Anda di halaman 1dari 16

Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal dalam

Pengelolaan Sumberdaya Alam di Tapanuli Selatan1

Zulkifli B. Lubis

(Universitas Sumatera Utara)

Abstract

Studies on local knowledge are recently important in development program. Such studies
remind us to learn from the community before we teach them. This article discusses how local
knowledge understood and used to encourage people participation in forest conversation in
South Tapanuli, North Sumatera. The author argues that local knowledge in forest manage-
ment can be revitalized to build participation if only all stakeholders able to make social
commitment as part of social capital.

Key words: local knowledge; territoriality; tenure; natural resources.

Pengantar lokal yang juga dikenal sebagai indigenous


Sungguh menarik untuk membicarakan knowledge itu telah mencuat ke permukaan dan
kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya diakui sebagai bagian penting dalam program
alam sementara kita mengetahui apa yang pembangunan ke depan. Pengetahuan asli
disebut “kearifan” itu sendiri sudah menjadi yang dimiliki suatu komunitas, kata Chambers
barang (sumberdaya) langka dewasa ini. Dalam & Richards (1995:xiii) tidak lagi dipandang
banyak kasus di negeri ini, bahkan di seantero sebagai takhayul (superstition), tetapi telah
dunia, kearifan komunitas lokal dalam mengelola mengajarkan kita pada kerendahan hati dan
sumberdaya alam sudah punah bersamaan kebutuhan untuk belajar dari suatu komunitas
dengan musnahnya biodiversitas yang sebelum kita mengajari mereka.2
mengiringi kerusakan lingkungan oleh aktor- Seperti apakah pengetahuan asli atau
aktor luar yang datang dan bekerja atas nama kearifan komunitas-komunitas yang ada di
pembangunan dan kapitalisme. Tetapi di Kabupaten Tapanuli Selatan dalam mengelola
penghujung abad ke-20, wacana tentang kearifan sumberdaya alamnya, dan bagaimana sebaiknya
mendayagunakan khasanah budaya tersebut
1
Makalah disampaikan pada Workshop Membangun
2
Partisipasi Masyarakat dalam Penyelamatan Hutan di Meskipun terasa tak menyenangkan, lanjut Cham-
Tapanuli Selatan; diselenggarakan atas kerjasama bers & Richards, pada kenyataannya (pengetahuan
Pusaka Indonesia, Bitra Indonesia, Walhisu, Samudra ilmiah) “kita” —para agen pembangunan— membawa
dan Partnership for Governance Reform in Indone- banyak masalah, sementara (pengetahuan) “mereka”
sia; di Hotel Tor Sibohi Sipirok, 21-22 April 2003. —warga komunitas—memberi banyak solusi.

Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal 239


untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam mereka miliki dalam pengelolaan sumberdaya
penyelamatan hutan di Tapsel? Gambaran alam juga menjadi bagian dari sistem pembagian
ringkas yang disajikan dalam tulisan ini lebih wilayah dan penguasaaan yang berlaku (di-
dimaksudkan sebagai bahan pengantar diskusi otorisasi) dalam satu konteks waktu tertentu.
ketimbang sebagai sebuah jawaban/solusi untuk Sebagai konsekwensinya, seperti akan terlihat
pertanyaan di atas. Tulisan ini berangkat dari dalam uraian di bawah, eksistensi dan kekuatan
asumsi bahwa kearifan lokal yang (pernah) ada kearifan lokal itu juga sangat bergantung
dalam pengelolaan sumberdaya alam (khususnya kepada konteks waktu dan otoritas politik yang
hutan) dapat direvitalisasi untuk membangun sedang berlaku.
partisipasi jika semua stakeholder terkait mampu
menumbuhkan dan membangun modal sosial di Konsep pembagian wilayah
antara mereka berlandaskan konsensus dan Secara tradisional komunitas Angkola dan
komitmen baru (yang diperbarui) yang di- Mandailing mengenal beberapa konsep dasar
rumuskan secara bersama-sama. berkenaan dengan pembagian tata ruang dan
penguasaan wilayah serta sumberdaya yang
Konsep tradisional tentang pembagian ada di dalamnya. Tiga diantaranya yang paling
wilayah dan penguasaan sumberdaya pokok dan akan diuraikan berikut ini adalah
Secara sederhana kearifan lokal atau Banua, Huta dan Janjian. Menurut Zainuddin
kearifan lingkungan dapat didefinisikan sebagai Lubis (1987:92) Banua mengandung pengertian
pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh satu kesatuan wilayah; Huta mengandung
suatu masyarakat tertentu yang mencakup pengertian satu kesatuan tempat pemukiman
sejumlah pengetahuan kebudayaan yang penduduk; sedangkan Janjian merupakan
berkenaan dengan model-model pemanfaatan persekutuan teritorial sejumlah Banua yang
dan pengelolaan sumberdaya alam secara diikat oleh kesatuan adat dan bukan oleh
lestari (Zakaria 1994:56). 3 Pengetahuan kesatuan politik. Di daerah Angkola, padanan
kebudayaan orang Angkola dan Mandailing4 konsep terakhir itu dikenal dengan sebutan
yang mendiami kawasan Tapanuli Selatan dan Hayuara Mardomu Bulung. Ketiga konsep
Mandailing Natal tentang hubungan mereka tersebut terutama berlaku dalam tatanan
dengan lingkungannya terkait dengan konsepsi kehidupan masyarakat Angkola dan
mereka tentang pembagian wilayah dan Mandailing sebelum diterapkannya pembagian
penguasaan sumberdaya. Kearifan yang wilayah administratif menurut perundang-
undangan negara Republik Indonesia.
3
Kearifan lingkungan itu berisi gambaran tentang (i) Banua merupakan satu kesatuan
anggapan masyarakat mengenai hal-hal yang berkaitan wilayah dengan satu kesatuan masyarakat
dengan struktur lingkungan, bagaimana lingkungan
berfungsi, bagaimana reaksi alam terhadap tindakan- hukum yang otonom dalam pemerintahan
tindakan manusia, serta hubungan-hubungan (yang dengan dikepalai seorang raja yang diangkat
sebaiknya tercipta) antara manusia (masyarakat) dari keturunan patrilineal klen pendiri Banua
dengan lingkungan alamnya (Zakaria, 1994:56).
4
(Lubis 1987:87). Sebuah Banua berkembang
Meskipun Orang Angkola dan Mandailing mendefinisi-
kan dirinya berbeda label identitas etnik, tetapi secara
dari satuan pemukiman penduduk yang
sosial budaya mereka hampir tidak bisa dibedakan satu bernama Huta. Dengan demikian, penguasaan
sama lain kecuali dari adanya beberapa varian trait budaya wilayah (ruang) berikut sumberdaya yang ada
seperti dialek bahasa yang dipengaruhi faktor lokalitas.
Karena itu, uraian dalam tulisan ini secara umum bisa
di dalam kawasan sebuah Banua (kerajaan)
diasumsikan mencakup keduanya sekaligus. terkait erat dengan kelompok klen yang

