Anda di halaman 1dari 9

INTEGRASI KEBUDAYAAN (REVISI)

diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Antropologi

PAPER

Kelas B
Dosen Pengampu:
Drs. Marjono, M. Hum
NIP 196004221988021001

Oleh:
Anandia Febrianti D. P. 170210302070
Puji Rizki Irani 170210302074
Imamatus Sholehah 170210302075

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULITAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
INTEGRASI KEBUDAYAAN

1. Hakikat dan Konsep Integrasi Kebudayaan


Secara arti kata Integrasi berasal dari bahasa inggris "integration" yang berarti
kesempurnaan atau keseluruhan. Secara konsep integrasi memiliki makna membuat
semua perbedaan menjadi satu bagian yang utuh dan tidak mengakibatkan hilangnya
identitas dari masing-masing kelompok. (Meinarno dll, 2011:77). Sedangkan
Integrasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata Integrasi mempunyai
arti pembauran atau penyatuan sehingga menjadi kesatuan yang utuh dan bulat.
Integrasi memiliki dua pengertian, yaitu: 1) Pengendalian terhadap konflik dan
penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu dan 2) Membuat suatu
keseluruhan dan menyatukan unsur-unsur tertentu. Merujuk pada pengertian kedua,
maka mengintegrasikan berarti menyatukan unsur-unsur yang ada dalam berbagai
bidang kehidupan termasuk kebudayaan (dalam buku Winarno, 2016: 23).
Kebudayaan menurut Edward Burnett Taylor dalam buku Liliweri (2014:04)
merupakan kumpulan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum,
moral, adat istiadat dan setiap kemampuan lain atau kebiasaan yang diperoleh oleh
manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan Koentjaraningrat mendefinisikan
kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara
belajar. Selanjutnya Herskovits memandang kebudayaan sebagai bagian dari
lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia dari generasi ke generasi (dalam
buku Sulasman & Gumilar, 2013:18-19).
Jadi dapat disimpulkan hakikat Integrasi Kebudayaan adalah penyesuaian
diantara unsur-unsur kebudayaan yang saling berbeda sehingga mencapai keserasian
fungsi dalam kehidupan masyarakat. Integrasi kebudayaan merupakan suatu keadaan
di mana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap
kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan
mereka masing-masing demi melestarian budaya tersebut agar tidak punah.

1
2. Integrasi Kebudayaan Ditinjau dalam Unsur-Unsur Kebudayaan
Integrasi kebudayaan merupakan faktor penting dalam penyesuaian unsur-
unsur kebudayaan yang berbeda sehingga mencapai keserasian fungsi dalam
masyarakat. Jadi dapat dikatakan unsur-unsur kebudayaan yang terbentuk merupakan
salah satu indikator dalam integrasi kebudayaan. Berikut diuraikan integrasi
kebudayaan jika ditinjau dalam unsur-unsur kebudayaannya menurut Purwowibowo
(1990:49):
2.1 Unsur Bahasa
Indonesia merupakan negara dengan bahasa sangat beragam yang berasal dari
berbagai macam suku dengan kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda. Perbedaan
bahasa ini adalah salah satu unsur penting dalam terjadinya integrasi kebudayaan.
Perbedaan bahasa tidak selayaknya menjadi hambatan dalam proses terjadinya
integrasi kebudayaan, bahkan hal ini bisa menjadi salah satu kekuatan terbesar bagi
suatu bangsa itu sendiri.
2.2 Unsur Peralatan Hidup dan Teknologi
Unsur kedua yang penting dalam terjadinya integrasi kebudayaan adalah
unsur peralatan hidup dan teknologi. Unsur ini sangat esensial karena dimanapun
manusia berada dan dimanapun manusia itu berpindah atau bergesekan dengan
budaya-budaya baru, peralatan hidup dan teknologi juga akan mengalami beberapa
penyesuaian yang memang cocok dan sesuai dengan kondisi di lingkungan yang baru.
2.3 Unsur Ekonomi dan Pencaharian Hidup
Unsur ekonomi dan pencaharian hidup bisa dilihat dari apa yang telah
diimplemetasikan etnis Tionghoa di Indonesia dengan caranya “berhitung” atau
mencari sumber pencaharian hidup. Terkadang integrasi kebudayaan tidak terlihat
secara kasat mata dan harus benar-benar diperhatikan baru kemudian dapat dipahami
(Purwowibowo,1990:49).
2.4 Unsur Kemasyarakatan dan Organisasi Sosial
Unsur kemasyarakatan dan organisasi sosial dari sebuah integrasi kebudayaan
dapat dilihat apabila ada gesekan pada suatu perusahaan yang membangun pabrik di

