Anda di halaman 1dari 38

i

ASUHAN KEBIDANAN REMAJA


PADA Nn. T USIA 13 TAHUN DI DESA CILAYUNG

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna menyelesaikan Kegiatan Internship I
Diploma IV Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

HILDA ISLAMIATI
NPM: 130104140029

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM DIPLOMA IV KEBIDANAN
SUMEDANG
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahNya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “ Asuhan Kebidanan Remaja pada Nn. T usia 13 tahun di Desa Cilayung
” dengan lancar dan tepat waktu.

Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas Internship I dan bertujuan


untuk dapat mengetahui dan memahami mengenai asuhan kebidanan pada remaja.

Saya menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna
karena kurangnya pengalaman, pengetahuan, dan terbatasnya referensi yang saya
dapatkan. Oleh karena itu, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas
kesalahan maupun kekurangan yang terdapat dalam makalah ini. Saya akan
menerima dengan senang hati masukan-masukan, kritik serta saran yang
membangun untuk penyempurnaan makalah ini.

Akhir kata, saya berharap semoga makalah ini bermanfaat, menambah


wawasan, dan dapat digunakan sebagai pembelajaran bagi kita semua terutama
bagi saya.

Bandung, Januari 2015

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i


DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULAN ..................................................................................... 1
1.1.Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2.Tujuan ........................................................................................................ 1
1.2.1. Tujuan Umum................................................................................... 1
2.2.2. Tujuan Khusus .................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN TEORI ............................................................................. 3
2.1 Karakteristik Remaja ................................................................................ 3
2.1.1 Pengaruh Teman Sebaya ..................................................................... 5
2.1.2 Pengaruh Orang Tua .......................................................................... 7
2.2 Tahap Perkembangan Remaja.................................................................. 8
2.3 Perilaku Seksual Pada Remaja ................................................................ 9
2.4 Reproduksi Remaja................................................................................ 12
2.5 Sumber Informasi Kesehatan Reproduksi ............................................. 13
2.6 Sikap Remaja Terhadap Kesehatan Reproduksi .................................... 14
2.7 Pendidikan Seksual Pada Remaja .......................................................... 14
2.7.1 Tujuan Pendidikan Seksual Pada Remaja ......................................... 20
2.7.2 Manfaat Pendidikan Seksual Pada Remaja ..................................... 22
BAB III TINJAUAN KASUS ......................................................................... 25
3.1 Pengkajian pertama ............................................................................... 25
3.2 Pengkajian kedua .................................................................................... 27
3.3 Pengkajian ketiga ................................................................................... 29
BAB IV PEMBAHASAN................................................................................ 32
BAB V PENUTUP ........................................................................................... 34
5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 34
5.2 Saran ....................................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting
dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis..
Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih lagi mengingat
remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, hal tersebut akan sangat
berbahaya bagi perkembangan jiwa remaja bila ia tidak memiliki pengetahuan dan
informasi yang tepat.

Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar remaja tidak mengetahui dampak


dari perilaku seksual yang mereka lakukan, seringkali remaja sangat tidak matang
untuk melakukan hubungan seksual terlebih lagi jika harus menanggung resiko
dari hubungan seksual tersebut. Remaja yang hamil di luar nikah, aborsi, penyakit
kelamin adalah contoh dari beberapa kenyataan yang terjadi pada remaja sebagai
akibat pemahaman yang keliru mengenai seksualitas
Pemberian penerangan dan pengetahuan masalah seksualitas pada anak dan
remaja harus ditingkatkan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan
membahayakan bagi anak dan remaja sebagai generasi penerus bangsa.

1.2.Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari studi kasus ini adalah untuk memahami dan
memperoleh gambaran dalam melakukan asuhan kebidanan remaja
secara komprehensif pada Nn. T
2.2.2. Tujuan Khusus
1. Mengumpulkan data dasar pada Nn. T
2. Menginterpretasi data dasar pada Nn. T
3. Menentukan masalah potensial pada Nn. T
4. Menentukan tindakan segera pada Nn. T

1
2

5. Merencanakan asuhan yang akan dilakukan pada Nn. T


6. Melaksanakan asuhan yang akan diberikan pada Nn. T
7. Mengevaluasi
3

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Karakteristik Remaja


Karakteristik pertumbuhan dan perkembangan remaja yang mencakup
perubahan transisi biologis, transisi kognitif, dan transisi sosial akan dipaparkan di
bawah ini:
1) Transisi Biologis
Menurut Santrock (2003: 91) perubahan fisik yang terjadi pada remaja
terlihat nampak pada saat masa pubertas yaitu meningkatnya tinggi dan berat
badan serta kematangan sosial. Diantara perubahan fisik itu, yang terbesar
pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan
menjadi semakin panjang dan tinggi). Selanjutnya, mulai berfungsinya alat-alat
reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan
tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh (Sarlito Wirawan Sarwono, 2006: 52).
Selanjutnya, Menurut Muss (Sunarto & Agung Hartono, 2002: 79)
menguraikan bahwa perubahan fisik yang terjadi pada anak perempuan yaitu;
pertumbuhan tulang-tulang, badan menjadi tinggi, anggota-anggota badan menjadi
panjang, tumbuh payudara. Tumbuh bulu yang halus berwarna gelap di kemaluan,
mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimum setiap tahunnya, bulu
kemaluan menjadi kriting, menstruasi atau haid, tumbuh bulu-bulu ketiak.
Sedangkan pada anak laki-laki peubahan yang terjadi antara lain;
pertumbuhan tulang-tulang, testis (buah pelir) membesar, tumbuh bulu kemaluan
yang halus, lurus, dan berwarna gelap, awal perubahan suara, ejakulasi (keluarnya
air mani), bulu kemaluan menjadi keriting, pertumbuhan tinggi badan mencapai
tingkat maksimum setiap tahunnya, tumbuh rambut-rambut halus diwajaah
(kumis, jenggot), tumbuh bulu ketiak, akhir perubahan suara, rambut-rambut
diwajah bertambah tebal dan gelap, dan tumbuh bulu dada.
Pada dasarnya perubahan fisik remaja disebabkan oleh kelenjar pituitary dan
kelenjar hypothalamus. Kedua kelenjar itu masing-masing menyebabkan
4

terjadinya pertumbuhan ukuran tubuh dan merangsang aktifitas serta pertumbuhan


alat kelamin utama dan kedua pada remaja (Sunarto & Agung Hartono, 2002: 94)
2) Transisi Kognitif
Menurut Piaget (Santrock, 2002: 15) pemikiran operasional formal
berlangsung antara usia 11 sampai 15 tahun. Pemikiran operasional formal lebih
abstrak, idealis, dan logis daripada pemikiran operasional konkret. Piaget
menekankan bahwa bahwa remaja terdorong untuk memahami dunianya karena
tindakan yang dilakukannya penyesuaian diri biologis. Secara lebih lebih nyata
mereka mengaitkan suatu gagasan dengan gagasan lain. Mereka bukan hanya
mengorganisasikan pengamatan dan pengalaman akan tetapi juga menyesuaikan
cara berfikir mereka untuk menyertakan gagasan baru karena informasi tambahan
membuat pemahaman lebih mendalam.
Menurut Piaget (Santrock, 2003: 110) secara lebih nyata pemikiran
opersional formal bersifat lebih abstrak, idealistis dan logis. Remaja berpikir lebih
abstrak dibandingkan dengan anak-anak misalnya dapat menyelesaikan persamaan
aljabar abstrak. Remaja juga lebih idealistis dalam berpikir seperti memikirkan
karakteristik ideal dari diri sendiri, orang lain dan dunia. Remaja berfikir secara
logis yang mulai berpikir seperti ilmuwan, menyusun berbagai rencana untuk
memecahkan masalah dan secara sistematis menguji cara pemecahan yang
terpikirkan.
Dalam perkembangan kognitif, remaja tidak terlepas dari lingkungan sosial.
Hal ini menekankan pentingnya interaksi sosial dan budaya dalam perkembangan
kognitif remaja
3) Transisi Sosial
Santrock (2003: 24) mengungkapkan bahwa pada transisi sosial remaja
mengalami perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain yaitu dalam
emosi, dalam kepribadian, dan dalam peran dari konteks sosial dalam
perkembangan. Membantah orang tua, serangan agresif terhadap teman sebaya,
perkembangan sikap asertif, kebahagiaan remaja dalam peristiwa tertentu serta
peran gender dalam masyarakat merefleksikan peran proses sosial-emosional
dalam perkembangan remaja. John Flavell (Santrock, 2003: 125) juga
5

