Anda di halaman 1dari 54

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Kehilangan satu atau lebih gigi sangat mempengaruhi penampilan pasien

dan menjadi alasan utama bagi pasien untuk melakukan perawatan gigi tiruan.

Penyebab utama kehilangan gigi adalah karies dan penyakit periodontal.

Kehilangan gigi dapat mempengaruhi asupan nutrisi sehingga dapat menyebabkan

masalah sistemik (Khalifa dkk,2012). Kehilangan gigi harus segera ditangani

dengan mengganti gigi yang hilang yang bertujuan untuk mempertahankan fungsi

mastikasi, pengucapan dan estetika (Hobkirk, 2003).

Gigi tiruan adalah protesa yang dibuat untuk menggantikan satu atau lebih

gigi yang hilang yang mendapat dukungan dari gigi yang tersisa atau mukosa

rongga mulut (Loney, 2011). Tujuan penggunaan gigi tiruan adalah untuk

mengembalikan fungsi pengunyahan, estetika, bicara dan menjaga kesehatan

jaringan serta mencegah kerusakan lebih lanjut struktur organ rongga mulut

(Tarigan, 2005). Pada dasarnya gigi tiruan dibagi menjadi 2 jenis, yaitu gigi tiruan

lepasan dan gigi tiruan cekat (Barclay dan Walmsley, 2001)

Resin akrilik merupakan material yang banyak digunakan sebagai dasar

pembuatan basis gigi tiruan. Resin akrilik menjadi material pilihan karena estetik

yang baik, murah dan mudah tehnik pembuatannya (Van Noort, 2007).

Berdasarkan cara polimerisasinya, resin akrilik dibagi menjadi 4 yaitu resin akrilik

kuring panas, resin akrilik kuring kimiawi, resin akrilik polimerisasi gelombang

mikro dan resin akrilik polimerisasi sinar tampak. Resin akrilik kuring panas

1
digunakan pada hampir semua basis gigi tiruan (Annusavice, 2003), sedangkan

resin akrilik kuring dingin lebih banyak digunakan sebagai bahan reparasi basis

gigi tiruan (Shimizu dkk., 2002).

Resin akrilik sebagai basis gigi tiruan akan berkontak dengan mukosa

rongga mulut dalam waktu cukup lama sehingga persyaratan biokompatibilitas

mutlak diperlukan. Bahan kedokteran gigi harus memenuhi syarat

biokompatibilitas yang dapat diterima oleh tubuh atau dengan kata lain tidak

membahayakan penderita. Syarat ideal bahan yang berkontak dengan jaringan

rongga mulut antara lain tidak karsinogenik dan tidak menimbulkan alergi

(Annusavice, 1996).

Proses polimerisasi resin akrilik tidak dapat berlangsung sempurna

sehingga pada akhir polimerisasi masih terdapat monomer sisa, yaitu monomer

yang tidak bereaksi menjadi polimer. Resin akrilik dengan proses kuring yang

benar masih mengandung monomer sisa antara 0,2–0,5% (Phillips, 1991; Combe,

1992). Adanya monomer sisa yang terlepas dalam saliva dapat mengiritasi atau

menyebabkan hipersensitifitas jaringan mukosa rongga mulut, berupa kemerahan

burning sensation, pembengkakan serta rasa sakit (Delvin, 1984). Zentner, dkk

(1994) membuktikan secara in vitro bahwa monomer resin akrilik bersifat toksik.

Komponen toksik yang terkandung di dalamnya seperti formaldehid, metil

metakrilat, asam metakrilat, asam benzoat, phenyl benzoat, phenyl salisilat dan

dibutyl pthalate dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas pada pekerja lab dan

pada pengguna gigi tiruan setelah bahan-bahan tersebut berpolimerisasi (Lasilla

dkk., 2001).

2
Pelepasan monomer sisa metil metakrilat merupakan salah satu faktor

utama yang mempengaruhi sitotoksisitas basis gigi tiruan resin akrilik. Pelepasan

monomer sisa metil metakrilat dan efek sitotoksiknya telah banyak diteliti dan

disebutkan bahwa pelepasan monomer sisa dipengaruhi oleh suhu dan waktu

polimerisasi, metode prosesing, komposisi kimia, derajat konversi monomer,

waktu penyimpanan dan media perendaman gigi tiruan (Ozen dkk., 2006; Urban,

2012).

Jaffer dan Kandil (2009) dalam penelitiannya membuktikan bahwa

aplikasi coating pada resin akrilik menggunakan olive oil dan grape seed oil

dapat mengurangi perlekatan Candida albicans serta dapat mengurangi jumlah

monomer sisa bila dibandingkan dengan kelompok yang tidak di-coating. Dalam

penelitannya, Azuma (2012) dan Yoshizaki (2017) menyimpulkan bahwa coating

basis resin akrilik dengan nanopartikel silica 0,5%, 0,75% dan 2% dapat

memodifikasi permukaan resin akrilik menjadi hidrofilik sehingga menyebabkan

penurunan perlekatan Candida albicans pada basis gigi tiruan resin akrilik. Feng

dkk (2016) menyatakan bahwa coating basis resin akrilik dengan bahan

antibakteri silica yang ditambahkan silver dapat menurunkan jumlah monomer

sisa dan meningkatkan kekuatan fleksural basis gigi tiruan resin akrilik.

Penelitian Azuma (2012) menyebutkan bahwa coating basis resin akrilik

dengan SiO2 dapat mengurangi pelepasan monomer sisa karena proses coating

menghasilkan ikatan hidroksil (Si-OH) yang terbentuk dari silicon (Si) dan

oksigen (O2) yang dapat bereaksi dengan polimer organik dengan cara berikatan

dengan gugus fungsi yang dapat dihidrolisis (hydrolysable function groups).

3
Proses coating memberikan polimerisasi tambahan pada basis gigi tiruan resin

akrilik sehingga meningkatkan derajat konversi monomer yang lebih sempurna

sehingga dapat menurunkan jumlah monomer sisa (Feng, 2017).

Penelitian yang dilakukan Kurt, dkk (2017) dengan judul aktifitas

antifungal dan sitotoksisitas basis gigi tiruan yang mengandung silver

nanoparticles menyebutkan bahwa basis gigi tiruan yang mengandung silver

nanoparticles tidak memiliki efek sitotoksik. Dalam penelitiannya, Hua dkk

(2015) menyebutkan bahwa material nano memiliki ukuran yang kecil, kekuatan,

fleksibilitas yang baik, dan modulus elatisitas yang menyerupai gigi sehingga

dapat meningkatkan biokompatibilitas.

Ke, dkk (2014) dan Jiang (2008) dalam penelitiannya menemukan terdapat

hubungan antara ukuran dan konsentrasi partikel terhadap sitotoksisitas

nanopartikel. Material nanopartikel memiliki sitotoksisitas yang lebih tinggi

dibandingkan partikel micro-sized dan terdapat peningkatan sitotoksisitas yang

ditandai dengan konsentrasi ROS (Reactive Oxidative Species) yang meningkat

seiring peningkatan dosis konsentrasi nanopartikel.

Penggunaan nanopartikel berbahan dasar silica banyak digunakan di

berbagai bidang sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai adanya

kemungkinan efek samping bahan ini terhadap sel manusia (Jung, dkk., 2014).

Sitotoksisitas silica per oral memiliki sitotoksisitas yang paling ringan

dibandingkan rute administrasi yang lain. Sitotoksisitas silica per oral

berhubungan dengan first pass metabolism di liver yang berpotensi hepatotoxic

(Nishimori, 2009). Kumar, dkk (2010) mengungkapkan bahwa silica dengan

4
ukuran < 25nm bersifat biokompatibel dan tidak toksik terhadap sel parenkimal

liver, sedangkan Nishimori (2009) mengatakan bahwa silica dengan ukuran

<100nm dapat menyebabkan toksisitas akut. Hasil penelian mengenai efek

sitotoksik nanopartikel silica menunjukkan hasil yang berkebalikan, oleh karena

itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai biokompatibilitas nanopartikel

silica.

Uji biokompatibilitas diperlukan untuk mengetahui potensi suatu material

menyebabkan kerusakan pada saat diaplikasikan ke dalam suatu jaringan

(sitotoksisitas). Uji sitotoksisitas merupakan uji yang mendasar untuk mengetahui

toksisitas suatu material secara umum (Annusavice, 2003). Pengukuran

sitotoksisitas suatu bahan dapat dengan menggunakan uji in vitro (Sakaguchi and

powers, 2012). Uji in vitro merupakan tahap pertama uji biokompatibilitas untuk

mengetahui adanya sifat toksisitas, kemampuan iritatif suatu material dan potensi

karsinogenik suatu material. Pemeriksaan in vitro adalah jenis pemeriksaan yang

dilakukan dalam tabung reaksi, piring kultur sel atau di luar tubuh mahluk hidup

(Mc Cabe dan Walls, 2008). Ahuja (2015) dalam penelitannya mengunakan kajian

in vitro dengan metode MTT assay untuk meneliti efek sitotoksisitas basis gigi

tiruan Valplast, Lucitone dan Duraflex.

Sel fibroblas adalah sel yang paling banyak digunakan untuk uji

sitotoksisitas material di bidang kedokteran gigi (Schamlz, 1994). Sel fibroblas

merupakan sel yang paling umum terdapat dalam jaringan ikat dan berperan

dalam perkembangan, pemeliharaan, dan serta perbaikan jaringan ikat melalui

sintesis komponen matriks ekstraseluler (Junquiera dan Carneiro, 2005). Metode

5
kultur sel sering digunakan untuk pengujian efek biologi tingkat awal dari suatu

material untuk mengetahui efek sitotoksisitas. Uji MTT digunakan untuk menguji

aktifitas enzimatik pada sebuah sel. Prinsip dari uji MTT yaitu terjadinya

mekanisme perubahan warna kuning dari garam tetrazolium yang tereduksi

menjadi kristal formazan dalam mitokondria hidup (Amalia, 2008).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan, permasalahan

yang muncul adalah apakah terdapat pengaruh perbedaan konsentrasi nano silica

coating terhadap sitotoksisitas basis gigi tiruan resin akrilik (kajian in vitro).

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mengkaji terdapat pengaruh perbedaan konsentrasi nano

silica coating terhadap sitotoksisitas basis gigi tiruan resin akrilik (kajian in

vitro).

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai informasi

ilmiah mengenai terdapat pengaruh perbedaan konsentrasi nano silica coating

terhadap sitotoksisitas basis gigi tiruan resin akrilik (kajian in vitro) yang berguna

dalam bidang kedokteran gigi khususnya ilmu prostodonsia dan dunia ilmu

pengetahuan pada umumnya.

6
E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang dilakukan Kurt, dkk (2017) dengan judul aktifitas

antifungal dan sitotoksisitas basis gigi tiruan yang mengandung silver

nanoparticles menyebutkan bahwa basis gigi tiruan yang mengandung silver

nanoparticles tidak memiliki efek sitotoksik. Penelitian yang dilakukan Kim, dkk

(2014) dengan judul penelitian in vitro sitotoksisitas bahan nanoparticles SiO2 dan

ZnO dengan ukuran dan tegangan permukaan yang berbeda terhadap sel

glioblastoma (U373MG) manusia memberikan hasil bahwa kedua bahan ini

memiliki efek sitotoksik terhadap sel glioblastoma manusia. Perbedaan penelitian

ini dengan peneliti yang terdahulu adalah penulis ingin meneliti pengaruh

perbedaan konsentrasi nano silica coating terhadap sitotoksisitas basis gigi tiruan

resin akrilik (kajian in vitro).

