batuk mengonggong yang sering timbul, stridor


inspirasi yang terdengar jelas ketika pasien beristirahat, dan kadang –
kadang disertai dengan stridor ekspirasi, retraksi dinding dada, dan gawat
napas
4. Gagal napas mengancam: batuk kadang – kadang tidak jelas, terdengar
stridor (kadang – kadang sangat jelas ketika pasien beristirahat),
gangguan kesadaran, dan letargi.12

2.2.2 Epidemiologi
Pseudo Croup biasanya terjadi pada anak usia 6 bulan-6 tahun, dengan
puncaknya pada usia 1-2 tahun. Akan tetapi, croup juga dapat terjadi pada
anak berusia 3 bulan dan di atas 15 tahun meskipun angka prevalensi untuk
kejadian ini cukup kecil. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki
daripada anak perempuan, dengan rasio 3:2. Angka kejadiannya meningkat
pada musim dingin dan musim gugur pada negara-negara sub-tropis
sedangkan pada negara tropis seperti Indonesia angka kejadian cukup tinggi
pada musim hujan, tetapi penyakit ini tetap dapat terjadi sepanjang tahun.
Pasien croup merupakan 15% dari seluruh pasien dengan infeksi respiratori yang
berkunjung ke dokter. Kekambuhan sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan
berkurang sejalan dengan pematangan struktur anatomi saluran pernapasan
atas. Hampir 15% pasien pseudo croup mempunyai keluarga dengan riwayat
penyakit yang sama.10

2.2.3 Etiologi
Virus adalah penyebab tersering pseudo croup (sekitar 60% kasus)
adalah Human Parainfluenza virus type 1 (HPIV-1), HPIV- 2,3, dan 4, virus
influenza A dan B, Adenovirus, Respiratory Synctial virus (RSV), dan virus
campak. Meskipun jarang, pernah juga ditemukan Mycoplasma
pneumonia.10
23

2.2.4 Patogenesis
Seperti infeksi respiratori pada umumnya, infeksi virus pada
laringotrakeitis, laringotrakeobronkitis, dan laringotrakeobronkopneumonia
dimulai dari nasofaring dan menyebar ke epitelium trakea dan laring.
Peradangan difus, eritema, dan edema yang terjadi pada dinding trakea
menyebabkan terganggunya mobilitas pita suara serta area subglotis
mengalami iritasi. Hal ini menyebabkan suara pasien menjadi serak (parau).
Aliran udara yang melewati saluran respiratori atas mengalami turbulensi
sehingga menimbulkan stridor, diikuti dengan retraksi dinding dada (selama
inspirasi). Pergerakan dinding dada dan abdomen yang tidak teratur
menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea.
Pada keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan henti napas.14

2.2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis biasanya didahului dengan demam yang tidak
begitu tinggi selama 12 – 72 jam, hidung berair, nyeri menelan, dan batuk
ringan. Kondisi ini akan berkembang menjadi batuk nyaring, suara menjadi
parau dan kasar. Gejala sistemik yang menyertai seperti demam, malaise.
Bila keadaan berat dapat terjadi sesak napas, stridor inspiratorik yang berat,
retraksi, dan anak tampak gelisah, dan akan bertambah berat pada malam
hari. Gejala puncak terjadi pada 24 jam pertama hingga 48 jam. Biasanya
perbaikan akan tampak dalam waktu satu minggu. Anak akan sering
menangis, rewel, dan akan merasa nyaman jika duduk di tempat tidur atau
digendong.14
24

Tabel 1. Perbandingan antara viral croup dan spasmodic croup:


Karakteristik Viral croup Spasmodic croup
Usia 6 bulan – 6 tahun 6 bulan – 6 tahun
Gejala prodromal ada tidak jelas
Stridor ada ada
Batuk sepanjang waktu terutama malam hari
Demam ada (tinggi) bisa ada, tidak tinggi
Lama sakit 2 – 7 hari 2 – 4 jam
Riwayat keluarga tidak ada ada
Predisposisi asma tidak ada ada

2.2.6 Diagnosis
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul.
Pada pemeriksaan fisis ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan
faring, dan frekuensi napas yang sedikit meningkat. Kondisi pasien
bervariasi sesuai dengan derajat stress pernapasan yang diderita.
Pemeriksaan langsung area laring pada pasien croup tidak terlalu
diperlukan. Akan tetapi, bila diduga terdapat epiglotis (serangan akut, gawat
napas/respiratory distress, disfagia, drooling), maka pemeriksaan tersebut
sangat diperlukan.11

