Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
National Health survey pada tahun 2001 menunjukkan bahwa penyakit

gigi dan mulut (Dental and Mouth Disease) menduduki peringkat pertama

dengan 59,9%. Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada

tahun 1995 dikatakan bahwa salah satu penyakit yang sering dijumpai pada

masyarakat biasanya menyerang jaringan keras gigi (Herijulianti, dkk., 2001).

Karies merupakan penyakit jaringan keras gigi yang meliputi email, dentin

dan sementum yang diakibatkan oleh aktivitas mikroba dalam suatu

karbohidrat yang dapat difermentasikan (Bakar, 2012). Salah satu cara

penanggulangan karies adalah restorasi gigi dengan cara membuang jaringan

karies dan menumpatnya dengan bahan restorasi. Bahan restorasi berfungsi

untuk memperbaiki dan merestorasi struktur gigi yang rusak (Septishelya,

dkk., 2016).
Bahan yang sering digunakan untuk merestorasi gigi salah satunya

adalah Glass Ionomer Cement (GIC). Bahan Glass Ionomer Cement pertama

kali diperkenalkan dalam bidang kedokteran gigi oleh Wilson dan Kent tahun

1972 (Septishelya, dkk., 2016). Glass Ionomer Cement (GIC) atau semen

ionomer kaca merupakan bahan yang terbuat dari kaca kalsium fluoro-

aluminosilikat bubuk yang dicampurkan dengan larutan asam alkenoik

(Souza, dkk., 2016). Ada beberapa jenis semen ionomer kaca berdasarkan

penggunaannya, salah satunya ialah tipe II yang berfungsi sebagai material

restorasi. Semen ionomer kaca tipe II secara umum mempunyai sifat lebih

keras dan kuat dibandingkan tipe I (Meizarini dan Irmawati, 2005). Semen

1
2

ionomer kaca mempunyai banyak kelebihan seperti biokompatibiliti baik dan

dapat melekat pada enamel dan dentin secara fisikokimiawi. Selain itu

kekurangan dari bahan ini ialah kekuatan, kekerasan, dan ketahanan fraktur

yang rendah (Sosrosoedirdjo, 2004; Lestari, dkk., 2012).


Kehadiran Glass Ionomer Cement saat ini terus dikembangkan guna

menutupi segala kekurangan yang dimilikinya. Pada tahun 1988 telah

dikembangkan berupa Glass Ionomer Cement dengan komposit resin yang

dikenal dengan sebutan Glass Ionomer Cement modifikasi resin

(Sosrosoedirdjo, 2004). Semen ionomer kaca modifikasi resin dilakukan

untuk memperbaiki sifat fisik, waktu pengerasan, dan sensitivitas air terhadap

kelembaban. Proses pengerasan semen ionomer kaca modifikasi resin melalui

tahap reaksi asam basa dan reaksi foto-polimerisasi. Foto-polimerisasi

berperan sebagai pengendali difusi sehingga besarnya penyerapan air pada

semen ionomer kaca modifikasi resin dapat dikurangin dengan adanya

monomer resin. Tahap pengerasan awal dilakukan aktivasi sinar pada semen

ionomer kaca modifikasi resin yang akan memperlambat reaksi asam basa

dan mencegah pengambilan air akibat reaksi asam basa. Proses pengambilan

air oleh semen akan berlangsung lima menit setelah pengadukan dan proses

kehilangan air pada semen berlangsung hingga dua minggu setelah

pengadukan, sehingga dapat menghasilkan semen yang kuat dan tidak rentan

terhadap kelembaban dan dehidrasi (Mellisa, dkk., 2011). Semen ionomer

kaca modifikasi resin memiliki kelebihan berupa kekuatan perlekatan yang

lebih baik terhadap struktur gigi, kekuatan tarik dan tekan yang lebih baik,

dapat melepaskan fluoride lebih lama, dan mudah penggunaannya (Al-

Akmaliyah, dkk., 2013).


3

Glass Ionomer Cement modifikasi Casein Phosphopetide-Amorphous

Calcium Phosphate (CPP-ACP) adalah sebuah bahan remineralisasi yang

telah digabungkan kedalam GIC. Casein Phosphopetide atau CPP adalah

kasein yang terfosforilasi atau berikatan dengan gugus fosfat. Kalsium fosfat

yang distabilkan oleh CPP adalah dalam bentuk Amorphous Calcium

Phosphate atau ACP. Kandungan yang terdapat didalam CPP-ACP ialah

protein susu yang memiliki efek antikariogenik melalui perannya sebagai

agen remineralisasi, sehingga dapat mencegah karies sekunder.

Penggabungan CPP-ACP kedalam GIC telah diuji dengan hasil yang sangat

baik yaitu dapat meningkatkan kekerasan mikro pada email, meningkatkan

kekuatan ikatan tarik, meningkatkan kekuatan tekan dan meningkatkan

pelepasan kalsium, fosfat dan fluoride pada pH netral maupun asam (Al-

Akmaliyah, dkk., 2013; Zhao, dkk., 2017).


Mineral Tioxide Aggregate (MTA) merupakan bahan yang ditemukan

pada tahun 1993, dan tersusun atas kalsium, silika, dan bismuth. Penggunaan

MTA ditujukan sebagai bahan retrogard kemudian dikembangkan sebagai

bahan perawatan kaping pulpa, pulpotomi, pembentukan barier di apikal pada

apeks terbuka dan perawatan perforasi akar (Mellisa, dkk., 2011). Kelebihan

dari MTA meliputi biokompatibilitas tinggi, bersifat mengisi, tidak toksik,

mudah larut sehingga tingkat kebocorannya rendah, tidak menimbulkan

inflamasi, mengandung anti jamur, dan dapat merangsang pembentukan

jaringan keras. Selain itu, kekurangan dari MTA adalah manipulasi yang sulit

dan setting time lama (Camilleri, 2014; Eid, dkk., 2016).


Penelitian ilmiah terdahulu cukup banyak dilakukan terhadap bahan

MTA sebagai tambahan pada GIC. Penelitian tersebut menggunakan MTA


4

sebagai bahan bioaktif tambahan GIC dan dibuktikan melalui uji kekerasan

dan uji SEM. Hasil penelitian tersebut diketahui bahwa uji kekerasan setelah

24 jam pada penempatan GIC menunjukan perbedaan yang signifikan

terhadap kekerasan pada kondisi kering. Hasil uji SEM penelitian ini

menunjukan bahwa semua megalami pembentukan celah pada permukaan.

Namun, pada kelompok kondisi kering lebih banyak ditemukan pembentukan

celah permukaan dibandingkan kelompok kondisi basah (Eid, dkk., 2016).


Penelitian lain yaitu mengamati mengenai uji kekuatan geser pada

Glass Ionomer Cement yang dimodifikasi dengan Casein Phosphopetide-

Amorphous Calcium Phosphate. Hasil penelitian menunjukan bahwa Glass

Ionomer Cement modifikasi CPP-ACP memiliki kekuatan ikatan geser yang

tinggi. Selanjutnya, modifikasi CPP-ACP lebih unggul dari GIC konvensional

terhadap remineralisasi dentin (Zhao, dkk., 2017). Penelitian yang dilakukan

oleh Mellisa, dkk (2016) tentang perbedaan kekuatan geser perlekatan

Mineral Trioxide Aggregate pada waktu pengerasan berbeda terhadap semen

ionomer kaca konvensional dan modifikasi resin. Hasil penelitian tersebut

menunjukan perbedaan kekuatan geser pada perlekatan MTA, dengan hasil

yang lebih unggul pada waktu 3 jam dan lebih unggul pada semen ionomer

kaca modifikasi resin.


Belum diketahui secara pasti tingkat kebocoran mikro perlekatan MTA

pada waktu pengerasan yang berbeda terhadap Glass Ionomer Cement

modifikasi resin dan Glass Ionomer Cement modifikasi CPP-ACP.

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan, peneliti bermaksud untuk

melakukan penelitian mengenai perbedaan tingkat perlekatan MTA dengan

waktu pengerasan yang berbeda terhadap Glass Ionomer Cement modifikasi


5

resin dan Glass Ionomer Cement modifikasi CPP-ACP pada uji kebocoran

mikro.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana perbedaan

kebocoran mikro Mineral Trioxide Aggregate pada waktu pengerasan berbeda

terhadap Glass Ionomer Cement modifikasi resin dan Glass Ionomer Cement

modifikasi CPP-ACP?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui dan

menganalisis perbedaan tingkat kebocoran mikro pada resin komposit

bulkfill packable antara bonding generasi V dan bonding generasi VIII

menggunakan metode penyinaran uniform continuous cure dan intermittent

cure selama 40 detik.


2. Tujuan Khusus
a. Membandingkan dan menganalisis tingkat kebocoran mikro pada

resin komposit bulkfill packable antara bonding generasi V dan

bonding generasi VIII menggunakan metode penyinaran uniform

continuous cure dan intermittent cure selama 40 detik.


b. Mendeskripsikan mikrostruktur email gigi setelah dilakukan uji

kebocoran mikro menggunakan Scanning Electron Microscopy

(SEM).

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu

konservasi kedokteran gigi dengan menyumbang pengetahuan mengenai

perbedaan tingkat kebocoran mikro pada resin komposit bulkfill packable


6

antara bonding generasi V dan bonding generasi VIII menggunakan metode

penyinaran uniform continuous cure dan intermittent cure selama 40 detik.

