Fakultas : FMIPA
Jurusan/ Prodi : Fisika/ Pendidikan Fisika
Matakuliah : Pengembangan Pembelajaran IPA Terpadu
Kode Matakuliah : FIS324
Bobot Perkuliahan : 2 sks
1. Standar Kompetensi
Mahasiswa mampu mengembangkan pembelajaran IPA terpadu.
1
I. HAKIKAT SAINS DAN PEMBELAJARANNYA
Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), termasuk fisika, dikembangkan oleh
manusia dengan tujuan untuk memahami gejala alam. Rasa keingintahuan telah
mendorong ilmuwan untuk melakukan proses penyelidikan ilmiah, atau doing science
(Hodson, 1996), hingga ditemukan suatu jawaban atau produk yang mencakup konsep,
prinsip, teori, dan hukum. Dalam istilah psikologi pengetahuan tentang proses ilmiah
itu disebut pengetahuan prosedural, dan pengetahuan yang berkaitan dengan produk
ilmiah disebut pengetahuan deklaratif.
Melalui proses ilmiah ilmuwan mencoba memahami alam. Proses ini meliputi
langkah-langkah: mengeksplorasi gejala dan merumuskan masalah, menciptakan
penjelasan sementara (hipotesis), memikirkan rancangan percobaan untuk menguji
hipotesis dan memprediksi hasil yang diharapkan sebagai konsekuensi deduktif jika
percobaan direalisasikan, mengumpulkan data melalui pengamatan atau pengukuran,
kemudian membandingkan data dengan konsekuensi deduktif yang dijabarkan dari
hipotesis. Jika data sesuai dengan konsekuensi deduktif maka hipotesis mendapat
dukungan sehingga diperoleh ilmu pengetahuan baru yang bersifat tentatif, dan jika
tidak sesuai maka hipotesis ditolak atau harus dimodifikasi.
Proses berpikir yang mengaitkan hipotesis, rancangan percobaan, dan prediksi
tersebut membentuk pola inferensi logika jika… dan… maka…. Menurut Brotosiswoyo
(2000) inferensi logika termasuk kemahiran generik yang perlu ditumbuhkan melalui
belajar fisika. Pola berpikir tersebut, menurut Lawson (1995), sebetulnya
menggambarkan pola berpikir manusia pada umumnya yang tidak berbeda dengan
pola berpikir ilmuwan, tetapi karena ilmuwan sudah terbiasa atau terlatih dalam
menggunakan pola tersebut maka mereka mampu memecahkan masalah secara efektif.
Oleh karena itu, pembelajaran fisika dan sains seyogianya juga diarahkan juga untuk
mengembangkan kemampuan berpikir.
Pentingnya pengembangan kemampuan berpikir itu didukung hasil survei yang
dilakukan oleh American Institute of Physics (AIP) di Amerika Serikat. Hasil survei itu
menunjukkan bahwa kecakapan yang paling sering digunakan oleh pekerja lulusan S2
dan S3 fisika adalah kecakapan dalam pemecahan masalah (problem solving), bekerja
kelompok, dan berkomunikasi. Pengetahuan tentang materi subyek frekuensi
penggunaannya di tempat kerja rata-rata hanya sekitar seperempat dari penggunaan
kemampuan problem solving (Heuvelen, 2001).
Beberapa ahli pun menyatakan bahwa pembelajaran sains, termasuk fisika, dapat
untuk mengembangkan kemampuan berpikir (Heuvelen, 2001; Hodson, 1996; Lawson,
1995; McDermott et al., 1996a & 1996b; Reif, 1995; Reif & Scott, 1999). Berkaitan
dengan hal itu, persoalannya adalah bagaimanakah strategi pembelajaran untuk
mengembangkan kemampuan berpikir itu.
Strategi pembelajaran yang direkomendasikan oleh banyak ahli dapat
mengembangkan kemampuan berpikir, menumbuhkan sikap, dan menanamkan konsep
adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan peserta didik untuk belajar
“menemukan”, bukan sekadar belajar “menerima”. Kesempatan belajar menemukan
dikembangkan antara lain dalam bentuk strategi pembelajaran berbasis inkuiri.
Menurut Lazarowitz & Tamir (1994), kurikulum berbasis inkuiri banyak
mengalokasikan waktunya, sekitar 50% waktu yang tersedia, untuk kegiatan
laboratorium. Dalam hal ini, laboratorium merupakan salah satu bagian dari wahana
untuk membelajarkan proses ilmiah. Bila kita cermati kurikulum sains atau fisika SMP
maupun SMA yang pernah diberlakukan di Indonesia, sejak Kurikulum 1975,
sebetulnya sudah menekankan kegiatan laboratorium, tetapi dalam pelaksanaannya,
2
seperti ditunjukkan dari hasil evaluasi Balitbang Depdiknas (Puskur, 2001), selama ini
pembelajaran sains lebih menekankan pada penguasaan sejumlah fakta dan konsep
(sains sebagai produk), melalui ceramah, dan kurang menekankan pada penguasaan
kemampuan dasar. Oleh karena itu, mulai tahun 2004 di SD hingga SMA secara difusi
(tidak serentak) diterapkan dan dikembangkan kurikulum baru, yaitu kurikulum
berbasis kompetensi (competency based), dan setelah melalui proses evaluasi dan
revisi ditetapkan kurikulum baru itu sebagai pengganti kurikulum sebelumnya yang
cenderung berbasis isi (content based). Hal itu dilakukan dalam rangka lebih
menyeimbangkan peningkatan kemampuan konseptual dan prosedural.