7
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Resin Akrilik

Resin akrilik merupakan material yang paling sering digunakan sebagai

basis gigi tiruan sejak tahun 1930. Resin akrilik (polimetil metakrilat) merupakan

turunan etilen yang mengandung gugus vynil dalam strukturnya. Resin akrilik

terbentuk melalui reaksi polimerisasi saat cairan monomer metil metakrilat

dicampur dengan bubuk polimer metil metakrilat. Polimerisasi merupakan proses

terbentuknya polimer, yaitu suatu reaksi kimiawi yang menyusun monomer-

monomer menjadi suatu rantai yang memiliki berat molekul besar (Annsavice,

2003). Selain digunakan sebagai basis gigi tiruan, polimer resin akrilik juga

digunakan sebagai bahan reparasi gigi tiruan, restorasi mahkota dan jembatan,

sendok cetak, mahkota sementara dan protesa maksilofasial untuk defek skeletal

(Sakaguchi dan Powers, 2012). Menurut Combe (1992), keuntungan dari resin

akrilik adalah tidak mengiritasi jaringan rongga mulut, tidak larut dan tidak aktif

dalam cairan mulut, menghasilkan estetis yang baik yaitu translusen dan stabilitas

warna yang cukup baik serta mudah diproses.

Menurut ISO 1567, polimer resin akrilik sebagai bahan basis gigi tiruan

dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu polimer dengan polimerisasi panas,

polimer dengan polimerisasi dingin, polimer dengan aktivasi sinar dan polimer

dengan aktivasi microwave (McCabe dan Walls, 2008). Resin akrilik polimerisasi

panas umumnya dibuat dalam kuvet menggunakan tehnik pencetakan dan

pengecoran. Komposisi polimer dan monomer dengan perbdaningan 3:1

8
berdasarkan volume atau 2,5:1 berdasarkan berat. Sebagian besar sistem resin ini

terdiri atas komponen bubuk dan cairan (McCabe dan Walls, 2008). Bubuk terdiri

atas polimetil metakrilat (PMMA) pra polimerisasi dan sejumlah kecil benzoil

peroksida. Cairan umumnya mengandung metil metakrilat tidak terpolimerisasi

dengan sejumlah kecil hidrokuinon. Hidrokuinon ditambahkan sebagai suatu

inhibitor karena dapat mencegah polimerisasi yang tidak diharapkan atau

pengerasan cairan selama penyimpanan. Secara umum, resin akrilik yang

dipolimerisasi diaktifkan dengan menempatkan kuvet dalam suhu 74 0C selama 8

jam atau lebih, atau dengan 2-3 jam air mendidih pada 100 0C siklus pendek

(Annusavice, 2003) .

Resin akrilik polimerisasi kimia disebut juga resin cold curing atau self

curing. Polimerisasi dilakukan secara kimia sehingga tidak memerlukan energi

panas atau dapat dilakukan pada suhu ruang. Penambahan resin dilakukan dengan

cara yang sama seperti yang dilakukan pada resin akrilik aktivasi panas, tetapi

pada resin polimerisasi kimia hanya ditempatkan pada suhu kamar atau pada suhu

yang sedikit lebih tinggi 450C selama kurang lebih 30-45 menit (Annusavice

2003; McCabe dan Walls, 2008).

Resin akrilik polimerisasi micowave cured menggunakan polimerisasi

gelombang mikro. Keuntungan tehnik ini adalah dapat memproses pembentukan

resin akrilik dalam waktu lebih singkat dan keakuratan dimensi yang lebih baik

(Annusavice, 2003). Resin akrilik polimerisasi cahaya disebut juga visible light

cured. Proses polimerisasi dilakukan dengan menempatkan resin akrilik yang

telah dicampur dalam mold di model plaster pada sebuah meja berputar, di dalam

9
ruang cahaya dengan intensitas cahaya yang tinggi 400-500 nm untuk periode

sekitar 10 menit (Annusavice, 2003).

Umumnya metode polimerisasi resin akrilik akan menghasilkan monomer

sisa. Monomer sisa adalah produk hasil reaksi (monomer, zat tambahan) yang

tidak terikat kuat dengan jaringan polimer dan lepas setelah proses polimerisasi

selesai. Hal yang mempengaruhi banyak sedikitnya tingkat monomer sisa ini

adalah tipe polimerisasi, waktu polimerisasi, dan suhu saat terjadi polimerisasi.

Pada awalnya, monomer sisa dan komponen lainnya akan lepas secara cepat,

kemudian diikuti dengan pelepasan monomer secara konstan pada tingkat yang

lebih rendah. Monomer sisa ini dapat menyebabkan iritasi, reaksi alergi dan

sitotoksisitas sel (Feng, 2016).

B. Silane sebagai Coupling Agent

Silane adalah material perantara yang dapat digunakan untuk membuat

ikatan antara material organik dan anorganik. Formula dasar dari silane adalah Y-

(CH2)m-Si(OR)3. Y adalah gugus organofungsional yang bereaksi dengan

matriks organik, -(CH2)m- adalah gugus pengikat, dan OR adalah gugus alkoxy.

Silane akan teraktivasi dengan cara hidrolisis (=SiOR  =SiOH), melalui gugus

OH pada permukaan material. (Lung dan Matinlinna, 2012).

Silane digunakan untuk memodifikasi permukaan material anorganik

yang bertujuan untuk meningkatkan perlekatan antara material organik dan

anorganik. Silane juga banyak dipakai untuk meningkatkan kekuatan mekanis,

10
perlekatan, modifikasi material pengisi anorganik, ketahanan terhadap cuaca dan

panas pada berbagai material di kedokteran gigi (Nihei, 2016).

Silane memiliki gugus fungsional dan gugus non fungsional. Gugus

fungsional bereaksi dengan gugus fungsional material resin, misal gugus epoxy

resin bereaksi dengan gugus epoxy silane dan gugus vynil resin berikatan dengan

gugus vinyl silane. Gugus non fungsional terdiri dari gugus alkoxy reaktif (-OR)

yang setelah terhidrolisis menjadi silanol akan bereaksi dengan gugus hidroxyl

dari material anorganik. Gugus non fungsional akan membentuk ikatan silang

karena gugus ini memiliki 2 atom silikon yang masing-masing memiliki 3 gugus

alkoxy yang mudah terhidrolisis dan ketiganya disebut cross linking atau dipodal

silane (Lung dan Matilinna, 2012).

Bahan silane yang banyak digunakan dalam bidang kedokteran gigi

mengandung 3-methacryloxyprophyl-trimethoxysilane yang dilarutkan dalam

ethanol dan air pada pH 3-6 dengan kadar silane efektif bervariasi antara 1-5%.

Bahan silane yang mengandung 3-methacryloxypropyl trimethoxysilane efektif

digunakan sebagai coupling agent dalam proses coating (Lung dan Matilinna,

2012). Struktur 3-methacryloxyprophyl-trimethoxysilane dapat dilihat pada

gambar 5.

Gambar 1. Struktur 3-methacryloxyprophyl-trimethoxysilane (Van Noort, 2007)

11
Resin bersifat hidrofobik sedang silica bersifat hidrofilik karena adanya

lapisan gugus hidroxyl yang terikat pada silica. Oleh karena itu, resin tidak

memiliki afinitas alami untuk berikatan dengan permukaan silica. Hal ini dapat

diatasi dengan penggunaan coupling agent yang sesuai. Silane dipilih sebagai

coupling agent karena memiliki gugus hidroxyl pada salah satu ujungnya, yang

dapat berikatan dengan gugus hidroxyl pada permukaan silica. Ujung lainnya

terdiri atas gugus metakrilat yang dapat berikatan dengan resin melalui ikatan

atom karbon. Reaksi kondensasi pada permukaan antara silica dan silane

memastikan silane akan terikat secara kovalen terhadap permukaan silica (Van

Noort, 2007). Dalam penelitiannya Gul (2015) menyimpulkan bahwa coating

material PMMA dengan 3-methacryloxyprophyl-trimethoxysilane dan TEOS

(Tetraethyl orthosilicate) dapat meningkatkan kekuatan mekanis dari PMMA.

TEOS adalah salah satu bentuk metal alkoxides (Si(OR)4).

Gambar 2 (a) material resin tidak berikatan dengan permukaan silica (b) material
resin berikatan dengan permukaan silica melalui silane (Van Noort,
2007)

C. Coating Resin Akrilik

Saat ini, jenis resin yang paling banyak digunakan dalam pembuatan gigi

tiruan adalah PMMA (polimetil metakrilat) dan semua jenis modifikasinya.

12
Komponen utama PMMA adalah polimetil metakrilat, yang mengandung

sejumlah kecil polietilen glikol dimetakrilat. PMMA memiliki sifat mekanis yang

baik seperti tingkat kekerasan, kekakuan yang tinggi, sifat biologis dan estetis

yang baik, mudah dimanipulasi, biaya yang relatif terjangkau, memiliki

konduktivitas termal yang baik, mudah diproses dan stabil pada lingkungan

rongga mulut (Wang dkk., 2015; Van Noort, 2007). Kekurangan PMMA adalah

mudah menyerap warna, resistensi terhadap kekuatan geser dan keausan yang

rendah, adanya pengkerutan setelah polimerisasi, iritasi mukosa mulut, perlekatan

Candida albicans dan mudah terjadi diskolorisasi (Sakaguchi dan Powers, 2012).

Metode yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut dapat

dilakukan dengan menambahkan bahan pengisi (filler) ke dalam basis resin akrilik

dan melapisi (coating) basis gigi tiruan resin akrilik. Penambahan bahan pengisi

dilakukan dengan menambahkan berbagai penguat, dengan menambahkan logam,

serat atau bahan nanopartikel ke dalam polimetil metakrilat (Gurbuz, 2008).

Coating basis resin akrilik dapat dilakukan dengan metode brushing, dipping dan

spraying (Tsuji, 2014). Dip coating merupakan metode yang sering digunakan

dalam proses coating. Dip coating adalah pemberian lapisan pada benda dengan

cara dicelupkan ke dalam bahan coating yang berbentuk cairan atau larutan. Film

tipis ini hanya memiliki ketebalan 1-1000 nanometer sehingga hanya dapat

diamati dengan menggunaan SEM (Scanning Electron Machine). Keuntungan

dalam memakai metode ini adalah aplikasi yang mudah dan memerlukan biaya

yang relatif murah serta tidak menggunakan mesin vakum (Sinuhaji dan

13
Marlianto, 2012). Mizutani (2004) menyebutkan coating PMMA dengan metode

sol-gel dip coating dapat meningkatkan karakteristik permukaan PMMA.

Bahan nanopartikel banyak digunakan dalam proses penambahan bahan

pengisi maupun coating basis resin akrilik karena ukurannya yang relatif kecil

(<100nm) sehingga dapat terdispersi secara homogen ke dalam bahan

pencampurnya. Saat ini telah banyak penelitian yang membuktikan keberhasilan

penggunaan nanopartikel di bidang medis (Grumezescu, 2016).