2. Manfaat Praktis
a. Memberikan pengetahuan mengenai kekuatan perlekatan bahan-bahan

bonding dan membantu dalam memilih bahan bonding yang memiliki

kekuatan perlekatan baik.


b. Membantu dan memberikan masukan kepada praktisi dalam memilih

metode penyinaran resin komposit yang tepat agar menghasilkan hasil

yang optimal.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi tambahan

bagi pembaca sehingga dapat dilanjutkan atau dijadikan pembanding

dalam penelitian selanjutnya.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang dilakukan mengacu pada penelitian serupa

sebelumnya dengan merubah beberapa variabel dan metode penelitian, seperti

yang dijelaskan pada tabel 1.1

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian

No Judul Penelitian Persamaan Perbedaan


7

1. Perbedaan Kebocoran Persamaan dengan Perbedaan dengan


Tepi Antara Restorasi penelitian ini adalah penelitian ini adalah
Resin Komposit Tipe sama-sama menguji pada resin komposit
Bulk-Fill dan Tipe kebocoran mikro yang digunakan yaitu
Packabel dengan pada restorasi resin komposit
Penggunaan Sistem komposit bulkfill microhybrid dan
Adhesif Total Etch dan packable dengan bonding generasi VII
Self Etch. bonding generasi V sedangkan pada
Peneliti: Arlina penelitian ini
Nurhapsari. terhadap resin
Tahun: 2016 komposit bulkfill dan
bonding generasi VIII

2. Kebocoran Mikro pada Persamaan dengan Perbedaan dengan


Restorasi Komposit penelitian ini adalah penelitian ini adalah
Resin dengan Sistem sama-sama menguji terhadap bonding
Total-Etch dan Self- tingkat kebocoran generasi VI
Etch pada Berbagai mikro terhadap bahan sedangkan penelitian
Jarak Penyinaran bonding generasi V ini menggunakan
(Microleakage of pada resin komposit bonding generasi VIII
Resin Composit
Restoration with Total-
Etch and Self-Etch
Systems at Various
Curing Distances).
Peneliti: Viona
Diansari, Yosi Kusuma
Eriwati, Decky J.
Indrani.
Dipublikasikan:
2008.

3. An in vitro evaluation Persamaan dengan Perbedaan dengan


of microleakage of a penelitian ini adalah penelitian ini adalah
bulk fill composite sama-sama menguji menggunakan resin
resin in class V kebocoran mikro dan komposit bulkfill
cavities cured by two SEM. flowable dan restorasi
pulse modes. kavitas pada kelas V,
Peneliti: Rajisha KR, sedangkan penelitian
Sujatha I, ini menggunakan
Jayalalakshmi K, resin komposit
Prasannalatha Nadig, bulkfill packable pada
Prathyusha, Savitri D, restorasi kavitas kelas
dan Vamsi Krishna. I.
Dipublikasikan:
2016.
4 Evaluation of depth of Persamaan dengan Bahan : Bulk fill
cure and knoop penelitian ini adalah packable.
hardness in dental menggunakan
composite, photo- penyinaran uniform
activated using continuous cure dan
different methods. intermittent cure.
Peneliti: Mitra N
Hedge, Priyadarshini
Hedge, Babita Malhan.
Dipublikasikan:
2008.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Struktur Gigi
Struktur gigi terdiri dari enamel, dentin dan sementum yang

merupakan jaringan keras gigi (Chandra dkk, 2007). Enamel ialah lapisan

terluar gigi yang berfungsi sebagai pelindung dentin dan dapat menutupi

sebagian besar permukaan gigi (Garg dan Amit, 2013). Enamel terdiri dari

97% struktur anorganik, 1,5% tersusun dari bahan organik dan 1,5%

merupakan air terdiri dari 95-97% struktur anorganik, 1-2% tersusun dari

bahan organik dan sekitar 1-3% terdiri dari air. Enamel memiliki ketebalan

yang berbeda setiap jenis dan bagian gigi diantaranya adalah pada gigi

sulung memiliki ketebalan 0,5-1 mm dan gigi permanen memiliki

ketebalan enamel 1-2 mm. Ketebalan enamel pada incisal edge 2 mm,

pada cusp premolar 2,3-2,5 mm, dan pada cusp molar 2,5-3mm. Ketebalan

enamel menurun secara bertahap dari tepi insisal ke cemento-enamel

junction (Chandra dkk., 2007).


Dentin merupakan suatu jaringan keras gigi yang terletak dibawah

lapisan enamel dan komponen terbesar jaringan keras gigi. Dentin

berwarna lebih kuning dan lebih lunak bila dibandingkan dengan enamel.

Dentin mengandung 70% anorganik yang terdiri dari kristal hidroksiapatit

dan 20% struktur organik yang terdiri dari kolagen, dan 10% sisanya

adalah air (Brand dan Isselhard, 2014). Di dalam struktur dentin terdiri

dari tubulus dentin yang letaknya diantara serabut-serabut kolagen (Powers

dan Sakaguchi, 2012).


2. Karies

10
10

karies atau gigi berlubang merupakan suatu penyakit infeksi

mengenai jaringan keras gigi yang ditandai oleh rusaknya email dan

enamel (Ramayanti dan Purnakarya, 2013). Karies gigi terjadi karena

adanya proses aktivitas jasad renik dalam karbohidrat yang dapat

diragikan. Proses ini ditandai dengan adanya demineralisasi jaringan keras

gigi dan diikuti dengan kerusakan zat organiknya, sehingga menyebabkan

invasi bakteri lebih jauh ke bagian dalam gigi (Kumala, 2006 dalam

Widayati, 2014). Proses terjadinya karies disebabkan oleh empat faktor

yang saling berinteraksi dalam pembentukan karies gigi, yaitu host, agent

atau mikroorganisme, diet atau substrat, dan waktu (Zero, 2014).


Host merupakan morfologi dari setiap gigi manusia yang berbeda-

beda. Lekukan gigi yang dalam merupakan daerah yang sulit dibersihkan

dari sisa makanan yang melekat sehingga plak tersebut akan mudah

berkembang dan dapat menyebabkan karies (Brown dan Dodds, 2008

dalam Ramayanti dan Purnakarya, 2013). Faktor penyebab karies

selanjutnya ialah agent atau mikroorganisme. Mikroorganisme sangat

berperan penting terhadap penyebab karies gigi, salah satu nya ialah

Streptococcus mutans dan Lactobacillus. Bakteri tersebut merupakan

bakteri utama penyebab terjadinya karies gigi (Ramayanti dan Purnakarya,

2013).
Diet merupakan salah satu faktor penyebab terjadi nya karies gigi

yang bersifat lokal. Peran makanan dalam menyebabkan karies dilihat dari

derajat kariogenik makanan yang bergantung dari komponennya. Semakin

tinggi mengkonsumsi jenis makanan kariogenik, maka resiko terjadinya

karies meningkat. Selain itu, waktu merupakan faktor penyebab dalam


11

terjadinya karies. Karies merupakan penyakit yang berkembang secara

bertahap dan lambat dengan ditandai adanya periode demineralisasi dan

remineralisasi (Brown dan Dodds, 2008 dalam Ramayanti dan Purnakarya,

2013).
3. Resin Komposit
Pada akhir tahun 1950 dan di awal tahun 1960 resin komposit

diperkenalkan oleh Bowen. Resin komposit adalah suatu bahan tumpatan

sewarna dengan gigi asli nya yang berikatan langsung dengan permukaan

gigi (Rawis dan Upshaw, 2003). Resin komposit digunakan pada gigi

anterior maupun posterior (Hollins, 2008). Kelebihan dari resin komposit

ialah memiliki sifat mekanik yang lebih baik, perubahan dimensi lebih

rendah saat setting dan ketahanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan

akrilik dan silikat, sehingga meningkatkan kinerja klinis (Powers dan

Sakaguchi, 2007). Selain mempunyai kelebihan, resin komposit juga

memiliki kekurangan yaitu terjadinya pengerutan selama proses

polimerisasi (polimerization shrinkage). Polimerisasi tersebut dapat

menyebabkan terjadi nya kebocoran mikro (microleakage) antara resin

komposit dan gigi yang akan menimbulkan karies sekunder bahkan

kegagalan restorasi (Bona dkk., 2009).


Komposisi resin komposit terdiri dari empat komponen utama, yaitu

resin matriks (organic polymer matrix), partikel pengisi anorganik (filler),

bahan pengikat (coupling agent), dan inisiator (Dentsply, 2003). Matriks

adalah bahan resin yang akan berikatan dengan partikel pengisi. Sebagian

besar matriks yang digunakan adalah monomer aromatic dan atau

aliphatic dimetacrylate seperti bisphenol a glycidyl methacrylate (BIS-

GMA), tryethylene glycol dimethacrylate (TEGDMA), dan urethane


12

dimethacrylate (UDMA) (Anusavice, dkk., 2013). Kandungan yang

terdapat dalam bis-GMA dan UDMA mengandung karbon reaktif ikatan

ganda di setiap akhir, dan dapat mengalami penambahan polimerisasi

dimulai oleh inisiator radikal bebas. Bis-GMA memiliki viskositas tinggi

dan harus ditambahkan pengencer agar didapatkan konsistensi klinis bila

campuran resin ditambahkan dengan filler atau bahan pengisi. Pengencer

bis-GMA dapat berupa monomer metakrilat, namun pada umumnya yang

biasa digunakan ialah TEGDMA yang merupakan monomer dimetakrilat.

Monomer yang biasanya digunakan sebagai pengencer adalah TEGDMA

yang memiliki berat molekul kecil (Powers dan Sakaguchi, 2007).


Partikel pengisi atau filler adalah bahan anorganik yang tersebar di

dalam matriks. Filler berfungsi untuk membuat komposit menjadi lebih

kuat dari bahan restorasi, dilihat dari kekuatan kompresi, kekerasan,

kekuatan tarik dan modulus elastisitasnya (Powers dan Sakaguchi, 2012).

