Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRAKTIKUM

EVALUASI GIZI DALAM PENGOLAHAN PANGAN


ACARA II
EVALUASI KADAR SIANIDA BAHAN PANGAN

Disusun Oleh:
Kelompok 6 B
1. Rochkim Yuli Prasetyo NIM H0912113
2. Rohmah Fitri Utami NIM H0912114
3. Rosyid Khoirul Anwar NIM H0912115
4. Sakinah Lisa NIM H0912116
5. Siti Mardiyah NIM H0912123
6. Tri Mardianti NIM H0912126
7. Vania Ratnasari Fauzia NIM H0912128
8. Yaumil Rizqi Almalia NIM H0912131

ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
ACARA II
EVALUASI KADAR SIANIDA BAHAN PANGAN

A. Tujuan
Tujuan dari Praktikum Evaluasi Gizi dalam Pengolahan Pangan
Acara II “Evaluasi Kadar Sianida Bahan Pangan” adalah sebagai berikut
1. Mengetahui prinsip evaluasi kadar sianida dalam bahan pangan dengan
metode destilasi dan spektrofotometri.
2. Mengetahui pengaruh berbagai perlakuan terhadap kadar sianida bahan
pangan.
3. Mengetahui kadar sianida pada bahan pangan dengan berbagai variasi
perlakuan.