menyebutkan bahwa kemampuan remaja untuk memantau kognisi sosial mereka


secara efektif merupakan petunjuk penting mengenai adanya kematangan dan
kompetensi sosial mereka.
Perkembangan sosial anak telah dimulai sejak bayi, kemudian pada masa
kanak-kanak dan selanjutnya pada masa remaja. Hubungan sosial anak pertama-
tama masing sangat terbatas dengan orang tuanya dalam kehidupan keluarga,
khususnya dengan ibu dan berkembang semakin meluas dengan anggota keluarga
lain, teman bermain dan teman sejenis maupun lain jenis (Rita Eka Izzaty dkk,
2008: 139).

2.1.1 Pengaruh Teman Sebaya


Menurut Santrock (2003: 219) teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau
remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Jean Piaget dan
Harry Stack Sullivan (Santrock, 2003: 220) mengemukakan bahwa anak-anak dan
remaja mulai belajar mengenai pola hubungan yang timbal balik dan setara
dengan melalui interaksi dengan teman sebaya. Mereka juga belajar untuk
mengamati dengan teliti minat dan pandangan teman sebaya dengan tujuan untuk
memudahkan proses penyatuan dirinya ke dalam aktifitas teman sebaya yang
sedang berlangsung. Sullivan beranggapan bahwa teman memainkan peran yang
penting dalam membentuk kesejahteraan dan perkembangan anak dan remaja.
Mengenai kesejahteraan, dia menyatakan bahwa semua orang memiliki sejumlah
kebutuhan sosial dasar, juga termasuk kebutuhan kasih saying (ikatan yang aman),
teman yang menyenangkan, penerimaan oleh lingkungan sosial, keakraban, dan
hubungan seksual.
Ada beberapa beberapa strategi yang tepat untuk mencari teman menurut
Santrock (2003: 206) yaitu :
1) Menciptakan interaksi sosial yang baik dari mulai menanyakan nama, usia,
dan aktivitas favorit.
2) Bersikap menyenangkan, baik dan penuh perhatian.
3) Tingkah laku yang prososial seperti jujur, murah hati dan mau bekerja
sama.
6

4) Menghargai diri sendiri dan orang lain.


5) Menyediakan dukungan sosial seperti memberikan pertolongan, nasihat,
duduk berdekatan, berada dalam kelompok yang sama dan menguatkan
satu sama lain dengan memberikan pujian.
Ada beberapa dampak apabila terjadi penolakan pada teman sebaya.
Menurut Hurlock (2000: 307) dampak negatif dari penolakan tersebut adalah :
1) Akan merasa kesepian karena kebutuhan social mereka tidak terpenuhi.
2) Anak merasa tidak bahagia dan tidak aman.
3) Anak mengembangkan konsep diri yang tidak menyenangkan, yang dapat
menimbulkan penyimpangan kepribadian.
4) Kurang mmemiliki pengalaman belajar yang dibutuhkan untuk menjalani
proses sosialisasi.
5) Akan merasa sangat sedih karena tidak memperoleh kegembiraan yang
dimiliki teman sebaya mereka.
6) Sering mencoba memaksakan diri untuk memasuki kelompok dan ini akan
meningkatkan penolakan kelompok terhadap mereka semakin
memperkecil peluang mereka untuk mempelajari berbagai keterampilan
sosial.
7) Akan hidup dalam ketidakpastian tentang reaksi social terhadap mereka,
dan ini akan menyebabkan mereka cemas, takut, dan sangat peka.
8) Sering melakukan penyesuaian diri secara berlebihan, dengan harapan
akan meningkatkan penerimaan sosial mereka.
Sementara itu, Hurlock (2000: 298) menyebutkan bahwa ada beberapa
manfaat yang diperoleh jika seorang anak dapat diterima dengan baik. Manfaat
tersebut yaitu:
1) Merasa senang dan aman.
2) Mengembangkan konsep diri menyenangkan karena orang lain mengakui
mereka.
3) Memiliki kesempatan untuk mempelajari berbagai pola prilaku yang
diterima secara social dan keterampilan sosial yang membantu
kesinambungan mereka dalam situasi sosial.
7

4) Secara mental bebas untuk mengalihkan perhatian meraka ke luar dan


untuk menaruh minat pada orang atau sesuatu di luar diri mereka.
5) Menyesuaikan diri terhadap harapan kelompok dan tidak mencemooh
tradisi sosial.

2.1.2 Pengaruh Orang Tua


Menurut Steinberg (Santrock, 2002: 42) mengemukakan bahwa masa
remaja awal adalah suatu periode ketika konflik dengan orang tua meningkat
melampaui tingkat masa anak-anak. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu perubahan biologis pubertas, perubahan kognitif yang
meliputi peningkatan idealism dan penalaran logis, perubahan sosial yang
berfokus pada kemandirian dan identitas, perubahan kebijaksanaan pada orang
tua, dan harapan-harapan yang dilanggar oleh pihak rang tua dan remaja.
Collins (Santrock, 2002: 42) menyimpulkan bahwa banyak orang tua
melihat remaja mereka berubah dari seorang anak yang selalu menjadi seseorang
yang tidak mau menurut, melawan, dan menantang standar-standar orang tua. Bila
ini terjadi, orang tua cenderung berusaha mengendalikan dengan keras dan
member lebih banyak tekanan kepada remaja agar mentaati standar-standar orang
tua.
Dari uraian tersebut, ada baiknya jika kita dapat mengurangi konflik yang
terjadi dengan orang tua dan remaja. Berikut ada beberapa strategi yang diberikan
oleh Santrock, (2002: 24) yaitu :
1) Menetapkan aturan-aturan dasar bagi pemecahan konflik.
2) Mencoba mencapai suatu pemahaman timbale balik.
3) Mencoba melakukan corah pendapat (brainstorming).
4) Mencoba bersepakat tentang satu atau lebih pemecahan masalah.
5) Menulis kesepakatan.
6) Menetapkan waktu bagi suatu tindak lanjut untuk melihat kemajuan yang
telah dicapai.
Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti menyimpulkan bahwa proses
perkembangan remaja meliputi masa transisi biologis yaitu pertumbuhan dan
8

perkembangan fisik. Transisi kognitif yaitu perkembangan kognitif remaja pada


lingkungan sosial dan juga proses sosioemosional dan yang terakhir adalah masa
transisi sosial yang meliputi hubungan dengan orang tua, teman sebaya, serta
masyarakat sekitar.

