3544 6702 1 SM PDF
3544 6702 1 SM PDF
Zulkifli B. Lubis
Abstract
Studies on local knowledge are recently important in development program. Such studies
remind us to learn from the community before we teach them. This article discusses how local
knowledge understood and used to encourage people participation in forest conversation in
South Tapanuli, North Sumatera. The author argues that local knowledge in forest manage-
ment can be revitalized to build participation if only all stakeholders able to make social
commitment as part of social capital.
Skema 1
Pembagian Wilayah Secara Tradisional
BANUA
Huta
Lumban Banjar
BANUA BANUA
Pagaran
Pagaran Pagaran
Banjar
Huta Banjar
Huta
Lumban
Lumban
(1) (2) A B C D E
Keterangan:
(1) Huta X; (2) Huta Y; (A) Pemukiman penduduk; (B) Areal persawahan; (C) Areal perladangan
(auma, gasgas); (D) Kawasan hutan (harangan); (E) Kawasan hutan belantara (tombak, rubaton).
Setiap Huta/Banua juga memiliki kawasan pemeliharaan tata air bagi komunitas penduduk
hutan yang terlarang untuk aktivitas pertanian, di sekelilingnya.9
berburu maupun meramu hasil-hasil hutan. Ar-
eal hutan yang terlarang demikian disebut Taksonomi wilayah dan sumberdaya alam
harangan rarangan (hutan larangan). Keber- Orang Angkola/ Mandailing membagi
adaan areal hutan terlarang biasanya di- wilayah vertikal yang ada di lingkungan mereka
legitimasi oleh adanya unsur-unsur keper- menjadi beberapa tingkatan, yaitu n a p a
cayaan, misalnya kepercayaan penduduk (dataran), untuk (tanah bergelombang), tor
bahwa bagian tertentu dari wilayah hutan (bukit), dolok (anak gunung) dan sorik
mereka tabu untuk dimasuki atau dibuka untuk (gunung). Mereka juga mengenal taksonomi
lahan pertanian. Ada kepercayaan pribumi aliran air, mulai dari yang paling kecil yaitumual
bahwa tempat-tempat tertentu di dalam kawasan (mata air), rura (ranting sungai), aek (anak
hutan dihuni oleh makhluk-makhluk halus sungai) dan batang (sungai besar). Sementara
(begu) yang bisa mengganggu manusia. yang terkait dengan proses interaksi dengan
Tempat-tempat seperti itu dinamakan “naborgo- kawasan hutan mereka mengenal taksonomi:
borgo”. Kepercayaan demikian merupakan (a) rubaton, yaitu kawasan hutan belantara
bentuk kearifan lokal bercorak religio-magis 9
Di kawasan Saipar Dolok Hole (Tapsel), khususnya
(Zakaria 1994:57) yang fungsional untuk oleh komunitas yang berdiam di kaki Gunung Dolok
menjaga kelestarian sumberdaya, karena Batara Wisnu, dikenal adanya pantangan untuk
menggunakan perabot rumah dengan menebang pohon
tempat-tempat yang disebut “naborgo-borgo” yang tumbuh di lereng gunung tersebut karena dipercaya
tersebut biasanya merupakan kawasan mata air, akan mendatangkan marabahaya bagi keluarga yang
atau daerah resapan air, yang vital dalam melakukannya.
(1) (2) A B C D E
Keterangan:
(1). Huta X; ( 2). Huta Y; (A) Pemukiman penduduk; (B) dan (C), areal persawahan dan ladang
(wilayah “tenure”); (D) dan (E), kawasan hutan yang belum diusahakan (wilayah “territoriality”)
Gambar 4
Perubahan sistem pembagian wilayah
BANUA
Dusun
Pagaran
DESA
HUTA
Banjar
Lumban
Dusun
Referensi
Chambers, R. dan P. Richards
1995 “Preface”, dalam D.M. Warren, L.J. Slikkerveer dan D. Brokensha (peny.) The Cul-
tural dimension of Development: Indigenous Knowledge Systems. London:
Intemediate Technology Publications. Hlm. xiii-xiv.
van Dijk, H.
1996 “Land Tenure, Territoriality, and Ecological Instability: A Sahelian Case Study”, dalam
J. Spiertz dan M.K. Wider (eds) The Role of Law in Natural Resource Management.
The Hague: VUGA Uitgeverij. Hlm. 17–45.
Dobbin, C.
1992 Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang sedang Berubah, Sumatera Tengah
1784-1847. Terjemahan Lilian Tedjasudhana. Jakarta: INIS.
Lubis, Zulkifli. B.
1998 “Manusia dan Hutan: Peluang ke Arah Pengelolaan Hutan Secara Kolaboratif”, Jurnal
Wawasan No 9, Juni.
2000 Kajian tentang Penguasaan Sumberdaya Alam di Kawasan Hulu DAS Sungai Batang
Gadis Kabupaten Mandailing Natal. Laporan penelitian. Tidak dipublikasikan.