B. Tinjauan Pustaka
Singkong (Manihot esculenta Crantz) merupakan makanan pokok bagi
lebih dari 500 juta orang di dunia berkembang (Cock, 1985 dalam
Tefera et al., 2014). Ini adalah salah satu yang paling kekeringan tanaman
toleran dan mampu tumbuh di tanah marjinal (Motto et al., 1990 dalam
Tefera et al., 2014). Ini meliputi energi tinggi dan pati memproduksi tanaman
umbi, tetapi merupakan miskin sumber protein. Singkong mengandung
senyawa yang berpotensi beracun, glukosida cyanogenic. Jika hadir dalam
jumlah yang cukup, senyawa ini dapat menyebabkan keracunan sianida akut
dan kematian pada manusia dan hewan bila dikonsumsi. Jumlah senyawa ini
beracun bervariasi sesuai dengan kultivar dan kondisi pertumbuhan.
Akibatnya, sebagian besar diet singkong umbi dapat menyebabkan
kekurangan gizi protein-energi (Tefera et al., 2014).
Singkong mengandung racun linamarin dan lotaustralin yang termasuk
golongan glikosida sianogenik. Linamarin terdapat pada semua bagian
tanaman, terutama terakumulasi pada akar dan daun. Singkong dibedakan atas
dua tipe, yaitu pahit dan manis. Singkong tipe pahit mengandung kadar racun
yang lebih tinggi daripada tipe manis. Jika singkong mentah atau yang
dimasak kurang sempurna dikonsumsi, maka racun tersebut akan berubah
menjadi senyawa kimia yang dinamakan hidrogen sianida, yang dapat
menimbulkan gangguan kesehatan. Singkong manis mengandung sianida
kurang dari 50 mg per kilogram, sedangkan yang pahit mengandung sianida
lebih dari 50 mg per kilogram. Meskipun sejumlah kecil sianida masih dapat
ditoleransi oleh tubuh, jumlah sianida yang masuk ke tubuh tidak boleh
melebihi 1 mg per kilogram berat badan per hari. Gejala keracunan sianida
antara lain meliputi penyempitan kerongkongan, mual, muntah, sakit kepala,
bahkan pada kasus berat dapat menimbulkan kematian. Untuk mencegah
keracunan singkong, sebelum dikonsumsi sebaiknya singkong dicuci untuk
menghilangkan tanah yang menempel, kulitnya dikupas, dipotong-potong,
direndam dalam air bersih yang hangat selama beberapa hari, dicuci, lalu
dimasak sempurna, baik itu dibakar atau direbus. Singkong tipe manis hanya
memerlukan pengupasan dan pemasakan untuk mengurangi kadar sianida ke
tingkat non toksik (BPOM, 2006).
Daun ubi kayu biasanya mengandung racun asam sianida atau asam
biru terutama daun yang masih muda. Ubi mengantung asam sianida berkadar
rendah sampai tinggi. Berdasarkan kandungannya dapat dibedakan empat
kelompok ubi kayu, jenis ubi tidak berbahaya (<50mg/kg sianida), ubi kayu
sedikit beracun (50-80mg/kg), ubi kayu beracun (80-100mg/kg) dan ubi kayu
amat beracun (>100mg/kg). Untuk menghindari bahasa racun asam biru,
caranya adalah dengan memilih jenis atau varietas ubi yang mengandung
kadar asam sianida rendah. Ubi dengan kadar sianida tinggi biasanya berasa
pahit dan bila dipotong warnanya berubah biru. Metode paling mujarab untuk
mengurangi kadar HCN sampai 85% adalah menumbuk kemudian
mengeringkan ubi tersebut (Rukmana, 1997).
Koro pedang merah (Canavalia gladiata) diyakini berasal dari benua
Asia dan tersebar di seluruh daerah tropis, dibudidayakan dalam skala terbatas
di seluruh Asia, Hindia Barat, Afrika dan Amerika Selatan dan telah
diperkenalkan ke bagian tropis Australia. Koro pedang merah merupakan
salah satu sumber protein nabati, serta memiliki kandungan karbohidrat dan
protein yang tinggi. Newman et al. (1987) dalam Windrati et al. (2010) dalam
Ishartani dkk (2014) menyatakan bahwa koro pedang memiliki keseimbangan
asam amino sangat baik, bioavaibilitas tinggi dan faktor anti gizi rendah.
Selain itu koro pedang merupakan sumber vitamin B1, beberapa mineral dan
serat pangan yang penting bagi kesehatan. Kandungan protein koro pedang
merah (Canavalia gladiata) lebih tinggi (32%) dibanding koro pedang putih
(Canavalia ensiformis) yakni 27% (Udedibie dan Nkwocha, 2000 dalam
Ishartani dkk, 2014) (Ishartani dkk, 2014).
Kacang merah (Phaseolus vulgaris) adalah tanaman tahunan herba dari
keluarga leguminosa. Hal ini ditemukan bebas di Mesoamerika kuno dan
Andes; meskipun banyak dibudidayakan di iklim panas di seluruh dunia.
Varietas putih dan hitam kacang merah berbentuk ini juga tersedia tapi kurang
banyak digunakan (Katharine, 2002 dalam Audu, 2011). Kacang merah adalah
sumber protein nabati, pati, serat larut dan tidak larut, vitamin (terutama
kelompok B) dan mineral (terutama kalium, zat besi, seng, magnesium dan
mangan). Kacang merah sangat rendah lemak (Eknayake et al., 1999 dalam
Audu, 2011). Belum terlalu luas untuk industri, ekonomi dan gizi penting
karena penerimaan dan pemanfaatan telah dibatasi (Nowacki 1980 dalam
Audu, 2011). Kacang mengandung zat beracun yang dapat menyebabkan
keracunan makanan dan ini harus dihancurkan oleh didih cepat dan memasak
menyeluruh (Giamin dan Bakebain, 1992 dalam Audu, 2011) (Audu, 2011).
Metode liebig adalah metode titrasi argentometri yang titik akhir
titrasinya menunjukan kekeruhan. Cara ini untuk menentukan sianida. Metode
penentuan kuantitatif karbon dan hidrogen senyawa organik. Hidrogen diubah
menjadi air dan karbon menjadi karbondioksida yang kemudian diserap dan
ditimbang. Metode uji tembaga asetat-benzidina asetat, pengujian ion sianida
berdasarkan reaksi redoks tembaga dengan adanya ion sianida. Warna yang
terbentuk dari reaksi redoks adalah biru (Pudjaatmaka, 1999).
Analisis asam sianida dilakukan dengan prinsip argentometri metode
Volbard. Prinsip metoda ini ialah pengikatan ion sianida (CN) oleh ion perak
(Ag+) menjadi senyawa AgCN. Ion Ag+ ditambahkan berlebih dalam bentuk
larutan AgNO3; kelebihan ion Ag+ kemudian dititar oleh lamtan
kaliumthiosianat (KCNS) membentuk senyawa AgCNS yang berwarna merah.
Pengukusan kandungan air dalam bahan makanan dilakukan dengan cara
pemanasan dalam oven 105°C. Kurang lebih 2 gram sampel dalam cawan
porselin yang telah diketahui beratnya, dikeringkan berulang-ulang di dalam
oven sehingga tercapai bobot tetap. Kadar air diperoleh dengan cara
penghitungan persen bobot yang hilang selama pengeringan. Sianida dalam
senyawa ini mudah terurai menjadi asam sianida melalui proses autolisis
maupun hidrolisis. Autolisis terjadi karena adanya enzim, seperti enzim
glukosidase yang terdapat dalam pada tanaman itu sendiri, sementara
hidrolisis terjadi karena adanya air. Pemanasan dapat menonaktifkan enzim