240 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005


membuka Huta. Setiap Banua mempunyai Na Mora Na Toras, sebagai salah satu
tanah dan sumber airnya sendiri (ganop-ganop persyaratan berdirinya sebuah kerajaan belum
Banua martano rura), yang mengandung terpenuhi. Pimpinan di dalam satuan pemukiman
pengertian bahwa sebuah kerajaan memiliki tersebut dinamakan Raja Ihutan, namun tidak
batas-batas wilayah teritorial yang berada berfungsi sebagai kepala pemerintahan,
dibawah yurisdiksinya, dan berwenang dalam sehingga belum memiliki batas-batas yurisdiksi-
pengaturan batas-batas penguasaan wilayah nya sendiri. Pengaturan sistem penguasaan
dan sumberdaya yang ada di dalamnya. wilayah dan sumberdaya yang ada di dalamnya
(ii) Sebuah Huta yang berupa satu satuan juga masih tetap berada di bawah otoritas Huta
pemukiman penduduk bisa sekaligus menjadi atau Banua asal. Sebuah Huta bisa memiliki
sebuah Banua jika telah memenuhi sejumlah pemerintahan yang otonom jika telah memenuhi
persyaratan tertentu. Sebuah Huta baru persyaratan antara lain: (1) unsur-unsur
biasanya berdiri ketika sekelompok penduduk kelembagaan politik yang disebut Na Mora Na
dari sebuah kerajaan pergi meninggalkan Banua Toras6 sudah lengkap; (2) memiliki penduduk
asalnya untuk membuka tempat pemukiman yang terdiri dari sekurang-kurangnya 40 KK
baru. Suatu tempat pemukiman baru yang masih dari kelompok marga yang berbeda-beda; (3)
relatif kecil dinamakan banjar. Kalau memiliki beberapa tempat pemukiman kecil
penduduknya makin bertambah dan ukuran berupa banjar atau pagaran sebagai “anak”-
wilayah kelolanya semakin luas maka banjar nya; dan (4) mendapat izin dari Raja dan Na
tersebut berubah status menjadi pagaran;; Mora Na Toras di Banua atau Huta asal.
selanjutnya bisa berproses menjadi lumban; Pimpinan pemerintahan dan adat di dalam
dan jika jumlah penduduknya makin bertambah, sebuah Huta atau Banua dinamakan Raja
maka pemukiman tersebut bisa meningkat Pamusuk, yang dikukuhkan melalui suatu
statusnya menjadi Huta. Ketika Huta tersebut upacara khusus.
telah berkembang dan memenuhi persyaratan (iii) Janjian/Hayuara Mardomu Bulung.
sebagai sebuah Banua atau kerajaan, maka Sebuah Banua asal dalam jangka waktu lama
dibentuklah sistem pemerintahan di Banua baru bisa memiliki beberapa Banua “anak” yang
itu yang dipimpin oleh keturunan dari klan bersifat otonom. Setiap Banua memiliki wilayah
pembuka Banua asal tadi.5 dan pemerintahan sendiri yang dipimpin oleh
Penduduk yang mendiami satuan seorang Raja Pamusuk. Raja yang menjadi
pemukiman yang masih berstatus banjar, kepala pemerintahan di sebuah Banua “induk”
pagaran dan lumban belum berhak untuk dinamakan Raja Panusunan Bulung; yang
mempunyai raja, pemerintahan dan wilayah dipandang lebih senior dan lebih tinggi
sendiri yang otonom. Pemerintahan dan derajatnya daripada Raja Pamusuk. Namun
penyelenggaraan adat mereka masih terikat demikian seorang Raja Panusunan Bulung dan
kepada Banua atau Huta asal mereka karena Raja Pamusuk tidak bisa saling mencampuri
perangkat kelengkapan sistem pemerintahan urusan pemerintahan di Banua-nya masing-
masing, baik secara langsung maupun tidak
5
Kadangkala sebuah pemukiman baru juga dibuka oleh langsung. Oleh karena itu, meskipun sebuah
orang-orang lain marga dari pembuka Banua asal.
Namun demikian, untuk menjadi pimpinan di wilayah 6
Unsur-unsur kelembagaan politik yang disebut Na
Banua baru tersebut biasanya tetap diangkat dari Mora Na Toras tersebut terdiri dari Raja sebagai
anggota keluarga dekat dan semarga dengan raja di pimpinan, Suhu, Hatobangon/Anggi Ni Raja, Natoras,
Banua asal. Bayo-bayo, dan Hatobangon (wakil orang biasa).

Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal 241


Banua “induk” memiliki beberapa Banua terpelihara pulalah rasa persatuan antara
“anak”, dan penduduk maupun pimpinannya sesama komunitas Banua yang menempatinya
masih mempunyai hubungan kekerabatan satu secara terpisah-pisah (Lubis 1987:94).
sama lain, hubungan di antara mereka tidak Sebuah Huta/Banua telah memiliki batas
bersifat hirarkis dan tidak pula terikat suatu jurisdiksi sendiri, sehingga kewenangan untuk
bentuk hubungan federasi pemerintahan. Pada menguasai dan memanfaatkan wilayah berikut
masa lalu mereka hanya membentuk fakta sumberdaya yang ada di dalamnya sudah
persekutuan teritorial yang dinamakan Janjian dimiliki secara otonom. Melalui persekutuan
(Mandailing) atau Hayuara Mardomu Bulung yang disebut Janjian atau Hayuara Mardomu
(Angkola). Persekutuan tersebut diikat oleh Bulung, yang mengikat beberapa Banua yang
kesatuan adat dan ideologis, bukan oleh berkembang dari satu Banua induk, maupun
kesatuan politik. Pada dasarnya pembentukan Banua lain yang berbatasan wilayah, maka klaim
Janjian itu bertujuan untuk mendapatkan atas suatu wilayah yang ada di sekeliling
jaminan yang kuat bagi terpeliharanya Janjian (Hayuara Mardomu Bulung) atau
integritas wilayah sebagai satu kesatuan, wilayah-wilayah “tak bertuan” di antara
setelah setiap Banua memiliki wilayahnya wilayah beberapa Banua menjadi kuat,
sendiri dengan batas-batas yang nyata. sehingga tidak terdapat lagi bagian wilayah
Dengan terpeliharanya integritas wilayah yang yang kosong dari klaim penguasaan. Dengan
terdiri dari beberapa Banua itu, diharapkan kata lain, keberadaan persekutuan yang disebut