D. Bahan nanopartikel

Konsep material nano pertama kali dikemukakan pada awal tahun 1980,

mengacu pada material satu, dua atau tiga dimensi yang berukuran kurang dari

100nm (Soh dkk., 2006). Material nano dibagi menjadi 4 kategori, yaitu bubuk

berukuran nano (nanopowder), fiber berukuran nano (nanofiber), membran

berukuran nano (nanomembrane), dan blok berukuran nano (nanoblock). Dalam

perkembangannya teknologi mengenai nanopowder memiliki kemajuan yang

paling pesat (Roy dkk., 2008). Material nano memiliki ukuran yang kecil

(<100nm), area permukaan yang luas, energi permukaan yang tinggi, dan proporsi

permukaan atom yang luas (Li dkk., 2013).

Bahan nano dapat digunakan pada material keramik, resin maupun

logam. Material nano memiliki ukuran yang kecil, kekuatan, fleksibilitas yang

baik, dan modulus elatisitas yang menyerupai gigi sehingga dapat meningkatkan

biokompatibilitas (Hua dkk., 2015). Nanoresin dapat meningkatkan kekuatan

14
resin dan mengubah sifat resin yang mudah dipengaruhi faktor aging (Ahmed dan

Ebrahim, 2014; Hua dkk., 2015).

Selama beberapa tahun terakhir, telah banyak dilakukan penelitian

mengenai struktur dan sifat-sifat khusus dari material nano. Penelitian tehnologi

nano di bidang material kedokteran gigi berfokus pada 2 hal, yaitu mencari jenis

partikel nano anorganik yang baru dan memodifikasi permukaan bahan gigi tiruan

dengan bahan pengisi nano sehingga menghasilkan resin dengan kualitas baik

(Sacton, 2011).

Penelitian terbaru banyak dilakukan untuk meningkatkan kekuatan

PMMA dengan menambahkan bahan nanopartikel anorganik ke dalam PMMA.

Berbagai jenis nanopartikel seperti ZrO2, TiO2 dan SiO2 telah digunakan untuk

meningkatkan kekuatan PMMA dan hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat

mekanis dan sifat-sifat material seperti modulus elastisitas, kekerasan permukaan,

dan derajat pengkerutan polimerisasi yang diharapkan dapat tercapai dengan

penambahan bahan nanopartikel (Wang dkk., 2015).

Saat ini, bahan partikel nano merupakan material pilihan untuk

meningkatkan kekuatan fleksural dan resistensi fatique basis gigi tiruan resin

akrilik. Selama kurang lebih 10 tahun terakhir, telah banyak dilakukan penelitian

di bidang ini yang bertujuan untuk mengembangkan penggabungan bahan nano

partikel ke dalam resin akrilik untuk meningkatkan kekuatan fisis dan mekanis

resin akrilik (Hayashi, 2003). Kekuatan penambahan bahan nanopartikel ini

bergantung pada tipe nano partikel yang ditambahkan, ukuran dan bentuk nano

partikel, juga konsentrasi dan interaksi bahan nano partikel dengan matrik polimer

15
resin akrilik (Jordan dkk., 2005). Bahan nano partikel memiliki ukuran partikel

yang kecil (<100nm) sehingga diharapkan dapat terdispersi dengan lebih

homogen dibandingkan jenis bahan penguat yang lain (Gad, 2016).

Penelitian mengenai toksisitas bahan nanopartikel terhadap berbagai

sistem biologis telah banyak dilakukan baik menggunakan sel line maupun

terhadap berbagai organisme, seperti tikus, alga, dan manusia. Mekanisme yang

mendasari toksisitas bahan nanomaterial telah banyak diteliti. Mekanisme penting

dari nanotoksisitas adalah pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS).

Pembentukan ROS dalam jumlah besar akan menginduksi pembentukan stress

oksidatif yang menyebabkan kegagalan sel untuk mempertahankan fungsi

fisiologis normal. Kegagalan sel ini ini menyebabkan kerusakan DNA,

pengkodean sel menjadi tidak teratur, perubahan motilitas sel, sitotoksisitas,

apoptosis dan inisiasi kanker. Stress oksidatif dapat menyebabkan kerusakan

komponen seluler dan mengakibatkan kematian sel melalui proses apoptosis (Fu

dkk, 2014).

Gambar 3. Sitoksisitas yang diinduksi pembentukan ROS (Fu dkk, 2014)

16
Jiang (2008) dan Ke, dkk (2014) dalam penelitiannya menemukan terdapat

hubungan antara ukuran dan konsentrasi partikel terhadap sitotoksisitas

nanopartikel. Material nanopartikel memiliki sitotoksisitas yang lebih tinggi

dibandingkan partikel micro-sized dan terdapat peningkatan sitotoksisitas yang

ditandai dengan konsentrasi ROS yang meningkat seiring peningkatan dosis

konsentrasi nanopartikel. Kim dkk (2015) dalam penelitiannya mengenai

pengaruh ukuran, dosis dan tipe sel terhadap toksisitas silica nanopartikel

menyimpulkan bahwa semakin tinggi dosis silica akan semakin meningkatkan

toksisitas silica.

E. Silica Coating

Silica adalah senyawa kimia dengan rumus molekul SiO 2 (silicon

dioxside). Salah satu jenis partikel nano yang sering digunakan dalam pembuatan

basis gigi tiruan akrilik adalah silica (SiO2). Silica adalah senyawa kimia dengan

rumus molekul SiO2 (silicon dioxsida) yang dapat diperoleh dari silica mineral,

nabati dan sintesis kristal. Pada umumnya di alam, material ini ditemukan dalam

bentuk pasir, kuarsa, kristal, uap, gel dan aerogel (Zorabi 2013).

Silica dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu silica amorf dan silica

kristalin. Silica mineral adalah senyawa yang banyak ditemui dalam bahan

tambang/galian yang berupa mineral seperti pasir kuarsa, granit, dan feldspar yang

mengandung kristal-kristal silica (SiO2) (Della dkk, 2002; Bragmann dan

Goncalves, 2006). Silica amorf merupakan silica sintesis yang dapat dibuat

dengan mereaksikan silikon dengan oksigen pada suhu tinggi (Iler, 1979).

17
Pada umumnya silica ditemukan dalam bentuk amorf terhidrat dan

memiliki tiga bentuk kristal utama yaitu kristobalit, tridmit dan kuarsa. Silica

terbentuk melalui ikatan kovalen yang kuat serta memiliki struktur dengan empat

atom oksigen terikat pada posisi sudut tetrahedral di sekitar atom pusat yaitu atom

silikon (IARC, 2012). Gambar struktur silica tetrahedral dapat dlihat pada gambar

2. Karakteristik silica amorf diperlihatkan dalam Tabel 2.1.

Gambar 4. Struktur silica tetrahedral (Haynes, 2011)

Tabel 2.1. Karakteristik Silica Amorf (Surdia dkk., 2000).

Nama lain Silikon Dioksida


Rumus Molekul SiO2
Berat Jenis (g/cm3) 2,6
Bentuk Padat
Daya larut dalam air Tidak larut
Titik cair (°C) 1610
Titik didih (°C) 2230
Kekerasan (Kg/mm2) 650
Kekuatan tekuk (Mpa) 70
Kekuatan tarik (Mpa) 110
Modulus elastisitas (Gpa) 73 - 75
Resistivitas (m) >1014
Koordinasi geometri Tetrahedral
Struktur kristal Kristobalit, Tridimit, Kuarsa

18
Pada umumnya silica adalah dalam bentuk amorf terhidrat, namun bila

pembakaran berlangsung terus-menerus pada suhu diatas 650°C maka tingkat

kristalinitasnya akan cenderung naik dengan terbentuknya fasa quartz,

crystobalite, dan tridymite. Bentuk struktur quartz, crystobalite, dan tridymite

yang merupakan jenis kristal utama silica memiliki stabilitas dan kerapatan yang

berbeda (IARC, 2012).

Berbagai metode yang digunakan untuk sintesis nanopartikel silica

dibedakan menjadi dua ketegori utama yaitu metode bottom up dan top-down.

Metode top down dilakukan dengan metode fisis, yaitu mengurangi dimensi dari

ukuran asli sedangkan metode bottom up menggunakan metode kimiawi untuk

mensintesis nanopartikel silica dari skala atom atau molekul (Rahman dan

Padavettan, 2012).

Gambar 5. Sintesis bahan nanopartikel dengan metode fisis dan kimiawi


(Rahman, 2012)

Metode yang banyak digunakan dalam sintesis nanopartikel silica adalah

metode bottom up. Metode bottom up dibedakan menjadi 3 yaitu reverse

microemulsion, pembakaran, dan metode sol-gel. Reverse microemulsion

menggunakan molekul surfakan dilarutkan menjadi pelarut organik untuk sintesis

19
nanopartikel. Metode ini memiliki kekurangan utama yaitu biaya yang relatif

mahal dan kesulitan untuk memisahkan surfakan dari produk akhir. Sintesis

nanopartikel silica dengan metode pembakaran disebut juga Chemical Vapor

Condensation (CVC). Metode ini dilakukan dengan cara mendekomposisi

prekursor metal-organik pada suhu tinggi dan mereaksikan silicon tetrachloride

dengan hidrogen dan oksigen. Kekurangan dari metode ini adalah kesulitan dalam

mengontrol ukuran partikel, morfologi dan komposisi material yang dihasilkan

(Rahman dan Padavettan, 2012).

Metode sol-gel merupakan metode yang banyak dipakai karena

kemampuannya untuk menghasilkan nanopartikel yang murni dan homogen.

Proses sol-gel meliputi hidrolisis dan kondensasi metal alkoxides (Si(OR)4),

seperti tetraethylorthosilicate (TEOS) atau garam anorganik seperti sodium silica

(Na2SiO3) dengan menggunakan katalis HCl atau NH3 sehingga menghasilkan

colloidal silica kemudian berubah menjadi gel silica, selanjutnya diikuti proses

pengeringan dan kalsinasi untuk mengubah gel silica menjadi bentuk bubuk

(Rahman dan Padavettan, 2012).

Gambar 6. Alur proses sol-gel (Rahman, 2012)

20
Material nanopartikel SiO2 telah banyak digunakan dalam berbagai bidang

biomedis dan biotehnologi. Nanopartikel SiO2 memiliki ukuran partikel yang

kecil, area permukaan yang luas, dapat berfungsi secara aktif, dan memiliki ikatan

yang kuat dengan polimer organik. Oleh karena itu, hal ini dapat meningkatkan

sifat fisik, mekanik dan estetik dari polimer organik juga resistensi terhadap

tekanan dari lingkungan, yang dapat menyebabkan patah dan aging. Penggunaan

SiO2 dalam tingkatan yang sesuai merupakan hal yang penting karena SiO2

memiliki tegangan permukaan yang tingi dan mudah bereaksi secara kimiawi

sehingga partikel SiO2 cenderung mudah menggumpal. Penggumpalan SiO2

menyebabkan penurunan sifat mekanis (Zayed dkk., 2014).

Nanopartikel SiO2 merupakan material dengan ukuran yang kecil

(<100nm) dan memiliki kekuatan fisik dan mekanis yang tinggi (Azhari dkk.,

2016). Dalam penelitian Yodmongkol dkk (2014) menyebutkan bahwa lapisan

tipis nanocomposite silane-SiO2 yang dibuat dengan tehnik sol-gel dapat

meningkatkan kekuatan fisik material resin akrilik. Zuo dkk (2016) menyebutkan

bahwa coating dengan material hybrid baik organik maupun anorganik dapat

menurunkan absorpsi dan solubilitas air secara signifikan namun pengaruhnya

terhadap kekuatan mekanis belum diteliti lebih lanjut.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa modifikasi yang dilakukan pada

permukaan gigi tiruan dapat menghambat dan mengurangi akumulasi mikroba.

