Anda di halaman 1dari 48

MODUL I

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN KEBUTUHAN


AKTIVITAS DAN LATIHAN AKIBAT PATOLOGIS SISTEM MUSKULOSKELETAL

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANI SALEH BEKASI TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya kepada saya sehingga modul Keperawatan Medikal Bedah II ini dapat
tersusun. Modul ini merupakan alat bantu mahasiswa program Studi Diploma III
Keperawatan STIKES Bani Saleh Bekasi dalam meningkatkan pengetahuan mahasiswa
tentang keperawatan medikal bedah

Kami menyadari bahwa Ilmu keperawatan berkembang sangat pesat dan buku panduan
praktikum ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami
mengharapkan pembaca/pengguna buku ini selalu menyesuaikan dengan
perkembangan ilmu yang ada dengan selalu membaca berbagai buku lainnya dan tidak
selalu terpaku pada modul ini.

Tak ada gading yang tak retak, saran dan masukan yang ditunjukan untuk
penyempurnaan buku panduan praktikum ini sangat kami harapkan. Semoga modul ini
dapat bermanfaat dan membantu mahasiswa dalam proses pembelajaran.

Bekasi, Agustus 2014


Penyusun
Modul I: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN KEBUTUHAN
AKTIVITAS DAN LATIHAN AKIBAT PATOLOGIS SISTEM MUSKULOSKELETAL

PENDAHULUAN
Alhamdulillah, Kita telah menyelesaikan Mata Kuliah KMB I Pada Semester
Sebelumnya, Selanjutnya marilah kita menambah pengetahuan kita tentang
keperawatan medikal bedah atau keperawatan dewasa pada mata kuliah KMB II.
Keperawatan Medikal Bedah II akan kita pelajari secara bertahap dan terdiri dari 6
modul pembelajaran.
Nah sekarang, pada Modul I kita akan mempelajari tentang asuhan keperawatan
pada pasien dengan gangguan kebutuhan aktivitas dan latihan akibat patologis sistem
musculoskeletal. Setelah anda mempelajari materi dalam modul I ini dengan sepenuh
hati dan ikhlas, di harapkan agar anda dapat menjelaskan:
a. Anatomi dan Fisiologi sistem musculoskeletal
b. Pemenuhan Kebutuhan aktivitas dan latihan pada pasien akibat patologis sistem
musculoskeletal
c. Proses Keperawatan pada pasien dengan gangguan kebutuhan aktivitas akibat
patologis sistem musculoskeletal
d. Bagaimana Melaksanakan asuhan keperawatan pasien dengan gangguan kebutuhan
aktivitas akibat patologis sistem musculoskeletal meliputi pasien Fraktur,
osteoporosis, osteomielitis, Amputasi, dan Polio
Agar anda dapat memahami modul I ini dengan mudah, maka modul I kami bagi menjadi
8 topik sebagai berikut:
Topik 1 : Review Anatomi dan Fisiologi Sistem Muskuloskeletal
Topik 2 : Review Pemenuhan Kebutuhan aktivitas dan Latihan pada pasien dengan
gangguan sistem muskuloskeletal
Topik 3 : Proses Keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem
musculoskeletal
Topik 4 : Asuhan keperawaan Pada pasien fraktur
Topik 5 : Asuhan keperawatan pada pasien osteoporosis
Topik 6 : Asuhan keperawatan Padapasien osteomielitis
Topik 7 : Asuhan keperawatan Pada pasien Amputasi
Topik 8 : Asuhan keperawatan Pada pasien polio
Topik 1
REVIEW ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM MUSKULOSKELETAL

Pada semester sebelumnya, anda sebenarnya telah mempelajari tentang anatomi


dan fisiologi sistem musculoskeletal pada mata kuliah Ilmu Biomedik Dasar pada
semester 1. Oleh karena itu, Topik 1 pada modul ini hanya akan menyegarkan kembali
ingatan anda tentang anatomi dan fisiologi sistem tersebut.
Anda akan mempelajari 3 sub pokok bahasan meliputi: Sistem Skeletal (Tulang),
Sendi, dan Muscle (Otot).
A. Sistem Skeletal/Tulang
Tanpa Tulang, anda tidak dapat bertahan hidup, anda tidak akan mampu
melakukan gerakan seperti berjalan atau menggenggam, tidak mampu menahan
pukulan yang mungkin mengenai organ dalam. Tulang disebut sebagai alat gerak
pasif, hal ini dikarenakan koordinasi dengan sistem lain yaitu otot dan saraf.
Skeleton manusia dewasa tersusun dari 206 tulang yang memiliki nama, sebagian
besar berpasangan, dengan satu anggota pada setiap pasangan disebelah kiri dan
kanan tubuh (Tortora & Derrickson, 2016)
1. Fungsi Tulang
Menurut Ross dan Wilson (2014) fungsi tulang meliputi:
a) Tulang memberikan topangan dan bentuk pada tubuh
b) Memberikan perlekatan pada otot dan tendon
c) Pergerekan, tulang berartikulasi dengan tulang lain pada sebuah persendian
dan berfungsi sebagai pengungkit. Jika otot-otot yang melekat pada tulang
berkontraksi, kekuatan yang diberikan pada pengungkit akan menghasilkan
gerakan
d) Perlindungan, tulang berfungsi melingdungi organ yang ada didalamnya,
misalnya jantung dan paru-paru dilindungi oleh tulang sternum dan iga, otak
dibungkus dan dilindungi oleh tulang tengkorak
e) Hemopoiesis, produksi sel darah merah dalam sum-sum tulang
f) Tempat penyimpanan mineral. Matriks tulang terdiri dari 62% garam organic
(kalsium fosfat dan kalsium karbonat)
2. Jenis Tulang
Tulang digolongkan menjadi 2 golongan utama yaitu (Sloane, 2004; Ross &
Wilson, 2014):
a. Tulang Aksial: terdiri dari 80 tulang yang membentuk aksis panjang tubuh
dan melindungi organ-organ kepala, leher dan torso, meliputi:
1) Columna Vertebra (tulang belakang) terdiri dari 26 vertebra: v. Cervicalis
(7 buah), v. Thorakalis (12 buah), v. lumbalis (5 buah), Sakrum dan
Coksigealis.
2) Tulang tengkorak: Tulang cranial (6 buah), Tulang facialis (14 buah),
tulang telinga dalam (6 buah), tulang lidah (1 buah)
3) Tulang Thoraks: Tulang iga (24 buah) dan 1 tulang sternum

Gambar I. Tulang tengkorak (Retrived From


https://www.google.com/search?q=tulang+aksial&safe=strict&source=lnms&tbm=isch
&sa=X&ved=0ahUKEwjOrfeBjpXgAhWFNY8KHTY9CVoQ_AUIDigB&biw=1366&bih=657
#imgrc=Eaja5Yg502aREM:

b. Tulang Apendikular: terdiri dari 126 tulang yang membentuk lengan, tungkai,
dan tulang pectoral serta tonjolan pelvis yang menjadi tempat melekatnya
lengan dan tungkai pada rangka aksial
Gambar II. Tulang Appeddikular. literasibio.blogspot.com/2016/06/jenis-jenis-rangka-
apendikular-bagian_27.html

B. Muscle/Otot
Setelah belajar tentang tulang, sekarang anda akan menyegarkan ingatan anda
tentang otot. Otot juga disebut sebagai alat gerak aktif. Jaringan otot mencapai 40% -
40% berat tubuh, tersusun dari sel-sel kontraktil yang disebut serabut otot. Melalui
kontraksi, sel-sel otot menghasilkan pergerakan dan melakukan pekerjaan (Sloane,
2004; Tortora & Derrickson, 2016)
1. Fungsi Otot
Ross dan Wilson (2014), menjelaskan fungsi otot sebagai berikut:
a) Pergerakan. Otot sebagai alat gerak aktif menghasilkan gerakan pada tulang
tempat otot tersebut melekat dan bergerak dalam bagian-bagian organ
internal tubuh.
b) Penopang tubuh dan mempertahankan postur. Otot menopang rangka dan
mempertahankan tubuh saat berada dalam posisi berdiri atau saat duduk
terhadap gaya gravitasi
c) Produksi panas. Kontraksi otot secara metabolism menghasilkan panas untuk
mempertahankan suhu tubuh normal
d) Agar otot dapat berkontraksi, maka diperlukan suatu stimulus, urutan proses
kontraksi sebagai berikut;
1) Stimulus datang dan diterima oleh sel saraf (neuron sensorik) yang
selanjutnya diubah menjadi impuls saraf
2) Impuls diteruskan oleh neuron motorik menuju otot, melalui myoneural
junction (motor and plate) yaitu pertemuan antara neuron motorik dan
otot. Pada tempat ini terdapat sinapsis, tempat penyaluran
neurotransmitter (asetilkolin) dari neuron ke otot.
3) Di sinapsis, neurotransmitter meneruskan impuls ke sarkolemma dan
akhirnya kontraksi dimulai
2. Jenis-jenis otot
a) Otot Rangka: otot lurik, volunteer dan melekat pada tulang, berbentuk
silindres, dengan kontraksi cepat dan kuat: Misal otot abdomen dan otot-otot
yang melekat pada tulang
b) Otot Polos: otot tidak berlurik dan involunter, kontraksi kuat dan lamban,
terdapat pada organ-organ berongga seperti kandung kemih, usus, dan lain-
lain.
c) Otot Jantung: Otot Lurik, involunter, dan hanya ada pada jantung. Kontraksi
kuat dan berirama
C. Sendi
Bagian terakhir yang anda akan pelajari dari anatomi dan fisiologi sistem
musculoskeletal adalah sendi. Sendi, disebut juga artikulasi atau artrosis,
merupakan titik kontak di antara dua tulang, di antara tulang dan kartilago, atau di
antara tulang dan gigi. Sendi adalah tempat dimana dua tulang atau lebih
membentuk persendian. Sendi memungkinkan fleksibilitas dan gerakan rangka
serta memfasilitasi pelekatan di antara tulang (Ross dan Wilson, 2014)
1. Klasifikasi fungsional persendian
a) Sendi Sinartrosis atau sendi mati, secara structural, persendian ini dibungkus
dengan jaringan ikat fibrosa atau kartilago. Susunan sendi ini menyebabkan
tidak ada pergerakan, misalnya sendi antara tulang tengkorak atau sutura
b) Sendi Amfiartrosis adalah sendi dengan pergerakan terbatas yang hganya
memungkinan terjadinya sedikit gerakan sebagai respons terhadap torsi atau
kompresi. Misalnya, sendi di antara vertebra, yakni diskus intervertebrata
dan simfisis pubis
c) Sendi Diartrosis merupakan sendi yang dapat bergerak bebas, dikenal juga
dengan nama sendi synovial. Sendi ini memiliki rongga sendi yang berisi
cairan synovial. Sendi Sinovial digolongkan berdasarkan rentang gerak yang
mungkim terjadi sebagai berikut:
1) Sendi lesung (ball and socket join); Satu ujung kepala tulang masuk ke
dalam suatu cekungan dan memungkinkan gerakan ke segala arah.
Gerakan ini meliputi, fleksi, ektensi, abduksi, adduksi, rotasi, dan
sirkumduksi. Contoh sendi ini adalah sendi pada bahu dan pinggul
2) Sendi engsel; ujung sendi tulang membentuk susunan seperti engsel pintu
sehingga memungkinkan pergerakan yang terbatas hanya fleksi dan
ektensi, contohnya sendi pada lengan atas, lutut, tumit, dan antara palang
dan jari tangan serta sendi jari kaki
3) Sendi putar (pivot joint); Dikenal juga dengan nama sendi peluru, sendi ini
memungkinkan gerakan rotasi, misalnya gerakan rotasi kepala
4) Sendi Selonsor (Gliding joint); permukaan sendi tampak gepeng atau
sedikit melengkung, namun jumlah gerakan yang dilakukan sangat
terbatas. Contohnya sendi antara karpal di pergelangan tangan, tulang
tarsal di kaki
5) Sendi kondiloid; kondil sendi masuk ke dalam soket sendi. Misalnya,
kondil tulang oksipital masuk ke dalam depresi atlas dan sendi antara
tulang radius dan tulang karpal
6) Sendi pelana; tulang yang membentuk sendi menyerupai orang yang
duduk di atas pelana. Contohnya sendi antara trapezium pergelangan
tangan dan tulang metacarpal pertama serta oposisi ibu jari

TOPIK 2
REVIEW PEMENUHAN KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN PADA PASIEN
DENGAN GANGGUAN SISTEM MUSCULOSKELETAL