Kecenderungan pembelajaran yang hanya menekankan pada sains sebagai
produk dan kurang mendayagunakan kegiatan laboratorium tersebut juga didukung
hasil penelitian Sriyono & Hamid (2003) yang menunjukkan bahwa frekuensi
penggunaan laboratorium fisika di SMA se Kabupaten Purworejo relatif rendah. Selain
itu, hasil wawancara dengan sejumlah guru fisika SMA di Semarang yang dilakukan
sebelum penulisan buku ini menunjukkan bahwa mayoritas dari mereka mengajar
dengan ceramah. Hanya dua guru yang diwawancarai menyatakan melakukan kegiatan
laboratorium. Kegiatan laboratorium yang mereka lakukan pun masih bersifat
verifikasi terhadap konsep atau prinsip yang sebelumnya sudah dijelaskan oleh guru.
Sejak tahun pelajaran 2002/2003, sesuai dengan Keputusan Mendiknas nomor
017/U/2003, praktikum fisika diujikan dalam ujian akhir nasional yang naskah soalnya
disiapkan oleh pihak sekolah. Pada saat ini keadaan pun mulai berubah, praktikum
fisika mulai dilaksanakan di sekolah-sekolah. Pertanyaannya, bagaimanakah bentuk
praktikum yang mulai banyak dilaksanakan di sekolah? Hasil telaah terhadap tiga
petunjuk praktikum yang dipakai di tiga sekolah yang berbeda menunjukkan bahwa
kegiatan praktikum yang dikembangkan masih bersifat verifikasi.
Kegiatan laboratorium yang bersifat verifikasi itu, menurut Heuvelen (2001) dan
juga McDermott (2000), tidak banyak membantu dalam mengembangkan kemampuan
berpikir. Lebih lanjut McDermott menunjukkan bahwa kegiatan laboratorium yang
mestinya dilakukan untuk pengembangkan kemampuan berpikir adalah kegiatan
laboratorium inkuiri. Hal itu dapat terjadi karena kegiatan laboratorium berbasis
inkuiri dapat menyediakan fasilitas yang memungkinkan siswa untuk: (1)
mengeksplorasi gejala dan merumuskan masalah, (2) merumuskan hipotesis, (3)
mendesain dan melaksanakan cara pengujian hipotesis, (4) mengorganisasikan dan
menganalisis data yang diperoleh, (5) menarik kesimpulan dan
mengkomunikasikannya. Kenyataannya, berdasarkan hasil penelitian sampai tahun
2004, ada petunjuk bahwa kegiatan laboratorium fisika yang memungkinkan siswa
bekerja ilmiah mengikuti prosedur seperti itu belum terlaksana (Nur, 2004).
3
II. KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN ANAK
4
digunakan dalam berpikir dengan pola jika...dan…maka…, dan pada kedua tahap pola
berpikir itu berawal dari pengalaman empirik.
Pada tahap 3, perkembangan anak usia 7 tahun sampai awal remaja (11 tahun),
pola berpikir jika… dan … maka… digunakan dengan media bahasa verbal untuk
menamai, menggambarkan, menggolongkan obyek, peristiwa, dan situasi di
lingkungannya. Anak usia 7 tahun mulai berpikir melalui pengalaman empirik,
kemudian melakukan proses induksi untuk menggeneralisasikan hasil observasi
terhadap obyek, peristiwa, dan situasi yang bersifat khusus menjadi lebih umum.
Pada tahap 4, perkembangan berpikir anak usia 11 tahun ke atas, penguasaan
bahasa verbal yang sudah meningkat lebih banyak digunakan dalam pola berpikir
deduktif hipotetik dari pada representasi empirik (induksi empirik). Perbedaannya
dengan tahap kedua, pada tahap keempat pola berpikir hipotetik anak dinyatakan
menggunakan bahasa verbal, sedangkan pada tahap kedua belum.
Perbedaan antara tahap ketiga dan keempat bukan terletak pada pola berpikir
jika … dan … maka …, tetapi pada faktor yang mengawali pola itu. Pada tahap ketiga
proses berpikir berawal dari representasi empirik dengan melakukan induksi yang
merupakan persepsi langsung dari rangsangan lingkungan, sedangkan pada tahap
keempat proses berpikir dimulai dari representasi hipotetik dengan menggunakan
abduction, yaitu suatu proses menciptakan hipotesis alternatif dengan cara
memanfaatkan atau meminjam pengetahuan atau gagasan yang telah dimiliki dan
berhasil untuk menjelaskan suatu masalah.
Jadi berpikir pada tahap ketiga merupakan aktivitas respon atau reaksi dari
lingkungan, sehingga ketika anak ditanya apa yang menyebabkan suatu peristiwa
terjadi, untuk menjawabnya ia akan melakukan pengamatan terhadap peristiwa itu.
Lain halnya pada tahap keempat, berpikir pada tahap ini merupakan aktivitas reflektif,
bebas (self-contained), dan proaktif.
Ketika ditanya bagaimana ikan salmon dewasa yang berada di tengah samudra dapat
kembali ke tempat kelahirannya di sekitar muara sungai ketika mau bertelur, pemikir pada
tahap keempat dapat menduga jawabannya, walaupun ia tidak dapat mengamati peristiwa
itu. Karena ikan salmon itu tidak dapat bercerita tentang apa yang dikerjakannya dan kita
tidak dapat mengamati perjalanannya secara langsung, maka untuk menemukan
jawabannya pemikir pada tahap keempat mula-mula secara mental harus menciptakan
beberapa kemungkinan penyebab (atau hipotesis), misalnya: (1) ikan salmon
menggunakan indera penglihatannya untuk menemukan jalan kembali ke tempat
kelahirannya; (2) ikan salmon menggunakan indera penciumannya untuk kembali ke
tempat kelahirannya; (3) ikan salmon menggunakan kepekaannya terhadap medan magnet
bumi untuk menemukan jalan kembali ke tempat kelahirannya.
