Anda di halaman 1dari 28

Clinical Science Session

TATALAKSANA EDEMA PARU AKUT

Oleh:

Frinska Pragita Devi

1310311020

Fakhry Mar-Fathani

1210312081

Gaby Devenski 1740312294

Gangeswary 1210314002

Gunaseelan 1010314006

Hanifah 1030313049

Preseptor:

dr. Citra Kiki Krevani, SpJP

BAGIAN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULER

RSUP DR. M. DJAMIL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
kurnia-Nya sehingga referat yang berjudul “Tatalaksana Udem Paru” ini bisa kami selesaikan
dengan baik dan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Referat ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis mengenai Atrial
Fibrillasi, serta menjadi salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior di bagian
Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler RSUP Dr. M.Djamil Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas Padang.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam
penyusunan referat ini, khususnya kepada dr. Citra Kiki Krevani, SpJP sebagai preseptor dan
dokter-dokter residen jantung yang telah bersedia meluangkan waktunya dan memberikan saran,
perbaikan, dan bimbingan kepada kami. Kami ucapkan juga terima kasih kepada rekan-rekan
sesama dokter muda dan semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyusunan referat
ini yang tidak bisa kami sebutkan satu-persatu disini.
Dengan demikian, kami berharap semoga referat ini bisa menambah, wawasan,
pengetahuan, dan meningkatkan pemahaman semua pihak tentang Tatalaksana Udema Paru.

Padang, Desember 2017

Penulis

DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR .......................................................................................................2

DAFTAR ISI.....................................................................................................................3

DAFTAR GAMBAR.........................................................................................................5

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.........................................................................................6

1.2 Batasan Masalah.......................................................................................7

1.3 Tujuan Penelitian......................................................................................7

1.4 Metode Penelitian.....................................................................................7

1.4 Manfaat Penulisan....................................................................................7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ……………...............................................................................8

2.2 Epidemiologi…………….......................................................................8

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko……………..................................................9

2.4 Patofisiologi….……………...................................................................10

2.5 Manifestasi Klinis……………...............................................................13

2.6 Diagnosis…………….............................................................................14

2.7 Tatalaksana……………..........................................................................17

2.8 Prognosis ................................................................................................27

BAB 3 KESIMPULAN……………………………………………………………….....29

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................30

3
4
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Patofisiologi Udem Paru Akut................................................................................... 12

Gambar 2: Algoritma Manajemen Edema/Kongesti Paru Akut.................................................. 17


Gambar 3: Algoritme Diagnosa.............................................................................................................. 20
Gambar 4:Terapi Definitif Udem Paru Akut................................................................................ 24

5
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Edema paru dapat didefinisikan sebagai peningkatan cairan paru-paru yang

disebabkan oleh ekstravasasi fluida dari pembuluh darah paru ke interstitium dan alveoli

paru-paru. Paru edema umumnya diklasifikasikan sebagai nonkardiogenik dan

kardiogenik. Cardiogenic pulmonary edema (CPE) adalah kejadian yang cukup sering

terjadi dan berpotensi menjadi kondisi mematikan yang sering ditemui dalam bagian

gawat darurat. Penderita CPE, pada kenyataannya, memiliki angka kematian di rumah

sakit sebesar 15% sampai 20%, dan angka kematian yang mungkin lebih tinggi lagi bila

kondisinya dikaitkan dengan miokard akut infark (AMI) atau disfungsi katup akut.1

Menurut penelitian pada tahun 1994, terdapat 74,4 juta penderita edema paru di

dunia. Di Jerman terdapat sekitar 6 juta penduduk. Di Inggris sekitar 2,1 juta penderita

edema paru yang perlu pengobatan dan pengawasan secara komprehensif. Di Amerika

Serikat sekitar 5,5 juta penduduk menderita edema.2

Penyakit edem paru ditemukan pertama kali di Indonesia pada tahun 1971. Sejak

itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh

provinsi di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukan

kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia insiden

tersebar terjadi pada 1998 dengan incidence rate (IR)=35,19 per 100.000 penduduk dan

CFR=2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun

berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 19,24 (tahun 2002) dan

23,87 (tahun 2003).2

6
Dengan angka mortalitas yang cukup tinggi dan kejadian yang cenderung

meningkat ini, maka dirasa perlu untuk membahas mengenai udem paru kardiogenik ini

terutama membahas mengenai penatalaksanaan nya.

1.2. Batasan Masalah

Makalah ini membahas definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko,

patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan dari edema paru.