Umumnya filler komposit yaitu quartz atau kaca untuk dapat

menghasilkan partikel yang berukuran berkisar 0,1-100 µm (Anusavice,

2004).
Komponen selanjutnya adalah coupling agent. Coupling agent

adalah bahan pengikat yang berfungsi untuk meningkatkan adhesi antara

filler dengan matriks resin. Bahan coupling yang sering digunakan adalah

silane, seperti ᵧ-metacryloxypropyltrimetoxy silane. Sedangkan, inisiator

adalah subtansi yang ditambahkan untuk bereaksi terhadap aktivasi cahaya

atau kimiawi untuk mencetuskan terjadinya proses polimerisasi. Reaksi

polimerisasi resin komposit dapat dipicu oleh aktivasi cahaya (light-


13

curing), aktivasi kimia (self-curing), dan aktifasi kimia-cahaya (dual

curing) (Sakaguchi dan Powers, 2012).


Resin komposit berdasarkan matriks resin dan filler dapat

diklasifikasikan menjadi resin komposit makrofil, mikrofil, nanofilled, dan

nanohybrid (Hatrick dan Eakle, 2015). Klasifikasi lain yaitu berdasarkan

jumlah filler dan cara pengaplikasiannya:


a. Resin Komposit Packable
Resin komposit packable diperkenalkan pada akhir tahun 1990-

an, komposit ini dikategorikan berdasarkan manipulasinya dan

kegunaannya. Resin komposit packable merupakan suatu bahan

restorasi yang melibatkan bagian proksimal, dan dapat diinsersikan

kedalam kavitas secara kondensasi. Filler yang terdapat dari resin

komposit packable adalah 66-70% per volume sehingga membuat

viskositas meningkat. Komposit packable dapat digunakan pada

restorasi kavitas kelas I, kelas II dan kelas VI. Keuntungan resin

komposit ini dapat mengurangi shrinkage selama proses polimerisasi

(Heymann dkk, 2013).


b. Resin Komposit Flowable
Resin komposit flowable merupakan jenis komposit yang

memiliki viskositas lebih rendah dibandingkan resin komposit

packable karena resin komposit flowable memiliki ukuran dan jumlah

filler lebih sedikit. Filler yang terdapat dari resin komposit flowable

adalah 40-43% per volume (Heymann dkk, 2013). Indikasi dari resin

komposit flowable adalah kavitas kecil kelas I, pit dan fisure sealent,

serta restorasi kavitas pada daerah servikal (Hatrick dan Eakle, 2015).
4. Resin Komposit Bulk Fill
Pada tahun 2010, mulai diperkenalkan resin komposit tipe bulk fill

(Burgess dan Cakir, 2010). Resin komposit bulk fill merupakan resin
14

komposit yang diaplikasikan ke dalam kavitas hingga ketebalan 4 mm atau

lebih, dan biasanya pada gigi posterior. Konsep ini memungkinkan untuk

mengurangi jumlah lapisan resin komposit dan hanya dilakukan pada satu

tahap pengisian kemudian dilakukan penyinaran (Kwong, 2012). Resin

komposit bulk fill mempunyai kelebihan berupa shrinkage yang rendah

sehingga dapat mengurangi kebocoran mikro dan dapat dipolimerisasi

dengan kedalaman penyinaran hingga 4 mm dengan teknik bulk sehingga

dapat mempercepat waktu pengerjaan. Terdapat 2 sediaan berdasarkan

viskositasnya yaitu resin komposit bulk fill dengan viskositas tinggi

(packable) dan resin komposit dengan viskositas rendah (flowable)

(Hatrick dan Eakle, 2015).


Resin komposit bulk fill packable (tetric n-ceram bulk fill)

mengandung matriks resin berupa bisphenol A-diglycidyl dimethacrylate

(Bis-GMA), ethoxylated bisphenol A dimethacrylate (Bis-EMA) dan

urethane dimethacrylate (UDMA), bahan pengisi anorganik (filler) berupa

barium aluminium silicate glass filler, isofiller (dimethacrylates, glass

filler, dan terbium flouride), serta mixed oxide, catalyst, stabilizers,

pigmen, inisiator (untuk mengaktifkan mekanisme pengerasan komposit),

dan inhibitor (Todd dan Wanner, 2014; Orlowski dkk, 2015). Selain itu,

terdapat penambahan foto-initiator baru berupa ivocerin berbahan dasar

dibenzoyl germanium derivative. Penambahan bahan tersebut berfungsi

untuk menambah penyerapan cahaya pada saat penyinaran sinar yakni

370-460 nm, agar terjadi proses polimerisasi yang sempurna meskipun

ditumpat dengan kedalaman 4 mm (Todd dan Wanner, 2014). Resin

komposit bulk fill packable memiliki kelebihan yaitu hanya membutuhkan


15

sekali penumpatan serta tidak membutuhkan bahan komposit lain untuk

menutupi bagian oklusalnya (Jackson, 2011).


5. Bonding
Dental bonding atau adhesion adalah prosedur perlekatan bahan

restorasi berbasis resin komposit pada struktur gigi. Bonding agent adalah

bahan yang diaplikasikan untuk melekatkan gigi dengan suatu material

atau bahan restorasi dan dapat mengeras dengan bantuan sinar maupun

kimiawi (Dhingra dan Singh, 2014). Bahan bonding memiliki komponen

utama yaitu bahan etsa, primer, dan adhesif atau bonding agent.
a. Komponen Bahan Bonding
1) Etsa asam
Etsa asam merupakan prosedur pertama dalam melakukan

restorasi menggunakan bahan komposit yang berfungsi untuk

memberi ikatan yang kuat antara resin dengan email. Bahan etsa pada

umumnya berisikan larutan asam fosforik dengan konsentrasi 30%-

50%. Konsentrasi yang biasa digunakan adalah 37%. Konsentrasi

lebih dari 50% dapat menyebabkan pembentukan monokalsium fosfat

monohidrat pada permukaan teretsa yang dapat menghambat kelarutan

lebih lanjut. Biasanya etsa berbentuk gel agar mudah dikendalikan

(Anusavice, 2004). Lama nya waktu pengaplikasian etsa asam sangat

bervariasi, biasanya berdurasi 15-30 detik (Bomsor dan Pearson,

2013). Keuntungan waktu pengetsaan yang lebih singkat dapat

memberikan kekuatan ikatan yang lebih baik dan dapat menghemat

waktu. Setelah proses pengaplikasian etsa, asam segera dibilas dengan

air selama 20 detik dan enamel dikeringkan dengan baik (Anusavice,

2004).
16

Prosedur pengetsaan pada enamel bertujuan untuk

menghilangkan smear layer dan melarutkan lapisan prisma enamel

yang masih tersisa. Tanda awal pengetsaan adanya frosty white

appearance berupa gambaran putih salju pada permukaan enamel.

Setelah smear layer hilang dan tubulus dentin melebar membentuk

suatu kavitas yang kasar sehingga memudahkan bahan bonding

berpenetrasi pada tubulus dentin dan membentuk ikatan yang baik

(Powers dan Sakaguchi, 2012).

2) Primer
Primer merupakan solusi yang mengandung monomer, oligomer,

atau polimer hidrofilik, yang berfungsi untuk meningkatkan adaptasi

bahan bonding. Monomer yang digunakan yaitu monomer hydrofilik

(NTG-GMA, 4 META atau MMA, dan glutaraldehyde). Primer

mengandung asam karboksilik yang digunakan sebagai bahan bonding

self-etching, aceton, etanol-air, dan air. Oleh karena itu, primer

memiliki penguapan, pengeringan, dan karakteristik penetrasi yang

berbeda sehingga dapat mempengaruhi kekuatan ikatan (Sakaguchi

dan Powers, 2012).


3) Adhesif atau bonding agent
Adhesif atau bonding agent adalah suatu bahan yang dapat

melekatkan antara dua permukaan yang berbeda (permukaan struktur

gigi dan bahan restorasi). Adhesif yang baik memiliki 2 syarat yaitu,

antara dua material yang saling berikatan harus berkontak cukup dekat

dan wetting adhesive terjadi apabila surface tension lebih rendah dari

surface energy adherend (Bakar, 2012).


17

Secara umum adhesif bersifat hidrofobik yang berisikan

oligomer dimetakrilat yang kompatibel pada dentin primer dan

komposit. Fungsi dari bahan adhesif yaitu untuk membentuk resin tag

yang dapat menutupi tubulus dentin dan dapat membentuk lapisan

hybrid. Adhesif mengandung beberapa komponen dari bahan primer

misalnya HEMA untuk meningkatkan kekuatan perlekatan. Beberapa

dentin bonding yang mengandung multi fungsi monomer (primer atau

adhesive) dengan gugus hidrofilik untuk memperoleh sifat

pembasahan dan penetrasi yang baik. Sifat hidrofobik akan

berpolimerisasi dan berikatan dengan resin komposit diatasnya (Craig

dkk, 2004; Garg dan Amit, 2013). Berdasarkan perkembangannya

bahan adhesif dibagi dalam beberapa generasi, yaitu generasi I sampai

generasi VIII.
b. Perkembangan Generasi Bahan Bonding
1) Bonding generasi I
Pada tahun 1956, Buonocore dkk menunjukkan bahwa

penggunaan generasi pertama yang mengandung bahan resin dapat

melekat pada dentin melalui etsa asam. Perlekatan ini diyakini

terdapat hubungan antara molekul resin dengan ion kalsium

hidroksiapatit. Adanya air (kondisi basah) dapat mengurangi kekuatan

terhadap perlekatan. Kekuatan perlekatan dari generasi ini awalnya

hanya 1 sampai 3 Mpa yang memberikan efek klinis sangat rendah.