2.2 Tahap Perkembangan Remaja


Dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa, berdasarkan kematangan
psikososial dan seksual, semua remaja akan melewati tahapan berikut
(Soetjiningsih, 2007):
1) Remaja awal (early adolescence)
Seorang remaja pada tahap ini akan terheran-heran akan perubahan-
perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang
menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran
baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis.
Kepekaan yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali
terhadap “ego” menyebabkan para remaja awal ini sulit mengerti dan dimengerti
orang dewasa.
2) Remaja madya (middle adolescence)
Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau
banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan “narcistic”, yaitu
mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang punya sifat-sifat yang
sama dengan dirinya. Selain itu ia berada dalam kondisi kebingungan karena ia
tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau
sendiri, optimis atau pesimis, idealis atau materialis dan sebagainya.
3) Remaja akhir (late adolescence)
Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai
dengan pencapaian 5 hal, yaitu:
1. Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.
2. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dalam
pengalaman-pengalaman baru.
3. Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.
9

4. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti


dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.
Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan
masyarakat umum (the public) (Sarwono Sarlito, 2002).

2.3 Perilaku Seksual Pada Remaja


Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat
seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah
laku ini dapat beraneka ragam, mulai dari perasaan tertarik hingga tingkah laku
berkencan, dan senggama. Obyek seksual dapat berupa orang, baik sejenis
maupun lawan jenis, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Sebagian tingkah
laku ini memang tidak memiliki dampak, terutama bila tidak menimbulkan
dampak fisik bagi orang yang bersangkutan atau lingkungan sosial. Tetapi
sebagian perilaku seksual (yang dilakukan sebelum waktunya) justru dapat
memiliki dampak psikologis yang sangat serius, seperti rasa bersalah, depresi,
marah, dan agresi.
Sementara akibat psikososial yang timbul akibat perilaku seksual antara
lain adalah ketegangan mental dan kebingungan akan peran sosial yang tiba-tiba
berubah, misalnya pada kasus remaja yang hamil di luar nikah. Belum lagi
tekanan dari masyarakat yang mencela dan menolak keadaan tersebut. Selain itu
resiko yang lain adalah terganggunya kesehatan yang bersangkutan, resiko
kelainan janin dan tingkat kematian bayi yang tinggi. Disamping itu tingkat putus
sekolah remaja hamil juga sangat tinggi, hal ini disebabkan rasa malu remaja dan
penolakan sekolah menerima kenyataan adanya murid yang hamil diluar nikah.
Masalah ekonomi juga akan membuat permasalahan ini menjadi semakin rumit
dan kompleks.
Berbagai perilaku seksual pada remaja yang belum saatnya untuk
melakukan hubungan seksual secara wajar antara lain dikenal sebagai :
1) Masturbasi atau onani yaitu suatu kebiasaan buruk berupa manipulasi
terhadap alat genital dalam rangka menyalurkan hasrat seksual untuk
10

pemenuhan kenikmatan yang seringkali menimbulkan goncangan pribadi


dan emosi.
2) Berpacaran dengan berbagai perilaku seksual yang ringan seperti sentuhan,
pegangan tangan sampai pada ciuman dan sentuhan-sentuhan seks yang
pada dasarnya adalah keinginan untuk menikmati dan memuaskan
dorongan seksual.
3) Berbagai kegiatan yang mengarah pada pemuasan dorongan seksual yang
pada dasarnya menunjukan tidak berhasilnya seseorang dalam
mengendalikannya atau kegagalan untuk mengalihkan dorongan tersebut
ke kegiatan lain yang sebenarnya masih dapat dikerjakan.
Dorongan atau hasrat untuk melakukan hubungan seksual selalu muncul
pada remaja, oleh karena itu bila tidak ada penyaluran yang sesuai (menikah)
maka harus dilakukan usaha untuk memberi pengertian dan pengetahuan
mengenai hal tersebut.
Adapun faktor-faktor yang dianggap berperan dalam munculnya
permasalahan seksual pada remaja, menurut Sarlito W. Sarwono (Psikologi
Remaja,1994) adalah sebagai berikut :
1) Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja.
Peningkatan hormon ini menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran
dalam bentuk tingkah laku tertentu.
2) Penyaluran tersebut tidak dapat segera dilakukan karena adanya
penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya
undang-undang tentang perkawinan, maupun karena norma sosial yang
semakin lama semakin menuntut persyaratan yang terus meningkat untuk
perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental dan lain-lain)
3) Norma-norma agama yang berlaku, dimana seseorang dilarang untuk
melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Untuk remaja yang tidak
dapat menahan diri memiliki kecenderungan untuk melanggar hal-hal
tersebut.
4) Kecenderungan pelanggaran makin meningkat karena adanya penyebaran
informasi dan rangsangan melalui media masa yang dengan teknologi
11

yang canggih (VCD, buku stensilan, Photo, majalah, internet, dan lain-
lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode
ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa dilihat atau didengar dari
media massa, karena pada umumnya mereka belum pernah mengetahui
masalah seksual secara lengkap dari orangtuanya.
5) Orangtua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya
yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak,
menjadikan mereka tidak terbuka pada anak, bahkan cenderung membuat
jarak dengan anak dalam masalah ini.
6) Adanya kecenderungan yang makin bebas antara pria dan wanita dalam
masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita,
sehingga kedudukan wanita semakin sejajar dengan pria.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Seks Pada Remaja, antara lain :
1) Faktor personal
Variabel-variabel yang termasuk dalam faktor ini adalah pengetahuan
mengenai HIV/AIDS, Penyakit Menular Seksual (PMS), aspekaspek kesehatan
reproduksi, sikap terhadap layanan kesehatan seksual & reproduksi, kerentanan
yang dirasakan terhadap resiko kesehatan reproduksi, gaya hidup, pengendalian
diri, aktifitas sosial, rasa percaya diri dan variabel-variabel demografi seperti:
usia, agama dan status perkawinan.
2) Faktor lingkungan
Variabel-variabel yang termasuk didalam faktor ini adalah akses dan
kontak dengan sumber-sumber informasi, sosial-budaya, nilai dan norma sebagai
pendukung sosial untuk perilaku tertentu.
3) Faktor perilaku
Variabel-variabel yang termasuk didalam faktor ini adalah gaya hidup
seksual (orientasi seksual, pengalaman seksual, jumlah pasangan), peristiwa-
peristiwa kesehatan (PMS, kehamilan, aborsi) dan penggunaan kondom serta alat
kontrasepsi
4) Gaya hidup
merupakan pilihan responden terhadap jenis pakaian, makanan, musik,
12

majalah/novel, dan acara TV. Diukur menggunakan rentang nilai lima sampai lima
belas yang dikategorikan kedalam empat kategori mulai dari gaya hidup yang
sangat tradisional sampai gaya hidup yang sangat modern. Angka/nilai yang lebih
tinggi menunjukkan gaya hidup yang lebih modern.