1.3. Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman

mengenai tatalaksana udem paru

1.4. Metode Penulisan

Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang dirujuk

dari berbagai literatur

1.5. Manfaat Penulisan

Melalui makalah ini diharapkan bermanfaat untuk menambah ilmu dan

pengetahuan mengenai udem paru

7
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Edema paru akut adalah keadaan darurat medis yang membutuhkan pengelolaan

langsung. Edema paru ini ditandai dengan dyspnoea dan hipoksia sebagai hasil dari akumulasi

cairan di paru-paru yang mengganggu gas pertukaran dan kepatuhan paru-paru.3

Edema paru dapat didefinisikan sebagai peningkatan cairan paru-paru yang disebabkan

oleh ekstravasasi fluida dari pembuluh darah paru ke interstitium dan alveoli paru-paru. Udem

Paru umumnya diklasifikasikan sebagai nonkardiogenik dan kardiogenik. (CPE) adalah hal yang

sering terjadi dan berpotensi menjad kondisi mematikan sering ditemui dalam pengobatan

darurat. Banyak kondisi baik secara langsung atau tidak langsung mengarah pada perkembangan

edema paru. Terlepas dari penyebab utama CPE, semua pasien yang mengembangkan CPE harus

didiagnosis dan dikelola dengan cepat. Pasien CPE dapat berkembang menjadi kegagalan

pernafasan jika penanganannya tertunda.1

2.2 Epidemiologi

Penyakit edem paru ditemukan pertama kali di Indonesia pada tahun 1971. Sejak itu

penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh provinsi di

Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukan kecenderungan meningkat

baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia insiden tersebar terjadi pada 1998 dengan

incidence rate (IR)=35,19 per 100.000 penduduk dan CFR=2%. Pada tahun 1999 IR menurun

tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99

(tahun 2000); 19,24 (tahun 2002) dan 23,87 (tahun 2003).2

8
Penderita CPE memiliki angka kematian di rumah sakit sebesar 15% sampai

20%, dan angka kematian yang mungkin lebih tinggi lagi bila kondisinya dikaitkan dengan akut

miokard infark (AMI) atau disfungsi katup akut.1 Menurut penelitian pada tahun 1994, terdapat

74,4 juta penderita edema paru di dunia. Di Jerman terdapat sekitar 6 juta penduduk. Di Inggris

sekitar 2,1 juta penderita edema paru yang perlu pengobatan dan pengawasan secara

komprehensif. Di Amerika Serikat sekitar 5,5 juta penduduk menderita edema. 2 Tingkat

kematian satu tahun untuk pasien rumah sakit dengan edema paru akut sekitar 40%. Data yang

dilaporkan di Australia dari 2011-12 memperkirakan bahwa 96 700 orang dewasa mengalami

gagal jantung, dengan dua pertiga dari jumlah ini setidaknya berusia 65 tahun. Kebanyakan

pasien dengan penyakit kronis gagal jantung ini akan memiliki setidaknya satu episode akut

edema paru yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.3

2.3 Etiologi dan Faktor Pencetus

Ada lima penyebab utama CPE dalam praktik klinis,yaitu :

 Eksaserbasi gagal ventrikel kiri kronis

 Iskemia / infark miokard akut

 Hipertensi sistemik berat

 Gangguan katup sisi kiri

 Tachydysrhythmias akut dan bradydysrhythmias

Penyebab umum adalah eksaserbasi akut gagal jantung kiri kronis. Kegagalan kronik

jantung kiri biasanya adalah hasil gagal jantung kongestif (CHF) atau kardiomiopati Eksaserbasi

akut gagal LV kronis dapat terjadi karena pengobatan atau ketidakpatuhan diet (misalnya,

penghentian obat diuretik, asupan garam berlebih, dan sebagainya) atau dari akut iskemia

jantung.1

9
Faktor pencetus5 :

1. Penyebab utama jantung

• Sindroma koroner akut / infark miokard

• Aritmia

Perikarditis

• Disfungsi katup akut (stenosis aorta, regurgitasi mitral)

• Endokarditis

2. Kelebihan cairan

3. Obat-obatan (misalnya obat antiinflamasi nonsteroid (NSAIDs), nondihydropyridine

calcium channel blocker)

4. Ketidakpatuhan terhadap:

• pengobatan manajemen gagal jantung

• pembatasan asupan cairan atau asupan alcohol

5. Emboli Paru

6. Gagal Ginjal Akut

7. Keadaan High Output

• Septicemia

• Anemia

• Tirotoksikosis

2.4 Patofisiologi

Patofisiologi udem paru akut tergambar pada gambar 2. Pada paru normal, cairan

bergerak terus menerus keluar dari pembuluh darah ke ruang interstisial sesuai dengan

perbedaan masing-masing tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik protein, serta permeabilitas

10
membran kapiler. Saat tekanan interstisial paru melebihi tekanan pleura, cairan bergerak

melintasi pleura viseral, menciptakan efusi pleura. Karena permeabilitas endothelium kapiler

tetap normal, cairan saringan yang meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein rendah.