Setelah mengajukan beberapa hipotesis, kemudian pemikir mendeduksikan
konsekuensi dari masing-masing hipotesis itu, misalnya, berdasarkan hipotesis 1 dapat
dideduksikan rancangan percobaan sebagai berikut. Sebagian ikan salmon yang akan
bertelur ditutup matanya, sebagian lainnya tidak ditutup. Pemikir itu kemudian
melakukan percobaan sesuai dengan rancangan dan menggunakan data percobaan
untuk mendukung atau menolak hipotesis yang diusulkan (Gambar 2). Jadi proses
berpikir pada tahap keempat ini seperti proses ilmiah yang biasa dilakukan ilmuwan.
Dalam hal ini Piaget menyatakan bahwa anak-anak berpikir mulai dari realitas,
sedangkan orang dewasa berpikir mulai dari kemungkinan-kemungkinan.
Implikasi dari pemahaman terhadap teori perkembangan berpikir tersebut pada
pembelajaran fisika adalah bagaimana membantu siswa mengalami pergeseran proses
berpikir. Jadi tugas guru adalah memfasilitasi perkembangan berpikir siswa. Di tingkat
5
SD, sains akan lebih sesuai dibelajarkan melalui pengalaman empirik yang melibatkan
pengamatan langsung (Brotosiswoyo, 2002), sehingga memungkinkan siswa
memperoleh pengetahuan melalui proses induksi (empirical inductive). Selain itu,
bertolak dari pengamatan langsung itu siswa juga mulai dilatih untuk mengembangkan
inferensi logika jika…dan…maka…. Menurut Piaget mulai usia sekitar 11 tahun anak
sudah mulai mampu berpikir hypothetical deductive, yaitu berpikir yang berawal dari
suatu kemungkinan, maka pembelajaran di SMP diharapkan dapat memfasilitasi
terjadinya pergeseran tingkat berpikir ke arah tersebut dengan mulai melatih
mengembangkan inferensi logika jika…dan…maka…yang berawal dari kemungkinan-
kemungkinan (hipotesis). Di tingkat SMA kemampuan-kemampuan tersebut perlu
terus dikembangkan sehingga dapat menjadi kebiasaan dalam pemecahan masalah
Pertanyaan Penyebab
Bagaimana ikan salmon
kembali ke tempat lahirnya?
Jadi …
Jika …
Kesimpulan
Proposisi Hipotetik Ikan salmon mengarahkan jalannya
Ikan salmon mengarahkan tidak menggunakan matanya
jalannya menggunakan mata
dan …
Tetapi… Bukti atau Hasil
Eksperimen Kedua kelompok ikan itu
Sebagian ikan salmon ditutup sama-sama berhasil
matanya, sebagian tidak
maka …
Prediksi
Ikan salmon yang ditutup matanya
tidak berhasil, sedangkan yang tidak
ditutup berhasil
Istilah pembelajaran terpadu berasal dari kata “integrated teaching and learning”
atau “integrated curriculum approach”. Konsep ini telah lama dikemukakan oleh John
Dewey sebagai usaha untuk mengintegrasikan perkembangan dan pertumbuhan siswa
dan kemampuan pengetahuannya (Beans, 1993). Dia mengemukakan bahwa
pembelajaran terpadu adalah pendekatan untuk mengembangkan kemampuan anak
dalam pembentukan pengetahuan berdasarkan interaksi dengan lingkungan dan
pengalaman dalam kehidupannya. Sehubungan dengan itu, pendekatan Pembelajaran
6
Terpadu membantu anak untuk belajar menghubungkan apa yang telah mereka pelajari
dan apa yang baru mereka pelajari (Piaget, 1977).
Definisi lain tentang pembelajaran terpadu dikemukakan pula oleh Jacobs (1989)
yang memandang pembelajaran terpadu sebagai pendekatan kurikulum interdisipliner
(interdisciplinary curriculum approach). Dia mendefinisikan sebagai “a knowledge
view and curriculum approach that consciously applies methodology and language
from more than one discipline to examine a central theme, issue, problem, topic, or
experience (1989: 8). Pembelajaran terpadu adalah sebuah pendekatan dalam
pembelajaran sebagai suatu proses untuk mengaitkan dan mempadukan materi ajar
dalam suatu mata pelajaran atau antar mata pelajaran dengan semua aspek
perkembangan anak, kebutuhan dan minat anak, serta kebutuhan dan tuntutan
lingkungan sosial keluarga.
Pada perspektif bahasa, pembelajaran terpadu sering diartikan sebagai
pendekatan tematik (thematic approach). Pembelajaran terpadu didefinisikan sebagai
proses dan strategi yang mengintegrasikan isi bahasa (pembaca menulis, berbicara, dan
mendengar) dan mengkaitkannya dengan mata pelajaran lain. Konsep ini
mengintegrasikan bahasa (language arts conctents) sebagai pusat pembelajaran yang
dihubungkan dengan berbagai tema atau topik pembelajaran.
Pembelajaran terpadu juga sering disebut pembelajaran koheren (a coherent
curriculum approach), yang memandang bahwa pembelajaran terpadu merupakan
pendekatan untuk mengembangkan program pembelajaran yang memadukan dan
menghubungkan berbagai program pendidikan. Kurikulum tidak harus terdiri dari
bagian-bagian yang mengakumulasikan pengalaman belajar siswa, dapat
diumpamakan sebagai “hutan dengan pohon” terpadu, relevan dan bermanfaat.