sehingga asam sianida tidak terbentuk. Pemanasan juga dapat menguapkan
asam sianida yang terbentuk. Pengukusan mengakibatkan penurunan
kandungan asam sianida dalam bahan (Soetrisno dan Purawisastra, 1992).
Banyak metode analisis HCN yang telah dicoba, akan tetapi hasilnya
bervariasi hal ini disebabkan oleh sifat HCN yang mudah menguap akibat
pengaruh suhu. Dengan adanya kenaikan suhu dan waktu inkubasi yang relatif
lama pada proses analisis, dapat menyebabkan hilangnya sianida yang akan
diukur. Untuk mengatasi hal tersebut di atas, maka perlu dicarikan metode lain
yang lebih efektif dan efisien yaitu dengan cara memodifikasi beberapa
metode dasar yang telah ada. Metode yang terpilih adalah metode Lian dan
Hamir, cara untuk mempercepat pembebasan sianida senyawa glukosida,
digunakan asam chlorida 3 N dengan inkubasi pada suhu kamar selama 3 jam.
Metode Lian dan Hamir, merupakan metode alkali-pikrat yang paling praktis
dibandingkan dengan beberapa metode lain misalnya metode piridine-
pirazolone dan isotachoelectrophoreti. Jika dibandingkan dengan metode
alkali-pikrat Fukuba dan Mendosa, menunjukkan hasil yang tidak berbeda
dengan metode Lian dan Hamir yang dimodifikasi. Analisis kandungan
sianida di dalam suatu bahan pakan ternak, umumnya memerlukan waktu
cukup lama dengan hasil yang kurang akurat. Dengan menggunakan metode
Lian dan Hamir yang dimodifikasi lebih menguntungkan, karena disamping
metodenya sederhana, waktu yang dibutuhkan relatif singkat dan hasilnya
lebih teliti (Marlina, 1996).
Ubi jalar (Ipomoea batatas (L.) Lam.) memainkan peranan penting
sebagai energi dan sumber fitokimia dalam gizi manusia dan pakan ternak.
Data ethnopharmacological menunjukkan bahwa daun ubi jalar telah efektif
digunakan dalam pengobatan herbal untuk mengobati infeksi inflamasi dan
penyakit mulut. Akar tuberous ini merupakan sumber yang kaya karbohidrat,
serat, vitamin A (seperti β-karoten), vitamin B6, vitamin C, mangan, tembaga,
kalium, dan besi. Baru-baru ini, penelitian tentang ubi jalar telah difokuskan
pada kapasitas antioksidan karena kandungan peningkatan fenol, flavonoid, β
karoten, antosianin, dan turunan asam caffeoylquinic. Laporan lainnya telah
melaporkan penggunaan obat, khususnya sifat antidiabetes dan antivirus
(Anbuselvi dan Balamurugan, 2014).
Prinsip mengukuran kadar sianida pada air kemasan dengan metode
spektrofotometri adalah sianida bebas diubah menjadi sianogen klorida
(CNCl) dengan penambahan kloramin T pada pH kurang dari 8. Kemudian
direaksikan dengan pereaksi asam barbutirat-piridin sehingga menghasilkan
warna merah kebiru-biruan. Warna tersebut dibaca pada panjang gelombang
570 nm (BSN, 2006).
Beberapa alternatif metode pengolahan yang biasa dilakukan oleh
masyarakat adalah dengan perendaman dalam larutan garam, perendaman
dalam air, pemberian abu maupun dengan perlakuan panas (misalnya dengan
perebusan pada umbi). Akan tetapi, metode perendaman memerlukan waktu
sekitar 3 hingga 5 hari dan perlu dilakukan secara berulang-ulang sehingga
kurang efisien. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam detoksifikasi
adalah dengan pemanasan terbatas. Pemanasan terbatas dilakukan dengan
mengadopsi proses kyuring (curing) yang biasa dilakukan pada beberapa
komoditas pangan. Glukosidase endogen kemungkinan memegang peran
penting dalam mengubah struktur saponin selama pengeringan dioscorea. Hal
ini telah dibuktikan dalam model percobaan menggunakan furostanol
glikosida, beta glukosidase dari yam dapat menghidrolisis glukosa pada posisi
C26 furostanol glikosida. Kondisi kyuring dapat mengoptimumkan kerja
enzim β- glukosidase endogenus untuk memecah glukosida sianogenik. Proses
kyuring biasanya berlangsung pada kondisi suhu dan kadar air terkontrol.
Enzim β-glukosidase dapat bekerja secara optimum pada suhu 40–50ºC.
Apabila telah terbentuk sianida bebas, maka nantinya akan lebih mudah
dihilangkan karena sifat sianida yang larut dalam air dan menguap bila terkena
panas (Harijono dkk, 2008).
Blancing atau kulup dalam bahasa Jawa atau kolop dalam bahasa
Madura adalah salah satu cara pengolahan bahan makanan jenis sayuran
dengan cara memasukkan sayuran ketika air sudah mendidih dan memasaknya
dalam waktu singkat, sekitar 1-5 menit tergantung jenis sayuran dan segera
ditiriskan dari air. Seperti direbus, tetapi sayuran segera ditiriskan setelah
matang. Dalam keadaan segar, kadar sianida berkisar 0,005–0,4 ppm, tertinggi
pada singkong dan terendah pada kacang hijau. Setelah berbagai cara
pengolahan, kadar sianida berkisar menjadi 0,0001–0,18 ppm, tertinggi pada
singkong kukus dan terendah pada selada air kulup. Dengan beberapa cara
pengolahan yang biasa dilakukan masyarakat Jember dan kemudian diukur
kembali kandungan sianida pada sayuran setelah pengolahan, hasil
menunjukkan cara pengolahan kulup dapat menurunkan kadar sianida lebih
besar dibandingkan cara pengolahan yang lain. Kulup adalah cara yang paling
sering dipilih untuk mengolah sayuran dengan kadar sianida yang tinggi. Hal
ini dapat menjadi kebiasaan yang baik karena ternyata kulup dapat mereduksi
kadar sianida lebih banyak dibandingkan cara pengolahan yang lain.
Kandungan sianida kacang tanah sebesar 0,017 ppm. Kandungan sianida pada
kacang koro sebesar 6,06 mg per gram (Ningtyas dkk, 2014).
Menurut FAO/WHO batas aman sianida adalah 10 mg per kg berat
kering. Penetapan sianida dalam makanan dilakukan duplikat dengan
menggunakan metode kolorimetri dengan cara hirolisis. Hidrolisis dapat
dilakukan dengan 2 macam, yaitu hidolisis dengan menggunakan enzim
linamarase atau hidrolisis dengan menggunakan asam (H2SO4 dimana hasil
kedua cara tersebut tidak jauh. Cara hidrolisis oleh asan (isonicotinic
acid/barbituric acid) karena enzim linamerase sulit diperoleh. Hidrolisis oleh
asam mencakup hidrolisis sianogenik glukosida menjadi sianohidrin lalu
sianohidrin dipecah menjadi sianida dalam suasana alkali dengan penambahan
NaOH. Dengan cara ini dapat ditetapkan kadar sianida yang keil yaitu kurang
dari 2 mg/100 g bahan. Kadar sianida dalam sayuran dapat dikurangi dengan
paling banyak dengan direbus (hingga 100%) dibanding dengan tumis atau
kukus (60-90%). Kadar sianida pada umbi dapat dikurangi lebih banyak
dengan cara diiris tipis lalu direbus (Murdiana dan Saidin, 2001).