Interaksi hidrofobik juga berperan penting dalam perlekatan Candida albicans

pada permukaan gigi tiruan karena baik polimetil metakrilat (PMMA) maupun

Candida albicans bersifat hidrofobik sehingga Candida albicans mudah

21
menempel pada basis gigi tiruan. Beberapa penelitian terakhir dilakukan untuk

memodifikasi basis resin menjadi hidrofilik untuk mencegah interaksi hidrofobik.

Salah satu pendekatan yang paling sering dilakukan adalah dengan penggunaan

material coating karena tidak mengubah ketebalan material basis gigi tiruan,

namun dapat memodifikasi sifat permukaan basis (Yoshizaki, 2017).

Dalam penelitannya, Azuma (2012) dan Yoshizaki (2017) menyimpulkan

bahwa coating basis resin akrilik dengan nanopartikel tingkat konsentrasi SiO 2

0,5%, 0,75% dan 2% dapat memodifikasi permukaan resin akrilik menjadi

hidrofilik sehingga dapat menurunkan perlekatan Candida albicans. Konsentrasi

silica 3% ditemukan tidak stabil, dan konsentrasi yang lebih rendah justru dapat

meningkatkan durabilitas lapisan coating pada PMMA.

Feng dkk (2016) menyatakan bahwa coating basis resin akrilik dengan

bahan antibakteri silica yang ditambahkan silver terbukti dapat menurunkan

jumlah monomer sisa basis gigi tiruan resin akrilik. Azhari dkk (2016) juga

menyebutkan bahwa kandungan SiO2 tidak hanya menentukan sifat mekanis

material namun juga dapat menurunkan jumlah monomer sisa. Proses coating

memberikan polimerisasi tambahan pada basis gigi tiruan resin akrilik sehingga

meningkatkan derajat konversi monomer yang lebih sempurna (Feng dkk., 2017).

Berbagai penelitian menyebutkan bahwa monomer sisa merupakan faktor

utama yang menyebabkan sitotoksisitas, iritasi mukosa, dan reaksi alergi. Jumlah

monomer yang berkurang akan menurunkan tingkat sitotoksisitas dari basis resin

akrilik (Rashid dkk, 2015). Kumar, dkk (2010) mengungkapkan bahwa silica

dengan ukuran <25nm bersifat biokompatibel dan tidak toksik terhadap sel

22
parenkimal liver, sedangkan Nishimori (2009) mengatakan bahwa silica dengan

ukuran <100nm dapat menyebabkan toksisitas akut. Dalam penelitian ini, rute

administrasi yang digunakan adalah per oral. Sitotoksisitas dengan rute

administrasi oral memiliki sitotoksisitas yang paling ringan dibandingkan rute

administrasi yang lain, namun sitotoksisitas silica perlu diteliti lebih lanjut karena

sitotoksisitas per oral berhubungan dengan first pass metabolism di liver yang

berpotensi hepatotoxic (Yildrimer, 2011). Chang dkk, 2007 dalam penelitiannya

mengenai viabilititas sel fibroblas yang berkontak dengan nanopartikel SiO 2

amorf selama 48 jam dengan uji MTT, menyimpulkan bahwa dosis sitotoksik

terlihat pada konsentrasi > 138 µg/ml.

F. Biokompatibilitas

Biokompatibilitas adalah kemampuan suatu material untuk menimbulkan

respon biologi yang tepat dalam tubuh pada saat material tersebut diaplikasikan

(Schmalz dan Arenholt, 2009). Menurut Williams (1990), biokompatibilitas

merupakan tidak adanya suatu interaksi spesifik antara material dengan jaringan.

Tidak ada material yang bersifat inert karena setiap material dalam jaringan tubuh

akan berinteraksi dengan sistem biologi yang kompleks. Adanya interaksi antara

material dengan sistem biologi akan menghasilkan suatu respon biologi yang

kemudian disebut dengan biokompatibilitas (O’Brien, 2002).

Biokomptabilitas suatu material ditentukan oleh zat yang terlepas melalui

proses pelarutan yang dapat menyebabkan kerusakan sel dan merangsang sintesis

protein tertentu seperti mediator inflamasi (IL-1 dan IL-6), selain itu juga

23
dipengaruhi juga oleh penyerapan permukaan atau akumulasi protein, interaksi

material dengan matriks seluler, serta adaptasi biologis terhadap material

(Schmalz dan Bindslev, 2009). Suatu material dapat memiliki sifat

biokompatibilitas yang berbeda sesuai dengan penggunaannya (Sakaguchi dan

Powers, 2006).

Uji biokompatibilitas

Material yang dipakai didalam tubuh diuji terlebih dahulu untuk

mengetahui kompatibilitasnya terhadap sistem biologi (Schmalz dan Arenholt,

2009). International Stdanard Organization (ISO) telah menetapkan pedoman

evaluasi biologis untuk biomaterial di dalam ISO 10993: Biological Evaluation of

Medical Devices dangan tujuan untuk melindungi manusia dari risiko biologis

yang mungkin timbul dari pemakaian berbagai alat medis (ISO 10993-1, 2009)

Uji biokompatibilitas material kedokteran gigi terdiri dari 3 tahap, yaitu

tahap yang pertama adalah uji screening sederhana untuk mengetahui adanya sifat

toksisitas, kemampuan iritatif suatu material dan potensi karsinogenik. Tahap

pertama dikenal dengan tahap in vitro. Tahap kedua adalah, in vivo yaitu uji yang

dilakukan pada hewan percobaan. Tahap ketiga uji klinis yang dilakukan pada

manusia dan bersifat lebih kompleks (Mc Cabe dan Walls, 2008).

Uji in vitro dilakukan di luar organisme hidup yaitu dengan cara

menempatkan material pada sel, enzim, atau sistem biologi lainnya yang

terisolasi, yang dapat dilakukan dalam tabung reaksi atau piring kultur sel.

Pemeriksaan in vitro dapat digunakan untuk mengetahui sitotoksisitas atau

pertumbuhan sel, metabolisme set fungsi sel dan pengaruh suatu bahan terhadap

24
genetik set. Keuntungan dari pemeriksaan in vitro dibandingkan dengan jenis

pemeriksaan biokompatibilitas lainnya adalah membutuhkan waktu yang relatif

singkat, membutuhkan biaya yang relatif rendah, dapat dilakukan standarisasi, dan

dapat dilakukan kontrol (Marx dan Sandig, 2007).

Terdapat 2 jenis sel yang dapat digunakan dalam uji in vitro, yaitu sel

primer dan sel line. Sel primer adalah sel yang diambil secara langsung dari

makhluk hidup lalu dikembangbiakkan. Sel primer akan tumbuh hanya untuk

waktu yang terbatas. Sel line atau continously grown cell yaitu sel yang telah

dikultur sebelumnya. Sel ini dapat tumbuh dalam waktu cukup lama (Sakaguchi

dan Powers, 2012)

G. Sitotoksisitas

Tahap pertama untuk mengetahui biokompatibilitas dari material sintetis

adalah dengan menguji sitotoksisitas. Toksisitas adalah kemampuan suatu

material untuk merusak sistem biologis akibat paparan kimiawi. Toksisitas

dibedakan menjadi toksisitas lokal dan toksisitas sistemik. Toksisitas lokal

merupakan suatu reaksi merugikan yang terjadi pada tempat suatu material

diaplikasikan sedangkan toksisitas sistemik adalah reaksi merugikan yang terjadi

di tempat yang jauh dari material tersebut diaplikasikan (Schmalz dan Arenholt,

2009). Beberapa jenis logam yang telah diteliti dan diketahui dapat ditolerasi oleh

manusia adalah Fe, Mn, Cr, Ni, Mo, Ag, Ti dan Al dalam konsentrasi yang telah

ditentukan (Shi, 2006). Titanium dan silikon dilaporkan tidak bersifat toksis

dalam bentuk TiO2 dan SiO2 (Wagner, dkk., 2009). Toksisitas bahan yang sifatnya

25
lokal diuji sebelumnya secara in vitro sehingga dapat diketahui sitotoksisitasnya

terhadap sel di lokasi tersebut (ISO 10993-5, 2009)

Sitotoksisitas adalah derajat yang dicapai suatu agen yang memiliki

kemampuan untuk merusak secara spesifik pada sel tertentu (Dorlan dan

Newman, 2000). Sitotoksisitas merupakan toksisitas yang timbul pada tingkat

seluler. Sitotoksisitas suatu bahan mengindikasikan kemampuan adanya efek

toksik yang akan ditimbulkan apabila material tersebut diaplikasikan secara klinis

(Niles dkk., 2009).

Dua metode paling umum yang digunakan untuk uji sitotoksisitas adalah

metode penghitungan langsung (dye exclusion) dan metode 3-(4,5-

dimethylthiazol-2yl)-2,5-dyphenyl tetrazolium bromide (MTT) assay (Craig dan

powers, 2002). Uji MTT memiliki kelebihan yaitu relatif cepat, sensitif

mendeteksi kematian sel, akurat, digunakan untuk mengukur sampel dalam

jumlah besar dan hasilnya bisa untuk memprediksi efek sitotoksik suatu bahan

(Doyle dan Griffiths cit Padmi, 2008).

Uji MTT

Uji MTT merupakan uji kolorimetrik kuantitatif yang dapat mendeteksi

viabilitas sel setelah terpapar substansi toksik dengan menggunakan pewarna

metode 3-(4,5-dimethylthiazol-2yl)-2,5-dyphenyl tetrazolium bromide. Prinsip uji

MTT didasarkan pada aktivitas enzimatik, yaitu kemampuan enzim mitokondria

dehidrogenase untuk mengubah larutan garam tetrazolium yang berwarna kuning

3-(4,5-dimethylthiazol-2yl)-2,5-dyphenyl tetrazolium bromide (MTT) menjadi

26
kristal formazan yang tidak larut dan berwatna biru-ungu melalui reaksi reduksi

(Craig dan Powers, 2002).