2
lingkungan warga desa. Hal ini dapat mempengaruhi bagaimana budaya masyarakat
maupun organisasi sosial yang ada sebelum dan setelah adanya pembangunan pabrik
tersebut. Kedua belah pihak harus secara langsung atau tidak langsung menyesuaikan
diri untuk hidup berdampingan dengan fungsinya masing-masing.
2.5 Unsur Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan dalam hal ini adalah wawasan yang luas dan kunci
terpenting dalam terbentuknya integrasi kebudayaan. Tanpa wawasan yang luas,
manusia tidak akan pernah mengerti atau memahami bagaimana berinteraksi dengan
kelompok-kelompok yang berbeda nilai, adat isitadat, kepercayaan dan juga
kebiasaannya. Wawasan luaslah yang nantinya akan membantu manusia untuk saling
toleransi dan mulai menyesuaikan diri tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya yang
ada di dalam masyarakat itu sendiri (Purwowibowo,1990:49).
2.6 Unsur Kepercayaan dan Agama
Unsur kepercayaan dan agama juga menjadi salah satu kaitan penting dalam
integrasi kebudayaan. Khususnya pada negara Indonesia yang kental dan diliputi oleh
segala jenis budaya, keagaman dan kepercayaan. Integrasi kebudayaan diperlukan
terkait penyatuan berbagai macam perbedaan menjadi satu kesatuan yang utuh dan
tidak mengakibatkan hilangnya salah satu unsur kepercayaan dan agama.
2.7 Unsur Kesenian
Suatu masyarakat sering sekali memadukan kesenian satu dengan kesenian
yang lain. Hal ini dilakukan atas dasar keindahan, dimana masyarakat harus mampu
mengatasi penyatuan dua kesenian tersebut dengan menyikapinya sebaik mungkin
higga terbentuk integrasi kebudayaan yang ada. Hal ini dilakukan agar tidak
menghilangkan salah satu jenis kesenian melainkan menjadi satu kesatuan yang utuh
(Purwowibowo,1990:50).

3
3. Konsep Menganalisa Masalah Integrasi Kebudayaan (Metode Holistik)
Kondisi global yang semakin berkembang pesat saat ini menimbulkan
gesekan di berbagai bidang kehidupan termasuk bidang kebudayaan. Secara umum
masyarakat Indonesia seringkali dianggap mulai kehilangan identitas diri. Dengan
kata lain, masyarakat dihadapkan pada “Dilema Budaya” dimana satu sisi pola
kebudayaan yang ada masih tetap melekat dalam tata kehidupan bermasyarakat,
sementara dilain pihak masyarakat dihadapkan pada semakin derasnya arus budaya
luar. Krisis multi-dimensi yang menimpa Indonesia sebenarnya merupakan salah satu
bentuk dari krisis budaya sebagai dampak dari perubahan tata guna global (Suminar
dll, 2003:01).
Beranjak dari permasalahannya tersebut, seorang antropologi juga bertugas
menganalisa kebudayaan untuk memahami kaitannya antara tiap unsur dan melihat
kaitan antara setiap unsur kecil itu dengan keseluruhannya. Para ahli antropologi
biasanya memakai istilah “holistik” untuk menggambarkan metode tinjauan yang
mendekati suatu kebudayaan itu sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi. Ilmu
antropologi telah mengembangkan beberapa konsep yang dapat dipakai untuk
memahami berbagai macam kaitan antara bagian unsur kecil dalam suatu kebudayaan
itu. Barulah Tahun 1920 masalah integrasi menjadi bahan diskusi dalam teori. Hal itu
menimbulkan beberapa konsep untuk menganalisa masalah integrasi kebudayaan,
yaitu pikiran kolektif, fungsi unsur-unsur kebudayaan, fokus kebudayaan, etos
kebudayaan dan kepribadian umum (Koentjaraningrat, 2002:210).
3.1 Pikiran Kolektif
Menurut Durkheim suatu gagasan yang sudah dimiliki oleh sebagian besar
warga masyarakat bukan lagi berupa satu gagasan tunggal mengenai suatu hal yang
khas, melainkan sudah berkaitan dengan gagasan lain yang sejenis menjadi suatu
kompleks gagasan-gagasan, sehingga digunakan istilah re-presentations collectives
dalam bentuk jamak.