C. Metodologi
1. Alat
a. Alat untuk destilasi
b. Labu destilasi
c. Labu takar
d. Erlenmeyer
e. Tabung reaksi
f. Pipet ukur
g. Propipet
h. Penangas air
i. Penjepit kayu
j. Vortex
k. Kuvet
l. Spektrofotometer
2. Bahan
a. 3,5 gram KCN dalam 10 ml Aquades
b. Kacang mete
c. Kacang merah
d. Kacang tanah
e. Kentang
f. Singkong
g. Ubi jalar ungu
h. Kacang koro pedang putih
i. Kacang koro pedang merah
j. Aquades
k. Kloroform
l. KOH 2 %
m. Alkalin pikrat
3. Cara Kerja
a. Pembuatan Kurva Standar KCN

3,5 mg KCN/10 ml Aquades

Diambil 0 ml ; 0,2 ml ; 0,4 ml ; 0,6 ml ; 0,8 ml ; 1,0 ml; 1,2 ml

Dimasukkan masing-masing ke dalam labu takar 10 ml

Aquades Ditambahkan sampai tanda tera

Diambil sebanyak 5 ml

Dimasukkan ke dalam tabung reaksi

Alkalin Pikrat Ditambahkan sebanyak 5 ml

Dipanaskan selama 5 menit dalam penangas air

Didinginkan dengan air mengalir

Divortex

Ditera absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm

Dibuat kurva standar 3,5 mg/10 ml Aquades


b. Penentuan Kadar Sianida Bahan Pangan
Sampel sebanyak 4 gram

125 ml Aquades dan


2,5 ml Kloroform Dimasukkan dalam labu destilasi

Didestilasi

Destilat ditampung ke Erlenmeyer berisi 10 ml KOH 2 %

Didapatkan hingga volume total sebanyak 20 ml

Diambil sebanyak 5 ml

Dimasukkan dalam 2 tabung reaksi untuk 2 ulangan

Alkalin Pikrat Ditambahkan sebanyak 5 ml

Dipanaskan selama 5 menit dalam penangas air

Didinginkan dengan air mengalir

Divortex

Ditera absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm

Dihitung konsentrasi dari kurva standar yang diperoleh


D. Hasil dan Pembahasan
Tabel 2.1 Data Absorbansi Larutan KCN Standar 3,5 mg/10 ml Aquades
Volume Larutan KCN Standar Volume Aquades Absorbansi
(ml) (ml) (Å)
0,0 10,0 0,020
0,2 9,8 0,045
0,4 9,6 0,096
0,6 9,4 0,135
0,8 9,2 0,213
1,0 9,0 0,277
1,2 8,8 0,351
Sumber : Laporan Sementara
Glikosianida sianogenik merupakan senyawa yang terdapat dalam
makanan nabati dan berpotensi terurai menjadi asam sianida (Budiyanto, 2001
dalam Ishartani dkk, 2014). Sianogen merupakan senyawa pada umbi-umbian
yang berpotensi sebagai toksikan dan dapat terurai menjadi asam hidrosianida
(HCN). Pada saat pengupasan atau pengirisan, jaringan mengalami kerusakan
dan sistem sel rusak, senyawa alkaloid sebagai substrat yang berada dalam
vakuola dan enzim dalam sitoplasma akan saling kontak dan mengalami reaksi
enzimatis membentuk glukosa dan senyawa aglikon (Nok dan Ikediobi, 1990
dalam Alma’arif dkk, 2012). Senyawa aglikon kemudian dengan cepat
akan mengalami pemecahan oleh enzim liase menjadi asam sianida
(HCN) dan senyawa aldehid atau keton (Cheeke dan Shull, 1985
dalam Alma’arif dkk, 2012). Asam sianida (HCN) terbentuk karena akifitas
enzim hidrolase pada glikosida sianogenik (Mahendradatta, 2007 dalam
Suciati, 2012). Reaksi pembentukan asam sianida dari glikosida sianogenik
menurut Suciati (2012) secara umum dapat dilihat pada persamaan reaksi
berikut :
Asam sianida bersifat mudah menguap bila dipanaskan, larut air,
dan memiliki titik leleh pada suhu 55oC (Budiyanto, 2001 dalam
Ishartani dkk, 2014). Menurut Puspitaningrum (2013), asam sianida disebut
juga hidrogen sianida (HCN), biasanya terdapat dalam bentuk gas atau larutan
dan terdapat pula dalam bentuk garam-garam alkali seperti potasium sianida.
Sifat-sifat HCN murni mempunyai sifat tidak berwarna, mudah menguap pada
suhu kamar dan mempunyai bau khas. HCN mempunyai berat molekul yang
ringan, sukar terionisasi, mudah berdifusi dan lekas diserap melalui paru-paru,
saluran cerna dan kulit. Menurut Sastrapradja (1988) dalam Suciati (2012),
bahwa asam sianida (HCN) memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
1. Merupakan jenis racun yang sangat kuat sehingga bila dimakan dapat
menyebabkan keracunan
2. Mudah menguap bila dipanaskan
3. Mudah larut dalam air, alkohol, aseton, dan kloroform.
4. Mempunyai titik leleh / cair 54-55⁰C
5. Mudah bereaksi dengan Natrium Klorida (NaCl)
6. Sedikit larut dalam pelarut eter dan benzene
Meskipun sejumlah kecil sianida masih dapat ditoleransi oleh tubuh,
jumlah sianida yang masuk ke tubuh tidak boleh melebihi 1 mg per kilogram
berat badan per hari. Gejala keracunan sianida antara lain meliputi
penyempitan kerongkongan, mual, muntah, sakit kepala, bahkan pada kasus
berat dapat menimbulkan kematian. Untuk mencegah keracunan singkong,
sebelum dikonsumsi sebaiknya singkong dicuci untuk menghilangkan tanah
yang menempel, kulitnya dikupas, dipotong-potong, direndam dalam air
bersih yang hangat selama beberapa hari, dicuci, lalu dimasak sempurna, baik
itu dibakar atau direbus. Singkong dengan tipe manis hanya memerlukan
pengupasan dan pemasakan untuk mengurangi kadar sianida ke tingkat non
toksik (BPOM, 2006).
Dosis HCN yang mematikan dapat timbul setelah manusia
mengkonsumsi bahan pangan yang mengandung glikosida sianogenik. Batas
maksimal dosis HCN yang mematikan berkisar antara 0,5-3,5 mg/kg berat
badan (Mahendradatta, 2007 dalam Ishartani dkk, 2014). Menurut FAO/WHO
batas aman sianida adalah 10 mg per kg bahan kering, sedangkan menurut the
breeder kadar sianida, tidak boleh lebih dari 10 mg/100 gram bahan mentah
(Ningtyas dkk, 2014). Menurut FAO dalam Winarno (1995) dalam
Harijono dkk (2008) kandungan sianida 50 mg/kg (ppm) bahan masih aman
untuk dikonsumsi manusia. Senyawa beracun pada olahan pangan yaitu asam
sianida (HCN) yang diperbolehkan oleh Food Agricultural Organization
(FAO) untuk dikonsumsi yaitu <10 ppm (Wahjuningsih, 2013). Berdasarkan
peraturan Standar Nasional Indonesia (SNI) sianida yang masih dapat
dikonsumsi, untuk makanan dan minuman siap saji sebesar 1 ppm, sedangkan
batas aman untuk produk olahan kacang-kacangan dan umbi-umbian sebesar
50 ppm (Kusumawardhani dkk, 2015).
Pada praktikum Acara II Evaluasi Kadar Sianida Singkong ini
bertujuan untuk mengetahui prinsip evaluasi kadar sianida (HCN) bahan
pangan, mengetahui kadar sianida dalam bahan pangan, mengetahui pengaruh
bahan pangan mentah dengan bahan pangan yang diberikan perlakuan
berdasarkan metode destilasi dan spektrofometri. Kurangnya kesadaran
masyarakat akan kandungan sianida, menyebabkan banyaknya kasus
keracunan yang disebabkan oleh kandungan sianida dalam berbagai bahan
pangan. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan analisis sianida dengan metode
yang mudah dan cepat, dengan demikian ketersediaan analisa atau evaluasi
sebagai alat monitoring kandungan sianida secara kuantitatif dapat membantu
mencegah terjadinya keracunan akibat mengkonsumsi bahan pangan yang
mengandung sianida (Kusumawardhani dkk, 2015). Sampel yang akan
dianalisis kadar sianidanya antara lain kacang mete, kacang merah, kacang
tanah, kentang, singkong, ubi jalar ungu, kacang koro pedang merah, dan
kacang koro pedang putih. Pada sampel terdapat bahan pangan yang mentah
dan yang telah diberi perlakuan.
Prinsip evaluasi kadar sianida dengan metode destilasi adalah
memisahkan dua atau lebih komponen yang memiliki perbedaan titik didih
yng jauh. Senyawa yang terdapat dalam campuran akan menguap saat
mencapai titik didih masing-masing. Sedangkan prinsip metode
spektrofotometri adalah berdasarkan penyerapan cahaya atau energi radiasi
oleh suatu larutan. Jumlah cahaya atau energi radiasi yang diserap
memungkinkan pengukuran jumlah dalam larutan secara kuantitatif.
Penentuan kadar sianida dalam bahan pangan dilakukan dengan menimbang
sampel yang telah dihancurkan sebanyak 4 gram dan dimasukkan ke dalam
labu destilasi. Kemudian ditambah 125 ml air dan 2,5 ml kloroform.
Sebelumnya disiapkan larutan KOH 2% sebanyak 10 ml dan dimasukkan ke
dalam erlenmeyer. Sampel di dalam labu destilasi kemudian didestilasi dan
erlenmeyer yang telah berisi larutan KOH 2% diletakkan di bawah sebagai
penampung sampel hasil destilasi. Destilasi dihentikan setelah volume yang
tertampung di erlenmeyer menunjukkan 20 ml. Setelah didestilasi, sampel
kemudian diambil sebanyak 5 ml dan ditambahkan dengan alkalin pikrat
sebanyak 5 ml kemudian dipanaskan selama 5 menit. Ketika sampel sudah
dingin kemudian diabsorbansi pada spektrofotometer dengan panjang
gelombang 520 nm. Hasil absorbansi yang diperoleh kemudian dimasukkan ke
dalam persamaan regresi sehingga kadar sianida sampel dapat dihitung.
Penambahan kloroform pada uji kadar sianida berfungsi sebagai
pelarut alkaloid. Salah satu alkaloid yang terdapat di dalam singkong adalah
HCN (Pritari, 2013). Menurut Nahdhiyah (2011), penambahan KOH berfungsi
untuk membuat suasana menjadi basa, akibatnya sianida akan terdisosiasi.
Disosiasi sianida merupakan reakan mempermudah proses selanjutnya setelah
penambahan alkalin pikrat. Alkasi peruraian senyawa menjadi ion-ion di
dalam pelarut. Hal ini alkain pikrat berperan untuk melarutkan sianida
sehingga lebih mudah saat diukur absorbansinya.
Sebelum dianalisis kadar sianidanya, terlebih dahulu ditentukan kurva
standar HCN. Kurva standar ini didapatkan dari hasil dari Tabel 2.1 Data
Absorbansi Larutan KCN Standar 3,5 mg/10 ml Aquades. Pembuatan kurva
standar KCN ini dimulai dengan 3,5 mg/10 ml aquades diambil sebanyak 0;
0,2; 0,4; 0,6; 0,8; 1,0; 1,2 ml yang dimasukkan ke dalam masing-masing
tabung reaksi, dalam tabel dimasukkan dalam volume larutan standar KCN.
Setelah itu ditambahkan aquades sampai dengan volumenya 10 ml, maka
volume aquades yang ditambahkan berturut-turut adalah 10; 9,8; 9,6; 9,4; 9,2;
9,0; dan 8,8 ml, dalam tabel dimasukkan dalam volume aquades. Sampel
kemudian diambil sebanyak 5 ml dan ditambahkan dengan alkalin pikrat
sebanyak 5 ml kemudian dipanaskan selama 5 menit. Ketika sampel sudah
dingin kemudian diabsorbansi pada spektrofotometer dengan panjang
gelombang 520 nm. Hasil absorbansi yang diperoleh kemudian dimasukkan ke
dalam data sajian tabel yang ada untuk dibuat kurvanya. Hasil yang
didapatkan disajikan dalam bentuk kurva yang terdapat pada Gambar 2.1.

