Anda di halaman 1dari 11

3

KATA PENGANTAR
3

DAFTAR ISI
3
3

PENDAHULUAN
Gerak, baik itu pergerakan dalam melakukan aktivitas sehari-hari maupun
berolahraga ialah hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Diantara
aktivitas manusia, merupakan hal yang cukup jarang jika seseorang tidak pernah
terkena cedera muskuloskeletal, baik itu mengenai dirinya sendiri secara personal,
kerabat, maupun teman. Menurut data CDC pada tahun 2011, pada tahun yang
sama, sekitar 4.087.000 kasus gawat darurat didapatkan karena adanya fraktur,
6.279.000 karena adanya sprain dan strain, dan apabila kedua data tersebut
digabungkan, akan menjadi 7% kasus yang ada pada unit gawat darurat. Makalah
ini akan mengulas singkat mengenai berbagai jenis cedera yang ditemui, khususnya
ialah soft tissue injury.

PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN CEDERA
Menurut WHO pada tahun 2014, cedera adalah kerusakan fisik yang terjadi
ketika tubuh manusia tiba-tiba mengalami penurunan energi dalam jumlah yang
melebihi ambang batas toleransi fisiologis atau akibat dari kurangnya satu atau
lebih elemen penting seperti oksigen.

B. KLASIFIKASI CEDERA
Berdasarkan jenis jaringan yang terkena, cedera/injury dapat dibagi dua
menjadi hard tissue injury dan soft tissue injury.
Hard tissue injury atau cedera jaringan keras terjadi pada tulang atau sendi, serta
dapat ditemukan bersama dengan cedera jaringan lunak. Bentuk cedera yang
termasuk ialah fraktur atau patah tulang.
Soft tissue injury adalah cedera pada jaringan lunak. Dua bentuk utama dari soft
tissue injury terdiri dari acute injury dan overuse injury. Acute injury disebabkan
oleh trauma yang tiba-tiba, seperti jatuh atau terpelintir. Contoh acute injury antara
lain sprain, strain, dan contusion/ memar.
Overuse injury terjadi secara gradual, ketika aktivitas atletik atau aktivitas
lainnya dilakukan secara terus menerus, dimana daerah pada tubuh tidak memiliki
waktu yang cukup untuk proses pemulihan diantaranya. Contoh yang paling
sering ialah tendinitis dan bursitis

C. MEKANISME CEDERA
Whiting dan Zernicke menyebutkan istilah mekanisme cedera sebagai proses
fisik yang fundamental memengaruhi suatu aksi, reaksi, atau hasil. Dalam segi
pandang biomekanis lainnya, cedera dapat dikatakan juga sebagai kegagalan mesin
atau struktur.1
3

Properti mekanis dari jaringan tubuh manusia, seperti stiffness (relasi stress-
strain) dan kekuatan, mengatur bagaimana tubuh berespon terhadap beban fisik.
Beban fisik ini berbeda-beda untuk setiap jaringan dan sangat bergantung terhadap
tipe beban, tingkat, dan frekuensi dari repetisi beban tersebut, besarnya transfer
energi, dan juga beberapa faktor intrinsik. Faktor intrinsik tersebut antara lain ialah
usia, jenis kelamin, dan keadaan fisik. Dalam hal ini, maka relasi antara beban dan
toleransi bebanlah yang dapat menentukan outcome cedera dari suatu kejadian.1

Gambar 1. Mekanisme cedera menurut Meeuwisse (1994)

Gambar 2. Model mekanisme cedera dalam konteks sport injury menurut


McIntosh.2
3

Meeuwisse membuat model secara epidemiologis untuk menunjukkan bagaimana


terjadinya cedera. Dalam model ini, Meeuwisse menyebutkan inciting event atau
kejadian pencetus sebagai penghubung utama terjadinya suatu cedera.
Model lain dibuat oleh McIntosh yang mencantumkan faktor tambahan antara
beban dan toleransi beban., seperti sikap, latihan, skill, peralatan, coaching,
kompetitor lain dan lingkungan. Menurut Bahr, model ini menunjukkan bagaimana
beban dan toleransi beban, dan bagaimana risiko cedera dapat berubah sesuai
dengan hasil dari perubahan pada berbagai faktor yaitu melalui intervensi.1

D. JENIS CEDERA JARINGAN LUNAK DAN PENANGANANNYA

1. Memar
Memar adalah keadaan cedera yang terjadi pada jaringan ikat di bawah kulit.
Memar biasanya diakibatkan oleh benturan atau pukulan pada kulit. Jaringan di
bawah permukaan kulit rusak dan pembuluh darah kecil pecah, sehingga darah
dan cairan seluler merember ke jaringan sekitarnya. Memar ini menimbulkan
darah kebiru-biruan atau kehitaman pada kulit. Apabila terjadi pendarahan yang
cukup, timbulnya perdarahan di daerah yang terbatas disebut hematoma.3
Penanganan cedera memar
a. Kompres dengan es selama 12-24 jam untuk menghentikan pendarahan
kapiler.
b. Istirahat untuk mencegah cedera lebih lanjut dan mempercepat pemulihan
jaringan-jaringan lunak yang rusak.
c. Hindari benturan di daerah cedera pada saat melakukan latihan. 3

2. Sprain
Sprain adalah cedera pada ligamen karena gerakan abnormal pada sendi.
Sprain ini merupakan cedera yang terjadi pada serat-serat ligamen yang
menyokong sendi. Cedera sprain dapat diklasifikasika berdasarkan keparahan
penemuan patologis, walaupun, secara klinis, grade ini tidak begitu bisa
dibedakan satu sama lain.4
a. First-degree sprain dicirikan dengan sobekan minor serat ligamen dengan
adanya perdarahan ringan dan juga pembengkakan. Jika tekanan
diaplikasikan pada ligamen, dapat ditemukan nyeri, tapi dalam hal ini tidak
ada bukaan atau gerakan sendi yang abnormal.
b. Second-degree sprain ialah sobekan parsial ligamen, yang berarti lebih
banyak serat yang sobek dibandingkan dengan first-degree injury.
Penemuan klinis yang didapatkan antara lain perdarahan dan
pembengkakan yang sedang, nyeri, gerakan yang nyeri, dan kehilangan
3

fungsi. Pada tahapan ini, cenderung adanya instabilitas yang persisten dan
rekurensi, sehingga hal ini harus dicegah.
c. Third-degree sprain mendeskripsikan sobekan komplit dari ligamen.
Tanda-tandanya mencakup hal-hal yang hampir mirip dengan second-
degree sprain, namun sebagai tambahan, menekan bagian sendi dapat
menunjukkan adanya gerakan sendi yang abnormal.4
Manajemen Sprain
Penanganan spesifik sangat bergantung terhadap daerah dan keparahan dari
cedera. Sebagai penanganan umum, dapat diberikan pendekatan rest,
immobilization, compression, elevation (RICE) dan analgesia berupa nonsteroidal
anti-inflammatory drugs (NSAID). Karena keparahan dari cedera tidak dapat
didefinisikan dengan baik,maka menjadi hal yang logis untuk melakukan
imobilisasi pada sendi untuk 48-72 jam hingga luasnya cedera dapat lebih
ditentukan, contohnya ialah inflatable air cast ditambah dengan ankle wrap.(4)
Sprain yang lebih parah mungkin memerlukan tindakan berupa pembedahan karena
adanya robekan pada ligamen5.

3. Strain
Strain ialah cedera pada otot dan/atau tendon. Strain sering terjadi pada kaki
atau punggung. Hampir mirip dengan sprain, strain dapat berupa regangan yang
simpel pada otot atau tedon, atau dapat berupa robekan parsial maupun komplit
dalam kombinasi otot dan tendon.
Gejala tipikal dari strain mencakup nyeri, spasme otot, kelemahan otot,
bengkak, inflamasi, dan keram.
Manajemen strain
Manajemen yang direkomendasikan untuk strain ialah sama untuk sprain, yakni :
Rest, ice, compression, dan elevation. Hal ini harus diikuti dengan latihan yang
sederhana untuk meringankan nyeri dan juga untuk mengembalikan mobilitas.

4. Luka
Luka didefinisikan sebagai suatu ketidaksinambungan dari kulit dan jaringan
dibawahnya yang mengakibatkan pendarahan yang kemudian dapat mengalami
infeksi. Seluruh tubuh memiliki kemungkinan besar untuk mengalami luka.
Penanganan Luka
Luka dibersihkan dari kotoran dengan cara dicuci dengan hidrogen
peroksida (H2O2) 3% yang bersifat antiseptik (membunuh bibit penyakit), PK
(kalium permanganat) ataupun dengan sabun. Setelah luka dikeringkan,lalu
diberikan obat-obatan yang mengandung antiseptik dan bersifat mengeringkan
3

luka, misalnya obat merah, yodium, tingtur, dan larutan betadine pekat. Apabila
luka robek lebih dari 1 cm, sebaiknya dijahit.
Apabila terdapat lepuhan pada luka dan robek, kulit dipotong kemudian
dibersihkan dan dibebat dengan bahan yang tidak melekat. Apabila lepuhan utuh
dan tidak mudah robek, langsung dibersihkan dan dibebat dengan bahan yang tidak
melekat.3

5. Kram Otot
Kram otot adalah kontraksi yang dialami oleh sekelompok otot secara terus
menerus sehingga menyebabkan timbulnya rasa nyeri. Tujuan utama dalam
manajemen kram ialah menentukan apakah ada penyebab dasar ataukah tidak.
Kedua, dapat digunakan intervensi fisik yakni stretching atau peregangan, karena
pengobatan farmakologis berpotensial menyebabkan toksisitas seperti quinine
sulfate atau efektifitas yang sedikit seperti vitamin B complex, naftidrofuryl, dan
Calcium Channel Blockers seperti Diltiazem dan Gabapentin.6

6. Dislokasi
Joint dislocation atau luxation (Latin : luxatio) adalah kondisi dimana
tulang pada sendi menjadi tidak pada tempatnya. Hal ini disebabkan karena efek
yang tiba-tiba terhadap sendi. Ligamen biasanya terkena sebagai akibat dari
dislokasi. Istilah lainnya, subluxation, ialah dislokasi parsial. Dislokasi yang
biasanya ditemui dalam kasus kegawatdaruratan antara lain :
1. Dislokasi bahu
2. Dislokasi siku
3. Hip dislocation
4. Knee dislocation
5. Ankle dislocation7

Manajemen di rumah sakit.


Dalam manajemen, hal yang pertama harus dilakukan ialah diagnosis yang
akurat. Hal ini didapatkan setelah history-taking yang akurat untuk menentukan
mekanisme cedera dan juga mengobservasi bagian yang terkena.
Large joint dislocation (shoulder, elbow, hip, knee, ankle) merupakan sebuah
kegawatdaruratan ortopedi. Dislokasi ini sering menjadi komplikasi neurovaskular
yang harus ditangani segera. Keterlambatan dalam pengobatan dapat menyebabkan
loss of limb dan juga menjadi kematian, sehingga, harus dibantu dengan reduksi
yang cepat atau realignment.
Di bawah ini akan dibahas evaluasi klinis dan manajemen dislokasi bahu,
bentuk dislokasi yang paling sering ditemukan.7
3

Shoulder Dislocation
Dislokasi bahu/shoulder dislocation mencakup 45% dari total dislokasi.
Tipe-tipe dislokasi bahu diantaranya ialah:
1. Anterior, sekitar 90% kasus.
2. Posterior, kedua terbanyak
3. Inferior
4. Superior. Kasus inferior dan superior dislocation ini jarang ditemui.7

Evaluasi klinis
Tujuan evaluasi klinis adalah untuk menentukan sifat alami dari trauma dan
mengetahui apakah dislokasi tersebut kronis atau tidak. Dokter harus mengevaluasi
adanya riwayat instabilitas pada bahu kontralateral. Pasien secara tipikal akan
menunjukkan lengan atas yang disokong dengan tangan lainnya dengan posisi bahu
pada sedikit abduksi dan rotasi eksternal.
Nyeri dan spasme otot biasanya diasosiasikan dengann dislokasi bahu yang
akut. Pemeriksaan secara tipikal akan menunjukkan kehilangan kontur bahu dengan
squaring ujung bahu relatif terhadap tonjolan akromion; ruang kosong di bawah
akromion secara posterior dan massa bulat terpalpasi secara anterior.
Karena komplikasi neurovaskular dapat terjadi, maka pemeriksaan
neurovaskular yang hati-hati menjadi perlu, karena axillary nerve menjadi risiko
dalam hal ini. Ketika pasien datang dengan riwayar dislokasi yang rekuren, penting
untuk diakses dari laksitas ligamen, apprehension test, sulcus sign , dan range of
motion (ROM) kedua bahu.7

Radiographic evaluation
Evaluasi secara radiologis dapat menggunakan trauma series dari bahu yang
terkena : Anteroposterior, scapular-Y, dan axillary views pada bidang scapula.
Special views dapat mencakup Velpeau axillar, West Point axillary, Hill-Sachs
view, dan Stryker notch view.
CT-scan dapat digunakan untuk mendefinisikan fraktur humeral head atau
glenoid impression fractures, keberadaan loose bodies, dan anterior labral bony
injuries (bony Bankart lesion).

Treatment
Closed reduction dapat digunakan pasca evaluasi klinis yang mencukupi
serta administrasi analgesik dan/atau sedasi lainnya. Beberapa teknik yang dapat
3

membantu antara lain ialah 1) Traction-countertraction, 2) Kocher maneuver, 3)


Stimson technique. Pada Stimson technique, setelah diberikan analgesik dan/atau
obat sedatif, pasien ditempatkan secara pronasi pada stretcher dengan tungkai atas
yang terkena menjuntai ke bawah. Secara pelan, traksi manual atau beban 2,5 kg
dapat diaplikasikan pada pergelangan tangan dengan waktu reduksi sekitar 15-20
menit.7
Setelah adannya reduksi, harus dilakukan imobilisasi dalam waktu dua
hingga empat minggu. Setelah itu, latihan pendelum harus dimulai. Periode
imobilisasi yang lebih singkat dapat diberikan pada pasien di atas 40 tahun karena
adaya kekakuan dari tangan, pergelangan tangan, siku, dan bahu ipsilateral dapat
membuat manajemen lebih rumit.7
Indikasi untuk pembedahan mencakup adanya interposisi jaringan lunak,
displacement fraktur greater tuberosity, adanya glenoid rim fracture lebih dari 5
milimeter, dislokasi rekuren.7

E. RICE DAN PRICE THERAPY


RICE therapy adalah manajemen yang cukup populer untuk minor injuries
terutama mencakup soft tissue injuries. RICE terdiri dari rest, ice, compression, dan
elevation. Menurut Apley’s Orthopaedics edisi terbaru, akronim RICE ini telah
diekstensi menjadi ‘PRICE’ dengan menambahkan adanya proteksi (splint, brace)
dan kemudian ditambahkan rehabilitasi pada bagian akhir sehingga menjadi
‘PRICER’. Prinsipnya ialah sama, yaitu adanya pendekatan yang berfase dengan
menyokong bagian yang terkena cedera untuk beberapa minggu kemudian adanya
mobilisasi awal dan hingga bagian tubuh yang cedera dapat kembali ke fungsinya.8
Berikut ialah PRICE therapy dikutip dari website NHS:
 Protection, yaitu untuk memproteksi area lebih jauh dari cedera,
sebagai contoh, dengan menggunakan support.
 Rest, menghindari latihan dan kurangi aktivitas fisik. Menggunakan
walking stick atau crutch dapat berguna apabila kita tidak bisa
mendistribusikan cukup beban pada bagian ankle atau lutut. Apabila
bahu yang terkena, dapat digunakan sling.
 Ice, aplikasikan ice pack pada area yang terkena untuk 15-20 menit
setiap dua hingga tiga jam. Satu kantung berisi kacang beku, atau
sejenisnya, juga dapat membantu. Bungkus dengan handuk sehingga
tidak langsung mengenai kulit.
 Compression, atau kompresi, yaitu tindakan penggunaan bandage
elastis untuk membatasi pembengkakan.
 Elevation, atau elevasi, yaitu menjaga daerah tubuh yang cedera di
atas level jantung .
3

KESIMPULAN
Pada umumnya pentalaksanaan cedera minor yang banyak meliputi soft tissue
injury ialah dengan menggunakan pendekatan RICE (Rest, Ice, Compression,
Elevation) yang penerapannya adalah fase akut cedera ebelum penanganan lebih
lanjut. Secara umum penanganan cedera disesuaikan dengan jenis cedera dan proses
patofisiologi cedera. Hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya cedera
ini ialah melakukan kegiatan pemanasan dengan latihan.

DAFTAR PUSTAKA1. Bahr R. Risk factors for sports injuries -- a


methodological approach. Br J Sports Med [Internet]. 2003;37(5):384–92.
Available from: http://bjsm.bmj.com/cgi/doi/10.1136/bjsm.37.5.384
2. McIntosh AS. Risk compensation, motivation, injuries, and biomechanics in
competitive sport. Br J Sports Med. 2005;39(1):2–3.
3. Arovah NI. Diagnosis Dan Manajemen Cedera Olahraga. 2010;1–11.
Available from: http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132300162/12.
Diagnosis dan Manajemen Cedera Olahraga.pdf
4. Geiderman JM, Katz D. General Principles of Orthopedic Injuries. Rosen’s
Emerg Med – Concepts Clin Pract [Internet]. 2010;467–88. Available from:
http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/B9780323054720000463
5. Petersen W, Rembitzki IV, Koppenburg AG, Ellermann A, Liebau C,
Brüggemann GP, et al. Treatment of acute ankle ligament injuries: A
systematic review. Arch Orthop Trauma Surg. 2013;
6. Drouet A. [Management of muscle cramp: what’s to be done?]. Rev Prat.
2013;
7. Dhillon, M. and Dhatt, S. (2012). First aid and emergency management in
orthopedic injuries. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Pub, pp.68-70.
8. Blom, A. (2018). Apley & Solomon's System of Orthopaedics and Trauma
10th Edition. Boca Raton: CRC Press, p.939.

Anda mungkin juga menyukai