Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

Imaging Of Biliary Cyst USG, CT SCAN And MRI

Dosen Pembimbing

dr. Budiawan Atmadja, Sp.Rad

Disusun Oleh :

Seprianto Pariakan

1965050103

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI

PERIODE 22 JUNI – 24 AGUSTUS 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR GAMBAR iii
I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
II. TINJAUAN PUSTAKA 2
2.1 Definisi . 2
2.2 Epidemiologi............................................................................................. 3
2.3 Klasifikasi.................................................................................................. 4
2.4 Etiologi...................................................................................................... 7
2.5 Presentasi Klinis ....................................................................................... 8
2.6 Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 10
2.6.1 Pemeriksaan Penunjang : Ultrasonografi.................................................. 11
2.6.2 Pemeriksaan Penunjang : CT Scan............................................................ 14
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang : MRI.................................................................. 18
2.7 Tatalaksana................................................................................................ 23
III. KESIMPULAN 25
DAFTAR PUSTAKA 27

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1 Klasifikasi Kista Duktus Biliaris berdasarkan Todani............. 5


Gambar II.2 Berbagai klasifikasi kista duktus biliaris.................................. 5
Gambar II.3 Gambaran ultrasonografi kista biliaris tipe I............................ 12
Gambar II.4 Gambaran ultrasonografi kista biliaris tipe IV......................... 12
Gambar II.5 Gambaran ultrasonografi kista biliaris tipe IVa....................... 13
Gambar II.6 Penampakan Caroli Disease pada pemeriksaan USG............ 13
Gambar II.7 Gambaran CT Scan kista biliaris tipe I.................................... 15
Gambar II.8 Gambaran CT Scan kista biliaris tipe II................................... 16
Gambar II.9 Gambaran potongan Axial CT Scan kista biliaris tipe IV........ 16
Gambar II.10 Gambaran potongan Coronal CT Scan kista biliaris tipe IV.. 17
Gambar II.11 Penampakan CT Scan terhadap kista duktus biliaris
non-komunikans..................................................................... 18
Gambar II.12 Gambaran MRI potongan Coronal kista biliaris tipe I.......... 19
Gambar II.13 Gambaran MIP kista biliaris tipe II…………………........... 19
Gambar II.14 Gambaran MRCP kista biliaris tipe II……………...…........ 20
Gambar II.15 Gambaran MRI kista biliaris tipe III…………………........ 20
Gambar II.16 Gambaran MRI kista biliaris tipe IV…………………........ 21
Gambar II.17 Penampakan MR kolangiopankreatografi pada pasien dengan
kista duktus biliaris................................................................ 22
Gambar II.18 Gambaran MRI kista ductud biliaris tipe V...…………........ 22
Gambar II.19 Algoritma Tatalaksana Kista Duktus Biliaris.......................... 24

iii
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Kista bilier adalah sebuah kondisi dilatasi yang terjadi pada berbagai

bagian dari traktus biliaris. Kondisi ini berkisar 1% dari total keseluruhan kelainan

duktus biliaris dengan populasi terdampak paling sering adalah ras asia dan

populasi wanita. Diagnosis ini merupakan masalah klinis penting bagi dokter

dalam berbagai bidang seperti pediatri, gastroenterologi, radiologi dan juga bidang

bedah.

Berbagai presentasi klinis dapat muncul pada kista biliaris yang tentu

membutuhkan berbagai penanganan untuk mencegah komplikasi buruk yang

dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi adalah cholangiocarcinoma,

cholelithiasis, hepatolithiasis, cholangitis, pankreatitis, hipertensi portal, fibrosis

hepar, sirosis hepatis, dan perforasi kista spontan.

Menilik pentingnya berbagai presentasi klinis serta komplikasi yang dapat

muncul maka penegakan diagnosis terhadap kista bilier menjadi salah satu hal

terpenting dalam membantu menentukan jenis terapi yang tepat untuk pasien.

Berbagai modalitas radiologi dapat digunakan seperti USG, CT Scan, MRI, dll.

Topik pada referat ini akan membahas bagaimana penggunaan modalitas –

modalitas radiologi tersebut dalam membantu menegakan diagnosis kista bilier

serta berbagai temuan radiologis yang dapat digunakan sebagai penegakan

diagnosis pada kista bilier.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Kista biliaris adalah kondisi dilatasi pada berbagai bagian dalam saluran

duktus biliaris. Prevalensi kista biliaris berkisar 1% dari total gangguan biliaris

benigna. Kista biliaris banyak terjadi pada populasi Asia dengan populasi wanita

lebi banyak terdampak dibandingkan populasi pria (4:1). Insidensi kelainan

patologis ini sekitar 1:1000 pada populasi Asia dan cenderung lebih rendah pada

populasi ras di negara barat yaitu sekitar 1:100.000. Kondisi ini biasanya

merupakan kondisi kongenital yang dibawa sejak lahir meskipun pada sekitar

20% dari populasi terdeteksi saat usia dewasa.1

Duktus biliaris membutuhkan penegakan diagnosis dan terapi yang cepat,

mengingat kista biliaris berkaitan dengan berbagai risiko karsinogenesis.

