Anda di halaman 1dari 53

Mata Kuliah : Arsitektur Tradisional dan Vernakular

Dosen :

ARSITEKTUR TRADISIONAL DAN VERNAKULAR


(PROVINSI SULAWESI TENGAH)

DISUSUN OLEH :

RUSDIANSYAH RUSTAM 60100111076

TEKNIK ARSITEKTUR
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2014

1
DAFTAR ISI

A. Pengertian Arsitektur Tradisional .................................................. 4


a. Pengertian Arsitektur Tradisional Menurut Para Ahli .......................
b. Arsitektur Tradisional Daerah ..........................................................
1. Souraja ................................................................................... 7
2. Tambi ( Rumah Adat Suku Lore ) ........................................... 9
3. Gampiri (Lumbung) ............................................................... 11
4. Baruga (bantaya) .................................................................. 11
5. Lobo (Rumah Adat Suku Kulawi) .......................................... 12
B. Arsitektur Tradisional Provinsi Sulawesi Tengah ...................... 18
a. Letak Geografis dan Lokasi Provinsi Sulawesi Tengah ............. 18
1. Kaili Suku Asli Sulawesi Tengah ........................................... 21
b. Penduduk Provinsi Sulawesi Tengah .......................................... 22
c. Latar Belakang Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah ............ 25
1. Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah ............................... 25
2. Ciri Budaya ........................................................................... 26
3. Tari ........................................................................................ 27
4. Bahasa Daerah ..................................................................... 27
5. Pakaian Daerah .................................................................... 27
6. Rumah Adat .......................................................................... 28
7. Senjata Tradisional ............................................................... 28
8. Perkawinan ........................................................................... 28
9. Upacara Adat ........................................................................ 29
d. Pola Perkampungan ................................................................... 29
C. Arsitektur Tradisionnal Prov.Sulawesi Tengah Sulawesi Tengah
Suku Kaili ....................................................................................... 31
a. Identifikasi Rumah Masyarakat Biasa ........................................ 33
b. Cara Mendirikan ......................................................................... 33
c. Persiapan Upacara .................................................................... 36
d. Teknik dan cara Konsruksi ......................................................... 38

2
Daftar Gambar

Gambar 1 Rumah Adat Souraja ............................................................... 7


Gambar 2 Peta Administrasi Provinsi Sulawessi Tengah ...................... 19
Gambar 3 Pondasi ................................................................................. 40
Gambar 4 Tiang/Kolom .......................................................................... 40
Gambar 5 Lantai .................................................................................... 41
Gambar 6 Dinding .................................................................................. 41
Gambar 7 Tangga .................................................................................. 42
Gambar 8 Atap ....................................................................................... 42
Gambaar 9 Denah ................................................................................. 43
Gambar 10 Sambungan ......................................................................... 43
Gambar 11 Sambungan Pen ................................................................. 44
Gambar 12 Tampak Depan .................................................................... 44

3
A. Pengertian Arsitektur Tradisional
a. Pengertian Arsitektur Tradisional Menurut Para Ahli
“Arsitektur tradisional adalah karya dari pewarisan
/penerusan norma-norma adat istiadat atau pewarisan budaya
yang turun temurun dari generasi ke generasi. Arsitektur
tradisional sebagai bagian dari kebudayaan kelahirannya
dilatarbelakangi oleh norma-norma agama, adat kebiasaan
setempat dan dilandasi oleh keadaan alam setempat. Karena
berbudayalah cenderung setiap saat kita mengadakan
pembaharuan - pembaharuan yang sering disebut modernisasi.
Kebudayaan melatar belakangi setiap masalah dan sering
menimbulkan dilema antara tradisi yang cenderung bertahan dan
modernisasi yang cenderung merombak dengan membawa nilai-
nilai baru.
Menurut Amos Rapoport (1960), Arsitektur tradisional
merupakan bentukan arsitektur yang diturunkan dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Mempelajari bangunan tradisional berarti
mempelajari tradisi masyarakat yang lebih dari sekadar tradisi
membangun secara fisik. Masyarakat tradisional terikat dengan
adat yang menjadi konsesi dalam hidup bersama.
Istilah arsitektur tradisional dan arsitektur vernakular sangat
sering digunakan dalam ranah arsitektur. Kedua istilah ini acap
kali muncul ketika dikaitkan dengan konsep dan desain yang
bersentuhan dengan aspek budaya, genius lokal, dengan rentang
waktu (lifetime) dan sebagainya. Meski keduanya memiliki akar
makna yang tidak jauh berbeda, ada hal hal prinsip yang dapat
diungkapkan agar jelas terlihat perbedaannya sehingga lebih
mudah untuk dipahami dengan mengedepankan contoh
perbedaan dalam bentuk studi kasus.

4
Kata tradisi berasal dari bahasa Latin traditionem, dari
traditio yang berarti "serah terima, memberikan, estafet", dan
digunakan dalam berbagai cara berupa kepercayaan atau
kebiasaan yang diajarkan atau ditularkan dari satu generasi ke
generasi berikutnya, biasanya disampaikan secara lisan dan turun
temurun. Sebagai contoh adalah tradisi kegiatan masyarakat di
Indonesia saat perayaan peringatan hari kemerdekaan RI di setiap
tanggal 17 Agustus. Masyarakat Indonesia kerap
menyelenggarakan perlombaan-perlombaan, tumpengan dan
berbagai kegiatan unik lainnya. Kegiatan semacam ini tidak
diketahui kapan dimulainya dan siapa yang memulainya. Namun
demikian, kegiatan ini telah berlangsung sekian lama secara
berulang-ulang sehingga masyarakat menjadikan kegiatan
tersebut perlu dan harus dilakukan. Inilah yang bisa disebut
sebagai tradisi. Demikian pula kegiatan-kegiatan yang
mengatasnamakan aktivitas-aktivitas keagamaan.
Tradisi adalah sebuah praktek, kebiasaan, atau cerita yang
dihafalkan dan diwariskan dari generasi ke generasi, awalnya
tanpa memerlukan sebuah sistem tulisan. Tradisi sering dianggap
menjadi kuno; dianggap sangat penting untuk dijaga. Namun
demikian ada juga beberapa tradisi yang memang sengaja
diciptakan demi mencapai tujuan-tujuan tertentu; sebagai alat
untuk memperkuat kepentingan atas kalangan tertentu dan lain
sebagainya. Tradisi semacam itu ternyata dapat diubah sesuai
dengan kebutuhan saat itu dan perubahan itu masih bisa diterima
sebagai bagian dari tradisi kuno. Sebagai contoh yang termasuk
"penemuan tradisi" di Indonesia adalah pada masa pendudukan
kolonial Belanda, mereka membutuhkan pengakuan kekuasaan di
wilayah mereka berada sehingga usaha terbaik yang harus
mereka lakukan adalah dengan menciptakan sebuah "tradisi"
yang bisa mereka gunakan sebagai alat untuk melegitimasikan

5
posisi mereka sendiri. Dalam hal ini mereka memanfaatkan
keberadaan seorang raja sebagai alat untuk mempersatukan
rakyat dibawahnya agar tetap loyal dan hormat pada sang raja
sehingga mudah dikendalikan oleh sang raja dan tentu saja oleh
pendudukan kolonial yang menguasai sang raja. Dengan demikian
kekuasaan kolonial secara tidak langsung akan menyerap ke
dalam tradisi rakyat setempat.
Dalam tataran teoritis, tradisi dapat dipandang sebagai
informasi atau terdiri atas informasi. Informasi yang dibawa dari
masa lalu ke masa kini dan dalam konteks sosial tertentu.
Sehingga informasi ini bisa dianggap sebagai bagian yang paling
mendasar meski secara fisik ada tindakan- tindakan atau aktifitas
tertentu yang secara terus menerus juga dilakukan pengulangan-
pengulangan sepanjang waktu. Dengan demikian Tradisi adalah
sebuah kegiatan yang dilakukan secara terus menerus atau
sebuah kebudayaan atau sebuah hasil karya yang dianggap
berhasil dan memiliki legitimasi dalam kurun waktu yang cukup
panjang dan bahkan sangat panjang (lama) yang diikuti oleh
generasi generasi berikutnya secara turun temurun.
Arsitektur vernakular pada cara –cara mendesain dan
mendirikan bangunan dilakukan dengan efektif dan efisien
ditemukan melalui sistem trial and error.
Jadi, arsitektur tradisional adalah arsitektur yang dibuat
dengan cara yang sama secara turun temurun dengan sedikit atau
tanpa adanya perubahan-perubahan yang signifikan pada
bangunan tersebut.
Arsitektur tradisional adalah suatu bangunan yang
bentuk,struktur ,fungsi,ragam hias dan cara pembuatannya
diwariskan secara turun temurun serta dapat di pakai untuk
melakukan aktivitas kehidupan dengan sebaik-baiknya. Dalam
rumusan arsitektur dilihat sebagai suatu bangunan, yang

6
selanjutnya dapat berarti sebagai suatu yang aman dari pengaruh
alam seperti hujan, panas dan lain sebagainya. Suatu bangunan
sebagai suatu hasil ciptaan manusia agar terlindung dari pengaruh
alam, dapatlah dilihat beberapa komponen yang menjadikan
bangunan itu sebagai tempat untuk dapat melakukan aktivitas
kehidupan dengan sebaik-baiknya. Adapun komponen-komponen
tersebut adalah : bentuk, struktur , fungsi, ragam hias serta cara
pembuatan yang diwariskan secara turun temurun. Selain
komponen tersebut yang merupakan faktor utama untuk melihat
suatu arsitektur tradisional, maka dalam inventarisasi dan
dokumentasi ini hendaknya setiap bangunan itu harus merupakan
tempat yang dapat dipakai untuk melakukan aktivitas kehidupan
dengan sebaik-baiknya. Dengan memberikan pengertian ini, maka
arsitektur tradisional dapat pula dikategorikan berdasarkan kepada
aktivitas yang ditampungnya.

b. Arsitektur Tradisional Daerah

Gambar 1
Rumah Adat Souraja
Daerah Sulawesi Tengah memiliki berbagai bentuk arsitektur
tradisional dan teknik pembuatannya beraneka ragam yang
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dan letak geografisnya,yaitu