Skema 1
Pembagian Wilayah Secara Tradisional

BANUA

Huta

Lumban Banjar
BANUA BANUA
Pagaran
Pagaran Pagaran

Banjar
Huta Banjar
Huta
Lumban

Lumban

JANJIAN/HAYUARA MARDOMU BULUNG

242 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005


Janjian (Hayuara Mardomu Bulung)menjadi sewaktu-waktu sengaja dibuka oleh raja untuk
legitimasi ideologis untuk menentukan batas- dapat diakses secara bebas oleh semua warga
batas wilayah penguasaan. huta.
Sebuah Huta/Banua juga harus mempunyai
Konsep penguasaan sumberdaya areal jalangan (lahan penggembalaan),
Ungkapan “ganop-ganop banua martano biasanya berada di luar areal pemukiman
rura” (setiap Banua mempunyai tanah dan penduduk.7 Di masa lalu hewan ternak yang
sumber airnya sendiri) menyiratkan konsep hidup di areal jalangan tidak dipelihara secara
teritorial dan penguasaan sumberdaya alam khusus, melainkan dibiarkan saja hidup liar di
yang ada di dalamnya. Artinya, sebuah Banua sana. Setiap Huta/Banua juga harus
harus memiliki wilayah teritorial yang jelas serta mempunyai kawasan hutan (harangan).
memiliki sumberdaya yang bisa dimanfaatkan Keberadaan hutan bagi sebuah Huta/Banua
penduduknya untuk menjalankan berbagai terutama untuk mendukung penyelenggaraan
aspek kehidupan mereka. Keberadaan sebuah kehidupan ekonomi, (aktivitas pertanian).
Huta atau Banua menurut konsep masyarakat Pembukaan hutan untuk aktivitas pertanian
Angkola/Mandailing harus ditopang oleh biasanya dimulai dengan membuka ladang
adanya sumber air, kawasan hutan, dan juga (auma ), lalu kemudian diberakan menjadi
tempat penggembalaan. Sumber air diperlukan belukar (gasgas), atau ditanami lanjut dengan
untuk kebutuhan subsistensi, tepian, mengairi tanaman keras seperti karet atau kopi. Hutan
areal persawahan, memelihara ikan, dan juga dimanfaatkan untuk areal tempat berburu
berbagai keperluan sosial dan religius lainnya. binatang (rusa, kijang, bedu, dsb). Pemanfaatan
Hampir semua tempat pemukiman (huta) yang sumberdaya yang ada di dalam hutan biasanya
ada di Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal diatur oleh otoritas kerajaan dengan menerap-
berada di sekitar sumber-sumber air, baik kan apa yang disebut “bungo ni padang”, yaitu
berupa mata air (mual), anak sungai (rura) sejenis retribusi atau konpensasi yang harus
maupun sungai (aek ). diserahkan kepada kerajaan.8 Selain untuk
Dalam tradisi masyarakat Angkola/ keperluan bertani dan berburu seperti
Mandailing dikenal adanya kolam ikan luas disebutkan di atas, hutan juga dimanfaatkan
(tobat bolak ) dan areal sawah (saba bolak ) untuk tempat meramu hasil-hasil hutan seperti
yang dipunyai oleh kerajaan. Keduanya jenis damar, madu, dan juga sayur-sayuran
fungsional untuk menopang fungsi raja sebagai yang bisa dikonsumsi, dan meramu bahan
“talaga na so tola hiang” (tempat persediaan bangunan/perabot rumah.
makanan yang tidak boleh kering). Menurut
tatanan adat setempat seorang raja tidak boleh
7
membiarkan seorangpun dari rakyatnya Hewan ternak yang biasa dipelihara di dalam areal
lahan penggembalaan adalah kerbau, karena hewan ini
menderita kelaparan. Karena itu, raja yang menjadi bagian yang sangat penting peranannya untuk
memimpin sebuah Huta atau Banua harus mendukung penyelenggaraan upacara-upacara adat
dilengkapi dengan persediaan logistik yang bisa dalam tradisi Angkola/Mandailing.
8
menjamin rakyatnya dan tamu-tamu yang Menurut Pandapotan Nasution (2001) ada beberapa
datang mendapatkan makanan yang memadai. jenis retribusi tradisional lainnya yang dikenal oleh
masyarakat Angkola/Mandailing di masa lalu, misalnya
Hasil padi dari sawah tersebut bisa dipinjam “bunga tanah” (untuk tanaman pertanian), “bunga kayu”
oleh rakyat ketika terjadi musim paceklik (retribusi hasil kayu); “bunga pasir” (hasil tambang);
(aleon), sedangkan kolam ikan (tobat bolak ) dan “bunga air” (retribusi hasil ikan di sungai).

Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal 243


Skema 2
Pembagian Wilayah Sumberdaya Alam

(1) (2) A B C D E

Keterangan:
(1) Huta X; (2) Huta Y; (A) Pemukiman penduduk; (B) Areal persawahan; (C) Areal perladangan
(auma, gasgas); (D) Kawasan hutan (harangan); (E) Kawasan hutan belantara (tombak, rubaton).

Setiap Huta/Banua juga memiliki kawasan pemeliharaan tata air bagi komunitas penduduk
hutan yang terlarang untuk aktivitas pertanian, di sekelilingnya.9
berburu maupun meramu hasil-hasil hutan. Ar-
eal hutan yang terlarang demikian disebut Taksonomi wilayah dan sumberdaya alam
harangan rarangan (hutan larangan). Keber- Orang Angkola/ Mandailing membagi
adaan areal hutan terlarang biasanya di- wilayah vertikal yang ada di lingkungan mereka
legitimasi oleh adanya unsur-unsur keper- menjadi beberapa tingkatan, yaitu n a p a
cayaan, misalnya kepercayaan penduduk (dataran), untuk (tanah bergelombang), tor
bahwa bagian tertentu dari wilayah hutan (bukit), dolok (anak gunung) dan sorik
mereka tabu untuk dimasuki atau dibuka untuk (gunung). Mereka juga mengenal taksonomi
lahan pertanian. Ada kepercayaan pribumi aliran air, mulai dari yang paling kecil yaitumual
bahwa tempat-tempat tertentu di dalam kawasan (mata air), rura (ranting sungai), aek (anak
hutan dihuni oleh makhluk-makhluk halus sungai) dan batang (sungai besar). Sementara
(begu) yang bisa mengganggu manusia. yang terkait dengan proses interaksi dengan
Tempat-tempat seperti itu dinamakan “naborgo- kawasan hutan mereka mengenal taksonomi:
borgo”. Kepercayaan demikian merupakan (a) rubaton, yaitu kawasan hutan belantara
bentuk kearifan lokal bercorak religio-magis 9
Di kawasan Saipar Dolok Hole (Tapsel), khususnya
(Zakaria 1994:57) yang fungsional untuk oleh komunitas yang berdiam di kaki Gunung Dolok
menjaga kelestarian sumberdaya, karena Batara Wisnu, dikenal adanya pantangan untuk
menggunakan perabot rumah dengan menebang pohon
tempat-tempat yang disebut “naborgo-borgo” yang tumbuh di lereng gunung tersebut karena dipercaya
tersebut biasanya merupakan kawasan mata air, akan mendatangkan marabahaya bagi keluarga yang
atau daerah resapan air, yang vital dalam melakukannya.