Penghapusan cairan dari ruang udara paru tergantung pada transportasi aktif natrium dan klorida

di seluruh epitel alveolar pembatas. Situs utama reabsorpsi natrium dan klorida adalah saluran

ion epitel yang terletak di membran apikal alveolar epitel tipe I dan II sel dan epitel saluran

napas distal. Sodium aktif diekstrusi ke ruang interstisial dengan cara Na +/ K +-ATPase terletak

di membran basolateral dari sel tipe II. Air mengikuti secara pasif, mungkin melalui aquaporins,

yaitu saluran air yang ditemukan terutama pada sel epitel alveolar tipe I.5

Disfungsi sistolik dan diastolik jantung kiri, menyebabkan penurunan curah jantung dan

peningkatan tekanan diastolik akhir, yang menyebabkan peningkatan cairan paru. Selama siklus

ini, aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron yang terjadi sebagai akibat peningkatan tekanan

diastolik akhir dan menghasilkan efek simpatis meningkat. Hipoksia dan peningkatan kerja

pernafasan pada pasien yang dalam kecemasan, yang juga menyebabkan peningkatan produksi

katekolamin dan efek simpatik. Oleh karena itu, pada tingkat yang paling dasar, hasil akhir dari

siklus ini adalah membiarkan jantung kiri berusaha dengan sia-sia untuk memompa sistemik

yang resistensi vascular nya sangat tinggi (peningkatan afterload), mengakibatkan curah jantung

yang buruk. Sementara itu, saringan sisi kanan terus berlanjut (preload over) menghasilkan

cairan interstisial pulmoner yang lebih besar. Siklus ini akhirnya menyebabkan edema paru,

hipoksia, dan gagal napas kecuali fluktuasi siklus dihentikan. 1

11
Gambar 1. Patofisiologi Udem Paru Akut 5

12
2.5 Manifestasi klinis

Secara umum manifestasi dari udem paru adalah dispneu dan hipoksia sekunder oleh

akumulasi cairan dalam paru yang mengganggu pertukaran gas dan kerja paru. 3

Manifestasi klinis edem paru secara spesifik dibagi dalam 3 stadium6:

Stadium 1

Pada stadium 1, tekanan atrium kiri yang meningkat menyebabkan distensi dan pembukaan

pembuluh paru kecil. Pada tahap ini, pertukaran gas darah tidak memburuk, atau bahkan sedikit

meningkat.

Stadium 2

Pada tahap 2, cairan dan koloid berpindah dari kapiler paru ke interstitium paru, namun

peningkatan pengeluaran aliran inisial limfatik secara efisien dapat menghilangkan cairan.

Penyaringan cairan dan zat terlarut yang terus berlanjut dapat mengganggu kapasitas drainase

limfatik. Dalam tahap ini, cairan awalnya dikumpulkan di kompartemen interstisial yang relatif

sesuai, yang umumnya merupakan jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, terutama di

zona dependen.

Akumulasi cairan di interstitium dapat membahayakan saluran udara kecil, yang menyebabkan

hipoksemia ringan. Hipoksemia pada tahap ini jarang untuk meperbesar takiknea. Takipnea pada

tahap ini terutama disebabkan oleh stimulasi reseptor kapiler juxtapulmonar (tipe J), yang

merupakan ujung saraf non-myelin yang terletak di dekat alveoli. Reseptor tipe J terlibat dalam

refleks yang memodulasi respirasi dan denyut jantung.

13
Stadium 3

Pada tahap 3, karena filtrasi cairan terus meningkat dan pengisian ruang interstisial yang longgar

terjadi, cairan terakumulasi di ruang interstisial yang relatif berlebih. Ruang interstisial bisa

berisi cairan hingga 500 mL. Dengan akumulasi lebih lanjut, cairan tersebut melintasi epitel

alveolar ke alveoli, yang menyebabkan banjir alveolar. Pada tahap ini, kelainan pada pertukaran

gas akan muncul, kapasitas vital dan volume pernafasan lainnya berkurang secara substansial,

dan hipoksemia menjadi lebih parah.