7
1. Souraja
Souraja merupakan rumah tradisional tempat tinggal para
bangsawan, yang berdiam di pantai atau di kota. Kata Souraja
dapat diartikan rumah besar, merupakan rumah kediaman
tidak resmi dari manggan atau raja beserta keluarga-
keluarganya. Rumah orang biasa atau rakyat kebanyakan
meskipun bentuk dan ukurannya sama dengan souraja.
Bangunan Souraja berbentuk rumah panggung yang
ditopang sejumlah tiang kayu balok persegi empat dari kayu
keras seperti kayu ulin, bayan, atau sejenisnya. Atapnya
berbentuk piramide segitiga, bagian depan dan belakang
atapnya ditutup dengan papan yang dihiasi dengan ukiran
disebut panapiri dan pada ujung bubungan bagian depan dan
belakang diletakkan mahkota berukir disebut bangko-bangko.
Seluruh bahan bangunan mulai dari lantai, dinding balok-balok
terbagi atas tiga ruangan,yaitu: Ruang depan disebut lonta
karawana yang dibiarkan kosong, berfungsi untuk menerima
tamu. Dahulu sebelum ada meja kursi, di ruangan ini
dibentangkan tikar atau onysa. Ruangan ini juga untuk tempat
tidur tamu yang menginap. Ruangan kedua adalah ruang
tengah, disebut lonta tata ugana diperuntukkan bagi tamu
keluarga serta lonta rorana yaitu ruang belakang, berfungsi
sebagai ruang makan, tapi kadang-kadang ruang makan
berada di lonta tatangana. Antara dinding dan dibuat kamar-
kamar tidur. Khusus untuk kamar tidur perempuan atau anak-
anak gadis biasanya ditempatkan di pojok belakang lonta
rorana, maksudnya agar mudah diawasi oleh orang tua. Untuk
tamu perempuan dan para kenalan dekat diterima di ruang
makan. Ruang dapur, sumur dan jamban dibuatkan bangunan
tambahan atau ruangan lain di bagian belakang rumah induk.
Untuk menghubungkan rumah induk dengan dapur atau urang

8
avu dibuatkan jembatan beratap disebut hambate atau bahasa
bugis Jongke. Di bagian ini kadang-kadang
dibuatkan pekuntu yakni ruangan terbuka untuk berangin-
angin anggota keluarga. Di kolong dapur diberi pagar
sekeliling, sedangkan di bawah rumah induk dibiarkan terbuka
dan kadang-kadang menjadi ruang kerja untuk pertukangan,
atau keperluan-keperluan lainnya. Sedangkan loteng rumah
dipergunakan untuk menyimpan benda-benda pusaka dan
lain-lain.
Secara keseluruhan, bangunan Souraja cukup unik dan
artistik lebih-lebih bila dilihat dari hiasannya berupa kaligradi
huruf Arab tertampang pada jelusi-jelusi pintu atau jendela,
atau ukiran pada dinding, loteng, dibagian lonta-karavana,
pinggiran cucuran atap, papanini, bangko-bangko dengan
motif bunga-bungaan dan daun-daunan. Semua hiasan
tersebut melambangkan kesuburan, kemuliaan, keramah-
tamahan dan kesejahteraan bagi penghuninya.

2. Tambi (Rumah Adat Suku Lore)


Rumah tempat tinggal penduduk disebut tambi, yang
merupakan tempat tinggal untuk segala lapisan masyarakat.
Yang membedakan rumah sebagai tempat tinggal kalangan
bangsawan dengan rakyat biasa terletak pada bubungan
rumah, yang mana pada bubungan rumah para bangsawan
dipasang simbol kepala kerbau, sedangkan pada rumah
rakyat biasa tidak dipasang simbol tersebut.
Rumah Tambi merupakan rumah di atas tiang yang
terbuat dari kayu bonati. Bentuk rumah ini segi empat dan
atapnya berbentuk piramida terbuat dari daun rumbia atau
ijuk. Ukurannya tergantung dari kemampuan masing-masing
pemiliknya. Ruangan utama (lobona) dari rumah ini tidak

9
dibagi atas kamar-kamar, hanya di tengahnya terdapat dapur
(rapu) yang dilengkapi dengan tungku tempat memasak. Di
sekeliling dinding rumah dibuat asari atau para-para yang
memanjang sekeliling ruangan utama. Pintu rumah berbentuk
empat persegi yang menghadap ke depan. Pada daun pintu
diukir dengan motif kepala kerbau. Tangga rumah terbuat dari
kayu keras yang bulat dan ditakik. Jumlah anak tangga antara
3-5 buah, tergantung dari tinggi rendahnya rumah tersebut.
Ruang utama berfungsi sebagai ruang tamu di kalangan
keluarga, sedangkan para-para (asari) berfungsi serba guna.
Selain dipergunakan sebagai tempat tidur yang diberi
pembatas, dapat pula berfungsi sebagai tempat untuk
menyimpan harta benda, benda-benda pusaka, atau barang-
barang berharga lainnya. Rumah ini tidak berkamar, para
penghuninya biasa tidur di ruang tengah dengan
menggunakan tempat tidur terbuat dari kulit kayu (nunu).
Pada bangunan-bangunan tradisional dihias dengan
berbagai bentuk ragam hias yang menggunakan motif-motif
tertentu, terutama motif fauna dan flora. Ragam hias dengan
motif fauna terdiri daripebaula (berbentuk kepala dan tanduk
kerbau) dan bati (ukiran kepala kerbau, ayam, atau babi).
Ragam hias ini tidak diukir seperti benda-benda ukiran biasa,
tetapi hanya dipahat sampai halus dan rapi. Ukiran kerbau
merupakan simbol kekayaan pemilik rumah, sedangkan
ragam hias babi melambangkan kekayaan, kesuburan dan
kesejahteraan pemilik rumah.
Warna yang digunakan dalam ragam hias ini disesuaikan
dengan warna asli kayu yang diukir. Misalnya warna untuk
ragam hias bati adalah kuning muda, sesuai dengan warna
kayu yang digunakan. Dengan demikian ada bermacam-
macam warna untuk menghias rumah, antara lain hitam,

10
kuning muda, atau cokelat. Sedangkan ragam hias dengan
motif flora (pompeninie) merupakan sobekan-sobekan kain
yang dibuat dari kulit kayu. Kain Yang berwarna-warni
tersebut diikat dengan rotan, sehingga terangkai menjadi
suatu bentuk ragam hias, yang maksudnya agar penghuni
rumah terhindar dari segala gangguan roh-roh jahat.
Umumnya bentuk bunga yang sering dibuat sebagai ragam
hias rumah. Warna ragam hias ini bermacam-macam,
biasanya berwarna merah, putih, kuning, hitam, biru, atau
hijau.
Arah menghadap Tambi adalah utara-selatan, jadi tidak
boleh menghadap atau membelakangi matahari. Tambi juga
memiliki bangunan tambahan yang tidak dapat dipisahkan,
yaitu Buho (di Kabupaten Donggala disebut Gampiri),
bangunan berbentuk trapezium yang berada pada masyarakat
Lore, yang terdiri dari dua lantai. Lantai bawah berfungsi
sebagai tempat musyawarah atau menerima tamu, sedang
lantai atas digunakan sebagai lumbung padi.
Letak Buho adalah didepan Tambi sebagai bangunan
induk karena Buho adalah tempat menerima tamu. Bangunan
lainnya yang sangat sederhana disebut Pointua, yaitu tempat
menumbuk padi, dimana terdapat lesung yang
disebut iso berbentuk segi emapt panjang bertiang 4 buah dan
kadang-kadang terdapat pula lesung bundar yang disebut iso
busa.

3. Gampiri (Lumbung)
Gampiri (Lumbung) adalah tempat penyimpanan padi atau
hasil pertanian lainnya atau sebagai tempat penyimpanan
barang-barang yang sangat berharga yang dimiliki oleh
keluarga secara turun-menurun. Model bangunan yang

11
tradisional khas Suku Kaili dan salah satu bangunan tua
peninggalan sejarah Suku Kaili. Bangunan ini terletak di
Kecamatan Palu Barat.

4. Baruga (bantaya)
Bentuk bangunan Baruga / Bantaya adalah biasa saja,
bangunan ini hanyalah sebuah rumah panggung yang
panjang. Ruangannya terbuka tanpa kamar, punya pintu dan
tangga di bagian depan samping kiri dan samping kanan atau
sering juga dibagian belakang. Dinding setinggi pinggang,
lantainya rata. Konstruksi bangunan sama saja dengan
rumah-rumah kampung yang ada sekarang tanpa dapur.
Ditinjau dari segi bangunan, disepanjang sejarah Baruga
bukanlah tempat dilaksanakannya upacara adat, sebaiknya
hanya merupakan bangunan yang berfungsi sosial. Istilah
"baruga" hanya dikenal didaerah suku Pamona, sedang
didaerah lain dikenal dengan nama Bantaya. Ada dua
macam bantaya dilihat dari sifatnya, yaitu:
- Yang bersifat sementara: didirikan disaat keluarga
bangsawan mengadakan pesta yaitu sebuah bangunan
yang disediakan untuk menampung para tamu, jadi
Bantaya hanyalah berupa bangunan tambahan
sementara, dan akan segera dibongkar bila pesta telah
selesai.
- Yang bersifat tetap: adalah hasil swadaya masyarakat
yang ditujukan untuk maksud-maksud sosial, seperti;
 pesta keramaian kampong
 tempat berkumpul untuk membicarakan hal-hal yang
tidak terlalu prinsipil karena yang menyangkut masalah
adat dilakukan di Lobo

12
 tempat tinggal sementara kaum musafir dari lain
kampung
Dari segi artistiknya, bagian luar maupun bagian dalam
Baruga (bantaya) tidak ada sedikitpun terdapat hiasan-hiasan,
baik ukiran, lukisan atau fariasi-fariasi lainnya.

5. Lobo (Rumah Adat Suku Kulawi)


Lobo memiliki bentuk empat persegi panjang, berfungsi
tempat musyawarah, melaksanakan pesta adat, menyambut
tamu-tamu kehormatan dan sebagai tempat penginapan bagi
orang-orang yang melanjutkan perjalanan.
Lobo dimasa pemerintahan raja-raja berfungsi sebagai
pusat kesatuan adat, pemerintahan dan kebudayaan. Para
bangsawan (maradika) sebagai pemegang tampuk
pemerintahan, para ahli cendekiawan adat dan orang-orang
penting mengadakan musyawarah di dalam bangunan ini
untuk membicarakan masalah yang berkaitan dengan:
- Perumusan suatu undang-undang, peraturan-peraturan
adat
- pelaksanaan pemerintahan yaitu dalam hal-hal
memberangkatkan dan menerima pasukan perang
- pemutusan/mengadili perkara-perkara terhadap setiap
pelanggaran, penyelewengan dan kejahatan.
Pelaksanaan hukuman bisa dilaksanakan di Lobo atau di
tempat lain misalnya di pohon kayu ditengah hutan atau di
pinggir-pinggir kali, menurut jenis dan macamnya
perbuatan
- dalam hal-hal yang menyangkut perekonomian: kapan
dimulai membuka kebun,sawah atau ladang; kapan
dimulai bertanam, menuai, pengaturan perairan dsb.