2.4 Reproduksi Remaja


Definisi mengenai remaja ternyata mempunyai beberapa versi sesuai
dengan karakteristik biologis ataupun sesuai dengan kebutuhan penggolongannya.
Pada umumnya remaja didefinisikan sebagai masaperalihan dari masa kanak-
kanak ke masa dewasa. Batasan usia remaja menurut WHO (badan PBB untuk
kesehatan dunia) adalah 12 sampai 24 tahun. Namun jika pada usia remaja
seseorang sudah menikah, maka ia tergolong dalam dewasa atau bukan lagi
remaja. Sebaliknya, jika usia sudah bukan lagi remaja tetapi masih tergantung
pada orang tua (tidak mandiri), maka dimasukkan ke dalam kelompok remaja.
Masa remaja merupakan peralihan masa kanak-kanak menjadi dewasa
yang melibatkan perubahan berbagai aspek seperti biologis, psikologis, dan
sosial-budaya. WHO mendefinisikan remaja sebagai perkembangan dari saat
timbulnya tanda seks sekunder hingga tercapainya maturasi seksual dan
reproduksi, suatu proses pencapaian mental dan identitas dewasa, serta peralihan
dari ketergantungan sosioekonomi menjadi mandiri. Secara biologis, saat seorang
anak mengalami pubertas dianggap sebagai indikator awal masa remaja. Namun
karena tidak adanya petanda biologis yang berarti untuk menandai berakhirnya
masa remaja, maka faktor-faktor sosial, seperti pernikahan, biasanya digunakan
sebagai petanda untuk memasuki masa dewasa.
Rentang usia remaja bervariasi bergantung pada budaya dan tujuan
penggunaannya. Di Indonesia berbagai studi pada kesehatan reproduksi remaja
mendefinisikan remaja sebagai orang muda berusia 15-24 tahun. Sedangkan
menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) remaja
berusia 10-24 tahun. Sementara Departemen Kesehatan dalam program kerjanya
menjelaskan bahwa remaja adalah usia 10-19 tahun. Di dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat menganggap remaja adalah mereka yang belum menikah dan
13

berusia antara 13-16 tahun, atau mereka yang bersekolah di sekolah menengah
pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA).
Remaja perlu mengetahui kesehatan reproduksi agar memiliki informasi
yang benar mengenai proses reproduksi serta berbagai faktor yang ada
disekitarnya. Dengan informasi yang benar, diharapkan remaja memiliki sikap
dan tingkah laku yang bertanggung jawab mengenai proses reproduksi.
Sebuah survei terbaru terhadap 8084 remaja laki-laki dan remaja putri usia
15-24 tahun di 20 kabupaten pada empat propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Lampung) menemukan 46,2% remaja masih menganggap bahwa
perempuan tidak akan hamil hanya dengan sekali melakukan hubungan seks.
Kesalahan persepsi ini sebagian besar diyakini oleh remaja laki-laki (49,7%)
dibandingkan pada remaja putri (42,3%) (LDFEUI & NFPCB, 1999a:92).
Dari survei yang sama juga didapatkan bahwa hanya 19,2% remaja yang
menyadari peningkatan risiko untuk tertular PMS bila memiliki pasangan seksual
lebih dari satu. 51% mengira bahwa mereka akan berisiko tertular HIV hanya bila
berhubungan seks dengan pekerja seks komersial (PSK) (LDFEUI & NFPCB,
1999b:14)

2.5 Sumber Informasi Kesehatan Reproduksi


Remaja seringkali merasa tidak nyaman atau tabu untuk membicarakan
masalah seksualitas dan kesehatan reproduksinya. Akan tetapi karena faktor
keingintahuannya mereka akan berusaha untuk mendapatkan informasi ini.
Seringkali remaja merasa bahwa orang tuanya menolak membicarakan masalah
seks sehingga mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lain seperti
teman atau media massa.
Kebanyakan orang tua memang tidak termotivasi untuk memberikan
informasi mengenai seks dan kesehatan reproduksi kepada remaja sebab mereka
takut hal itu justru akan meningkatkan terjadinya hubungan seks pra-nikah.
Padahal, anak yang mendapatkan pendidikan seks dari orang tua atau sekolah
cenderung berperilaku seks yang lebih baik daripada anak yang mendapatkannya
dari orang lain (Hurlock, 1972 dikutip dari Iskandar, 1997).
14

Keengganan para orang tua untuk memberikan informasi kesehatan


reproduksi dan seksualitas juga disebabkan oleh rasa rendah diri karena rendahnya
pengetahuan mereka mengenai kesehatan reproduksi (pendidikan seks). Hasil pre-
test materi dasar Reproduksi Sehat Anak dan Remaja (RSAR) di Jakarta Timur
(perkotaan) dan Lembang (pedesaan) menunjukkan bahwa apabila orang tua
merasa meiliki pengetahuan yang cukup mendalam tentang kesehatan reproduksi,
mereka lebih yakin dan tidak merasa canggung untuk membicarakan topik yang
berhubungan dengan masalah seks (Iskandar, 1997:3).
Hambatan utama adalah justru bagaimana mengatasi pandangan bahwa
segala sesuatu yang berbau seks adalah tabu untuk dibicarakan oleh orang yang
belum menikah (Iskandar, 1997)

2.6 Sikap Remaja Terhadap Kesehatan Reproduksi


Responden survei remaja di empat propinsi yang dilakukan pada tahun
1998 memperlihatkan sikap yang sedikit berbeda dalam memandang hubungan
seks di luar nikah. Ada 2,2% responden setuju apabila laki-laki berhubungan seks
sebelum menikah. Angka ini menurun menjadi 1% bila ditanya sikap mereka
terhadap perempuan yang berhubungan seks sebelum menikah. Jika hubungan
seks dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai, maka responden yang setuju
menjadi 8,6%. Jika mereka berencana untuk menikah, responden yang setuju
kembali bertambah menjadi 12,5% (LDFEUI & NFPCB, 1999a:96-97).
Sebuah studi yang dilakukan LDFEUI di 13 propinsi di Indonesia
(Hatmadji dan Rochani, 1993) menemukan bahwa sebagian besar responden
setuju bahwa pengetahuan mengenai kontrasepsi sudah harus dimiliki sebelum
menikah.

2.7 Pendidikan Seksual Pada Remaja


Menurut Sarlito dalam bukunya Psikologi Remaja (1994), secara umum
pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas
manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan,
kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-
15

aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang


diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat,
apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa
melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat.
Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang
dapat menolong muda-mudi untuk menghadapi masalah hidup yang bersumber
pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan seksual ini bermaksud untuk
menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam
bentuk yang wajar. Menurut Singgih, D. Gunarsa, penyampaian materi pendidikan
seksual ini seharusnya diberikan sejak dini ketika anak sudah mulai bertanya
tentang perbedaan kelamin antara dirinya dan orang lain, berkesinambungan dan
bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan dan umur anak serta daya tangkap anak
(Psikologi praktis, anak, remaja dan keluarga, 1991).
Dalam hal ini pendidikan seksual idealnya diberikan pertama kali oleh
orangtua di rumah, mengingat yang paling tahu keadaan anak adalah orangtuanya
sendiri. Tetapi sayangnya di Indonesia tidak semua orangtua mau terbuka
terhadap anak di dalam membicarakan permasalahan seksual. Selain itu tingkat
sosial ekonomi maupun tingkat pendidikan yang heterogen di Indonesia
menyebabkan ada orang tua yang mau dan mampu memberikan penerangan
tentang seks tetapi lebih banyak yang tidak mampu dan tidak memahami
permasalahan tersebut. Dalam hal ini maka sebenarnya peran dunia pendidikan
sangatlah besar.
Para ahli berpendapat bahwa pendidik yang terbaik adalah orang tua dari
anak itu sendiri. Pendidikan yang diberikan termasuk dalam pendidikan seksual.
Dalam membicarakan masalah seksual adalah yang sifatnya sangat pribadi dan
membutuhkan suasana yang akrab, terbuka dari hati ke hati antara orang tua dan
anak. Hal ini akan lebih mudah diciptakan antara ibu dengan anak perempuannya
atau bapak dengan anak laki-lakinya, sekalipun tidak ditutup kemungkinan dapat
terwujud bila dilakukan antara ibu dengan anak laki-lakinya atau bapak dengan
anak perempuannya. Kemudian usahakan jangan sampai muncul keluhan seperti
16