Gambar 7. Perubahan struktur MTT menjadi formazan (Sittampalan, 2004)

Kristal formazan yang tidak larut dan berwana ungu diukur jumlah

penyerapan warnanya dengan spektrofotometer. Intensitas warna ungu yang

terbentuk proporsional dengan jumlah sel hidup, jika intensitas warna ungu

semakin besar maka jumlah sel hidup semakin banyak (Portner, 2007). Uji MTT

sering digunakan karena memberikan hasil yang akurat, memerlukan waktu yang

singkat, tidak terlalu mahal, dan dapat digunakan pada semua jenis sel

(Moharamzadeh dkk., 2009)

Uji sitotoksik digunakan untuk menentukan nilai toxicity concentration

(TC50). Semakin besar TC50, maka senyawa tersebut semakin tidak toksik (ISO

27
10993-5, 2009; Riss dkk., 2013). Menurut ISO 10993-5 (2009), suatu material

dikategorikan tidak toksik apabila jumlah viabilitas sel setelah pemaparan

mencapai lebih dari 70%, sedangkan menurut Meric dkk (2008), sitotoksisitas

sesuatu material dapat diklasifikasikan berdasar persentase jumlah sel yang viabel:

a. Tidak sitotoksik: >90% sel viabel

b. Sitotoksik ringan: 60-90% sel viabel

c. Sitostoksik sedang : 30-59% sel viabel

d. Sitotoksik berat: <30% sel viabel

H. Sel fibroblas

Sel fibroblas merupakan sel yang spesifik ditemukan pada jaringan ikat

yang merupakan hasil perkembangan dari jaringan mesenkimal pada masa

embrio. Sel fibroblas dapat mensekresikan matriks kolagen dan substansil dasar

jaringan ikat (Henrikson dkk., 1997). Fibroblas adalah sel yang paling banyak

terdapat di jaringan ikat, berfungsi membuat serat dan substansi interseluler

amorf, serta berperan penting dalam perbaikan dan penyembuhan jaringan yang

rusak, degradasi kolagen dan deposisi jaringan yang mengapur (Grossman dkk.,

1995; Junqueira dkk., 1997; Rieske dkk., 2005). Bentuk dari sel fibroblas yaitu

stelat dengan inti oval, besar, pucat dengan kromatin halus dan anak inti yang

jelas, memiliki banyak sitoplasma yang bercabang-cabang tidak teratur (Junqueira

dkk., 1997 Grossman dkk., 1995). Sel fibroblas yang terkena jejas atau rusak

morfologisnya akan berubah menjadi tidak teratur dan agak bulat (Portner, 2007).

Rangsangan bahan toksik dapat menyebabkan jejas pada sel dengan cara merusak

28
membran sel, mitokondria, dan mengganggu enzim-enzim atau substrat endogen

sel (Cotran dkk., 1999). Sel fibroblas yang mengalami jejas akibat terpapar bahan

toksik akan mengalami gangguan pada proses perbaikan atau penyembuhan. Hal

ini karena sel fibroblas yang mati tidak dapat melakukan aktifitas fungsional

(Tipton dkk., 1995). Kultur sel fibroblas dapat dilakukan dalam media M199.

Media ini dapat digunakan untuk mengembangbiakkan sel fibroblas dan dapat

digunakan untuk melihat proliferasi dan viabilitas sel (Moravvej dkk., 2009;

Phillips, 2002).

Sel fibroblas merupakan sel yang sering digunakan dalam penelitian

tingkat in vitro. Salah satu jenis sel yang sering digunakan adalah vero cell line.

Sel ini berasal dari jaringan normal ginjal monyet Afrika (Cercopithecus aethiops

sabaus). Sel ini memiliki karakteristik sebagai sel dewasa, memiliki ciri

aneuploid, dan termasuk ke dalam kategori continous cell line (Ammerman dkk.,

2008; Gupta, 2009; Almeida dkk., 2011;). Continous cell line memiliki rasio yang

tinggi antara sitoplasma dan nukleus, dan memiliki beberapa keuntungan antara

lain memiliki laju pertumbuhan sel yang cepat, kebutuhan serum dalam media

cukup rendah, dan memiliki kemampuan tumbuh pada suspensi (Shenoy, 2007).

Vero cell line disimpan di cairan nitrogen atau pada suhu 800C dan dapat

diaktifkan untuk kepentingan penelitian (Ammerman dkk., 2008).

29
Gambar 8. Sel fibroblas (Kumar,2012)

III. LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

A. Landasan Teori

Basis gigi tiruan adalah bagian dari gigi tiruan yang berhadapan dengan

mukosa mulut, tempat menyalurkan tekanan oklusal ke jaringan pendukung dan

memberi retensi dan stabilisasi pada gigi tiruan. Plat gigi tiruan yang ideal

memiliki karakteristik tidak iritan, tidak toksik, memiliki kekuatan fisik dan

mekanis yang baik dan tidak terpengaruh oleh cairan oral. Resin akrilik

merupakan material dasar basis gigi tiruan yang banyak digunakan dalam

pembuatan basis gigi tiruan. Komposisi resin akrilik terdiri dari bubuk, yang

mengandung polimer (polimetil metakrilat), initiator (0,2-0,5% benzoil

peroksida), pigmen dan cairan yang mengandung monomer (metil metakrilat), dan

stabilizer (0,006% hidrokuinon).

Basis resin akrilik memiliki kelemahan yaitu sifat mekanis yang kurang

baik dan memungkinkan terjadinya adhesi Candida albicans yang dapat memicu

iritasi mukosa. Proses polimerisasi resin akrilik juga tidak pernah berlangsung

sempurna sehingga menghasilkan monomer sisa. Jumlah monomer sisa yang

30
tinggi dapat menyebabkan iritasi mukosa dan alergi terhadap jaringan rongga

mulut, juga dapat menurunkan kekuatan mekanis basis resin akrilik.

Kekurangan resin akrilik tersebut dapat diatasi dengan cara melapisi basis

gigi tiruan dengan nanopartikel silica. Silica nanopartikel memiliki ukuran

partikel yang kecil (<100nm), area permukaan yang luas, dapat berfungsi secara

aktif, memiliki ikatan yang kuat dengan polimer organik dan dapat meningkatkan

kerapatan rantai polimer suatu material sehingga dapat meningkatkan sifat fisik,

mekanik dan estetik dari polimer organik juga resistensi terhadap tekanan dari

lingkungan yang dapat menyebabkan patah dan aging. Coating basis resin akrilik

dengan silica dapat mengurangi pelepasan monomer sisa karena proses coating

menghasilkan ikatan hidroksil (Si-OH) yang terbentuk dari silicon (Si) dan

oksigen (O2) yang dapat bereaksi dengan polimer organik dengan cara berikatan

dengan gugus fungsi yang dapat dihidrolisis (hydrolysable function groups).

Proses coating memberikan polimerisasi tambahan pada basis gigi tiruan resin

akrilik sehingga meningkatkan derajat konversi monomer yang lebih sempurna,

selanjutnya hal ini akan meningkatkan biokompatibilitas resin akrilik.

Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan terdapat hubungan antara

ukuran dan konsentrasi partikel terhadap sitotoksisitas nanopartikel. Material

nanopartikel memiliki sitotoksisitas yang lebih tinggi dibandingkan partikel

micro-sized dan terdapat peningkatan sitotoksisitas yang ditandai dengan

konsentrasi ROS (Reactive Oxidative Species) yang meningkat seiring

peningkatan dosis konsentrasi nanopartikel. Sitotoksisitas nanopartikel silica per

31
oral berhubungan dengan first pass metabolism di liver yang berpotensi

hepatotoxic.

Material yang digunakan pada tubuh manusia harus memenuhi persyaratan

biokompatibilitas yang baik. Uji sitotoksisitas secara in vitro merupakan uji tahap

pertama untuk menguji biokompatibilitas material. Uji sitotoksisitas metode MTT

dapat digunakan untuk mengetahui viabilitas sel. Prinsip dasarnya adalah

kemampuan enzim mitokondria dehidrogenase mengubah larutan garam

tetrazolium yang berwarna kuning menjadi kristal formazan tidak larut berwarna

ungu. Perubahan warna sebdaning dengan jumlah sel yang aktif secara metabolik.

B. Hipotesis

Berdasarkan landaasan teori dapat diajukan hipotesis bahwa: perbedaan

konsentrasi silica coating berpengaruh terhadap sitotoksisitas basis gigi tiruan

resin akrilik dengan metode MTT (kajian in vitro).

32
IV. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis peneltian yang dilakukan adalah eksperimental laboratoris.

B. Identifikasi variabel

1. Variabel Pengaruh

Konsentrasi nano silica coating

2. Variabel Terpengaruh

Sitotoksisitas basis gigi tiruan

3. Variabel Terkendali

a. Jenis resin akrilik yang digunakan yaitu resin akrilik heat cured

33
b. Bentuk dan ukuran sampel penelitian yaitu silinder dengan diameter 5 mm

dan tinggi 2 mm

c. Jenis silane (3-methacryloxyprophyl-trimethoxysilane)

d. Sel fibroblas berasal dari vero cell line (LPPT, UGM)

e. Partikel silica berukuran nano (Sigma-aldrich)

f. Volume dan konsentrasi pelarut ethanol

g. Tebal lapisan coating

h. Metode coating dengan cara dip coating

C. Definisi Operasional

1. Resin akrilik heat cured, yaitu bahan dasar gigi tiruan yang terbuat dari

rantai polimer yang terdiri dari monomer metil metakrilat dan polimer yang

dicampur dengan perbandingan bubuk dan cairan = 2,3:1 (gr/ml) sehingga dapat

dibentuk ketika dalam keadaan plastis (dough) dan akan mengeras ketika

dipanaskan akibat dari reaksi polimerisasi. Sampel resin akrilik sebanyak buah

berbentuk cakram dengan ukuran diameter 5 mm dan tebal 2mm.

2. Nano silica coating merupakan proses coating resin akrilik heat cured

dengan silica berukuran nano dengan metode dip coating, yaitu sampel dilapisi

dengan mencelupkan sampel ke dalam silica yang telah dilarutkan ke dalam

ethanol, kemudian diangkat dan dikeringkan dan dimasukkan ke dalam oven

dengan suhu 700C selama 10 menit.

34
3. Konsentrasi nano silica coating adalah jumlah silica (mg) yang dilarutkan

dalam 100 ml ethanol, konsentrasi silica yang digunakan dalam penelitian ini

adalah 0,5%, 1% dan 2%.

4. Sitotoksisitas mengindikasikan kemampuan adanya efek toksik yang akan

ditimbulkan apabila material tersebut diaplikasikan secara klinis.

5. Uji MTT Assay diukur berdasarkan jumlah penyerapan warna dengan

spektrofotometer, jika intensitas warna ungu semakin besar maka jumlah sel

hidup semakin banyak.

D. Bahan Penelitian

a. Resin akrilik polimerisasi panas (QC-20, Dentstply) sebagai bahan

pembuat plat resin akrilik

b. Malam merah sebagai bahan pembentuk batang resin akrilik

c. Gips plaster sebagai bahan untuk menanam master model malam

d. Cold Mould Seal (CMS) dan vaselin sebagai bahan separasi

e. Pumice sebagai bahan poles resin akrilik

f. Sediaan kultur sel vero (LPPT UGM, Indonesia)

g. Saline

h. Alkohol 70%

i. Silane 3-methacryloxyprophyl-trimethoxysilane (Ultradent)

j. Tripsin-EDTA (Gibco TFS, USA)

k. M 199 (Gibco TFS, USA)

l. SDS HCl (Sodium Dodecyl Sulfate-Hydrochloric Acid)

35
m. Fetal Calf Serum (FCS)/ Fetal Bovine Serum (FBS)

n. MTT (3-(4,5-dimethylthiazol-2yl)-2,5-dyphenyl tetrazolium bromide)

(Vybrant TFS, USA)

o. Phosphate buffered saline (PBS)

p. Silica nanopartikel (Sigma-aldrich)

q. Ethanol sebagai bahan solvent pada material coating

E. Alat Penelitian

a. Stellon pot untuk pencampuran polimer dan monomer resin akrilik

b. Rubber bowl dan spatula untuk mengaduk gips

c. Kuvet dan press

d. Kuas untuk mengoles Cold Mould Seal (CMS)

e. Crownmess untuk membuang kelebihan resin

f. Timbangan digital dan gelas ukur untuk mengukur berat dan jumlah

polimer dan monomer resin akrilik, serta nanopartikel SiO 2 dan volume

solvent

g. Magnetic stirrer untuk mencampur material coating dengan solvent.

h. Microplate 96 sumuran untuk tempat menguji sitotoksis

i. Inkubator sebagai tempat menyimpan sampel

j. Tabung Erlen Meyer untuk menampung larutan, bahan atau cairan

k. Gelas ukur unuk mengukur volume bahan cair

36
l. Flask cultur sel dengan vented cap sebagi tempat sel

m. Mikropipet untuk mengambil bahan cair

n. Hemositometer untuk media menghitung sel

o. Tally couter sebagai alat bantu menghitung sel

p. Millipore untuk menyaring saline

q. Mikroskop binokuler untuk melihat sel

r. Sentrifuse unuk mengaduk sel agar homogen

s. Sliding caliper untuk mengukur sampel

t. Microplate untuk membaca absobansi sampel

u. Oven (Panasonic, Japan – 220V/50Hz) untuk melakukan tahap

polimerisasi proses dip coating

F. Surat Ethical Clearance

Mengurus surat keterangan kelaikan etik penelitian (ethical clearance) di

Unit Etika dan Advokasi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada.

G. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu

Universitas Gadjah Mada (LPPT-UGM)

H. Subyek Penelitian

37
Subyek penelitian terdiri dari sampel plat resin akrilik polimerisasi panas

dengan bentuk cakram berdiameter 5 mm tebal 2 mm. Penentuan jumlah sampel

dihitung dengan rumus Federer (Federer, 1991 sit. David dan Arkeman, 2008):

(n-1) x (t-1) ≥ 15
(n-1) x (4-1) ≥ 15
(n-1) x 3 ≥ 15
(n-1) ≥ 5
n≥6
Keterangan :

n= besar sampel tiap kelompok

t= jumlah kelompok perlakuan

Berdasarkan hasil penghitungan tersebut, maka setiap kelompok perlakuan

membutuhkan jumlah plat resin akrilik minimal sebanyak 6 buah. Penulis

menggunakan 6 sampel untuk masing-masing kelompok perlakuan, jadi total

sampel sebanyak 24 untuk 4 kelompok, berikut :

1. Kelompok I: 6 sampel resin akrilik yang dilapisi dengan silane dilanjutkan

coating 0,5% silica yang dilarutkan dalam ethanol

2. Kelompok II: 6 sampel resin akrilik yang dilapisi dengan silane dilanjutkan

coating 1% silica yang dilarutkan dalam ethanol

3. Kelompok III: 6 sampel resin akrilik yang dilapisi dengan silane dilanjutkan

coating 2% silica yang dilarutkan dalam ethanol

4. Kelompok IV: 6 sampel resin akrilik yang tidak dilapisi apapun sebagai

kontrol

38
I. Jalannya Penelitian

1. Pembuatan sampel penelitian

Persiapan pembuatan mould dengan menggunakan gips plaster, air dan

malam merah. Gips dicampur dengan air kemudian diisikan ke dalam kuvet.

Model malam yang berbentuk cakram berdiameter 5 mm dan tebal 2 mm

diletakkan di dalam adonan dan setelah adonan gips mengeras cetakan diolesi oleh

vaselin dan dibuat kontra kemudian di press. Setelah itu malam merah dibersihkan

dengan cara merebus kuvet dengan air mendidih hingga seluruh malam tidak

tersisa.

Pembuatan adonan resin akrilik QC 20 menggunakan bahan resin akrilik

polimerisasi panas dengan perbandingan bubuk : cairan = 2,3: 1 satuan volume

yang dicampur ke dalam stellon pot kemudian ditutup sampai mencapai fase

dough. Saat telah mencapai fase dough, adonan dimasukkan ke dalam rongga

mould atau disebut juga dengan proses packing. Setelah dilakukan packing, mould

diolesi terlebih dahulu oleh medium pemisah CMS dengan menggunakan kuas

hingga mengering. Lalu selembar kertas selopan diletakkan diantar kuvet

kemudian dipress agar adonan resin akrilik mengalir merata ke seluruh rongga di

dalam kuvet. Kemudian kuvet dibuka dan lembaran kertas selopan dikeluarkan

dari permukaan resin lalu kelebihan resin dibuang dengan menggunakan

crownmess.

Sampel resin akrilik kemudian diprosesing dengan waterbath yaitu merendam

kuvet dan press ke dalam air yang dipanaskan hingga suhu 700C selama kurang

lebih 90 menit lalu suhu 1000C selama 30 menit. Setelah itu harus didinginkan

39
perlahan sampai mencapai suhu ruang (Annusavice, 2003). Setelah selesai

prosesing, sampel resin akrilik dibersihkan dari sisa-sisa gips lalu dihaluskan.

2. Pembuatan bahan coating

Pembuatan bahan coating dilakukan dengan mencampurkan silica ke dalam

larutan ethanol, masing-masing sesuai dengan kelompok perlakuan. Pada

kelompok I, dicampurkan 0,5 mg silica ke dalam 100 ml pelarut ethanol. Pada

kelompok II, dicampurkan 1 mg silica ke dalam 100 ml pelarut ethanol. Pada

kelompok III dicampurkan 2 mg silica ke dalam 100 ml pelarut ethanol.

3. Coating sampel dengan silane dan bahan pelapis

Coating sampel dengan silane menggunakan kuas diaplikasikan ke seluruh

permukaan sampel resin akrilik, kemudian ditunggu sampai kering. Setelah kering

dilanjutkan coating silica dengan cara dip coating, yaitu dengan mencelupkan plat

resin akrilik ke dalam masing-masing pelapis kemudian diangkat dan dikeringkan.

Selanjutnya masing-masing plat dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 70 0C

selama 10 menit (Amano, 2010).

4. Sterilisasi alat dan bahan

Seluruh alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian pada setiap

tahapnya harus dilakukan sterilisasi terlebih dahulu untuk menghindari

kontaminasi yang dapat menyebabkan false assesment pada uji sitotoksisitas. Alat

yang digunakan untuk pemeliharaan kultur sel vero cell line dan uji sitotoksisitas

disterilisasi dengan menggunaan alkohol 70%.

5. Isolasi dan menyiapkan kultur sel vero

40
Pada tahap pemeliharaan kultur sel vero, media kultur dari sel vero

monolayer yang konfluen dibuang kemudian sel dibilas dengan 10 ml DPBS.

Tripsin-EDTA sebanyak 5 ml ditambahkan dan inkubasi sel dilakukan pada suhu

370C selama 2-3 menit sampai terlihat tanda sel mulai terlepas dari flask.

Selanjutnya 5 ml M199 dengan 10% FBS ditambahkan agar tripsin-EDTA

menjadi tidak aktif. Suspensi sel dipindahkan dari flask ke dalam tabung kerucut

(conical tube) 15 ml steril kemudian disentrifugasi selama 5 menit pada suhu

ruang. Supernatan dibuang dan sel disuspensi kembali menggunakan 10 ml

M1999 dengan 10% FBS dan ditambahkan ke dalam flask kultur sel. Flask

diinkubasi pada suhu 370C dengan 5% CO2 (Ammerman dkk, 2008).

Penghitungan sel dilakukan apabila sel telah konfluen dalam flask,

menempel, dan tumbuh memenuhi dasar flask. Tripsinasi dilakukan dengan tujuan

melepaskan sel yang menempel dengan cara membuang media yang lama

kemudian ditambahkan tripsin EDTA ke dalam flask. Sel yang terkumpul didasar

tabung sentrifugasi dibuat suspensi dengan menambahkan 1 ml media M199.

Suspensi sel diteteskan ke hemositometer menggunakan mikropipet sebanyak 10

ml. Jumlah sel hidup dihitung melalui mikroskop binokuler dengan pembesaran

10 kali. Setelah mengetahui jumlah sel hidup dilakukan pengenceran unuk mebuat

suspensi sel dengan kepadatan 2 x 104 sel/100µL (ISO 10933:5, 2009)

6. Pemberian sampel pada vero cell line

Setiap sumuran microtiter tissue plate pada masing-masing kelompok

perlakuan diisi oleh sel fibroblas dengan kepadatan 2x104 sel/100µL. Selanjutnya,

41
sumuran diberi sampel resin akrilik dan diinkubasi selama 24 jam (Ozen, 2006;

Ahuja, 2015).

7. Uji sitoksisitas dengan metode MTT

Setelah kultur sel diinkubasi selama 24 jam, kemudian media kultur dibuang

dan sampel diambil dari dalam sumuran. Setiap sumuran diberi 100 µL larutan

MTT, diinkubasi 4 jam pada suhu 370C lalu diberi 100 µL SDS-HCl selanjutnya

microplate dimasukkan pada ELISA plate reader dengan panjang gelombang 550

nm, nilai OD (Optical Density) diperoleh dari penghitungan terhadap jumlah

kristal formazan. Sitotoksisitas diukur berdasarkan viabilitas sel relatif terhadap

kontrol dengan rumus sebagai berikut:

Optical density perlakuan


% sel viabel = X 100
Optical density kontrol

J. Analisis Data

Data yang diperoleh merupakan data berskala rasio, maka dilakukan uji

parametrik. Uji parametrik yang dipilih adalah ANAVA satu jalur dengan tingkat

signifikasi 95%. Validitas statistik dari uji parametrik seperti ANAVA satu jalur

perlu memenuhi asumsi normalitas dan homogenitas varian untuk menilai asumsi

tersebut dapat dilihat dari hasil Kolmgorov Smirnov dan Levene test. Apabila

variabel memiliki sebaran data yang normal dan homogen, maka dilanjutkan

dengan uji ANAVA satu jalur dan apabaila dari hasil ANAVA menunjukkan

terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan uji Post Hoc LSD untuk mengetahui

kelompok mana yang memiliki perbedaan rerata secara signifikan. Namun bila

42
variabel tidak memiliki sebaran yang homogen dan atau normal, dilanjutkan

dengan uji nonparametrik.