Keterhubungan dengan kurikulum tidak hanya antara mata pelajaran dan kebutuhan
serta minat nyata anak, tetapi juga antara tujuan dan kegiatan, dan masyarakat pada
umumnya. Pendekatan terpadu menekankan pada membuat hubungan antara bagian
program pembelajaran dengan kehidupan siswa dan lingkungan sosial sekitarnya.
Definisi lain tentang pendekatan terpadu adalah pendekatan holistik (a holistic
approach) yang mengkombinasikan aspek epistemology, sosial, psikologi, dan
pendekatan pedagogi untuk pendidikan anak yaitu menghubungkan otak dan raga,
antara pribadi dan pribadi, antara individu dan komunitas, dan antara domain-domain
pengetahuan.
Pembelajaran terpadu menawarkan model-model pembelajaran yang menjadikan
aktivitas pembelajaran itu relevan dan penuh makna bagi anak, baik aktivitas informal
maupun formal, untuk itu pembelajaran inkuiri secara aktif sampai dengan penyerapan
pengetahuan dan fakta secara pasif, dengan memberdayakan pengetahuan dan
pengalaman anak untuk membantu anak mengerti dan memahami dunia mereka.
Cara pengemasan pengalaman belajar yang dirancang guru sangat berpengaruh
terhadap kebermaknaan pengalaman bagi para siswa. Pengalaman belajar yang lebih
menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan proses pembelajaran lebih
efektif. Kaitan konseptual yang dipelajari dengan sisi bidang studi yang relevan akan
membentuk skema, sehingga anak akan memperoleh keutuhan dan kebulatan
pengetahuan. Perolehan keutuhan belajar, pengetahuan, serta kebulatan pandangan
tentang kehidupan di dunia nyata hanya dapat direfleksikan melalui pembelajaran
terpadu (William, 1976: 116). Pembelajaran terpadu sangat diperlukan terutama untuk
sekolah dasar karena pada jenjang ini siswa menghayati pengalamannya masih secara
totalitas serta masih sulit menghadapi pemilahan yang arti ficial (Richmond, 1977: 31;
Joni, 1996: 1).
7
Pembelajaran terpadu merupakan pendekatan yang mengintegrasikan beberapa
mata pelajaran yang terkait secara harmonis untuk memberikan pengalaman belajar
yang bermakna kepada siswa. Pembelajaran ini merupakan model yang mencoba untuk
memadukan beberapa pokok bahasan (Beane, 1995: 615). Keterpaduan dalam
pembelajaran ini dapat dilihat dari aspek proses atau waktu, aspek materi belajar, dan
aspek kegiatan belajar mengajar. Pembelajaran terpadu dapat dilaksanakan dalam
proses pembelajaran siswa SD atau MI sampai SMA atau MA sesuai dengan
kompetensi dan materi ajar yang terdapat dalam kurikulum.
Beberapa prinsip dasar pembelajaran terpadu dikemukakan sebagai berikut:
a. The hidden curriculum. Anak tidak hanya terpaku pada pernyataan, atau pokok
bahasan tertentu, sangat mungkin pembelajaran yang dikembangkan memuat pesan
yang “tersembunyi” penuh makna bagi anak.
b. Subjects in the curriculum. Perlu dipertimbangkan mana yang perlu didahulukan
dalam pemilihan pokok atau topik belajar, waktu belajar, serta penilaian kemajuan.
c. The learning environment. Lingkungan belajar di kelas memberikan kebebasan bagi
anak untuk berpikir dan berkreativitas.
d. Views of the social world. Masyarakat sekitar membuka dan memberikan wawasan
untuk pengembangan pembelajaran di sekolah.
e. Values and attitude. Anak-anak memperoleh sikap dan norma dari lingkungan
masyarakat, termasuk rumah, sekolah dan panutannya, baik verbal maupun
nonverbal.
Menurut Depdikbud (1996:3), pembelajarn teradu sebagai suatu proses
mempunyai beberaap karakteristik atau cirri –ciri yaitu:
a. Holistik
Pembelajaran terpadu memungkinkan siswa untuk memahami suatu fenomena dari
segala sisi. Pada gilirannya nanti, hal ini akan membuat siswa menjadi lebih arif dan
bijak di dalam menyikapi atau menghadapi kejadian yang ada di depan mereka.
b. Bermakna
Rujukan yang nyata dari segala konsep yang diperoleh, dan keterkaitannya dengan
konsep-konsep lainnya akan menambah kebermaknaan konsep yang dipelajari.
c. Otentik
Pembelajaran terpadu memungkinkan siswa memahami secara langsung prinsip dan
konsep yang ingin dipelajarinya melalui kegiatan belajar secara langsung.
d. Aktif
Pembelajaran terpadu menekankan keaktifan siswa dalam pembelajaran baik secara
fisik, mental, intelektual, maupun emosional guna tercapainya hasil belajar yang
optimal dengan mempertimbangkan hasrat, minat dan kemampuan siswa sehingga
mereka termotivasi untuk terus menerus belajar.
8
4) Menghemat waktu, tenaga dan sarana, serta biaya pembelajaran, disamping
menyederhanakan langkah-langkah pembelajaran.
9
diajarkan oleh guru, ruang kelas, dan waktu yang berbeda sehingga siswa melihat
setiap disiplin ilmu tersebut secara terpisah-pisah. Seorang siswa SMP/MTs
memandang bahwa disiplin ilmu masing-masing terpisah-pisah seperti matematika
bukanlah sains, sains bukanlah bahasa inggris, dan bahasa inggris bukanlah sejarah.
2. Model Connected
3. Model Nested
4. Model Sequenced
5. Model Shared
10
Model shared merupakan bentuk pemaduan pembelajaran akibat adanya
“overlapping” konsep atau ide pada dua mata pelajaran atau lebih. Pembelajaran
terpadu ini ditempuh didasarkan pada kenyataan bahwa banyak dijumpai terdapatnya
satu kemampuan yang pencapaiannya harus diwujudkan melalui dua atau lebih mata
pelajaran.