2.6 Diagnosis

a. Anamnesis6

Pasien datang dengan gambaran klinis gagal jantung kiri dengan onset tiba-tiba karena sesak

napas dan gelisah. Penderita paling sering mengeluh sesak napas dan keringat dingin yang banyak.

Pasien dengan gejala onset bertahap (misalnya, di atas 24 jam) sering melaporkan dispnea on exertion,

ortopnea, dan paroxysmal nocturnal dyspnea.

Batuk adalah keluhan yang sering dan mungkin memberi petunjuk awal untuk memburuknya

edema paru pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri kronis. Sputum berbusa mungkin akan muncul

pada penyakit berat. Kadang-kadang, suara serak bisa terjadi akibat kompresi yang melumpuhkan nervus

laryngeal rekuren dari atrium kiri yang membesar, seperti pada stenosis mitral (Ortner sign). Nyeri dada

harus diwaspadai terhadap kemungkinan iskemia miokard akut / infark atau diseksi aorta dengan

regurgitasi aorta akut, sebagai presipitan edema paru.

b. Pemeriksaan fisik6

14
Temuan fisik pada pasien dengan CPE adalah takipnea dan takikardia. Pasien terlihat gelisah,

bingung, cemas dan berkeringat dingin.

Hipertensi sering terjadi, karena keadaan hiperadrenergik. Hipotensi menunjukkan disfungsi

sistolik LV parah dan kemungkinan syok kardiogenik. Ekstrem yang dingin bisa mengindikasikan curah

jantung rendah dan perfusi yang buruk.

Auskultasi paru-paru biasanya menunjukkan ronkhi dan juga wheezing. Ronkhi biasanya

terdengar di basal, seiring kondisi memburuk, akan merambat ke apeks.

Temuan kardiovaskular biasanya distensi vena jugularis. Pada auskultasi akan muncul S3,

penekana S2 komponen pulmonal, dan murmur akibat gangguan katup

c. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorim yang relevan diperlukan untuk mengkaji etiologi edem paru.

Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi/ darah rutin, fungsi ginjal, elektrolit, kadar

protein, urinalisa gas darah, enzim jantung (CK-MB, troponin I) dan Brain Natriuretic Peptide (BNP). BNP

dan prekursornya pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai edem paru kardiogenik

pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan dengan pulmonary artery occlusion

pressure, left ventricular end-diastolic pressure dan left ventricular ejection fraction. Pemeriksaan BNP

ini menjadi salah satu tes diagnosis untuk menegakkan gagal jantung kronis berdasarkan pedoman

diagnosis dan terapi gagal jantung kronik Eropa dan Amerika.

d. Radiologi6

Rontgen dada sangat membantu dalam membedakan CPE dari penyebab paru lain yang

menyebabkan dyspnea berat. Temuan pada udem paru adalah:

15
- Pembesaran hati
- Aliran darah terbalik
- Garis kerley
- Edema Basilar
- Absence of air bronchograms

- Efusi pleura (bilateral dan simetris)

e. Ekokardiografi6

Ekokardiogram merupakan alat diagnostik penting dalam menentukan etiologi edema paru.

Ekokardiografi dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi sistolik dan diastolik LV, serta fungsi katup,

dan untuk menilai penyakit perikardial. Hal ini sangat membantu dalam mengidentifikasi etiologi

mekanis untuk edema paru, seperti berikut ini:

- Acute papillary muscle rupture


- Acute ventricular septal defect
- Cardiac tamponade
- Contained LV rupture
- Valvular vegetation with resulting acute severe mitral, aortic regurgitation

Alur

diagnosa juga

bisa dilihat

pada gambar

3.

16
Gambar 2. Algoritme Diagnosa5

2.7 Tatalaksana
Tujuan pengelolaan udem paru akut adalah reduksi gejala, pengurangan kelebihan cairan

ekstraselular, peningkatan hemodinamik, perbaikan oksigenasi arteri dan perfusi yang baik

pada organ vital.4

Penatalaksanaan utama meliputi pengobatan suportif yang ditujukan terutama untuk

mempertahankan fungsi paru (seperti pertukaran gas, perfusi organ), sedangkan penyebab

utama juga harus diselidiki dan diobati sesegera mungkin bila memungkinkan. Prinsip