Bahan ini direkomendasikan terutama untuk kavitas kecil, seperti

kelas III dan kelas V (Kugel dan Ferrari, 2000).


2) Bonding generasi II
Generasi kedua diperkenalkan pada akhir tahun 1970-an, yang

merupakan pengembangan dari bahan adhesif yang berfungsi ganda


18

terhadap komposit dan mempunyai daya lekat ke dentin lebih baik.

Mekanisme generasi kedua ialah terbentuknya ikatan ionik dengan

kalsium melalui kelompok-kelompok chlorophosphate. Generasi

kedua memiliki perlekatan yang lemah dan smear layer tidak

sepenuhnya hilang dibandingkan dengan sistem generasi kelima dan

keenam, tetapi memiliki sifat yang lebih baik dibandingkan generasi

pertama (Garg dan Amit, 2013).


3) Bonding generasi III
Sistem generasi ketiga mulai diperkenalkan sekitar tahun 1980-

an yaitu dengan menggunakan etsa asam pada dentin dan bahan

primer yang didesain untuk penetrasi ke tubulus dentin sebagai

metode untuk meningkatkan kekuatan perlekatan. Bonding generasi

III menggunakan etsa asam untuk menghilangkan smear layer (Bakar,

2012). Pada generasi ini memiliki kekurangan berupa peningkatan

terhadap resiko kebocoran dan penurunan terhadap kekuatan ikatan

(Garg dan Amit, 2013).


4) Bonding generasi IV
Komponen yang terdapat didalam bahan bonding generasi IV

mengandung bahan etsa, primer dan adhesive dengan botol yang

terpisah. Bahan etsa generasi IV berisikan asam fosforik sebanyak 31-

37%, asam citric sebanyak 10% atau kalsium klorida sebanyak 20%,

asam oxalic atau alumunium nitrat. Primer mengandung NTG-GMA

atau BPDM, HEMA atau GPDM, 4-META atau MMA, glutaraldehid.

Adhesif mengandung bis-GMA atau TEGMA, dan larutan yang

terkandung dalam bonding generasi adalah aceton dan etanol atau air

(Powers dan Sakaguchi, 2007).


5) Bonding generasi V
19

Bonding generasi V terdiri dari 2 botol yakni, 1 botol untuk

bahan etsa dan 1 untuk bahan primer adhesive. Bonding generasi V

dengan bahan etsa yang berisikan asam fosforik. Sedangkan primer

adhesive mengandung PENTA dan phosphonat metakrilat. Terdapat

dua macam kandungan larutan bonding generasi V, yang pertama tidak

mengandung bahan larutan dan yang kedua mengandung larutan

berupa aceton dan etanol/air (Powers dan Sakaguchi, 2007). Tahap

yang dilakukan pertama dilakukan pengaplikasian pengetsaan dan

dilanjutkan dengan aplikasi campuran bahan primer dan bahan

bonding. Generasi ini memiliki kelebihan yaitu menghasilkan

kekuatan yang lebih besar dan lebih baik dibandingkan generasi

sebelumnya, mudah diaplikasikan, membutuhkan waktu singkat dan

sensitivitas berkurang pasca perawatan (Chandra dkk., 2007).


6) Bonding generasi VI
Terdapat dua tipe bonding generasi VI yakni, tipe pertama,

bahan etsa tidak diperlukan, bonding terdiri dari 2 botol primer dan

adhesif dengan asam primer-adhesif phosphat metakrilat serta air

sebagai bahan pelarutnya. Tipe kedua terdiri dari 2 botol, jika akan

digunakan kedua bahan tersebut dicampurkan terlebih dahulu (Powers

dan Sakaguchi, 2007).


7) Bonding generasi VII
Bonding generasi ketujuh mulai dikenalkan pada akhir tahun

2002-an. Sistem bonding generasi ketujuh merupakan bahan adhesif

“all in one” yaitu kombinasi antara bahan etsa, bahan primer, dan

bonding dalam satu larutan. Hasil penelitian sebelumnya,

menunjukkan bahwa generasi ini memiliki kekuatan perlekatan dan


20

penutupan daerah margin sama dengan sistem generasi keenam

(Powers dan Sakaguchi, 2007).


8) Bonding generasi VIII
Bonding generasi VIII merupakan 1-step self-etch (1-step SE)

adhesive dengan sedian berupa satu cairan gabungan etsa, primer, dan

adhesif. Bonding generasi ini dikenal juga dengan universal adhesive

atau multi mode adhesive karena dapat diaplikasikan dengan teknik

total etch atau self etch terkait asam fosfat. Teknik etsa yang dilakukan

sebatas permukaan email yang disebut dengan selective etch

(Loguercio, dkk., 2015). Bonding generasi VIII mengandung

monomer adhesif polifungsional berupa asam fosfat yang dimodifikasi

oleh ester metakrilat. Kombinasi asam ester dengan air akan

menghasilkan asam ringan (mild self etch) dengan pH sekitar 2

(Karkar, dkk., 2011). Asam ringan dapat menimbulkan demineralisasi

superfisial dan memicu koagulasi protein pada dentin yang akan

berperan terhadap pembentukan mechanical sealing pada tubuli

dentin, sehingga tidak memicu sensitivitas pulpa (Joseph, dkk., 2013).


Komponen yang terkandung terdiri dari 10-

methacryloyloxydecyl dihydrogen phosphate (MDP), dipentaerythritol

pentaacrylate phosphoric acid ester (PENTA), methacrylated

carboxylic acid polymer (MCAP), dan polyalkenoic acid copolymer

yang dapat meningkatkan perlekatan pada struktur gigi (Farias, dkk.,

2016). Bahan ini diperkuat dengan komponen nanofiller berupa

silikon dioksida (SiO2) yang berukuran sangat kecil (0,0007 – 8 µm),

sehingga membentuk ikatan yang sangat kuat (Chandki dan Kala,

2011). Nanofiller juga dapat meningkatkan kemampuan ikatan silang


21

pada resin, sehingga membentuk hybrid layer yang lebih tebal dan

tahan terhadap penyusutan saat polimerisasi dan menghasilkan

perlekatan yang lebih lama (Hatrick dan Eakle, 2015; Somani, dkk.,

2016).
6. Penyinaran
a. Light Curing Unit
Sumber sinar bahan material berbasis resin (resin komposit)

telah diperkenalkan pertama kali pada tahun 1970. Unit curing yang

pertama diperkenalkan menggunakan sumber cahaya ultraviolet (UV),

radiasi ultraviolet (radiasi dengan panjang gelombang di bawah 385

nm), dan radiasi cahaya (iluminasi) dengan panjang gelombang di atas

500 nm. Dari sumber tersebut dapat menyebabkan kerusakan pada

pulpa gigi sehingga dikembangkanlah sumber sinar berupa sinar

tampak (light curing) untuk memperbaiki dari kekurangan sumber

sinar ultraviolet (Fitriyani dan Herda, 2008 dalam Laisina, 2014).

Sumber sinar resin komposit dapat dilakukan dengan empat jenis,

antara lain: lampu Quartz Tungsten Halogen (QTH), Light Emitting

Diode (LED), lampu argon ion laser dan lampu plasma (Malhotra dan

Mala, 2010). LED merupakan sumber polimerisasi terbanyak yang

digunakan di bidang kedokteran gigi (Deliperi, dkk., 2003).


Secara umum, semua jenis LED mempunyai konversi monomer

lebih baik dan degradasi resin komposit yang lebih rendah (Oliviera,

2009). Intesitas sinar LED bervariasi dari 300 hingga 2000 mW/cm²

dan lama waktu penyinaran resin komposit berkisar antara 10-60 detik

(Nalcaci, dkk., 2005). Farahat dkk. (2016), merekomendasikan lama

waktu penyinaran resin komposit bulk fill diperpanjang menjadi 40


22

detik. Sinar yang digunakan untuk penyinaran resin komposit harus

memiliki panjang gelombang 360-520 nm (Gomes, dkk., 2014). LED

memiliki kelebihan berupa energi yang dihasilkan lebih efisien dan

temperaturnya lebih rendah sehingga tidak menyebabkan iritasi

gingiva dan pulpa (Nalcaci, dkk., 2005).


b. Metode Penyinaran Resin Komposit
Menurut Albers (2002), metode penyinaran resin komposit

dibagi menjadi dua kategori, yaitu continuous cure dan discontinuous

cure. Kategori tersebut di bagi menjadi beberapa jenis bagian, yang

dapat diilustrasikan pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Gambaran grafis mode curing


Sumber: Albers, 2002
1) Metode Continuous Cure
Metode continuous cure merupakan metode penyinaran yang

dilakukan pada light cure yang menyala terus menerus. Terdapat

empat jenis metode continuous cure yaitu high energy pulse, uniform

continuous, ramp cure dan step cure (Albers, 2002).


a) High energy pulse
Metode ini merupakan intensitas sinar yang tinggi (1000-

2800 mW/cm² dengan pengaplikasian dalam waktu 10 detik.