13
- disamping hal-hal tersebut Lobo juga menjadi tempat
dilaksanakannya pesta-pesta adat, sehubungan dengan:
 keselamatan kampung, supaya terhindar dari berbagai
macam penyakit menular, bala serta kutukan dewa
akibat adanya perbuatan sumbang.
 pengucapan syukur berhubungan dengan hasil panen
yang baik
 menyambut/memberangkatkan pasukan perang
 menyambut tamu-tamu terhormat dari luar daerah
Ruangan Lobo telah diatur sedemikian rupa sesuai
dengan fungsinya yang serbaguna. Lantai terdiri dari tiga
tingkat, bagian tengah adalah ruangan berbentuk segi panjang
dengan tiang raja di tengah-tengahnya yang disebut
"padence", diperuntukkan bagi rakyat biasa duduk, tempat
mengatur makan/minum, dan tempat menari dan menyanyi.
Dibagian kiri kanan pintu menyebelah berbentuk seperti
panggung / balai-balai (± 60 cm diatas padence) adalah
khusus diperuntukkan bagi para kaum bangsawan pemerintah
dan pemangku adat, ruangan ini disebut "palangka".
Dibagian samping menyebelah ada lagi palangka yang
tingginya ± 40 cm diatas padence diperuntukkan bagi para
tamu dari luar kampung yang dianggap terhormat.
Satu hal yang penting diketahui bahwa tidak sembarang
orang diperkenankan masuk dalam Lobo, kecuali dalam hal-
hal tertentu yang dianggap amat penting. Dengan demikian
Lobo bukanlah bangunan yang berfungsi sosial, bahkan oleh
sebagian orang dianggap bagunan yang keramat, agung dan
suci. Patutlah kalau peneliti berkebangsaan Swedia, Dr. W.
Kaudern menyebutnya dengan istilah "temple".

14
Lobo mempunyai bentuk yang sederhana, tetapi cukup
unik. Alat-alat modern belumlah terlalu banyak campur tangan
dalam proses pembuatannya. Belandar tiangnya dari kayu-
kayu bundar asli dari hutan, dikupas kulit luarnya kemudian
dihaluskan dengan parang. Kayu bundar tersebut berdiameter
rata-rata 40 cm.
Dinding, tiang badan rumah keliling, belandar bagian atas
umumnya dari balok/papan dengan ukuran rata-rata ± 40 X 10
cm, demikian juga lantainya. tapnya dibuat dari papan,
semacam sirap tetapi lebar dan sedikit tebal, dibagian atas
(bumbungan) ditutup dengan ijuk.
Semua pertemuan tiang dengan belandar, belandar
dengan belandar, dinding, lantai, bahkan konstruksi bangunan
Lobo belum mempergunakan paku (besi), semuanya serba
cuak, sistim lidah-lidah, kait mengait dan tali temali pakai
rotan. Tiang-tiang dipinggir dari kedua pintu muka dan
belakang serta semua tiang-tiang penongkat belandar badan
bangunan berbentuk papan lebar dan tebal yang dihiasi
pahatan kepala kerbau berbagai motif terletak dibagian dalam
dan luar. Pahatan kepala kerbau ini adalah langsung senyawa
dengan tiang/dinding.
Tiang-tiang tersebut diatas sekaligus merupakan sebagian
dinding Lobo yang diantara-antaranya dimasukkan papan
melintang lebar ± 40 cm dua lembar adalah merupakan
dinding yang juga berpahatkan kepala kerbau. Tangga Lobo
terbuat dari kayu balok antere yang dibelah dengan model
tangga bertrap-trap terdiri dari 5 sampai 7 trap. Bagian akhir
tangga melangkah keruang padance model pahatan kerbau
tertidur.Setiap pendatang yang masuk langsung menginjak
pada pahatan itu sebelum masuk pada ruang padence.

15
Batang-batang kayu bercabang sebesar lengan
terpancang disamping tiang pintu masuk dan dibeberapa tiang
lainnya tegak terikat adalah tempat bambu-bambu saguer
digantungkan.
Hal-hal lain yang sering orang tidak perhatikan adalah
bahwa tiang tidak boleh terbalik, balok atau belandar-belandar
yang letaknya melintang harus berlawanan dengan arah jarum
jam atau berputar kekanan (ujung pohon dibagian kanan).
Hanya satu bagian putar kiri yaitu kayu pengikat kaso bagian
bawah (dibawah atap paling akhir), ini maksudnya ialah untuk
mematikan apabila yang sudah terpasang.
Inilah sebagian dari keunikan konstruksi Lobo, semuanya
serba diatur, diperhitungkan menurut petunjuk para ahli adat
dan bangunan, demi keselamatan rakyat dan pemerintah yang
membangun dan memanfaatkan Lobo. Konstruksi Lobo:
- Perawatu: batu-batu yang berfungsi sebagai alas
bangunan Lobo seluruhnya
- Pangoto: empat balok bendar menumpang diatas
parawatu ikut lebar badan Lobo
- Paduncu: memanjang ikut badan Lobo 2 buah balok
bundar menumpang diatas pangoto
- Palangka: tiang-tiang yang menongkat balok memanjang
ikut badan Lobo, tertancap diatas 2 buah pangoto sebelah
menyebelah pinggir kanan dan kiri dan paduncu
- Pangketi: balok segi empat yang ditongkat tiang palangka
- Pomulu: diatas pangketi melintagn lagi balok-balok agak
lebih kecil bundar
- Pembiti-Pomulu: balok bundar besar diatas momulu yang
berfungsi sebagai penjepit/penekan pomulu
- Pomulu-langa: balok diatas pembiti-pomulu memanjang
ikut panjang badan Lobo

16
- Pomulu-late: melintang diatas pomulu-langa.
- Perlengkapan yang ada di dalam Lobo antara lain adalah:
 Beberapa buah tambur besar tergantung dibagian
dalam
 Beberapa buah karatu, semacam gendang panjang
mempunyai pinggang dibagian belakang
 Tombak, dan
 Perisai
- Palava
Palava adalah rumah panggung berbentuk empat persegi
panjang. Digunakan sebagai tempat tinggal masyarakat
suku Kaili. Pada bagian atas terdiri dari serambi, ruang
tidur, ruang tamu, dan dapur. Pada bagian kolong rumah
tempat menyimpan alat transportasi tradisional gerobak
dan peralatan pertanian.
- Kataba
Kataba adalah rumah panggung berbentuk empat persegi
panjang dengan konstruksi tiang merupakan landasan
(pondasi), sehingga kelihatannya bertingkat. Rumah ini
berfungsi sebagai rumah tinggal suku Kaili. Didiami
keluarga besar yang biasanya dihuni tiga sampai empat
keluarga.

17
B. Arsitektur Tradisional Provinsi Sulawesi Tengah
a. Letak Geografis dan Lokasi Provinsi Sulawesi Tengah
Propinsi Sulawesi Tengah terletak diantara 2022' Lintang
Utara dan 3048' Lintang Selatan, serta 119022' dan 124022' Bujur
timur. Batas-batas wilayahnya:
Sebelah Utara : Laut Sulawesi dan Propinsi Gorontalo
Sebelah Timur : Propinsi Maluku
Sebelah Selatan : Propinsi Sulawesi Selatan dan Propinsi
Sulawesi Tenggara
Sebelah Barat : Selat Makasar
Luas wilayah Sulawesi Tengah 68.059,71 km 2, secara
administratif Sulawesi Tengah dibagi dalam Kabupaten, 1
Kotamadya dengan 81 Kecamatan serta 1430 desa/kelurahan
definitif dan 10 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT).
Berdasarkan elevasi (ketinggian dari permukaan laut), dataran
di Propinsi Sulawesi Tengah terdiri dari:
- Jarak antara Ibu Kota Propinsi ke Daerah Tingkat II:
1. Palu – Banggai Kepulauan : 710 Km
2. Palu – Luwuk : 610 Km
3. Palu – Morowali : 400 Km
4. Palu – Poso : 222 Km
5. Palu – Donggala : 36 Km
6. Palu – Parimo : 65 Km
7. Palu – Tolitoli : 443 Km
8. Palu – Buol : 493 Km
Sulawesi Tengah merupakan propinsi terbesar di pulau
Sulawesi, dengan luas wilayah daratan 68.033 km 2 yang
mencakup semenanjung bagian timur dan sebagian semenanjung
bagian utara serta kepulauan Togian di Teluk Tomini dan
Kepulauan Banggai di Teluk Tolo, dengan luas wilayah laut adalah
189.480 km2.

18
Sulawesi Tengah yang terletak di bagian barat kepulauan
Maluku dan bagian selatan Philipina membuat pelabuhan di
daerah ini sebagai persinggahan kapal-kapal Portugis dan
Spanyol lebih dari 500 tahun yang lampau. Dalam perjalanannya
mengelilingi dunia Francis Drake, dengan kapalnya "The Golden
Hind" singgah di salah satu pulau kecil di pantai timur propinsi ini
selama sebulan pada bulan Januari 1580. Meskipun tidak ada
catatan sejarah, kemungkinan besar pelaut-pelaut Portugal dan
Spanyol menginjak kakinya di negeri ini yang terbukti dengan
masih ada pengaruh Eropa terhadap bentuk pakaian masyarakat
hingga dewasa ini.

Gambar 2
peta administrasi provinsi Sulawesi tengah
Palu adalah sebuah kota sekaligus merupakan ibu kota
provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia. Palu terletak sekitar 1.650
km di sebelah timur laut Jakarta. Koordinatnya adalah 0°54′ LS
119°50′ BT. Penduduknya berjumlah 342.754 jiwa (2012).Kota

19
Palu berada di dekat sebuah bernama Teluk Palu, sebelah barat
Selat Makassar
Kota Palu dibagi kepada 8 kecamatan dan 45 kelurahan.
Kecamatan-kecamatan tersebut adalah:
 Palu Barat
 Palu Selatan
 Palu Timur
 Palu Utara
 Mantikulore
 Ulujadi
 Tatanga
 Tawaeli
Sulawesi Tengah didiami oleh 12 etnis atau suku yaitu :
 Etnis kaili di Kabupaten Donggala, kota palu dan sebagian
Kabupaten paringi Moutong.
 Etnis Kulawi dikabupaten Donggala
 Etnis Lore di kabupaten Poso
 Etnis Pamona dikabupaten poso
 Etnis Mori dikabupaten Morowali
 Etnis Bungku di kabupaten Morowali
 Etnis Saluan di kabupaten Banggai
 Etnis Balantak di kabupaten Banggai
 Etnis Banggai di kabupaten Banggai
 Etnis Buol di kabupaten Buol
 Etnis Tolitoli di kabupaten Tolitoli
Tetapi suku asli kota palu atau ibu kota Sulawesi tengah
adalah suku kaili.