Berdasarkan literatur, keganasan pada traktur biliaris terjadi sekitar 2,5% - 28%

pada pasien dengan duktus biliaris dengan risiko keganasananya meningkat

seiring usia. Keganasan tersering yang mungkin terjadi adalah

cholangiocarcinoma. Cholangiocarcinoma banyak dilaporkan pada pasien –

pasien dewasa pasca melakukan reseksi radikal pada kista biliaris saat usia muda.

Beberapa komplikasi lain yang juga berkaitan dengan kista biliaris adalah

cholelithiasis, hepatolithiasis, cholangitis, pankreatitis akut dan kronis, hipertensi

portal, fibrosis hepar, sirosis hepar, dan perforasi kista.1

2
Tingginya komplikasi yang terjadi pada usia dewasa dibandingkan dengan

usia anak pada pasien duktus biliaris menunjukan luasnya spektrum masalah

medis yang melibatkan berbagai bidang seperti pediatri, bedah, radiologi serta

gastroenterologi. Pengenalan dan penanganan yang tepat diperlukan dalam rangka

penyembuhan duktus biliaris sekaligus pencegahan terhadap berbagai komplikasi

yang mungkin muncul.1

II.2 Epidemiologi

Kista duktus biliaris dilaporkan 1 : 13.000 hinga 1 : 2.000.000 kelahiran

dengan bayi perempuan lebih berisiko mengalami kista duktus biliaris dengan

perbandingan 3 : 1 dibandingkan bayi laki – laki. Prevalensi tertinggi pada

populasi ras Asia dengan Jepang memiliki tingkat prevalensi tertinggi.

Insidensinya mencapai 1 : 1.000 kelahiran hidup di Jepang, 1 : 13.500 kelahiran di

Amerika Serikat dan mencapai 1 : 15.000 di Australia.2

Duktus biliaris tidak hanya berdampak pada pasien anak, tetapi juga pada

populasi pasien dewasa. Sekitar 60% pasien dengan kista duktus biliaris dapat

terdiagnosis pada saat dekade pertama kehidupan, dengan 20% di antaranya tidak

terdiagnosis hingga mencapai usia dewasa. Dengan adanya peningkatan

kemampuan modalitas diagnostik pencitraan hepatobilier, terjadi peningkatan

signifikan terhadap jumlah pasien dewasa dengan 74% pasien dilaporkan

merupakan pasien dewasa.2

Penelitian yang dilakukan oleh Wiseman, et al dengan menggunakan

metode studi survei epidemiologi di Amerika Utara menunjukan bahwa 51 pasien

yang teridentifikasi mengalami kista duktus koledokus/ kista biliaris di antara

3
1985 hingga 2002 dan telah menjalan pengobatan. Di antara 51 pasien tersebut, 41

pasien di antaranya perempuan (80%) sedangkan 10 pasien di antaranya laki –

laki (20%). Rata – rata usia sampel tersebut adalah 37,3. Berdasarkan ras, total 13

pasien memiliki ras Asia (25%) dan 38 pasien memiliki ras Kaukasian (75%).3

Penelitian lain dilakukan oleh Ortiz et al, dengan melihat prevalensi kista

biliaris pada populasi dewasa di Meksiko antara tahun 1989 hingga 2015.

Penelitian tersebut mengikutkan sampel pasien usia di atas 16 tahun di salah satu

rumah sakit di Meksiko. Pada penelitian tersebut dilaporkan 52 pasien menderita

kista duktus biliaris dengan hanya 25 pasien yang berhasil didapatkan informasi

klinis. Terdapat 20 pasien wanita (80%) dan 5 pasien pria (20%) dengan rerata

usia mencapai 31,3 tahun. Gejala – gejala utama dari kista biliaris ini yang

biasanya dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri perut yang dirasakan 21 pasien

(84%) dan diikuti ikterik yang dialami 13 pasien (52%), mual dan muntah

sebanyak 9 pasien (36%), pankreatitis sebanyak 4 pasien (16%), cholangitis pada

2 pasien (4%). Hanya terdapat 1 pasien di antara 25 pasien tersebut yang

mengalami trias presentasi klinis dari kista duktus biliaris yaitu ikterik, nyeri

abdomen, dan massa abdomen.4

II.3 Klasifikasi

Klasifikasi kista duktus biliaris dilakukan berdasarkan pengelompokan

terhadap ukuran, bentuk kista serta bagian duktus yang terdampak. Klasifikasi

pertama yang diusulkan untuk kista duktus biliaris adalah klasifikasi oleh Alonso-