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium dan radiologi tidak dibutuhkan dalam
menegakkan diagnosis croup. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan
presentasi klinis dan kombinasi dengan pemeriksaan riwayat penyakit yang
teliti serta pemeriksaan fisik. Jika ingin dilakukan pemeriksaan
laboratorium, hal ini dapat dibenarkan dan harus ditunda saat pasien dalam
distres pernapasan. 1
Pemeriksaan imaging tidak diperlukan untuk pasien dengan riwayat
penyakit yang tipikal yang berespon terhadap pengobatan, tetapi
bagaimanapun juga, foto lateral dan anteroposterior (AP) dari jaringan lunak
25

leher dapat membantu dalam mengklarifikasi diagnosis pada anak dengan


gejala serupa croup. 1
Pada foto leher lateral, secara diagnostik dapat membantu,
menunjukkan daerah subglotis yang menyempit serta daerah epiglotis yang
normal.
Pemeriksaan saturasi dengan pulse oxymetre diindikasikan untuk
anak-anak dengan croup derajat sedang sampai berat. Terkadang, anak
dengan gejala croup bukan derajat beratpun memiliki saturasi oksigen yang
rendah, berhubungan dengan keterlibatan intrapulmoner.1
Kultur virus atau pemeriksaan antigen tidak termasuk pemeriksaan
rutin, khususnya selama periode epidemik.
Bila ditemukan peningkatan leukosit > 20.000/mm3 yang didominasi
oleh PMN, kemungkinan telah terjadi superinfeksi, misalnya epiglotitis.1

Pemeriksaan Radiologis dan CT Scan


Pada pemeriksaan radiologis leher posisi postero anterior ditemukan
gambaran udara stepple sign (seperti menara) yang menunjukkan adanya
penyempitan kolumna subglotis. Gambaran radiologis seperti ini hanya
dijumpai pada 50% kasus.1
Melalui pemeriksaan radiologis, croup dapat dibedakan dengan
berbagai diagnosis bandingnya. Gambaran foto jaringan lunak (intensitas
rendah) saluran napas atas dapat dijumpai sebagai berikut:1
1. Pada trakeitis bakterial, tampak gambaran membran trakea yang
compang camping
2. Pada epiglotis, tampak gambaran epiglotis yang menebal
3. Pada abses retrofaringeal, tampak gambaran posterior faring yang
menonjol.
Pemeriksaan CT-Scan dapat lebih jelas menggambarkan penyebab
obstruksi pada pasien dengan keadaan klinis yang lebih berat, seperti adanya
stridor sejak usia di bawah enam bulan atau stridor pada saat aktivitas.
26

Selain itu, pemeriksaan ini juga dilakukan bila pada gambaran radiologis
dicurigai adanya massa.1

2.2.8 Tatalaksana
Tatalaksana utama bagi pasien croup adalah mengatasi obstruksi
jalan napas.
1. Terapi inhalasi
2. Epinephrin
Nebulisasi epinephrin sebaiknya diberikan kepada anak dengan
sindrom croup sedang – berat yang disertai dengan stridor saat istirahat
dan membutuhkan intubasi, serta pada anak dengan retraksi dan stridor
yang tidak mengalami perbaikan setelah diberikan terapi uap dingin.
Efek terapi nebulisasi epinephrin ini timbul dalam waktu 30 menit dan
bertahan selama 2 jam.10
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema pada mukosa laring melalui
mekanisme antiradang.
Deksametason diberikan dengan dosis 0,6 mg/kgBB per
oral/intramuskular sebanyak satu kali, dan dapat dihitung dalam 6 – 24
jam. Selain deksametason dapat juga diberikan prednison atau
prednisolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB.10
4. Intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakeal dilakukan pada pasien sindrom croup yang berat,
yang tidak responsif terhadap terapi lain. Intubasi endotrakeal
merupakan terapi alternatif selain trakeostomi untuk mengatasi
obstruksi jalan napas.10
27

2.2.9 Komplikasi
Pada 15% kasus dilaporkan terjadi komplikasi, misalnya otitis media,
dehidrasi, dan pneumonia (jarang terjadi). Sebagian kecil pasien
memerlukan tindakan intubasi. Gagal jantung dan gagal napas dapat terjadi
pada pasien yang perawatan dan pengobatannya tidak adekuat.1

2.2.10 Prognosis
Pseudo croup biasanya bersifat self limited dengan prognosis yang
baik.12

2.2.11 Beda Pseudocroup dengan Croup


Pseudocroup adalah penyakit pernapasan akut pada sistem yang
mukosa yang meradang dan bengkak di daerah laring dan pita suara,
kadang-kadang juga trachea dan tabung bronchial. Ungkapan "Pseudo"
croup berarti “menyerupai” croup dan harus dibedakan dengan croup yang
sebenarnya yang merupakan suatu gejala pada diphtheria. Pada
pseudocroup celah laring menjadi sangat sempit, dyspnea dapat timbul yang
memicu suara serak yang kasar dan khas, mirip dengan serangan batuk
croup dan yang bisa mengancam hidup.12
Sebuah serangan croup bisa tiba-tiba muncul atau terdapat pilek sudah
beberapa hari dengan masuk angin dan sakit tenggorokan, sebagian besar
tanpa demam tinggi. Terutama bayi yang lebih tua menderita serangan
pseudocroup. Maksimum frekuensi penyakit ini pada usia antara 18 bulan
dan lima tahun. Anak-anak sekolah kesempatan-sekutu juga prihatin.
Dengan anak yang lebih tua datang untuk mengancam jiwa masalah
pernapasan lebih jarang sejak laring dan trakea yang sudah meregang lebih
kuat. Serangan Pseudocroup muncul di musim gugur dan musim dingin
lebih sering dari pada musim semi dan musim panas. Dilihat statistik anak
laki-laki yang bersangkutan lebih sering daripada perempuan.12
28