20
1. KAILI,SUKU ASLI SULAWESI TENGAH
Suku kaili, suku Asli di sulawesi tengah. Suku Kaili adalah
suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun tersebar
mendiami sebagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah,
khususnya wilayah Kabupaten Donggala,yang meliputi daerah
pesisir Pantai barat, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu, di seluruh
daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung
Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau.
Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi
Tengah, meliputi Kabupaten Parigi-Moutong, Kabupaten Tojo-
Una Una dan Kabupaten Poso. Masyarakat suku Kaili
mendiami kampung/desa di Teluk Tomini yaitu Tinombo,
Moutong, Parigi, Sausu, Ampana, Tojo Una-Una dan
kabupaten Donggala meliputi Kecamatan Sindue, Sindue
Tobata,Sirenja, Balaesang, Dampelas,dan Sojol sedang di
Kabupaten Poso mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli
dan pesisir Pantai Poso.
Untuk menyatakan "orang Kaili" disebut dalam bahasa
Kaili dengan menggunakan prefix "To" yaitu To Kaili.
Ada beberapa pendapat yang mengemukakan etimologi dari
kata Kaili, salah satunya menyebutkan bahwa kata yang
menjadi nama suku Kaili ini berasal dari nama pohon dan
buah Kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan dikawasan
daerah ini, terutama di tepi sungai palu dan telik palu. Pada
zaman dulu, tepi pantai Teluk Palu letaknya menjorok l.k. 34
km dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung Bangga.
Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke banyak
ditemukan karang dan rerumputan pantai/laut. Bahkan di sana
ada sebuah sumur yang airnya pasang pada saat air di laut
sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air laut
surut.

21
Menurut cerita (tutura), dahulu kala, di tepi pantai dekat
Kampung Bangga tumbuh sebatang pohon kaili yang tumbuh
menjulang tinggi. Pohon ini menjadi arah atau panduan bagi
pelaut atau nelayan yang memasuki Teluk Palu untuk menuju
pelabuhan pada saat itu, Bangga. Mata pencaharian utama
masyarakat Kaili adalah bercocok tanam disawah, berkebun
menanam kelapa, cacao, cengkeh, cabe rawit, ubi kayu dan
beberapa jenis buah-buahan seperti durian, rambutan ,langsat
dan lain-lain.Disamping itu masyarakat suku Kaili yang tinggal
didataran tinggi mereka juga mengambil hasil bumi dihutan
seperti rotan, damar, kemiri, dan kayu bantalan. Sedang
masyarakat suku Kaili yang dipesisir pantai disamping bertani
dan berkebun, mereka juga hidup sebagai nelayan yang
mengantunkan hidupnya dilaut dan berdagang antar pulau ke
kalimantan,bahkan ada juga yang sampai ke negri jiran
Malaysia untuk menyeludupkan Kayu hitam ( Ebony ).

b. Penduduk
Berdasarkan Sensus Penduduk 2010 jumlah penduduk
Provinsi Sulawesi Tengah sebanyak 2.635.009 jiwa (perkotaan
sebanyak 640.948 jiwa dan di daerah perdesaan sebanyak
1.994.061 jiwa). Penduduk laki-laki Provinsi Sulawesi Tengah
sebanyak 1.350.844 jiwa dan perempuan sebanyak 1.284.165
jiwa.
Penduduk Provinsi Sulawesi Tengah pada akhir tahun 2010
mencapai 2.683.722 jiwa,. Laju pertumbuhan penduduk 1,96 %
lebih tinggi dari pertumbuhan nasional (1,49%), dengan tingkat
kepadatan penduduk rata-rata 39 jiwa/km2. Penyebaran
penduduk di Provinsi Sulawesi Tengah terbesar terdapat di
Kabupaten Parigi Mountong sebanyak 421.234 jiwa dan
kepadatan tertinggi terdapat di Kota Palu 867,6 Kabupaten/Kota

22
Luas(Km2) Penduduk (Jiwa) Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2) 01.
Banggai Kepulauan 3 214,46 174 800 54,38 02.
Dalam hal kependudukan, terjadi peningkatan jumlah
penduduk dari yang pada tahun 1971 hanya sebesar 930 ribu
jiwa, meningkat tiga kali lipat pada tahun 2010 menjadi 2,6 juta
jiwa. Sedangkan untuk laju pertumbuhan penduduk sendiri
mengalami penurunan setiap tahunnya. Pada tahun 2010,
penduduk untuk tiap kabupaten kota berada pada kisaran 100-
400an jiwa. Meskipun tidak memiliki jumlah penduduk total
terbanyak se-Sulawesi Tengah, jumlah penduduk Kota Palu
memiliki rata-rata tertinggi per luas wilayah yaitu sebesar 868 jiwa
per km². Keadaan ketenagakerjaan di Sulawesi Tengah per
Februari 2013 menunjukkan adanya perbaikan dibandingkan
bulan Agustus 2012 yang digambarkan dengan adanya
peningkatan jumlah penduduk yang bekerja dan disertai
penurunan tingkat pengangguran. Namun, jika dibandingkan
kondisi Februari 2012 terjadi penurunan. Pada bulan Februari
2013, jumlah angkatan kerja mencapai 1.322.832 orang,
bertambah 109.769 orang dibanding angkatan kerja Agustus
2012 sebanyak 1.213.063 orang, sedangkan jika dibanding
keadaan Februari 2012 sebesar 1.352.427, berkurang sebanyak
29.595 orang.
Penduduk miskin dari tahun 2007 hingga tahun 2012
mengalami penurunan secara dari angka 22,4 persen menjadi
15,4 persen dari total penduduk provinsi. Namun demikian, meski
jumlah penduduk miskin berkurang, tingkat kemiskinan Sulawesi
Tengah tercatat masih lebih tinggi dari tingkat kemiskinan nasional
yang tercatat sebesar 12 persen. Jumlah dan persentase
penduduk miskin di Sulawesi Tengah per Maret 2013 sebesar
405,42 ribu jiwa (14,67 persen) dibandingkan penduduk miskin
pada bulan September 2012 sebesar 409,60 ribu jiwa (14,94

23
persen). Hal ini berarti secara absolut jumlah penduduk
mengalami penurunan 0,27 persen.
Tabel 1
JUMLAH PENDUDUK BERDASARKAN JENIS KELAMIN DI PROVINSI
SULAWESI TENGAH
JUMLAH PENDUDUK (JIWA)
REGION KATEGORI
2011 2010 2009 2008 2007
Jumlah Pria (jiwa) 168.423 165.366 151.518 147.932 147.359
Jumlah Wanita
Banggai 161.186 158.260 145.379 147.623 146.674
(jiwa)
Total (jiwa) 329.609 323.626 296.897 295.555 294.033
Jumlah Pria (jiwa) 88.498 86.892 78.527 78.716 78.173
Banggai Jumlah Wanita
86.302 84.735 78.385 77.012 78.282
Kepulauan (jiwa)
Total (jiwa) 174.800 171.627 156.912 155.728 156.455
Jumlah Pria (jiwa) 69.290 68.032 61.041 61.523 60.598
Jumlah Wanita
Buol 65.486 64.298 57.851 55.505 54.523
(jiwa)
Total (jiwa) 134.776 132.330 118.892 117.028 115.121
Jumlah Pria (jiwa) 145.128 142.479 139.990 138.189 135.381
Jumlah Wanita
Donggala 137.624 135.141 132.399 131.262 128.651
(jiwa)
Total (jiwa) 282.752 277.620 272.389 269.451 264.032
Jumlah Pria (jiwa) 108.984 107.006 93.420 101.481 97.349
Jumlah Wanita
Morowali 101.152 99.316 86.229 97.517 92.680
(jiwa)
Total (jiwa) 210.136 206.322 179.649 198.998 190.029
Jumlah Pria (jiwa) 173.019 169.878 157.223 152.688 150.764
Jumlah Wanita
Palu 169.735 166.654 155.956 156.344 153.983
(jiwa)
Total (jiwa) 342.754 336.532 313.179 309.032 304.747
Parigimout Jumlah Pria (jiwa) 216.374 212.809 191.959 192.833 190.341

24
ong Jumlah Wanita
204.860 200.779 185.445 175.872 176.664
(jiwa)
Total (jiwa) 421.234 413.588 377.404 368.705 367.005
Jumlah Pria (jiwa) 110.757 108.747 87.239 82.193 77.802
Jumlah Wanita
Poso 102.339 100.481 82.777 78.637 74.242
(jiwa)
Total (jiwa) 213.096 209.228 170.016 160.830 152.044
Jumlah Pria (jiwa) 112.815 110.767 105.085 - -
Jumlah Wanita
Sigi 106.190 104.263 99.386 - -
(jiwa)
Total (jiwa) 219.005 215.030 204.471 - -
Jumlah Pria (jiwa) 72.034 70.726 95.328 95.142 90.366
Tojounaun Jumlah Wanita
68.324 67.084 94.584 85.119 80.626
a (jiwa)
Total (jiwa) 140.358 137.810 189.912 180.261 170.992
Jumlah Pria (jiwa) 110.141 108.142 101.352 100.684 99.693
Jumlah Wanita
Toli-Toli 105.061 103.15 99.191 97.757 96.544
(jiwa)
Total (jiwa) 215.202 211.296 200.543 198.441 196.237
1.262.68 1.151.3 1.127.8
Jumlah Pria (jiwa) 1.375.463 1.350.844
2 81 26
Jumlah Wanita 1.217.58 1.102.6 1.082.8
TOTAL 1.308.259 1.284.165
(jiwa) 2 48 69
2.480.26 2.254.0 2.210.6
Total (jiwa) 2.683.722 2.635.009
4 29 95

c. Latar belakang kebudayaan provinsi Sulawesi tengah


1. Kebudayaan Propinsi Sulawesi Tengah
Sulawesi Tengah kaya akan budaya yang diwariskan
secara turun-temurun. Tradisi yang menyangkut aspek
kehidupan dipelihara dalam kehidupan masyarakat sehari-
hari. Kepercayaan lama adalah warisan budaya yang
tetapterpelihara dan dilakukan dalam beberapa bentuk

25
dengan berbagai pengaruh modern serta pengaruh agama.
Sehubungan banyak kelompok etnis mendiami Sulawesi
Tengah, maka terdapat pula banyak perbedaan di antara etnis
tersebut yang merupakan kekhasan yang harmonis dalam
masyarakat.
Mereka yang tinggal di pantai bagian barat kabupaten
Donggala telah bercampur dengan masyarakat Bugis dari
Sulawesi Selatan dan masyarakat Gorontalo. Di bagian timur
pulauSulawesi, juga terdapat pengaruh kuat Gorontalo dan
Manado, terlihat dari dialek daerah Luwuk dan sebaran suku
Gorontalo di kecamatan Bualemo yang cukup dominan.
Ibukota dari Propinsi Sulawesi Utara adalah Palu.