244 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005


yang jarang dimasuki manusia atau masih (lahan perladangan); jika ladang diberakan
berupa hutan perawan, (b) tombak , yaitu setelah beberapa kali musim tanam (tanaman
kawasan hutan lebat yang kepadatannya berada padi dan palawija) disebut (e) gasgas (semak
di bawah rubaton, (c) harangan, yaitu kawasan belukar); dan apabila semak belukar tersebut
hutan yang biasa dimasuki manusia dan terus dibiarkan tanpa diolah kembali, maka lahan
kepadatannya berada di bawah tombak. itu akan berevolusi kembali menjadi hutan
Apabila suatu kawasan hutan sudah dibuka sekunder (harangan). Lahan ladang (auma)
oleh penduduk untuk dijadikan lahan pertanian, yang terus diolah dan ditanami dengan tanaman
maka pada tahap pertama hutan bukaan keras akan berubah kategori menjadi (f) kobun
tersebut berubah kategori menjadi (d) auma (kebun), misalnya kebun karet, kebun kopi, dll.

Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal 245


Klaim-klaim penguasaan wilayah dan Demikian juga hasil hutan berupa damar, kapur,
sumberdaya secara tradisional madu dan lain sebagainya.10
Menurut tatatan lama, penguasaan wilayah Aliran sungai beserta kekayaan yang
dan sumberdaya di Tapanuli Selatan/ terdapat di dalamnya juga dikategorikan
Mandailing Natal berada di bawah wewenang sebagai sumberdaya yang dimiliki secara
pemimpin komunitas, yaitu Raja Panusunan komunal. Pada masa lalu setiap orang berhak
Bulung atau Raja Pamusuk dengan kelembaga- menangkap ikan di sungai, mengambil batu dan
an Na Mora Na Toras di setiap Banua. Setiap pasir, mendulang emas, dan sebagainya. Aliran
Banua memiliki hak otonom untuk membagi- sungai seringkali juga dijadikan sebagai tanda-
bagi wilayahnya kepada penduduk yang tanda batas alamiah untuk perbatasan sebuah
tinggal di dalam lingkungannya maupun dalam huta dengan huta lain. Tapi sejak 1980-an
hal pemanfaatan berbagai jenis sumberdaya berkembang suatu pranata baru (diperbaharui)
yang ada di dalamnya. Setiap penduduk yang yang tergolong bentuk kearifan lingkungan
bermaksud membuka hutan untuk lahan dalam pengelolaan sumberdaya sungai di
pertanian memiliki hak penuh sepanjang hutan beberapa tempat di Tapsel dan terbanyak di
yang akan dibuka masih berada di dalam Mandailing Natal. Akses penduduk terhadap
wilayah yurisdiksi Huta/Banua mereka. Namun, sungai khususnya untuk menangkap ikan
apabila mereka ingin membuka kawasan hutan dibatasi untuk jangka waktu tertentu, biasanya
yang sudah masuk wilayah Huta/Banua lain, satu tahun, dan hasil ikan yang dipelihara
mereka harus terlebih dahulu mendapatkan izin selama jangka waktu tersebut digunakan untuk
dari pimpinan Huta/Banua tujuan tersebut. pendapatan desa/biaya pembangunan berbagai
Hal yang sama berlaku dalam pemanfaatan fasilitas sosial di desa.
binatang yang ada di dalam kawasan hutan.
Klaim penguasaan atas tanah ulayat
Penduduk Huta/Banua bebas memanfaatkan
binatang yang ada di dalam kawasan hutan di Setiap Huta/Banua memiliki tanah ulayat
Huta/Banua mereka sendiri sepanjang bukan sendiri. Selain tanah, tumbuhan yang hidup di
hewan peliharaan seseorang, sebuah keluarga, atas tanah ulayat tersebut juga dianggap
atau hewan ternak yang ada di kawasan jalangan sebagai milik suatu Huta/Banua. Oleh karena
(lahan penggembalaan) milik kerajaan, karena sistem kepemimpinan terkait erat dengan
pada dasarnya semua hewan yang hidup di kelompok klen (marga) yang dianggap sebagai
hutan adalah milik komunal. Tetapi apabila
10
hewan yang diburu kemudian tertangkap di Di masa lampau orang Angkola/Mandailing mengenal
tradisi meramu hasil hutan berupa kapur (kamper, kapur
wilayah Huta/Banua lain, maka ketentuan adat Barus) ke tengah hutan belantara. Pekerjaan tersebut
mengatur bahwa orang yang menangkap hewan dinamakan “markapur”, dan orang yang melakukan-
buruan tersebut harus memberikan “bungo ni nya dikenal dengan “parkapur”. Dalam khasanah
bahasa Mandailing bahkan ada ragam bahasa khusus
padang” (sejenis retribusi) kepada pimpinan yang disebut ragam bahasa “parkapur”, dengan kosa
komunitas Huta/Banua lain tersebut. Dalam hal kata yang khas digunakan di hutan ketika bekerja
pemanfaatan hasil hutan lainnya tidak diketahui meramu hasil hutan. Christine Dobbin dalam
karangannya berjudul “Kebangkitan Islam dalam
dengan jelas bagaimana aturan yang berlaku di Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah, Sumatera
masa lampau. Secara umum diketahui bahwa hasil Tengah, 1784–1847” (1992:205–213) menyebutkan
hutan berupa kayu bisa diakses dengan bebas bahwa daerah Mandailing bagian atas adalah daerah
penghasil emas, kamper, kemenyan, dan hasil-hasil
oleh warga komunitas, karena sumberdaya hutan lainnya yang diperdagangkan dengan pedagang-
tersebut termasuk kategori milik komunal. pedagang Eropa pada sekitar tahun 1820–1830an.