K. Skema Alur Penelitian

Pembuatan sampel berbentuk bulat


dengan diameter 5 mm, tebal 2 mm

Resin Resin Resin Resin


akrilik akrilik akrilik akrilik
heat heat cured heat heat cured
cured dengan cured dengan
silica dengan silica
coating silica coating
0,5% coating 2%
1%

Sampel dimasukkan ke dalam sumuran, kemudian diinkubasi selama 24


jam pada suhu 370C

Pembuatan pereaksi MTT 5 ml yang dilaturkan dalam 1 ml PBS,


kemudian diambil 10 ml medium sel, disentrifuge,lalu larutan
dimasukkan ke dalam sumuran sejumlah 100µL
43
Dilakukan pengambilan sampel, kemudian setiap well diberi 100µL stop
solution (SDS dalam HCl), lalu diinkubasi selama 24 jam pada suhu
370C

Optical density diperiksa dengan ELISA reader dengan panjang


gelombang 550nm

Penghitungan presentase sel viabel dan analisa data

L. Skema Alur Penelitian

Pembuatan sampel berbentuk bulat


Kultur sel fibroblas (vero cell line)
dengan diameter 5 mm, tebal 2 mm

Penghitungan jumlah sel hidup dan


Resin Resin Resin Resin pembuatan suspensi sel dengan
akrilik akrilik akrilik akrilik kepadatan 2x104 sel/ 100µL
heat heat cured heat heat cured
cured dengan cured dengan
silica dengan silica
coating silica coating Setiap sumuran pada 96 sumuran
0,5% coating 2% microtiter tissue plate diisi suspensi
1% sel fibroblas dengan kepadatan 2x104
sel/ 100µL, kemudian diinkubasi 24
jam

Sampel dimasukkan ke dalam sumuran, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada


suhu 370C

Pembuatan pereaksi MTT 5 ml yang dilaturkan dalam 1 ml PBS, kemudian


diambil 10 ml medium sel, disentrifuge,lalu larutan diamsukkan ke dalam
sumuran sejumlah 100µL
44
Dilakukan pengambilan sampel, kemudian setiap well diberi 100µL stop solution
(SDS dalam HCl), lalu diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C

Optical density diperiksa dengan ELISA reader dengan panjang gelombang 550nm

Penghitungan presentase sel viabel dan analisa data

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, M.A. dan Ebrahim, M.I., 2014, Effect of Zirconium Oxide Nano-Fillers
Addition on the Flexural Strength, Fracture Toughness, and Hardness of
Heat-Polymerized Acrylic Resin, World Journal of Nano Science and
Engineering (4): 50-57
Ahuja S., Babu J., Wicks R., Garcia-Godoy F., dan Tipton D., 2015, Cytotoxic
Effects Of Three Deture Base Materials on Gingival Epithelial Cells and
Fibroblast: An in vitro Study, International Journal Of Experimental
Dental Science 4(1):11-16.
Almeida J.L., Ill C.R., Cole K.D., 2011, Authentication of African Green Monkey
Cell Lines Using Human Short Tandem Repeat Markers, Bmc
Biotechnology, 11 (102):1-10.
Amalia, 2008, Uji Sitotoksik Ekstrak Etanol 70% Buah Merica ( Piper Nigrum L.)
terhadap Sel Hela, Skripsi, Surakarta: Unversitas Muhammadiyah
Surakarta, h.16.
Amano, D., Ueda, T., Sugiyama, T., dkk., 2010, Improved brushing durability of
titanium dioxide coating on polymethylmethacrylate substrate by prior
treatment with acryloxypropyl trimethoxysilane¬based agent for denture
application, Dental Materials Journal 2010; 29(1): 97–103

Ammerman N.C., Beier Sexton M., Azad A.F., 2008, Growth and Maintenanace
of Vero Cell Lines, Curr.Protoc.Microbiol., h. 1-7.

45
Anusavice KJ, Phillips. Science of dental materials. 10th ed.Philadelphia: WB
Saunders Co. 1996; p. 237-72.
Annusavice, K.J. 2003, Phillips Science of Dental Material, 11th ed, Saunders, St.
Louis, h.94, 165-166, 721-735.
Azuma A, Akiba N., dan Minakuchi S., 2012, Hydrophilic Surface Modification
of Acrylic Denture Base Material Coating and its Influence on Candida
Albicans Adherence, J Med Dent Sci (59): 1-7.
Bloom dan Fawcett, 2002, Buku Ajar Histologi, Edisi 12, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, h.522.
Barclay, C. W. & Walmsey, A.D. 2001, Fixed And Removable Prosthodontics,
2nd Ed, Churchill Livingstone, Tottenham.
Bragmann, C.P and Goncalves, M.R.F. 2006. Thermal Insulators Made With Rice
Husk Ashes: Production and Correlation Between Properties and
Microstructure. Department of materials, school of engineering, federal
university of rio grande do sul, Brasil.
Cengel, Y.A., Heat Tranfer: A Practical Approach, 2nd ed, h.561-604, Mcgraw
Hill, New York.
Chang J. S., Chang K.L., Hwang D.F., Kong Z.L., 2007, In Vitro Cytotoxicitiy of
Silica Nanoparticles at High Concentrations Strongly Depends on The
Metabolic Activity Type o f The Cell Line, Environ Sci Technol
41(6):2064-8.
Combe E.C., 1992, Notes on Dnetal Materials, 6th ed, Edinburg, Churchill
Livingstone, h.79-120,157-161.
Cooper C.A, Ravich D., Lips D., Mayer J.J, dan Wagner H.D, 2002, Distribution
and alignment of carbon nanotubes and nanofibrils in a polymer matrix,
Composites Science and Technology, vol. 62, no. 7-8: 1105–1112.
Cotton, F. A. and Walkinson,G. 1989. Kimia Anorganik. UI Press. Jakarta
Cotran M.D., Kumar V., Collins T., 1999, Robbins Pathologic of Disease 6th ed,
Mosby Company, Philadhelphia, h. 102-5.
Craig R.G., dan Powers J.M., 2002, Restorative Dental Materials 11th ed, Mosby
Company, St.Louis h. 137,234-236.
Della, V.P., Kuhn, I., and Hotza, D. 2002. Rice Husk Ash an Alternate Source For
Active Silica Production. Materials Leters. Vol. 57, pp. 818-821.

46
Delvin H, Watts DC. Acrylic allergy. Br Dent J. 1984; 157: 272-5.
Dorland W.A., Newman, 200, Kamus Kedokteran Dorland (Terj.), Edisi 29, EGC,
Jakarta, h.558.
Elshereksi, N.W. Mechanical and Environmental Properties of Denture Base Poly
(methyl methacrylate) Filled by Barium Titanate. Penang: Universiti
Sains Malaysia,2006.
Feng D.F., Gong H., Zhang J., dan Guo X., 2016, Effects of Antibacterial Coating
on Monomer Exudation And The Mechanical Properties of Denture Base
Resins, Journal of Prosthetics Dentistry Vol. 117 (1): 171-7.
Fu P.F., Xia Q., Hwang H.M., Ray P.C., dan Yu H., 2014, Mechanisms of
Nanotoxicity: Generation of Reactive Oxygen Species, Journal of Food
and Drugs Analysis Vol. 22 No.1, p: 64-75.
Grossman L.I., Oliet S., Rio C.E.D., 1995, Ilmu Endodontik dalam Praktek, EGC,
Jakarta, h.47-48 .
Grumezescu A., 2016, Nanobiomaterials in Dentistry: Apllications of
Nanobiomaterials, Elsevier inc, Amsterdam Gupta P.K., 2009,
Biotechonoly and Genomics, Rakesh Kumar Rashtog, New Delhi, h.198.
Gul E.B., Atala M.H., Eser B., Polat N.T., 2015, Effect of Coating with Differet
Ceromer on the Impact Strength, Transverse Strength, dan Elastic
Modulus of Polymethyl methacrylate, Dental Material Journal.
Gurbuz O., Unalan F., Dikbas I., Comparison of Transverse Strength of Six
Acrylic Denture Resins. Turkey: University Of Istanbul, 2008: 21-4
Hatrick, C. D., Eake W.S., 2016, Dental Materials : Clinical Applications for
Dental Assistans and Dental Hygienist, 3rd ed, Elsevier Inc., St.Louis,
hal. 301-301, 305.
Hatrick, C. D., Eakle W. S. Bird W.F., 2013, Dental Materials Clinical
Applications for Dental Assitants and Dental Hygienist, 2nd ed, Elsevier,
Missouri, h. 219-220.
Hayashi S., 2003, Review of Reinforcement of Dentures, J. Oral Rehabil 2003;
26:185-94.
Henrikson R.C., Grodon I.K., Mazurkiewics J.E, 2997, NMS Histology,
Lippincott Williams & Wilkins, USA, h.98-99.
Hobkirik, J.A., Walson R.M., Searson L.J.J., Mazurkiewicz J.E., 1997, NMS
Histology, Lippincott Williams & Wilkins, USA, H.98-99.
47
Holman J.P., 2010, Heat Transfer, 10th ed, h. 379-486, Mc Graw Hill, New York
Hong X.Y., Wei L., dan Wei Q., 2003, Nano Technology: Basic Concepts and
Definition, Clinical Chemistry, vol. 40: 1400.
Hua Y., Gu L., Premaraj S. dan Zhang X., 2015, Role of Interphase in the
Mechanical Behavior of Silica/Epoxy Resin Nanocomposites Materials
(8): 3519-3531
Iler, R.K. 1979. Silica gels and powders. In: The Chemistry of Silica. John Wiley
and Sons, New York. pp. 462–599.
International Agency for Research on Cancer (IARC), 2012, Silica Dust,
Crystalline in the Form of Quartz or Cristobalite. IARC Working Groups
on the Evaluation of Carsinogenic Risk to Human.
ISO 10993-1, 2009, Biological Evaluation of Medical Devices-Part 1: Evaluation
and Testing in The Risk Management Process, International Organization
for Standarization, Geneva, h.15-17
ISO 10993-5, 2009, Biological Evaluation Of Medical Devices-Part 5: Tests for
In Vitro Cytotoxicity, International Organization for Standarization,
Geneva, h.30-34.
Jaffer, N.T., dan Kandil, M.M., 2009, The Effect of Some Coating Materials on
The Amount of Leaching Monomer from Polymethyl Methacrylate
Denture Base, Al-Rafidain Dent J., Vol.9,No.1

Jiang W., Kim B.Y., Rutka J.T., dan Chan W.C., 2008, Nanoparticle-Mediated
Cellular Response is Size Dependent, Nat Nanotechnol 3(3):145-50.
Jordan J, Jacob K.L., Tannenbaum R., Shart M.A., Jaiuk I., 2005, Experimental
Trends in Polymer Nano Composites- A Review, Mater Sci Eng 393 (1):
1-11.
Jung, E. K., Kim. H., An, S. S., Maeng E.H., Kim. M.K., Dan Song, Y.J., 2014, In
Vitro Cytotoxicity of SiO2 or ZnO Nanoparticles with Different Sizes and
Surface Charges on U373mg Human Glioblastoma Cells. Intl J
Nanomedicine; 9 (suppl 2): 235-41.
Junqueira L.C., Carneir C., 2005. Basic Histology: Textbook and Atlas, 11th ed,
Sao Paulo, Mc Graw Hill, h.502.
Kandil, M., Jaffer, T.N., Shehab, E.Y., 2009, The Effect of Three Coating
Materials on the Candidal Growth, on the Surface and Color of A heat–
Cure Acrylic Resin Denture Base, Al – Rafidain Dent J, Vol. 9, No.2

48
Ke Y.J., Qin X.D., Zhang Y.C., Li H., 2014, In vitro Study on Cytotoxicity
Intracellular Formaldehyde Concentration Changes After Exposure to
Formaldehyde and its Derivatives, Human Exp Toxicol 33(8): 822-30.
Khalifa N., Allen P.F., Abu Bakr Nh., Abdel Rahman M.E., 2012, Factor
Associated with Tooth Loss and Prosthodontics Status among Sudanese
Aduts. Journal of Science, 54 (4): 303-312.
Kim J.E., Kim H., An S.S.A., Maeng E. H., Kim M.K., Song Y.J., 2014, In Vitro
Cytotoxicity of Silica And Zno Nanoparticles with Different Sizes and
Surface Charges on U37MG Human Glioblastma Cells, Int. J.
Nanomedicine 9(Suppl 2): 235-41.
Kim I.Y., Joachim E. Choi H., Kim K., 2015, Toxicity of Silica Nanoparticles
Depends on Size, Dose and Cell Type, Nanomedicine: Nanotechnology,
Biology and Medicine 11: 1407-16.
Kurt A. Genc G. E., Uzun M., Emrence Z., Ustek D., 2017, The Antifungal
Activity and Cytotoxicity of Siver Containing Denture Base Material.,
Nigerian Journal of Clinical Practice, Vol. 20 (3):290-5
Kumar R., Roy I., Ohulchanskky T.Y., Vathy L.A., Bergey E.J., Sajjad M.,. 2010,
In Vivo Biodistribution and Clearance Studies Using Multimodal
Organically Modified Silica Nanoparticles. ACS Nano (4): 699-708
Kumar S., 2012, Textbook of Microbology, Jaypee Brothers International Medical
Publishers, New Delhi,h.511.
Lasilla L.V.J., Vallitu P.K., Denture Base Polymer: Mechanical Process, Water
Sortion and Release of Residual Compounds. J. Oral Rehail: 607-613.
Lee SI, Kim CW, KimYS. Effect of Chopped Glass Fiber on The Strength of
Heat-Curred PMMA Resin. J Korean Acad Prosthodont 2001 ; 39(6) :
590- 1,596.
Li X.M., Q. Feng, R. Cui., 2013, The Use Of Nanoscaled Fibers Or Tubes To
Improve Biocompatibility And Bioactivity Of Biomedical Materials,
Journal Of Nanomaterials, Vol. 2013, Article ID 728130.
Loney, R.W 2011, Removable Partial Dentur Manual, Dalhousie University,
Halifax.
Lung, C. Y. K., dan Matinlinna J. P., 2012, Aspects of Silanes Coupling Agets
and Surface Conditioning in Dentistry: An Overview, Dental
Materials, 28: 416-677.