Lej, et al sebelum dimodifikasi oleh Todani, et al dan menjadi klasifikasi kista

duktus biliaris yang paling banyak digunakan hingga saat ini. Klasifikasi Todani

4
membagi kista duktus biliaris menjadi 6 jenis: (1) Tipe 1: Kista Soliter

Ekstrahepatik, Ic merupakan tipe kistik sedangkan If merujuk pada tipe

fusiformis, (2) Tipe 2: Divertikulum Ekstrahepatik Supraduodenal, (3) Tipe 3:

Divertikulum Intraduodenal (Koledokocel), (4) Tipe 4: Dilatasi Ekstrahepatik dan

Intrahepatik, IVa merujuk pada tipe kista fusiformis dan IVb merujuk pada tipe

kista multipel, (5) Kista Intrahepatik Multipel (Caroli’s disease).2

Gambar II.1 Klasifikasi Kista Duktus Biliaris berdasarkan Todani2

5
Di antara kelima jenis tersebut, Kista Duktus Biliaris tipe I merupakan tipe

tersering dengan lokasi paling kerap terjadi pada duktus koledokus sehingga jenis

ini kerap disebut “kista duktus koledokus”. Distribusi tipe kista duktus biliaris

antara populasi dewasa dan populasi anak cenderung mirip kecuali pada kista

duktus biliaris tipe IV yang lebih banyak ditemukan pada dewasa dibandingkan

pada populasi anak. Duktus Biliaris Tipe I merupakan tipe tersering sesuai yang

telah disampaikan sebelumnya yaitu sebesar 79% total kasus kista duktus biliaris

diikuti kista duktus biliaris tipe IV sebesar 13%, kista duktus biliaris tipe III

sebesar 4% dan kista duktus biliaris tipe II sebanyak 3%. Kista duktus biliaris tipe

V atau Caroli’s disease merupakan tipe terjarang dengan prevalensi kurang dari

1% dari total seluruh kasus kista duktus biliaris.2

Gambar II.2 Berbagai klasifikasi kista duktus biliaris.1

6
II.4 Etiologi

Etiologi kista duktus biliaris hingga saat ini masih banyak menimbulkan

perdebatan dan belum terdapat bukti saintifik tunggal yang dipercaya dan

disepakati sebagai etiologi kista duktus biliaris. Berbagai teori telah dikemukan

yang didasarkan pada berbagai observasi klinis dan eksperimental berdasarkan

patofisiologi penyakit tersebut. Hipotesis yang paling kerap digunakan adalah

hipotesis Long Common Channel yang dikemukakan oleh Babbit. Junctio Duktus

Pankreatobilier yang abnormal akan menyebabkan getah pankreas mengalami

refluks kembali ke sistem bilier. Hal ini diprediksi akan meningkatkan tekanan

intraduktal serta inflamasi pada lokasi tersebut. Hal ini akan secara simultan

menyebabkan dilatasi duktal. Teori diperkuat oleh beberapa studi yang

menunjukan bahwa 60% hingga 96% pasien kista duktus biliaris memiliki junctio

duktus pankreatikobilier yang abnormal/memiliki anomali.2

Teori lain yang dianggap sebagai penyebab kista duktus biliaris adalah

teori obstruksi pada duktus koledokus sebagai faktor penyebab. Fungsi abnormal

pada sphincter Oddi ditemukan pada beberapa pasien dengan kista duktus biliaris.

Motilitas yang bersifat abnormal diprediksi menyebabkan terjadinya peningkatan

tekanan intraduktal yang juga berujung pada kista duktus biliaris.2

Penyebab lain yang juga diprediksi menjadi penyebab adalah

oligogangionosis pada duktus koledokus distal. Hal ini akan menyebabkan

inervasi autonom pada duktus koledokus menjadi inadekuat yang berujung pada

obstruksi fungsional dan dilatasi proksimal yang mirip terjadi pada Chaga’s

disease pada esofagus dan Hirschprung’s disease pada kolon.2

7
Kemungkinan adanya penyebab infeksi juga diprediksi memiliki peran

terjadinya kista duktus biliaris. Studi menunjukan adanya infeksi virus retroviral