tidak tahu harus mulai dari mana, kekakuan, kebingungan dan kehabisan bahan
pembicaraan.
Dalam memberikan pendidikan seks pada anak jangan ditunggu sampai
anak bertanya mengenai seks. Sebaiknya pendidikan seks diberikan dengan
terencana, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan anak. Sebaiknya pada saat anak
menjelang remaja dimana proses kematangan baik fisik, maupun mentalnya mulai
timbul dan berkembang kearah kedewasaan.
Beberapa hal penting dalam memberikan pendidikan seksual, seperti yang
diuraikan oleh Singgih D. Gunarsa (1995) berikut ini, mungkin patut anda
perhatikan:
1. Cara menyampaikannya harus wajar dan sederhana, jangan terlihat ragu-
ragu atau malu.
2. Isi uraian yang disampaikan harus obyektif, namun jangan menerangkan
yang tidak-tidak, seolah-olah bertujuan agar anak tidak akan bertanya lagi,
boleh mempergunakan contoh atau simbol seperti misalnya : proses
pembuahan pada tumbuh-tumbuhan, sejauh diperhatikan bahwa uraiannya
tetap rasional.
3. Dangkal atau mendalamnya isi uraiannya harus disesuaikan dengan
kebutuhan dan dengan tahap perkembangan anak. Terhadap anak umur 9
atau 10 tahun belum perlu menerangkan secara lengkap mengenai perilaku
atau tindakan dalam hubungan kelamin, karena perkembangan dari seluruh
aspek kepribadiannya memang belum mencapai tahap kematangan untuk
dapat menyerap uraian yang mendalam mengenai masalah tersebut.
4. Pendidikan seksual harus diberikan secara pribadi, karena luas sempitnya
pengetahuan dengan cepat lambatnya tahap-tahap perkembangan tidak
sama buat setiap anak. Dengan pendekatan pribadi maka cara dan isi
uraian dapat disesuaikan dengan keadaan khusus anak.
5. Pada akhirnya perlu diperhatikan bahwa usahakan melaksanakan
pendidikan seksual perlu diulang-ulang (repetitif) selain itu juga perlu
untuk mengetahui seberapa jauh sesuatu pengertian baru dapat diserap
oleh anak, juga perlu untuk mengingatkan dan memperkuat
17

(reinforcement) apa yang telah diketahui agar benar-benar menjadi bagian


dari pengetahuannya.

Namun ada juga sebagian ahli yang mengklasifikasikan perkembangan


anak dalam beberapa fase, yaitu:
a. Fase pertama atau Tamyiz (masa pra pubertas).
Fase ini ada pada usia antara 7–10 tahun. Pada tahap ini diajarkan
mengenali identitas diri berkaitan erat dengan organ biologis mereka serta
perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Pada masa ini juga anak diberi
pelajaran tentang meminta izin dan memandang sesuatu ketika akan memasuki
kamar orangtuanya.
b. Fase kedua atau Murahaqah (pubertas), ada pada usia 10-14 tahun.
Pada tahap umur ini, anak harus diberikan penjelasan mengenai fungsi
biologis secara ilmiah, batas aurat, kesopanan, akhlak pergaulan laki-laki dan
menjaga kesopanan serta harga diri. Pada masa ini anak sebaiknya dijauhkan dari
berbagai rangsangan seksual, seperti bioskop, buku-buku porno, buku-buku yang
memperlihatkan perempuan-perempuan yang berpakaian mini dan sebagainya.
c. Fase ketiga atau Bulugh (Masa Adolesen), pada usia 14-16 tahun.
Pada tahap ini adalah paling kritis dan penting, karena naluri ingin tahu
dalam diri anak semakin meningkat ditambah dengan tahapan umur yang semakin
menampakkan kematangan berfikir. Pada masa ini juga anak sudah siap menikah
(ditandai dengan mulai berfungsinya alat-alat reproduksi), maka anak bisa diberi
pelajaran tentang etika hubungan seksual.
d. Fase keempat (masa pemuda),
setelah masa andolesen, pada masa ini anak diberi pelajaran tentang etika
isti’faaf (menjaga diri) jika belum mampu melaksanakan pernikahan.
Sedangkan menurut Clara Kriswanto pendidikan seks berdasarkan usia
sebagai berikut:
a. Usia 0-5 tahun
 Bantu anak agar merasa nyaman dengan tubuhnya
18

 Beri sentuhan dan pelukan kepada anak agar mereka merasakan kasih
sàyang dari orangtuanya secara tulus.
 Bantu anak memahami perbedaan perilaku yang boleh dan tidak boleh
dilakukan di depan umum.Contohnya, saat anak selesai mandi harus
mengenakan baju di dalam kamar mandi atau di kamarnya. Orangtua
harus menanamkan bahwa tidak diperkenankan berlarian usai mandi
tanpa busana. Anak harus tahu bahwa ada hal-hal pribadi dari tubuhnya
yang tidak sèmua orang boleh lihat apalagi menyentuhnya.
 Ajari anak untuk mengetahui perbedaan anatomi tubuh pria dan
wanita. Jelaskan proses tubuh seperti hamil dan melahirkan dalam
kalimat sederhana. Dari sini bisa dijelaskan bagaimana bayi bisa
berada dalam kandungan ibu. Tentu saja harus dilihat perkembangan
kognitif anak. Yang penting orangtua tidak membohongi anak
misalnya dengan mengatakan kalau adik datang dari langit atau dibawa
burung. Cobalah memosisikan diri Anda sebagai anak pada usia
tersebut. Cukup beritahu hal-hal yang ingin diketahuinya. Jelaskan
dengan contoh yang terjadi pada binatang.
 Hindari perasaan malu dan bersalah atas bentuk serta fungsi tubuhnya.
 Ajarkan anak untuk mengetahui nama yang benar setiap bagian tubuh
dan fungsinya. Katakan vagina untuk alat kelamin wanita dan penis
untuk alat kelamin pria ketimbang mengatakan burung atau yang
lainnya.
 Bantu anak memahami konsep pribadi dan ajarkan mereka kalau
pembicaraan soal seks adalah pribadi.
 Beri dukungan dan suasana kondusif agar anak mau datang kepada
orangtua untuk bertanya soal seks
b. Usia 6-9 tahun
 Tetap menginformasikan masalah seks kepada anak, meski tidak
ditanya.
19

 Jelaskan bahwa setiap keluarga mempunyai nilai-nilai sendiri yang


patut dihargai. Seperti nilai untuk menjaga diri sebagai perempuan atau
laki-laki serta menghargai lawan jenisnya.
 Berikan informasi mendasar tentang permasalahan seksual
 Beritahukan kepada anak perubahan yang akan terjadi saat mereka
menginjak masa pubertas.
c. Usia 10-12 tahun
 Bantu anak memahami masa pubertas.
 Berikan penjelasan soal menstruasi bagi anak perempuan serta mimpi
basah bagi anak laki-laki sebelum mereka mengalaminya. Dengan
begitu anak sudah diberi persiapan tentang perubahan yang bakal
terjadi pada dirinya.
 Hargai privasi anak.
 Dukung anak untuk melakukan komunikasi terbuka.
 Tekankan kepada anak bahwa proses kematangan seksual setiap
individu itu berbeda-beda. Bantu anak untuk memahami bahwa
meskipun secara fisik ia sudah dewasa, aspek kognitif dan
emosionalnya belum dewasa untuk berhubungan intim.
 Beri pemahaman kepada anak bahwa banyak cara untuk
mengekspresikan cinta dan kasih sayang tanpa perlu berhubungan
intim.
 Diskusi terbuka dengan anak tentang alat kontrasepsi. Katakan bahwa
alat kontrasepsi berguna bagi pasangan suami istri untuk mengatur atau
menjarangkan kelahiran.
 Diskusikan tentang perasaan emosional dan seksual.
d. Usia 13-15 tahun
 Ajarkan tentang nilai keluarga dan agama.
 Ungkapkan kepada anak kalau ada beragam cara untuk
mengekspresikan cinta.
20

 Diskusikan dengan anak tentang faktor-faktor yang harus


dipertimbangkan sebelum melakukan hubungan seks.
e. Usia 16-18 tahun
 Dukung anak untuk mengambil keputusan sambill memberi informasi
berdasarkan apa seharusnya ia mengambil keputusan itu.
 Diskusikan dengan anak tentang perilaku seks yang tidak sehat dan
ilegal.