6. Model Webbed
7. Model Threaded
8. Model Integrated
9. Model Immersed
11
Model immersed dirancang untuk membantu siswa dalam menyaring dan
memadukan berbagai pengalaman dan pengetahuan dihubungkan dengan medan
pemakaiannya. Dalam hal ini tukar pengalaman sangat diperlukan dalam kegiatan
pembelajaran. Dalam model ini semua konten kurikuler dilihat melalui satu pandangan
lensa. Individu mengintegrasikan semua data dari setiap bidang studi dan disiplin
dengan mengkaitkan gagasan-gagasan melalui minatnya.
Model ini sangat tepat diterapkan di sekolah dasar karena pada umumnya siswa
pada tahap ini masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik),
perkembangan fisiknya tidak pernah bisa dipisahkan dengan perkembangan mental,
sosial, dan emosional, terutama di kelas-kelas awal sekolah dasar (kelas I dan II). Di
samping itu, model ini juga dapat diterapkan di sekolah menengah pertama terutama
pada pelajaran yang sudah berfusi (broadfield), seperti Pengetahuan Alam (Biologi,
Fisika, Kimia) dan Pengetahuan Sosial (Geografi, Sejarah, Ekonomi).
Seperti telah dijelaskan bahwa model webbed merupakan model yang
dipergunakan untuk mengajarkan tema tertentu yang berkecenderungan dapat
disampaikan melalui beberapa bidang studi lain. Dalam hubungan ini tema dapat
mengikat kegiatan pembelajaran baik dalam mata pelajaran tertentu maupun lintas
mata pelajaran. Penetapan tema dilakukan dengan dua cara, yakni sebagai berikut:
1) Tema ditentukan terlebih dahulu yaitu dari lingkungan yang terdekat dengan siswa,
dimulai dari hal yang termudah menuju yang sulit, dari hal yang sederhana menuju
yang kompleks, dan dari hal yang kongkret menuju ke hal yang abstrak. Cara ini
dilakukan untuk kelas-kelas awal SD/MI (kelas I dan II). Tema-tema yang
dikembangkan seperti: diri sendiri, keluarga, masyarakat, pekerjaan, serta tumbuhan
dan hewan. Setelah tema ditentukan kemudian dilakukan pemetaan kompetensi
dasar dan indikator yang diperkirakan relevan dengan tema-tema tersebut.
12
2) Tema ditentukan setelah mempelajari kompetensi dasar dan indikator yang terdapat
dalam masing-masing mata pelajaran. Penetapan tema dapat dilakukan dengan
melihat kemungkinan materi pelajaran yang dianggap dapat mempersatukan
beberapa kompetensi dasar pada beberapa mata pelajaran yang akan dipadukan.
Cara ini dilakukan untuk jenjang SD/MI kelas tinggi (kelas III sampai dengan VI)
serta SMP/MTs pada mata pelajaran Pengetahuan Sosial dan Pengetahuan Alam.
b. Model Connected
Model keterhubungan digunakan secara sengaja diusahakan untuk
menghubungkan satu konsep dengan konsep lain, satu topik dengan topik lain, satu
keterampilan dengan keterampilan lain, tugas-tugas yang dilakukan di hari berikutnya,
bahkan ide-ide yang dipelajari dalam satu semester berikutnya di dalam satu mata
pelajaran maupun antar mata pelajaran (interdisiplin). Model ini digunakan dalam
mengembangkan pembelajaran terpadu pada satuan pendidikan SMP/MTs untuk
keterpaduan antar mata pelajaran selain Pengetahuan Alam dan Pengetahuan Sosial,
dan SMA/MA untuk semua mata pelajaran yang memungkinkan kompetensi dasarnya
dapat dipadukan.
Perhatian utama penerapan model ini yaitu kejelian dalam mengidentifikasi dan
menetapkan kompetensi dasar dan indikator yang akan dipetakan pada setiap mata
pelajaran yang akan dipadukan atau dikaitkan dalam mata pelajaran.
Kompetensi Dasar
Pembelajaran
..........................
..........................
13
2) Pembelajaran disusun berdasarkan atas satu atau lebih hasil belajar dalam satu
kompetensi dasar.
Kompetensi Dasar
Pembelajaran Pembelajaran
.......................... ..........................
.......................... ..........................
14
Langkah (1):
Menetapkan bidang kajian yang akan dipadukan, disertai dengan alasan yang berkaitan
dengan pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar oleh peserta didik dan
kebermaknaan belajar.
Langkah (2):
Mempelajari standar kompetensi dan kompetensi dasar dari bidang kajian yang akan
dipadukan dan melakukan pemetaan pada semua Standar Kompetensi dan Kompetensi
Dasar bidang kajian IPA per kelas yang dapat dipadukan untuk memperoleh gambaran
secara menyeluruh dan utuh. Beberapa ketentuan dalam pemetaan Kompetensi Dasar
dalam pengembangan model pembelajaran IPA Terpadu adalah sebagai berikut:
Mengidentifikasikan beberapa Kompetensi Dasar dalam berbagai Standar
Kompetensi yang memiliki potensi untuk dipadukan.
Beberapa Kompetensi Dasar yang tidak berpotensi dipadukan, jangan dipaksakan
untuk dipadukan dalam pembelajaran. Kompetensi Dasar yang tidak diintegrasikan
dibelajarkan/disajikan secara tersendiri.
Kompetensi Dasar dipetakan tidak harus berasal dari semua Standar Kompetensi
yang ada pada mata pelajaran IPA pada kelas yang sama, melainkan memungkinkan
hanya dua atau tiga Kompetensi Dasar saja.