2. Ciri budaya
Sulawesi Tengah kaya budaya dan sejarah. Awal abad
ke-13,banyak kerjaan kecil di tempat ini, di antaranya Banawa,
Tawaeli, Sigi,Bangga dan Banggai. Abad ke-16, kerajaan
bercorak Islam mendominasikerajaan-kerajaan ini, seperti
Bone dan Wajo yang kemudianmenyebarkan pengaruhnya ke
kerajaan lain.
Seperti daerah lain di Indonesia, peduduk pertama di
SulawesiTengah bercampur dengan ras wedoid dan negroid.
Orang Melayukemudian datang dan mulai mendominasi
tempat ini. Peninggalan zamanperunggu dan megalitikum
dapat ditemukan di sini. Saat ini ras yangmendominasi adalah
Palu Toraja, Koro Toraja dan Poso Toraja
Musik dan tarian di Sulawesi Tengah bervariasi antara
daerah yang satu dengan lainnya. Musik tradisional memiliki
instrumen seperti suling, gong dan gendang. Alat musik ini
lebih berfungsi sebagai hiburan dan bukan sebagai bagian
ritual keagamaan. Di wilayah beretnis Kaili sekitar pantai barat

26
- waino - musik tradisional - ditampilkan ketika ada upacara
kematian. Kesenian ini telah dikembangkan dalam bentuk
yang lebih populer bagi para pemuda sebagai sarana mencari
pasangan di suatu keramaian. Banyak tarian yang berasal dari
kepercayaan keagamaan dan ditampilkan ketika festival.
Tari masyarakat yang terkenal adalah Dero yang berasal
dari masyarakat Pamona, kabupaten Poso dan kemudian
diikuti masyarakat Kulawi, kabupaten Donggala. Tarian dero
khusus ditampilkan ketika musim panen, upacara
penyambutan tamu, syukuran dan hari-hari besar tertentu.
Dero adalah salah satu tarian dimana laki-laki dan perempuan
berpegangan tangan dan membentuk lingkaran. Tarian ini
bukan warisan leluhur tetapi merupakan kebiasaan selama
pendudukan jepang di Indonesia ketika Perang Dunia II.

3. Tarian
Tarian “Torompio” adalah ungkapan dalam bahasa
Pamona, Sulawesi Tengah. Ungkapan ini terdiri atas dua kata,
yakni “toro” yangberarti “berputar” dan “pio” yang berarti
“angin”. Jadi, “torompio” berarti“angin berputar”. Makna yang
terkandung dalam ungkapan tersebutadalah “gelora cinta
kasih” yang dilambangkan oleh tarian yang dinamis dengan
gerakan berputar-putar bagaikan insan yang sedang dilanda
cintakasih, sehingga tarian ini disebut torompio
4. Bahasa daerah
Masyarakat Sulawesi Tengah memiliki sekitar 22 bahasa
yangsaling berbeda antara suku yang satu dengan yang
lainnya, namunmasyarakat dapat berkomunikasi satu sama
lain menggunakan bahasaIndonesia sebagai bahasa nasional
dan bahasa pengantar sehari-hari.

27
5. Pakaian daerah
Pakaian Adat Perempuan -> Baju NggembeBaju
Nggembe adalah busana yang dipakai oleh remaja putri
untukUpacara Adat atau pesta. Pakaian Adat Pria : Pakaian
ini terdiri dari 2 bagian yaitu Baju Koje dan PurukaPajama.
Baju Koje atau baju ceki adalah kemeja yang bagiankeragnya
tegak dan pas dileher, berlengan panjang, panjangkemeja
sampai ke pinggul dan dipakai di atas celana. PurukaPajana
atau celana sebatas lutut, modelnya ketat, namun killnyaharus
lebar agar mudah untuk duduk dan berjalan

6. Rumah adat
Rumah adat atau rumah tradisional khas Sulawesi
Tengah adalah Souraja, yakni bangunan rumah
tradisional yang merupakan tempat tinggal
para bangsawan. Souraja juga sering disebut Banua Mbaso
atau rumah besar yakni rumah kediaman tidak resmi dari
manggan atau raja beserta keluarga-keluarganya. Meskipun
demikian sebagian besar rumah rakyat serupa dengan
Souraja, hanya bentuk dan ukurannya sedikit berbeda dengan
yang dimiliki para pembesar atau bangsawan. Bangunan ini
berbentuk rumah panggung yang ditunjang sejumlah tiang
kayu balok persegi empat dari kayu tertentu yang memiliki
kualitas yang baik serta tahan lama.

7. Senjata tradisional
Salah satu jenis senjata tradisional yang terkenal di
SulawesiTengah adalah pasatimpo, yaitu sejenis parang yang
hulunya bengkok dan sarungnya diberi tali, selain jenis parang
adapula berupa tombak yang terdiri atas kanjae dan surampa
(bermata tiga seperti senjata trisula),serta sumpit

28
8. Perkawinan
Prosesi pernikahan dilaksanakan menurut upacara adat
yang sesuai tahapan atau Lenggota Lo Nikah. Tahapan
pertama disebut Mopoloduwo Rahasia, yaitu dimana orang
tua dari pria mendatangi kediaman orang tua sang wanita
untuk memperoleh restu pernikahananak mereka. Apabila
keduanya menyetujui, maka ditentukan waktuuntuk
melangsungkan Tolobalango atau Peminangan.Pada malam
sehari sebelum akad nikah digelar serangkaian acara
Mopotilandthu (malam pertunangan).

9. Upacara adat
Metimbe adalah upacara adat penyembelihan kerbau,
yang bertujuan untuk memohon kepada sang pencipta, agar
diberikan keberkahan dan dijauhkan dari marabahaya dan
bencana. Ritual Metimbe berasal dari suku Kulawi
Provinsi ini memiliki banyak hal untuk di tawarkan.
Wilayah ini memiliki potensi wisata yang beragam, baik wisata
alam, wisata bahari, agrowisata, maupun wisata budaya.
Anda dapat menikmati pemandangan alam dengan setting
pegunungan, hutan wisata, taman nasional, batuan megalitik,
tempat-tempat yang memiliki latar belakang sejarah, serta
keanekaragaman tradisi, seni, dan budaya lokal yang unik dan
menarik.

d. Pola perkampungan.
Kota Palu (Sulawesi tengah) merupakan sebuah lembah yang
merupakan bentangan cekungan alam yang membujur dari utara
ke selatan, di antara deretan pegunungan Molengraf di sebelah
timur. Dengan ketinggian puncaknya rata-rata kurang dari 2000
meter diatas permukaan laut. Sedangkan di sebelah barat

29
berderet pegunungan dari utara keselatan.Kondisi iklim dan cuaca
di kawasan lembah Palu ini terkesan kering dan gersang.
Hal ini disebabkan karena kondisi dan letak geografis
bentangan alam ini merupakan daerah bayangan hujan, baik itu
angin barat maupun angin timur,yang mana jika berhembus di
kawasan ini keduanya telah banyak menjatuhkan air yang
dikandungnya di lereng-lereng gunung sisi luar lembah Palu
ini. Akibat dari kondisi alam tersebut, maka curah hujan di
sebagian besar lembah palu termasuk sangat minim,yaitu antara
400 mm sampai dengan 1.000 mm pertahun. Konsekuensi dari
keadaan ini, menyebabkan populasi vegetasi tidak begitu
lebat,dan beberapa jenis vegetasi gurun telah dapat beradaptasi
dengan baik tumbuih di daerah ini, antara lain : Kaktus ( Opuntia
elatior ), Biduri atau Roviga (Calotropis gigantean), pucuk atau
Silar (Corypha utan) dan lain-lain
Orang Kaili (palu-sulawesi tengah) pada masa lalu mengenal
beberapa lapisan sosial, seperti golongan raja dan turunannya
(madika), golongan bangsawan (to guru nukapa), golongan orang
kebanyakan (to dea), golongan budak (batua). Selain itu mereka
juga memandang tinggi golongan sosial berdasarkan keberanian
(katamang galaia), keahlian (kavalia), kekayaan (kasugia),
kedudukan (kadudua) dan usia (tetua).
Pola perkampungan suku bangsa Kaili terdapat tiga pola
pemukiman adat, yakni Ngapa (pola permukiman mengelompokan
padat), Boya (pengelompokan komunitas kecil menyebar), dan
Sampoa (tempat berlabuhan). Dalam sistem kekerabatan suku
Kaili bersifat bilineaal, artinya keturunan baik dari pihak laki-laki
maupun perempuan. Ciri khas menandai jati diri suatu masyarakat
adalah kepemilikan tradisional, seperti upacara adat sebagai
ekspresi pengungkapan jati diri. Upacara ditentukan oleh jati
sesuai status sosial dan atau warisan yang pernah diterima dari

30
orang tua atau nenek moyangnya. Upacara nobou yakni upacara
tolak bala atau upacara penyembuhan terhadap berbagai jenis
penyakit biasanya upacara ini dilakukan pada kalangan raja dan
bangsawan. Wujud kebudayaan masyarakat tercermin pula dalam
peralatan tradisional khususnya yang berhubungan peralatan
rumah tangga.

C. ARSITEKTUR TRADISIONAL PROVINSI SULAWESI TENGAH


SUKU KAILI
Secara umum karakter arsitektur Kaili mempunyai beberapa
kemiripan dan ikatan benang merah dengan beberapa bangunan
arsitektur di beberapa daerah seperti halnya :Bugis, Makassar dan
Toraja. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa bentuk atap yang mirip,
namun demikian arsitektur vernacular mempunyai karakter dan ciri
khas yang cukup kuat dan beraneka ragam.1.Souraja /Banua Mbaso
atau Banua Magau Banua Mbaso berbentuk rumah panggungyang
didirikan di atas kayu balok persegi empat yang biasanya terbuat dari
kayu‐kayu keras.Atap pada umumnya berbentuk segi tiga.Pada
bagian depan dan belakang ditutup dengan sebilah papan lebar yang
dihiasi ukiran yang disebut dengan Panapiri, diatas Panapiri pada
ujung depan dan belakang ditempatkan mahkota atau bangko‐
bangkoyang berukir. Lantai dan dindingnya terbuatdari papan,
sedangkan bagian‐bagian lainnya seperti balok kasau, gelagar, dan
balok pendukung menggunakan/balok pendukung menggunakan
balok dengan kayu bayam dan kapur.
Rumah tinggal penduduk Sulawesi Tengah disebut 'tambi', yang
merupakan tempat tinggal untuk segala lapisan masyarakat. Yang
membedakan rumah sebagai tempat tinggal kalangan bangawan
dengan rakyat biasa terletak pada bubungan rumah para bangsawan

31
dipasang simbol kepala kerbau, sedangkan rumah rakyat biasa tidak
dipasang simbol tersebut
Rumah tambi merupakan rumah di atas tiang yang terbuat dari
kayu bonati. Bentuk rumah ini segi empat dan bentuk atapnya
piramida yang terbuat dari daun rumbia atau ijuk. Ukurannya
tergantung dari kemampuan masing-masing pemiliknya. Pada
bangunan-bangunan tradisional dihias dengan berbagai bentuk
ragam hias yang menggunakan motif-motif tertentu, terutama motif
fauna dan flora. Ragam hias dengan motif fauna terdiri dari 'pebaula'
(berbentuk kepala dan tanduk kerbau) dan 'bati' (ukiran kepala kerbau,
ayam, atau babi). Ragam hias ini tidak diukir seperti benda-benda
ukiran biasa, tetapi hanya dipahat sampai halus dan rapi. Ukiran
kerbau merupakan simbol kekayaan, kesuburan dan kesejahteraan
pemilik rumah. Sedangkan ragam hias dengan motif flora
(pompeninie) merupakan sobekan-sobekan kain yang dibuat dari kulit
kayu. Kain yang berwarna-warni tersebut diikat dengan rotan,
sehingga terangkai menjadi suatu bentuk ragam hias, yang
maksudnya agar penghuni rumah terhindar dari segala gangguan roh-
roh jahat. Umumnya bentuk bunga yang sering dibuat sebagai ragam
hias rumah. Warna ragam hias ini bermacam-macam, biasanya
berwarna merah, putih, kuning, hitam, biru atau hijau.
Anjungan Sulawesi Tengah menyajikan empat buah bangunan
tradisional, yakni souraja, rumah adat bangsawan suku Kaili; rumah
adat suku To Lobo (tambi) dari Lone Selatan, lumbung padi (gambiri),
dan sebuah bangunan kantor merangkap gerai seni.