Intensitas pada high energy pulse 3-6 kali lebih besar dari intensitas

normal (Albers, 2002). Light cure dengan intensitas sinar yang


23

tinggi dapat membantu dalam memaksimalkan tingkat konversi

monomer dan penyingkatan waktu pemaparan. Metode ini

memiliki kekurangan berupa adanya konversi monomer ke polimer

selalu disertai polymerization shrinkage karena terdapat

pemendekan jarak antar molekul pada polimerisasi resin komposit

(Braga dan Ferracane, 2004). High energy pulse cure sangat

membantu dokter gigi dalam menyelesaikan prosedur restoratif

dalam waktu lebih singkat dan polimerisasi yang lebih cepat

(Albers, 2002).
b) Uniform continuous
Metode ini merupakan metode penyinaran yang sering

digunakan di kedokteran gigi sampai saat ini. Metode uniform

continuous memiliki intensitas penyinaran yang sama mulai dari

awal hingga akhir proses polimerisasi (Albers, 2002). Intensitas

yang sama dapat menyebabkan polymerization shrinkage resin

komposit sehingga mengakibatkan kebocoran tepi (Jain dan

Pershing, 2003). Proses polimerisasi resin komposit dengan

ketebalan 4 mm dapat menggunakan LED curing unit dengan

intensitas di atas 500mW/cm² membutuhkan waktu selama 20 detik

dan apabila menggunakan LED curing unit dengan intensitas di

atas 1000mW/cm² membutuhkan waktu selama 10 detik (Atabek,

dkk., 2014).
c) Ramp cure
Menurut Radhika dkk. (2010), metode ini merupakan

metode yang menggunakan intensitas sinar yang meningkat sampai

intensitas maksimal 1000 mW/cm² selama 5 detik pertama


24

kemudian intensitasnya konstan hingga akhir penyinaran. Pada

awalnya, metode ini memiliki intensitas sinar yang cukup rendah

dan bertahap dari waktu ke waktu intensitas sinar menjadi tinggi.

Hal ini dapat menyebabkan resin komposit berpolimerisasi secara

perlahan sehingga dapat mengurangi stres pada proses polimerisasi

(Malhotra dan Mala, 2010).


d) Step cure
Metode ini merupakan metode penyinaran dengan

menggunakan intensitas yang rendah dan kemudian secara

bertahap menggunakan intensitas tinggi dalam periode waktu

tertentu. Interval peningkatan sinar pada step cure yaitu 200

mW/cm² setiap 2 detik pada 10 detik pertama kemudian intensitas

sinar menjadi konstan 1000 mW/cm² sampai sisa waktu proses

penyinaran (Santos, dkk., 2006). Hasil dari metode ini tidak merata

karena lapisan pada bagian atas lebih banyak terkena sinar. Selain

itu, metode ini mempunyai kelebihan berupa dapat mengurangi

polymerization shrinkage secara keseluruhan terhadap tepi

restorasi secara keseluruhan (Albers, 2002).


2) Metode Discontinuous Cure
Metode ini dilakukan dengan light cured yang menyala secara

terputus-putus akibat adanya periode yang tidak terpapar sinar.

Terdapat dua jenis metode discontinuous cure yaitu intermittent cure

dan pulse delay cure (Albers, 2002).


a) Intermittent cure
Intermittent cure merupakan metode penyinaran yang

terjadi pada siklus on-off. Metode ini menggunakan intensitas

tinggi dan konstan yang berlangsung selama 1 detik pada periode


25

terpapar sinar dan pada periode tidak terpapar sinar selama 0,5

detik, dan seterusnya selama waktu penyinaran (Albers, 2002).

Metode ini berfungsi untuk mengurangi polymerization shrinkage

serta meningkatkan adaptasi marginal restorasi resin komposit

(Cunha, dkk., 2008; Hedge, dkk., 2008).


b) Pulse delay cure
Pulse delay cure merupakan metode pada fase relaksasi

diantara waktu penyinaran pertama dengan intensitas rendah dan

penyinaran kedua dengan intensitas tinggi. Kelemahan dari metode

ini terdapat adanya polimerisasi yang tidak adekuat pada bagian

dalam kavitas (Albers, 2002).


7. Kebocoran Mikro
Kebocoran mikro didefinisikan sebagai masuknya bakteri, cairan

diantara dinding kavitas dan bahan restorasi yang digunakan akibat ri

kegagalan bahan bonding, adanya pengerutan (shrinkage) polimerisasi

bahan restorasi, perbedaan koefisien muai panas bahan restorasi dan

tekanan internal akibat adanya tekanan oklusal (Majeed, 2005). Koefisien

muai panas resin komposit 3-4 kali lebih besar dibandingkan dengan

koefisien muai panas gigi akibatnya dapat menyebabkan celah mikro

(Gunawan dan Perwitasari, 2001). Kebocoran mikro merupakan indikator

keberhasilan restorasi gigi dan faktor utama yang dapat mempengaruhi

keawetan pemakaian restorasi resin komposit (Soderholm, 1991).


Mikroskop stereo merupakan alat yang digunakan untuk mengetahui

tingkat kebocoran mikro (Apsari dkk, 2009). Metode yang sering

digunakan untuk mengetahui kebocoran mikro yaitu dengan cara teknik

pewarnaan. Zat warna yang digunakan untuk melihat kebocoran mikro

adalah methylene blue, yang mempunyai sifat mudah terdeteksi oleh sinar
26

tampak, larut dalam air, dan mudah berdifusi pada tubulus dentin, sehingga

terbentuk area pada dentin yang berwarna dan dapat diukur oleh analisis

gambar (Alani dan Toh, 1997).


8. Scanning Elektron Microscopy (SEM)
Scanning Elektron Microscopy adalah salah satu jenis mikroskop

menggunakan elektron dan berfungsi untuk melihat morfologi struktur

mikro suatu material. Kelebihan dari SEM mempunyai resolusi yang lebih

tinggi dari pada mikroskop tradisional. SEM diaplikasikan menggunakan

elektromagnet bukan lensa, sehingga peneliti dapat lebih mengontrol

derajat pembesarannya (Soanca, 2011).

B. Kerangka Teori

Restorasi Kavitas Klas I


Pengaplikasian Etsa

Bonding Generasi V Bonding Generasi VIII


27

Resin Komposit

Ukuran Partikel Konsistensi Teknik Aplikasi

Bulk Filling Incremental

Packable Flowable

Metode Penyinaran

Uniform Continuous Intermittent Cure

Uji Kebocoran Mikro

Uji Scanning Electron


Mircoscopy (SEM)

Gambar 2.2 Kerangka Teori


Keterangan :

: Variabel yang diteliti


BAB III
METODE PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Variabel Terkendali
- Bentuk dan ukuran restorasi
kavitas
- Teknik pengaplikasian resin
komposit bulk fill packable
- Ketebalan lapisan sampel resin
komposit bulk fill 4 mm
- Jenis bahan etsa
Variabel Bebas
- Gigi premolar post ekstraksi bebas Variabel Terikat
- Metode penyinaran
karies Kebocoran mikro resin komposit
uniform continuous cure
selama 40 detik - Jarak dan waktu penyinaran bulk fill packable
- Metode penyinaran - Variabel
Alat yang Tak Terkendali
digunakan LED curing
Gambar 3.1 Kerangka konsep
intermittentB.cure selama 40 -unitLama gigi setelah
Hipotesis
detik - pencabutan
Bonding generasi V dan bonding
Terdapat perbedaan tingkat kebocoran mikro pada resin komposit bulk
-generasi
Arah VIII
LED curing unit
fill packable antara bonding generasi V dan bonding generasi VIII dengan

menggunakan metode penyinaran uniform continuous cure dan intermittent

cure selama 40 detik.

C. Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen laboratorium murni,

dengan rancangan penelitian yang akan digunakan adalah post test only

control group design. Jenis penelitian ini dipilih karena penelitian

membutuhkan beberapa kelompok kontrol yang kemudian akan dievaluasi

setelah diberikan suatu perlakuan dan dilakukan dalam laboratorium.

D. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan selama 15 hari. Lokasi penelitian adalah

sebagai berikut.

31
29

1. Pembuatan sampel dilakukan di Laboratorium Kedokteran Gigi Dasar

Jurusan Kedokteran Gigi Universitas Jenderal Soedirman.


2. Uji kebocoran mikro dilakukan di Laboratorium Struktur Perkembangan

Hewan Universitas Jenderal Soedirman.


3. Uji SEM dilakukan di Laboratorium Teknik Geologi Universitas Jenderal

Soedirman.

E. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas :
a. Metode penyinaran uniform continuous cure selama 40 detik
b. Metode penyinaran intermittent cure selama 40 detik
2. Variabel terikat :
Kebocoran mikro resin komposit bulk fill packable
3. Variabel terkendali :
a. Bentuk dan ukuran restorasi kavitas
b. Teknik pengaplikasian resin komposit bulk fill packable
c. Ketebalan lapisan sampel resin komposit bulk fill 4 mm
d. Jenis bahan etsa
e. Gigi premolar post ekstraksi bebas karies
f. Jarak dan lama penyinaran
g. Alat yang digunakan LED curing unit
h. Bonding generasi V dan bonding generasi VIII
4. Variabel tidak terkendali :
a. Lama gigi setelah pencabutan
b. Arah LED curing unit

F. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi operasional Alat Skala


ukur
Metode Metode ini memiliki teknik Curing Nominal
penyinaran penyinaran dengan intensitas sinar Radiomet
uniform yang sama dari awal penyinaran er
continuous hingga akhir penyinaran.
cure
Metode Metode penyinaran ini terjadi dalam Curing Nominal
penyinaran siklus on-off, dengan intensitas Radiomet
intermitten tinggi dan konstan selama waktu er
t cure penyinaran.
30

Kebocoran Kebocoran mikro didefinisikan Microsco Rasio


mikro sebagai masuknya bakteri, cairan pe stereo
diatara dinding kavitas dan bahan
restorasi yang digunakan akibat dari
kegagalan bahan bonding, dan
pengerutan (shrinkage) polimerisasi
bahan restorasi. Tingkat kebocoran
mikro dapat dilihat dengan
menggunakan penetrasi pewarnaan
methylene blue 2%.