Anda telah menyegarkan kembali ingatannya tentang anatomi dan fisiologi


sistem musculoskeletal pada topic I. Selanjutnya, kita akan mereview tentang
pemenuhan kebutuhan aktivitas dan latihan. Materi inipun telah anda pelajari mata
kuliah di Semester I. pada bagian ini anda akan mempelajari dua subpokok bahasan
yaitu konsep dasar aktivitas (Mobilisasi) dan konsep Immobilisasi
A. Konsep dasar Aktivitas (Mobilisasi)
Aktivitas fisik dan olahraga secara rutin akan mendorong kesejahteraan fisik dan
emosional (Huddlestone, 2002; Konradi dan Anglin, 2001). Pengetahuan dan
pemahaman tentang pergerakan dan mobilisasi membutuhkan lebih dari satu
pemahaman tentang pergerakan dan fisiologis, serta regulasi pergerakan oleh
sistem musculoskeletal dan sistem saraf. Anda perlu mengetahui tentang bagaimana
mengaplikasikan prinsip ke tatanan klinis untuk menentukan cara paling aman
menggerakkan klien dan memahami efek imobilisasi pada aspek fisiologis,
psikososial, dan perkembangan dari perawatan klien (Potter dan Perry 2010).
1. Pengertian
Menurut Berman, Snyder & Frandsen (2016) mobilisasi merupakan kemampuan
untuk bergerak dengan bebas, mudah, berirama, dan teratur di lingkungan, yang
menjadi bagian penting dalam kehidupan individu. Seorang individu harus
bergerak atau beraktivitas untuk melindungi diri mereka dari trauma dan untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya.
2. Manfaat
Menurut Potter dan Perry (2010), beraktivitas atau mobilisasi memiliki
kegunaan sebagai berikut:
a. Membantu tubuh menjadi lebih segar, kuat, fleksibel, energik, dan langsing
b. Mengurangi resiko penyakit jantung, melawan obesitas, mengatur kadar gula
darah, dan membantu menua dengan tenang
c. Meningkatkan imunitas, konsentrasi dan kualitas tidur
d. Mengurangi stress, memperbaiki mood, meningkatkan kepercayaan diri dan
meningkatkan optimism
e. Untuk aktualisasi diri
f. Merangsang pertumbuhan pada anak
3. Mekanika Gerak.
Pergerakan tubuh membutuhkan koordinasi antara aktivitas otot dan integrasi
sistem saraf. Hal ini melibatkan 4 element dasar (Potter dan Perry, 2010;
Berman, Snyder & Frandsen 2016), sebagai berikut:
a. Body Aligment/ Postur tubuh: disebut juga dengan istilah kesejajaran tubuh
yang merujuk pada mem posisikan sendi, tendon, ligament, dan otot saat
berdiri, duduk, dan berbaring, kesejajaran tubuh berarti pusat gravitasi
individu dalam keadaan stabil. Kesejajaran tubuh yang tepat dapat
mengurangi ketegangan pada struktur muskulokeletal, membantu dalam
mempetahankan tonus otot yang adekuat, mendukung kenyamanan dan
berkontribusi pada keseimbangan dan penyimpanan energi
b. Balance/ keseimbangan tubuh:seseorang harus seimbang untuk
mempertahankan posisi yang tetap (misalnya duduk atau berdiri), dan untuk
bergerak (misalnya berjalan). Penyakit, cidera, nyeri, perkembangan fisik
(usia), dan perubahan hidup (hamil) dapat mempengaruhi keseimbangan
tubuh. Medikasi dan immobilisasi juga dapat mempengaruhi keseimbangan.
Gangguan keseimbangan merupakan ancaman terbesar terhadap keamanan
fisik dan berkontribusi terhadap rasa takut akan jatuh dan menahan diri
untuk beraktivitas
c. Pergerakan sendi: sendi adalah unit fungsional dari sistem musculoskeletal.
Tulang rangka berarticulasi pada sendi. Otot dikategorikan berdasarkan jenis
pergerakan yang dihasilkan saat berkontraksi bersama-sama, seperti otot
fleksor, ektensor, internal rotator dan lain-lain. Jika seseorang tidak aktif,
persendian akan menjadi kaku. Kurangnya kativitas dan perubahan posisi
akan menyebabkan otot memendek secara permanen, dan sendi akan tetap
dalam posisi tertekuk (Kontraktur
d. Coordinated Movement: gerakan yang seimbang, halus, dan teratur adalah
hasil kerja dari fungsi korteks cerebral, otak kecil, dan ganglia basal. Korteks
serebral menginisiasi aktivitas motorik volunteer, otak kecil mengkoordinasi
aktivitas motorik pergerakan, dan ganglia basal akan mempertahakan postur
tubuh.

4. Faktor yang mempengaruhi aktivitas dan Body Alignment


Sejumlah faktor mempengaruhi body alignment, mobilitas, dan aktivitas sehari-
hari. faktor ini meliputi:
a. Pertumbuhan dan perkembangan: usia seseorang dan perkembangan sistem
otot dan saraf mempengaruhi postur, proporsi tubuh, massa tubuh, gerakan
tubuh dan reflex. Oleh karena itu, dalam melakukan tindakan keperawatan
untuk membantu memenuhi kebutuhan aktivitas, perawat hrus
memperhatikan aspek tumbuh kembang klien sesuai dengan kebutuhan
b. Nutrisi: kekurangan dan kelebihan nutrisi dapat mempengaruhi body
aligment dan mobilisasi. Orang mal nutrisi mungkin memiliki kelemahan otot
dan kelelahan. Asupan kalsium dan sintesis serta supan vitamin D yang tidak
adekuat akan meningkatkan osteoporosis. Obesitas dapat menegganggu
gerakan sendi, mempengaruhi keseimbangan yang akan berakibat pada
kesehatan sendi.
c. Kesehatan fisik: individu yang sedang sakit akan mempengaruhi dan
mengganggu aktivitas dan gerakan tubuhnya. Misalnya orang stroke akan
mengalami kelumpuhan yang akan menurunkan aktivitas hariannya
d. Status mental: seseorang yang mengalami gangguan mental cenderung akan
bersifat menarik diri, tidak antusias sehingga akan mengurangi aktivitasnya,
bahkan kehilangan tenaga untuk memenuhi kebutuhan Personal Hygiene
e. Faktor lingkungan: banyak faktor eksternal yang mempengaruhi mobilisasi
seperti temperature dan kelembaban yang terlalu tinggi akan menurunkan
minat untuk berkativitas.
f. Gaya hidup: gaya hidup seperti bermalas-malasan akan mempengaruhi
mobilisasi dan aktivitas individu
B. Konsep Dasar Imobilisasi
Imobilisasi merupakan penurunan atau ketidakmampuan pasien atau individu
bergerak bebas yang disebabkan kondisi tertentu atau dibatasi secara terapeutik
(Potter dan Perry, 2010). imobilisasi dalam waktu lama akan berdapmpak pada
sistem musculoskeletal, kardiovaskular, pernapasan, integument, metabolism,
perkembihan dan psikoneurologis. Oleh karena itu, anda sebagai seorang perawat
perlu memahami ini dan mendorong pasien agar dapat bergerak sebanyak mungkin.
Individu biasa dalam kondisi imobilisasi karena beberasa alasan diantaranya: 1)
adanya program pengobatan dan perawatan, misalnya pemasangan traksi untuk
tujuan terapeutik, namun sisi lain akan membatasi pergerakan pasien; 2) kondisi
atau penyakit tertentu, misalnya stroke yang menyebabkan paralisis pada otot otot
ekstremitas; 3) mengurangi nyeri pasca operasi.
1. Dampak Imobilisasi pada sistem musculoskeletal
a. Osteoporosis; tanpa adanya aktivitas yang member beban pada tulang, maka
tulang akan mengalami demineralisasi, kalsium akan terkuras yang
merupakan penyusun penting dalam kepadatan tulang dan pada akhirnya
akan menyebabkan tulang menjadi keropos dan mudah patah
b. Atrofi otot; otot yang tidak digunakan dalam waktu lama akan kehilangan
sebagian besar kekuatan dan fungsinya
c. Kontraktur: ketika otot tidak berkontraksi dalam jangka waktu lama akan
menyebabkan serat otot kehilangan kemampuan untuk memanjang dan
memendek, dan pada akhirmya akan terjadi pemendekan otot yang
permanen atau kontraktur. Kontraktur akan membatasi mobilitas sendi.
d. Kekakuan dan Nyeri pada sendi: tanpa gerakan, jaringan ikat pada sendi akan
menjadi Ankylosed (secara permanen tidak bergerak). Tulang yang
mengalami demineralisasi, kelebihan kalsium dapat tertimbung di persendian
dan berkontribus pada kekauan dan nyeri pada sendi.
2. Tingkat Mobilisasi
a. Imobilisasi Komplet: Imobilisasi dilakukan pada individu yang mengalami
penurunan tingkat kesadaran
b. Imobilisasi parsial: pasien mampu menggerakkan sebagian anggota tubuhnya,
contohnya pada pasien stroke
c. Imobilisasi karena pengobatan: imobilisasi ini terjadi pada penderita dengan
masalah pada respirasi atau kardiovaskular, pada klien tirah baring, pasien
harus meminimalkan pergerakan atau aktivitasnya seperti berjalan.
Keuntungan dari tirah baring ini adalah untuk mengurangi kebutuhan
oksigen tubuh dan juga untuk mengurangi respon nyeri..

Alhamdulillah, saudara sekalian telah menyelesaikan 2 topik ini yang akan


mempermudah kita dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan
patologis pada sistem musculoskeletal. Namun sebelum mempelajari asuhan
keperawatan pada pasien, terlebih dahulu kita akan mempelajari konsep dan teori
proses keperawatan sistem musculoskeletal

(Topik 3).
Topik III
Proses Keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem musculoskeletal

Selamat datang di Topik 3. Pada topic 1 dan 2 anda telah mempelajari tentang
review anatomi dan fisiologi sistem musculoskeletal dan pemenuhan kebutuhan
aktivitas dan latihan. Selanjutnya, pada topic ini akan dibahas tentang proses
keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem musculoskeletal.
Perawat merupakan ujung tombak pelayanan keperawatan yang akan merawat
pasien atau melakukan asuhan keperawatan. Anda sebagai calon perawat perlu
memahami dan menguasai konsep dan teori asuhan keperawatan sehingga anda akan
mampu melakukan pemberian asuhan keperawatan pada pasien secara komprehensif
dan holistic. Pada topic 3 ini, secara spesifik anda akan mempelajari proses keperawatan
meliputi Pengkajian, Diagnosa dan Intervensi keperawatan pada pasien dengan
gangguan sistem musculoskeletal.
Anda akan mempelajari 3 sub pokok bahasan yaitu 1) pengkajian keperawatan;
2) diagnose keperawatan; 3) intervensi keperawatan gangguan kebutuhan aktivitas
akibat patologis sistem musculoskeletal..

A. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan menjadi bagian yang sangat penting dalam proses
keperawatan. Tahapan ini menjadi kunci keberhasilan dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien. Pengetahuan dan skill perawat dalam mengkaji masalah
pasien akan menentukan langkah selanjutnya untuk mengatasi atau menyelesaikan
masalah pasien. Pengkajian dilakukan dengan tehnik anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Hasil dari pengkajian keperawatan berupa data objektif (hasil pemeriksan fisik:
Inspeksi, palpasi, perkusi & auskultasi; data pemeriksaan penunjang: Misalnya hasil
laboratorium) dan data subjectif.
Berikut ini dijabarkan focus pengkajian untuk sistem musculoskeletal:
1. Data Subjektif
a. Demografi
Umur, Jenis kelamin, status sosial ekonomi  Peningkatan usia,
perempuan,dan status ekonomi rendah dapat meningkatkan risiko cidera
dan masalah pada sistem musculoskeletal
Pekerjaan dan aktivitas, meliputi olahraga dan aktivitas fisik lainnya
b. Riwayat Kesehatan Masa lalu
Aktivitas pasien sebelumnya  member informasi mengenai tingkat
aktivitas pasien sebelum sakit
Faktor risiko yang berhubungan dengan masalah musculoskeletal 
merokok dan gaya hidup yang tidak aktif adalah faktor risiko terjadinya
masalah muskuloskeletal
Riwayat keluarga  Beberapa kondisi bersifat genetic
Riwayat diet  asupan makanan seperti kalsium dan Vitamin D yang
berpengaruh pada beberapa gangguan musculoskeletal
c. Riwayat Injury
Alergi  apakah ada riwayat alergi terhadap obat atau bahan kimia
lainnya untuk mencegah terpapar obat atau senyawa yang digunakan
dalam test diagnostic, perawatan dan terapi
Riwayat cidera (jika ada)  menyediakan informasi yang membantu
dalam diagnosis masalah, dan dapat mendeteki lebih dini komplikasi .
Nyeri
d. Pengkajian psikosocial
Kaji adanya deformitas (kecacatan), perubahan cintra tubuh, konsep diri
dan masalah sosial lainnya
Kaji kemampuan koping individu
2. Data Subjektif
1. Pemeriksaan fisik
Ada 3 area pengkajian musculoskeletal yang penting yaitu, inpeksi, palpasi
dan Ranges Of Motion (ROM). Untuk memudahkan anda mengkaji,
pemeriksaan fisik dibagi dalam 2 kategori yaitu mobilisasi dan imobilisasi
a. Mobilisasi : Pengkajian mobilisasi klien berfokus pada ROM, gaya
berjalan, latihan dan toleransi aktivitas dan kesejajaran tubuh
1) ROM (ranges Of Motion) / rentang gerak.
Saat anda mengkaji ROM, ajukan pertanyaan dan kaji tentang
kekakuan, pembengkakan, nyeri, pergerakan yang terbatas, dan
pergerakan yang tidak sama. Prinsip Utama saat mengkaji ROM
adalah pengkajian dilakukan secara Head To Toe. Pada perkuliahan
sebelumnya anda tentang belajar tentang ROM, silakan dipelajari
kembali yaa.
2) Gaya Berjalan (Gait)
Gait adalah gaya berjalan, termasuk ritme, kecepatan, dan temponya.
Pemeriksaan ini memungkinkan perawat melihat keseimbangan,
postur, dan kemampuan berjalan tanpa dibantu. Amati konformitas,
ritme yang teratur dan lancer, kesimetrisan pada ayunan kaki, dan
ayunan yang lancar dan simestris.
3) Latihan dan Toleransi aktivitas
Toleransi aktivitas merupakan kadar olahraga atau aktivitas yang
mampu dilakukan seseorang. Pengkajian tingkat energi klien meliputi
efek fisiologis latihan dan toleransi aktivitas. Pengkajian toleransi
aktivitas bisa dilakukan dengan memberikan latihan kepada pasien
misalnya dengan Test 6MWT (The 6 minutes walking test).
Pemeriksaan ini memberikan data dasar tentang pola aktivitas klien
dan menentukan faktor yang mempengaruhi toleransi aktivitas.
4) Kesejajaran Tubuh
Lakukan pengkajian kesejajaran tubuh klien dalam posisi bediri,
duduk, dan berbaring.
Posisi berdiri  Kepala tegak dan berada di garis tengah, bahu
dan pinggul tegak dan paralel, tulang belakang tegak, kepala tegal
dan lengkung tulang belakang berada dalam pola S terbalik
(diobservasi dari samping), abdomen masuk kedalam dan lutut
dan pergelangan kaki sedikit fleksi, lengan bergantung secara
nyaman di samping tubuh, kaki terpisah sedikit dan jari-jari
menghadap ke depan
Posisi Duduk  kepala tegak, dan leher serta kolumna vertebralis
berada dalam posisi sejajar; berat badan terdistribusi dengan rata
pada bokong dan paha; paha paralel dan berada pada bidang
horizontal; kedua kaki didukung diatas lantai dan pergelangan
kaki fleksi; lengan bawah pasien didukung di tangan kursi, di atas
paha atau di atas meja yang berada di depan kursi
Posisi berbaring  pasien sadar memiliki kontrol otot volunteer
dan persepsi tekanan yang normal. Yang paling penting anda kaji
adalah pasien imobilisasi, kesejajaran tubuh saat berbaring
adalah posisi miring atau lateral.
b. Imobilisasi
Kaji bahaya imobilisasi pada klien dengan melakukan pengkajian
fisik dari kepala ke kaki. Abnormalitas musculoskeletal diidentifikasi
selama pengkajian keperawatan, meliputi menurunnya tonus otot dan
kekuatan otot, kehilangan massa otot, dan kontraktur. Pengukuran
antropometri yang didapatkan sebelumnya dapat mengindikasikan
kehilangan tonus dan massa otot
Pengkajian dini rentang gerak harus dilakukan karena merupaka
data dasar yang akan dibandingkan dengan pengukuran lainnya untuk
mengevaluasi apakah kehilangan mobilisasi sendi telah terjadi.
Pengukuran rentang gerak dengan menggunakan goniometri.

B. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan fase kedua dari proses keperawatan
(Berman, Snyder & Frandsen 2016). Pada fase ini perawat menggunakan skill
berpikir kritisnya untuk menginterpretasikan data hasil pengkajian dan maslaah
pasien yang diidentifikasi. Pembuatan diagnosis keperawatan merujuk kepada
NANDA diagnosis.
Jenis diagnosis keperawatan berdasarkan NANDA dibedakan sebagai berikut:
1. Diagnosis actual: masalah klien muncul pada saat melakukan pengkajian
keperawatan. Contohnya, “pola nafas tidak efektif’ dan “kecemasan”. Diagnosis
actual berdasarkan pada adanya tanda dan gejala yang terkait.
2. Diagnosis Promosi Kesehatan: berkaitan dengan kesiapan klien menerapkan
perilaku untuk meningkatkan kondisi kesehatannya. Label diagnosis ini dimulai
dengan kata “Kesiapan untuk meningkatkan” contohnya “Kesiapan untuk
meningkatkan Nutrisi”
3. Diagnosis keperawatan Risiko: Tidak ada clinical jusdgment munculnya masalah,
namun ada faktor risiko yang menunjukkan bahwa masalah kemungkinan akan
berkembang kecuali perawat campur tangan. Contohnya semua orang yang
dirawat dirumah sakit memiliki kemungkinan tertular infeksi, namun klien DM
atau penurunan sistem imun berisiko lebih tinggi daripada orang lain. Oleh
karena itu perawat akan menggunakan label diagnosis ”Risiko Infeksi” untuk
menggambarkan status kesehatan psaien
4. Diagnosis syndrome: Diagnosis ini ditetapkan oleh penilaian klinis seorang
perawat untuk menggambarkan sekelompok diagnosis keperawatan yang
memiliki intervensi yang serupa.
Komponem diagnosis keperawatan NANDA:
a) Masalah (Label Diagnostik) dan Defenisi  pernyataan masalah atau label
diagnostic yang menggambarkan masalah kesehatan pasien atau respon dari
terapi keperawatan yang diberikan, menggambar status kesehatan klien
secara jelas dan singkat dalam beberapa kata. Tujuan dari label diagnostic
adalah untuk mengarahkan pada apa yang diinginkan atau tujuan pasien dan
hasil yang diinginkan. Contohnya anxiety, Intoleransi aktivitas. Selain itu ada
beberapa kata yang sering ditambakhan untuk member makna tambahan
pada pernyatan diagnostic, Misalnya deficient (Kurang), Impaired (Gangguan),
Decrease (Menurun),dan ineffective (Tidak efektif)
b) Etiologi (faktor berhubungan dan faktor risiko) komponen etiologi dari
diagnosis keperawatan mengidentifikasi satu atau lebih penyebab masalah,
memberikan arah dalam penentuan intervensi keperawatan dan perawat
dapat menyesuaikan perawatan klien. Setiap label diagnostic yang disetujui
oleh NANDA memiliki defenisi yang menjelaskan maknanya. Misalnya
Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan “Ketidakseimbangan suplai
oksigen”.
c) Defenisi kerakteristik  kumpulan tanda dan gejala yang menunjukkan
adanya label diagnostic tertentu. Diagnosis keperawatan actual, defenisi
karakterisitiknya adalah tana dan gejala pasien. Untuk diagnosis keperawatan
risiko, tidak ada tanda subjektif dan objectif.

Diagnosis keperawatan pada kasus sistem musculoskeletal sering memiliki


satu atau lebih diagnosis keperawatan. Diagnosis keperawatan yang mungkin
ditegakkan meliputi:
a) Intoleransi aktivitas
b) Risiko cedera
c) Gangguan pertukaran gas
d) Gangguan mobilitas fisik
e) Nyeri akut atau kronis
f) Gangguan keseimbangan nutrisi: melebihi kebutuhan
g) Bersihan jalan nafas inefektif
h) Gangguan integritas kulit
i) Gangguan eliminasi urine
j) Isolasi sosial
k) Insomnia
Berikut ini anda bisa lihat contoh format dan analisis data hasil pengkajian:

Pengelompokkan Data Problem Etiologi


Data Subjektif:

Data Objektif:
dst

C. Intervensi Keperawatan (Perencanaan) Dan Implementasi


Selama perencanaan perawat menggabungkan informasi dari berbagai sumber
misalnya pengetahuan tentang terapi, protokol untuk klien yang berisiko jatuh,
perilaku dan pengalaman masa lalu pada pasien. Berpikir kritis memastikan bahwa
rencana keperawatan klien mengintegrasikan semua yang anda ketahui tentang
pasien. Komponen dari intervensi keperawatan meliputi Tujuan dan hasil yang di
harapkan, penyusunan prioritas, dan perawatan kolaboratif.
o Tujuan dan hasil yang diharapkan 
o kembangkan rencana keperawatan yang bersifat individual untuk
masing-masing diagnosis keperawatan.
o Susun hasil yang realisitis dan libatkan klien dan keluarga jika
memungkinkan
o Susun tujuan yang individual, realistis dan dapat diukur, berfokus pada
pencegahan masalah
o Contoh: klien paralisis sisi kiri yang menyertai strok, dalam keadaan
imobilisasi ditempat tidur
Tujuan: Kulit klien tetap utuh
Hasil : 1) warna dan suhu kulit klien kembali ke keadaan normal dalam 20
menit perubahan posisi; 2) perubahan posisi minimal tiap 2 jam.
o Penyusunan prioritas 
o susun prioritas saat merencanakan asuhan keperawatan, untuk
memastikan kebutuhan klien saat ini dipenuhi terlebih dahulu.
o Rencanakan terapi berdasarkan keparahan resiko terhadap klien, dan
individualisasikan rencana sesuai dengan tahap perkembangan klien,
tingkat kesehatan dan gaya hidup
o Prioritas harus dilakukan untuk memastikan bahwa anda tidak
meremehkan komplikasi yang mungkin terjadi. Banyak masalah yang
actual seperti ulkus tekan dan syndrome disuse, yang dipedulikan hanya
jika masalah tersebut telah terjadi
o Perawatan Kolaboratif  perencanaan melibatkan pemahaman atas kebutuhan
klien untuk mempertahankan fungsi dan kemandirian. Bekerjasamalah dengan
anggota tim kesehatan lain seperti ahli terapi fisik dan okupasi,

Berikut anda bisa lihat format Rencana Asuhan Keperawatan:


INTERVENSI KEPERAWATAN
Nama:
No. RM: Tanggal Pengkajian:
Diagnosa Tujuan dan Rencana
No. Rasional
Keperawatan Kriteria hasil Tindakan

Setelah anda membuat Rencana keperawatan, selanjutnya anda akan melaksakan


rencana yang telah anda buat kepasien atau proses implementasi. Format dokumentasi
implementasi keperawatan, Catatan Keperawatan, dan Catatan Perkembangan Pasien
Terintegrasi sebagai berikut:

IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Nama:
No. RM:
Diagnosa Tanda
No. Tgl Jam Implementasi
Keperawatan Tangan

CATATAN PERKEMBANGAN
Nama Pasien : J.K : L/P
Diagnosa medis : Usia :
No. RM :
Assessment Planning
Tgl. No.Dx DS DO TTD
Masalah Tindakan

Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi


Nama :
No. RM :
Tgl Lahir :
JK : Laki Laki Perempuan
CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN TERINTEGRASI
(Dokter, perawat/bidan, Nutrisionis, Fisioterapis, Apoteker, Analisis &
Radiografer)
HASIL PEMERIKSAAN, ANALISA,
Instruksi Tenaga Kesehatan
RENCANA, PENATALAKSANAAN PASIEN Verifikasi DPJP
Tgll/ Profesi/ Termasuk Pasca
(Tulis dengan format SOAP/ADIME, (Bubuhkan stempel
Jam Bagian Bedah/Prosedur
disertai saran: tulis nama, beri paraf pada nama, paraf, tgl, Jam)
(Ditulis dengan rinci dan jelas)
akhir catatan)

Topik 4
Asuhan keperawaan Pada pasien fraktur

Luar biasa, anda telah melewati topic 1 sampai 3. Nah sekarang mari kita pelajari
bagaimana memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan fraktur. Ayo kita
pelajari dengan ikhlas dan sungguh-sungguh agar dapat mengetahui dan memahami
asuhan keperawatan pasien fraktur dengan baik. Jangan Lupa sebelum belajar baca
“Bismillahirrahmanirrahim”.

Sebelum kita membahas lebih jauh, anda bacalah terlebih dahulu kasus pemicu dibawah
ini
Tn. A berumur 35Thn, Dirawat diruang bedah orthopedic dengan keluhan nyeri pada kaki kiri
karena kecelakaan mobil. Saat pengkajian Tuan A mengeluh nyeri pada tungkai kiri yang
terpasang skin traksi. Extremitas bawah kanan lebih panjang 3 cm dari ektreimitas bawah kiri.
Tungkai terpasang fiksasi internal yang terbalut kasa pada tibia 1/3 proximal. Nyeri dirasakan
seperti disayat-sayat. Nyeri bertambah bila sedang dilakukan perawatan luka. Skala nyeri 8 pada
rentang 0-10. Nyeri berkurang bila sedang diistirahatkan.
Hasil pengkajian fisik : RR 22 x/I, N:110x/I, TD 130/80 mmhg, S: 37,9 oC. CRT kuku kaki 3 detik.
Data lab: HB, 10,3 g/dl, hematokrit 36%, leukosit 13.000/mm3. Trombosit 450.000 mm/gr dl,
protein total 6,8 g/dl. Pasien mendapatkan terapi metronidazol 2 x 500 mg drips, vit b dan vit c
3 x1, IVFD NaCL 5 tpm, Calc 3x1, diet TKTP.