32
a. Identifikasi Rumah Masyarakat Biasa
Rumah Golongan Rakyat Biasa Rumah tinggal golongan
rakyat biasa suku kaili disebut Tinja Kanjai yang artinya "Rumah
Ikat". inja Kanjai, Rumah panggung yang lebih kecil lagi biasanya
berukuran 5 x 4 meter. Tingginya kurang lebih 75 - 100 cm dari
tanah. Rumah ini berlantai bambu, dinding gaba-gaba, atap daun
rumbia atau ijuk dan semua bagian - bagiannya dihubungkan
dengan pengikat rotan. rumah ini didiami oleh golongan rakyat
biasa. pembagian ruangan biasanya terdiri dari 3 bagian : ruang
depan merupakan tempat menerima tamu/tempat tidur tamu.
ruangan tengah sebagai tempat tidur keluarga. Ruang belakang
sebagai kamar makan dan dapur.
Rumah - rumah rakyat terdahulu terdiri dari 3 tingkat.
Tingkat atas dekat disebut loteng (Pomoaka) dipakai untuk
menyimpan bahan makanan dan benda - benda pusaka dari
pemilik rumah. Tingkat tengah (Rara Banua) Sebagai tempat
menerima tamu, makan, tidur dan tempat perabotan - perabotan
rumah tangga. Tingkat kolong rumah (Kapeo), Berfungsi sebagai
tempat menyimpan alat - alat pertanian dan ternak.

b. Cara mendirikan
Rumah Tinjai Kanjai adalah rumah sederhana yang
tingginya ± 75 – 100 cm dari atas tanah. Tinjai Kanjai ini terdiri
dari atas tiang‐tiang kayu yang diikat, lantai bambu, dinding
gaba‐gaba yang diikat pula sedangkan atap menggunakan atap
rumbia. Ukurannya bermacam‐macam tergantung kemauan
pemiliknya dan jumlah keluarga yang tinggal.Biasanya rumah
tinggal ini tidak besar hanya berukuran 5x4 – 5x6 m. Tinjai Kanjai
terdiri dari kamar tidur, ruang makan sekaligusdapur, dan ruang
tamu. Ruang tamu biasanya bersebelahan dengan kamar tidur
dan di depan ruang makan biasanya terdapat kamar tidur kecil.

33
Sedangkan dapur biasanya disambung agak menonjol keluar,
sekitar 1,5– 2x3 m.Letak rumah Tinjai kanjai umumnya berada di
pesisir pantai karena awalnya mayoritas penduduk suku Kaili
mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan. Seiring
perkembangan, rumah Tinjai Kanjai juga terdapat di wilayah
lainnya dalam batas wilayah lembah Palu.
1. Bentuk Bangunan Unsur rumah sebagai identitas yang
paling mudah diamati adalah perubahan bentuk atap dan
badan rumah. Di Kota Palu, berdasarkan pengamatan
bentuk atap dan badan rumah tradisional Kaili umumnya
identitas tetap atau tidak berubah. Unsur yang yang
cenderung berubah adalah pada kolong rumah. Bagian
kolong rumah perubahannya cukup besar hal ini
disebabkan penambahan ruang dengan pola dan fungsi
ruang sesuai kebutuhan dari masing-masing pemilik rumah.
Kolong rumah misalnya, difungsikan sebagai gudang, dapur
dan km/wc, warung bahkan dipersewakan. Kolong rumah
juga mempunyai makna khusus, baik terkait dengan strata
sosialnya maupun kedudukannya dalam masyarakat.
Kolong rumah untuk golongan Raja (maradika) lebih tinggi
dibanding dengan kolong rumah untuk golongan rakyat
biasa (Batua). Sedangkan pada badan rumah misalnya,
ruang teras/gandaria dijadikan ruang tamu oleh beberapa
penghuni rumah, begitu pula pada pintu dan
jendela/ventilasi dengan bentuk dan material yang lebih
modern.
2. Tata Ruang Rumah Tata ruang rumah umumnya identitas
cenderung berubah, hal ini disebabkan karena peningkatan
kebutuhan akan ruang, salah satunya yaitu penambahan
anggota keluarga dan jenis pekerjaan penghuni. Hal ini
mendorong penghuni dalam menata rumahnya dengan

34
menambah ruang, baik di lantai atas maupun pada kolong
rumah. Indikator yang dipakai untuk mengetahui bentuk
perubahan ruang adalah perubahan pola ruang dan fungsi
ruang.
3. Struktur/konstruksi & material bangunan sebagai salah satu
unsur identitas rumah tradisional Kaili identitasnya
cenderung berubah. Hal ini di sebabkan perkembangan
teknologi bahan bangunan sehingga beberapa penghuni
mengganti bahan material dan konstruksinya dengan
mempertimbangkan kekuatan, biaya yang relatif murah,
mudah dalam pengerjaan/pemasangan serta efisien dan
efektif dalam pemeliharaannya dan tahan lama.
4. Perletakan tangga umumnya tetap, hanya beberapa yang
telah berubah posisinya ke samping rumah. Hal ini
disebabkan salah satunya adalah adanya usaha rumah
tangga/warung agar memudahkan aktivitas orang yang
masuk dan ke luar rumah. Adapun perletakan tangga yang
posisinya tetap, hal ini disebabkan kemampuan ekonomi
penghuni dan juga keinginan untuk tetap mempertahankan
posisi tangga rumahnya. Seperti bagian-bagian lainnya
pada bangunan rumah tradisional Kaili yang mengandung
makna simbolik. Perletakan tangga juga mempunyai
makna khusus, baik terkait dengan strata sosialnya maupun
kedudukannya dalam masyarakat. Jumlah anak tangga
umumnya berjumlah ganjil yaitu 9 dengan kepercayaan
bahwa demi keselamatan penghuni rumah di dalam dan
merupakan suatu kepercayaan tersendiri pada saat
memasuki ataupun keluar rumah.

35
c. Persiapan Upacara
1. sebelum mendirikan bangunan
Masyarakat atau suku kaili sering melakukan upacara
sesuai tradisi mereka.upacar yang umumnya di laksanakan
bahkan merupakan tradisi yang paling penting dan menonjol
adalah upacara mancumami yaitu upacara keselamatan bagi
rumah dan penghuni tersebut. upacara mancumani adalah
upacara keselamatan yang dilakukan atas selesainya ketiga
upacara ratini (sunatan), rakeho (menggosok) gigi, dan
ratompo (menanggalkan) gigi bagi perempuan.
2. setelah mendirikan bangunan
Upacara yang di lakukan suku kaili ketika selesai
membangun atau mendirikan banguna yakni upacara tadi
seperti pada saat sebelum mendirikan bangunan
tersebut,upacra ini di lakukan saat sebelum dan sesudah
membangun. Maksud penyelenggaraan upacara mancumani
adalah sebagai rasa kegembiraan serta rasa syukur kepada
Tuhan atas keselamat dan rezki mereka. Ada beberapa
upacara yang sering di lakukan oleh suku kaili yakni :

- Upacara Masa Dewasa - Suku Kaili


(Nobau/Penebusan)
Maksud dan tujuan upacara adat ini ialah
menyembuhkan atau mencegah dari berbagai macam
penyakit yang diderita oleh seseorang dan atau
keturunannya dalam Iingkungan keluarga, baik penyakit
cacat jasmani dan rohani maupun kelainan-kelainan,
dan dapat mengantarkan putra-putrinya ke gerbang
kedewasaan dengan sehat sempurna tanpa cacat atau
kelainan-kelainan. Hidup sehat sempurna dan bahagia,

36
berketurunan, merupakan cita-cita dan harapan orang
tua yang perlu diantar melalui upacara adat nobou ini.

- Upacara Masa Kanak-kanak pada Suku Kaili


(Nosuna / khitan)
Upacara ini dilaksanakan karena mempunyai maksud
dan tujuan tertentu menurut adat dan kepercayaan
masyarakat setempat, yaitu :
 Mentaati perintah agama (sunah Nabi) yang disebut
Noinpataati Parenta Nabita (mengikuti perintah
Nabi Muhammad SAW).
 Nompakavoe koro (mensucikan diri) .
 Nompataati ada (mematuhi adat kebiasaan
masyarakat agar sang anak tersebut (yang disunat)
terlepas dari dosa, di samping anak itu terhindar
dari berbagai penyakit (perkembangan yang tidak
normal baik psikhis maupun phisik).

- Upacara Persemayam jenazah (Molumu)


Maksud dan tujuan upacara molumu tersebut ialah
agar roh si mayat tersebut beristirahat dengan tenang,
di tengah-tengah keluarga sebelum ia dikuburkan, di
samping menunggu para Tadulako membawa hasil
sesembahannya berupa kepala manusia yang dicarinya
di luar kerajaan. Mendapatkan kepala manusia dengan
jalan mengayau (nangae) adalah salah satu kegiatan
dan merupakan salah satu perlengkapan dalam upacara

37
penguburan para raja-raja zaman dulu. Kegiatan
tersebut Nangae (mengayau).