4
Namun dalam perkembangannya, terdapat istilah khusus untuk
menerjemahkan istilah Durkheim yang bentuk jamak, yaitu istilah”pikiran kolektif”,
sebab istilah “pikiran” lebih luas sifatnya dari istilah “gagasan”. Ia juga mengajukan
suatu ciri penting dari soal “pikiran kolektif” tersebut, yaitu apabila suatu kompleks
pikiran kolektif sudah terbentuk, maka seluruh komplek itu berada di luar dari si
individu (Koentjaraningrat, 2002:210).
Hal itu disebabkan karena keseluruhan pikiran kolektif serta gagasan-gagasan
yang merupakan unsur-unsurnya itu akan tersimpan dalam bahasa, walaupun
individu-individu yang mengembangkannya sudah meninggal, keseluruhan itu tetap
dimiliki oleh angkatan yang telah meninggal itu. Kecuali di luar individu, menurut
Durkheim representations collectives itu juga ada di atas warga masyarakat atau dapat
dikatakan bahwa representation itu menjadi pedoman bagi tingkah laku atau tindakan
para warga masyarakat (Koentjaraningrat, 2002:210).
3.2 Fungsi Unsur-Unsur Kebudayaan
Menurut M.E. Spiro dalam karangan ilmiahnya yang dikutip dalam buku
Koentjaraningrat (2002:213) ada tiga cara pemakaian kata fungsi itu, ialah:
3.2.1 Pemakaian yang menerangkan fungsi itu sebagai hubungan guna antara
sesuatu hal dengan sesuatu tujuan yang tertentu. Misalnya mobil mempunyai
fungsi sebagai alat untuk mentranspor manusia atau barang dari satu tempat
ke tempat lain;
3.2.2 Pemakaian yang menerangkan kaitan korelasi antara satu hal dengan hal yang
lain. Misalnya jika nilai dari satu hal X itu berubah, maka nilai dari suatu hal
lain yang ditentukan oleh X tadi juga berubah;
3.2.3 Pemakaian yang menerangkan hubungan yang terjadi antara satu hal dengan
hal-hal lain dalam suatu sistem yang terintegrasi. Misalnya suatu bagian dari
suatu organisma yang berubah, menyebabkan perubahan dari berbagai bagian
lain dan sering menyebabkan perubahan dalam seuruh organisma.

5
Arti pertama kecuali dalam bahasa ilmiah merupakan salah satu arti dalam
bahasa sehari-hari; arti kedua sangat penting dalam ilmu pasti tetapi juga mempunyai
arti dalam ilmu-ilmu sosial, antara lain dalam ilmu antropologi; sedangkan dalam arti
ketiga terkandung kesadaran para sarjana antropologi akan integrasi kebudayaan itu.
Pada tahun 1925 timbul kesadaran akan metode untuk memandang suatu kebudayaan
yang hidup sebagai suatu sistem yang terintegrasi (Koentjaraningrat, 2002:213).
3.3 Fokus Kebudayaan
Banyak kebudayaan mempunyai suatu unsur kebudayaan atau beberapa
pranata tertentu yang merupakan suatu unsur pusat dalam kebudayaan. Hal ini
digemari oleh sebagian besar dari warga masyarakat sehingga banyak aktivitas atau
pranata lain dalam kehidupan masyarakat. Seorang antropologi Amerika bernama R.
Linton mengemukakan bahwa suatu kompleks unsur-unsur kebudayaan yang tampak
digemari warga masyarakatnya atau tampak seolah-olah mendominasi seluruh
kehidupan masyarakat yang bersangkutan disebut cultural interest atau social interest.
Contoh unsur-unsur kebudayaan yang dominan misalnya kesenian dalam
masyarakat orang Bali, gerakan kebatinan dan mistik dalam kebudayaan golongan
pegawai negeri atau priyayi di Jawa Tengah, peperangan antara federasi kelompok-
kelompok kekerabatan dalam masyarakat suku bangsa Dani di Lembah Besar Baliem
di Pegunungan Jayawijaya di Irian Jaya atau kula dalam masyarakat penduduk
Trobriand (Koentjaraningrat, 2002:216).
3.4 Etos Kebudayaan
Suatu kebudayaan sering memancarkan keluar suatu watak khas tertentu yang
tampak dari luar, artinya yang kelihatan orang asing. Dalam ilmu antropologi watak
khas tersebut disebut ethos, yang mana sering tampak pada gaya tingkah laku warga
masyarakat, kegemaran-kegemaran mereka, dan berbagai benda budaya hasil karya
mereka. Misalnya seorang Batak mengamati kebudayaan Jawa, sebagai orang asing
yang tidak mengenal kebudayaan Jawa dari dalam dapat mengatakan bahwa watak
khas kebudayaan Jawa memancarkan keselarasan, kesuaman, ketenangan berlebih-
lebihan sehingga sering menjadi kelambanan (Koentjaraningrat, 2002:217).