A. Deskripsi
Fraktur merupakan terputusnya kontinuitas jaringan tulang baik lengkap
maupun tidak lengkap yang umumnya disebabkan oleh tekanan atau rudapaksa
eksternal yang datang lebib besar daripada yang dapat diserap oleh tulang. Jika
terjadi fraktur maka bukan hanya tulang yang bermasalah tapi jaringan lunak
sekitarnya juga akan terganggu, seperti otot, pembuluh darah dan jaringan saraf
(Black & Hawks, 2014; Haryono & Utami, 2019; Dosen KMB Indonesia, 2017).
Jenis-jenis fraktur dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, sebagai berikut:
(Dosen KMB Indonesia, 2017; Smeltzer, 2018)
1. Menurut sifat fraktur:
a) Fraktur tertutup (Closed)  memiliki kulit yang masih utuh di atas lokasi
cidera atau tidak menyebabkan robekan di kulit
b) Fraktur terbuka (Compound/open)  robeknya kulit di atas cidera tulang
atau adanya bagian tulang yang mencuak keluar yang mungkin
terkontaminasi dengan lingkungan
2. Menurut komplet atau ketidakkompletan fraktur:
a) Fraktur Komplet  patah diseluruh penampang lintang tulang, yang sering
kali tergeser
b) Fraktur inkomplet  disebut juga fraktur greenstick. Patah terjadi hanya pada
sebagian dari penampang lintang tulang
3. Menurut jumlah garis patah:
a) Fraktur kominutif  garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan
b) Fraktur segmental  garis patah lebih dari satu, tetapi tidak berhubungan.
Jika ada dua garis patah, disebut fraktur bifocal
c) Fraktur multiple  Garis patah lebih dari satu, tetapi pada tulang yang
berlainan tempatnya, misalnya faktur femur dan fraktur tulang belakang
Tanda dan Gejala fraktur menurut Smeltzer (2018) & Dosen KMB Indonesia
(2017), dijabarkan sebagai berikut:
1) Nyeri Akut dan Nyeri Tekan
2) Deformitas  fragmen tulang berpindah dari tempatnya
3) Bengkak  edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravasasi darah terjadi
dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur
4) Spasme otot  spasme involunter dekat fraktur
5) Kehilangan sensasi  mati rasa, mungkin terjadi akibat kerusakan saraf atau
perdarahan
6) Pemendekan ektremitas
7) Hilangnya darah
8) Krepitus
Fraktur biasanya menyertai trauma sehingga pemerikasaan Airway, Breathing,
Circulation dan EKG perlu dilakukan untuk menilai apakah mungkin terjadi syok atau
tidak. Setelah dinyatakan tidak ada masalah, selanjutnya lakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik secara detail. Golden periode pada pasien fraktur adalah 1-6 jam
setelah terjadi kecelakaan, jika lebih dari 6 jam komplikasi akan muncul seperti
infeksi (Dosen KMB Indonesia, 2017).
B. Komplikasi
Fraktur dapat menimbulkan komplikasi yang bisa terjadi segera atau yang lambat,
sebagai berikut:
1) Komplikasi segera  kerusakan arteri, syndrome kompartemen, Sindrome
embolime lemak, infeksi, syok, dan nekrosis vascular
2) Komplikasi waktu lama  Delayed Union (Kegagalan fraktur berkonsolidasi
sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung), Nonunion
(Kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap,
kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan), Malunion (Penyembuhan tulang yang ditandai
dengan peningkatan kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas)
C. Proses penyembuhan tulang
Tahap penyembuhan tulang menurut Black & Hawks (2014) sebagai berikutz:
1. Stadium Hematoma/Inflamatoris  Waktu 1-3 hari, pembentukan hematoma
pada lokasi fraktur. Darah membentuk gumpalan di antara fragmen fraktur.
Terjadi nekrosis pada tulang karena hilangnya suplai darah kedaerah terluka.
Terjadi dilatasi vascular sebagai respon akumulasi sel-sel mati dan debris
2. Pembentukan Fibrokartilago  3 hari sampai 2 minggu, Fibroblas, osteoblas, dan
kondroblas bermigrasi ke daerah fraktur sebagai akibat inflamasi akut, dan
kemudian membentuk fibrokartilago. Pembentukan jaringan fibrosa awal ini
kadang disebut sebagai kalus primer.
3. Pembentukan kalus  2-6 minggu, jaringan granulasi matur menjadi kalus
provisional (pro-kalus) saat kartilago baru dan matrikstulang tersebar melalui
kalus primer. Pro kalus besar dan longgar.
4. Penulangan  3 minggu sampai 6 bulan, kalus permanen dari tulang keras akan
menyebrangi gap fraktur diantara periosteum dan korteks untuk bergabung
dengan fragmen-fragmen.
5. Konsolidasi dan Remodeling  6 bulan sampai 1 tahun, kallus yang tidak
dibutuhkan akan reabsorbsi atau dibuang dari lokasi penyembuhan tulang,
proses reabsorbsi dan deposisi disepanjang garis tekanan akan memungkinkan
tulang menahan beban yang diberikan padanya.
D. Patofisiologi
Fraktur merupakan gangguan pada tulang yang disebabkan oleh trauma, stress,
gangguan fisik, gangguan metabolic, dan proses patologis. Keparahan dari fraktur
tergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur. Saat terjadi fraktur, otot yang
melekat pada ujung tulang dapat terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan
menarik fragmen fraktur keluar posisi. Fraktur tertutup atau terbuka dapat
mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri.
Setelah terjadi fraktur, periosteum, pembuluh darah dan saraf dikorteks serta
sumsum tulang dari tulang yang patah juga terganggu. Dan juga terjadi cidera
jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cidera jaringan lunak atau cidera pada
tulang itu sendiri. Pada saluran sumsum (medulla) akan terjadi proses hematoma
pada fragmen-fragmen tulang dan dibawah periosteum. Jaringan tulang disekitar
lokasi fraktur akan mati dan akan terjadi respon inflamasi yang ditandai dengan
vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan leukosit, dan
infiltrasi sel darah putih. Proses patologis ini merupakan tahap awal dari
penyembuhan tulang. (Dosen KMB Indonesia, 2017; Black & Hawks, 2014).
Trauma, stress, gangguan fisik, gangguan
metabolic, dan proses patologis

Fraktur

Kerusakan Mobilisasi Cedera Sel Laserasi Kulit edema


struktur tulang Lemak
dan jaringan
sekitarnya
Pelepasan Port the Entry Penekanan
Terabsorbsi Mediator Kimia Kuman jaringan
masuk Ke darah vascular dan
Putus saraf
Vena/arteri
Nociseptor Risiko Infeksi
Emboli
Penurunan
Perdarahan ALiran darah
Oklusi Arteri Medulla
Paru Spinalis
Resiko Gangguan
Kekurangan Fungsi
VolumeCaian Nekrosis Korteks Serebri Neuromuskular
jaringan paru

Penurunan Nyeri
Difusi gas

Gangguan difusi
gas

E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan pada pasien dengan fraktur yaitu :
1) Pemeriksaan Foto Rontgen  untuk memastikan lokasi dan luas fraktur
2) CT/MRI scan  Memperlihatkan fraktur secara lebih detail dan mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak lebih jelas
3) Darah Lengkap  penurunan Jumlah Hb menunjukkan perdarahan hebat. Selain
itu peningkatan jumlah leukosit dapat terjadi sebagai respon terjadinya inflamasi
atau infeksi
4) Kreatini  Trauma otot akan menyebaban peningkatan beban kreatinin untuk
klirens ginjal
F. Penatalaksanaan
1) Reduksi fraktur terbuka atau tertutup  reduksi tertutup dilakukan dengan
traksi manual atau mekanis. Reduksi terbuka dilakukan denan menggunakan alat
fiksasi internal seperti Pen, kawat, skrup, dan plat melalui operasi Open reduction
internal ficsation (ORIF).
2) Imobilisasi fraktur
3) Pemberian Fiksasi Internal atau eksternal
G. Rencana Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Riwayat:
o Jatuh atau trauma pada tulang
o Imobilisasi
o Nyeri pada area fraktur
o Nyeri yang diperburuk oleh gerakan
Hal yang dapat ditemukan pada Pemeriksaan Fisik:
o Rotasi keluar pada ektremitas yang fraktur
o adanya bagian extremitas yang terlihat lebih pendek
o ROM yang terbatas atau abnormal
o Edema dan perubahan warna pada sekitar jaringan
o Tulang yang menembus kulit pada fraktur terbuka
2. Diagnosis, Hasil (NOC), dan Rencana Tindakan Keperawatan (NIC)
a) Nyeri akut berhubungan dengan Agen Fisik (spasme otot, fragmen
tulang, edema, cidera jaringan lunak, alat traksi/imobilitas
Defenisi: Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang
muncul akibat kerisakan jaringan actual atau potensial yang digambarkan
sebagai kerusakan
Hasil yang Dicapai (NOC)
Level Nyeri:
o Pasien mengatakan nyeri mereda
o Menunjukkan sikap yang relaks, mampu beraktivitas dan tidur serta
istirahat dengan baik
Kontrol Nyeri
o Menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas pengalis,
sesuai indikasi untuk situasi pasien
Intervensi Keperawatan (NIC)
o Pertahankan imobilisasi bagian yang terkena dengan tirah baring, gips,
bidai dan traksi
o Tinggikan ektremitas yang cidera
o Evaluasi dan dokumentasikan laporan nyeri atau ketidaknyamanan
o Dorong klien untuk mendiskusikan masalah terkait cidera
o Identifikasi aktivitas pengalis yang sesuai dengan usia dan kemampuan
fisik
o Berikan tindakan kenyamanan alternative misalnya massage, mengusap
punggung atau perubahan posisi
o Berikan kompres dingis (es) 24 -72 jam pertama dan sesuai dengan
kebijakan atau protokol
o Beri medikasi sesuai indikasi: analgesic opioid seperti morfin
o Pertahankan analgesic Intravena
b) Hambatan Mobilitas Fisik yang berhubungan dengan kehilangan
integritas struktur tulang: penurunan kekuatan dan kendali otot; nyeri
dan ketidaknyamanan: keengganan untuk memulai gerakan; Program
pembatasan gerakan: imobilisasi ekstremitas
Defenisi: keterbatasan dalam gerakan fisik atau satu atau lebih ektremitas
secara mandiri
Hasil yang dicapai (NOC)
o Mempertahankan Posisi fungsi
o Mencapai kembali dan mempertahankan mobilitas pada tingkat setinggi
mungkin
o Meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang terkena
o Menunjukkan tehnik yang memungkinkan pengembalian aktivitas
terutama aktivtas kehidupan sehari-hari
Intervensi Keperawatan (NIC)
Perawatan TIrah baring
o Kaji tingkat imobilitas yang disebabkan oleh cedera dan atau terapi dan
catat persepsi klien tentang imobilitas
o Anjurkan artisipasi dalam aktivitas pengalih: dengarkan radio, tv, dll
o Bantu dan anjurkan aktivitas perawatan diri seperti, mandi bercukur dan
personal higyene
o Auskultasi bising usus, pantau kebiasaan eliminasi dan berikan rutinitas
defekasi yang teratur
o Evaluasi kebiasaan defekasi pasien sebelum sakit
o Anjurkan meningkatkan asupan cairan oral sebesar 2-3 liter/hari dalam
toleransi jantung
o Berikan diet TKTP
o Tingkatkan jumlah makanan kasar dan serat dalam diet, batasi makanan
pembentuk gas
o Kolaboratif: Konsultasikan dengan ahli terapi fisik atau ahli terapi
okupasionap dan atau ahli rehabilitasi
o Kolaboratif: Rujuk ke tim ahli diet dan nutrisi, sesuai indikasi
c) Risiko Cidera: Faktor risiko: Fisik (kehilangan integritas
skeletal/fraktur, gerakan fragmen tulang
Defenisi: Rentang mengalami cedera fisik akibat kondisi lingkungan yang
berinteraksi dengan sumber adaptif dan sumber defensive individu yang
dapat mengganggu kesehatan
Hasil yang Dicapai (NOC)
o Mempertahankan stabilisasi dan kesejajaran tulang
o Menunjukkan pembentukan kalus
o Menunjukkan mekanika tubuh yang meningkatkan stabilitas pada area
fraktur
Intervensi Keperawatan (NIC)
Pemberian Posisi:
o Pastikan jenis cedera fraktur dan terapi medis yang direncanakan jika
pembedahan tidak diindikasikan
o Pertahankan tirah baring. Beri sokongan sendi di atas dan dibawah area
fraktur
Perawatan Gips:
o Gunakan telapak tangan ketika menyentuh gips basah
o Sokong area fraktur dengan bantal atau lipatan selimut
o Pertahankan posisi netral bagian yang terkena dengan bidai atau
Trochanter roll
Perawatan Traksi/Imobilisasi:
o Pertahankan posisi dan integritas alat traksi, jika digunakan
o Kaji integritas kulit alat fiksator eksternal
o Evaluasi ektremitas yang dibidai untuk perbaikan edema
o Kolaboratif: pemeriksaan sinar X serial, siapkan klien untuk pembedahan
jika diindikasikan
d) Kerusakan Integritas jaringan yang berhubungan dengan faktor mekanis
seperti fraktur terbuka, pemasangan pin traksi; hambatan mobilitas fisik;
perubahan sensasi, sirkulasi
Defenisi: cidera pada membrane mukosa sistem integument, fasia, muscular,
otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi dan atau ligament
Hasil yang Dicapai (NOC)
o Menyatakan Ketidaknyamanan mereda
o Menunjukkan perilaku atau tehnik untuk mencegah kerusakan kulit dan
menfasilitasi penyembuhan sesuai indikasi
o Mencapai penyembuhan luka atau lesi tepat waktu jika ada
Intervensi Keperawatan (NIC)
o Periksa kulit untuk luka terbuka, benda asing, ruam, perdarahan,
perubahan warna kulit
o Lakukan massage kulit
o Ubah posisi dengan sering
o Beri tempat tidur khusus sesuai indikasi
o Penggunaan gips plester dan perawatan kulit
o Bersihkan kulit dengan sabun dan air
o Potong panjang stoking untuk menutup area dan lebihka beberapa
centimeter dari gips
o Observasi untuk kemungkinan area tekanan terutama di tepid an dibawah
bidai/gips
o Beri bantalan pada tepi gips dengan plester kedap air
o Lakukan massage kulit disekitar tepi gips dengan alcohol
o Kolaboratif: beri matras busa, kulit domba, bantal apung, atau matras
udara sesuai indikasi
e) Risiko Infeksi: faktor risiko; peningkatan paparan lingkungan, kerusakan
kulit, trauma jaringan, prosedur invasive dan traksi skeletal
Defensi: rentan mengalami invasi dan multiplikasi organism patogenik yang
dapat mengganggu kesehatan
Hasil yang dicapai (NOC):
Mencapai Penyembuhan luka tepat waktu, bebas dari drainase purulen atau
eritema dan afebril
Intervensi Keperawatan (NIC)
o Inspeksi kulit untuk mengetahui adanya iritasi sebelumnya atau
kerusakan yang terus menerus
o Kaji area pemasangan pin dan area kulit dengan mencatat laporan
peningkatan nyeri atau sensasi terbakar
o Instruksikan pasien untuk tidak menyentuk area pemasangan
o Obserbavasi luka untuk mengetahui adanya pembentukan bula, krepitasi
perubahan warna kulit menjadi warna perunggu, drainage berbusa atau
berbauh
o Pantau TTV
o Catat adanya menggigil, demam dan malaise
o Kolaboratif: Pantau pemeriksaan laboratorium/diagnostil seperti hitung
darah lengkap, LED, leukosit; beri medikasi sesuai indikasi, seperti
antibiotik