Resin Resin komposit bulk fill packable - Nominal


komposit memiliki viskositas tinggi dan
bulk fill diaplikasikan ke dalam kavitas
packable sedalam 4 mm dengan teknik bulk,
sehingga dapat mempercepat waktu
pengerjaan.

G. Sampel Penelitian
1. Perhitungan sampel
Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan

dengan rumus Steel dan Torrie (1995), dengan perhitungan sebagai

berikut:

Keterangan :
n = Besar sampel tiap kelompok
Zα = Nilai Z pada tingkat kesalahan tertentu (misalkan α = 0,05 maka nilai Z 1,96)
Zβ = Nilai Z pada tingkat kesalahan tertentu (misalkan α = 0,08 maka nilai Z 1,22)
d = kesalahan yang dapat ditoleransi, d2 = Qd2 = 1
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka jumlah sampel setiap

kelompok adalah 8. Pada penelitian ini terdapat 4 kelompok sehingga total

jumlah sampel adalah 32. Sampel dipilih secara random sampling.


31

a. Kelompok 1, adalah aplikasi resin komposit bulk fill packable dengan

bonding generasi V menggunakan metode penyinaran uniform

continuous cure selama 40 detik


b. Kelompok 2, adalah aplikasi resin komposit bulk fill packbale dengan

bonding generasi VIII menggunakan metode penyinaran uniform

continuous cure selama 40 detik


c. Kelompok 3, adalah aplikasi resin komposit bulk fill packable dengan

bonding generasi V menggunakan metode penyinaran intermittent

cure selama 40 detik


d. Kelompok 4, adalah aplikasi resin komposit bulk fill packable dengan

bonding generasi VIII menggunakan metode penyinaran intermittent

cure selama 40 detik


2. Kriteria Sampel
a. Gigi premolar pertama rahang bawah tanpa karies dan tidak

mengalami fraktur sampai 1/3 mahkota


b. Gigi yang memiliki mahkota yang utuh dan tidak terdapat anomali
c. Gigi yang belum pernah di tumpat pada permukaan oklusal

H. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer. Data

primer merupakan data yang langsung dikumpulkan peneliti dari sumbernya.

Sehingga, data primer disebut juga data asli atau data langsung (Sugiyono,

2007).

I. Instrumen Penelitian
1. Alat
a. Mikromotor
b. Hand piece dan low speed contra angle, digunakan untuk finishing

cetakan sampel
c. Diamond high speed bur dan alpin bur, digunakan sebagai finishing

sampel resin komposit bulk fill packable


d. Pinset
e. Glass plate
32

f. Plastic filling instrument, digunakan untuk mengambil bahan restorasi

dari glass plate ke dalam cetakan sampel


g. Semen stopper, digunakan untuk memampatkan resin komposit bulk

fill packable
h. Waterbath, digunakan untuk merendam sampel di dalam suhu tertentu
i. Microbrush, digunakan untuk aplikasi bahan etsa dan bonding
j. Inkubator, digunakan untuk penyimpanan sampel sebelum dilakukan

pengujian
k. Spidol marker, digunakan untuk menandai permukaan dan menandai

titik uji
l. Tabung reaksi, digunakan untuk perendaman sampel
m. LED curing light, digunakan untuk polimerisasi resin komposit dan

bahan bonding
n. Mikroskop stereo, digunakan untuk menguji kebocoran mikro resin

komposit bulk fill packable


o. Alat uji Scanning Electron Mircoscopy (SEM), digunakan untuk

menganalisis mikrostruktur email


2. Bahan
a. Resin komposit bulk fill packable.
b. Bonding generasi ke V (Single-bond, 3M ESPE, USA).
c. Bonding generasi VIII (Futurabond DC, Voco, Germany).
d. Asam fosfat 37%.
e. 32 sampel gigi premolar pertama rahang bawah.
f. Cat kuku untuk melapisi permukaan gigi.
g. Aquadest steril.
h. Larutan metylene blue 2%.
i. Celluloid strip

J. Rancangan Penelitian
1. Persiapan Penelitian
a. Persiapan alat dan bahan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan

penelitian.
b. Mengurus perizinan peminjaman laboratorium.
2. Pembuatan sampel penelitian
a. Preparasi kavitas kelas I pada gigi premolar pertama rahang bawah

dalam keadaan gigi utuh, bebas karies dan tanpa fraktur. Semua gigi
33

dipreparasi dengan kedalaman 4 mm dan membentuk persegi

berukuran 4 x 4 mm. Pembuatan restorasi menggunakan diamond bur.


b. Sampel dibagi menjadi empat kelompok, dengan masing-masing

kelompok berisikan 8 gigi.


1) Kelompok 1
Pada kelompok pertama, dilakukan aplikasi bahan bonding

generasi V. Kavitas yang telah dipreparasi kemudian

diaplikasikan asam fosfat 37% sebanyak 1 tetes microbrush

selama 15 detik kemudian dibilas dengan semprotan air selama

10 detik, dan dikeringkan menggunakan semprotan udara

sampai keadaan moist selama 2 detik. Bonding generasi V

(Single-bond, 3M ESPE, USA) dioleskan pada permukaan yang

teretsa sebanyak satu kali olesan menggunakan microbrush dan

tunggu selama 15 detik, kemudian disemprot menggunakan

udara selama 5 detik. Disinari dengan light cure berjarak 2 mm

selama 10 detik secara tegak lurus (Ratri, 2015). Selanjutnya

resin komposit bulk fill packable diaplikasikan setebal 4 mm

dengan teknik bulk dan di sinari light cure selama 40 detik

dengan metode uniform continuous cure.


2) Kelompok 2
Pada kelompok kedua, dilakukan aplikasi bahan bonding

generasi VIII (Futurabond DC, VOCO, Germany). Kavitas yang

telah dipreparasi kemudian diaplikasikan asam fosfat 37%

sebanyak 1 tetes microbrush, lalu diamkan selama 15 detik

kemudian dibilas dengan semprotan air selama 10 detik, dan

dikeringkan menggunakan semprotan udara sampai keadaan

moist selama 2 detik. Bonding diaplikasikan pada permukaan


34

email menggunakan microbrush, diamkan selama 20 detik

sampai bahan tidak mengalir. Lakukan penyinaran dengan light

cure berjarak 2 mm selama 10 detik secara tegak lurus

(Loguercio, dkk., 2015). Selanjutnya resin komposit bulk fill

packable diaplikasikan setebal 4 mm dengan teknik bulk dan di

sinari light cure selama 40 detik dengan metode uniform

continuous cure.
3) Kelompok 3
Pada kelompok ketiga, dilakukan aplikasi bahan bonding

generasi V. Kavitas yang telah dipreparasi kemudian

diaplikasikan asam fosfat 37% sebanyak 1 tetes microbrush

selama 15 detik kemudian dibilas dengan semprotan air selama

10 detik, dan dikeringkan menggunakan semprotan udara

sampai keadaan moist selama 2 detik. Bonding generasi V

(Single-bond, 3M ESPE, USA) dioleskan pada permukaan yang

teretsa sebanyak satu kali olesan menggunakan microbrush dan

tunggu selama 15 detik, kemudian disemprot menggunakan

udara selama 5 detik. Disinari dengan light cure berjarak 2 mm

selama 10 detik secara tegak lurus (Ratri, 2015). Selanjutnya

resin komposit bulk fill packable diaplikasikan setebal 4 mm

dengan teknik bulk dan di sinari light cure selama 40 detik

dengan metode intermittent cure.


4) Kelompok 4
Pada kelompok kedua, dilakukan aplikasi bahan bonding

generasi VIII (Futurabond DC, VOCO, Germany). Kavitas yang

telah dipreparasi kemudian diaplikasikan asam fosfat 37%


35

sebanyak 1 tetes microbrush, lalu diamkan selama 15 detik

kemudian dibilas dengan semprotan air selama 10 detik, dan

dikeringkan menggunakan semprotan udara sampai keadaan

moist selama 2 detik. Bonding diaplikasikan pada permukaan

email menggunakan microbrush, diamkan selama 20 detik

sampai bahan tidak mengalir. Lakukan penyinaran dengan light

cure berjarak 2 mm selama 10 detik secara tegak lurus

(Loguercio, dkk., 2015). Selanjutnya resin komposit bulk fill

packable diaplikasikan setebal 4 mm dengan teknik bulk dan di

sinari light cure selama 40 detik dengan metode intermittent

cure.
c. Setelah semua sampel gigi selesai di tumpat, sampel kemudian

direndam ke dalam saliva buatan dengan pH 6,8 di dalam inkubator

bersuhu 37° C selama 24 jam.


d. Selanjutnya dilakukan tahapan thermocycling, untuk menggambarkan

keadaan rongga mulut. Proses thermocycling dilakukan dengan cara

merendam sampel pada 2 wadah waterbath, yang memiliki suhu 5°C

dan 55°C, dan dilakukan berulang-ulang secara bergantian selama 25

kali.

Gambar 3.2. Alat untuk thermocycling


Sumber: Majeed, 2005
3. Pengamatan Kebocoran Mikro
36

a. Seluruh permukaan gigi dari sampel dilapisin dengan cat kuku

transparan sebanyak 2 lapis kecuali pada bagian 1 mm di sekeliling

restorasi.
b. Sampel segera direndam dalam tabung reaksi yang berisikan

methylene blue 2% selama 24 jam dalam inkubator bersuhu 37°C,

dengan tujuan agar larutan pewarnaan dapat masuk kedalam celah

antara bahan restorasi dengan dinding kavitas gigi.


c. Sampel diambil dalam larutan pewarna kemudian cat kuku

dihilangkan dengan eskavator.


d. Sampel dibelah dengan arah mesio distal menjadi 2 bagian.