RNA pada jaringan dari pasien dengan kista duktus koledokus. Infeksi tersebut

akan menyebabkan respons imun pada duktus koledokus yang dapat berujung

pada aganglionosis sesuai yang telah dibahas pada paragraf sebelumnya.2

Tidak ditemukan adanya pola herediter genetis pada penyakit ini meskipun

dilaporkan bahwa pasien dengan kista duktus biliaris cenderung memiliki

keturunan dengan kista duktus biliaris. Sedangkan hormon seks dan gangguan

endokrin kongenital intrauterin belum memiliki cukup bukti menjadi penyebab

kista duktus biliaris meskipun prevalensi tertinggi penyakit ini terjadi pada wanita

dan pada bayi. Hal ini memungkinkan bahwa kista duktus biliaris tidak

disebabkan oleh penyebab tunggal dan cenderung memiliki berbagai etiologi dan

perannya masing – masing dalam proses terjadinya kista duktus biliaris.2

II.5 Presentasi Klinis

Trias presentasi klinis pada kista duktus biliaris pertama diperkenalkan

oleh Alonso-LEJ et al yang meliputi nyeri hipokondriak, teraba adanya massa

abdomen, dan ikterik. Trias presentasi klinis tersebut ditemukan pada sekitar 20 –

30% pasien. Dua dari tiga presentasi klinis tersebut terjadi pada 2/3 total pasien

kista duktus biliaris. Presentasi – presentasi klinis tersebut rata – rata muncul pada

usia kurang dari 10 tahun (terjadi pada hampir 80% pasien).1

Presentasi klinis setiap pasien dapat berbeda bergantung pada usia pasien.

Berdasarkan usia, presentasi klinis pasien kista duktus biliaris dapat dibagi

menjadi 2 secara garis besar yaitu pasien neonatal (<12 bulan) dan pasien

8
“dewasa” (>12 bulan). Saat prenatal, kista duktus biliaris biasanya terdiagnosis

secara tidak sengaja dengan terdeteksinya massa kistik intra-abdomen saat

pemeriksaan prenatal. Pada pasien neonatal (<12 bulan), gejala ikterik dan massa

abdomen adalah presentasi yang paling sering terjadi. Pada pasien “dewasa” (>12

bulan) presentasi klinis yang paling sering muncul adalah nyeri, demam, dan

mual. Nyeri merupakan gejala klinis tersering pada pasien dewasa.1

Terkadang pasien tidak mengalami gejala – gejala yang telah disebutkan

seperti di atas, akan tetapi pasien justru mengalami gejala dari komplikasi yang

ditimbulkan kista duktus biliaris. Pasien dapat mengalami komplikasi dari kasus

kista duktus biliaris seperti cholangitis rekuren dan pankreatitis merupakan efek

samping dari refluks pankreatikobillier. Komplikasi lain yang dapat muncul

adalah kolangiokarsinoma, kolesistolithiasis, kolesistitis dan sirosis hati. Sirosis

hati juga akan memiliki imbas lebih lanjut seperti perdarahan gastrointestinal atas

akibat ruptus varises esofagus, splenomegali, pansitopenia, dll.1

Ruptur spontan kista duktus biliaris dapat terjadi pada 1% - 12% pasien.

Kondisi ini biasanya ditandai dengan nyeri abdomen akut, tanda peritonitis dan

tanda sepsis. Pasien dengan koledokel biasanya bersifat asimtomatik. Sedangkan

pada pasien kista duktus biliaris tipe III dapat menunjukan presentasi obstruksi

pada lumen duodenum atau intususepsi. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah

kista duktus biliaris merupakan kondisi premaligna. Studi melaporkan risiko

kanker pasien tersebut sekitar 10% - 30% dan bertambah seiring usia.1

9
II.6 Pemeriksaan Penunjang

Beberapa moda diagnostik dapat digunakan untuk melakukan diagnosis

terhadap kista duktus biliaris. Pada pemeriksaan laboratorium, dapat ditemukan

adanya fungsi hepar dan pemeriksaan kolestasis yang bersifat abnormal seperti

bilirubin serum, alkali fosfatase, gamma glutamiltranspeptidase, alanin transferase

dan aspartat aminotransferase. Akan tetapi pemeriksaan tersebut tidak bersifat

spesifik sehingga abnormalitas pada hasil pemeriksaan tersebut tidak dapat serta

merta menunjukan adanya kista duktus biliaris.1

Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan kista duktus biliaris yang

kerap digunakan dalam setting klinis sehari – hari. Beberapa pemeriksaan

radiologis yang dapat digunakan adalah pemeriksaan USG, CT Scan, dan MRI.

Pemeriksaan radiologis digunakan untuk melakukan visualisasi terhadap dilatasi

biliaris. USG merupakan pemeriksaan paling awal dan paling mudah yang dapat

dilakukan untuk menginvestigasi kecurigaan adanya kista duktus biliaris.