Topik 5
Asuhan keperawatan pada pasien Osteoporosis

Ketidaksesuaian fungsi proses metabolic pada tulang berakibat kelainan yang


bermanifestasi dengan perubahan pada struktur fisik dan kimia pada tulang. Kelainan
dapat mengubah keseimbangan tulang dan mempengaruhi kecepatan balik tulang dapat
terjadi karena defisiensi estrogen, abnormalitas kelenjar tiroid, defisiensi vitamin,
malabsorbsi atau kurangnya aktivitas
A. Deskripsi
Osteoporosis merupakan hilangnya kepadatan tulang, terjadi umumnya pada
lansia akibat gangguan metabolisme yang dicirikan dengan penurunan massa tulang,
perburukan matriks tulang, dan penurunan kekuatan arsitektur tulang. Kecepatan
reabsorbsi tulang lebih tinggi daripada kecepatan pembentukan tulang, tulang akan
menjadi keropos, rapuh, dan rentan, mengakibatkan tulang akan mudah mengalami
fraktur (Smeltzer, 2013: Timby & Smith, 2010; Williams & Wilkins, 2010). Fraktur
yang terjadi akibat tulang osteoporosis melawan tekanan yang lebih besar daripada
yang dapat ditahannya (Black & Hawks, 2014).
B. Etiologi dan faktor Risiko
Ada sejumlah faktor, genetic dan lingkungan yang berkaitan dengan pembentukan
osteoporosis. Faktor risiko kejadian osteoporosis yaitu :
1) Faktor genetic perbedaan genetic berpengaruh terhadap derajat kepadatan
tulang. Misalnya orang kulit hitam pada umumnya mempunyai struktur tulang
yang lebih kuat dan keras disbanding dengan bangsa kaukasia.
2) Usia  semakin bertambahnya usia maka massa tulang juga akan semakin
berkurang. Massa puncak tulang pada pria terjadi pada usia sekitar 30 tahun.
3) Jenis kelamin  perempuan pascamenopause berisiko lebih tinggi dibandingkan
laki-laki. Berkurangnya kadar estrogen yang berfungsi dalam melindungi tulang
4) Menurunnya kadar kalsium
5) Kurang vitamin D (membantu absorbs kalsium)
6) Merokok , kafein dan alcohol
7) Kurang aktivitas/olahraga fisik
8) Penggunaan steroid jangka panjang
9) Kondisi medis: Tirotoksikosis, hiperparatiroidisme, syndrome chusing
C. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala fraktur meliputi:
1) Kebanyakan perempuan tidak menunjukkan gejala osteoporosis sampai terjadi
fraktur (William & Hopper, 2007).
2) Munculnya kifosis pada usia pertengahan
3) Nyeri tulang belakang
4) Nyeri dengan atau tanpa fraktur yang nyata
D. Komplikasi
Komplikasi utama dari osteoporosis adalah fraktur tulang. Patah tulang pinggul
sering disebabkan oleh jatuh dan berakibat pada kecacatan. Dalam beberapa kasus.
Patah tulang belakang dapat terjadi tanpa ada riwayat jatuh.
E. Patofisiologi
Proses pembentukan dan reabsorbsi tulang seharusnya terjadi seimbang. Pada
pasien osteoporosis terjadi kehilangan substansi tulang melebihi pada proses
pembentukannya. Massa tulang dan kepadatan tulang berkurang akan menyebabkan
keropos dan kerapuhan yang progresif. Proses penuaan berkontribusi pada
kehilangan massa tulang dengan cara sebagai berikut: (Timby & Smith, 2010)
o Kadar kalsitonin yang menurun seiring bertambahnya usia. Kalsitonin membantu
dalam reabsorbsi dan membantu proses pembentukan tulang
o Penurunan estrogen pada wanita pascamenopause yang mempercepat
pengeroposan tulang
o Kadar hormone paratiroid, yang meningkatkan reabsorbsi tulang seiring
bertambahnya usia
Faktor Risiko: Wanita menopause, Genetik, Usia, Nutrisi
tidak adekuat, kalsium dan Vit. D tidak adekutat, gaya hidup
(merokok, kopi, &alcohol) & kurang aktivitas fisik

Penurunan kalsitonin

Reabsorbsi tulang meningkat & pembentukan tulang menurun

Penurunan massa tulang, perburukan matriks tulang & penurunan


kekuatan arsitek tulang

Osteoporosis

Fraktur kompresi multiple vertebra

Pergerakan fragmen Deformitas Skeletal


tulang atau spasme otot (Kifosis)

Cedera sel Hambatan Mobilitas fiisik Risiko cidera

Pelepasan mediator kimia

Rangsangan nociseptor Nyeri Akut

F. Pengkajian Keperawatan
Riwayat:
Untuk mengidentifikasi risiko dan pengenalan masalah yang berhubungan dengan
osteoporosis, wawancarai pasien mengenai:
o riwayat keluarga,
o Fraktur sebelumnya
o Konsumsi diet kalsium
o Pola aktivitas dan olahraga
o Kebiasaan merokok, asupan kafein dan konsumsi alcohol
o Awitan menopause
Pemeriksaan Fisik:
o Pantau adanya fraktur
o Kifosis tulang belakang toraks
o Pemendekan postur tubuh
o Pasien sering mengeluhkan nyeri pada lumbosakral, nyer thorakal
belakang/pinggung atau keduanya  nyeri atau ketidaknyaman ini berasal dari
fraktur kompresi pada vertebra.
Temuan Diagnostik:
o Foto Sinar X  mengidentifikasi osteoporosis ketika telah terjadi
dimenirelasisasi 25% - 40%
o DEXA; DXA (dual energy x-ray absorptiometry) memberikan informasi
mengenai tulang belakang dan massa tulang pinggul serta densitas mineral
tulang
o Pemeriksaan laboratorium  kalsium serum, fosfat serum, fosfatase alkali
serum, ekskresi kalsium urine, hematokrit dan laju endap eritrosit
G. Diagnosis Keperawatan, NOC, dan Intervensi Keperawatan
1) Nyeri akut yang berhubungan dengan agen fisik seperti fraktur dan spasme
otot
Defenisi: Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang
muncul akibat kerisakan jaringan actual atau potensial yang digambarkan
sebagai kerusakan
Hasil yang Dicapai (NOC):
Level Nyeri:
o Pasien mengatakan nyeri mereda
o Menunjukkan sikap yang relaks, mampu beraktivitas dan tidur serta istirahat
dengan baik
Kontrol Nyeri
o Menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas pengalis,
sesuai indikasi untuk situasi pasien
Intervensi Keperawatan (NIC):
o Pantau tingkat nyeri pada punggung, nyeri terlokasi atau meneybar pada
abdomen atau pinggang
o Instruksikan pasien untuk menggerakkan tubuhnya sebagai suatu unit dan
tidak memuntir tubuh
o Anjurkan pasien menerapkan postur tubuh dan mekanika tubuh yang baik
o Ajarkan cara-cara meredakan nyeri punggung, seperti tirah baring atau alih
perhatian
o Gunakan kasur keras yang tidak menekuk saat ditekan
o Massage punggung
o Dorong pasien untuk menggunakan korset lumbosakral untuk membantu
imobilisasi dan menopang tubuh sementara ketika pasien keluar dari tempat
tidur
o Kolaboratif: kaji obat-obatan untuk mengatasi nyeri
2) Hambatan Mobilitas Fisik yang berhubungan dengan disfungsi sekunder
akibat perubahan skeletal (kifosis), nyeri sekunder atau fraktur baru
Defenisi: keterbatasan dalam gerakan fisik atau satu atau lebih ektremitas
secara mandiri
Hasil yang dicapai (NOC)
o Mempertahankan Posisi fungsi
o Mencapai kembali dan mempertahankan mobilitas pada tingkat setinggi
mungkin
o Meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang terkena
o Menunjukkan tehnik yang memungkinkan pengembalian aktivitas terutama
aktivtas kehidupan sehari-hari
Intervensi Keperawatan (NIC)
o Kaji tingkat kemampuan klien yang masih ada
o Rencanakan tentang pemberian program latihan
o Bantu klien jika diperlukan latihan
o Ajarkan klien tentang aktivitas hidup sehari-hari yang dapat dikerjakan
o Bantu kebutuhan untuk beradaptasi dan melakukan aktivitas hidup sehari-
hari
o Dorong latihan dn hindari tekanan pada tulang-tulang seperti berjalan
o Hindari latihan fleksi, membungkuk tiba-tiba dan pengangkatan beban berat
3) Risiko Cedera: faktor risiko; dampak sekunder perubahan skeletal dan
ketidakseimbangan tubuh akibat osteoporosis tulang
Defenisi: Rentang mengalami cedera fisik akibat kondisi fisik yang berinteraksi
dengan sumber adaptif dan sumber defensive individu yang dapat mengganggu
kesehatan
Hasil yang Dicapai (NOC):
Mempertahankan stabilisasi dan kesejajaran tulang
Intervensi Keperawatan (NIC):
o Ciptakan lingkungan yang bebas bahaya
 Tempatkan pasien pada tempat tidur rendah
 Amati lantai yang dapat membahayakan pasien
 Berikan penerangan yang cukup
 Ajarkan pasien tentang pentingnya menggunakan alat pengaman di
ruangan
o Berikan dukungan ambulasi sesuai dengan kebutuhan
 Kaji kebutuhan untuk berjalan
 Konsultasi dengan ahli terapis
 Ajarkan pasien untuk berjalan dan keluar ruangan
 Bantu pasien melakukan aktivitas hidup sehari-hari
 Ajarkan pada pasien untuk tidak naik tangga dan mengangkat beban berat
o Ajarkan pentingnya diet untuk mencegah osteoporosis
o Ajarkan diet yang mengandung banyak kalsium
o Ajarkan pasien untuk mengurangi atau berhenti menggunakan rokok atau
kopi dan efeknya terhadap pemulihan tulang
Topik 6
Asuhan keperawatan Padapasien Osteomielitis