Selanjutnya, diuji kebocoran mikro menggunakan mikroskop stereo

dengan perbesaran 10 x. Adaptasi marginal dilihat dari perluasan

pewarnaan methylene blue 2% sebagai tanda penilaian kebocoran

mikro dengan penilaian skor 0-3.

Skor Keterangan
Skor 0 Tidak ada penetrasi pewarna.
Skor 1 Penetrasi methylene blue 2% kurang dari atau sama
dengan ½ kedalaman kavitas.
Skor 2 Penetrasi methylene blue 2% lebih dari
½kedalaman kavitas tetapi belum mencapai dasar
kavitas.
Skor 3 Penetrasi methylene blue 2% telah mencapai dasar
kavitas.
Tabel 3.2 Skor penilaian kebocoran mikro
Sumber: Majeed, 2005
37

Gambar 3.3 Kriteria untuk evaluasi kebocoran mikro


Sumber: Majeed, 2005
4. Pengujian Scanning Electron Microscope (SEM)
a. Sampel dimasukkan ke dalam mesin vakum untuk menghilangkan

partikel-partikel asing yang terdapat dalam sampel.


b. Sampel di coating menggunakan emas atau logam, karena sampel

tidak bermuatan listrik atau konduktif.


c. Sampel di scan dengan sinar elektron.
d. Elektron sekunder atau elektron pantul yang terdeteksi selanjutnya

diperkuat sinyalnya, kemudian besar amplitudonya ditampilkan dalam

gradasi gelap terang pada layar mointor CRT (Cathode Ray Tube).
e. Struktur obyek yang sudah diperbesar akan terlihat pada layar CRT.

K. Alur Penelitian

Preparasi Kavitas Kelas I

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4


Uniform continuous Uniform continuous Intermittent cure Intermittent cure
cure cure

Aplikasi resin komposit bulk fill Aplikasi resin komposit bulk fill
packable dengan bonding packable dengan bonding
generasi V dan VIII generasi V dan VIII
menggunakan metode menggunakan metode
penyinaran uniform continuous penyinaran intermittent cure
cure selama 40 detik selama 40 detik

Sampel direndam dalam saliva buatan dengan pH 6,8 di


dalam inkubator bersuhu 37° C selama 24 jam.

Tahapan thermocycling

Uji Kebocoran mikro


38

Uji Scanning Electron Microscope


Gambar 3.4 Alur Penelitian
(SEM)
L. Analisis Data
Data yang dianalisis berupa hasil perhitungan terhadap uji kebocoran

mikro resin komposit bulkfill packable menggunakan software Statistical

Package For Social Sciences (SPSS). Analisis data diawali dengan uji

normalitas yang dilakukan untuk mengetahui distribusi data, apakah

mendekati distribusi normal atau tidak. Uji normalitas data dengan

menggunakan uji Saphiro Wilk karena jumlah data kurang dari 50.

Dilanjutkan dengan uji homogenitas menggunakan uji Levene Test. Metode

analisis yang digunakan jika distribusi data normal dan varian data homogen

adalah uji parametrik One Way Anova lalu dilanjutkan analisis Post Hoc

dengan LSD (Least Significant Difference). Jika distribusi data tidak normal

dan varian data tidak homogen, maka dilakukan uji non-parametrik Kruskal-

Wallis dan dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Uji ini digunakan untuk

mendeteksi signifikansi perbedaan antar variabel.

M. Jadwal Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama 5 bulan, dengan jadwal kegiatan yang

dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Jenis Kegiatan Waktu yang


Dibutuhkan (bulan)
1 2 2 2 5
1 2 3 4 5
1 Persiapan penelitian dan
perijinan
2 Pembuatan sampel penelitian
3 Uji kebocoran mikro
4 Uji Scanning Electron
39

Microscope (SEM)
5 Hasil dan analisis data
Tabel 3.3 Jadwal penelitian

DAFTAR PUSTAKA

Aguiar, F. H. B., Oliviera, T. R. V., Lima, D. A. N. L., Paulillo, L. A. M. S.,


Lovadino, J. R., 2007, Effect of Light Curing Modes and Ethanol Immersion
Media On The Susceptibility of a Microhybrid Composite Resin to Staining,
Journal of Applied Oral Science, 15(2): 105-109.

Alani, A. H., Toh, C. G., 1997, Detection of Microleakage Around Dental


Restorations: A Review, Oper. Dent, 22: 173-185.

Albers, H. F., 2002, Tooth-Colored Restoratives Principles and Technique, edisi 9,


BC Decker Inc. Hamilton, London, h. 89-94.

Anusavice, K. J., Shen, C., Rawls, H. R., 2013, Philips Science of Dental
Materials, edisi 12, Elsevier inc, St Louis, h. 63-65.

Apriyono, D. K., 2010, Perkembangan Bonding dalam Restorasi Estetik,


Stomatognatic J.KG UNEJ, 7(2): 124-128.

Apsari, A., Elly, M., Moh, Y., 2009, Perbedaan Kebocoran Tepi Tumpatan Resin
Komposit Hybrid yang Menggunakan Sistem Bonding Total Etch dan Self
Etch, Jurnal PDGI, 53(3): 1-7.

Atabek, D., Alaca, A., Tuzuner, E., 2009, In-Vivo Evaluation of Impression
Material Disinfection with Different Disinfectan Agents, Gazi University,
Arastirma (Research), 33(2): 53.

Bakar, A., 2012, Kedokteran Gigi Klinis, Quantum Sinergis Media, Yogyakarta, h 65-71.

Bomsor, S. J., Pearson, G. J., 2013, A Clinical Guide to Applied Dental Materials,
Churchill Livingstone Elesevier, China, p 137-145.

Bona, A. D., Pinzetta, C., Rosa, V., 2009, Microleakage of Acid Etched Glass
Ionomer Sandwich Restorations, Journal of Minimun Intervention In
Dentistry, Brazil, 2(1): 36-44.
40

Braga, R. R., Ferracane, J. L., 2004, Alternative in Polymerization Contraction


Stress Management, Critical Reviews in Oral Biology & Medicine, 15(3):
176-184.

Brand., Isselhard., 2014, Anatomy of Orofacial Structures A Comprehensive


Approach, Edisi 7, Elsevier Mosby, Canada, p 267.

Burgess, J., Cakir, D, 2010, Comparative Properties of Low-Shrinkage Composite


Resins, Compend Contin Educ Dent, 31(2): 10-5.

Chandki, R., Kala, M., 2011, Total Etch dhingradhingVs Self Etch: Still a
Controversy in the Science of Bonding, Journal Oral Science and Research,
1(1): 38-42.

Chandra, S., Shaleen, C., Girish, C., 2007, Textbook of Operative Dentistry, 220-
222, Jaypee Brothers Medical Publishers, New Delhi, p 11.

Craig, R. G., John, M. P., John, C. W., 2004, Dental Material: 8th ed, Mosby Co,
China, p 66-83.

Cunha, L. G., Alonso, R. C. B., Correr, G. M., Brandt, W. C., Sobrinho, L. C.,
Sinhoreti, M. A. C., 2008, Effect of Different Photoactivation Methods on
The Bond Strength of Composite Resin Restorations by Push-Out Test,
Quintessence International, 39(3): 243-249.

Danesh, G., Davids, H., Reinhardt, K. J., Ott, K., Schafer, E., 2004,
Polymerization Characteristic of Resin Composite Polymerized with
Different Curing Units, Journal Dental, 32(6): 479-488.

de Castro, F. L. A., Campos, B. B., Bruno, K. F., Reges, R. V., 2013, Temperature
and Curing Time Affect Composites Sorption and Solubility, J. Appl. Oral
Sci, 21(2): 157-162.

Deliperi, S., Bardwell, D. N., Papathanasiou, A., Kastali, S., Garcia-Godoye, F.,
2004, Microleakage of a Microhybrid Composite Resin Using Three
Different Adhesive Placement Technique, Journal Adhesive Dentistry, 6(2):
135-139.

Dentsply, 2013, Universal Nano Ceramic Restorative, Scientific Compendium,


Germany, h 5-8.
41

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008, Laporan Hasil Riset Kesehatan


Dasar Nasional Tahun 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan, Jakarta.
h 132-135.

Dhingra, A., Singh, A., 2014, Its All About Bonding, Journal of Dental Sciences
and Oral Rehabilitation, 5(4): 213-219.

Diansari, V., Eriwati, Y. K., Indrani, D. J., 2008, Kebocoran Mikro pada Restorasi
Komposit dengan Sistem Total-Etch dan Self-Etch pada Berbagai Jarak
Penyinaran, Indonesia Journal of Dentistry, 15(2): 121-130.

Ekatra, S. W., 2014, Pengaruh Bahan Bleaching In-Office terhadap Perubahan


Kekasaran Permukaan Resin Komposit Bulkfill Viskositas Tinggi dan
Nanofil, Skripsi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.

Farahanny, W., 2009, Teknik Restorasi Komposit Posterior Klas II MOD, Thesis,
Departemen Ilmu Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatra Utara, Medan.

Farahat, F., Daneshkazemi, A. R., Hajiahmadi, Z., 2016, The Effect of Bulk Depth
and Irradiation Time on the Surface Hardness and Degree of Cure of Bulk-
Fill Composites, Journal of Dental Biomaterials, 3(3): 284-291.