Pemeriksaan ini dapat melakukan visualisasi intraepatik dan ekstrahepatik

sekaligus melakukan pengukuran terhadap ukuran duktus biliaris. Pemeriksaan ini

akan menunjukan adanya massa kistik pada kuadran kanan atas. USG juga

digunakan dalam melakukan diagnosis prenatal meningat pemeriksaan USG aman

untuk ibu hamil. Pemeriksaan CT Scan dan MRI juga kerap digunakan

bergantung pada ketersediaan kedua alat tersebut.1

Pemeriksaan standar yang digunakan untuk mendiagnosis kista duktus

biliaris adalah pemeriksaan kolangiografi. Pemeriksaan ini merupakan

pemeriksaan visualisasi saluran bilier yang lebih spesifik karena dapat

membedakan kista duktus biliaris dengan kista intraabdominal lain seperti

10
pseudokista pankreatik, kista echinococcal, atau kistadenoma billier. Pemeriksaan

ini memiliki beberapa metode khusus seperti: Echoangiopancreatography

(ERCP), magnetic resonance-cholangiopancreatography (MRCP), percutaneous

transhepatic cholangiography (PTC), dan intraoperative cholangiography.1

II.6.1 Pemeriksaan Penunjang: Ultrasonografi

Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang

direkomendasikan sebagai pemeriksaan awal pada evaluasi pasien dengan gejala

nyeri kuadran kanan atas dan ikterik. Beberapa kondisi yang dapat muncul

berdasarkan gejala tersebut adalah koledokolithiasis, striktur billier, ataupun

tumor. Ultrasonografi memiliki sensitifitas yang tinggi dalam mendeteksi pasien

dengan obstruksi billier mekanik ataupun gejala adanya kolelitiasis, tetapi

memiliki sensitifitas yang relatif rendah untuk mendeteksi adanya tumor yang

mengobstruksi seperti karsinoma pankreas dan kolangiokarsinoma.5

Pemeriksaan ultrasonografi untuk melakukan pemeriksaan pada sistem

bilier paling baik dilakukan jika pasien dipuasakan antara 8 jam hingga 12 jam.

Pemeriksaan dalam kondisi puasa memiliki 2 tujuan. Pertama, gaster dan

duodenum yang kosong membantu visualisasi yang lebih baik pada duktus

koledokus. Kedua, akan memicu pengisian cairan empedu pada vesica fellea

sehingga vesica felle lebih terdistensi dan memudahkan visualisasi vesica fellea

dan intraluminal. Posisi yang disarankan untuk melakukan visualisasi duktus

koledokus adalah posisi supinasi atau menghadap ke kanan dengan derajat elevasi

30º dengan visualisasi traktur biliaris paling baik dilakukan menggunakan probe

curvilinear menggunakan frekuensi tertinggi.5

11
Pasien dengan kista duktus koledokus memiliki komunikasi abnormal

antara duktus koledokus proksimal intrapankreatik dengan sphincter Oddi.

Refluks retrograd dari getah pankreas menuju ke duktus biliaris pada keadaan

lebih lanjut akan menyebabkan displasia bilier dan kolangiokarsinoma. Pada

penampakan ultrasonografi, dapat ditemukan adanya dilatasi kistik duktus

hepatikus komunis yang letaknya anterior dari vena porta.5

Gambar II.3 Gambaran ultrasonografi kista biliaris tipe I5

Kista bilier Tipe IV merupakan jenis kista pada saluran bilier kedua yang

sering terjadi yaitu sebesar 30-40% dengan karakteristik dilatasi dari kedua

saluran hepatic yaitu saluran intra hepatik dan ekstra hepatik.