A. Deskripsi
Osteomielitis adalah infeksi tulang. Osteomelitis dapat terjadi akibat
perluasan infeksi pada jaringan lunak, kontaminasi langsung pada tulang (mis.,
pembedahan tulang, luka tembakan senjata) atau hematogenesus (ditularkan
melalui darah), yang menyebar dari area infeksi yang lain. Staphylococcus aureus
menyebabkan lebih dari 50% infeksi tulang. Organisme patogenik lain yang sering
kali ditemukan adalah orgasme Gram negative yang mencakup spesies
pseudomonas. Pasien yang beresiko adalah pasien dengan gizi buruk, lansia, dan
pasien yang obes; mereka yang mengalami gangguan sistem imun dan penyakit
kronis (mis.,diabetes); dan mereka yang mendapat terapi kortikosteroid jangka
panjang atau agens imunosupresif(Margareth, 2012). Osteomilitis adalah infeksi
pada tulang dan sumsum tulang yang dapat disebabkan oleh bakteri,virus,atau
proses spesifik (Rendi, 2014).
B. Etiologi
Osteomielitis disebabkan karena adanya infeksi yang disebabkan oleh
penyebaran hematogen (melalui darah) biasanya terjadi ditempat dimana terdapat
trauma atau dimana terdapat resistensi rendah,kemungkinan akibat trauma
subklinis (tak jelas). Selain itu dapat juga berhubungan dengan penyebaran infeksi
jaringan lunak,atau kontaminasi langsung tulang. Infeksi ini dapat timbul akut atau
kronik.
Adapun faktor penyebab adalah:
1. Bakteri
2. Menurut Joyce & Hawks (2005) penyebab osteomeylitis adalah staphy lococcus
aureus (70% - 80%), selain itu juga bisa disebabkan oleh escherichia coli,
pseudomonas, klebsiela, salmonella dan proteus.
3. Virus,jamur,dan mikroorganisme lain
Osteomielitis akut/kronik: (Nurarif, 2016).
1. Bentuk akut dicirikan dengan adanya awitan demam sistemik maupun
maifestasi lokal yang berjalan dengan cepat
2. Osteomielitis kronik adalah akibat dari osteomielitis alut yang tidak ditangani
dengan baik.dan akan mempengaruhi kualitas hidup atau mengakibatkan
kehilangan ekstremitas.
C. Manifestasi Klinik
Menurut Smeltzer (2010), tanda dan gejala osteomyelitis yaitu:
1) Ketika infeksi ditularkan melalui darah, awitan infeksi bersifat mendadak terjadi
disertai dengan manifestasi klinis berupa sepsis (mis., menggigil, demam tinggi,
nadi cepat dan kelemahan umum).
2) Ekstremitas menjadi nyeri, bengkak hangat, dan kenyal
3) Pasien mungkin mendeskripsikan yang kosntan yang semakin berat dengan
pergerakan (karena terjadi tekanan pada nanah yang terkumpul)
4) Apabila osteomielitis disebabkan oleh infeksi yang berada di dekatnya atau karena
kontaminasi langsung, tidak ada gejala sepsis; area menjadi bengkak, hangat, nyeri
dan kenyal saat disentuh.
5) Osteomielitis kronis dimanifestasikan dengan ulkus yang tidak sembuh yang
terdapat di atas tulang yang terinfeksi, terdapat sinus penghubung yang akan
sesekali akan mengalirkan nanah secara spontan.

D. Patofisiologi
Staphylococcus merupakan penyebab 70-80% infeksi tulang. Organisme patologis
lainnya yang sering dijumpai pada osteomielitis meliputi proteus,pseudomanas,dan
escerichia coli. Terdapat peningkatan insiden infeksi resisten pensilin, nosokomial,
gram negatif dan anaerobic.
Awitan osteomielitis setelah pembedahan ortopedia dapat terjadi dalam 3 bulan
pertama dan sering berhubungan dengan penumpukan hematoma atau infeksi
superfician. Infeksi awitan lambat terjadi antara 4-24 bulan setelah pembedahan.
Osteomielitis awitan lama biasanya akibat penyebaran hematogen dan terjadi 2
tahun atau lebih setelah pembedahan.
Respon inisial terdapat infeksi adalah salah satu dari inflamasi,peningkatan
foskularisasi ,dan idema. Setelah 2/3 hari,trombosi pada pembuluh darah terjadi
pada tempat tersebut mengakibatkan iskemia dengan nikrosis tulang sehubungan
dengan peningkatan tekanan jaringan dan medulla. Infeksi kemudian berkembang ke
kafitas medulari dan kebawah perioteum dan dapat menyebar ke jaringan lunak atau
sendi disekitarnya.Kecuali bila proses infeksi dapat dikontrol awal kemudian akan
terjadi bentuk abses tulang.
Pada perjalanan alamiahnya,abses dapat keluar spontan namun yang lebih sering
harus dilakukan insisi dan drainase oleh ahli bedah. Abses yang terbentuk dalam
dindingnya terbentuk oleh daersh jaringan mati,namun seperti dalam rongga abses
pada umumnya,jaringan tulang mati tidak mudah mencair dan mengalir keluar.
Rongga tidak dapat mengepis dan sembuh sepertiyang terjadi pada jaringan lunak.
Terjadi pertumbuhan tulang dan mengelilingi sequestum. Jadi meskipun tampak
terjadi proses penyembuhan,sequestum infeksi kronis yang tetap ada,tetap rentan
mengeluarkan abses kambuhan sepanjang hidup pasien (osteomielitis kronik)
(Rendi, 2014).
E. Penatalaksanaan Medis
1) Tujuan utama dari penatalaksanaan osteomyelitis adalah mengendalikan dan
menghentikan proses infeksi
2) Upaya supportif umum seperti hidrasi, diet tinggi vitamin dan protein, koreksi
anemia harus dilakukan
3) Kultur darah dan luka dilakukan untuk mengidentifikasi mikroorganisme dan
memilih antibiotik
4) Terapi antibiotik intravena diberikan selama 24 jam dan dilanjutkan selama 3
sampai 6 minggu
5) Debridement tulang melalui pembedahan dilakukan dengan irigasi
F. Pengkajian Keperawatan
1) Kaji faktor risiko seperti usia lanjut, diabetes, terapi steroid jangka panjang dan
kaji cedera, infeksi atau pembedahan orthopedic yang pernah dilakukan
sebelumnya
2) Pantau adanya gerakan yang hati-hati pada area yang terinfeksi dan pantau
adanya kelemahan umum karena infeksi sistemik
3) Pantau adanya bengkak dan sensasi hangat di area yang terganggu, drainage
purulen, dan peningkatan suhu tubuh
4) Perhatikan bahwa pasien osteomyelitis kronis mungkin mengalami peningkatan
suhu tubuh minimal yang terjadi di sore atau malam hari
5) Pemeriksaan penunjang:
 Pemeriksaan Sinar-X menunjukkan pembengkakan jaringan lunak
 Pemeriksaan MRI
 Pemeriksaan darah  peningkatan leukosit dan Laju endap darah
 Kultur darah dan kultur abses  mengidentifikasi jenis MO sebagai dasar
pemilihan antibiotik
G. Diagnosis Keperawatan, Hasil yang Dicapai (NOC), Dan Intevensi Keperawatan (NIC)
1) Nyeri Akut yang berhubungan dengan agen fisik biologis
Defenisi: Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenagkan yang
muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau di gambarkan
dalam hal kerusakan sedemikian rupa.
Hasil yang dicapai (NOC):
o Pain Level
o Pain Control
o Comfort Level
Kriteria hasil:
 Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu mengunakan
teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
 Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan menajemen
nyeri
 Mampu mengenali nyeri (skala, intsitas, frekuensi dan tanda nyeri)
 Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
Intervensi Keperawatan (NIC)
Pain Managemant
o Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, krakteristik
durasi , frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
o Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
o Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri
pasien
o Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
o Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
o Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan
kontrol nyeri masa lampau
o Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
o Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
o Kurangi faktor presipitasi nyeri
o Pilih dan lakukan penaganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan
interpersonal)
o Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
o Ajarkan tentang teknik non farmakologi
o Beri alagetik untuk mengurangi nyeri
o Evaluasi ketidakefektifan kontrol nyeri
o Tingkatkan istirahat
o Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
o Monitor penerimaan pasien tentabg manajemen nyeri
Analgesic administration
o Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian
obat
o Cek intruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan frequensi
o Cek riwayat alergi
o Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
o Tentukan pilihan analgesik tergaantung tipe dan beratnya nyeri
o Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal
o Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
o Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
o Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
o Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala.
2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan faktor biologis, ketidakmampuan untuk mengabsorbsi nutrient,
ketidakmampuan untuk mencerna makanan
Defenisi: Asupan Nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolic
Hasil yang dicapai (NOC):
o Nutritional status: food and fluid
o Intake
o Nutritional status: Nutrien intake
o Weight control:
Kriteria Hasil:
 Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
 Berat badan ideal sesuai sesuai dengan tinggi badan
 Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
 Tidak ada tanda tanda nutrisi
 Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan
 Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
Intervensi Keperawatan (NIC)
Nutrition management
o Kaji adanya alergi makanan
o Kalaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien
o Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake fe
o Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitaminC
o Berikan substansi gula (Jika tidak ada kontraindikasi)
o Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah
konstipasi
o Berikan makanan yang terplih( sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi)
o Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
o Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
o Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
Nutrition Monitoring
o BB pasien dan batas normal
o Monitor adanya penurunan berat badan
o Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang bisa dilakukan
o Monitor interaksi anak atau orangtua selama makan
o Monitor lingkungan selama makan
o Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selamamakan
o Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
o Monitor turgo kulit
o Monitor keringanan,rambut kusam,dan mudah patah
o Monitor mualdan muntah
o Monitor kadar albumin,total protein
3) Hambatan Mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri, alat imobilisasi, dan
atau pembatasan aktivitas menopang berat badan
Defenisi: Keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh atau satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri dan terarah.
Hasil yang dicapai (NOC):
o Joint Movement: active
o Mobility level
o Self care: ADLs
Criteria Hasil:
 Klien meningkat dalam aktivitas fisik
 Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
 Memverbalisasikan dari peningkatan mobilitas
 Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan
kemampuan berpindah
 Memperagakan penggunaan alat
 Bantu untuk mobilisasi (walker)
Intervensi Keperawatan (NIC):
Exercise therapy amulation
o Monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat
latihan
o Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan
kebutuhan
o Bantu klien dengan menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap
cedera
o Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi
o Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
o Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai
kemampuan
o Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan
ADLs ps
o Berikan alat bantu jika klien memerlukan
o Ajarkan pasien bagaiman merubah posisi dan berikan bantuan jika
diperlukan
4) Kerusakan Integritas Kulit yang berhubungan dengan faktor mekani seperti
tindakan operasi dan pemasangan drainage
Defenisi: perubahan/gangguan epidermis dan atau dermis serta invasi struktur
tubuh
Hasil yang dicapai (NOC):
o Tissue Integrity: skin and mucous
Criteria hasil:
 Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan
 Tidak ada luka/lesi pada kulit
 Perfusi jaringan baik
 Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit
 Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembabab kulit dan
perawatan alami
Intervensi Keperawatan (NIC):
Insision site care
o Membersihkan, memantau dan meningkatkan proses penyembuhan pada
luka yang ditutup dengan jahitan
o Monitor proses kesembuhan area inisisi
o Monitor proses kesembuhan area insisi
o Monitor tanda dan gejala infeksi pada rea insisi
o Bersihkan area sekitar jahitan menggunakan lidi kapas steril
o Gunakan prepar antiseptic, sesuai program
o Ganti balutan pada interval waktu yang sesuai atau biarkan luka tetap
terbuka (tidak dibalut) sesuai program
5) Resiko Infeksi: Faktor risiko pertahanan tubuh tidak adekuat, prosedur invasive,
imunosupresi
Defenisi: Mengalami Peningkatan risiko terserang organism patogenik
Hasil yang dicapai (NOC)
o Status Imun
o Knowledge: Infection kontrol
Criteria hasil:
 Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
 Jumlah leukosit dalam batas normal
 Menunjukkan perilaku hidup sehat
Intervensi Keperawatan (NIC)
Infection control(kontrol infeksi)
o Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
o Batasi pengunjungan bila perlu
o Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan
setelah berkunjung meninggalkan pasien
o Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
o Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
o Gunakan baju,sarung tangan sebagaii alat pelindung
o Pertahanan lingkungan aseptk selama pemasangan alat
o Ganti letak iv ferifer dan line central dan dresing sesuai degan petunjuk
umum
o Kemudian gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung
kencing
o Tingkatkan intek nutrisi
o Berikan terapi antibiotik bila perlu invektion vareksion,(proteksi terhadap
infeksi)
o Monitortanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
o Monitor hitung granolosit,wbc
o Monitor kerentanan terhadap infeksi
o Batasi pengungjung
o Sering pengunjung terhadap penyakit menular
o Pertahankan teknik aspesif pada pasien yang beresiko
o Pertahankan teknik isolasi k/p
o Berikan perawatan kulit pada area epidema
o Infeksi kulit dan membran dan mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase
o Kondisi luka/insisi bedah
o Dorong masukan nutrisi yang cukup
o Dorong masukan cairan
o Dorong istrahat
o Intruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep
o Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
o Ajarkan cara menghindari infeksi
o Laporkan kecurigaan infeksi