Kompetensi Dasar yang sudah dipetakan dalam satu topik/tema masih bisa
dipetakan dengan topik/ tema lainnya.
Langkah (3):
Menentukan tema pemersatu antar Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Tema
yang dipilih harus relevan dengan Kompetensi Dasar yang telah dipetakan dan dapat
dirumuskan dengan melihat isu-isu yang terkini, kemudian baru dilihat koneksitasnya
dengan kompetensi dasar dari berbagai bidang kajian IPA. Dengan demikian, dalam
satu mata pelajaran IPA pada satu tingkatan kelas terdapat beberapa topik yang akan
dibahas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan topik/ tema pada
pembelajaran IPA Terpadu antara lain sebagai berikut:
Tema, dalam pembelajaran IPA Terpadu, merupakan perekat antar-Kompetensi
Dasar yang terdapat dalam bidang kajian IPA.
Tema yang ditentukan sebaiknya relevan dengan pengalaman pribadi peserta didik,
dalam arti sesuai dengan keadaan lingkungan setempat.
Dalam menentukan topik, isu sentral yang sedang berkembang saat ini, dapat
menjadi prioritas yang dipilih dengan tidak mengabaikan keterkaitan antar-
Kompetensi Dasar pada bidang kajian yang telah dipetakan.
Langkah (4):
Membuat matriks keterhubungan kompetensi dasar dan tema/topik pemersatu.
Tujuannya adalah untuk menunjukkan kaitan antara tema/topik dengan kompetensi
dasar yang dapat dipadukan.
Langkah (5):
Menjabarkan Kompetensi-kompetensi Dasar ke dalam indikator pencapaian hasil
belajar yang nantinya digunakan untuk penyusunan silabus.
Langkah (6):
Menyusun silabus pembelajaran IPA Terpadu. Komponen penyusunan silabus terdiri
dari Standar Kompetensi IPA, Kompetensi Dasar, Indikator, Kegiatan Pembelajaran,
Alokasi Waktu, Penilaian, dan Sumber Belajar.
Langkah (7):
15
Menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran. Rencana pelaksanaan pembelajaran
tersebut merupakan realisasi dari pengalaman belajar peserta didik yang telah
ditentukan pada silabus pembelajaran terpadu. Komponennya terdiri atas: identitas
mata pelajaran, Kompetensi Dasar yang hendak dicapai, materi pokok beserta
uraiannya, langkah pembelajaran, alat media yang digunakan, penilaian dan tindak
lanjut, serta sumber bahan yang digunakan.
b. Model Pelaksanaan Pembelajaran (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)
Model pembelajaran dalam hal ini adalah menjabarkan silabus menjadi rencana
pelaksanaan pembelajaran terpadu, dikemas dalam kegiatan pendahuluan, kegiatan
inti, dan kegiatan penutup/tindak lanjut.
1) Kegiatan Awal/Pendahuluan
Kegiatan pendahuluan merupakan kegiatan awal yang harus ditempuh guru dan
peserta didik pada setiap kali pelaksanaan pembelajaran terpadu. Fungsinya untuk
menciptakan suasana awal pembelajaran yang efektif. Kegiatan utama yang
dilaksanakan dalam pendahuluan pembelajaran diantaranya untuk menciptakan
kondisi-kondisi awal pembelajaran yang kondusif, melaksanakan kegiatan apersepsi
(apperception), dan penilaian awal (pre-test).
2) Kegiatan Inti
Kegiatan inti merupakan kegiatan pelaksanaan pembelajaran terpadu yang
menekankan pada proses pembentukan pengalaman belajar peserta didik (learning
experience). Pengalaman belajar dapat terjadi melalui kegiatan tatap muka dan
kegiatan non-tatap muka.
Kegiatan inti pembelajaran terpadu bersifat situasional, yakni disesuaikan
dengan situasi dan kondisi setempat. Beberapa kegiatan dalam kegiatan inti
pembelajaran terpadu, di antaranya yaitu guru memberitahukan tujuan atau kompetensi
dasar yang harus dicapai oleh peserta didik beserta garis besar materi yang akan
disampaikan, guru menyampaikan kepada peserta didik kegiatan belajar yang harus
ditempuh peserta didik dalam mempelajari tema atau topik yang telah ditentukan.
Kegiatan belajar hendaknya berorientasi pada aktivitas peserta didik.
3) Kegiatan Akhir/Penutup dan Tindak Lanjut
a) Mengajak peserta didik untuk menyimpulkan materi yang telah diajarkan.
b) Melaksanakan tindak lanjut pembelajaran dengan pemberian tugas atau latihan
yang harus dikerjakan di rumah, menjelaskan kembali bahan yang dianggap
sulit oleh peserta didik, membaca materi pelajaran tertentu, memberikan
motivasi atau bimbingan belajar.
c) Mengemukakan topik yang akan dibahas pada pertemuan selanjutnya.
d) Memberikan evaluasi lisan atau tertulis.
16
B. Standar Proses
SALINAN
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NAS10NAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 2007
TENTANG
STANDAR PROSES
UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR
DAN MENENGAH
MEMUTUSKAN:
17
Pasal 1
(1) Standar proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah mencakup
perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran,
penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran.
(2) Standar Proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada Lampiran
Peraturan Menteri ini.
Pasal 2
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 November 2007
MENTERI PENDIDIKAN
NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO
Salinan sesuai dengan aslinya.
Biro Hukum dan Organisasi
Departemen Pendidikan Nasional,
Kepala Bagian Penyusunan Rancangan
Peratuan Perundang-undangan dan Bantuan Hukum I,
Muslikh, SH.