Gambar II.4 Gambaran ultrasonografi kista biliaris tipe IV5

12
C

Gambar II.5 Gambaran ultrasonografi kista biliaris tipe IVa5

Pada kista duktus biliaris tipe V atau yang kerap disebut sebagai Caroli

disease, dapat ditemukan adanya dilatasi kistik kongenital duktus bilier

intrahepatik yang tervisualisasi sebagai struktur tubular ovoid bercabang yang

terletak pada sekitar trias porta. Penampakan lain yang dapat muncuk adalah

penampakan dilatasi duktus intrahepatal dan ruang kistik kecil. Pasien dengan

Caroli Disease dapat berkembang menjadi stasis bilier, cholangitis, dan calculi

ductal. Pasien – pasien dengan Caroli Disease memiliki peningkatan risiko

terhadap terjadinya kolangiokarsinoma di kemudian hari.5

13
Gambar II.6 Penampakan Caroli Disease pada pemeriksaan ultrasonografi.5
II.6.2 Pemeriksaan Penunjang: CT Scan

Pemeriksaan lain yang dapat menjadi pilihan dalam melakukan diagnosis

kista duktus biliaris adalah CT Scan. Pemeriksaan ini kerap digunakan untuk

mengevaluasi hepar, dan deteksi adanya massa baik pada hepar maupun pada

duktus biliaris. Teknik yang saat ini disarankan dalam penggunaan CT Scan

adalah teknik CT Scan Spiral dibandingkan dengan penggunakan CT Scan

konvensional dinamik. Keunggulan yang disajikan adalah pemindaian yang relatif

lebih cepat dan mampu melakukan pemindaian dengan beberapa fase berbeda

(fase arterial, fase portal, fase delayed) sehingga menghasilkan pencitraan yang

lebih baik. Keunggulan lainnya adalah rerata volume parsial yang lebih rendah

sehingga dapat menghasilkan rekonstruksi aksial pada interval optimal.6

Protokol CT Scan yang digunakan adalah dengan CT Scan spiral pada

abdomen dan pelvis setela administrasi material kontras secara oral maupun

intravena. Bahan yang paling sering digunakan adalah lohexol 120 ml yodium

dengan konsentrasi 350 mg/ml dan diinjeksi pada kecepatan 2 ml/detik hingga 3

ml/detik.6

CT Scan yang saat ini paling banyak digunakan untuk deteksi kista duktus

biliaris adalah multidetector computed tomography dengan pengaturan khusus.

Modalitas pemeriksaan ini dapat membuat dokter mampu memvisualisasi struktur

anatomis pada duktus biliaris secara lebih lengkap. Akan tetapi modalitas ini

memiliki kesulitan untuk mendeteksi kasus dengan anomali duktal. Penggunaan

ERCP lebih dipilih pada kasus dengan anomali duktal.7

14
Gambar II.7 Gambaran CT Scan kista biliaris tipe I7

Pada penampakan CT Scan, kista duktus koledokus kerap terdeteksi pada

CT Scan sebagai lesi kistik yang terisi cairan pada porta hepatis dan terhubung

dengan traktur biliaris. Kondisi ini biasanya dapat terkonfirmasi dengan

menggunakan pemeriksaan kolangiografi. Pemeriksaan CT Scan dapat digunakan

untuk memvisualisasi kontinuitas kista terhadap duktus biliaris dan hubungannya

terhadap struktur sekitar yang berhubungan dengan kondisi yang bersifat maligna.

Pemeriksaan ini lebih superior dibandingkan dengan pemeriksaan ultrasonografi

dalam visualisasi duktus biliaris intrahepatal, duktus biliaris distal, dan kaput

pankreas.8, 9

15
Gambar II.8 Gambaran CT Scan kista biliaris tipe II

Gambar II.9 Gambaran Potongan Axial CT Scan kista biliaris tipe IV

Pada pasien dengan kista duktus biliaris tipe IVA atau Caroli Disease,

pemeriksaan CT Scan penting untuk menetukan batas antara dilatasi intrahepatal

dan ekstensi dari penyakit ini seperti adanya keterlibatan lesi difus hepatal

ataupun keterlibatan segmental. Hal ini menjadi penting terutama dalam terapi

kista duktus biliaris atau Caroli disease yang membutuhkan lobektomi segmental.

Adanya keganasan dapat pula terdeteksi pada CT Scan dengan penampakan

16
penebalan dinding. Pemeriksaan CT Scan sangat disarankan terutama untuk

membedakan dinding kista yang bersifat maligna dengan adanya inflamasi

reaktif.9

Gambar II.10 Gambaran Potongan Coronal CT Scan kista biliaris tipe IV

Metode CT Scan juga sudah dikombinasikan dengan kolangiografi

terutama untuk memberikan batas terhadap anatomi duktus biliaris secara

menyeluruh. Metode CT Scan jenis ini memiliki sensitifitas sebesar 90% untuk

mendiagnosis adanya kista duktus koledokus.Akan tetapi, pemeriksaan ini hanya

memiliki sensitifitas terhadap visualisasi duktus pankreatikus sebesar 64% karena

sangat bergantung pada besarnya refluks kontras ke dalam duktus.9

17
Gambar II.11: Penampakan CT Scan terhadap kista duktus biliaris non-komunikans10

II.6.3 Pemeriksaan Penunjang: MRI

Pemeriksaan MRI juga kerap digunakan untuk mendiagnosis pasien

dengan gangguan duktus biliaris. Pemeriksaan ini utamanya digunakan untuk

melakukan deteksi dan karakterisasi lesi hepar fokal. Beberapa keuntungan yang

disajikan oleh pemeriksaan MRI adala kapabilitas dalam melakukan pencitraan

multiplanar, resolusi kontras yang lebih superior dibandingkan dengan CT Scan

dan tidak adanya radiasi pengion, serta sekuens pencitraan yang membuat

tampilan pencitraan menjadi lebih cepat. Hinga saat ini kontras yang diizinkan

untuk digunakan utamanya di Amerika Serikat adalah gadolinium.6

Protokol yang digunakan dalam pencitraan MRI terdiri dari axial spin-

echo T1-weighted dan fast spin-echo T2-weighted melalui pencitraan abdomen

dan pelvis. Ketebalan yang paling sering digunakan adalah dengan ketebalan 8

mm untuk pemeriksaan abdomen dan ketebalan 2 mm untuk pemeriksaan pelvis.