246 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005


pembuka Huta/Banua, maka klaim terhadap masyarakatnya), di lapangan bisa saling
tanah ulayat tersebut hampir-hampir identik berhimpitan batasnya, menyilang, atau justru
dengan tanah milik kelompok klen.11 Namun hal terpisah oleh suatu wilayah geografis yang
ini tidak sekaligus berarti bahwa anggota klen belum pernah dijamah manusia. Dalam konteks
memiliki hak eksklusif untuk memanfaatkan seperti itulah keberadaan persekutuan antar
tanah dan sumberdaya di wilayah Huta/Banua. Banua yang disebut Janjian atau Hayuara
Ada aturan-aturan adat yang mengatur Mardomu Bulung menjadi penting untuk
pemanfaatan tanah dan sumberdaya lainnya di mengintegrasikan seluruh wilayah yang diklaim
dalam lingkungan sebuah Huta/Banua. menurut acuan ideologis, historis dan sosio-
Penegasan mengenai suatu batas wilayah yang politis yang relatif sama.
diklaim sebagai tanah ulayat marga atau huta Berdasarkan kenyataan tersebut, klaim
biasanya terkait dengan tanda-tanda alamiah terhadap tanah ulayat belum tentu dan tidak
seperti bukit atau gunung (tor, dolok , atau selalu berhimpitan dengan tanah yang sudah
sorik ), juga aliran sungai (rura, aek, atau diusahakan secara kongkrit oleh penduduk di
batang); jenis tumbuhan atau pohon tertentu, dalam suatu Huta/Banua. Jika kita berbicara
dan juga tanda-tanda yang bisa diberikan oleh tentang tanah yang sudah diusahakan, atau
hewan (misalnya melalui suaranya atau faktor investasi manusia sudah masuk ke
habitatnya). dalamnya, maka konsep Hans van Dijk (1996)
Penetapan batas-batas wilayah antar tentang “tenure ” menjadi relevan di sini.
Banua biasanya didasarkan pada alasan-alasan Mengacu kepada taksonomi penguasaan
ideologis, historis dan sosio-politis. Penegasan wilayah dan sumberdaya (lihat skema 2) dan
batas tanah ulayat (tanah adat) di Tapanuli taksonomi pengelolaan hutan (skema 3), maka
Selatan dan Mandailing Natal termasuk dalam wilayah yang dikategorikan sebagai “tenure”
apa yang disebut oleh Hans van Dijk (1996) untuk suatu Huta/Banua adalah wilayah-
sebagai territoriality. Artinya, meskipun dalam wilayah yang sudah dikelola oleh komunitas
uraian terdahulu dikatakan bahwa sebuah Huta/Banua tersebut untuk kepentingan
Banua adalah satu kesatuan wilayah yang jelas ekonomi dalam menunjang kehidupan
batas-batasnya, batas-batas yang dimaksud- warganya. Wilayah-wilayah demikian pada
kan adalah batas-batas klaim secara ideologis, umumnya berbatasan langsung dengan
historis dan sosio-politis, bukan didasarkan pemukiman, meliputi areal persawahan, lahan
pada batas-batas geografis dan ekologis. penggembalaan (jalangan) dan juga hutan
Dengan kata lain, sangat mungkin terjadi dua yang sudah dibuka untuk perladangan dan
Banua yang memiliki batas-batas yang jelas kebun, serta bagian-bagian lainnya dari hutan
secara ideologis, historis dan sosio-politis yang sudah dimasuki manusia untuk mencari
(suatu batasan yang sesungguhnya ada di sumber-sumber penghidupan, misalnya areal
dalam sistem budaya atau alam pemikiran hutan tempat mencari kayu, madu, damar, kapur
dan lain sebagainya. Di luar wilayah itu, yang
11
Sebagai contoh , tanah ulayat Huta/Banua yang ada sudah diklaim sebagai wilayah penguasaan
di daerah Mandailing Julu pada umumnya terkait sebuah Huta/Banua (klaim territoriality),
langsung dengan penguasaan klen Lubis; tanah ulayat
di Mandailing Godang terkait dengan klen Nasution;
sepanjang belum dikelola dan belum ada
tanah ulayat Sipirok dengan klen Siregar; tanah ualayat investasi manusia baik secara privat (pribadi)
di Barumun terkait dengan klen Hasibuan, dan maupun kelompok, maka wilayah tersebut
sebagainya.
berada di luar kategori “tenure”. Luasan wilayah

Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal 247


yang bisa dikategorikan sebagai “tenure ” kerabat atau “kahanggi” semarga di huta
tersebut tentunya sangat erat kaitannya dengan tersebut sebagai penanda bahwa mereka bisa
jumlah penduduk suatu Huta/Banua yang masuk menjadi warga komunitas huta tersebut.
memerlukan lahan untuk mendukung ke- Jika tidak ada keluarga yang semarga di huta
hidupan ekonominya. Oleh karena itu, tersebut, mereka diharuskan mencari “kahanggi
pertumbuhan penduduk yang semakin besar sangkotan” atau “fictive kinship” yang bisa
biasanya berbanding lurus dengan perluasan dilakukan melalui suatu prosedur adat tertentu.
kawasan “tenure ”. Dalam perkembangan Dengan adanya jalinan quasi-kekerabatan
sebuah Huta/Banua, sangat dimungkinkan tersebut, mereka juga dapat diberikan izin untuk
terjadinya himpitan antara wilayah “tenure” dan membuka hutan di sebuah Huta/Banua. Tetapi
wilayah “territoriality” mereka. hak yang mereka peroleh hanya bersifat hak
Penguasaan suatu bagian wilayah huta pakai (hak guna), bukan hak milik pribadi
dengan cara mengusahakannya (tenure ) (privat), dan karena itu yang bersangkutan
menjadi awal bagi tumbuhnya kepemilikan tidak berhak memindah-tangankan sumberdaya
pribadi (private property ) atau keluarga. tersebut kepada orang lain tanpa seizin raja
Seseorang atau sebuah keluarga yang pergi huta. Jika anggota keluarga tersebut pindah
membuka hutan di wilayah “territoriality” kembali, atau tidak berketurunan menurut adat
Huta/Banua -nya untuk dijadikan areal patrilineal, maka hak penguasaan terhadap
perladangan berhak mengklaim bahwa lahan tanah dan sumberdaya tersebut secara
yang dikelolanya menjadi lahan milik pribadi otomatis kembali kepada komunitas huta, dan
atau keluarga. Bahkan ketika orang atau pemanfaatan lanjutnya berada di bawah
keluarga tersebut telah meninggalkan lahan pengawasan raja. Lahan yang demikian dalam
bekas ladang tersebut sehingga menjadi semak terminologi hukum adat Angkola/Mandailing
belukar (gasgas) kembali, klaim penguasaan dinamakan “salipi na tartar”.
terhadap lahan itu masih diakui secara sosial.
Dengan kata lain, adanya intervensi dan faktor Pembagian dan penguasaan wilayah di
investasi manusia atas suatu bagian wilayah masa sekarang
atau sumberdaya yang pada mulanya bersifat Berlakunya sistem hukum nasional yang
komunal memberi implikasi terhadap antara lain mengatur batasan-batasan wilayah
tumbuhnya klaim penguasaan individual. administratif desa, kecamatan, kabupaten, dan
Namun demikian, klaim penguasaan indi- seterusnya, membawa implikasi yang cukup
vidual itu tidak serta merta berlaku bagi besar terhadap tatanan penguasaan wilayah
penduduk Huta/Banua yang ingin membuka yang ada sebelumnya. Undang-Undang No. 5/
hutan di luar wilayahnya. Bagi penduduk yang 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
datang dari luar, ada ketentuan adat yang Daerah dan Undang-Undang No. 5/1979
mengatur cara mereka mendapat hak atau izin tentang Pemerintahan Desa merupakan produk
untuk mendapatkan tanah. Untuk mendapatkan hukum yang mengubah secara mendasar
izin atau hak mengelola lahan di huta lain, struktur kelembagaan wilayah yang ada di
seseorang, sebuah keluarga atau sebuah daerah Tapanuli Selatan dan Mandailing Na-
kelompok keluarga, harus mendapatkan izin tal, seperti halnya juga yang terjadi atas semua
terlebih dahulu dari raja dan lembaga struktur kelembagaan lokal yang ada di daerah-
kepemimpinan di Huta/Banua tujuan. Biasanya daerah lain. Struktur huta, banua dan janjian
mereka juga harus terlebih dahulu mencari menjadi kehilangan otoritas, dan hanya tersisa