penatalaksanaan meliputi pemberian oksigen yang adekuat, restriksi cairan, dan

mempertahankan fungsi kardiovaskular.7,8

1) Oksigen

Pada kasus ringan oksigen bisa diberikan dengan kanul hidung atau masker muka

(face mask). Continuous positive airway pressure (CPAP) sangat membantu pada

pasien edema paru kardiogenik.7,8 Masip et al. mendapatkan bahwa peng-gunaan

CPAP menurunkan kebutuhan akan intubasi dan angka mortalitas.10

Penelitian Winck et al. mendukung penggunaan CPAP dan non-invasive positive

pressure ventilation (NPPV) pada edema paru akut kardiogenik. Kedua teknik tersebut dipakai

untuk menurunkan need for endotracheal intubation (NETI) dan kematian dibandingkan

standard medical therapy (SMT), serta tidak menunjukkan peningkatan risiko infark miokard

akut. CPAP dianggap sebagai intervensi pertama dari NPPV yang tidak menunjukkan khasiat

yang lebih baik bahkan pada pasien dengan kondisi lebih parah, tetapi lebih murah dan lebih

mudah untuk diimplementasikan dalam praktek klinis.9

17
2) Obat-obatan
a. Obat-obatan yang menurunkan preload
Nitrogliserin (NTG) dapat menurun-kan preload secara efektif, cepat, dan efeknya

dapat diprediksi. Pemberian NTG secara intra vena diawali dengan dosis rendah

b. (20µg/menit) dan kemudian dinaikkan secara bertahap (dosis maksimal 200µg/menit).


Loop diuretics (furosemide) dapat menurunkan preload melalui 2 mekanisme, yaitu:

diuresis dan venodilatasi. Dosis furosemide dapat diberikan per oral 20-40 mg/hari

pada keadaan yang ringan hingga 5-40 mg/jam secara infus pada keadaan yang

berat.7,8
Morfin sulfat digunakan untuk menu-runkan preload dengan dosis 3 mg secara intra

vena dan dapat diberikan berulang.


b. Obat-obatan yang menurunkan afterload
Angiotensin-converting enzyme inhi-bitors (ACE inhibitors) menunurunkan after

load, serta memperbaiki volume sekuncup dan curah jantung. Pemberian secara intra

vena (enalapril 1,25 mg) ataupun sublingual (captopril 25 mg) akan memperbaiki

keluhan pasien. Pada suatu meta analisis didapati bahwa pemberian ACE inhibitors

7,8
akan menurunkan angka mortalitas.
c. Obat-obatan golongan inotropik
Obat-obatan golongan inotropik diberikan pada edema paru kardiogenik yang

mengalami hipotensi, yaitu dobutamin 2-20 µg/kg/menit atau dopamin 3-20

7,8
µg/kg/menit.

18
Gambar 3. Algoritma Manajemen Edema/Kongesti Paru Akut11

Berikut adalah algoritma penatalaksanaan edem paru akut kardiogenik berdasarkan PERKI

2015. Sistematikanya yakni sebagai berikut:

1. Pada pasien yang telah mendapatkan pengobatan diuretic, dosis yang direkomendasikan

sebesar 2,5x dari dosis oral yang biasanya diberikan. Dapat diulang jika diperlukan.
2. O2 saturasi dengan pulse oximeter <90 atau PaO2<60 dapat diberikan yang terkait

dengan peningkatan resiko mortalitas jangka pendek. Oksigen tidak boleh digunakan

secara rutin pada pasien non hipoksemia karena menyebabkan vasokonstriksi dan

penurunan curah jantung


3. Biasanya dimulai dengan O2 40-60% dititrasi sampai SaO2 >90%, hati-hati pada pasien

yang mempunyai resiko retensi CO2.


4. Pemberian morfin 4-8 mg ditambah metoclopramide 10 mg, observasi adanya depresi

pernafasan, dapat diulang jika diperlukan.


5. Pemberian infus dobutamine 2,5 mikrogr/kg/menit, dosis dinaikkan 2x lipat tiap 15 menit

tergantung respon (titrasi dosis dibatasi jika terdapat takikardia, aritmia atau iskemik).

19
Dosis>20 mikrogr/kg/menit jarang sekali diperlukan. Bahkan dobutamine mungkin

memiliki aktivitas vasodilator ringan sebagai akibat dati stimulasi beta-2 adrenoseptor.
6. Pasien harus diobservasi ketat secara regular (gejala, denyut dan ritme jantung SpO2,

tekanan darah sistolik, produksi urine) sampai stabil dan pulih.


7. Pemberian infus NGT 10 mikrogram/menit dan dosis dinaikkan 2x lipat tiap 10 menit

tergantung respon, biasanya titrasi naiknya dosis dibatasi oleh hipotensi. Dosis>100

mikrogram/min jarang sekali diperlukan.