Beberapa pengaturan tambahan dapat diterapkan bergantung dengan pemeriksaan

spesifik yang ingin dilakukan.6

18
Gambar II.12 Gambaran MRI Potongan Coronal T2 kista bilier tipe I

Gambar II.13 Gambaran MIP kista duktus biliaris tipe II

19
Gambar II.14 Gambaran MRCP kista duktus biliaris tipe II

Gambar II.15 Gambaran MRI kista duktus biliaris tipe III

20
Gambar II.16 Gambaran MRI kista duktus biliaris tipe IV

Penggunaan MRI saat ini telah dikombinasikan dengan kolangiografi

sehingga didapatkan pencitraan yang lebih optimal. Metode baru ini dapat

digunakan untuk melakukan evaluasi anatomi preoperatif, evaluasi postoperatif,

dan evaluasi fungsional. Pemeriksaan ini dapat menjadi metode evaluasi anatomi

preoperatif yang bersifat aman jika dibandingkan dengan invasif lainnya dalam

mengevaluasi anatomi pasien. Meskipun MR kolangiopankreatografi dengan

mode conventional T2-weigthed banyak digunakan, tetapi tidak memiliki

kemampuan yang cukup dalam mengevaluasi duktus intrahepatal dan adanya

variasi anatomis. Penggunaan kontras Mn-DPDP pada MR kolangiografi terbukti

dapat membantu permasalahan tersebut terutama dalam melakukan evaluasi

preoperatif. Pada evaluasi postoperatif, pemeriksaan ini juga memiliki manfaat

besar karena bersifat non-invasif terutama untuk mengevaluasi adanya komplikasi

seperti kebocoran empedu , ligasi duktus biliaris yang gagal serta adanya striktur.

Meskipun dengan menggunakan MR kolangiografi mode T2-weighted

conventional dianggap cukup, akan tetapi penggunaan kontras akan membantu

21
dalam memberikan informasi fungsional lebih berkaitan dengan di mana lokasi

terjadinya kebocoran cairan empedu.11

Gambar II.17: Penampakan MR kolangiopankreatografi pada pasien dengan kista biliaris12

Gambar II.18 Gambaran MRI kista duktus biliaris tipe V


Pada pemeriksaan menggunakan MR (baik MRI konvensional, ataupun

MR kolangiopankreatografi), dapat menunjukan dilatasi saccular multipel pada

pasien dengan Caroli Disease.

22
II.7 Tatalaksana

Tatalaksana terhadap kista duktus biliaris dilakukan dengan pendekatan

berdasarkan klasifikasi Todani yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya.

Prinsip tatalaksana pada kasus ini adalah deteksi sedini mungkin adanya kista

duktus biliaris. Deteksi yang dini membutuhkan moda – moda diagnostik yang

tepat sesuai dengan kebutuhan. Pada kista duktus biliaris tipe III, pilihan terapi

yang dilakukan adalah terapi intervensional dengan menggunakan endoscopic

retrograde cholangiopancreatography. Metode ini dapat berguna sebagai metode

diagnostik sekaligus metode terapi karena di saat bersamaan dapat dilakukan

sphincterotomi. Terapi lain yang dapat digunakan adalah eksisi transduodenal

diikuti dengan sphincteroplasti. Akan tetapi, metode ERCP saat ini dianggap

cukup sebagai terapi. Metode reseksi komplit dipilih pada kasus kista duktus

biliaris tipe I dan tipe IVb. Tingkat kesuksesan metode ini pada kista duktus

biliaris jenis ini mencapai 92%. Sedangkan metode transplantasi dipilih pada

pasien dengan Caroli Disease sebagai satun – satunya terapi yang dapat

dilakukan. Hal ini disebabkan adanya fibrosis hepar kongenital dan sirosis bilier

sekunder yang tentu menimbulkan kondisi klinis sirosis hepatis.13

23
Gambar II.19 Algoritma Tatalaksana Kista Duktus Biliaris14

24
BAB III

KESIMPULAN

Kista Duktus Biliaris adalah sebuah kondisi dimana terjadi dilatasi

patologis yang terjadi pada traktus biliaris. Kondisi ini dapat terjadi disebabkan

karena adanya refluks kembali getah empedu ke dalam sistem bilier yang jika

terjadi secara terus menerus menyebabkan terjadinya inflamasi berulang pada

bagian traktus biliaris dan menyebabkan terjadinya dilatasi secara patologis.