Topik 7: Asuhan keperawatan Pada pasien Amputasi


A. Deskripsi
Amputasi atau “amputare” mempunyai arti “pancung”. Amputasi merupakan
tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau seluruh bagian ekstremitas yang
dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir ketika masalah yang terjadi pada
ekstremitas tidak dapat diperbaiki dengan menggunakan medikasi atau tindakan
lain atau kondisi organ tubuh jika dipertahankan maka akan membahayakan
keselamatan tubuh pasien. Amputasi dapat juga diartikan sebagai pengangkatan atau
pemotongan atau pembuangan sebagian anggota tubuh yang dapat disebabkan
karena trauma, gangguan peredaran darah, infeksi pada tulang, dam kanker melalui
tindakan pembedahan. Tindakan amputasi melibatkan multiple sistem yaitu sistem
integument, sistem persarafan, sistem musculoskeletal dan sistem kardiovaskular.
Amputasi dapat disebabkan karena iskemia dan trauma. Penyakit vascular
perifer, gangrene, tumor ganas, infeksi, dan ateroskeloris menjadi penyebab iskemia
yang akan menyebabkan kematian jaringan sekitar iskemia. Selain itu, trauma
seperti fraktur komplikasi infeksi pada tulang, thermal injury dan cedera menjadi
etiologi amputasi.
Tindakan amputasi berdampak pada sistem tubuh yang lain, meliputi:
1) Kecepatan metabolism  imobilisasi menyebabkan penekanan saraf simpatis
dan penurunan katekolamin dalam darah sehingga terjadi penurunan
kecepatan metabolism basal
2) Sistem musculoskeletal  imobilisasi dan gangguan sistem vascular
memungkinkan suplai oksigen dan nutrisi berkurang pada jaringan, selain itu
terjadi penurunan kekuatan otot yang disebabakan oleh pembuangan sisa
metabolism
3) Sistem integument  imobilitas (tirah baring lama) akan menyebabkan
penekanan yang lama terutama pada bagian menonjol pada bagian bawah
tubuh yang dapat menyebabkan iskemia dan dekubitus.
Komplikasi tindakan amputasi antara lain:
1) Perdarahan, terjadi karena pemotongan pembuluh darah besar yang
menyebabkan perdarahan massif
2) Infeksi
3) Kerusakan kulit, karena proses penyembuhan luka buruk dan terjadi
infeksi/iritasi
B. Jenis – jenis amputasi
Tindakan amputasi dibedakan sebagai berikut:
1) Amputasi Guillotine  dilakukan dalam kondisi darurat jika suatu luka tidak
menunjukkan penyembuhan karena adanya infeksi berat atau kontaminasi
2) Amputasi Defenitif  dilakukan pada bagian tubuh yang telah hancur dapat
disebabkan karena kecelakaan yang membuat tulang hancur.
Tempat Amputasi ditentukan berdasarkan dua faktor yaitu peredaran darah pada
bagian yang akan dibuang dan kegunaan fungsional. Berdasarkan tempatnya,
amputasi dibedakan yaitu:
1) Amputasi pada ekstremitas superior  jari tangan, setinggi pergelangan tangan
(amputasi transkarpal), lengan bawah bagian distal atau 1/3 proksimal, lengan
atau daerah suprakondilar atau proksimal suprakondilar dan bahu
2) Amputasi pada ekstremitas inferior seperti paha, lutut, dan kaki
C. Patofisiologi
Amputasi dapat dilakukan karena berbagai faktor, seperti penyakit pada
pembuluh darah, trauma karena kecelakaan, keganasan (osteosarkoma atau kanker
tulang), dan congenital. Amputasi merupakan diskontinuitas jaringan tulang dan
otot yang menyebabkan terputusnya pembuluh darah dan saraf serta hilangnya
bagian tubuh. Terputusnya pembuluh darah dan saraf akan menyebabkan respon
nyeri. Selain itu, proses perawatan luka amputasi yang kurang baik akan
menyebakan infeksi. Respon nyeri dan kehilangan bagian tubuh terutama pada
bagian kaki akan berdampak pada hambatan mobilitas fisik pada pasien.
Tindakan amputasi juga dapat berdampak pada psikologis pasien. Kehilangan
anggota tubuh akan menyebabkan stress emosional yang akan juga berdampak pada
timbulnya gangguan citra tubuh dan anoreksia atau malas makan. Anoreksi atau
malas makan akan menyebabkan penurunan asupan oral akan menimbulkan risiko
kurangnya pemenuhan nutrisi dan risiko penyembuhan luka yang lama.
Pasien amputasi dapat mengalami imobilisasi yang menyebabkan penekanan
saraf simpatis dan penurunan katekolamin dalam darah sehingga terjadi penurunan
metabolism basal, suplai oksigen dan nutrisi pada jaringan. Selain itu tirah baring
lama akan menyebabkan iskemia dan dekubitus.
Trauma Karena Kecelakaan, Penyakit
Karena Perifer, Tumor Ganas Dan Kongenital

Amputasi

Kehilangan bagian Terputusnya Edema jaringan/ Kehilangan


tubuh kontinuitas pembentukan ekstremitas
jaringan hematoma

Gangguan citra Dukacita Hilangnya


tubuh Nosiceptor Ketidakefektifan keseimbangan
perfusi jaringan tubuh
perifer
Penurunan Nyeri
asupan oral Imobilisasi

Tempat masuk
Resiko gangguan kuman Penekanan
nutrisi kurang dari saraf simpatis
kebutuhan
Resiko Infeksi
Penurunan
katekolamin

Penurunan kecepatan
metabolism basal,
suplai oksigen dan
nutrisdi
Hambatan Penurunan
mobilitas fisik kekuatan otot

D. Pengkajian Keperawatan
Riwayat:
o Keterbatasan actual atau antisipasi karena amputasi
o Kekhawatiran tentang efek negative atau perubahan yang diantisipasi pada gaya
hidup, situasi keuangan, reaksi orang lain
o Perasaan tidak berdaya
o Kehilangan sensasi pada area yang diamputasi
o Nyeri fantom
o Riwayat jatuh, cereda traumatic, perilaku beresiko atau lingkungan kerja yang
menyebabkan cedera
o Perubahan gaya berjalan
o Kekhawatiran tentang hubungan intim
o Kekhawatiran tentang fungsi peran
o Kekhawatiran tentang reaksi orang lain
Pemeriksaan fisik:
o Kaji adanya edema, tidak adanya denyut nadi atau denyut nadi menurun pada
daerah yang di amputasi
o Area nekrotik atau gangrene
o Luka yang tidak sembuh
o Infeksi local
o Perubahan gaya berjalan
o Kondisi Psikologis: Ansietas atau ketakutan, Irritabilitas, marah dan frustasi,
Menarik diri, duka cita, kegembiraan palsu
Pemeriksaan penunjang:
o Tekanan oksigen transkutan  membantu menentukan tingkat terendah
dilakukannya amputasi
o Hitung/diferensial sel darah putih  peningkatan leukosit menunjukkan proses
infeksi
o Sinar-X  mengidentifikasi abnormalitas skeletal, trauma, atau massa/tumor
o Angiografi  membantu memprediksi kemungkinan penyembuhan jaringan
setelah amputasi
E. Diagnosis, hasil yang dicapai (NOC), dan Intervensi Keperawatan (NOC)
1) Nyeri akut yang behubungan dengan cedera fisik seperti trauma jaringan
dan saraf, psikologis seperti dampak kehilangan bagian tubuh, stress, dan
kecemasan
Defenisi : Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang muncul
akibat kerusakan jaringan actual atau potensial atau digambarkan sebagai
kerusakan.
Hasil yang Dicapai (NOC)
Level Nyeri:
o Pasien mengatakan nyeri mereda
o Menunjukkan sikap yang relaks, mampu beraktivitas dan tidur serta istirahat
dengan baik
Kontrol Nyeri
o Menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas pengalis,
sesuai indikasi untuk situasi pasien
Intervensi Keperawatan (NIC)
Manajemen Nyeri
o Dokumentasikan lokasi, intensitas nyeri, kualitas dan faktor yang
memperburuk nyeri
o Tinggikan badan yang diamputasi dengan sedikit meninggikan kaki
tempat tidur atau menggunakan bantal untuk amputasi ektremitas atas.
o Beri tindakan kenyamanan umum, seperti mengubah posisi & mengusap
punggung
o Anjurkan penggunaan tehnik manajemen stress, misalnya dengan
relaksasi nafas dalam
o Investigasi laporan nyeri progresif atau nyeri yang terlokasi dengan
buruk dan tidak mereda
o Kolaboratif: beri indikasi sesuai dengan indikasi
o Instruksikan dan pantau penggunaan analgesia dikontrol pasien
2) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan perifer: faktor risiko edema
jaringan, hipovolemia, pembentukan hematoma
Defenisi: Berisiko mengalami penurunan sirkulasi darah ke perifer yang dapat
mengganggu kesehatan.
Hasil yang dicapai (NOC)
Perfusi jaringan: perifer
o Mempertahankan perfusi jaringan adekuat yang ditandai dengan denyut nadi
perifer teraba
o Kulit hangat dan kering
o Penyembuhan luka tepat waktu
Intervensi Keperawatan (NIC)
Kewaspadaan sirkulasi
o Pantau tanda-tanda vital. Palpasi denyut nadi perifer dan catat kekuatan dan
kesamaannya
o Lakukan pengkajian neurovascular berkala
o Catat jenis balutan yang digunakan
o Inspeksi balutan dan alat drainage, dengan mencatat jumlah dan karakteristik
drainage terutama pada pasien menerima terapi antitrombotik
o Beri tekanan langsung pada area perdarahan jika terjadi perdarahan dan
segera hubungi dokter
o Evaluasi ekstreimtas yang tidak dioperasi dan ekstremitas residual untuk
kemerahan, demam yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya
o Anjurkan dan bantu ambulasi dini
o Kolaboratif: berikan cairan Intravena (IV) dan produk darah sesuai indikasi
o Pantau pemeriksaan laboratorium seperti Hb/Ht.
3) Risiko Infeksi; faktor risiko yaitu penyakit kronis, pertahanan primer tidak
adekuat, kerusakan kulit, trauma jaringan, prosedur invasive
Defenisi: Rentan mengalami invasi dan multiplikasi organism patogenik yang
dapat mengganggu kesehatan
Hasil yang dicapai (NOC)
Penyembuhan luka: intense primer
o Mencapai penyembuhan luka tepat waktu, bebas drainage purulen atau
eritema, dan afebril
Intervensi Keperawatan (NIC)
o Evaluasi risiko infeksi pasien
o Pertahankan tindakan hygiene tangan dengan menggunakan sabun dan air
atau sabun antibakteri, sebelum dan sesudah perawatan klien
o Pertahankan tehnik aspetik ketika mengganti balutan dan merawat luka
o Inspeksi luka, catat adanya kemerahan dan panas berlebihan
o Pertahankan kepatenan dan kosongkan alat drainage secara rutin
o Pantau tanda-tanda vital
o Kolaboratif: lakukan pemeriksaan kultur dan sensitivitas luka dan drainage
jika tepat, beri antibiotik sesuai indikasi
4) Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan gangguan
musculoskeletal seperti kehilangan salah satu ektremitas; nyeri atau
ketidaknyamanan; penurunan fungsi; penurunan massa atau kekuatan otot
Defenisi: keterbatasan dalam gerakan fisik atau satu atau lebih ektremitas secara
mandiri dan terarah
Hasil yang dicapai (NOC):
Gerakan terkoordinasi
o Meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang diamputasi
o Bergerak disekitar lingkungan dengan aman
Pengetahuan: mekanika tubuh
o Menyatakan pemahaman tentang situasi individual dan tindakan
keamanan
o Menunjukkan tehkni dan perilaku yang memungkinkan melakukan
aktivitas kembali
o Mempertahankan posisi fungsi yang ditandai dengan tidak adanya
kontraktur
Intervensi Keperawatan (NIC):
o Beri perawatan ekstremitas residual secara rutin
o Ukur lingkar ektremitas secara berkala
o Bungkus kembali ekstremitas residual segera dengan balutan elastic
o Bantu melakukan latihan ROM yang ditentukan untuk kedua ektremitas yang
diamputasi dan tidak diamputasi
o Beri trochanter roll, sesuai indikasi
o Bantu ambulasi berdasarkan prosthesis spesifik yang digunakan
o Bantu klien melanjutkan latihan otot praoperasi sesuai kemampuan
o Minta klien melakukan latihan penyesuaian ekstremitas residual, misalnya
mula-mula mendorong ekstremitas residual dengan bantal, kemudian dengan
permukaan yang lebih keras
o Kolaboratif: rujuk ke tim rehabilitasi, beri matras busa atau matras apung
5) Dukacita yang berhubungan dengan kehilangan yang bermakna seperti
bagian tubuh, perubahan fungsional, peran professional/keluarga, persepsi
diri
Defenisi: Suatu proses kompleks yang normal meliputi respons dan perilaku
emosional, fisik, spiritual, sosial, dan intelektual ketika individu, keluarga, dan
komunitas memasukkan kehilangan yang actual, adaptif atau dipersepsikan ke
dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Hasil yang dicapai (NOC)
Resolusi Berduka
o Mulai menunjukkan adaptasi dan menyatakan penerimaan diri dalam
situasi
o Mengenali dan memasukkan perubahan ke dalam konsep diri dengan cara
yang akurat tanpa harga diri negative
o Mengembangkan rencana yang realistis untuk beradaptasi terhadap peran
baru
Intervensi Keperawatan (NIC)
o Kaji dan pertimbangkan kesiapan klien untuk amputasi dan pandangan
tentang amputasi
o Dorong ekspresi rasa takut, perasaan negative dan dukacita atas kehilangan
bagian tubuh
o Perkuat informasi praoperasi
o Kaji tingkat dukungan yang tersedia bagi pasien
o Diskusikan persepsi pasien tentang diri sendiri, berkaitan dengan perubahan
o Pastikan kekuatan individual dan identifikasi perilaku koping positif
sebelumnya
o Dorong dan berikan kunjungan oleh orang lain yang juga mengalami
amputasi
o Catat perilaku menarik diri,berbicara negative tentang diri sendiri, depresi
atau kekhawatiran berlebihan terhadap perubahan actual
o Kolaboratif: diskusikan ketersediaan berbagai sumber seperti konseling
psikiatrik