- Upacara memperlakukan masa berkabung dalam


kampong (Moombo Ngapa)
Maksud dan tujuan. Maksud dan tujuan moombo
tersebut ialah agar masyarakat menyatakan perasaan
berdua cita serta rasa kecintaan dan hormat kepada raja
sebagai pemimpinnya. Suatu perwujudan dari rasa ikut
belasungkawa terhadap keluarga yang ditinggalkan,
sekaligus sebagai simbol kedisiplinan dan tertib sosial
masyarakat.
- Upacara (Membaca tahlil atau Mogana - Suku Kaili)

d. Teknik dan cara konstruksi


Rumah tradisional merupakan cermin nilai budaya yang
nampak dalam perwujudan bentuk, struktur, tata ruang dan
hiasannya. Rumah tradisional Kaili, merupakan salah satu
arsitektur tradisional karena terbentuk oleh kaidah-kaidah
berbasis kultural, konteks natural, ekspresi arsitektural.
Pencapaian dari segala bentuk idealisme tersebut di atas
diungkap dalam bentuk simbol-simbol dengan aturan
pemaknaan holistik secara filosofis”.Adapun falsafah dasar
bentuk- bentuk bangunan rumah tradisional Kaili beranjak dari
tiga unsur yang mengejawantah dalam tiga bangunan: yaitu
bagian bawah (manusia), bagian tengah (alam), dan bagian atas
(Ilahi Rabbi).
- Bagian bawah bangunan :
Pada bagian bawah bangunan Kaili baik itu rumah tinggal,
rumah tempat masyarakat, tempat ibadah, maupun tempat

38
menyimpan mempunyai falsafah yang hampir sama
mempunyai bentuk tiang yang sama dengan pengalas batu
alam dan semata-mata memakai “Loanga atau Pareva”
yaitu balok- balok yang panjang dan lebar yang
menggambarkan kekerabatan masyarakat tanah Kaili
sangat erat. Selanjutnya mempunyai “Nepulanga” atau
gelagar- gelagar yang sebaris menggambarkan kesatuan
komando dari yang tertua. Pasak “Potanje” yang
melambangkan ikatan yang erat antara sesama golongan
stratifikasi masyarakat Kaili. Sedangkan untuk tangga
dibuat dari lembaran-lembaran kayu keras, jumlah anak
tangga harus ganjil berjumlah 9 buah dengan dasar
pertimbangan demi keselamatan penghuni rumah di dalam
dan merupakan suatu kepercayaan tersendiri pada saat
memasuki ataupun keluar rumah.
- Bagian tengah bangunan :
Ada beberapa perbedaan bagian tengah antara ketiga jenis
rumah dari suku Kaili. Masyarakat golongan menengah
banyak dipengaruhi unsur-unsur kebudayaan dan alam
luar. Beberapa istilah yang digunakan oleh orang Kaili
dalam hal yang bersangkutan dengan bangunan seperti :
Gandaria, bangko-bangko dan lainnya.
- Bagian atas bangunan :
Rumah raja dan golongan bangsawan, rumah-rumah
golongan orang menengah dan orang lapisan bawah
mempunyai susunan dan alat-alat bagian atas yang sama
satu sama lainnya, ini menggambarkan bahwa orang Kailil
mempunyai kepercayaan yang sama terhadap Sang Maha
Pencipta.

39
1. Pondasi :

Gambar 3
Pondasi
Berbentuk panggungyang mempunyai Alas Beton

2. Tiang/ Kolom :

Gambar 4
Tiang/Kolom
Berupa Balok bersegi empat 16/16 .terbuat dari bahan
kayu-kayu keras, yaitu Kayu Ulin/Sopu,Bayam/Ipi, Kayu Besi
Jumlah tiang rumah induk & gandaria 28 buah Jumlah tiang
rumah dapur 8 buah

3. Lantai :

40
Gambar 5
Lantai
Berupa Papan terbuat dari bahan kayu-kayu keras,
yaitu Kayu Ulin ,Kayu Bayam/ Kayu Kapur.

4. Dinding :

Gambar 6
Dinding
 Dinding rumah induk berupa papan dari Kayu Ulin, Kayu
Bayam.
 Dinding rumah dapur berupa seng dari bahan alumunium

5. Tangga :

41
Gambar 7
Tangga
Berupa lembaran papan tebal terbuat dari bahan :

 Kayu Ulin, Kayu Bayam Jumlah anak tangga selalu


ganjil (7, 9, 11)123456789
6. Atap :

Gambar 8
Atap
Berbentuk pelana bertingkat

 Kap : Berupa seng Berbahan aluminium


 Kuda-Kuda : Berupa Balok terbuat dari bahan Kayu Ulin,
Kayu Bayam
 Denah :

42
Gambar 9
Denah
 -Jenis Sambungan Balok
 Sambungan bibir miring berkait

Gambar 10
Sambungan

7. Sambungan pen :

43
Gambar 11
Sambungan Pen
8. Tampak depan

Gambar 12
Tampak Depan

44
e. Ragam hias arsitektur tradisional sulawesi tengah suku kaili
Ragam hias pada bangunan tradisional umumnya tidak
terlalu rumit atau kompleks. Sebagian besar motifnya diambil
dari bentuk flora dan keagamaan.
- Flora : Pada bangunan-bangunan tradisional dihias dengan
berbagai bentuk ragam hias yang menggunakan motif-motif
tertentu, terutama motif fauna dan flora. Ragam hias dengan
motif fauna terdiri dari 'pebaula' (berbentuk kepala dan
tanduk kerbau) dan 'bati' (ukiran kepala kerbau, ayam, atau
babi). Ragam hias ini tidak diukir seperti benda-benda ukiran
biasa, tetapi hanya dipahat sampai halus dan rapi. Ukiran
kerbau merupakan simbol kekayaan, kesuburan dan
kesejahteraan pemilik rumah.
Kebanyakan ragam hias yang ada berupa pahatan
berbentuk bunga-bunga merambat atau tumbuhan anggur.
Hiasan flora ini, melambangkan kemuliaan atau budi pekerti
yang halus. Selain itu ada juga ukiran yang dibuat dari satu pola
dipahat di atas sebilah papan, kemudian diperbanyak. Bila
disambung dengan papan lain yang serupa akan membentuk
dinding dengan ukiran yang merata di seluruh permukaannya.
Fauna : Sedangkan ragam hias dengan motif flora
(pompeninie) merupakan sobekan-sobekan kain yang dibuat dari
kulit kayu. Kain yang berwarna-warni tersebut diikat dengan
rotan, sehingga terangkai menjadi suatu bentuk ragam hias,
yang maksudnya agar penghuni rumah terhindar dari segala
gangguan roh-roh jahat. Umumnya bentuk bunga yang sering
dibuat sebagai ragam hias rumah.
Ragam hias daerah ini tidak memiliki nama khas daerah.
Untuk membuat ukiran-ukiran tersebut dibutuhkan keahlian
khusus. Kayu yang digunakan pun biasanya kayu keras yang

45
tua. Sebagaimana yang masih dapat ditemukan sekarang ada
yang usianya sudah 100 tahun tetapi ukirannya masih utuh.
Selain ragam hias yang bermotifkan flora ada juga yang
bernuansa keagamaan, seperti kaligrafi Arab, kufi atau variasi.
Biasanya yang berupa kaligrafi adalah ukiran kalimat Syahadat.
Untuk mengukir kalimat dalam hurup Arab tersebut dibutuhkan
ketelitian agar hasilnya halus dan dapat dibaca. Ukiran semacam
ini dipasang di atas pintu masuk menghadap ruang tamu.
Ukiran ragam hias bermotifkan flora pada rumah rakyat
kebanyakan tidak mengandung makna khusus, karena lebih
menekankan pada segi keindahannya
Warna yang dominan pada ragam hias adalah kuning dan
hijau, yang merupakan warna kombinasi tumbuh-tumbuhan yang
ada di sekitar kehidupan masyarakat sehari-hari. Ada pula,
ukiran-ukiran yang disesuaikan dengan warna kayu asli.
Sedangkan warna untuk ukiran motif keagamaan adalah kuning
dan putih

D. ARSITEKTUR VERNAKULAR
Arsitektur vernakular adalah arsitektur yang tumbuh dan
berkembang dari arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat etnik dan
berakar pada tradisi etnik, serta dibangun oleh tukang berdasarkan
pengalaman (trial and error), menggunakan teknik dan material lokal
serta merupakan jawaban atas setting lingkungan tempat bangunan
tersebut berada dan selalu membuka untuk terjadinya transformasi.
Arsitektur ini tetap bertahan dalam beragam bentuk yang dikenal
sebagai bangunan tradisional Indonesia yang umum dipakai dalam
berbagai kegunaan, baik sakral maupun non sakral.

46
Bangunan yang termasuk dalam tradisi-tradisi arsitektur
vernakular Indonesia yang paling penting dan paling sering dibangun
adalah rumah yang digunakan sebagai tempat tinggal, lumbung, dan
berbagai macam tempat penyimpanan dan bangunan umum (balai,
bale) yang digunakan sebagai tempat diselenggarakannya ritual,
upacara atau pertemuan warga. Di beberapa tempat di Indonesia,
bangunan rumah tradisional hampir punah, yang tersisa adalah
sebuah rumah yang selamat karena alasan tertentu, atau beberapa
rumah yang sengaja dibangun sebagai model tipe rumah tradisional
tertentu, atau beberapa rumah yang dibangun berdasarkan arsitektur
modern yang ditambah fitur dan karakter tradisi arsitektur vernakular.
PENDAPAT PARA AHLI TENTANG ARSITEKTUR
VERNAKULAR : Arsitektur Vernakular adalah Kajian mengenai
identitas dalam arsitektur, merupakan sebuah fenomena yang selalu
menarik untuk diperbincangkan. Bukan hanya mengenai identitas
arsitektur Indonesia, tapi permasalahan identitas ini telah mulai
dipertanyakan pada tingkat arsitektur kedaerahan. Adanya istilah
Arsitektur Vernakular merupakan sebuah wacana yang berhubungan
dengan kajian dalam arsitektur kedaerahan tersebut.
Menurut Turan dalam buku Vernacular Architecture, Arsitektur
vernakular adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari
arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat etnik dan berjangkar pada
tradisi etnik, serta dibangun oleh tukang berdasarkan pengalaman
(trial and error), menggunakan teknik dan material lokal serta
merupakan jawaban atas setting lingkungan tempat bangunan
tersebut berada dan selalu membuka untuk terjadinya transformasi.
Menurut Romo Manguwijaya arsitektur vernakular itu adalah
pengejawentahan yang jujur dari tata cara kehidupan masyarakat dan
merupakan cerminan sejarah dari suatu tempat
Arsitektur Vernakular merupakan transformasi dari situasi kultur
homogen ke situasi yang lebih heterogen dan sebisa mungkin

47
menghadirkan citra serta bayang-bayang realitas dari arsitektur
tradisional itu sendiri. Sementara Oliver dalam bukunya yang
berjudul Encyclopedia of vernacular-architecture of the world ,
memberikan gambaran yang cukup mendalam tentang pemahaman
arsitektur vernakular. Ia mencoba mendefinisikan arsitektur-vernakular
sebagai suatu kumpulan rumah dan bangunan penunjang lain yang
sangat terikat dengan tersedianya sumber-sumber dari lingkungan.
Kata Vernakular berasal dari vernaculus (latin) berarti asli
(native). Maka diartikan sebagai arsitektur asli yang dibangun oleh
masyarakat setempat. Paul Oliver dalam bukunya Ensikolopedia
Arsitektur Vernakular menjabarkan bahwa arsitektur vernakular
konteks dengan lingkungan sumber daya setempat yang dibangun
oleh suatu masyarakat dengan menggunakan teknologi sederhana
untuk memenuhi kebutuhan karakteristik yang mengakomodasi nilai
ekonomi dan tantanan budaya masyarakat dari masyarakat tersebut.
Arsitektur vernakular ini terdiri dari rumah dan bangunan lain seperti
lumbung, balai adat dan lain sebagainya.
Selain itu, istilah-istilah lain sering bersentuhan arti dan
maknanya dengan vernakular arsitektur yaitu arsitektur rakyat (Folk
Architecture), arsitektur lokal atau kontekstual (indigenous
architecture) bahkan ada juga yang kemiripan dengan arsitektur
alamiah (spontanous architecture). Secara garis arsitektur rakyat
diartikan sebagai arsitektur yang menyimbolkan budaya suatu suku
bangsa dengan beberapa atribut yang melekat dengannya.
Sementara itu, arsitektur lokal atau kontekstual, adalah arstektur yang
beradaptasi dengan kondisi budaya, geografi, iklim dan lingkungan
dan arsitektur alamiah adalah arsitektur yang dibangun oleh satu
masyarakat berdasarkan proses alamiah seperti kebutuhan dasar
manusia.