Kurva Standar KCN 3,5 mg/10 ml


Aquades
0.4
0.35
0.3 y = 0.280x - 0.006
Absorbansi (Å)

R² = 0.977
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
-0.05 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
Volume Larutan KCN Standar (ml)

Gambar 2.1 Grafik Kurva Standar KCN 3,5 mg/10 ml Aquades


Kurva standar HCN menjadi acuan perhitungan persamaan regresi
yang akan digunakan untuk menghitung kadar HCN dalam mg pada masing-
masing sampel yang digunakan. Persamaan regresi ditentukan dengan nilai
absorbasi sebagai sumbu y dan volume larutan standar KCN sebagai sumbu x,
hubungan dari kedua variable tersebut adalah berbanding lurus, semakin besar
volume larutan standar KCN, maka semakin besar pula absorbansinya.
Berdasarkan kurva standar HCN, persamaan regresi yang diperoleh yaitu : y =
0.280x - 0.006. Dari persamaan yang didapatkan tersebut, maka akan
didapatkan kadar sianida masing-masing sampel setelah diketahui absorbansi
yang didapatkan pada masing-masing sampel.
Tabel 2.2 Kadar Sianida dalam Bahan Pangan
Absorbansi Kadar Kadar HCN
Kelompok Sampel
(Å) HCN (mg) (ppm)
1&2A Kacang Mete 0,058 0,229 229
3&4A Kacang Merah 0,524 1,893 1893
5&6A Kacang Tanah 0,085 0,325 325
1B Kentang Mentah 0,039 0,162 161
2B Kentang Kukus 0,034 0,143 143
3B Singkong Mentah 0,458 1,657 1657
4B Singkong Kukus 0,113 0,425 425
5B Ubi Jalar Ungu Mentah 0,027 0,118 118
6B Ubi Jalar Ungu Kukus 0,258 0,943 943
Kacang Koro Pedang
1C 0,022 0,100 100
Putih Mentah
Kacang Koro Pedang
2C 0,036 0,150 150
Putih Perlakuan
Kacang Koro Pedang
3&4C 0,031 0,132 132
Merah Mentah
Kacang Koro Pedang
5&6C 0,030 0,129 129
Merah Perlakuan
Sumber : Laporan Sementara
Pada Tabel 2.2 menunjukan kadar HCN pada tiap sampel. Sampel yang
digunakan adalah kacang mete, kacang merah, kacang tanah, kentang,
singkong, ubi jalar, kacang koro pedang putih dan kacang koro pedang merah.
Terdapat 3 perlakuan pendahuluan sebelum analisis yaitu tanpa perlakuan,
perendaman, dan pengukusan. Dapat dilihat bahwa sampel kacang mete
memiliki kadar HCN sebesar 229 ppm. Pada kacang merah memiliki kadar
HCN sebesar 1893 ppm. Pada kacang tanah memiliki kadar HCN sebesar
325 ppm. Pada kentang mentah memiliki kadar HCN sebesar 161 ppm. Pada
kentang kukus memiliki kadar HCN sebesar 143 ppm. Pada singkong mentah
memiliki kadar HCN sebesar 1657 ppm. Pada singkong kukus memiliki kadar
HCN sebesar 425 ppm. Pada ubi jalar mentah memiliki kadar HCN sebesar
118 ppm. Pada ubi jalar kukus memiliki kadar HCN sebesar 943 ppm. Pada
kacang koro pedang putih mentah memiliki kadar HCN sebesar 100 ppm.
Pada kacang koro pedang putih perlakuan memiliki kadar HCN sebesar
150 ppm. Pada kacang koro pedang merah mentah memiliki kadar HCN
sebesar 132 ppm. Pada kacang koro pedang merah kukus memiliki kadar HCN
sebesar 129 ppm. Berdasarkan hasil praktikum, urutan kandungan HCN
tertinggi hingga terendah berturut-turut sebagai berikut, kacang merah,
singkong mentah, ubi jalar kukus, singkong kukus, kacang tanah, kacang
mete, kentang mentah, kacang koro pedang putih perlakuan, kentang kukus,
kacang koro pedang merah mentah, kacang koro pedang merah perlakuan, ubi
jalar ungu mentah dan kacang koro pedang putih mentah.
Perlakuan berpengaruh terhadap kadar sianida pada sampel. Di mana
tiga dari lima sampel yang diberi perlakuan mengalami penurunan kadar
sianida. Hal ini ditunjukan pada sampel kentang, singkong dan kacang koro
pedang merah. Di mana pada kentang mentah memiliki kadar HCN sebesar
161 ppm dibandingkan kentang kukus memiliki kadar HCN sebesar 143 ppm.
Pada singkong mentah memiliki kadar HCN sebesar 1657 ppm dibandingan
singkong kukus memiliki kadar HCN sebesar 425 ppm. Pada kacang koro
pedang merah mentah memiliki kadar HCN sebesar 132 ppm dibandingkan
kacang koro pedang merah kukus memiliki kadar HCN sebesar 129 ppm. Hal
ini sudah sesuai dengan penelitian Soetrisno dan Purawisastra (1992) yang
menyebutkan bahwa pengukusan dapat menurunkan kandungan asam sianida
dalam bahan, selain itu menurut Ishartani dkk (2014) bahwa senyawa toksik
yang terkandung dalam koro pedang dapat dikurangi seminimal mungkin
dengan cara perendaman, perebusan, pengukusan dan fermentasi. Sedangkan
pada sampel ubi jalar dan kacang koro pedang putih mengalami peningkatan.
Di mana pada ubi jalar mentah memiliki kadar HCN sebesar 118 ppm
dibandingkan ubi jalar kukus memiliki kadar HCN sebesar 943 ppm. Dan
pada kacang koro pedang putih mentah memiliki kadar HCN sebesar 100 ppm
dibandingkan kacang koro pedang putih perlakuan memiliki kadar HCN
sebesar 150 ppm.
Berdasarkan kadar Asam Sianida (HCN) dalam singkong, tidak semua
jenis singkong dapat dikonsumsi ataupun diolah secara langsung. Singkong
dengan kadar HCN kurang dari 100 mg/kg (ditandai dengan adanya rasa
manis), merupakan singkong yang layak dan aman dikonsumsi ataupun diolah
sebagai bahan makanan secara langsung (Rukmana, 1997 dalam
Puspitaningrum, 2013). Pada praktikum ini untuk singkong mentah kadar
HCN sebesar 1657 ppm dan singkong kukus sebesar 425 ppm. Nilai kadar
HCN tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan penelitian yang
dilakukan Ningtyas dkk (2014) yaitu pada singkong mentah sebesar 0,4 ppm
dan singkong kukus 0,18 ppm. Pada praktikum, kacang tanah memiliki
kadar HCN sebesar 325 ppm. Nilai ini lebih besar dari penelitian
Ningtyas dkk (2014) yaitu hanya sebesar 0,017 ppm.
Koro pedang ternyata memiliki senyawa toksik seperti kholin, asam
hidrozianine, trogonelin, tripsin, dan glukosianida, serta senyawa anti gizi
khususnya asam fitat. Senyawa toksik yang dimiliki koro pedang merah antara