NIP 131479478
18
SALINAN
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
NOMOR 41 TAHUN 2007
TANGGAL 23 NOVEMBER 2007
STANDAR PROSES UNTUKSATUAN PENDIDIKAN
DASAR DAN MENENGAH
I. PENDAHULUAN
Dalam rangka pembaharuan sistem pendidikan nasional telah ditetapkan visi, dst...
A. Silabus
Silabus sebagai acuan pengembangan RPP memuat identitas mata pelajaran atau tema
pelajaran, SK, KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian
kompetensi, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar. Silabus dikembangkan oleh
satuan pendidikan berdasarkan Standar Isi (Sl) dan Standar Kompetensi Lulusan
(SKL), serta panduan penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Pengembangan silabus disusun di bawah supervisi dinas kabupaten/kota yang
bertanggung jawab di bidang pendidikan untuk SD dan SMP, dan dinas provinsi yang
bertanggung jawab di bidang pendidikan untuk SMA dan SMK, serta departemen yang
menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk Ml, MTs, MA, dan MAK.
19
3. Kompetensi dasar
Kompetensi dasar adalah sejumlah kemampuan yang harus dikuasai peserta didik
dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan penyusunan indikator kompetensi
dalam suatu pelajaran.
4. Indikator pencapaian kompetensi
Indikator kompetensi adalah perilaku yang dapat diukur dan/atau diobservasi untuk
menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan penilaian
mata pelajaran. Indikator pencapaian kompetensi dirumuskan dengan menggunakan
kata kerja operasional yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup pengetahuan,
sikap, dan keterampilan.
5. Tujuan pembelajaran
Tujuan pembelajaran menggambarkan proses dan hasil belajar yang diharapkan
dicapai oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi dasar.
6. Materi ajar
Materi ajar memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis
dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi.
7. Alokasi waktu
Alokasi waktu ditentukan sesuai dengan keperluan untuk pencapaian KD dan beban
belajar.
8. Metode pembelajaran
Metode pembelajaran digunakan oleh guru untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik mencapai kompetensi dasar atau
seperangkat indikator yang telah ditetapkan. Pemilihan metode pembelajaran
disesuaikan dengan situasi dan kondisi peserta didik, serta karakteristik dari setiap
indikator dan kompetensi yang hendak dicapai pada setiap mata pelajaran.
Pendekatan pembelajaran tematik digunakan untuk peserta didik kelas 1 sampai
kelas 3 SD/MI.
9. Kegiatan pembelajaran
a. Pendahuluan
Pendahuluan merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran
yang ditujukan untuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian
peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.
b. Inti
Kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD. Kegiatan
pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang
yang
cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat,
dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan ini dilakukan
secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan
konfirmasi.
c. Penutup
Penutup merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengakhiri aktivitas
pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau kesimpulan,
penilaian dan refleksi, umpan balik, dan tindak lanjut.
20
10. Penilaian hasil belajar
Prosedur dan instrumen penilaian proses dan hasil belajar disesuaikan dengan
indikator pencapaian kompetensi dan mengacu kepada Standar Penilaian.
11. Sumber belajar
Penentuan sumber belajar didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi
dasar, serta materi ajar, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian
kompetensi.
C. Prinsip-prinsip Penyusunan RPP
1. Memperhatikan perbedaan individu peserta didik
RPP disusun dengan memperhatikan perbedaan jenis kelamin, kemampuan awal,
tingkat intelektual, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, kemampuan sosial,
emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang budaya,
norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik.
2. Mendorong partisipasi aktif peserta didik
Proses pembelajaran dirancang dengan berpusat pada peserta didik untuk
mendorong motivasi, minat, kreativitas, inisiatif, inspirasi, kemandirian, dan
semangat belajar.
3. Mengembangkan budaya membaca dan menulis Proses pembelajaran dirancang
untuk mengembangkan kegemaran membaca, pemahaman beragam bacaan, dan
berekspresi dalam berbagai bentuk tulisan.
4. Memberikan umpan balik dan tindak lanjut
RPP memuat rancangan program pemberian umpan
balik positif, penguatan, pengayaan, dan remedi.
5. Keterkaitan dan keterpaduan
RPP disusun dengan memperhatikan keterkaitan dan keterpaduan antara SK, KD,
materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompeten
si penilaian, dan sumber belajar dalam satu keutuhan pengalaman belajar. RPP
disusun dengan mengakomodasikan pembelajaran tematik, keterpaduan lintas
mata pelajaran, lintas aspek belajar, dan keragaman budaya.
6. Menerapkan teknologi informasi dan komunikasi
RPP disusun dengan mempertimbangkan penerapan teknologi informasi dan
komunikasi secara terintegrasi, sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi dan
kondisi.
21
a. beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran,
melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan
melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan;
b. beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas adalah sekurang-
kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.
2. Buku teks pelajaran
a. buku teks pelajaran yang akan digunakan oleh sekolah/madrasah dipilih melalui
rapat guru dengan pertimbangan komite sekolah/madrasah dari buku-buku teks
pelajaran yang ditetapkan oleh Menteri;
b. rasio buku teks pelajaran untuk peserta didik adalah
1 :1 per mata pelajaran;
c. selain buku teks pelajaran, guru menggunakan buku panduan guru, buku
pengayaan, buku referensi dan sumber belajar lainnya;
d. guru membiasakan peserta didik menggunakan
buku-buku dan sumber belajar lain yang ada di per-
pustakaan sekolah/madrasah.