2.7.1 Tujuan Pendidikan Seksual Pada Remaja


Pendidikan seksual selain menerangkan tentang aspek-aspek anatomis dan
biologis juga menerangkan tentang aspek-aspek psikologis dan moral. Pendidikan
seksual yang benar harus memasukkan unsur-unsur hak asasi manusia. Juga nilai-
nilai kultur dan agama diikutsertakan sehingga akan merupakan pendidikan
akhlak dan moral juga.
Menurut Kartono Mohamad pendidikan seksual yang baik mempunyai
tujuan membina keluarga dan menjadi orang tua yang bertanggungjawab (dalam
Diskusi Panel Islam Dan Pendidikan Seks Bagi Remaja, 1991). Beberapa ahli
mengatakan pendidikan seksual yang baik harus dilengkapi dengan pendidikan
etika, pendidikan tentang hubungan antar sesama manusia baik dalam hubungan
keluarga maupun di dalam masyarakat. Juga dikatakan bahwa tujuan dari
pendidikan seksual adalah bukan untuk menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin
mencoba hubungan seksual antara remaja, tetapi ingin menyiapkan agar remaja
tahu tentang seksualitas dan akibat-akibatnya bila dilakukan tanpa mematuhi
aturan hukum, agama dan adat istiadat serta kesiapan mental dan material
seseorang. Selain itu pendidikan seksual juga bertujuan untuk memberikan
pengetahuan dan mendidik anak agar berperilaku yang baik dalam hal seksual,
sesuai dengan norma agama, sosial dan kesusilaan (Tirto Husodo, Seksualitet
dalam mengenal dunia remaja, 1987)
21

Penjabaran tujuan pendidikan seksual dengan lebih lengkap sebagai berikut :


1. Memberikan pengertian yang memadai mengenai perubahan fisik, mental
dan proses kematangan emosional yang berkaitan dengan masalah seksual
pada remaja.
2. Mengurangi ketakutan dan kecemasan sehubungan dengan perkembangan
dan penyesuaian seksual (peran, tuntutan dan tanggungjawab)
3. Membentuk sikap dan memberikan pengertian terhadap seks dalam semua
manifestasi yang bervariasi
4. Memberikan pengertian bahwa hubungan antara manusia dapat membawa
kepuasan pada kedua individu dan kehidupan keluarga.
5. Memberikan pengertian mengenai kebutuhan nilai moral yang esensial
untuk memberikan dasar yang rasional dalam membuat keputusan
berhubungan dengan perilaku seksual.
6. Memberikan pengetahuan tentang kesalahan dan penyimpangan seksual
agar individu dapat menjaga diri dan melawan eksploitasi yang dapat
mengganggu kesehatan fisik dan mentalnya.
7. Untuk mengurangi prostitusi, ketakutan terhadap seksual yang tidak
rasional dan eksplorasi seks yang berlebihan.
8. Memberikan pengertian dan kondisi yang dapat membuat individu
melakukan aktivitas seksual secara efektif dan kreatif dalam berbagai
peran, misalnya sebagai istri atau suami, orang tua, anggota masyarakat.
Jadi tujuan pendidikan seksual adalah untuk membentuk suatu sikap
emosional yang sehat terhadap masalah seksual dan membimbing anak dan
remaja ke arah hidup dewasa yang sehat dan bertanggung jawab terhadap
kehidupan seksualnya. Hal ini dimaksudkan agar mereka tidak menganggap seks
itu suatu yang menjijikan dan kotor. Tetapi lebih sebagai bawaan manusia, yang
merupakan anugrah Tuhan dan berfungsi penting untuk kelanggengan kehidupan
manusia, dan supaya anak-anak itu bisa belajar menghargai kemampuan
seksualnya dan hanya menyalurkan dorongan tersebut untuk tujuan tertentu (yang
baik) dan pada waktu yang tertentu saja.
22

2.7.2 Manfaat Pendidikan Seksual Pada Remaja


Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika berbicara tentang remaja
dan pendidikan seks, terutama yang berhubungan perkembangan seks. Ada kesan
pada remaja bahwa seks itu menyenangkan, puncak rasa kecintaaan, tidak ada
kedukaan, tidak menyakitkan bahkan membahagiakan, sehingga tidak ada yang
perlu ditakutkan. Seks hanya berkisar prilaku seks semata yang disertai birahi,
bahkan ada yang beranggapan bahwa gaul atau tidaknya seorang remaja dilihat
dari pengalaman seks mereka, sehingga ada opini “seks adalah sesuatu yang
menarik dan perlu dicoba“ (dikenal dengan istilah sexpectation).
Pendidikan seks diperlukan agar anak mengetahui fungsi organ seks,
tanggungjawab yang ada padanya, halal haram berkaitan dengan organ seks dan
panduan menghindari penyimpangan dalam prilaku seksual mereka sejak dini.
Memang masa remaja adalah masa yang sangat didominasi dengan
masalah-masalah seks. Remaja juga akan sangat memperhatikan masalah-masalah
seks. Banyak remaja yang mengkonsumsi bacaan-bacaan porno, melihat film-film
blue dan semakin bertambah ketika mereka berhadapan dengan rangsangan seks
seperti suara, pembicaraan, tulisan, foto, sentuhan, film. Bahkan semakin hari
semakin bervariatif. Padahal apabila remaja sudah terjatuh dalam kegiatan seks
yang haram, maka akibatnya sudah tidak bisa dibayangkan lagi:
1. Hilangnya harga diri bagi remaja laki dan hilangnya keperawanan bagi
perempuan.
2. Perasaan berdosa yang mendalam, terkadang berakibat menjadi lemah dan
semakin jauh dengan Allah SWT.
3. Perasaan takut hamil.
4. Lemahnya kepercayaan antara dua pihak.
5. Apabila hubungan ini diteruskan, akan menjadi hubungan yang gagal,
terlebih bila dikembalikan dengan hukum syari’at.
6. Penghinaan masyarakat terhadap remaja laki-laki dan perempuan, juga
kepada keluarganya.
23