lain concanavalin A, canavanin, poliamine dan saponin. Canavanin pada koro
pedang sangat tinggi (88-91%) yang merupakan senyawa asam amino mirip
arginin berpotensi beracun apabila dikonsumsi. Koro pedang merah juga
mengandung asam sianida (HCN) dan asam fitat yang cukup tinggi
(Ekanayake et al., 1999 dalam Ishartani dkk, 2014). Kacang koro pedang putih
mentah yang memiliki kadar HCN sebesar 100 ppm atau 0,100 mg per 4 gram
dan kacang koro pedang merah mentah yang memiliki kadar HCN sebesar
132 ppm atau 0,132 mg per 4 gram, sedangkan dalam penelitian
Ningtyas dkk (2014) di mana kandungan sianida pada kacang koro sebesar
0,18 mg per 6,04 gram sedangkan menurut Yuniastuti (2007) dalam
Ishartani dkk (2014) asam sianida yang terdapat pada koro yaitu dalam bentuk
glukosida sianogenik dengan kandungan antara 10-800 mg per 100 g bahan.
Jika dibandingkan antara praktikum dengan penelitian Ningtyas dkk (2014)
kandungan sianidanya yaitu 0,025 mg per gram dan 0,033 mg per gram
dengan 0,029 mg per gram, jadi untuk koro pedang pedang putih masih lebih
kecil dan koro pedang merah lebih besar, meskipun selisihnya hanya sedikit.
Jika dibandingkan dengan Yuniastuti (2007) dalam Ishartani dkk (2014) yang
kandungan sianidanya sekitar 0,01-8 mg per gram bahan, maka kedua koro
tersebut masih dalam range kadar sianidanya.
Terdapat berbagai macam metode untuk mengevaluasi kadar sianida
pada bahan antara lain: analisis asam sianida dilakukan dengan prinsip
argentometri metoda Volbard (Soetrisno dan Purawisasatra, 1992), Metode
Lian dan Hamir, metode piridine-pirazolone dan isotachoelectrophoreti,
metode alkali-pikrat Fukuba dan Mendosa (Marlina, 1996), metode
spektrofotometri (BSN, 2006) dan metode kolorimetri dengan cara hirolisis
(Murdiana dan Saidin, 2001). Menurut Marlina (1996) metode Lian dan
Hamir merupakan metodenya sederhana, waktu yang dibutuhkan relatif
singkat dan hasilnya lebih teliti dibanding metode lain. Selain itu, metode ini
tidak berbeda jauh dengan metode alkali-pikrat Fukuba dan Mendosa.
Analisis asam sianida dilakukan dengan metode destilasi uap menurut
AOAC (1984) dalam Putra (2009). Sebanyak 20 g contoh yang sudah
dihaluskan ditambahkan 100 ml aquades dalam labu Kjeldahl, dimaserasikan
2 jam. Ditambahkan 100 ml aquades kembali kemudian dilakukan destilasi
uap. Destilat ditampung dalam erlenmeyer yang telah diisi 20 ml NaOH 2.5%.
Setelah destilat mencapai 150 ml, destilasi dihentikan, ditambahkan 8 ml
NH4OH dan 5 ml KI 5%, kemudian dititrasi dengan AgNO3 0,02 N sampai
terjadi kekeruhan. Kadar HCN dihitung berdasarkan ketentuan 1 ml AgNO3
ekuivalen dengan 0,54 mg HCN.
Metode liebig adalah metode titrasi argentometri yang titik akhir
titrasinya menunjukan kekeruhan. Cara ini untuk menentukan sianida. Metode
penentuan kuantitatif karbon dan hidrogen senyawa organik. Hidrogen diubah
menjadi air dan karbon menjadi karbondioksida yang kemudian diserap dan
ditimbang. Metode uji tembaga asetat-benzidina asetat, pengujian ion sianida
berdasarkan reaksi redoks tembaga dengan adanya ion sianida. Warna yang
terbentuk dari reaksi redoks adalah biru (Pudjaatmaka, 1999).
Metode yang banyak digunakan untuk penentuan sianida adalah
spektrofotometri, titrimetri dan kromatografi. Metode spektrofotometri lebih
baik dibandingkan metode tersebut karena metode ini menggunakan instrumen
yang memiliki tingkat ketelitian yang tinggi sehingga hasil yang diperoleh
lebih akurat. Metode standar untuk mendeteksi kandungan sianida, seperti
spektrofotometri ultraviolet (UV) dan spektrofotometri sinar tampak (Visible)
dapat mendeteksi kandungan sianida dalam jumlah renik, namun metode
spektrofotometri baik UV dan Visible memerlukan keahlian khusus dalam
analisis, mahal, dan tidak bisa diaplikasikan di lapang. Metode tersebut juga
memiliki banyak kekurangan, seperti sifat karsinogenik dari benzidin, tidak
stabilnya pereaksi, pembentukan warna yang lambat pada metode piridin-p-
fenilendiamin, dan cepat pudarnya warna pada metode piridin asam barbiturat
(Kusumawardhani, 2015).
Menurut Harijono dkk (1998), beberapa alternatif metode pengolahan
yang biasa dilakukan oleh masyarakat adalah dengan perendaman dalam
larutan garam, perendaman dalam air, pemberian abu maupun dengan
perlakuan panas. Kondisi kyuring dapat mengoptimumkan kerja enzim β-
glukosidase endogenus untuk memecah glukosida sianogenik. Proses kyuring
biasanya berlangsung pada kondisi suhu dan kadar air terkontrol. Enzim β-
glukosidase dapat bekerja secara optimum pada suhu 40–50ºC. Apabila telah
terbentuk sianida bebas, maka nantinya akan lebih mudah dihilangkan karena
sifat sianida yang larut dalam air dan menguap bila terkena panas. Menurut
Murdiana dan Saidin (2001), kadar sianida dalam sayuran dapat dikurangi
dengan paling banyak dengan direbus (hingga 100%) dibanding dengan tumis
atau kukus (60-90%). Kadar sianida pada umbi dapat dikurangi lebih banyak
dengan cara diiris tipis lalu direbus.
Menurut Ningtyas dkk (2014) cara pengolahan kulup dapat
menurunkan kadar sianida lebih besar dibandingkan cara pengolahan yang
lain. Blancing atau kulup dalam bahasa Jawa atau kolop dalam bahasa Madura
adalah salah satu cara pengolahan bahan makanan jenis sayuran dengan cara
memasukkan sayuran ketika air sudah mendidih dan memasaknya dalam
waktu singkat, sekitar 1-5 menit tergantung jenis sayuran dan segera ditiriskan
dari air. Menurut Rukmana (1997), metode paling mujarab untuk mengurangi
kadar HCN sampai 85% adalah menumbuk kemudian mengeringkan ubi
tersebut.

E. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari Praktikum Evaluasi Gizi dalam
Pengolahan Pangan Acara II “Evaluasi Kadar Sianida Bahan Pangan” adalah
sebagai berikut :
1. Prinsip evaluasi kadar sianida dengan metode destilasi adalah memisahkan
dua atau lebih komponen yang memiliki perbedaan titik didih yng jauh.
Senyawa yang terdapat dalam campuran akan menguap saat mencapai titik
didih masing-masing. Sedangkan prinsip metode spektrofotometri adalah
berdasarkan penyerapan cahaya atau energi radiasi oleh suatu larutan.
Jumlah cahaya atau energi radiasi yang diserap memungkinkan
pengukuran jumlah dalam larutan secara kuantitatif.
2. Berdasarkan hasil praktikum, urutan kandungan HCN tertinggi hingga
terendah berturut-turut sebagai berikut, kacang merah (1893 ppm),
singkong mentah (1657 ppm), ubi jalar kukus (943 ppm), singkong kukus
(425 ppm), kacang tanah (325 ppm), kacang mete (229 ppm), kentang
mentah (161 ppm), kacang koro pedang putih perlakuan (150 ppm),
kentang kukus (143 ppm), kacang koro pedang merah mentah (132 ppm),
kacang koro pedang merah perlakukan (129 ppm), ubi jalar ungu mentah
(118 ppm) dan kacang koro pedang putih mentah (100 ppm).
3. Perlakuan berpengaruh terhadap kadar sianida bahan pangan pada sampel
kentang, singkong dan kacang koro pedang merah mengalami penurunan,
sedangkan pada sampel ubi jalar ungu dan kacang koro pedang putih
mengalami peningkatan.
DAFTAR PUSTAKA