Gangguan ini banyak terjadi pada populasi Asia dan jenis kelamin Wanita.

Beberapa komplikasi yang dapat muncul akibat adanya kista duktus biliaris adalah

kolangiokarsinoma, kolesistitis, kolelitiasis dan gangguan – ganggua hepatobilier

lainnya. Pemeriksaan dan deteksi yang tepat mutlkak diperlukan untuk melakukan

penanganan terhadap kista duktus biliaris sekaligus mencega terjadinya

komplikasi yang mungkin terjadi.

Beberapa pemeriksaan radiologis yang menjadi pilihan adalah

ultrasonografi, CT Scan, dan MRI. Masing – masing memiliki keunggulan dan

kegunaan masing – masing. Pemeriksaan USG lebih dipilih sebagai moda

diagnostik dan screening kista duktus biliaris yang relatif lebih murah dan mudah

untuk dilakukan. Sedangkan pemeriksaan CT Scan dan MRI lebih sering

digunakan untuk melakukan penegakan diagnosis terhadap kista duktus biliaris

mengingat sensitifitasnya cukup baik. Saat ini kedua moda tersebut telah banyak

dilakukan modifikasi dan kombinasi untuk meningkatkan akurasi dan

kemampuannya dalam mendiagnosis kista duktus biliaris.

25
Tatalaksana yang diberikan kepada pasien kista duktus biliaris sangat

bergantung dengan klasifikasi berdasarkan Todani. Tatalaksanan yang dapat

dilakukan yaitu seperti intervensi invasif, reseksi komplit hingga transplantasi jika

berbagai komplikasi terminal telah dialami oleh pasien.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Jabłońska B. Biliary cysts: etiology, diagnosis and management. World

journal of gastroenterology: WJG. 2012;18(35):4801.

2. Söreide K, Körner H, Havnen J, Söreide J. Bile duct cysts in adults. British

Journal of Surgery. 2004;91(12):1538-48.

3. Wiseman K, Buczkowski AK, Chung SW, Francoeur J, Schaeffer D,

Scudamore CH. Epidemiology, presentation, diagnosis, and outcomes of

choledochal cysts in adults in an urban environment. The American

Journal of Surgery. 2005;189(5):527-31.

4. Ortiz CAM, Jiménez-López M, Franco SS. Biliary cysts in adults. 26 years

experience at a single center. Annals of medicine and surgery. 2016;11:29-

31.

5. Foley WD, Quiroz FA. The role of sonography in imaging of the biliary

tract. Ultrasound quarterly. 2007;23(2):123-35.

6. Horton KM, Bluemke DA, Hruban RH, Soyer P, Fishman EK. CT and

MR imaging of benign hepatic and biliary tumors. Radiographics.

1999;19(2):431-51.

7. Lee HK, Park SJ, Yi BH, Lee AL, Moon JH, Chang YW. Imaging features

of adult choledochal cysts: a pictorial review. Korean journal of radiology.

2009;10(1):71-80.

8. Kim H, Park S, Park S, Shin H, Park S, Kim H, et al. Three-dimensional

reconstructed images using multidetector computed tomography in

evaluation of the biliary tract. Abdominal imaging. 2004;29(4):472-8.

27
9. Singham J, Yoshida EM, Scudamore CH. Choledochal cysts: part 2 of 3:

Diagnosis. Canadian Journal of Surgery. 2009;52(6):506.

10. Lewis VA, Adam SZ, Nikolaidis P, Wood C, Wu JG, Yaghmai V, et al.

Imaging of choledochal cysts. Abdominal imaging. 2015;40(6):1567-80.

11. Seale MK, Catalano OA, Saini S, Hahn PF, Sahani DV. Hepatobiliary-

specific MR contrast agents: role in imaging the liver and biliary tree.

Radiographics. 2009;29(6):1725-48.

12. Topazian M. Pancreas Divisum, Biliary Cysts, and Other Congenital

Anomalies. Ercp: Elsevier; 2019. p. 335-45. e2.

13. Cerwenka H. Bile duct cyst in adults: interventional treatment, resection,

or transplantation? World Journal of Gastroenterology: WJG.

2013;19(32):5207.

14. Gupta S, Hardacre JM, Ammori JB. Choledochal Cysts. Clinical

Algorithms in General Surgery: Springer; 2019. p. 369-71.

28

Anda mungkin juga menyukai