48
Menurut Amos Rapoport dalam buku House Form and Culture
Arsitektur vernakular adalah suatu karya arsitektur yang tumbuh dari
arsitektur rakyat dengan segala macam tradisi dan mengoptimalkan
atau memanfaatkan potensi-potensi lokal. Misalnya material,teknologi
dan pengetahuan. Dikarenakan arsitektur vernakular sangat
mengoptimalkan potensi atau budaya lokal, maka suatu bangunan
yang berkonsep vernakular sangat mempertimbangkan kelestarian
lingkungan sehingga juga bersifat sustainable architecture. Arsitektur
vernakular ditemukan secara trial and error oleh rakyat itu sendiri.
Arsitektur vernakular selalu berkaitan atau bahkan diidentikkan
dengan arsitektur tradisional. Walaupun sering dikait-kaitkan tetap ada
perbedaan antara kedua gaya tersebut. Perbedaan antar arsitektur
vernakular dengan arsitektur tradisional yaitu : Arsitektur vernakular
pada cara –cara mendesain dan mendirikan bangunan dilakukan
dengan efektif dan efisien ditemukan melalui sistem trial and error.
Arsitektur tradisional adalah arsitektur yang dibuat dengan cara yang
sama secara turun temurun dengan sedikit atau tanpa adanya
perubahan-perubahan yang signifikan pada bangunan tersebut.
Terjadinya bentuk-bentuk atau model vernakular disebabkan
oleh enam faktor yang dikenal sebagai modifying factor diantaranya
adalah :
- Faktor Bahan
- Metode Konstruksi
- Faktor Teknologi
- Faktor Iklim.
- Pemilihan Lahan
- Faktor sosial-budaya

49
E. Transformasi asitektur tradisional – vernacular
Arsitektur Vernakular sebagai salah satu cerminan budaya,
sekurang‐kurangny mengandung nilai yang berlaku dalam
masyarakat. Karena itu pelestarian bangunan vernakular mempunyai
arti bukan sekadar memelihara bangunan dan informasi tentang nilai
informasi tentang nilai budaya yang terkandung. Karya Arsitektur
Vernakular merupakan pernyataan kreatif yang jujur da interaksi
kehidupan sosial kultural masyarakatnya, sebagai hasil penelaahan
menerus. Pluralitas arsitektur yang dinamis, yang tidak bisa dilakukan
dengan bentuk tertentu yang tunggal rupa, wajib dikembangkan
dengan penuh kreatifitas dan inovasi baru dari arsitektur
trrradisionalnya.
Jika melihat beberapa penjelasan dan analisis seperti
sebelumnya, dapat dikatakan,bahwa peninggalan Arsitektural
tradisional “To Kaili” merupakan sebuah karya arsitektur yang ada di
Sulawesi Tengah Khususnya di Lembah Palu, karena memiliki
beberapa karakteristik karya baik dari segi produk dan prosesnya
antara lain :
1. Tidak jelasnya identitas sang perancang (anonimitas), Maksud
dan tujuanmerancang bukan untuk suatu tujuan tertentu,
melainkan hanya berdasarkan kebutuhan alami akan tempat
tinggal.
2. Bentuk dan model bangunan arsitektur Kaili merupakan bentuk
tunggal yang sebangun dengan karakter khas yang kongruen
serta variasi yang tidak terlalu bervariasi.
3. Konsisten terhadap penggunaan model, walaupun terdapat
beberapa variasi bentuk pada beberapa jenis bangunan tetapi
tetap mempertahankan bentuk dan pola‐pola dasar arsitektur Kaili.
4. Mengalami Perubahan yang berdasarkan waktu seperti
penggunaan beberapa material yang diganti dan modifikasi
beberapa bentuk.

50
5. Tingkat dan derajat klasifikasi sesuai dengan kultur dan budaya
masyarakat Kaili, hal ini bias dilihat dengan keragaman bentuk
dan fungsi yang menjadi suatu akomodasi sosial dan budaya.
6. Bentuk denah, serta Morfologinya yang sangat spesifik dan
memiliki berbagai macam variasi.
7. Arsitektur Kaili bersifat alami, respon terhadap lingkungan
setempat serta penggunaan material yang alami dengan efisiensi
penggunaan sumber daya.
8. Tidak terikat pada suatu ukuran standar tertentu yang ada pada
ilmu Arsitektur, jarak kolom, panjang dan lebar bangunan semata‐
mata merespon kondisi setempat dengan ketersediaan panjang
bahan yang ada dan jenis bahan yang tersedia.
9. Open‐Ended, terbuka menerima setiap perubahan yang terjadi.
Arsitektur Kaili mengalami perubahan dalam pemakaian material,
modifikasi style, ragam hias dan adanya perubahan fungsi dan
bentuk sesuai perubahan waktu dan kebutuhan yang ada.
F. Cara mendirikan bangunan :
Berdasarkan pola morfologinya, terkait dengan tinjauan arsitektur
kaili sebagai sebuah produk vernakular, secara umum, Habraken
(1988) menawarkan tiga cara dalam membedakan tipe bentuk
arsitektur, yaitu :
Spatial system, Physichal system dan stylistic system .:
a. Pola penataan spasial (Spatial System)
Arsitektur rumah kaili umumnya dibagi dalam tiga ruangan
besar, ruang depan disebut dengan (Lonta Karawana) yang
dibiarkan kosong, berfungsi menerima tamu,sebelum
menggunakan meja dan kursi diruang ini dibentangkan
Onysa atau tikar, ruang ini juga untuk tempat tidur tamu
menginap.
b. Ruang kedua adalah ruang tengah disebut Lonta Tatangana,
diperuntukan bagi keluarga dan tamu yang menginap

51
berfungsi sebagai ruang tengah dan ruang lain.Ruang ketiga
adalah Lonta Rarana yaitu ruang belakang untuk ruang
makan, kadangkadang ruang makan berada di Lonta
Tatangana antara dinding dibuat kamar kamar tidur,
khususnya untuk kamar tidur perempuan atau anak gadis.
c. Physical System ( Sistem Struktur )
Bahan utama yang digunakan adalah penggunaan bahan
kayu yang banyak terdapat daerah lembah Palu. Jenis kayu
yang biasa digunakan yaitu jenis kayu daerah, Palapi dan
kayu besi.
Dinding dibuat dari bahan papan kayu, lantai menggunakan
bahan kayu, struktur tiang dan struktur rumah panggung
lainnya menggunakan bahan kayu, sedangkan bahan atap
pada bangunan awal menggunakan bahan atap rumbia
setelah mengalami perkembangan zaman bahan atap
berubah menjadi bahan atap seng. Seperti yang telah
digambarkan pada falsafah arsitektur Kaili yang mempunyai
tiga bagian utama bangunan, yaitu Bagian Bawah
G. Ragam hias
Ragam hias pada bangunan tradisional umumnya tidak terlalu
rumit atau kompleks. Sebagian besar motifnya diambil dari bentuk
flora dan keagamaan.
Flora : Pada bangunan-bangunan tradisional dihias dengan
berbagai bentuk ragam hias yang menggunakan motif-motif tertentu,
terutama motif fauna dan flora. Ragam hias dengan motif fauna terdiri
dari 'pebaula' (berbentuk kepala dan tanduk kerbau) dan 'bati' (ukiran
kepala kerbau, ayam, atau babi). Ragam hias ini tidak diukir seperti
benda-benda ukiran biasa, tetapi hanya dipahat sampai halus dan
rapi. Ukiran kerbau merupakan simbol kekayaan, kesuburan dan
kesejahteraan pemilik rumah.

52
Kebanyakan ragam hias yang ada berupa pahatan berbentuk
bunga-bunga merambat atau tumbuhan anggur. Hiasan flora ini,
melambangkan kemuliaan atau budi pekerti yang halus. Selain itu ada
juga ukiran yang dibuat dari satu pola dipahat di atas sebilah papan,
kemudian diperbanyak. Bila disambung dengan papan lain yang
serupa akan membentuk dinding dengan ukiran yang merata di
seluruh permukaannya.
Fauna : Sedangkan ragam hias dengan motif flora (pompeninie)
merupakan sobekan-sobekan kain yang dibuat dari kulit kayu. Kain
yang berwarna-warni tersebut diikat dengan rotan, sehingga terangkai
menjadi suatu bentuk ragam hias, yang maksudnya agar penghuni
rumah terhindar dari segala gangguan roh-roh jahat. Umumnya bentuk
bunga yang sering dibuat sebagai ragam hias rumah.
Ragam hias daerah ini tidak memiliki nama khas daerah. Untuk
membuat ukiran-ukiran tersebut dibutuhkan keahlian khusus. Kayu
yang digunakan pun biasanya kayu keras yang tua. Sebagaimana
yang masih dapat ditemukan sekarang ada yang usianya sudah 100
tahun tetapi ukirannya masih utuh.
Selain ragam hias yang bermotifkan flora ada juga yang
bernuansa keagamaan, seperti kaligrafi Arab, kufi atau variasi.
Biasanya yang berupa kaligrafi adalah ukiran kalimat Syahadat. Untuk
mengukir kalimat dalam hurup Arab tersebut dibutuhkan ketelitian
agar hasilnya halus dan dapat dibaca. Ukiran semacam ini dipasang di
atas pintu masuk menghadap ruang tamu.
Ukiran ragam hias bermotifkan flora pada rumah rakyat
kebanyakan tidak mengandung makna khusus, karena lebih
menekankan pada segi keindahannya
Kesimpulan :

53

Anda mungkin juga menyukai