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada
bagian kepala dan leher akibat dari kolonisasi bakteri aerob dan anaerob di
daerah peritonsiler. Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi
tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di
kutub atas tonsil.
2. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah
Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus),
Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme
anaerob yang berperan adalah Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium,
dan Peptostreptococcus sp.
3. Penelitian yang dilakukan merekomendasikan penisilin sebagai agen lini
pertama. Semua specimen harus diperiksa untuk kultur sensitifitas terhadap
antibiotik. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan
obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres
dingin pada leher. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah
abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Indikasi-indikasi
untuk tonsilektomi segera diantaranya adalah obstruksi jalan napas atas,
sepsis dengan adenitis servikalis atau abses leher bagian dalam, riwayat
abses peritonsil sebelumnya, riwayat faringitis eksudatif yang berulang.
4. Pseudo croup adalah penyakit sistemik respiratorik acute yang menyerang
mukosa dan menyebabkan inflamasi dan edema pada daerah larynx dan
vocal cord, terkadang juga mengenai trachea dan cabang bronkus.
5. Pada pseudo croup ini terdapat suatu kondisi pernafasan yang biasanya
dipicu oleh infeksi virus akut saluran napas bagian atas
29

6. Virus adalah penyebab tersering pseudo croup (sekitar 60% kasus)


adalah Human Parainfluenza virus type 1 (HPIV-1), HPIV- 2,3, dan 4, virus
influenza A dan B, Adenovirus, Respiratory Synctial virus (RSV), dan virus
campak. Meskipun jarang, pernah juga ditemukan Mycoplasma pneumonia.
7. Tatalaksana utama bagi pasien croup adalah mengatasi obstruksi jalan
napas.

3.2 Saran
Saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut:
1. Diagnosis dini sangat penting mengingat dapat terjadi beberapa komplikasi
yang mengancam jiwa. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan
progresi penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak
dini.
2. Bagi dokter muda, aplikasikan pemahaman mengenai abses peritonsilar dan
pseudo-croup acute epiglotitis ini agar ketika menemukan kasus tersebut
pada pelayanan kesehatan tingkat pertama dapat mendiagnosis dan
melakukan rujukan kepada dokter spesialis yang berkompeten.
30

DAFTAR PUSTAKA

1. Roni N., Rina T., dan Amalia S. 2013. Infeksi Respiratori Akut. Dalam: Nastiri
NR. dkk. (Editor), Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia.

2. Fachruddin, Darnila. 2008. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi III Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

3. Behrman, Kliegman dan Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak: Abses peritonsil
(edisi ke-15 volume 2). Terjemahkan oleh: Samik Wahab. EGC, Jakarta,
Indonesia.

4. Snell Richard. 2006. Anatomi Klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi 6.


Jakarta : EGC. Hal: 792-812.

5. Budapest Student. The Waldeyer’s Ring: (http://www.tulip.ccny.cuny.edu)


Diakses 25 Oktober 2016

6. Hermani, Bambang dan Soerjadi Kartosoediro. 2006. Buku Ajar Telinga


Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Edisi ke-5. Jakarta: FKUI. Hal: 190-195

7. Eroschenko. 2012. Atlas Histologi Di Fiore Dengan Korelasi Fungsional. Edisi


9. Terjemahkan oleh: Anggraini, D., Sikumbang, T .Jakarta: EGC.

8. Sherwood Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Jakarta: EGC

9. Wanri, A. 2007. Tonsilektomi. Palembang: Departemen Telinga, Hidung Dan


Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

10. Wiatrak, B.J., Woolley, A.L. 2005. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease
dalam Cummings Otolaryngology – Head & Neck Surgery. 4th Edition. Elsevier
Mosby Inc.

11. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan:
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi IV. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
31

12. Eibling, D.E. 2003. The Oral Cavity, Pharynx and Esophagus dalam Essential
Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8th Edition. New York: McGraw Hill
Medical Publishing Division.

13. Hermani, B., Fachrudin, D., Hutauruk, S.M., Riyanto, B.U., Susilo, Nazar, H.N.
2004. Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Jakarta: Health Technology
Assessment (HTA) Indonesia.

14. Adams GL, Boies LR, Higler PA. 2012. BOIES: Buku Ajar Penyakit THT.
Edisi IV. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

15. Kartosoediro S, Rusmarjono. 2007. Abses Leher Dalam. Edisi VI. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai