PEMBAHASAN
Warisan Budaya, menurut Davidson (1991), diartikan sebagai ‘produk atau hasil buda
ya fisik dari tradisi-tradisi yang berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai
dari masa lalu yang menjadi elemen pokok dalam jatidiri suatu kelompok atau bangsa’. B
erdasarkan artian tersebut, warisan budaya merupakan hasil budaya fisik (tangible) dan n
ilai budaya (intangible) dari masa lalu.
Nilai budaya dari masa lalu (intangible heritage) tersebut yang berasal dari budaya-bu
daya local yang ada di Nusantara, meliputi: tradisi, cerita rakyat dan legenda, bahasa ibu,
sejarah lisan, kreativitas (tari, lagu, drama pertunjukan), kemampuan beradaptasi dan keu
nikan masyarakat setempat (Galla, 2012). Budaya local mengacu pada budaya milik pen
duduk asli (inlander) yang telah dipandang sebagai warisan budaya. Di Indonesia warisa
n budaya yang ada menjadi milik bersama, berbeda dengan Australia dan Amerika, dima
na warisan budayanya menjadi milik penduduk asli secara eksklusif, sehingga penduduk
asli mempunyai hak untuk melarang setiap kegiatan pemanfaatan yang akan berdampak
buruk pada warisan budaya mereka (Frankel, 1984).
Warisan budaya fisik (tangible heritage) sering diklasifikasikan menjadi warisan buda
ya tak bergerak (immovable heritage) dan warisan budaya bergerak (movable heritage).
Warisan budaya tak bergerak umumnya berada di tempat terbuka dan terdiri dari atas: sit
us, tempat-tempat bersejarah, bentang alam darat maupun air, bangunan kuno dan/atau b
ersejarah, patung-patung pahlawan. Sedangkan warisan budaya bergerak biasanya berada
di dalam ruangan dan terdiri dari: benda warisan budaya, karya seni, arsip, dokumen, dan
foto bersejarah, karya tulis cetak, audiovisual berupa kaset-kaset,video, dan film (Galla,
2001).
Menurut World Heritage Unit (1995), dalam Pasal 1 dari The World Heritage Conven
tion membagi warisan budaya fisik menjadi 3 kategori, yaitu monument, kelompok bang
unan, dan situs :
1. Monumen adalah hasil karya arsitektur, patung dan lukisan yang monumental, elemen
atau struktur tinggalan arkeologis, prasasti, gua tempat tinggal, dan kombinasi fitur-fitur t
ersebut yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, budaya dan ilmu pengetahuan.
2. Kelompok bangunan adalah kelompok bangunan yang terpisah atau berhubungan yan
g dikarenakan arsitekturnya, homogenitanya atau posisinya dalam bentang alam mempun
yai nilai penting bagi sejarah, budaya dan ilmu pengetahuan.
3. Situs adalah hasil karya manusia atau gabungan karya manusia dan alam, wilayah yan
g mencakup lokasi yang mengndung tinggalan arkeologis yang mempunyai nilai penting
bagi sejarah, estetika, etnografi atau antropologi (Arafah, 2003).
Sosialisasi yaitu setiap individu dari masa kanak-kanak hingga masa tuanya belajar ter
hadap nilai-nilai, norma-norma dan pola tindakan orang lain atau masyarakat dalam berin
teraksi social dengan segala macam individu di sekitarnya yang memiliki beranekamaca
m status, peran dan pranata social yang ada di dalam kehidupan di masyarakatnya. Selam
a proses pewarisan budaya, terdapat sarana-sarana yaitu lingkungan keluarga, masyaraka
t, sekolah, lembaga pemerintahan, perkumpulan, institusi resmi dan media massa (Arafah
2003).
a. Sejarah Unesco
UNESCO secara sederhana merupakan organisasi internasional PBB yang
membidangi bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Tujuan
dibentuknya organisasi ini yaitu untuk mendukung keamanan dan perdamaian dengan
mempromosikan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Selain itu,
UNESCO memiliki misi yaitu melindungi dan mengamati ketiga bidang yang menjadi
fokus daripada organisasi tersebut. UNESCO memiliki anggota sebanyak 195 negara
di seluruh dunia, anggota dalam artian UNESCO diterima keberadaannya oleh 195
negara tersebut. UNESCO memiliki kantor pusat di Paris, Perancis, dengan 50 kantor
wilayah di seluruh dunia, dan berbagai institut yang tersebar di seluruh dunia. Adapun
program utama daripada UNESCO yaitu pendidikan, Ilmu Sosial, Ilmu Alam,
Kebudayaan, Komunikasi, dan Informasi. Berbagai proyek besar dikerjakan oleh
UNESCO termasuk didalamnya program penentasan buta huruf, pelatihan guru,
program baca tulis, proyek sejarahm proyek budaya, dan lain sebagainya
Bagi Indonesia sendiri, keberadaan UNESCO tentu menjadi harapan baru
khususnya dalam bidang kebudayaan. Mengingat Indonesia merupakan negara yang
sangat kaya dengan kebudayaan yang memerlukan perhatian dari organisasi sebesar
PBB melalui UNESCO untuk dapat diberikan pengakuan dalam rangka perlindungan,
sehingga kebudayaan Indonesia tidak diklaim oleh bangsa lain. Selain itu, Indonesia
tentu memiliki keyakinan bahwa UNESCO mampu membantu Indonesia
mengentaskan buta aksara yang masih menjadi masalah di Indonesia. Kehadiran
UNESCO disambut baik oleh Indonesia sejak pertama kali UNESCO didirikan dan
diperkenalkan oleh PBB.
Warisan budaya dunia pada awalnya hanya berpusat pada bangunan, monumen, atau
benda-benda peninggalan leluhur (nenek moyang) umat manusia yang nyata (tangibl
e). Hal ini mulai bergeser dimana tidak semua warisan budaya berbentuk tangible. Pa
da tahun 1990-an adanya perubahan konsep mengenai warisan budaya yaitu adanya w
arisan budaya tak benda (intangible). Pada tahun 2001, UNESCO mengadakan survei
yang melibatkan berbagai negara dan organisasi internasional untuk mencapai kesepa
katan mengenai cakupan World Intangible Cultural Heritage dan diresmikan tahun 20
03 dalam bentuk Konvensi yaitu Convention for The Safeguarding of The Intangible
Cultural Heritage
Sebuah warisan fisik atau nyata adalah salah satu yang dapat disimpan dan fisik men
yentuh. Ini termasuk barang-barang yang diproduksi oleh kelompok budaya seperti pa
kaian tradisional, peralatan (seperti manik-manik, kapal air), atau kendaraan (seperti k
ereta lembu). Warisan tangible meliputi monumen besar seperti kuil, piramida, dan m
onumen publik. Meskipun warisan nyata dapat punah, umumnya lebih jelas bagaiman
a hal itu dapat dilestarikan dari warisan intangible yang memiliki risiko lebih besar da
n bisa hilang untuk selamanya. Secara historis, kebijakan nasional baik di Indonesia d
an dunia telah memberikan lebih banyak perhatian untuk melestarikan bangunan buat
an leluhur terdahulu sebagai warisan berharga, daripada mengelola konservasi dan pe
manfaatan warisan budaya takbenda
Konflik kepentingan dan pluralism yang berkembang dalam masyarakat juga menimb
ulkan wacana baru dalam visi pelestarian dengan upaya untuk tidak mengbah suatu waris
an budaya. Kebijakan pelestarian seperti itu dirasa kurang dapat mewadahi upaya pemanf
aatannya. Namun kini, kebijakan seperti itu sering dipermasalahkan dan di berbagai temp
at sudah mulai ditinggalkan. Warisan budaya merupakan sumber daya budaya yang tak-t
erbaharui (non-renewable), terbatas (finite), dan khas (contextual). Oleh karena itu, diper
lukan segala upaya untuk tetap mempertahankan nilai dan eksistensinya. Pelestarian terse
but harus diartikan sebagai upaya untuk memberikan makna baru bagi warisan budaya it
u sendiri agar tetap berada dalam konteks system (Tanudirjo, 1996).
Indonesia merupakan negara yang kaya akan warisan seni dan budaya. Warisan kebud
ayaan Indonesia yang bermacam – macam ini disebabkan banyak faktor antara lain karen
a suku bangsa Indonesia sangat beragam dan tingkat kreatifitas masyarakat Indonesia ya
ng tinggi dalam bidang kesenian dan kebudayaan, sehingga menghasilkan warisan kebud
ayaan kebendaan maupun warisan kebudayaan takbenda. Warisan kebudayaan kebendaa
n adalah berbagai hasil karya manusia baik yang dapat dipindahkan maupun tidak dapat
dipindahkan termasuk benda cagar budaya1 , sedangkan warisan kebudayaan takbenda a
dalah warisan budaya yang dapat ditangkap oleh panca indera selain indera peraba serta
warisan budaya yang abstrak / tidak dapat ditangkap oleh panca indera misalnya adalah k
onsep-konsep dan ilmu budaya2 . Warisan kebudayaan takbenda yang dimiliki Indonesia
contohnya adalah Batik, Kesenian Reog Ponorogo, Angklung, Tari Piring, Lagu O Inani
Keke, dan kesenian lainnya. Dikarenakan jumlah warisan kebudayaan takbenda yang di
miliki oleh Indonesia cukup banyak, maka menjadi hal yang wajar jika masyarakat intern
asional kagum akan semua kekayaan seni Indonesia.
Secara yuridis, perlindungan kebudayaan takbenda perlu dilakukan. Hal ini seperti ya
ng telah diatur dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesi
a Tahun 1945 yang pada intinya Negara Indonesia memajukan kebudayaan Indonesia di t
engah-tengah peradaban dunia dengan memberikan kebebasan masyarakat untuk memeli
hara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Untuk mewujudkan perlindungan terseb
ut dan guna memenuhi ketentuan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Repub
lik Indonesia Tahun 1945 ini, maka Pemerintah Indonesia melakukan ratifikasi Conventi
on for The Safeguarding of The Intangible Cultural Heritage melalui Peraturan Presiden
Republik Indonesia No. 78 Tahun 2007 tentang Pengesahan Konvensi untuk Perlindunga
n Warisan Budaya Takbenda. Perlindungan terhadap kebudayaan juga telah diatur oleh p
emerintah Indonesia dalam rencana jangka panjang pembangunan hingga tahun 2025, se
perti yang diatur dalam lampiran Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Ja
ngka Panjang Nasional 2005-2025 Bab II.3 Poin 3 yang menyatakan bahwa kebudayaan
yang dimiliki oleh Indonesia merupakan sumber daya yang potensial bagi pembangunan
nasional Bangsa Indonesia. Atas dasar itulah, kebudayaan menjadi salah satu arah sasara
n pembangunan jangka panjang 2005-2025 seperti yang tertuang dalam Bab IV Huruf H
poin 1 lampiran Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Jangka Panjang Na
sional 2005-2025 guna terwujudnya peranan Indonesia dalam pergaulan dunia Internasio
nal. Pelesatrian dan perlindungan kebudayaan takbenda ini juga telah diatur lebih lanjut d
alam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
No. 42 tahun 2009/40 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan Pasal 2 dan
Pasal 3 yang pada intinya mengatur bahwa semua pemerintah di tingkat daerah maupun
provinsi wajib melakukan pelestarian kebudayaan melalui perlindungan, pengembangan,
dan pemanfaatan kebudayaan yang ada di tiap-tiap daerah.
DAFTAR PUSTAKA
http://e-journal.uajy.ac.id/1840/2/1HK09773.pdf diakses pada 13 Februari 2021, pukul 21.17
WIB
https://www.academia.edu/33296419/Warisan_Budaya_doc diakses pada 13 Februari 2021, p
ukul 21.30 WIB
Dasar hukum UU 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah Pasal 20, Pasal 21, Pasal 32 ay
at (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Penjelasan umum UU Cagar Budaya
Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamana
tkan bahwa “negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia de
ngan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai- nilai bu
dayanya” sehingga kebudayaan Indonesia perlu dihayati oleh seluruh warga negara. Oleh kar
ena itu, kebudayaan Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa harus dilestarikan
guna memperkukuh jati diri bangsa, mempertinggi harkat dan martabat bangsa, serta memper
kuat ikatan rasa kesatuan dan persatuan bagi terwujudnya cita-cita bangsa pada masa depan.
Kebudayaan Indonesia yang memiliki nilai-nilai luhur harus dilestarikan guna memperkuat p
engamalan Pancasila, meningkatkan kualitas hidup, memperkuat kepribadian bangsa dan keb
anggaan nasional, memperkukuh persatuan bangsa, serta meningkatkan kesejahteraan masyar
akat sebagai arah kehidupan bangsa.
Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu, pem
erintah mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan untuk memajukan kebudayaan secara
utuh untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehubungan dengan itu, seluruh hasil karya
bangsa Indonesia, baik pada masa lalu, masa kini, maupun yang akan datang, perlu dimanfaat
kan sebagai modal pembangunan. Sebagai karya warisan budaya masa lalu, Cagar Budaya m
enjadi penting perannya untuk dipertahankan keberadaannya.
Warisan budaya bendawi (tangible) dan bukan bendawi (intangible) yang bersifat nilai-nilai
merupakan bagian integral dari kebudayaan secara menyeluruh. Pengaturan Undang-Undang
ini menekankan Cagar Budaya yang bersifat kebendaan. Walaupun demikian, juga mencakup
nilai-nilai penting bagi umat manusia, seperti sejarah, estetika, ilmu pengetahuan, etnologi, da
n keunikan yang terwujud dalam bentuk Cagar Budaya.
Tidak semua warisan budaya ketika ditemukan sudah tidak lagi berfungsi dalam kehidupan m
asyarakat pendukungnya (living society). Terbukti cukup banyak yang digunakan di dalam pe
ran baru atau tetap seperti semula. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang jelas mengen
ai pemanfaatan Cagar Budaya yang sifatnya sebagai monumen mati (dead monument) dan ya
ng sifatnya sebagai monumen hidup (living monument). Dalam rangka menjaga Cagar Buday
a dari ancaman pembangunan fisik, baik di wilayah perkotaan, pedesaan, maupun yang berad
a di lingkungan air, diperlukan kebijakan yang tegas dari Pemerintah untuk menjamin eksiste
nsinya.
etika ditemukan, pada umumnya warisan budaya sudah tidak berfungsi dalam kehidupan mas
yarakat (dead monument). Namun, ada pula warisan budaya yang masih berfungsi seperti se
mula (living monument). Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang jelas mengenai pemanf
aatan kedua jenis Cagar Budaya tersebut, terutama pengaturan mengenai pemanfaatan monu
men mati yang diberi fungsi baru sesuai dengan kebutuhan masa kini. Selain itu, pengaturan
mengenai pemanfaatan monumen hidup juga harus memperhatikan aturan hukum adat dan no
rma sosial yang berlaku di dalam masyarakat pendukungnya.
Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat rapuh, unik, langka, terbatas, dan ti
dak terbarui. Dalam rangka menjaga Cagar Budaya dari ancaman pembangunan fisik, baik di
wilayah perkotaan, pedesaan, maupun yang berada di lingkungan air, diperlukan pengaturan
untuk menjamin eksistensinya. Oleh karena itu, upaya pelestariannya mencakup tujuan untuk
melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Hal itu berarti bahwa upaya pelestarian
perlu memperhatikan keseimbangan antara kepentingan akademis, ideologis, dan ekonomis.
Pelestarian Cagar Budaya pada masa yang akan datang menyesuaikan dengan paradigma bar
u yang berorientasi pada pengelolaan kawasan, peran serta masyarakat, desentralisasi pemeri
ntahan, perkembangan, serta tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Paradigma baru tersebut mendorong dilakukannya penyusunan Undang-Undang yang tidak s
ekadar mengatur pelestarian Benda Cagar Budaya, tetapi juga berbagai aspek lain secara kese
luruhan berhubungan dengan tinggalan budaya masa lalu, seperti bangunan dan struktur, situs
dan kawasan, serta lanskap budaya yang pada regulasi sebelumnya tidak secara jelas dimuncu
lkan. Di samping itu, nama Cagar Budaya juga mengandung pengertian mendasar sebagai pel
indungan warisan hasil budaya masa lalu yang merupakan penyesuaian terhadap pandangan b
aru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk memberikan kewenangan kepada Pemerintah dan partisipasi masyarakat dalam menge
lola Cagar Budaya, dibutuhkan sistem manajerial perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yan
g baik berkaitan dengan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Cagar Budaya sebaga
i sumber daya budaya bagi kepentingan yang luas.
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bang
unan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Buday
a di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting
bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses pene
tapan.
Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maup
un tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya y
ang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.
Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda bua
tan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan ber
atap.
Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda b
uatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana,
dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.
Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Ben
da Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil ke
giatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.
Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Buday
a atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.
Kepemilikan adalah hak terkuat dan terpenuh terhadap Cagar Budaya dengan tetap memperh
atikan fungsi sosial dan kewajiban untuk melestarikannya.