248 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005


pada urusan-urusan upacara adat yang bersifat dikategorikan sebagai tanah ulayat (klaim terri-
seremonial. Sedangkan prinsip-prinsip hukum toriality), dan berada di dalam persekutuan
adat yang mengatur pembagian wilayah dan hukum adat yang disebut Janjian, menurut
penguasaannya menjadi tumpul dan tidak sistem hukum nasional dikategorikan sebagai
difungsikan lagi. Meskipun hak-hak asal-usul tanah yang dikuasai oleh negara. Karena negara
dan tanah ulayat “diakui” dalam Undang- berhak mengatur sendiri pemanfaatan tanah-
Undang No. 5/1960 tentang Pokok-Pokok tanah yang demikian, maka komunitas lokal
Hukum Agraria, dalam kenyataan di lapangan menjadi kehilangan otoritas untuk memanfaat-
hak tersebut terus dikebiri, sehingga tidak bisa kannya. Bentuk-bentuk pengaturan atau
digunakan sebagai tempat berlindung bagi pemanfaatan yang dilakukan oleh negara antara
komunitas-komunitas lokal dalam mengatur lain adalah dengan memberikan hak pengusaha-
tanah ulayat mereka. an hutan (HPH), pembukaan lahan perkebunan
Satuan wilayah otonom yang disebut dan lain sebagainya. Kemampuan warga
Banua dan juga persekutuan yang dikenal komunitas lokal untuk menanamkan investasi di
dengan nama Janjian hilang karena penerapan wilayah-wilayah periferal seperti itu sudah tentu
sistem hukum yang baru tadi. Satuan-satuan kalah dengan investasi yang dimiliki oleh
yang lebih kecil, yaitu huta, lumban , dll, pengusaha-pengusaha HPH maupun per-
dikonversi menjadi satuan wilayah administra- kebunan. Perubahan yang terjadi dalam sistem
tif pemerintahan paling rendah dan diberi label penguasaan wilayah dan sumberdaya dengan
nasional: desa. “Huta” yang dikonversi menjadi adanya sistem hukum nasional itu dapat dilihat
“desa” tidak lagi menjadi bagian dari sebuah dalam gambar 3 dan 4.
“Banua” atau “Janjian”, melainkan menjadi Dengan perubahan struktur pembagian dan
bagian dari sebuah wilayah administratif lebih penguasaan wilayah tersebut maka Banua
besar yang bernama kecamatan. Satuan wilayah (kerajaan-kerajaan) yang ada di Angkola/
yang diakui menjadi wilayah sebuah desa Mandailing tempo dulu dikonversi dan dibagi-
kurang lebih sebangun dengan wilayah “Huta” bagi menjadi sejumlah desa. Sebagai contoh,
dengan batasan “tenure”-nya. Artinya, yang wilayah yang pada masa lalu termasuk ke dalam
diakui sebagai wilayah sebuah desa adalah struktur Banua Manambin (di Mandailing Julu)
mencakup wilayah yang sudah diusahakan telah dimekarkan menjadi sekitar 20-an desa.
oleh manusia-manusia yang menjadi penduduk Sebagian besar wilayah desa-desa itu sudah
desa tersebut. Akibatnya, wilayah akses bagi berbatasan satu sama lain pada garis “tenure”,
komunitas desa menyempit, karena klaim bukan lagi berbatasan secara “territoriality”.
wilayah “territoriality” tidak efektif lagi. Fenomena yang sama juga ditemukan di daerah
Lalu siapa yang kemudian menguasai wilayah Angkola dan Padang Lawas. Klaim territoriality
“territoriality” yang pada masa lalu berada di (hak ulayat) yang hidup dalam konsepsi warga
bawah wewenang sebuah Banua atau per- komunitas setempat berbenturan dengan fakta
sekutuan Janjian? Undang-undang Agraria bahwa batas-batas desa mereka di masa
(UU No. 5/1960) menyatakan bahwa wilayah- sekarang hanya sekedar batas penguasaan
wilayah yang belum diusahakan oleh penduduk “tenure”. Akibatnya, lahan-lahan hutan yang
dikategorikan sebagai tanah negara, dan negara secara tradisional menjadi hak mereka, tidak bisa
berhak untuk mengatur pemanfaatannya. lagi diklaim sepihak karena terhadap lahan
Dengan demikian, wilayah yang menurut konsep tersebut telah dikenakan hak lain oleh otoritas
komunitas lokal di daerah Angkola/Mandailing negara atau “otoritas lain”. Seperti kita ketahui,

Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal 249


Gambar 3
Klaim “tenure” dan “territoriality” di Tapsel/Mandailing Natal

(1) (2) A B C D E

Keterangan:
(1). Huta X; ( 2). Huta Y; (A) Pemukiman penduduk; (B) dan (C), areal persawahan dan ladang
(wilayah “tenure”); (D) dan (E), kawasan hutan yang belum diusahakan (wilayah “territoriality”)