Cara orang tua memberikan pendidikan seks pada remaja


1. Ubah cara berpikir anda. Bahwa makna pendidikan seks itu sangat luas,
tidak hanya berkisar masalah jenis kelamin dan hubungan seksual. Tapi di
dalamnya ada perkembangan manusia (termasuk anatomi dan fisiologi
organ tubuh, terutama organ reproduksi); hubungan antar manusia (antar
keluarga, teman, pacar dan perkawinan); kemampuan personal (termasuk
di dalamnya tentang nilai, komunikasi, negosisasi dan pengambilan
keputusan); perilaku seksual; kesehatan seksual (meliputi kontrasepsi,
pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV/AIDS, aborsi dan
kekerasan seksual); serta budaya dan masyarakat (tentang jender,
seksualitas dan agama).
2. Mengajarkan tentang pendidikan seks sejak dini. Seperti saat anda mulai
mengajari “ini hidung”, atau “ini mulut”, maka pada saat itulah anda
mengajarinya “ini penis” atau “ini vulva” . Jangan menggunakan istilah-
istilah yang tidak tepat (misalnya “nenen” untuk mengganti kata payudara
atau yang lainnya), karena dengan demikian tanpa sengaja kita telah
membuat dikotomi, antara organ yang biasa dan organ yang “jorok” atau
tabu atau negatif. Karena persepsi tentang bagian tubuh yang keliru akan
berdampak negatif bagi anak di masa yang akan datang.
3. Manfaatkan ‘Golden Moments”, misalnya saat sedang menonton teve yang
sedang menayangkan kasus perkosaan, saat sedang melakukan aktivitas
berdua (masak, membereskan tempat tidur), dan lain-lain.
4. Dengarkan apa yang diucapkan anak dengan sungguh-sungguh, pahami
pikiran dan perasaan mereka. Dengan demikian mereka akan merasa
diterima, jika sudah merasa diterima, mereka akan membuka diri, percaya
dan mudah diajak kerja sama.
5. Jangan menceramahi. Anak umumnya tidak suka diceramahi. Karena pada
saat kita menceramahi seseorang, biasanya kita “menempatkan” diri kita
lebih tinggi darinya. Bukan dengan cara ini kita bisa berkomunikasi
dengan mereka.
24

6. Gunakan istilah yang tepat, sesuai dengan usianya. Misalnya saja kalau
anak anda sudah beranjak remaja, maka gunakanlah bahasa gaul yang
biasa digunakan remaja, sehingga anak tidak merasa sungkan menanggapi
pembicaraan anda.
7. Gunakan pendekatan agama. Kita harus meyakini bahwa segala masalah
dan persoalan di dunia ini harus diselesaikan dengan nilai-nilai agama.
Karena nilai-nilai agama tidak akan pernah berubah sampai kapan pun.
Anak-anak juga harus diajak mempraktekkan ajaran agama dalam
kehidupan sehari-hari.
8. Mulai saat ini juga. Begitu anda membaca artikel ini, mulai susun strategi
apa yang akan anda gunakan untuk mulai mengajak anak berbicara. Yang
perlu diingat yaitu bahwa anak adalah orang tua di masa yang akan datang,
maka dari itu harus kita persiapkan sedemikian rupa agar menjadi generasi
yang siap menghadapi masa depan dengan segala rintangannya.
Percayalah, bahwa anda merupakan orang yang paling tepat dalam hal ini,
dengan mempercayai diri sendiri, anda pun telah memberikan kepercayaan
pada anak.
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Pengkajian Pertama

Tanggal : 19-11-2014 Pukul : 15.10 WIB

IDENTITAS KLIEN

─ Nama : Nn. T
─ Usia : 13 Tahun
─ Suku : Sunda
─ Agama : Islam
─ Pendidikan : SD
─ Pekerjaan : Pelajar
─ Alamat : Dusun Bojong 02/06 Cilayung

Data Subjektif
1. Keluhan Utama: Klien tidak mengeluh apapun.
2. Riwayat Menstruasi
Klien belum mengalami menstruasi.
3. Riwayat Penyakit yang Lalu : tidak ada
4. Pola Nutrisi
 Makan: 3x/hari
 Minum: 6-8 gelas air putih/hari
5. Pola Eliminasi
 BAB : 1x/hari
 BAK : 5-6x/hari
6. Pola Tidur
 Malam : 8 jam

25
26

7. Pola Hidup
 Merokok : tidak
 Masalah : tidak ada

Data Objektif
1. Pemeriksaan umum
K/U : baik
Kesadaran : composmentis
BB : 39 kg
TB : 149 cm
IMT : 17,5 (kurus)
TTV : Nadi : 80x/menit
Suhu : 36 oC
TD : 100/60 mmHg
Respirasi : 17x/menit
2. Pemeriksaan Fisik
Kepala
Mata : Konjungtiva : sedikit pucat
Sklera : putih
Dada
Mamae : Tidak dilakukan pemeriksaan
Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
Oedema : tidak ada
Varices : tidak ada
Turgor : baik
Pemeriksaan dalam : Tidak dilakukan pemeriksaan
3. Data Penunjang (LABORATORIUM)
Tidak dilakukan pemeriksaan
27

ASSESMENT :
Nn. T usia 13 tahun dengan kemungkinan anemia.

Planning
1. Memberitahu hasil pemeriksaan pada klien. Klien mengetahui hasil
pemeriksaan.
2. Memberikan penyuluhan mengenai kesehatan reproduksi remaja
tentang Free Sex. Klien mengerti.
3. Memberitahu mengenai gizi yang dibutuhkan dalam masa
pertumbuhan.Klien mengerti.
4. Memberitahu mengenai personal hygine yang baik. Klien
mengerti.
5. Menjadwalkan kunjungan ulang 2 minggu kemudian dan
disesuaikan dengan waktu yang klien bisa. Klien menyetujui waktu
kunjungan.

3.2 Pengkajian Kedua

Tanggal : 04-12-2014 Pukul : 14.30 WIB

Data Subjektif
1. Keluhan Utama:
Klien tidak ada keluhan apapun.
2. Riwayat Menstruasi
Klien belum mengalami menstruasi.
3. Riwayat Penyakit yang Lalu : tidak ada
4. Pola Nutrisi
 Makan: 3x/hari
 Minum: 6-8 gelas air putih/hari
28

5. Pola Eliminasi
 BAB : 1x/hari
 BAK : 5-6x/hari
6. Pola Tidur
 Malam : 8 jam
7. Pola Hidup
 Merokok : tidak
 Masalah : tidak ada

Data Objektif
1. Pemeriksaan umum
K/U : baik
Kesadaran : composmentis
BB : 39 kg
TB : 149 cm
IMT : 17,5 (kurus)
TTV : Nadi : 84x/menit
Suhu : 36,3oC
TD : 90/60 mmHg
Respirasi : 18x/menit
2. Pemeriksaan Fisik
Kepala
Mata : Konjungtiva : pucat
Sklera : putih
Dada
Mamae : Tidak dilakukan pemeriksaan
Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Tidak dilakukan pemeriksaan
Pemeriksaan dalam : Tidak dilakukan pemeriksaan
3. Data Penunjang (LABORATORIUM)
Tidak dilakukan pemeriksaan
29

ASSESMENT :
Nn. T usia 13 tahun dengan kemungkinan anemia.

PLANNING :
1. Memberitahu hasil pemeriksaan kepada klien bahwa keadaan klien
dalam keadaan baik. Klien mengetahui hasil pemeriksaan.
2. Mengulang atau mengevaluasi kembali materi penyuluhan
kesehatan reproduksi remaja Free Sex. Klien dapat mengulang dan
mengerti.
3. Memberikan pendidikan kesehatan mengenai menstruasi. Klien
mengerti.
4. Menjadwalkan kunjungan ulang kurang lebih 1 minggu
disesuaikan dengan waktu yang klien bisa. Klien menyetujui waktu
kunjungan.