6
3.5 Kepribadian Umum
Metode lain yang pernah dikembangkan oleh para ahli antropologi untuk
melukiskan suatu kebudayaan secara holistik terintegrasi adalah dengan memusatkan
perhatian terhadap “kepribadian umum” yang dominan dalam keudayaan itu, artinya
perhatian terhadap kepribadian atau watak yang ada pada sebagian besar dari individu
yang hidup dalam kebudayaan yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 2002:220).

4. Contoh Integrasi Kebudayaan


4.1 Terjadinya Perkawinan Campuran antar Suku
Manusia sebagai makhluk berbudaya mengenal adat istiadat perkawinan yang
dipatuhi dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan suatu perkawinan. Adat
istiadat perkawianan dalam suatu masyarkat berfungsi sebagai pedoman tingkah laku
dalam melaksanakan upacara perkawinan. Setiap upacara perkawinan itu begitu
penting baik bagi yang bersangkutan maupun bagi anggota kekerabatan kedua belah
pihak pengantin. Sehingga dalam proses pelaksanaannya harus memperhatikan
serangkaian aturan atau tata cara biasanya sudah ditentukan secara adat yang
berdasarkan kepada hukum-hukum agama (Mahrudin,2013:134-135).
Integrasi dalam upacara pernikahan antara kedua suku terjadi pada saat ijab
qabul, jika mempelai laki-laki berasal dari suku bajo dan mempelai wanita dari suku
Buton maka mempelai pria mengucapkan ijab qabul menggunakan bahasa
wolio/Buton. Hal ini juga berlaku sebaliknya tetapi ini semua masih tergantung dari
sang penghulu dalam pernikahan.
Pernikahan antara suku Bajo dan Suku buton di kecamatan Talaga Raya
memang sudah banyak berlangsung. Sehingga hampir tidak bisa lagi dibedakan satu
sama lain karena kebudayaan mereka sudah terintegrasi dengan penduduk setempat.
Apabila integrasi kebudayaan sudah terwujud dengan baik maka sikap dan sifat
sukuisme akan hilang. Hal ini akan menyebabkan seluruh lapisan masyarakat akan
mendukung, loyal, dan bangga terhadap kebudayaan setempat. Mereka tidak akan
melihat lagi darimana datangnya unsur budaya tersebut (Mahrudin,2013:135).

7
DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Liliweri, A. 2014. Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung: Nusa Media.

Mahrudin. 2013. Integrasi Sosial dan Budaya antar Suku Pengembara Laut dan
Masyarakat Pesisir Suku Buton. Al-Izzah 08 (01) :125-142.

Meinarno, E. A., B. Widianto, & R. Halida. 2011. Manusia dalam Kebudayaan dan
Masyarakat. Jakarta: Salemba Humanika.

Purwowibowo. 1990. Diktat Kuliah: Pengantar Ilmu Antropologi Sosial Budaya.


Jember: UPT Percetakan dan Penerbitan UNEJ.

Sulasman., & S. Gumilar. 2013. Teori-Teori Kebudayaan. Bandug: CV Pustaka Setia.

Suminar, dll. 2003. Integrasi dan Disintegrasi dalam Perspektif Budaya. Jakarta:
Bupara Nugraha.

Winarno. 2016. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Bumi


Aksara.

Anda mungkin juga menyukai