Topik 8: Asuhan keperawatan Pada pasien Poliomielitis

A. Deskripsi
Polio atau Poliomielits merupakan penyakit menular akut yang disebabkan oleh
virus Poliovirus (PV), masuk ke tubuh melalui tubuh, menginfeksi usus, kemudian d
absrobsi dan masuk kedalam aliran darah dan ke sistem saraf pusat menyebabkan
melemahnya otot dan kadang kelumpuhan (paralisis). Pertama kali ditemukan oleh
Jacob Heine tahun 1840 merupakan seorang ortopedik berkebangsaan jerman, yang
mengidentifikasi berbagai gejala dan gambaran patologi dari polio. Tahun 1953, Salk
berhasil membuat vaksin polio dengan formalin-inactived poliovirus dan lisensi
vaksin diperoleh pada tahun 1955. Beberapa tahun kemudia Sabin, Koprowski
(1962) mengembangkan vaksin live attenuated poliovirus (WHO, 2019; Pasaribu,
2005).
Polio (Poliomielitis) banyak menyerang anak-anak usia dibawah 5 tahun. 1 dari
200 kejadian infeksi akan berujung pada kelumpuhan yang menetap. Dan 5% - 10%
diantara yang lumpuh meninggal karena otot-otot pernapasan menjadi melemah
atau tidak bergerak. Kasus kejadian polio telah mengalami penurunan angka
kejadian, dari sekitar 350.000 kasus pada tahun 1988 menjadi 29 kasus pada tahun
2018 (WHO, 2019)
B. Etiologi dan jenis-jenis Poliomielitis
Virus poliomyelitis (Virus RNA) tergolong dalam genus enterovirus dan family
picornaviridae, mempunyai 3 strain yaitu tipe 1 (BrunhildePV1), tipe 2
(langsing/PV2) dan tipe 3 (Leon/PV3). Infeksi dapat terjadi oleh satu atau lebih dari
tipe virus tersebut. Tranmisi penyakit ini sangat mudah lewat oral-oral
(orofaringeal) dan fekal oral (intestinal). Polio sangat infeksius antara 7-10 hari
sebelum dan sesudah timbulnya gejala, tetapi transmisinya mungkin terjadi selama
virus berada di dalam saliva atau feses (Pasaribu, 2005; Todar, 2006; Ryan & Ray,
2004).
Jenis-jenis polio dibedakan sebagai berikut:
1. Polio Paralitik  tanda-tanda awal polio paralitik yaitu panas tinggi, sakit kepala,
kelemahan pada punggung dan leher, kelemahan asimetris pada berbagai otot,
peka dengan sentuhan, susah menelan, nyeri otot, hilangnya reflex superficial
dan dalam, parestesia, irritabilitas, konstipasi atau sukar buang air kecil.
Kelumpuhan umumnya berkembang 1-10 hari setelah gejala awal mulai timbul
prosesnya berlangsung selama 2-3 hari, dan biasanta komplitseiring dengan
turunnya panas (Mueller, Wimmer, Cello, 2005)
2. Polio Spinal  tipe poliomyelitis paralisis yang paling seing akibat invasi virus
pada motor neuron di kornu anterior medulla spinalis yang bertanggung jawab
pada pergerakan otot-otot meliputi interkostal, trunkus dan ektremitas bawah.
Paralisis maksimal terjadi dalam 2-4 hari dan biasanya timbul demam dan
myalgia. Paralisis paling sering asimetris dan lebih berat pada daerah proksimal
dari distal (Mcneil, 2011 & Silverstein, et al, 2001)
3. Polio Bulbar  kejadian hanya 2% dari kasus polio paralitik. Polio bulbar terjadi
ketika poliovirus menginvasi dan merusak saraf-saraf di daerah bulbar batang
otak. Kerusakan saraf didaerah ini menyebabkan kelemhan otot yang dipersarafi
oleh nervus kranialis, menimbulkan gejala ensefalitis, susah bernafas, berbicaa,
dan menelan. Gangguan menelan akan meningkatkan sekresi mucus yang akan
berakhir pada kematian (Atkinson, et al 2009; Todar, 2006; McNeil, 2011)
4. Polio Bulbospinal  sekitar 19% dari semua kasus polioparalitik yang
memberikan gejala bulbar dan spinal. Dikenal juga dengan polio respiratori.
Poliovirus menyerang nervus frenikus, yang mengontrol diagfragma untuk
mengembangkan paru-paru dan mengontrol otot-otot yang dibutuhkan untuk
menelan (Proffesional Guide to Disease, 2005)
C. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala dijabarkan sebagai berikut: (Graves, Neil. & Frank, 2005)
1. Asimtomatik  Setelah masa inkubasi 7-10 hari, tidak terdapat gejala klinik
sama sekali karena daya tahan tubuh cukup baik.
2. Abortif  TImbul mendadak langsung. Terjadi beberapa jam sampai beberapa
hari. gejalanya meliputi malaise, anoreksia, nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri
tenggorokan, konstipasi dan nyeri abdomen
3. Non Paralitik  gejala klinik hamper sama dengan poliomyelitis abortif, namun
nyeri kepala, nausea, dan muntah lebih hebat. Muncul tanda-tanda rangsangan
meningeal tanpa adanya kelumpuhan. Suhu tubuh antara 38oC – 39oC disertai
nyeri kepala dan otot. Selain itu, terdapat gejala head drops (bila kepala
ditegakkan, maka kepala akan jatuh kebelakang), Tripod Sign (bila pasien
berusaha duduk dari sikap tidur maka kedua lututnya ditekuk dengan menunjang
kebelakang dan terlihat kekakuan otot spinal.
4. Paralitik  gejala mirip seperti non-paralitik, kemudian disertai kelumpuhan
yang biasanya timbul 3 hari setelah stadium preparalitik.

D. Patofisiologi
Poliovirus masuk kedalam tubuh melalui rute oral, menginfeksi sel yang pertama
ditemuinya yaitu faring dan mukosa saluran cerna. Virus ini masuk dan berikatan
dengan Immunoglubulin-like receptor, yang dikenal sebagai reseptor poliovirus dan
CD 155, pada membrane sel. Di dalam sel-sel sauran pencernaan, virus ini bertahan
selama sekitar seminggu, kemudian menyebar ke tonsil, jaringan limfoid saluran
cerna dan kelenjar limfa mesentrik dan servikal dimana virus ini berkembang biak.
Selanjutnya,virus ini masuk ke dalam aliran darah. Poliovirus dapat bertahan dan
berkembang biak dalam darah dan kelenjar limfa untuk waktu lama, kadang-kadang
hingga 17 minggu (He, et al, 2003).
Pada infeksi yang mengakibatkan paralisis, virus poliomyelitis akan memasuki
susunan saraf pusat, melalui viremia sekunder atau melalui migrasi ke saraf perifer.
Destruksi yang signifikan terjadi pada sumsum tulang belakang dan otak, terutama
pada saraf menyebabkan kerusakan yang dihasillan oleh invasi virus primer
(Haryono dan Utami, 2018)

Poliomyelitis Virus

Virus masuk ke tubuh melalui


rute fekal-oral atau pernapasan

Virus polio berikatan dengan


Immunoglobulin-like receptor

Virus polio berikatan dengan Immunoglobulin-like


receptorpada membrane sel saluran pencernaan

Migrasi Virus kedalam darah

Viremia sekunder
E. Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi kasus polia bersifat ringan jika dapat dideteksi dini. Namun, untuk
kasus polio paralitik akan menyebabkan kerusakan permanen pada otot. Komplikasi
polio paralitik seperti, kelumpuhan, edema paru, Pneumonia Aspirasi, Miokarditis,
dan depresi (Haryono & Utami, 2018).
Prognosis polio tergantung dari berat tidaknya penyakit. Pemulihan motorik
pada poliomyelitis umumnya cukup baik. Pada kasus polio spinal, bila sel-sel saraf
mengalami destruksi total makan paralisis akan permanen. Prognosis buruk
biasanya terjadi pada polio bulbar, akan menyebabkan kematian karena kegagalan
fugnsi pusat pernapasan atau infeksi sekunder pada jalan napas. (Pasaribu, 2005;
Neumann, 2004)
F. Pengobatan
Belum ada pengobatan spesifik terhadap poliomyelitis. Antibiotika, ƴ-Globulin
dan vitamin tidak mempunyai efek. Penatalaksanaan hanya untuk meringankan
gejala pada pasien saja. pada pasien infeksi abortif, istirahat dianjurkan sampai
beberapa hari setelah suhu normal. Pemberian analgetik dan sedative jika diperluka.
Istirahat selama 2 minggu.
Pada pasien polio non paralitilk, pemberian analgetik sangat efektif bila
diberikan bersamaan dengan kompres hangat selama 15-30 menit setiap 2-4 jam
dan kadang-kadang mandi air panas sangat membantu. Fisioterapi dilakukan 3-4
hari setelah demam hilang. Sementara pada pasien paralitik harus dirawat dirumah
sakit karena sewaktu-waktu dapat terjadi paralisis pernapasan dan harus diberi
banntuan pernapasan mekanis (Ventilator).
G. Pengkajian Keperawatan
Riwayat:
Riwayat pengobatan penyakit dan riwayat Imunisasi
Pemeriksaan Fisik:
o Nyeri Kepala
o Paralisis
o Refleks tendon berkurang
o Kaku kuduk
o Brudzinky test
H. Diagnosis Keperawatan, Hasil yang dicapai (NOC), dan Intervensi Keperawatan (NIC)
1) Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan gangguan
musculoskeletal seperti Penurunan kekuatan otot, kelemaahan atau
Paralisis
Defenisi: keterbatasan dalam gerakan fisik atau satu atau lebih ektremitas secara
mandiri dan terarah
Hasil yang dicapai (NOC):
Gerakan terkoordinasi
o Melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan
o Menjaga kestabilan postur
o Dapat meminimalisir tremor dalam melakukan pergerakan
Pengetahuan: mekanika tubuh
o Menyatakan pemahaman tentang situasi individual dan tindakan
keamanan
o Menunjukkan tehknik dan perilaku yang memungkinkan melakukan
aktivitas kembali
o Mempertahankan posisi fungsi yang ditandai dengan tidak adanya
kontraktur
Intervensi Keperawatan (NIC):
o Beri perawatan ekstremitas residual secara rutin
o Ukur lingkar ektremitas secara berkala
o Bantu melakukan latihan ROM yang ditentukan untuk kedua ektremitas yang
diamputasi dan tidak diamputasi
o Bantu ambulasi berdasarkan prosthesis spesifik yang digunakan
o Evaluasi kemampuan untuk melakukan mobilisasi
o Kolaboratif: rujuk ke tim rehabilitasi, beri matras busa atau matras apung
2) Nyeri akut yang behubungan dengan cedera fisik seperti trauma jaringan
dan saraf, psikologis seperti dampak kehilangan bagian tubuh, stress, dan
kecemasan
Defenisi : Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang muncul
akibat kerusakan jaringan actual atau potensial atau digambarkan sebagai
kerusakan.
Hasil yang Dicapai (NOC)
Level Nyeri:
o Pasien mengatakan nyeri mereda
o Menunjukkan sikap yang relaks, mampu beraktivitas dan tidur serta istirahat
dengan baik
Kontrol Nyeri
o Menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas pengalis,
sesuai indikasi untuk situasi pasien
Intervensi Keperawatan (NIC)
Manajemen Nyeri
o Dokumentasikan lokasi, intensitas nyeri, kualitas dan faktor yang
memperburuk nyeri
o Beri tindakan kenyamanan umum, seperti mengubah posisi & mengusap
punggung
o Anjurkan penggunaan tehnik manajemen stress, misalnya dengan
relaksasi nafas dalam
o Investigasi laporan nyeri progresif atau nyeri yang terlokasi dengan
buruk dan tidak mereda
o Kolaboratif: beri indikasi sesuai dengan indikasi
o Instruksikan dan pantau penggunaan analgesia dikontrol pasien

Anda mungkin juga menyukai