Farias, D., Andrada, M., Boushell, L., Walter, R., 2016, Assessment of The Initial
and Aged Dentin Bond Strength of Universal Adhesive, International
Journal of Adhesion and Adhesive, 70: 53-61.

Ferrari, P., 2009. Caries Diagnosis. In B. Franco, Restorative Dentistry: Treatment


Procedure and Future Prospects (pp 29,48), Elsevier Mosby.
Fitriyani, S., Herda, E., 2008, Perkembangan Sumber Cahaya dalam Bidang
Kedokteran Gigi, Dentika Dental Journal, 13(1): 98-101.

Garg, N., Amit, G., 2013, Textbook of Operative Dentistry, Jayppee Brothers
Medical Publishers, New Delhi, p 283-290.

Gomes, P., Jaime, P., Luis, J., 2014, Effect of High-Powered LED-Curing
Exposure Time on Orthodontic Bracket Shear Bond Strength, Revista
Portuguesa de Estomatologia Medicina Dentaria Cirurgia Maxilofacial,
55(2): 78-82.
42

Gunawan., Kristina, W., Irnawati, D., Agustiono, P., 2008, Perbedaan Kekuatan
Tarik Perlekatan Resin Komposit Sinar Tampak pada Gigi dengan Sistem
Bonding Generasi V dan Generasi VII, MIKGI 10(1): 45-50, Universias
Gadjah Mada.
Hatrick, C. D., Eakle, W. S., 2015, Dental Material: Clinical Applications for
Dental Assistant and Dental Hygienist, edisi 3, Elsevier, USA, p 53, 68-70.

Hedge, M. N., Hedge, P., Malhan, B., 2008, Evaluation of Depth Cure and Knoop
Hardness in a Dental Composites Photo-Activated Using Different Methods,
Journal Conservation Dentistry, 11(2): 76-81.

Herijulianti., Eliza., Indriani., Tati, S., Artini., 2001, Pendidikan Kesehatan Gigi,
EGC, Jakarta, h 117.

Heymann, H. O., Edward, J. W.Jr., Andre, V. R., 2013, Studervant’s Art and
Science of Operative Dentistry, Edisi 6, Elsevier Mosby, St.Louis, p 116-
117.

Hollins, C., 2008, Basic Guide to Dental Procedures, Blackwell, Singapore, p 45.

Jackson, R. D., 2011, Placing Posterior Composites: Increasing Efficiency,


Dentistry Today, Available from http://dentistrytoday.com/retorative/4825-
placing-posterior-composites-increasing-efficiency.html, Diakses pada
tanggal 20 Juli 2015.

Jain, P., Pershing, A., 2003, Depth of Cure and Microleakage with High-Intensity
and Ramped Resin-Based Composites Curing Lights, Journal of the
American Dental Association, 134(9): 1215-1223.

Joseph, P., Yadav, C., Satheesh, K., Rahna, R., 2013, Comparative Evaluation of
The Bonding Efficacy of Sixth, Seventh, and Eighth Generation Bonding
Agents: An in vitro Study, International Research Journal of Pharmacy,
4(9): 143-147.

Karkar, S., Goswami, M., Kanase., 2011, Dentin Bonding Agents I: Complete
Classification-A Review, World Journal of Dentistry, 2 (4): 367-370.

Kerr. 2010. Technical Bulletin: Dyad Flow Self-Adhering Flowable Composite.

Koupis, N. S., Vercruysse, C. W., Marks, L. A., Martens, L. C., Verbeeck, R. M.,
2004, Curing Depth of (Polyacid-Modified) Composites Resins Determined
by Scraping and a Penetrometer, Dental Material, 20(10): 908-914.
43

Kramer, N., Lohbauer, U., Godoy, F. F., Frankenberger., 2008, Light Curing of
Resin-Based Composites in the LED Era, American Journal of Dentistry,
21(3): 135-141.
Kugel, G., Ferrari, M., 2000, The Science of Bonding: From First to Sixth
Generation, Journal of American Dental Association, Vol.131(1): 20-25.

Kwong, W., 2012, How to Complete Bulk Fill Restoration, Dental Product Report,
Available at: http://www.dentalproductsreport.com/dental/article/how-
complete-bulk-restorations, diakses 22 Maret 2016.

Laisina, V. G., 2014, Lamanya Waktu Penyinaran dapat Meningkatkan Kekerasan


Permukaan Resin Komposit, Skripsi, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas
Mahasaraswati, Denpasar.

Loguercio, A. F., Munoz, M., Luque-Matinez, I., Hass, V., Reis, A., Perdiago, J.,
2015 Does Active Application of Universal Adhesive To Enamel in Self-
Etch Mode Improve Their Performance, Journal of Dentistry, 30(30): 1-11.

Majeed, A., 2005, An In Vitro Study of Microleakage and Surface Microhardness


of Nanocomposite Restorative Materials, Thesis, Faculty od Dentistry
University of The Western Cape, p 17-30.

Malhotra, N., Mala. K., 2010, Light-Curing Consideration for Resin-Based


Composite Materials: a Review Part I, Compendium, 31(7): 498-508.

Mychanesya, N., 2014, Pengaruh Stress Decreasing Resin (SDR) sebagai


Intermediate Layer Restorasi Klas I dengan Sistem Adhesif Total Etch Two
Step, Skripsi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara,
Medan.

Nalcaci, A., Salbas, M., Ulusoy, N., 2005, The Effect of Soft Start Vs Continuous
Light Polymerization on Microleakage in Class II Resin Composite
Restoration, The Journal of Adhesive Dentistry, 7(4): 309-314.

Nugrohowati., Wianto, D., 2003, Penggunaan Bahan Flowable untuk Restorasi,


JITEKGI 2003, 1(2): 146-7.

Nurhapsari, A., 2016, Perbandingan Kebocoran Tepi antara Restorasi Resin


Komposit Tipe Bulk Fill dan Tipe Packable dengan Penggunaan Sistem
Adhesif Total Etch dan Self Etch, ODONTO Dental Journal, 3(1): 8-13.
44

Obici, C. A., Sinhoreti, M. A. C., Sobrinho, L. C., de Goes, M. F., Consani, S.,
2004, Evaluation of Depth Cure and Knoop Hardness in a Dental Composite
Photo-Activated Using Different Methods, Braz. Dent. J, 15(3): 199-203.
Oliviera, M., Morais, A., Franca, F. A., Arrais, C. A., 2009, Comparison Between
Halogen Light and LED Curing Units: The Degree of Conversion of One
Nanofilled Resin Composite, Revista Saude, 3(4): 25-28.

Powers, J. M., Sakaguchi, R. L., 2007, Craig’s Restorative Dental Materials,


Mosby Elsevier, USA, p 66, 190-191, 193-194, 214, 217-221, 223-224.

Powers, J. M., Sakaguchi, R. L., 2012, Craig’s Restorative Dental Materials, Edisi
13, Elsevier Mosby, USA, p 181-189.

Radhika, M., Sajjan, G. S., Kumaraswamy, B. N., Mittal, N., 2010, Effect of
Different Placement Techniques on Marginal Microleakage of Deep Class-II
Cavities Restored with Two Composites Resin Formulations, Journal of
Conservation Dentistry, 13(1): 9-15.

Ramayanti, S., Purnakarya, I., 2013, Peran Makanan terhadap Kejadian Karies
Gigi, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(2): 89-93.

Ratri, M., 2015, Perbandingan Kekuatan Tarik Resin Komposit Nanofill pada
Kavitas Kelas V dengan Bahan Adhesif Self-Etch dan Total-Etch, Skripsi,
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta,
h. 4.

Roberson, T. M., 2006, Sturdevant’s Art and Science of Operative Dentistry, edisi
5, Mosby, St. Louis, h. 208.

Ruiz, J. L., 2010, Dental-Technique-Restoration with Resin-Based, Bulk Fill


Composites, Compendium, 31(5): 14-17.

Santos, A. J. S., Sarmento, C. F., Abuabara, A., Aguiar, F. H. B., Lovadino, J. R.,
2006, Step-Cure Polymerization: Effect of Initial Light Intensity on
Resin/Dentin Bond Strength in Class I Cavities, Operative Dentistry, 31(3):
324-331.

Soanca, A., Rominu, M., Moldovan, M., 2011, Microscopic Evaluation of the
Interface Between Composit Biomaterial and Dentin Biostructure, Digest
Journal Nanomaterials and Biostructures, 6(1): 49-58.
45

Somani, R., Jaidka, S., Arora, S., 2016, Comparative Evaluation of Microleakage
of Newer Generation Bonding Agents: An in Vitro study, Indian Journal of
Dental Research, 27(1): 86-90.
Sugiyono, 2007, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Alfabeta,
Bandung.

Susanto, A. A., 2005, Pengaruh Ketebalan Bahan dan Lamanya Waktu Penyinaran
terhadap Kekerasan Permukaan Resin Komposit Sinar, Dent. J, 38 (1), 32-
35.

Tambahani, A. M., Wicaksono, D., Tumewu, E., 2013, Gambaran Kerusakan Gigi
Pasca Restorasi Komposit pada Siswa SMA Negeri 1 Manado, Jurnal e-
Gigi Unsrat, 1(2): 121-128.

Widayati, N., 2014, Faktor yang Berhubungan dengan Karies Gigi pada Anak
Usia 4-6 Tahun, Jurnal Berkala Epidemiologi, 2(2): 196-205.

Zero, 2014, The Biology, Prevention, Diagnosis and Treatment of Dental Caries:
Scientific Advances in the United States, American Dental Association,
USA.

Anda mungkin juga menyukai