Penguasaan adalah pemberian wewenang dari pemilik kepada Pemerintah, Pemerintah Daera
h, atau setiap orang untuk mengelola Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosia
l dan kewajiban untuk melestarikannya.
Dikuasai oleh Negara adalah kewenangan tertinggi yang dimiliki oleh negara dalam menyele
nggarakan pengaturan perbuatan hukum berkenaan dengan pelestarian Cagar Budaya.
Pengalihan adalah proses pemindahan hak kepemilikan dan/atau penguasaan Cagar Budaya d
ari setiap orang kepada setiap orang lain atau kepada negara.
Kompensasi adalah imbalan berupa uang dan/atau bukan uang dari Pemerintah atau Pemerint
ah Daerah.
Insentif adalah dukungan berupa advokasi, perbantuan, atau bentuk lain bersifat nondana unt
uk mendorong pelestarian Cagar Budaya dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Tim Ahli Cagar Budaya adalah kelompok ahli pelestarian dari berbagai bidang ilmu yang me
miliki sertifikat kompetensi untuk memberikan rekomendasi penetapan, pemeringkatan, dan
penghapusan Cagar Budaya.
Tenaga Ahli Pelestarian adalah orang yang karena kompetensi keahlian khususnya dan/atau
memiliki sertifikat di bidang Pelindungan, Pengembangan, atau Pemanfaatan Cagar Budaya.
Kurator adalah orang yang karena kompetensi keahliannya bertanggung jawab dalam pengelo
laan koleksi museum.
Pendaftaran adalah upaya pencatatan benda, bangunan, struktur, lokasi, dan/atau satuan ruang
geografis untuk diusulkan sebagai Cagar Budaya kepada pemerintah kabupaten/kota atau per
wakilan Indonesia di luar negeri dan selanjutnya dimasukkan dalam Register Nasional Cagar
Budaya.
Penetapan adalah pemberian status Cagar Budaya terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi,
atau satuan ruang geografis yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota berdasarkan reko
mendasi Tim Ahli Cagar Budaya.
Register Nasional Cagar Budaya adalah daftar resmi kekayaan budaya bangsa berupa Cagar
Budaya yang berada di dalam dan di luar negeri.
Penghapusan adalah tindakan menghapus status Cagar Budaya dari Register Nasional Cagar
Budaya.
Cagar Budaya Nasional adalah Cagar Budaya peringkat nasional yang ditetapkan Menteri seb
agai prioritas nasional.
Pengelolaan adalah upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan C
agar Budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk
sebesar- besarnya kesejahteraan rakyat.
Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilai
nya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.
Pelindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau ke
musnahan dengan cara Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran C
agar Budaya.
Penyelamatan adalah upaya menghindarkan dan/atau menanggulangi Cagar Budaya dari keru
sakan, kehancuran, atau kemusnahan.
Pengamanan adalah upaya menjaga dan mencegah Cagar Budaya dari ancaman dan/atau gan
gguan.
Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Bud
aya sesuai dengan kebutuhan.
Pemeliharaan adalah upaya menjaga dan merawat agar kondisi fisik Cagar Budaya tetap lesta
ri.
Pemugaran adalah upaya pengembalian kondisi fisik Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar
Budaya, dan Struktur Cagar Budaya yang rusak sesuai dengan keaslian bahan, bentuk, tata let
ak, dan/atau teknik pengerjaan untuk memperpanjang usianya.
Pengembangan adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi Cagar Budaya serta
pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tida
k bertentangan dengan tujuan Pelestarian.
Penelitian adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan menurut kaidah dan metode yang sistematis
untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan bagi kepentingan Pelestarian Cagar Buday
a, ilmu pengetahuan, dan pengembangan kebudayaan.
Revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang ditujukan untuk menumbuhkan kembali nil
ai-nilai penting Cagar Budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan
dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat.
Adaptasi adalah upaya pengembangan Cagar Budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai denga
n kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan
kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting.
Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesej
ahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya. Perbanyakan adalah kegiatan d
uplikasi langsung terhadap Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cag
ar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya. Setiap orang adalah perseorangan, kelom
pok orang, masyarakat, badan usaha berbadan hukum, dan/atau badan usaha bukan berbadan
hukum.
Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dima
ksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai uns
ur penyelenggara pemerintahan daerah. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urus
an pemerintahan di bidang kebudayaan
Sumber
https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-11-2010-cagar-budaya diakses pada 13 Februari 202
1, pukul 18.28 WIB