Gambar 4
Perubahan sistem pembagian wilayah

BANUA
Dusun

Pagaran
DESA
HUTA
Banjar

Lumban
Dusun

250 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005


wilayah “abu-abu” tersebut akhirnya menjadi pemanfaatan sumberdaya yang ada di dalam-
wilayah rawan konflik dan menjadi objek nya juga efektif untuk mengantisipasi
spekulasi dan eksploitasi. Kasus-kasus konflik eksploitasi lintas batas. Akan tetapi, sekarang
yang timbul akibat perbedaan sistem hukum ini landasan ideologis dan struktur sosiopolitis
yang digunakan dalam mengelola lahan-lahan yang membingkai hubungan antara manusia
“tak bertuan” tersebut sudah mulai marak di (komunitas) dengan hutan (sumberdaya alam)
beberapa tempat di Kabupaten Tapanuli sudah berubah, yang secara langsung atau
Selatan. Salah satu contoh adalah kasus konflik tidak langsung membawa efek pelemahan
berdarah yang sudah cukup lama terjadi di kemampuan komunitas lokal untuk mengembang-
Kecamatan Barumun Tengah, antara warga kan nuansa kearifan.
Desa Ujung Gading dan sekitarnya dengan Kearifan lingkungan yang tumbuh dan
perusahaan perkebunan PT. Torganda yang hidup di masa lalu bukanlah sesuatu yang turun
membuka lahan perkebunan kelapa sawit di dari langit, melainkan hasil kreasi budaya dari
daerah itu.12 komunitas tempatan yang lahir sebagai bentuk
adaptasi mereka terhadap kondisi lingkungan
Menumbuhkan kembali kearifan lokal alam dan lingkungan sosial yang eksis pada
Di masa lalu, bentuk kearifan lingkungan masa itu. Perlu diingat bahwa setiap komunitas
dalam pengelolaan sumberdaya alam yang sesungguhnya tak pernah berhenti melakukan
dikenal oleh komunitas Angkola/Mandailing rekayasa dan kreasi budaya, karena dengan
biasanya dikemas dalam terminologi pantangan berhenti mereka akan mati. Masalah pokoknya
(bercorak religio-magis) dan rarangan/ sekarang: bagaimana komunitas lokal
larangan (aturan hukum adat). Meskipun merekayasa dan menumbuhkan kreasi budaya
memiliki landasan ideologis yang agak berbeda, (khususnya dalam konteks pengelolaan
namun keduanya memberi efek yang positif lingkungan) yang arif dan berpihak pada
bagi konservasi sumberdaya alam. Adanya kelestarian lingkungan? Menurut hemat saya,
kepercayaan tentang tempat “naborgo-borgo” bentuk-bentuk kearifan lama tidak serta merta
dan pantangan untuk menebang kayu tertentu bisa direplikasi dalam konteks waktu, kondisi
misalnya, fungsional untuk membatasi perilaku lingkungan, dan kerangka sosial-politik yang
eksploitatif warga komunitas. Di sisi lain, berlaku sekarang. Acuan ideologis dan
pengaturan hukum adat mengenai pembagian bangunan struktur sosial-ekonomi-politis
dan penguasaan wilayah teritorial maupun bahkan kerangka hukum sudah mengalami
banyak perubahan, sehingga yang diperlukan
12
Salah satu sebab yang memicu konflik tersebut adalah sekarang ini adalah perumusan ulang tentang
anggapan di tengah masyarakat bahwa perusahaan hubungan yang layak antara komunitas (dan
perkebunan tadi telah mengambil secara tidak sah lahan-
lahan hutan yang berada di wilayah mereka. Proses para stakeholder lain) dengan lingkungan
pelepasan tanah tersebut kepada pihak perkebunan alamnya.
seringkali menggunakan jalur formal Kepala Desa Secara konseptual, kerangka struktural
dengan beberapa oknum “tokoh adat”, yang menjual
hutan-hutan di wilayah mereka kepada pihak yang bisa digunakan untuk memfasilitasi
pengusaha. Secara formal, barangkali prosedur itu tidak penataan ulang hubungan itu misalnya dengan
mengandung kekeliruan jika dilihat dari sudut pandang mengadopsi model partisipatif yang populer
hukum nasional. Namun, masyarakat masih
menggunakan sistem hukum adat atau konsepsi budaya akhir-akhir ini, seperti CFM/Collaborative
mereka dalam hal mendefinisikan penguasaan wilayah- Forest Management (lihat Mark Poffenberger
wilayah yang ada di sekitarnya. 1990) atau JFM/ Joint Forest Management

Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal 251


(Madhu Sarin 1993), maupun pola-pola yang Contoh lainnya ialah sistem pengelolaan
termasuk kategori CBFM/Community-Based lubuk larangan yang berkembang pesat di
Forest Management lainnya. Jika kerangka hampir 70-an desa di Kabupatan Mandailing
strukturalnya sudah disepakati oleh semua Natal dan (sebagian) Tapanuli Selatan sejak
stakeholder, agar dapat berjalan baik kemudian 1980-an. Konsep “rarangan” yang ada dalam
harus dilumasi dengan modal sosial (social khasanah budaya Angkola/Mandailing telah
capital), yang beberapa komponen intinya ditransformasikan ke dalam bentuk baru yang
adalah hubungan saling percaya (trust ), lebih rasional oleh komunitas-komunitas desa
kemampuan membangun pranata (institutions) di sepanjang aliran Sungai Batang Gadis dan
dan partisipasi yang setara dalam sebuah Sungai Batang Natal; yang memperlihatkan
jaringan sosial (social network ). Kerangka kemampuan komunitas setempat membangun
struktural yang digunakan dapat berupa desa, sistem pengelolaan sumberdaya alam yang arif
gabungan desa, komunitas tertentu, atau secara ekologis, ekonomis dan sosial budaya.
kerangka “huta” atau “banua” yang lama (jika Kata kunci dari sukses sistem pengelolaan
mungkin untuk direvitalisasi); atau bahkan lubuk larangan tersebut adalah kemampuan
dalam bentuk dewan atau komite yang komunitas setempat membangun dan mendaya-
melibatkan berbagai unsur stakeholder. gunakan modal sosial di antara mereka.13 Untuk
Ada dua contoh kasus yang bisa dijadikan bisa menumbuhkan dan membangun suatu
pelajaran untuk bisa menumbuhkan kembali kearifan dalam pengelolaan sumberdaya alam
kearifan komunitas lokal dalam pengelolaan seperti kasus lubuk larangan, diperlukan pal-
sumberdaya alam. Dalam konteks pengelolaan ing sedikit delapan langkah berikut: (1)
sumberdaya hutan (hutan lindung), pengalaman menetapkan sumberdaya yang kongkrit sebagai
P3AE-UI yang bekerja di kampung-kampung subjek pengelolaan, yang bersifat aksesibel
sekitar kawasan hutan Register 19, Gunung bagi suatu komunitas; (2) mengembangkan ide
Betung, Lampung dalam memfasilitasi proses atau gagasan untuk pengelolaan sumberdaya
belajar bersama untuk menyelenggarakan tertib tadi melalui proses partisipatif dan kemudian
pengelolaan kawasan hutan menarik untuk menetapkan sebuah pilihan cara mengatasi
diikuti. Sejumlah pelatihan yang melibatkan masalah; (3) menemukan konsensus di antara
komunitas kampung-kampung hutan, instansi para pihak (stakeholder) untuk mendapatkan
kehutanan, LSM, kalangan kampus, dan pihak- komitmen dan dukungan atas pengelolaan
pihak lainnya telah membuka sekat-sekat yang sumberdaya; (4) merumuskan tujuan penge-
selama ini terbangun kuat antar berbagai stake- lolaan, yang mungkin untuk dicapai dan dapat
holder , sehingga mulai terbangun saling memenuhi kebutuhan bersama warga kolektif;
kesepahaman mengenai hal yang sebaiknya (5) menetapkan jaringan sosial atau satuan
dilakukan bersama dalam konteks pengelolaan sosial yang menjadi konstituen pengelolaan,
kawasan hutan lindung Register 19 tersebut.
Dari proses itu lahirlah kesepakatan- 13
Gambaran lebih rinci mengenai sistem pengelolaan
kesepakatan yang mengikat semua pihak dan lubuk larangan lihat laporan Zulkifli Lubis (2001)
dijalankan bersama. Ketika itu, pada hakekatnya “Resistensi, Persistensi dan Model Transmisi Modal
Sosial dalam Pengelolaan Sumberdaya Milik Bersama:
para stakeholder sedang berada dalam jalur Kajian Antropologis Terhadap Pengelolaan Lubuk
membangun kembali kearifan baru yang Larangan di Sumatera Utara. Laporan penelitian Riset
kontekstual dengan keadaan sekarang. Unggulan Kemasyarakatan dan Kemanusiaan (RUKK),
Kantor Menegristek RI.

252 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005


yaitu mereka yang akan menjadi partisipan aktif Selatan (ketika itu termasuk Mandailing Natal)
dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan membuat payung kebijakan berupa Peraturan
hasilnya; (6) merajut pranata/institusi, baik Daerah No. 19/1988 tentang Pengelolaan Lubuk
berupa sistem nilai bersama, norma-norma dan Larangan sebagai payung bagi sistem
sanksi-sanksi maupun aturan-aturan yang lebih pengelolaan yang sudah dikembangkan lebih
teknis; (7) membangun hubungan saling dahulu oleh puluhan komunitas desa sejak awal
percaya (trust relation), berlandaskan adanya 1980-an. Dalam konteks pengelolaan sumber-
jaminan keadilan bagi semua pihak; (8) daya hutan di Tapanuli Selatan khususnya ke
melakukan siklus pendayagunaan modal sosial depan, secara teoritik akan lebih mudah dan
dengan membangun kekompakan atau lebih memungkinkan untuk mengembangkan
kesatupaduan (cohesiveness) di kalangan sistem pengelolaan yang bercorak kolaboratif
jaringan sosial yang menjadi konstituen, dengan berlakunya undang-undang otonomi
meneguhkan pelaksanaan institusi, memupuk daerah (UU No. 22/1999). Terlebih lagi karena
kepercayaan, dan seterusnya secara berulang/ undang-undang tersebut memberi peluang
siklikal. kepada pemerintah daerah untuk menata
Proses penumbuhan kearifan baru berbasis daerahnya dengan memperhatikan karakteristik
pendayagunaan modal sosial seperti disebut- budaya yang khas. Kalau kita semua sepakat
kan di atas sudah tentu memerlukan dukungan untuk menjadikan aspek budaya sebagai satu
politik berupa payung kebijakan yang menjadi variabel yang penting dalam penataan ulang
kerangka acuan bersama bagi semua stake- sistem pengelolaan sumberdaya alam di daerah
holder. Dalam contoh sistem pengelolaan lubuk ini, niscaya kearifan lokal yang (pernah) ada
larangan, Pemerintah Kabupaten Tapanuli akan lebih mudah dikembangkan kembali.

Referensi
Chambers, R. dan P. Richards
1995 “Preface”, dalam D.M. Warren, L.J. Slikkerveer dan D. Brokensha (peny.) The Cul-
tural dimension of Development: Indigenous Knowledge Systems. London:
Intemediate Technology Publications. Hlm. xiii-xiv.
van Dijk, H.
1996 “Land Tenure, Territoriality, and Ecological Instability: A Sahelian Case Study”, dalam
J. Spiertz dan M.K. Wider (eds) The Role of Law in Natural Resource Management.
The Hague: VUGA Uitgeverij. Hlm. 17–45.
Dobbin, C.
1992 Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang sedang Berubah, Sumatera Tengah
1784-1847. Terjemahan Lilian Tedjasudhana. Jakarta: INIS.
Lubis, Zulkifli. B.
1998 “Manusia dan Hutan: Peluang ke Arah Pengelolaan Hutan Secara Kolaboratif”, Jurnal
Wawasan No 9, Juni.
2000 Kajian tentang Penguasaan Sumberdaya Alam di Kawasan Hulu DAS Sungai Batang
Gadis Kabupaten Mandailing Natal. Laporan penelitian. Tidak dipublikasikan.

Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal 253


2001 Resistensi, Persistensi dan Model Transmisi Modal Sosial dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam Milik Bersama: Kajian Antropologis Terhadap Pengelolaan Lubuk
Larangan di Sumatera Utara. Laporan penelitian Riset Unggulan Kemasyarakatan dan
Kemanusiaan (RUKK), Kantor Meneg Ristek RI.
Lubis, Zainuddin
1988 Namora Natoras: Pemimpin Tradisional Mandailing. Skripsi sarjana antropologi. Tidak
dipublikasikan. Medan: Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.
Pandapotan, N.
2001 Mandailing Natal: Peluang, Tantangan dan Harapan . Medan: Yayasan
Parsarimpunan Nitondi.
Poffenberger, M.
1990 Keepers of the Forest: Land Management Alternatives in Southeast Asia. Manila:
Ateneo de Manila University Press.
Sarin, M.
1993 Joint Forest Management. Working Paper No. 14. New Delhi: The Ford Foundation.
Zakaria, Y.R.
1994 Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat. Jakarta: Penerbit WALHI.

254 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005

Anda mungkin juga menyukai