8. Respon yang adekuat ditandai dengan berkurangnya dyspnea, diuresis yang adekuat

(produksi urine >100 ml/jam dalam 2 jam pertama), peningkatan saturasi O2 dan

biasanya terjadi peurunan denyut jantung dan frekuensi pernafasan yang seharusnya

terjadi dalam 1-2 jam pertama. Aliran darah perifer juga dapat meningkatkan seperti yang

ditandai oleh penurunan vasokonstriksi kulit, peningkatan suhu kulit, dan perbaikan

dalam warna kulit. Serta adanya penurunan ronkhi.


9. Setelah pasien nyaman dan diuresis yang stabil telah dicapai, ganti terapi IV dengan

pengobatan diuretic oral


10. Menilai gejala yang relevan dengan HF (dypnea, ortopnea, paroxysmal nocturnal

dyspnea), komorbiditas (misalnya nyeri dada akibat iskemia miokard), dan efek samping

pengobatan (misalnya simptomatik hipotensi). Menilai tanda-tanda kongesti/edem perier

dan paru, denyut dan irama jantug, tekanan darah, perfusi perifer, frekuensi pernafasan

serta usaha pernafasan. EKG (ritme/iskemia dan infark) dan kimia darah/ hematologi

(anemia, gangguan elektrolit, gagal ginjal) juga harus diperiksa. Pulse oxymetry (atau

pengukuran gas darah arteri) harus diperiksa dan diperiksakan ekokardiografi jika belum

dilakukan.
11. Produksi urine < 100 ml/jam dalam 1-2 jam pertama adalah respon awal pemberian

diuretic IV yang tidak adekuat (dikonfirmasi melalui kateter urine).


12. Pada pasien dengan tekanan darah masih rendah/ shock, dipertimbangkan diagnosis

alternative (emboli paru misalnya), masalah mekanis akut, dan penyakit katup yang berat

20
(terutama stenosis aorta). Kateterisasi artei paru dapat mengnditifikasi pasien dengan

tekanan pengisian ventrikel kiri yang tidak adekuat (lebih tepat dalam menyesuaikan

terapi vasoaktif)
13. Balon pompa intra aorta atau dukungan sirkulasi mekanik lainnya harus dipertimbangkan

pada pasien yang tidak terdapat kontraindikasi


14. CPAP dan NIPPV harus dipertimbagkan pada pasien yang tidak terdapat kontraindikasi.

Ventilasi non-invasif continuous positive airway pressure dan noninvasive intermittent

positive pressure ventilation (NIPPV) mengurangi dyspnea dan meningkatkan nilai

fisiologis tertentu (misalnya saturasi oksigen) pada pasien dengan edema paru akut.

Namun, penelitian RCT besar yang terbaru menunjukan bahwa ventilasi non-invasif

tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap penurunan angka kematian bila

dibandingkan dengan terapi standar, termasuk nitrat (dalam 90% dari pasien) dan opiate

(di 51% dari pasien). Hasil ini berbeda dengan penelitian dari metaanalisis sebelumnya

dengan studi yang lebih kecil. Ventilasi non-invasif dapat digunakan sebagai terapi

tambahan untuk meringanan gejala pada pasien dengan edem paru dan gangguan

pernafasan parah atau pada pasien yang kondisinya gagal membaik dengan terapi

farmakologis. Kontraindikasi untuk penggunaan ventilasi non invasive meliputi

hipotensi, muntah, kemungkinan pneumothorax dan depressed consciousness.


15. Dipertimbangkan untuk dilakukan pemasangan intubasi endotrakeal dan ventilasi

invasive jika hipoksemia memburuk, gagal upaya pernafasan, meningkatnya

kebingungan/penurunan tingkat kesadaran, dll.


16. Meningkatkan dosis loop diuretic hingga setara dengan furosemide 500 mg
17. Jika tidak ada respon terhadap penggandaan dosis diuretic meskipun tekanan pengisian

ventrikel kiri adekuat (baik disimpulkan atau diukur secara langsung) maka mulai infus

dopamine 2,5 mikrogram/kg/menit. Dosis yang lebih tinggi tidak dianjurkan untuk

meningkatkan diuresis

21
18. Jika langkah 17 dan 18 tidak menghasilkan diuresis yang adekuat dan pasien tetap terjadi

edem paru maka ultrafiltasi terisolasi venovenous harus dipertimbangkan

Selain itu, terapi definitif pada udem paru akut juga dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 4.Terapi Definitif Udem Paru Akut 4