Alma’arif, Ahmad Luthfi, A. Wijaya, dan D. Murwono. 2012. Penghilangan


Racun Asam Sianida (HCN) dalam Umbi Gadung dengan Menggunakan
Bahan Penyerap Abu. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri Vol. 1 No.1 p.
14-20.
Anbuselvi, S. dan T. Balumuragan. 2014. Phytochemical and Antinutrient
Constituents of Cassava and Sweet Potato. World Journal of Pharmacy
and Pharmaceutical Sciences. Volume 3, Issue 3, 1440-1449.
Audu, S.S. dan M.O. Aremu. 2011. Effect of Processing on Chemical
Composition of Red Kidney Bean (Phaseolus vulgaris L.) Flour. Pakistan
Journal of Nutrition 10 (11): 1069-1075, 2011.
Badan Standarisasi Nasional. 2006. Cara Uji Air Minum dalam Kemasan.
SNI 01-3354-2006.
BPOM. 2006. Racun Alami pada Tanaman Pangan.
http://www.pom.go.id/mobile/index.php/view/berita/157/RACUN-ALAMI-
PADA-TANAMAN-PANGAN.html diakses pada 05 Juni 2015 pukul 22.35
WIB.
Haque, M. Rezaul dan J. H. Bradbury. 2002. Total Cyanide Determination of
Plants and Foods Using The Picrate and Acid Hydrolysis Methods. Food
Chemistry 77 (2002) 107–114
Harijono; T. Agustriana Sari; dan E. Martati. 2008. Detoksifikasi Umbi Gadung
(Dioscorea hispida Dennst.) dengan Pemanasan Terbatas dalam
Pengolahan Tepung Gadung. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 9 No. 2
(Agustus 2008) 75-82.
Ishartani, Dwi; D. Rachmawanti dan T. Faizal. 2014. Pengaruh Variasi Perlakuan
Pendahuluan terhadap Karakteristik Gizi Senyawa Anti Gizi, dan Aktivitas
Antioksidan pada Koro Pedang Merah (Canavalia gladiata l.) Berkulit.
Jurnal Teknosains Pangan. Vol 3 No. 3 Juli 2014.
Kusumawardhani, Nury; H. Sulistyarti dan Atikah. 2015. Penentuan Panjang
Gelombang Maksimum dan pH Optimum dalam Pembuatan Tes Kit
Sianida Berdasarkan Pembentukan Hidrindantin. Kimia Student Journal,
Vol.1, No. 1, pp. 711 – 717.
Marlina, Nina. 1996. Analisis Sianida dalam Singkong dengan Metode Land and
Hamir yang Dimodifikasi. Balai Penelitian Ternak Bogor.
Murdiana, Ance dan S. Saidin. 2001. Kadar Sianida dalam Sayuran dan Umbi-
umbian di Daerah Ganggungan Akubat Kurang Yodium (GAKY). PGM
2001 24 :33-37.
Nahdhiyah, Nissa. 2011. Analisis Ion Sianida (CN-) dan Timbal (Pb2+) secara
Simultan dengan Metode Reverse Flow Injection Potentiometry. Skripsi.
Jurusan Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Jember. Jember.
Ningtyas, Farida Wahyu; A. H. Asdie, M. Julia dan Y. S. Prabandari. 2014.
Eksplorasi Kearifan Lokal Masyarakat dalam Mengonsumsi Pangan
Sumber Zar Goitrogenik terhadap Gangguan akibat Kekurangan Yodium.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 8. 7. 306-312.
Pritari, Aulia Ratu. 2013. Uji Larvasidal Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.)
terhadap Larva Aedes aegypti (dalam Pelarut n-Heksana, Kloroform dan
Metanol). Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Jember. Jember.
Pudjaatmaka, A. Hadyana. 1999. Kamus Kimia. Jakarta : Balai Pustaka.
Puspitaningrum, Dian Wahyuningtyas. 2013. Ekstraksi Emas dari Batuan
Menggunakan Metode Sianidasi dan Amalgamasi dengan Penambahan
Ketela Pohon. Skripsi. Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Jember. Jember
Putra, I Nengah Kencana. 2009. Efektifitas Berbagai Cara Pemasakan terhadap
Penurunan Kandungan Asam Sianida Berbagai Jenis Rebung Bambu.
Agrotekno Vol 15, Nomor 2, Agustus 2009 : 40- 42.
Rukmana, Rahmat. 1997. Ubi Kayu : Budi Daya dan Pascapanen. Yogyakarta :
Penerbit Kanisius.
Soetrisno, Uken S. dan S. Purawisastra. 1992. Pengaruh Pengukusan terhadap
Kandungan Asam Sianida dalam Beberapa Bahan Makanan. PGM 1992 15
: 177-120.
Suciati, Andi. 2012. Pengaruh Lama Perendaman dan Fermentasi terhadap
Kandungan HCN pada Tempe Kacang Koro (Canavalia ensiformis L).
Skripsi. Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Jurusan Teknologi
Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin. Makassar.
Tefera, T., Ameha, K. dan Biruhtesfa, 2014. A Cassava Based Foods: Microbial
Fermentation by Single Starter Culture Towards Cyanide Reduction,
Protein Enhancement and Palatability. International Food Research
Journal 21(5): 1751-1756 (2014).
Wahjuningsih, Sri Budi dan Wyati Saddewisasi. 2013. Pemanfaatan Koro Pedang
pada Aplikasi Produk Pangan dan Analisis Ekonominya. Riptek Vol. 7,
No. 2, Tahun 2013, Hal. 1-10.

Anda mungkin juga menyukai