3.3 Pengkajian Ketiga


Tanggal : 18-12-2014 Pukul : 13.30 WIB

Data Subjektif
1. Keluhan Utama:
Klien mengeluh pusing.
2. Riwayat Menstruasi
Klien belum mengalami menstruasi.
3. Riwayat Penyakit yang Lalu : tidak ada
4. Pola Nutrisi
 Makan: 3x/hari
 Minum: 6-8 gelas air putih/hari
5. Pola Eliminasi
30

 BAB : 1x/hari
 BAK : 5-6x/hari
6. Pola Tidur
 Malam : 8 jam
8. Pola Hidup
 Merokok : tidak
 Masalah : tidak ada

Data Objektif
1. Pemeriksaan umum
K/U : baik
Kesadaran : composmentis
BB : 39 kg
TB : 149 cm
IMT : 17,5 (kurus)
TTV : Nadi : 82x/menit
Suhu : 36,3oC
TD : 100/60 mmHg
Respirasi : 18x/menit
2. Pemeriksaan Fisik
Kepala
Mata : Konjungtiva : pucat
Sklera : putih
Dada
Mamae : Tidak dilakukan pemeriksaan
Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Tidak dilakukan pemeriksaan
Pemeriksaan dalam : Tidak dilakukan pemeriksaan
3. Data Penunjang (LABORATORIUM)
Hb 11,5 g/dl
31

ASSESMENT :
Nn. T usia 13 tahun dengan anemia ringan.

PLANNING :
1. Memberitahu hasil pemeriksaan kepada klien bahwa keadaan klien
dalam keadaan baik. Klien mengetahui hasil pemeriksaan.
2. Memberitahu klien mengenai nutrisi yang baik untuk pertumbuhan dan
perkembangan serta menganjurkan banyak makan sayuran hijau, buah-
buahan, dan protein hewani sepertiikan, daging, dan hati. Klien
mengerti.
3. Memberikan pendidikan kesehatan mengenai HIV dan AIDS. Klien
mengerti.
4. Memberi penyuluhan mengenai SADARI ( periksa payudara sendiri).
Klien mengerti
5. Menjadwalkan kunjungan ulang kurang lebih 2 minggu disesuaikan
dengan waktu yang klien bisa. Klien menyetujui waktu kunjungan
BAB IV

PEMBAHASAN

Masa remaja merupakan peralihan masa kanak-kanak menjadi dewasa


yang melibatkan perubahan berbagai aspek seperti biologis, psikologis, dan
sosial-budaya. WHO mendefinisikan remaja sebagai perkembangan dari saat
timbulnya tanda seks sekunder hingga tercapainya maturasi seksual dan
reproduksi, suatu proses pencapaian mental dan identitas dewasa, serta peralihan
dari ketergantungan sosioekonomi menjadi mandiri Batasan usia remaja menurut
WHO (badan PBB untuk kesehatan dunia) adalah 12 sampai 24 tahun. Pada kasus
ini Nn. T usia 13 tahun yang sudah termasuk ke dalam kelompok remaja.
Menurut Santrock (2003: 91) perubahan fisik yang terjadi pada remaja
terlihat nampak pada saat masa pubertas yaitu meningkatnya tinggi dan berat
badan serta kematangan sosial. perubahan fisik yang terjadi pada anak perempuan
yaitu; pertumbuhan tulang-tulang, badan menjadi tinggi, anggota-anggota badan
menjadi panjang, tumbuh payudara. Tumbuh bulu yang halus berwarna gelap di
kemaluan, mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimum setiap
tahunnya, bulu kemaluan menjadi kriting, menstruasi atau haid, tumbuh bulu-bulu
ketiak. Pubertas yang terjadi telah dilalami oleh Nn.T usia 13 tahun.
Remaja seringkali merasa tidak nyaman atau tabu untuk membicarakan
masalah seksualitas dan kesehatan reproduksinya. Akan tetapi karena faktor
keingintahuannya mereka akan berusaha untuk mendapatkan informasi ini. Pada
pengkajian yang saya lakukan pada Nn.T adalah ia merasa malu bila ditanya
mengenai pubertas perubahan fisik yang dialami serta masalalh kesehatan
reproduksi.
Seringkali remaja merasa bahwa orang tuanya menolak membicarakan
masalah seks sehingga mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lain
seperti teman atau media massa. Pendidikan seksual selain menerangkan tentang
aspek-aspek anatomis dan biologis juga menerangkan tentang aspek-aspek

32
33

psikologis dan moral.Tujuan pendidikan seksual adalah untuk membentuk suatu


sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksual dan membimbing anak dan
remaja ke arah hidup dewasa yang sehat dan bertanggung jawab terhadap
kehidupan seksualnya.
Pada setiap pengkajian remaja Nn.T diberikan pendidikan mengenai
kesehatan reproduksi yaitu free sex,menstruasi, HIV dan AIDS agar mengerti dan
tidak masuk dalam pergaulan bebas dan terhindar dari pengaruh penyimpangan-
penyimpangan yang sering terjadi seperti free sex,narkoba, dan juga terhindar dari
penyakit menular seksual seperti HIV.
Selain masalah kesehatan reproduksi remaja juga diberikan konseling
mengenai personal hygine, SADARI (pemeriksaan payudara sendiri) dan gizi
yany baik bagi remaja. Anemia sering dialami oleh remaja oleh karena itu nutrisi
remaja harus tercukupi, karena bila terjadi anemia dapat mengganggu dalam
aktivitas sehari-hari dan kemampuan dalam menerima pelajaran kurang. Pada
kasus ini Nn. T dilakukan pemeriksaan dan didapatkan hasil konjungtiva terlihat
pucat dan setelah dilakukan pemeriksaan Hb hanya 11,5 gr/dl, sehingga diberikan
konseling agar banyak makan sayuran hijau, buah-buahan, dan protein hewani
seperti ikan, daging, dan hati.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Karakteristik pertumbuhan dan perkembangan remaja yang mencakup


perubahan transisi biologis, transisi kognitif, dan transisi sosial. Pendidikan seks
diberikan dengan terencana, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan anak,
sebaiknya pada saat anak menjelang remaja dimana proses kematangan baik fisik,
maupun mentalnya mulai timbul dan berkembang kearah kedewasaan.

Pendidikan seks diperlukan agar anak mengetahui fungsi organ seks,


tanggungjawab yang ada padanya, halal haram berkaitan dengan organ seks dan
panduan menghindari penyimpangan dalam perilaku seksual mereka sejak dini.
Pendidikan seksual selain menerangkan tentang aspek-aspek anatomis dan
biologis juga menerangkan tentang aspek-aspek psikologis dan moral Pendidikan
seksual yang benar harus memasukkan unsur-unsur hak asasi manusia dan juga
nilai-nilai kultur dan agama diikutsertakan sehingga akan merupakan pendidikan
akhlak dan moral juga.

5.2 Saran

Tenaga kesehatan bekerja sama dengan pihak sekolah untuk memberikan


pendidikan seks agar remaja mengetahui fungsi organ reproduksi, tanggung
jawab, dan dapat menghindari penyimpangan perilaku seksual. Orang tua juga
diberikan pejelasan mengenai pendidikan kesehatan agar dapat memantau dan
membimbing anakanya agar tidak terjerumus kepada penyimpangan dan
pergaulan bebas.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Rosdiana, D. Pokok-Pokok Pikiran Pendidikan Seks untuk Remaja. Dalam


N. Kollman (ed). Kesehatan Reproduksi Remaja. Jakarta: Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia, 1998:9-20.
2. Risser WL, Bortot AT, Benjamins AJ, Feldmann JM, Barratt MS, Eissa
MA, dkk. 11. The epidemiology of sexually transmitted infections in
adolescents. Semin Pediatr Infect Dis 2005; 16: h. 160-167.
3. Situmorang A. Adolescent Reproductive Health in Indonesia: A report 1.
prepared for STARH program Johns Hopkins University. Jakarta: Center
for Communication Program, 2003.
4. http://www.researchgate.net/publication/42325084_Pemahaman_Keluarga
_Tentang_Kesehatan_Reproduksi_Kasus_Di_Kabupaten_Karawang_Provi
nsi_Jawa_Barat
5. http://www.ilmupsikologi.com/?p=20

iii

Anda mungkin juga menyukai