Obat lain yang bisa digunakan :


 Low molecular weight heparin (profilaksis tromboemboli vena)
Misalnya. enoxaparin 40 mg SC per hari,jika tersedia
Digoxin 500 μg IV (lebih dari 5 atau lebihmenit)
Spironolakton 25-50 mg secara oral (hati-hati pada pasien dengan kelebihan volume t

respon yang buruk terhadap frusemide IV)


Terapi lain yang bisa digunakan di unit perawatan intensif

22
• Infus adrenalin
• Antagonis Vasopressin (conivaptan, tolvaptan)
• Vasodilator (natrium nitroprusside)
• Inotrop (untuk syok kardiogenik atau keadaan hipoperfusi dengan SBP <90 mmHg)
- stimulator beta-adrenergik (dobutamin, dopamin)
- Penghambat phosphodiesterase (milrinone, enoximone)
• Ultrafiltrasi
• Dukungan mekanis (misalnya intra-aortic balloon pump) untuk kejutan kardiogenik
Setelah keadaan pasien stabil, direncanakan juga perawatan post akut.
Penyebab utama paru akut pasien edema harus diobati Ini termasuk mengulas obat-

obatan mereka untuk melihat apakah ada obat-obatan, seperti obat non-obat antiinflamasi

steroid, verapamil atau diltiazem, bisa saja berkontribusi pada masalah ini. Pemantauan

tambahan termasuk bobot harian, dan pengukuran elektrolit serum dan ginjal fungsi juga

dianjurkan. Jika ada bukti fraksi ejeksi yang berkurang dan kronis gagal jantung maka

inhibitor ACE, beta blocker dan antagonis reseptor mineralokortikoid seharusnya

dipertimbangkan.3
Hal-hal yang termasuk kedalam perencanaan perawatan post akut diantaranya :
• Rencana pengelolaan terstruktur
• Perawatan berbasis tim sesuai kebutuhan dan akses
• Edukasi dan support untuk pasien dan perawat
• Penilaian rumah dan dukungan masyarakat
• Gaya hidup
- berhenti merokok
- diet: ikuti panduan Heart Foundation, tidak ditambahkan garam
- pembatasan cairan: maksimal 2 L / hari (1,5 L / hari jika CHF berat)
- alkohol: tidak lebih dari satu unit per hari
- latihan: program individual
• Investigasi
- echocardiogram: wajib untuk semua pasien pasca-AhF
- EKG, profil lipid, glukosa, fungsi ginjal, fungsi hati, fungsi tiroid, studi besi, Fbe
• Pemantauan: pemantauan diri pasien (gejala, berat badan, tekanan darah)
• Pemeriksaan oleh dokter (frekuensi yang ditentukan oleh tingkat keparahan dan

stabilitas CHF):
- gejala, berat badan, tekanan darah, status kardiorespirasi
- manajemen faktor risiko
- komorbiditas (terutama penyakit jantung iskemik, diabetes, PPOK, gangguan ginjal,

sleep apnea, obesitas, depresi, osteoarthritis)


- kondisi kejiwaan

23
- Review pengobatan
- Patologi (urea, kreatinin, elektrolit, Fbe)
• Pengobatan yang ditunjukkan (* memperbaiki prognosis dan juga gejala)
- angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) *: semua pasien
dengan CHF (jika tidak ditolerir menggunakan angiotensin II receptor blocker)
- beta blocker *: pasien dengan gagal sistolik; (bisoprolol, carvedilol, metoprolol,

nebivolol)
- Frusemide: gejala kelebihan cairan
- spironolakton *: tambahkan jika kontrol gejala tidak memadai
- digoxin: pertimbangkan untuk atrial fibrillation, atau sebagai tambahan terapi untuk

irama sinus dengan CHF berat yang tidak terkontrol dengan baik
• Obat-obatan (kontraindikasi atau peringatan):
- verapamil dan diltiazem
- Penghambat NSAID atau siklooksigenase-2
- kortikosteroid
• Vaksinasi: influenza, pneumokokus
• Perangkat terapi untuk pasien dengan CHF sedang atau berat (ahli jantung akan menilai

dan merekomendasikan jika sesuai):


- Terapi resynchronisation jantung (misalnya jika QR lebih besar dari 120 ms)
- defibrilator cardioverter implan.4
2.9 Prognosis

Prediktor angka kematian di rumah sakit pada pasien yang mengalami edema paru kardiogenik3 :