49
Marsh P., dan Martin M.V., 2000, Oral Microbiology, 4th ed, Wright, New
Delhi, 154-155
Mc Cabe J.F., dan Walls A.W.G., 2008, Applied Detal Material, 9th ed,
Blackwell Publishing, Oxford. h.5-31, 40, 99, 101-109,110-123.
Meurman J.H., Sikala E., Richardson M., Rautemaa R., 2007, Non Candida
albicans Candida yeast oh the oral cavity in: Mendez-Vilas, A (ed),
Communicating Current Research and Educational Topics and Trends in
Applied Microbiology, Helsinski, 719-31.
Moharamzadeh K., Van Noort R., Brok I.M., dan Scutt A.M., 2007, Cytotoxicity
of Resin Monomer on Human Gingival Fibroblast and Keratinocyes,
Dental Material, 2:40-44.
Moravvej H., Rad M.M., Zali H, Nabai L., Toossi P., 2009, Establishment of a
Primary Cell Culture of Human Fibroblast in Iran, Iran J. Derm 12(1):4-
8.
Mowade, T.K., Dange, S.P., Thakre,M.B. & Kamble, V.D. 2012. Effect of Fiber
Reinforcement on Impact Strength of Heat Polymerized Polymethyl
Methacrylate Denture Base Resin: InVitro Study and SEM Analysis. J
AdvProst, (4): 30-6.
Murugados S., Lison D., Godderis L., Van Den Brule S., Mast J., 2017,
Toxicology of Silica Nanoparticles: an Update, Archives of Toxicology,
Vol. 91, Issue 9, hal. 2967-3-10.

Nihei T., 2016, Dental Applications for Silane Coupling Agents, Journal of Oral
Science, Vol. 58, No. 2, 151-155.

Niles A.L., Moravec R.A., dan Riss T.L., 2009, In Vitro Viability and Cytotoxicity
Testing and Same-Well Multi-Parametric Combinations for High
Throughput Screening, Curr Chem Genomics (3): 33–41.
Nishimori H., Kondoh M., Isoda K., Tsunoda S., Tsutsumi Y., dan Yagi K., 2009,
Silica Nanoparticles as Hepatoxicants, European Journal of
Pharmaceutical and Biopharmaceutics Vol. 72(3): 496-501.
O’brien W.J., 2002, Dental Material and Their Selection, 3rd Ed, Quintessence
Publising Co, Inc, Canada, h.12
Ozen J., Sipahi C., Caglar A., Dalkiz M., 2006, In Vitro Cytotoxicity of Glass and
Carbon Fiber Reinforced Heat Polymerized Acrylic Resin Denture Base
Material, Turk Jmed Sci 26: 121-6.

50
Padmi A, 2008, Uji Sitotoksik Ekstrak Etanol 70% Buah Kemukus (Piper Cubeba
L.) terhadap Sel Hela, Skripsi, Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakata: 8-26.
Portner R., 2007, Animal Cell Bitechnology: Methods and Protocols 2nd ed, New
Jersey, Humana Press Inc, h. 212-214..
Phillips RW. Skinner’s Science Of Dental Materials. 9th ed. Philadelphia: WB
Saunders Co. 1991; p. 177-295
Phillpis G.O., 2002, Advances in Tissue Banking, Vol 6, World Scientific
Publishing Co.Pte.Ltd, Singapore, h.392.
Rahman I.A. dan Padavettan V., 2012, Synthesis of Silica Nanoparticles by Sol-
Gel: Size-Dependent Properties, Surface Modifications Apllications in
Silica-Polymer Nanocomposites- A Review. Journals of Nanomaterial
Volume 2012:1-15.
Rashid H., Sheikh Z., Vohra F., 2015, Allergic Effects of the Residual Monomer
used in Denture base Acrylic Resin, Eur J Dent 9(4): 614-619.
Rieske P., Krynska B., Azizi S.A. 2005. Human Fibroblas Derived Cell Lines
Have Characteristics of Embryonic Stem Cells and Neuro-Ectodermal
Origin, Pubmed, 73(9-10): 474-83.
Riss T.L., Moravec R.A., Niles A.L., Benink H.A., Worzella T.J., dan Minor L.,
2013, Cell Viability Assays in Assay Guidance Manual, NCBI, Newyork,
h. 2-5.
Roy I., Stachowiak M.K., dan Bergey E.J, 2008, Nonviral Gene Transfection
Nanoparticles: Function And Applications In The Brain, Nanomedicine:
Nanotechnology, Biology, and Medicine, Vol. 4, No. 2: 89–97.
Sacton Q.A., 2011. Advanced in Nanotechnology Research And Application.
Scholarly Edition, Georgian P. 566-567, 2503-2505
Sakaguchi R.L., dan Powers J.M., 2006, Craig’s Restorative Dental Material 12th
Edition, Elsevier Mosby, USA, h.98
Sakaguchi, R.L., dan Powers J.M., 2012, Craigs Restorative Dental Material,
13th Ed, Philadelphia, Mosby Elsevier Inc, h.191-2, 327-48.
Schamlz, G., 1994, Use Of Cell Cultures for Toxicity Testing of Dental Materials:
Advantages and Limitations, J. Dent, 22: 6-11.
Schamlz G., dan Arenholt-Bindslev D., 2009, Biocompatibilty Of Dental
Mateials, Springer-Verlag, Berlin Heidelberg, H.13-17, 99-111

51
Shi D.L., 2006, Introduction to Biomaterial, Tsinghua University Prss, Beijing,
h.59.
Shimizu, H, Kurtz, K., Yoshinaga, M., Takashi, Y., Habu, T., 2002, Effect Of
Surface Treatment Preparations on The Repair Strength of Denture Base
Resin, Int Chin J Dent, (2): 126-133.
Shenoy M., 2007, Animal Biotechnology, Mehra Offset Press, New Delhi P.28-30.
Sinuhaji P., dan Marlianto E., 2012,Teknologi Film Tipis, USU Press, Medan,
Indonesia.
Sittampalam GS, Coussens NP, Brimacombe K, 2004, Assay Guidance Manual:
Eli Lilly & Company and the National Center for Advancing
Translational Sciences
Soh M.S., Sellinger A., dan Yap A.U.J, 2006, “Dental Nanocomposites,” Current
Nanoscience, Vol. 2, No. 4:373–381.
Surdia, T dan Saito, S. 2000. Pengetahuan Bahan Teknik. Pradanya Pramita.
Jakarta.
Tarigan R., 2004, Perwatan Pulpa Gigi (Endodonti), Edisi 2, Penerbit Buku
Kedokteran Egc, Jakarta, h.8.
Tarigan S, 2005, Pasien Prostodonsia Usia Lanjut : Beberapa Pertimbangan
Dalam Perawatan. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Sumatera
Utara , Medan.
Tipton D.A., Braxton S.D., Dabbous M.K., 1995, Role of Salivary Compents as
Modulators of Bleaching Agent ToxicitytTo Human Gingival Fibroblast
in Vitro, J.Periodontal, 66:744-766.
Tsuji M., 2012, Biocompatibility Of A Titanium Dioxide Coating Method For
Denture Base Acrylic Resin, Institutional Resources for Unique
Collection and Academic Archives at Tokyo Dental College.
Urban, V.M., Machado, A.L., Vergani, C.E., 2012, Leachability of Degradation
Products from Hard Chairside Reline Resins in Artificial Saliva: Effect
of Water-Bath Post-Polymerization Treatment, J Appl Polym Sci.,
2012;123:732-9

Van Noort, R.,2007, Introduction to DentalMaterials. Edisi ke-3, Elsevier,


London:. h.48, 74,76, 213-216.

52
Vojodic D, Komar D, Schauperl Z,et al. Influence of Different Glass Fiber
Reinforcement on Denture Base Polymer Strength (Fiber Reinforcements
of Dental Polymer). Med Glas, 2009; 6(2) : 227-234.
Wagner S., Munzer S., Behrens P., Scheper T., Bahnemann D., dan Kaspe C.,
2009, Cytotoxicity of Titanium and Silicon Dioxide Nanoparticles, J. Phy,
12, 1-8.
Wang W., Liao S., Zhu Y., Liu M., Zhao Q., dan Fu Y., 2015, Recent
Applications of Nanomaterials in Prosthodontics, Journal of
Nanomaterials Volume 2015, Article ID 408643.
Webster T.J., Dan Ejiofor J.U., 2004, Increased Osteoblast Adhesion on
Nanophase Metals: Ti, Ti6Al4V, and Cocrmo, Biomaterials, Vol. 25, No.
19, hal. 4731–4739.
Williams R.C., 1990, Periodontal Disease, The New England Journal of
Medicine, 322(6): 373-382
Yildrimer L., Thanh N., Louziduo M., Seifalian A., 2011, Toxicology and Clinical
Potential of Nanoparticles, Nanotoday Vol. 6(6): 585-607.
Yodmongkol S, Chantarachindawong R, Thaweboon S, Thaweboon
B,Amornsakchai T, rikhirin T. , The Effects of Silane-Sio Nanocomposite
films on Candida Albicans Adhesion and The Surface and Physical
Properties of Acrylic Resin Denture Base Material, J Prosthet Dent
(112): 1530-8.
Yoshizaki T., Akiba N., Inokoshi M., Shimada M., dan Minakuchi S., 2017,
Hydrophilic Nano-Silica Coating Agents With Platinum and Diamond
Nanoparticles for Denture Base Material, Dental Material Journal.
Zentner MA, Sergl HG, Kretschmer A. An in vitro study of resin used in
orthodontics for their cell toxicity. Fortschr– Kieferorthop. 1994; 55(6):
311-8
Zuo W, Feng D, Song A, Gong H, Zhu S., 2016, Effects of Organic-Inorganic
Hybrid Coating on The Color Stability of Denture Base Resins,
J .Prosthet Dent 115(1): 103-8.

53
Bisa untuk pembahasan Menurut ISO (1999) 10993-5 standar minimum waktu
inkubasi resin akrilik pada tes sitotoksisitas adalah 24 jam.

54

Anda mungkin juga menyukai