3. Pengelolaan kelas
a. guru mengatur tempat duduk sesuai dengan karakteristik peserta didik dan mata
pelajaran, serta aktivitas pembelajaran yang akan dilakukan;
b. volume dan intonasi suara guru dalam proses pembelajaran harus dapat didengar
dengan baik oleh peserta didik;
c. tutur kata guru santun dan dapat dimengerti oleh peserta didik;
d. guru menyesuaikan materi pelajaran dengan kecepatan dan kemampuan belajar
peserta didik;
e. guru menciptakan ketertiban, kedisiplinan, kenyamanan, keselamatan, dan
kepatuhan pada peraturan dalam menyelenggarakan proses pembelajaran;
f. guru memberikan penguatan dan umpan balik terhadap respons dan hasil belajar
peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung;
g. guru menghargai peserta didik tanpa memandang latar belakang agama, suku,
jenis kelamin, dan status sosial ekonomi;
h. guru menghargai pendapat peserta didik;
i. guru memakai pakaian yang sopan, bersih, dan rapi;
j. pada tiap awal semester, guru menyampaikan silabus mata pelajaran yang
diampunya; dan
k. guru memulai dan mengakhiri proses pembelajaran sesuai dengan waktu yang
dijadwalkan.
B. Pelaksanaan Pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari RPP. Pelaksanaan
pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup.
1. Kegiatan Pendahuluan
Dalam kegiatan pendahuluan, guru:
a. menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses
pembelajaran;
b. mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan
sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari;
c. menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai;
d. menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus.
22
2. Kegiatan Inti
Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD
yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang
yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat,
minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan inti
menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan
mata pelajaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
a. Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi, guru:
1) melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang
topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam
takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber;
2) menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran,
dan sumber belajar lain;
3) memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta
didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya;
4) melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran;
dan
5) memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio,
atau lapangan.
b. Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi, guru:
1) membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui
tugas-tugas tertentu yang bermakna;
2) memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-
lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis;
3) memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan
masalah, dan bertindak tanpa rasa takut;
4) memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif;
5) memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan
prestasi belajar;
6) memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan
baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok;
7) memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual
maupun kelompok;
8) memfasilitasi peserta didik melakukan pameran turnamen, festival, serta
produk yang dihasilkan;
9) memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan
kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik.
c. Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, guru:
1) memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan,
tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik,
2) memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta
didik melalui berbagai sumber,
23
3) memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh
pengalaman belajar yang telah dilakukan,
4) memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh
pengalaman yang bermakna dalam mencapai
kompetensi dasar:
a) berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab
pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan
menggunakan bahasa yang baku dan benar;
b) membantu menyelesaikan masalah;
c) memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil
eksplorasi;
d) memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh;
e) memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum
berpartisipasi aktif.
3. Kegiatan Penutup
Dalam kegiatan penutup, guru:
a. bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat
rangkuman/simpulan pelajaran;
b. melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan
secara konsisten dan terprogram;
c. memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran;
d. merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi,
program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas
individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik;
e. menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.
V. PENGAWASAN PROSES
PEMBELAJARAN
A. Pemantauan
1. Pemantauan proses pembelajaran dilakukan pada tahap perencanaan,
pelaksanaan, dan penilaian hasil pembelajaran.
2. Pemantauan dilakukan dengan cara diskusi kelompok terfokus, pengamatan,
pencatatan, perekaman, wawancara, dan dokumentasi.
3. Kegiatan pemantauan dilaksanakan oleh kepala dan pengawas satuan
pendidikan.
24
B. Supervisi
1. Supervisi proses pembelajaran dilakukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan,
dan penilaian hasil pembelajaran.
2. Supervisi pembelajaran diselenggarakan dengan cara pemberian contoh, diskusi,
pelatihan, dan konsultasi.
3. Kegiatan supervisi dilakukan oleh kepala dan pengawas satuan pendidikan.
C. Evaluasi
1. Evaluasi proses pembelajaran dilakukan untuk menentukan kualitas pembelajaran
secara keseluruhan, mencakup tahap perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan
proses pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran.
2. Evaluasi proses pembelajaran diselenggarakan dengan cara:
a. membandingkan proses pembelajaran yang dilaksanakan guru dengan standar
proses,
b. mengidentifikasi kinerja guru dalam proses pembelajaran sesuai dengan
kompetensi guru.
3. Evaluasi proses pembelajaran memusatkan pada keseluruhan kinerja guru dalam
proses pembelajaran.
D. Pelaporan
Hasil kegiatan pemantauan, supervisi, dan evaluasi proses pembelajaran dilaporkan
kepada pemangku kepentingan.
E. Tindak lanjut
1. Penguatan dan penghargaan diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar.
2. Teguran yang bersifat mendidik diberikan kepada guru yang belum memenuhi
standar.
3. Guru diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan/penataran lebih lanjut.
Muslikh, S.H.
NIP 131479478
25
DAFTAR PUSTAKA
Killen, R. 1998. Effective Teaching Strategies, Lessons from Reaserch and Practice.
Second Edition. Australia: Social Science Press.
Lawson, A.E. 1995. Science Teaching and the Development of Thinking. California:
Wadsworth Publishing Company.
Permendiknas tentang SI, SKL, dan SP.
Sa’ud, Udin S., A. Rukmana, dan N. Resmini. 2006. Pembelajaran Terpadu. Bandung:
UPI PRESS.
Sumber-sumber lain dari internet, terutama artikel dari jurnal ilmiah. Seperti:
www.pfisikaump.com/wp.../10/IPA-TERPADU-INTEGRATED.pdf
Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta:
Prestasi Pusaka.
Wiyanto. 2008. Menyiapkan Guru Sains Mengembangkan Kompetensi Laboratorium.
Semarang: Universitas Negeri Semarang.
26