 Perlu ventilasi mekanis

 Disfungsi katup akut

 Perlu dukungan inotropik

 Peningkatan biomarker jantung

 Bukti EKG iskemik atau disritmia

 Usia lanjut

 Disfungsi ginjal (peningkatan serum nitrogen urea darah atau kreatinin)

24
 Hipotensi

 Penggunaan digoxin

 Sakit dada

 Anemia

Pada penelitian Roguin dkk pada tahun 2000, pasien dengan udem paru akut dalam

penelitian ini sebagian besar adalah lansia, dan memiliki IHD, hipertensi, diabetes dan

riwayat APOE sebelumnya. Kematian keseluruhan tinggi (di rumah sakit, 12%: 1 tahun,

40%). Disfungsi ventrikel kiri dikaitkan dengan tingginya mortalitas di rumah sakit, namun

tidak dengan prognosis jangka panjang.11

25
BAB III

KESIMPULAN

Edema paru akut adalah keadaan darurat medis yang membutuhkan pengelolaan

langsung. Edema paru ini ditandai dengan dyspnoea dan hipoksia sebagai hasil dari akumulasi

cairan di paru-paru yang mengganggu gas pertukaran dan kepatuhan paru-paru.Edema paru

dapat didefinisikan sebagai peningkatan cairan paru-paru yang disebabkan oleh ekstravasasi

fluida dari pembuluh darah paru ke interstitium dan alveoli paru-paru. Udem Paru umumnya

diklasifikasikan sebagai nonkardiogenik dan kardiogenik. (CPE) adalah hal yang sering terjadi

dan berpotensi menjad kondisi mematikan sering ditemui dalam pengobatan darurat. Banyak

kondisi baik secara langsung atau tidak langsung mengarah pada perkembangan edema paru.

Terlepas dari penyebab utama CPE, semua pasien yang mengembangkan CPE harus didiagnosis

dan dikelola dengan cepat. Pasien CPE dapat berkembang menjadi kegagalan pernafasan jika

penanganannya tertunda. Penatalaksanaan utama meliputi pengobatan suportif yang ditujukan

terutama untuk mempertahankan fungsi paru (seperti pertukaran gas, perfusi organ), sedangkan

penyebab utama juga harus diselidiki dan diobati sesegera mungkin bila memungkinkan. Prinsip

penatalaksanaan meliputi pemberian oksigen yang adekuat, restriksi cairan, dan

mempertahankan fungsi kardiovaskular.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Mattu A, Martinez JP, Kelly BS,. Modern Management of Cardiogenic Pulmonary

Edema. Emergency Medical Clinic N Am. 2005;23:1105–1125

2. Soemantri. Cardiogenic Pulmonary Edema. NaskahLengkap PKB XXVI Ilmu Penyakit

Dalam. FKUNAIR-RSUD DR.Soetomo.2011;113-9.

3. Purvey M, Allen G. Managing acute pulmonary oedema. Australian Presciber.2017;4(2).

4. Baird A. Acute pulmonary oedema: Management in general practice. Australian Family

Physician.2010; 39(12).

5. Ware LB, and Matthay MA. Acute Pulmonary Edema. New England Journal of Medicine.

2005;353(26).

6. Ali A Sovari, et al. Cardiogenic pulmonary edema.

https://emedicine.medscape.com/article/157452-overview. Diakses: 18 Desember 2017.

7. Mattu A, Martinez JP, Kelly BS. Modern management of cardiogenic pulmonary edema.

Emerg Med Clin N Am. 2005;23:1105-25.

8. Nieminen MS, Bohm M, Cowie MR, Drexler H, Filippatos GS, Jondeau G, et al.

Executive summary of the guidelines on the diagnosis and treatment of acute heart

failure. Eur Heart J. 2005;26:384-416.

27
9. Winck JC, Azevedo LF, Costa-Pereira A, Antonelli M, Wyatt JC. Efficacy and safety of

non-invasive ventilation in the treatment of acute cardiogenic pulmonary edema–a

systematic review and meta-analysis. Critical Care. 2006;10(2):1-18.

10. Masip J, Roque M, Sanchez B, Fernandez R, Subirana M, Exposito JA.

Noninvasive ventilation in cardiogenic pulmonary edema: systematic review and

meta-analysis. JAMA. 2005;294:3124-32.

11. PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta: Pengurus Pusat

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PP PERKI)

12. Roguin A, et al. Long-term prognosis of acute pulmonary oedema--an ominous outcome.

European Journal of Heart Fail. 2000

28

Anda mungkin juga menyukai